• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA

PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Perkembangan Luas Lahan Padi Sawah di Provinsi Sumatera Utara

Padi dibudidayakan dengan tujuan mendapatkan hasil yang setinggi-tinginya dengan kualitas sebaik mungkin, untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan maka tanaman yang akan ditanam harus sehat dan subur. Tanaman yang sehat adalah tanaman yang tidak terserang oleh hama dan penyakit, tidak mengalami defisiensi hara, baik unsur hara yang diperlukan dalam jumlah besar maupun dalam jumlah kecil. Sedangkan tanaman subur adalah tanaman yang pertumbuhan dan perkembangannya tidak terhambat, oleh kondisi biji atau kondisi lingkungan (Soekartawi, 2002).

Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Meskipun padi dapat digantikan oleh makanan lainnya, namun padi memiliki nilai tersendiri bagi orang yang biasa makan nasi dan tidak dapat dengan mudah digantikan oleh bahan makanan yang lain (Soekartawi, 2002).

Dibandingkan dengan Negara - negara penghasil beras utama dunia, luas panen padi Indonesia berada pada posisi ketiga terluas setelah India dan Cina. Hingga akhir tahun 2006, luas panen padi di India mencapai 28.9% (44 juta Ha), Cina 19,1% dan Indonesia sendiri sebesar 7,8% dari total luas panen padi di dunia (152,5 juta Ha). Hingga tahun 2006 volume beras yang dihasilkan oleh Cina

(2)

mencapai 128 juta MT atau 31% dari total produksi beras dunia yang sebesar 415,23 juta MT . India dan Indonesia masing-masing memberikan kontribusi 22% (91 juta MT) dan 8% (35 juta MT) (Badan Pusat Statistik, 2008).

Di Indonesia sendiri, provinsi dengan jumlah produksi padi tertinggi adalah Jawa Barat, kemudian diikuti oleh Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pada volume konsumsi beras, Indonesia juga berada pada peringkat tiga konsumen beras terbesar di dunia setelah Cina dan India, yaitu berkisar antara 110-139 kg per tahun (Badan Pusat Statistik, 2008).

Berdasarkan data Dinas Ketahanan Pangan Sumatera Utara untuk bulan September 2012, realisasi luas lahan persawahan yang tepat masa tanamnya (padi sawah) masih minim yakni rata-rata mencapai 54,5% (Januari-Desember). Untuk realisasi pencapaian tanam padi di Sumatera Utara tahun ini hanya mencapai 52% (396,598 hektar). Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara, salah satu faktor yang membuat minimnya realisasi tepat masa tanam padi sawah di Sumatera Utara dikarenakan terlambatnya masa tanam di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara. Menurut Kepala Bagian Program Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara, terlambatnya masa tanam padi sawah diakibatkan pengaruh cuaca ekstrim saat ini. Provinsi Sumatera merencanakan sebanyak 830,034 hektar lahan persawahan padi tepat masa tanamnya agar masa panen dapat berlangsung tepat waktu sehingga dapat menunjang produktivitas padi di Sumatera Utara (Badan Pusat Statistik, 2008).

Lahan memiliki arti lebih luas dari pada makna tanah mengingat tanah hanya merupakan salah satu aspek dari lahan. Proses perubahan pemanfaatan sifatnya

(3)

cukup kompleks dimana mekanisme perubahannya melibatkan beberapa kekuatan seperti kekuatan pasar, sistem administratif yang dikembangkan oleh pemerintah dan juga kepentingan politik. Salah satu fenomena yang nyata pada pemanfaataan lahan adalah adanya alih fungsi lahan. Fenomena ini muncul seiring makin tinggi dan bertambahnya tekanan kebutuhan dan permintaan terhadap lahan baik dari sektor pertanian ataupun nonpertanian akibat dari pertambahan penduduk yang terjadi setiap tahunnya dan semakin tingginya tingkat perekonomian sehingga memicu kegiatan pembangunan kearah industri (Winoto, 2005).

Secara umum penurunan lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah yang umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih inggi. Di daerah pesawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan sehingga memicu pengalih fungsian yang sangat cepat. Selain itu akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur wilayah pesawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering. Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, dan kawasan industri cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi datar ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan (Winoto, 2005).

