1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masuknya budaya asing ke Indonesia berpengaruh terhadap kebudayaan Indonesia baik yang disadari maupun tidak disadari oleh orang Indonesia. Budaya asing yang sudah lama berintegrasi dengan budaya Indonesia juga tanpa disadari dianggap sebagai budaya ciptaan orang Indonesia atau budaya asli Indonesia. Demikian pula halnya dengan bahasa, sebagai salah satu bagian dari budaya juga tidak luput dari pengaruh bahasa asing, seperti halnya kosakata bahasa Indonesia. Kosakata bahasa Indonesia banyak juga yang berasal dari bahasa asing seperti kata sado atau kereta sado berasal dari bahasa Prancis yaitu dos à dos dozado yang artinya ‘duduk saling memunggungi atau membelakangi’ (Sylado, 2009). Tidak pernah terpikir oleh kebanyakan orang Indonesia kalau kata sado itu berasal dari luar bahasa Indonesia terlebih lagi dari bahasa Prancis karena kata tersebut sudah ada di Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda terutama di Batavia. Unsur pembentuk kata tersebut juga seperti tidak mengandung unsur asing baik pelafalan maupun penulisannya. Hal itu dikarenakan kata dos à dos yang kemudian menjadi sado sudah mengalami penyesuian dalam bahasa Indonesia dengan adanya pelesapan kata. Jika dihubungkan dengan kosakata bahasa Prancis tentu saja berbeda karena umumnya kosakata bahasa Prancis antara lafal dan ejaannya berbeda.
2
Selain kata sado, di dalam kamus kata serapan seperti Loanwords in Indonesian and Malay terdapat 3217 entri kata serapan yang asalnya berhubungan1 dengan bahasa Prancis atau sekitar 16% dari kurang lebih 20.000 entri. Dalam Kamus Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia karya J.S Badudu terdapat 708 entri atau 8,3% dari 8.615 entri, sedangkan dalam Kamus Kata Serapan karya Surawan Martinus terdapat 2711 entri atau sebanyak 32% dari 8400 entri (Cholsy, 2011). Hal ini membuktikan bahwa kosakata bahasa Prancis menduduki tempat yang penting di dalam bahasa Indonesia seperti yang tertulis di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012), bahasa Prancis merupakan salah satu bahasa sumber.
Bahasa Prancis merupakan salah satu bahasa yang digunakan dalam pergaulan internasional dan merupakan salah satu bahasa resmi di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) selain bahasa Inggris, Arab, Cina, dan Rusia. Menurut Organisation Internationale de la Francophonie (OIF)2 penutur bahasa Prancis yang ada di seluruh dunia saat ini sekitar 220 juta orang dari 77 negara. Negara-negara yang tergabung di dalam OIF disebut negara Francophone karena menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa kedua, maupun sebagai lingua franca3.
1 Kata berhubungan digunakan karena di dalam keterangan entri yang menunjukkan asal
bahasanya tertulis tidak hanya bahasa Prancis tetapi ada bahasa yang lainnya, seperti bahasa Belanda, Inggris, dan Latin. Hal ini menunjukkan bahwa kata serapan tersebut masuknya ke dalam bahasa Indonesia dapat secara langsung atau melalui bahasa asing lainnya.
2 OIF merupakan organisasi penutur bahasa Prancis sedunia yang mulai berdiri tahun 1970 dan
beranggotakan 77 negara dari lima benua. Organisasi ini bertujuan untuk mempromosikan bahasa Prancis serta menjalin kerja sama di antara sesama negara dan pemerintahan anggotanya (http://www.francophonie.org/-Qu-est-ce-que-la-Francophonie-.html).