Lahan gambut di Indonesia diperkirakan seluas 25,6 juta hektar yang tersebar di Pulau Sumatera 34.8%, Pulau Kalimantan 22.7% dan Pulau Irian 42.6%. Luas lahan gambut di Sumatera Utara menempati urutan ke empat di pulau Sumatera dengan luas 0,325 juta hektar. Provinsi di Sumatera yang memiliki lahan gambut

(4)

terluas adalah Riau 4,044 juta hektar diikuti kemudian di Sumatera Selatan 1,484 juta hektar dan Jambi 0,717 juta hektar. Penyebaran lahan gambut di Provinsi Sumatera Utara terdapat di pantai timur, yakni di wilayah kabupaten Labuhan Batu, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Selatan, Asahan dan Batubara. Di pantai barat terdapat cukup luas di wilayah kabupaten Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Tapanuli Tengah. Lahan gambut di Sumatera Utara, sebagian besar merupakan gambut sedang (kedalaman 1-2 metar) seluas 228.384 hektar. Produktivitas padi sawah di lahan gambut tergolong rendah (Sitorus, 2010).

Pada tahun 2010 luas lahan sawah non irigasi masih berkisar 12% sementara sawah irigasi sebanyak 18%. Jumlah itu cukup timpang dengan lahan pertanian bukan sawah yang memegang 70% dari luas lahan Sumatera Utara. Kabupaten yang berpotensi dimanfaatkan untuk pengembangan lahan sawah di Sumatera Utara daerah tersebut, yakni Kabupaten Pakpak Bharat (3.000 ha), Simalungun (700 ha), Tapanuli Selatan (2.000 ha), Dairi (500 ha), Asahan (5.000 ha), Mandailing Natal (6.600 ha), Nias Selatan (500 ha), Padang Lawas Utara (450 ha), Labuhanbatu Selatan (2.000 ha), Labuhanbatu Utara (2.000 ha), Humbang Hasundutan seluas 2.500 ha, dan Asahan (5.000 ha) (Badan Pusat Statistik, 2008).

Dari potensi lahan tersebut, sebagian sudah dimanfaatkan untuk menanam padi melalui program pelaksanaan kegiatan pencetakan sawah. Kegiatan tersebut sudah dimulai tahun 2006 di Kabupaten Madina seluas 915 ha, Asahan 565 ha, dan Dairi 565 ha. Begitu juga di tahun 2010 pencetakan sawah dilakukan hanya 350 ha. Barulah pada tahun 2011 luas pencetakan sawah di Sumut meningkat menjadi 700 hektare yang dilakukan di Kabupaten Madina seluas 600 ha dan Labuhanbatu

(5)

Utara seluas 100 ha. Dari lahan yang sudah dikembangkan itu, rata-rata produksi yang diperoleh mencapai tiga ton per hektare untuk gabah kering panen (GKP) (Badan Pusat Statistik, 2008).

2.1.2. Laju Perubahan Alih Fungsi Lahan dan Sawah di Provinsi Sumatera iUtara

Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Semula fungsi utama lahan ialah untuk bercocok tanam padi, palawija, atau hortikultura. Kini dengan gencarnya industrialisasi, lahan-lahan produktif pertanian berubah menjadi pabrik-pabrik, jalan tol, permukiman, perkantoran, dan lain sebagainya. Jika dalam setahun alih fungsi lahan terdata sekitar 4.000 hektar, dalam 5 tahun ke depan lahan produktif yang beralih fungsi mencapai 20.000 hektar (Winoto, 2005).

Secara empiris menurut Winoto (2005), lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh :

(6)

1. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi.

2. Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan.

3. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari padda wilayah lahan kering.

4. Pembangunan sarana dan prasarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar.

Tanah sawah merupakan tanah yang sangat penting di Indonesia karena merupakan sumber daya alam yang utama dalam produksi beras. Saat ini keberadaan tanah-tanah sawah subur beririgasi terancam oleh gencarnya pembangunan kawasan industri dan perluasan kota (perumahan) sehingga luas tanah sawah semakin berkurang karena di konversikan untuk penggunaan nonpertanian. Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk menanam padi sawah baik secara terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Dalam definisi ini tanah sawah mencakup semua tanah yang terdapat dalam zona iklim dengan rejim temperatur yang sesuai untuk menanam padi paling tidak satu kali setahun (Winoto, 2005).

Pertumbuhan sektor industri, jasa, dan properti, pada umumnya telah memberikan tekanan pada sektor pertanian, terutama tanah sawah. Konflik penggunaan dan pemanfaatan lahan bersifat dilematis mengingat peluang perluasan areal pertanian

(7)

sudah sangat terbatas, sementara tuntutan terhadap kebutuhan lahan untuk perkembangan sektor industri, jasa, dan properti cenderung semakin meningkat. Sehingga perubahan penggunaan lahan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi regional tidak mungkin dapat di hindarkan lagi (Ilham,dkk, 2003).

Perubahan penggunaan lahan dapat disebabkan karena adanya perubahan rencana tata ruang wilayah yang menetapkan wilayah pemukiman dan industri sehingga lahan untuk sektor pertanian telah beralih fungsi mengikutu tata ruang wilayah tersebut. Sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanahnya, maka perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke nonpertanian terjadi secara meluas (Ilham,dkk, 2003).

Konversi lahan sawah sulit dicegah selama kebijakan pembangunan ditujukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Namun demikian konversi lahan akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi ketahanan pangan, lingkungan, kesempatan kerja, dan masalah sosial lainnya. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah konversi lahan seyogianya lebih diarahkan untuk meminimalkan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan. Sampai batas tertentu konversi lahan dapat dilakukan selama dampak negatif yang ditimbulkan dapat ditekan dan dinetralisir (Ilham,dkk, 2003).

Dengan melihat tingginya laju konversi lahan maka untuk mempertahankan luas sawah. Indonesia harus mencetak mencetak lahan baru untuk menutupi lahan sawah yang telah beralih fungsi. Apabila tidak di lahukan maka Indonesia akan

(8)

mengalami kerisis pangan hal ini akan berdampak pada tingkat kesejahteraan masayarakat (Anonimous, 2009).

Krisis ekonomi berakibat tingginya angka pengangguran menyebabkan menurunnya pendapatan masyarakat. Kedaan itu memicu terjadinya konversi lahan sawah. Karena sebagian masyarakat yang hanya memiliki berupa lahan sawah akan menjual lahannya untuk kebutuhan hidup kepada petani kaya,investor bahkan para spekulan. Apabila pemanfaatan lahan pertanian tersebut tidak mengarah pada sektor pertanian juga maka bedampak buruk pada produksi pertanian itu sendiri (Jamal, 2000).

Tipe penggunaan lahan menurut sistem dan modelnya dibedakan atas dua macam yaitu multiple dan compound. Multiple terdiri lebih dari satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan secara serentak pada suatu areal yang sama dari sebidang lahan. Setiap penggunaan memerlukan masukan dan kebutuhan, serta memberikan hasil tersendiri. Sebagai contoh kelapa ditanam secara bersamaan dengan kakao atau kopi di areal yang sama pada sebidang lahan. Demikian juga yang umum dilakukan secara diversifikasi antara tanaman cengkih dengan vanili atau pisang. Compound terdiri lebih dari satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan pada areal-areal dari sebidang lahan yang untuk tujuan evaluasi diberlakukan sebagai unit tunggal. Perbedaan jenis penggunaan bisa terjadi pada suatu sekuen atau urutan waktu, dalam hal ini ditanam secara rotasi atau secara serentak, tetapi pada areal yang berbeda pada sebidang lahan yang dikelola dalam unit organisasi yang sama. Sebagai contoh suatu perkebunan besar sebagian areal secara terpisah (satu blok/petak) digunakan untuk tanaman karet, dan blok/petak

(9)

lainnya untuk kelapa sawit. Kedua komoditas ini dikelola oleh suatu perusahaan yang sama (Jamal, 2000).

Alih fungsi lahan yang paling memprihatinkan terjadi di Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Bali. Beberapa daerah yang disebutkan ini memiliki lahan yang cukup produktif, tetapi seringkali terjadi alih fungsi. di Sumatera dan Kalimantan. Umumnya terjadi alih fungsi dari lahan sawah ke lahan kelapa sawit. Selain itu, di banyak tempat di Indonesia lahan sawah produktif sudah beralih fungsi menjadi perumahan, industri, pariwisata maupun untuk tujuan lain. Sementara pencetakan sawah baru untuk mengganti lahan sawah yang hilang memerlukan biaya yang tinggi dan waktu yang lama karena berbagai kendala diantaraanya terbatasnya infrastruktur penunjang seperti jalan penghubung, prasarana irigasi dan transportasi (Sitorus, 2010).

Di Sumatera Utara, alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain berdasarkan data Sensus Pertanian Tahun 2003 menunjukkan terjadinya laju konversi lahan sawah yang sangat cepat. Pada rentang waktu tahun 2000 hingga 2002, alih fungsi lahan sawah di Sumatera Utara mencapai 563.000 hektar atau rata-rata sekitar 188.000 hektar per tahun. Lahan sawah di Sumatera Utara pada tahun 2002 seluas 7,75 juta terjadi pengurangan mencapai 7,27% selama 3 tahun atau rata-rata 2,42% per tahun. Sejak 2007-2008, laju konversi lahan pertanian di Sumatera Utara sekitar 4,2%. Lahan pertanian tersebut dialihkan ke tanaman keras dan kawasan pemukiman. Luas lahan sawah berpengairan yang beralih fungsi pada tahun 2006 mencapai 280.847 hektar dan tahun 2008 mencapai 278.560 hektar. Sementara,

(10)

lahan tadah hujan tak berpengairan yang sudah beralih fungsi tahun 2006 seluas 211.975 hektar dan pada tahun 2007 sebanyak 193.454 hektar (Sitorus, 2010).