3 Lingua franca adalah bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi di antara kelompok
3
Penyebaran bahasa Prancis ke seluruh dunia tidak terlepas dari peran negara Prancis sebagai salah satu negara Eropa yang menguasai dunia, baik di Asia, Afrika, Amerika, maupun Eropa dengan cara yang berbeda-beda. Penyebaran bahasa Prancis di dunia dilakukan secara dispersi, ekspansi, dan difusi (Sastriyani, 2004: 67). Penyebaran bahasa dan budaya Prancis di dunia dilakukan oleh pelaut dan pendatang di Quebec, Acadia, Louisiane, Haiti, beberapa negara Karibia, dan orang-orang Franco-Amerika; melalui penjajahan antara lain Aljazair, Tunisia, Maroko, Senegal, Gabon, Zaire, Rwanda dan Burundi; serta melalui pengajar-pengajar bahasa Prancis di seluruh dunia. Di samping itu ada juga penyebaran melalui kontak budaya seperti di perbatasan Prancis dengan negara tetangganya di Eropa dan juga penetrasi budaya serta perdagangan seperti di Bulgaria (Vankov, 1972: 112). Oleh karena itu sampai sekarang bahasa Prancis merupakan salah satu bahasa asing yang wajib dipelajari di sekolah-sekolah di Eropa, seperti halnya bahasa Inggris di Indonesia.
Hubungan antara negara Prancis dan Indonesia dimulai sejak abad XVI tepatnya pada 1526 yang ditandai dengan pelayaran Verrazane dan Pierre Caunay dari Honfleur ke Sumatra (1526-1529). Perjalanan tersebut merupakan perjalanan pertama orang Prancis ke Hindia-Timur (Indonesia) dengan tujuan untuk berdagang rempah-rempah (Dorléans, 2006: 307). Selain untuk berdagang, orang Prancis yang datang ke Indonesia juga untuk menikmati keeksotisan Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ditulisnya novel tentang keeksotisan Indonesia dalam hal ini Jawa oleh seorang sastrawan besar Prancis yang bernama Honoré de Balzac dalam novelnya yang berjudul Voyage de Paris À Java yang ditulis pada
4
1832. Balzac belum pernah ke Indonesia, akan tetapi dia menulis novel tersebut berdasarkan imajinasinya yang terinspirasi dari cerita-cerita perjalanan, foto-foto dan lukisan-lukisan para pelaut serta orang-orang Prancis yang pernah mengunjungi Indonesia terutama di Jawa. Di samping itu juga ada karya sastra sejarah yang ditulis oleh orang Prancis Comte Ludovic de Beauvoir berjudul Voyage Autour du Monde: Java, Siam & Canton dan diterbitkan pada 1872. Karya itu merupakan buku harian Comte selama di Jawa yang dituangkan dalam karya sastra yang berisi tentang persepsi pengarangnya (orang Prancis) terhadap alam dan budaya Jawa termasuk masyarakatnya (Udasmoro, 2009).
Seniman Prancis yang masuk ke Indonesia juga mempunyai dampak terhadap kebudayaan Indonesia terutama bidang musik seperti di antaranya Pierre Jean de Béranger (1780-1867) yang terkenal sebagai pencipta lagu rakyat yang cukup populer seperti lagu Terang Bulan yang melodinya menjadi lagu kebangsaan Malaysia yang berjudul Negaraku (Sylado, 2009). Penjajahan Prancis di Indonesia secara de facto dari tahun 1808-1811 dan de jure selama tujuh bulan dari Februari-Agustus 1811 juga ikut mempengaruhi perkembangan kebudayaan Indonesia. Pada saat itu negara Prancis menguasai Belanda sehingga secara otomatis seluruh wilayah pendudukan Belanda termasuk Indonesia juga masuk dalam penjajahan Prancis, yaitu masa pendudukan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels (Dorléons, 2006: 307). Kekalahan Belanda tersebut menjadi penyemangat bagi penduduk Indonesia terutama yang tinggal di Jawa, hal ini dibuktikan dengan munculnya naskah Serat Napoleon Bonaparte4 yang berisi
5
kekaguman masyarakat Jawa akan kehebatan Napoleon dalam menguasai Eropa termasuk Belanda (Marsono, 2000: 2). Naskah serat tersebut masih tersimpan di beberapa perpustakaan dan museum, di antaranya di Perpustakaan Kraton Kasultanan Yogyakarta, Perpustakaan Pura Pakualaman, Perpustakaan Mangkunegaran, Perpustakaan Nasional Jakarta, dan University Bibliotheek Leiden di Belanda.