Hal ini merupakan ancaman bagi produksi pangan baik secara nasional maupun regional, khususnya di daerah-daerah yang sangat pesat perkembangan perkotaannya di Indonesia. Kekurangan pangan sangat berpengaruh terhadap gizi buruk, kesehatan, sekaligus menurunkan kualitas sumber daya manusia. Dampak serius lain yang ditimbulkan akibat kekurangan bahan pangan adalah terganggunya stabilitas sosial politik, ekonomi dan keamanan. Ketahanan pangan harus stabil dan tetap terjaga secara berkelanjutan. Untuk menunjang ketahanan pangan yang berhubungan dengan aspek ketersediaan pangan, membutuhkan ketersediaan lahan secara berkelanjutan dalam jumlah dan mutu yang memadai (Sitorus, 2010).

2.1.3. Definisi, Tujuan dan Fungsi Program Pemerintah Pusat dan Program iPemerintah Daerah Khususnya Kabupaten Asahan

Daerah Kabupaten Asahan memiliki lahan pertanian yang sangat potensial untuk dikembangkan, dari daerah ini hasil produksi pertanian seperti Beras Kuku Balam dari Kecamatan Aek Ledong dan Kecamatan Rawang Panca Arga sangat terkenal sampai keluar Sumatera, komuditas andalan lainnya dari daerah ini adalah sayur-sayuran, pisang berangan, jagung, cabai dan buah salak pondoh ledong. Tanaman pangan yang dominan di Kabupaten Asahan adalah padi, jagung, ubi kayu, dan kedelai. Jika dilihat dari luas panen dan produksi padi sawah perkecamatan, maka sentra produksi padi di Kabupaten Asahan adalah Kecamatan Air Putih, Meranti dan Tanjung Tiram (Badan Pusat Statistik, 2008).

(11)

Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara mendukung kabupaten/kota yang berencana akan membuka lahan persawahan yang baru untuk menyukseskan program daerah tersebut menjadi lumbung beras nasional. Menurut Kepala Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, pencetakan sawah baru dimungkinkan untuk dilaksanakan, mengingat masih luasnya lahan pertanian di berbagai daerah. Pembukaan areal pertanian dan persawahan di daerah kabupaten/kota dinilai sangat tepat untuk mewujudkan Sumatera Utara sebagai lumbung beras nasional. Dengan dibukanya areal persawahan yang baru dapat juga menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan dan juga akan mengurangi kegiatan urbanisasi. Kabupaten Asahan berupaya menjadi penghasil beras terbesar di Provinsi Sumatera Utara dengan luas areal persawahan 10 ribu hektare lebih yang tersebar di sebelas kecamatan. Asahan dengan luas areal persawahan 10 ribu hektare lebih pada tahun 2011 memproduksi beras sebanyak 54.062 ton lebih (Badan Pusat Statistik, 2008).

2.2. Landasan Teori

Menurut Lestari (2009), alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Perubahan jenis lahan merupakan penambahan penggunaan jenis lahan di satu sektor dengan diikuti pengurangan jenis lahan di sektor lainnya. Atau dengan kata lain perubahan penggunaan lahan merupakan berubahnya fungsi lahan pada periode waktu tertentu, misalnya saja dari lahan pertanian digunakan untuk lahan non pertanian. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut

(12)

terjadi karena dua hal, yakni adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Menurut Irawan (2005), ada dua hal yang mempengaruhi alih fungsi lahan. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan.

Menurut Pakpahan (2005), konversi lahan di tingkat wilayah secara tidak langsung dipengaruhi oleh :

1. Pertumbuhan komoditi perkebunan 2. Pertumbuhan kepadatan penduduk

Secara langsung konversi lahan sawah dipengaruhi oleh: 1. Pertumbuhan pembangunan sarana transportasi 2. Pertumbuhan lahan untuk industri

3. Pertumbuhan sarana pemukiman

Konversi lahan pertanian terutama ditetukan oleh faktor berikut:

1. Rendahnya nilai persewaan (land rent) lahan sawah yang berada disekitar pusat pembangunan dibandingkan dengan nilai persewaan untuk pemukiman dan industri,

(13)

3. Makin menonjolnya tujuan jangka pendek yaitu memperbesar pendapatan asli daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kelestarian sumberdaya alam di era otonomi ini.

(Soekartawi, 2005).

Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi sawah di tingkat petani Jawa menunjukkan bahwa alasan utama untuk melakukan konversi adalah kebutuhan, lahannya berada dalam kawasan industri, dan harga yang menarik. Selain harga dan pajak lahan yang tinggi cenderung mendorong petani untuk melakukan konversi (Soekartawi, 2005).

Menurut Gunanto (2007) ada tiga alternatif kebijakan yang dibahas dalam pengendalian konversi lahan, yaitu kebijakan pengandalian melalui otoritas sentral, pemberian insentif terhadap perluasan sawah baru dan pemilik sawah beririgasi yang perlu dilindungi, dan pembangunan kemampuan kolektif masyarakat tani setempat dalam mengendalikan konversi lahan sawah. Model kebijakan yang terakhir, apabila difasilitasi dengan baik, diharapkan dapat memperkuat kapital sosial yang ada pada masyarakat karena munculnya rasa kebersamaan indentitas dan kepemilikan.

Produksi padi secara nasional terus meningkat setiap tahun, tetapi dengan laju pertumbuhan yang cenderung semakin menurun. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian karena pesatnya pembangunan dianggap sebagai

salah satu penyebab utama melandainya pertumbuhan produksi padi (Anonimus, 2006).

(14)

Proses alih fungsi lahan pada dasarnya dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi, perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya:

1. Pertumbuhan aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan per kapita.

2. Adanya pergeseran kontribusi sektor pembangunan dari sektor-sektor primer khususnya dari sektor-sektor-sektor-sektor pertanian dan pengolahan sumberdaya alam ke aktifitas sektor-sektor sekunder dan tersier.

(Soekartawi, 2005).

Menurut Gunanto (2007), dorongan-dorongan bagi terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian tidak sepenuhnya bersifat alamiah, tetapi ada juga yang secara langsung atau tidak langsung dihasilkan oleh proses kebijaksanaan pemerintah. Dalam proses alih fungsi lahan, telah terjadi asimetris informasi harga tanah, sehingga sistem harga tidak mengandung semua informasi yang diperlukan untuk mendasari suatu keputusan transaksi. Kegagalan mekanisme pasar dalam mengalokasikan lahan secara optimal disebabkan faktor-faktor lainnya dari keberadaan lahan sawah terabaikan, seperti fungsi sosial, fungsi kenyamanan, fungsi konservasi tanah dan air, dan fungsi penyediaan pangan bagi generasi selanjutnya. Proses alih fungsi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu: (1) sistem kelembagaan yang dikembangkan

(15)

oleh masyarakat dan pemerintah, dan (2) sistem non-kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat.

Menurut Gunanto (2007) konversi lahan sawah menjadi kelapa sawit ditetukan oleh beberapa aspek berikut:

1. Aspek ekonomis terdiri atas :

a. Panen sawit dilakukan secara berkelanjutan setiap 2 minggu, b. Keuntungan berkebun sawit lebih tinggi,

c. Harga sawit lebih terjamin, dan

d. Biaya pemeliharaan tanaman sawit lebih rendah. 2. Aspek lingkungan terdiri atas :

a. Kecocokan lahan untuk kebun sawit,

b. Ancaman hama dan penyakit pada tanaman pangan, c. Kondisi irigasi tidak mendukung, dan

d. Tenaga kerja kebun sawit lebih sedikit. 3. Aspek teknis terdiri atas :

a. Tanaman sawit berumur panjang,

b. Proses pascapanen tanaman pangan lebih sulit, dan c. Teknik budidaya sawit lebih mudah.

Menurut Irawan (2009), berdasarkan jenis irigasinya ada tiga kemungkinan bentuk alih fungsi lahan sawah yaitu : Pertama, dari semua klarifikasi irigasi ke penggunaan non pertanian. Namun berdasarkan peraturan yang ada, tidak mungkin terjadi alih fungsi lahan beririgasi. Dari sisi praktis, bagi individu petani juga kecil kemungkinan mengkonversi lahan irigasi, khususnya untuk

(16)

pemukiman. Karena lahan sawah irigasi relatif lebih produktif dan dibutuhkan biaya relatif besar untuk menimbun jika digunakan untuk pemukiman. Tidak demikian halnya bagi investor, walaupun biaya timbun relatif tinggi, penggunaan lahan untuk kegiatan usaha akan memberikan land rent yang lebih baik. Kedua, konversi lahan sawah dari satu jenis irigasi ke irigasi lainnya yang lebih baik. Hal ini dapat terjadi jika ada program perbaikan irigasi baik yang dilakukan secara swadaya ataupun yang didanai pemerintah. Ketiga, yaitu konversi dari lahan irigasi yang baik ke irigasi yang kurang baik. Hal ini dapat terjadi karena proses alam yang menyebabkan tidak berfungsinya sistem irigasi, atau dilakukan secara sengaja untuk menghindari peraturan yang ada. Seperti dilaporkan oleh Irawan bahwa alih fungsi lahan pertanian ke kawasan pemukiman awalnya sebagian besar berasal dari lahan sawah beririgasi.