Kerja sama antara Indonesia dengan Prancis tidak hanya dalam bidang perdagangan dan politik saja tetapi juga dalam bidang-bidang yang lain, seperti bahasa dan budaya. Pada awal abad ke-19 ilmuwan Prancis mulai tertarik dengan bahasa Melayu seperti Dulaurier yang ditandai dengan berdirinya semacam pusat studi bahasa Melayu di Paris pada 1844 dan diberi nama École des Langues Orientales Vivants. Abbé P.Fauvre menulis Kamus Melayu-Prancis dan Kamus Prancis-Melayu (1875-1880) dan Tugault juga menulis Kamus Bahasa Melayu-Prancis (1898) (Teeuw, 1961: 19-20). Dalam bidang budaya berupa kunjungan seniman Indonesia seperti diundangnya Raden Saleh ke Paris oleh Raja Prancis Louis Philippe d’Orléons (1845-1848). Di Paris, Raden Saleh memperkenalkan dunia timur lewat lukisan-lukisannya yang pada saat itu sedang digandrungi oleh orang-orang Eropa terutama di Prancis yang daya apresiasi seni masyarakatnya sangat tinggi.
Di samping itu, adanya orang Prancis yang tinggal di Batavia juga membawa pengaruh yang sangat berarti bagi perkembangan budaya di Indonesia meskipun jumlah mereka hanya sekitar 184 pada 1905. Mereka memperkenalkan gaya hidup orang Prancis khususnya gaya hidup masyarakat Paris ke Batavia.
6
Mereka mendirikan hotel, salon rambut, toko barang mewah, mode, dan teater. Pada masa itu perempuan Eropa yang tinggal di Indonesia ada yang tidak menyukai pakaian ala Indonesia yang berupa sarung dan kebaya. Hal ini membuka peluang bagi orang Prancis terutama pedagangnya untuk memasarkan pakaian-pakaian mode Paris. Selain itu mereka juga bergerak di dunia hiburan berupa pementasan teater yang berupa komedi dan opera. Tarian balet juga diperkenalkan terutama kepada putri-putri dari golongan borjuis (Lombard, 2008: 81-83).
Kerja sama dalam berbagai bidang antarnegara tentu dapat membuat masuknya istilah-istilah suatu bahasa, terlebih bila istilah tersebut tidak ditemukan atau tidak ada dalam suatu bahasa tertentu dan juga untuk melengkapi kata yang sudah ada. Istilah-istilah dari bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama kata serapan yang berupa kata-kata atau istilah asing yang masuk dan diserap ke dalam bahasa Indonesia yang sudah disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia atau masih sesuai seperti aslinya (Kridalaksana, 2001: 90). Senada dengan yang dinyatakan oleh Haspelmath (2009: 36) bahwa:
Loanword (or lexical borrowing) is here defined as a word that at the same point in the history of a language entered its lexicon as a result of borrowing (or transfer, or copying).
Jadi kosakata bahasa asing yang masuk dan menyesuaikan dengan sistem bahasa maupun konteks dalam bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai kata serapan walaupun bentuk kebahasaannya masih sama dengan bahasa aslinya seperti ortografinya. Bahasa asing dalam bahasa Indonesia menurut Kridalaksana (2001: 20) merupakan bahasa yang secara sosiokultural tidak dianggap bahasa sendiri dan penguasaannya seringkali dipelajari secara formal. Sama halnya dengan yang
7
dipaparkan oleh Samuel (2008: 78) bahwa bahasa asing merupakan semua bahasa di luar bahasa Indonesia kecuali bahasa daerah termasuk bahasa Melayu, baik yang digunakan di Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Jadi, kosakata ataupun istilah yang masuk ke Indonesia yang bukan dari bahasa daerah dapat dikatakan sebagai istilah atau kosakata bahasa asing.