Menurut Prayudho (2009) alih fungsi lahan sawah tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan cepat sehingga sektor tersebut membutuhkan lahan yang lebih luas. Lahan sawah yang terletak dekat dengan sumber ekonomi akan mengalami pergeseran penggunaan kebentuk lain seperti pemukiman, industri manufaktur dan fasilitas infrastruktur. Hal ini terjadi karena Land Rent persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi daripada yang dihasilkan sawah. Suatu lahan sekurang-kurangnya memiliki empat jenis rent, yaitu:

1. Ricardian Rent, menyangkut fungsi kualitas dan kelangkaan lahan. 2. Locational Rent, menyangkut fungsi eksesibilitas lahan.

(17)

4. Sosiological Rent, menyangkut fungsi sosial dari lahan.

Umumnya Land Rent yang mencerminkan mekanisme pasar hanya mencakup

Ricardian Rent dan Locational Rent. Ecological Rent dan Sosiological Rent tidak

sepenuhnya terjangkau mekanisme pasar. Hal tersebut sesuai dengan teori lokasi neo klasik yang menyatakan bahwa substitusi diantara berbagai penggunaan faktor produksi dimungkinkan agar dicapai keuntungan maksimum. Artinya alih fungsi lahan sawah terjadi akibat penggantian faktor produksi sedemikian rupa semata-mata untuk memperoleh keuntungan maksimum (Prayudho, 2009).

Dalam model Ricardiant Rent dijelaskan bahwa adanya alokasi penggunaan lahan ke penggunaan lain dikarenakan perbedaan Land Rent yang memberikan penggunaan yang lebih menguntungkan. Oleh karena itu adanya alih fungsi komoditi disebabkan oleh perbedaan land rent komoditi pengganti yang secara ekonomis dianggap lebih menguntungkan. Kondisi ini diilustrasikan seperti pada gambar berikut :

Gambar 2.1 Kurva Lahan Biaya Rendah

Gambar 2.2 Kurva Lahan Biaya Menengah

Land Rent Biaya Produksi Jumlah Output MC AC P* Rp Q* Q* Rp P* MC AC Jumlah Output

(18)

Gambar 2.3 Kurva Lahan Marginal

Dalam model ini dijelaskan adanya alokasi penggunaan lahan dikarenakan adanya perbedaan land rent yang menghasilkan keuntungan lebih. Dan hal ini adalah pemicu alih fungsi lahan komditi yang dianggap lebih menguntungkan secara ekonomis. Pada awalnya lahan yang digunakan untuk usaha tani adalah lahan yang subur, selanjutnya akibat penambahan output maka lahan keringpun ikut digunakan untuk areal pertanaman meskipun dengan biaya yang lebih tinggi. Namun dengan harga jual yang lebih tinggi maka usaha ini dalam jangka panjang menguntungkan. Pada kondisi ekuilibrium maka pada harga equilibrium p*, baik lahan yang berbiaya produksi rendah maupun tinggi menerima keuntungan dalam jangka panjang. Lahan marjinal menerima keuntungan ekonomi sama dengan nol. Lahan-lahan dengan biaya produksi yang lebih tinggi berada di luar pasar karena mereka akan rugi jika berproduksi pada harga p* dan juga sebaliknya. Keuntungan inilah yang disebut sewa Ricardian. Keuntungan ini merupakan penerimaan lahan dengan biaya rendah atau lahan subur (Nicholson, 2000).

Gambar 2.4 Kurva Pasar

P* S Q per periode E D Q* P* MC AC Jumlah Output Q*

(19)

Ketersediaan pangan yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Soekartiwi, 2008).

Akses pangan yaitu kemampuan semua semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sararan dan prasarana distribusi), sedangkan akses sosial menyangkut tetang preferensi pangan. Stabilitas pangan merupakan dimensi waktu dari ketahanan pangan yang terbagi dalam kerawanan pangan kronis dan kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan kronis adalah ketidak mampuan untuk memperoleh kebutuhan pangan setiap saat, sedangkan kerawanan pangan sementara adalah kerawanan pangan yang terjadi secara sementara yang diakibatkan karena masalah kekeringan, banjir, bencanam maupun konflik sosial (Soekartawi, 2008).

Mekanisme perubahan penggunaan lahan melibatkan kekuatan-kekuatan pasar, sistem administratif yang dikembangkan pemerintah, dan kepentingan politik. Pemerintah di sebagian besar negara di dunia pada kenyataannya memegang peran kunci dalam alokasi lahan seperti pajak, zonasi, maupun kebijakan langsung

(20)

seperti kepemilikan lahan misalnnya hutan, daerah lahan tambang, dan sebagainya (Soekartawi, 2008).

Perubahan keseimbangan pasar terjadi bila ada perubahaan di sisi permintaan dan atau penawaran. Jika faktor yang menyebabkan perubahan adalah harga, keseimbangan akan kembali ke titik awal. Tetapi jika yang berubah adalah faktor-faktor ceteris paribus seperti teknologi untuk sisi penawaran, atau pendapatan untuk sisi permintaan, keseimbangan tidak kembali ke titik awal. Harga keseimbangan adalah harga yang terbentuk pada titik pertemuan kurva permintaan dan kurva penawaran. Terbentuknya harga dan kuantitas keseimbangan di pasar merupakan hasil kesepakatan antara pembeli (konsumen) dan penjual (produsen) di mana kuantitas yang diminta dan yang ditawarkan sama besarnya. Jika keseimbangan ini telah tercapai, biasanya titik keseimbangan ini akan bertahan lama dan menjadi patokan pihak pembeli dan pihak penjual dalam menentukan harga (Gilarso, 1993).

Gambar 2.5 Kurva permintaan dan penawaran Harg P1 P0 S0 S1 Kuantitas E0 E1 Q0 Q1 0 b) Q0 Q1 c) Harga P1 P0 S D1 D0 Kuantitas E0 E1 0 a) Harga P1 P0 S D Kuantitas Kelebihan penawaran E0 Q0 0

(21)

a. Jika harga berubah, terjadi kelebihan penawaran yang menyebabkan harga turun kembali ke P0. Titik keseimbangan tetap E0.

b. Kurva penawaran bergeser ke kanan karena perubahan teknologi. Titik keseimbangan bergeser dari E0 ke E1.

c. Kurva permintaan bergeser ke kanan karena perubahan pendapatan. Titik keseimbangan bergeser dari E0 ke E1.

(Gilarso, 1993).

Menurut Rangkuti (2008), analisis SWOT adalah sebuah bentuk analisa situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif. Analisa ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai faktor masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masing-masing. Analisa ini terbagi atas empat komponen dasar yaitu :

1. Strengh (S), adalah situasi atau kondisi yang merupakan kekuatan dari organisasi atau program pada saat ini.

2. Weakness (W), adalah situasi atau kondisi yang merupakan kelemahan dari organisasi atau program pada saat ini.

3. Opportunity (O), adalah situasi atau kondisi yang merupakan peluang diluar organisasi dan memberikan peluang berkembang bagi organisasi dimasa depan.

4. Threat (T), adalah situasi yang merupakan ancaman bagi organisasi yang datang dari luar organisasi dan dapat mengancam eksistensi organisasi dimasa depan.

(22)

2.3. Kerangka Pemikiran

Luas lahan padi sawah yang pada awalnya cukup luas akhir-akhir ini makin menyusut. Lahan padi sawah yang luas sangat penting untuk memperoleh hasil produksi yang maksimal. Namun seiring dengan alih fungsi lahan yang terjadi maka luas lahan padi sawah semakin menurun. Laju alih fungsi lahan merupakan salah satu akibat yang dapat menimbulkan berkurangnya luas lahan padi sawah yang semula lahan padi sawah tersebut cukup luas namun karena terjadinya laju alih fungsi lahan maka lahan tersebut semakin lama semakin berkurang. Selain itu terdapat beberapa kerugian yang harus diperhitungkan sebagai dampak negatif Laju alih fungsi dapat dilihat berdasarkan data BPS untuk kemudian disesuaikan dengan data aktual yang terjadi dilapangan.

Alih fungsi lahan sawah mengakibatkan hilangnya potensi produksi beras. Muara dari semua itu adalah kesejahteraan masyarakat yang sulit meningkat. Alih fungsi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Dalam proses laju alih fungsi lahan ini juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor yaitu faktor langsung serta faktor tidak langsung yang mempengaruhi petani dalam mengalihfungsikan lahan mereka. Faktor penarik merupakan faktor yang membuat petani mengalihfungsikan lahan mereka menjadi komoditi lain yang lebih menguntungkan. Sedangkan faktor pendorong merupakan faktor yang dipengaruhi oleh komoditi yang diusahakan tersebut yaitu padi sawah. Dengan

(23)

mempertimbangkan faktor-faktor tersebut petani terdorong untuk mengalihfungsikan lahan mereka ke komoditi lain maupun ke fungsi lainnya.