Dalam perkembangannya, istilah asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia sedikit demi sedikit mulai mewarnai kosakata bahasa Indonesia, terlebih bangsa Indonesia dapat dikatakan sebagai bangsa yang “terbuka” dalam arti “tidak sulit” menerima pengaruh dari luar. Terlebih lagi bila istilah-istilah tersebut tidak ada dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Penguasaan bahasa asing oleh orang Indonesia menjadikan istilah yang berasal dari luar Indonesia dianggap sebagai sesuatu yang lumrah atau wajar digunakan bersamaan dengan bahasa Indonesia baik dalam komunikasi lisan maupun tulis. Struktur dan karakteristik bahasa-bahasa asing tersebut berbeda dengan bahasa Indonesia, sehingga dalam proses masuknya atau penyerapan kosakata asing tersebut tentu saja mengalami adaptasi atau penyesuaian dengan bahasa yang menyerapnya dalam hal ini bahasa Indonesia. Proses penyerapan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia harus memenuhi kaidah yang terdapat dalam Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing serta Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Dalam proses penyerapannya timbul beberapa masalah yang disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan dari masing-masing bahasa dan tidak semua unsur yang diserap itu utuh seperti bahasa aslinya. Perbedaan antara bunyi atau pelafalan serta ejaan atau tulisan dalam bahasa Prancis, menimbulkan
8
permasalahan ketika kata tersebut diserap dalam bahasa Indonesia yang struktur katanya tidak berbeda antara bunyi dan bentuknya. Perbedaan-perbedaan ini menyebabkan adanya ketidakkonsistenan di dalam pemakaiannya karena bahasa Prancis bukan merupakan bahasa asing yang banyak diserap kosakatanya di dalam bahasa Indonesia. Kedudukan bahasa Prancis di dalam bahasa Indonesia tidak seperti bahasa Arab, Belanda, dan Inggris. Meskipun demikian, ada kecenderungan peningkatan pemakaian kosakata ini di dalam ranah tertentu seperti bidang yang menjadikan negara Prancis sebagai kiblat dunia yaitu kuliner dan mode.
Dalam dunia kuliner, negara Prancis merupakan salah satu kiblat dunia baik dalam hal pengolahan maupun penyajiannya. Bagi masyarakat Prancis, la culture gastronomique ‘budaya gastronomi” yang diwujudkan dalam jamuan makan merupakan salah satu tradisi atau kekhasan budaya yang mengakar dan penting. Jamuan makan dijadikan sebagai ritual untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan individu maupun kelompok individu (Menegaux, 2010). Sudah menjadi budaya masyarakat Prancis bahwa “makan” bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan untuk mempertahankan hidup atau mengisi perut saja tapi makan juga mempunyai nilai-nilai tertentu. Makanan yang dihidangkan bukan hanya sekedar siap untuk disantap tetapi juga memperhatikan cita rasa, nutrisi, dan juga tata cara penyajiannya, sehingga diharapkan makanan yang dihidangkan dapat “dinikmati” dengan nikmat serta menggugah selera.
Berawal dari budaya seperti itu muncul ahli-ahli masak hingga chef yang kemudian berkembang menjadi sebuah usaha yang bergerak di bidang kuliner
9
seperti rumah makan atau restoran. Di samping itu lembaga pendidikan formal dan informal bermunculan serta menghasilkan banyak chef handal yang datang dari penjuru dunia sehingga menjadikan Prancis sebagai salah satu kiblat kuliner dunia. Sekolah-sekolah seperti L’école de la cuisine: Alain Ducasse, le Cordon Bleu Paris, La Varenne, École Supérieure de Cuisine Française, dan Institut Paul Bocuse merupakan tempat berguru chef-chef termuka tersebut.
Di Indonesia istilah dalam ranah kuliner ini mulai banyak diserap terutama sejak dibukanya akses pariwisata, meskipun sebelumnya juga sudah ada istilah kuliner yang masuk karena adanya kontak dengan bangsa Eropa. Namun, intensitasnya masih belum signifikan. Bidang pariwisata yang terutama berhubungan dengan bidang restoran ini membawa pengaruh sangat signifikan dalam perkembangan perkulineran di Indonesia. Istilah bidang kuliner masuk seiring dengan kebutuhan akan perkulineran yang berstandar internasional baik dalam mutu, menu makanan, pengolahan, penyajian, dan juga juru masaknya.
Restoran-restoran baru baik lokal maupun internasional bermunculan terutama di kota besar sehingga bisnis yang berhubungan dengan dunia kuliner menjadi sebuah bisnis yang sangat menjanjikan. Dunia pariwisata di Indonesia juga menerima imbas dari perkembangan kuliner ini dengan munculnya istilah wisata kuliner yang banyak mengangkat ikon-ikon kuliner khas sebuah daerah sehingga menjadi aset daerah dan tujuan destinasi wisata.