Luas lahan padi sawah yang semakin menurun juga berdampak terhadap produksi padi sawah tersebut. Produksi padi sawah dengan luas lahan yang luas tentu berbeda dengan produksi padi sawah dengan luas lahan yang semakin sempit. Turunnya produksi padi sawah tersebut dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat untuk kedepannya. Dengan data yang ada kita juga dapat memproyeksikan bagaimana perkembangan luas lahan maupun produksi beberapa tahun kedepan. Proyeksi pada dasarnya merupakan suatu perkiraan mengenai terjadinya suatu kejadian (nilai dari suatu variabel) untuk waktu yang akan datang. Alih fungsi lahan padi sawah membuat terjadinya laju pergeseran luas lahan padi sawah yang semakin cepat terutama di Kabupaten Asahan. Karena adanya pergeseran luas lahan pada padi sawah membuat terjadinya perubahan hasil produksi padi di tiap tahunnya yang akan menurun. Ini berbanding lurus terhadap ketersediaan pangan/beras akan berkurang didalam pemenuhan konsumsi masyarakat sehingga pada umumnya swasembada beras semakin sukar untuk dicapai. Secara skematis kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut :

(24)

Keterangan :

: Pengaruh : Hubungan

: Kesesuaian Data

Gambar 2.6 Skema Kerangka Pemikiran

2.4. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori yang dibuat, maka hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Luas lahan sawah menurun secara signifikan didaerah penelitian.

2. Laju alih fungsi lahan dari sawah menjadi kebun sawit rakyat signifikan di daerah penelitian.

3. Alih fungsi lahan padi sawah memiliki dampak terhadap pencapaian swasembada beras ditingkat kabupaten.

Ketersediaan Pangan/Beras

Swasembada Beras Positif Negatif

Faktor - faktor yang mempengaruhi a. Faktor Langsung

• Pertumbuhan pembangunan sarana transportasi

• Pertumbuhan lahan untuk industri • Pertumbuhan sarana pemukiman b. Faktor Tidak Langsung

• Perubahan lahan kelapa sawit • Pertumbuhan kepadatan penduduk Luas Lahan Padi Sawah

Laju Alih Fungsi Lahan

Produksi Padi Sawah Proyeksi

Aktual BPS

Faktor Internal Faktor Eksternal

Kekuatan (Strenght) Kelemahan (Weakness) Peluang (Opportunity) Ancaman (Threat)

Strategi mitigasi alih fungsi lahan sawah Matriks SWOT

Gambar

Gambar 2.3 Kurva Lahan Marginal
Gambar 2.5 Kurva permintaan dan penawaran HargP1P0S 0 S 1 Kuantitas E0E1Q0  Q10 b) Q0  Q1c) Harga P1P0S D1D0Kuantitas E0E10 a) Harga    P1P0S D Kuantitas Kelebihan penawaran E0Q00
Gambar 2.6 Skema Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan buku karakter anak berbasis CTL ini pada tahap uji validasi ahli materi dan bahasa, ahli desain, dan hasil uji kemenarikan oleh siswa dan

Pada tahun 2014 pihak Jabatan Audit Negara (JAN) telah menjalankan pengauditan di MAINJ dan hasil daripada pengauditan tersebut JAN mendapati proses pendaftaran harta

Sebagai kesimpulan, kondisi ekologi ekosistem mangrove di Desa Bahoi dikategorikan baik, dan disadari bermanfaat bagi masyarakat dalam fungsi ekologis sebagai pencegah abrasi

Menyikapi hal tersebut penulis mencoba melakukan suatu inovasi dalam bentuk penelitian sebagai upaya meningkatkan hasil belajar bola basket khususnya pada materi passing

Dari uraian singkat di atas, dapat dilihat bahwa dasar utama proses pelaksanaan likuidasi bank adalah PP Nomor 25 Tahun 1999 dan SK Direksi BI Nomor

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan 1) implementasi Sekolah Siaga Bencana (SSB) di SMPN 2 Cangkringan, 2) faktor pendukung dan penghambat, 3) resiliensi sekolah,

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

Di lokasi yang lebih tinggi lagi, Gangga (50 m dpl), menunjukkan bahwa sekitar 1-50 dari 0 – 885 jantan yang berhasil ditangkap terinfestasi oleh larva Epipyropidae. Lokasi Bayan,