Perkembangan media pertelevisian dan juga internet telah menjadikan ranah kuliner ini semakin populer dan digemari. Hampir semua televisi di Indonesia mempunyai siaran yang berhubungan dengan kuliner, baik yang
10
berhubungan dengan cara memasak, wisata kuliner hingga lomba kuliner seperti acara Master Chef Indonesia dan Master Chef Junior. Dari siaran di televisi tersebut ranah kuliner di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat signifikan dengan munculnya chef-chef selebritis, chef-chef baru kontestan lomba kuliner, dan tentu saja dikenalnya beberapa istilah yang dekat dengan bidang kuliner ini di kalangan masyarakat awam.
Dalam bidang mode, Prancis terutama kota Paris terkenal sebagai salah satu kiblat mode dunia selain kota London, New York, Milan, dan Tokyo. Banyak rumah mode dan desainer mode ternama dunia yang muncul di kota ini seperti Chanel, Louis Vuitton, Pierre Cardin, dan Yves Saint Laurent. Di samping itu, lembaga pendidikan formal dan informal yang bergelut dalam dunia ini juga menjadi tempat belajar peminat mode dari seluruh dunia. Sekolah-sekolah seperti École supérieure des art et technique de la mode (Esmod), Institut français de la mode, dan École de la chambre syndicale de la couture parisienne merupakan tempat berguru para desainer-desainer tersebut.
Julukan Paris van Java untuk kota Bandung juga tidak berlebihan untuk menandakan bahwa kota Paris merupakan sebuah kiblat mode dunia dan kota Bandung sebagai pusat mode Indonesia. Dunia mode di Indonesia juga mengalami perkembangan yang cukup signifikan dengan munculnya distro, factory outlet, maupun butik-butik terutama di kota-kota besar di Indonesia. Di samping itu berbagai festival mode juga rutin diadakan seperti Jakarta Fashion Week, Jember Fashion Carnaval, dan Yogyakarta Fashion Week sebagai bentuk kreativitas dan eksistensi dunia mode Indonesia. Festival-festival tersebut meniru
11
ajang festival mode internasional yang menjadi tradisi tahunan seperti Paris Fashion Week serta rangkaiannya yaitu di London, New York, dan Milan.
Istilah dalam ranah mode ini mulai diserap oleh bahasa Indonesia terutama setelah masuknya orang Eropa ke Indonesia. Keberadaan orang-orang Eropa ini tentu saja membawa budaya seperti gaya hidup Eropa ke Indonesia termasuk bidang mode ini. Mode dalam hal ini tidak hanya seputar pakaian saja tapi juga segala hal yang berhubungan dengan urusan penampilan seseorang baik dari pakaian termasuk model atau potongan pakaian, bahan yang digunakan, asesoris ataupun perhiasan yang dikenakan, model rambut, hingga riasan wajah.
Kata-kata seperti butik, mode, chef, gala, filet5 merupakan kata-kata yang sering ditemukan di dalam bahasa Indonesia baik dalam media cetak maupun dalam pembicaraan sehari-hari yang berhubungan dengan ranah kuliner dan mode. Kata-kata tersebut merupakan kosakata asing yang dipinjam dan diserap dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia. Kosakata yang diserap sudah mengalami penyesuaian dengan sistem yang ada di dalam bahasa Indonesia terutama secara fonetis yang meliputi pelafalan dan ortografinya. Penyesuaian ini menjadikan kata-kata tersebut hilang keasingannya dan menjadi seperti lazimnya kata-kata dalam bahasa Indonesia. Meskipun demikian, masih ditemui kata-kata yang dipinjam tetapi belum diserap secara ortografi namun lafalnya seringkali mengalami penyesuaian karena perbedaan sistem fonologi. Perbedaan sistem
5 Berdasarkan KBBI (2012): Butik bermakna toko pakaian ekslusif yang menjual pakaian modern,
terutama untuk wanita, yang sesuai dengan mode mutakhir dengan segala kelengkapannya. Mode bermakna ragam (cara, bentuk) yang terbaru pada suatu waktu tertentu (tentang pakaian, potongan rambut, corak hiasan, dsb). Chef bermakna juru masak. Gala bermakna pertama atau perdana (tentang pertunjukan film, drama, dst). Filet bermakna potongan tipis daging (ikan) yang tidak bertulang.
12
fonologi ini yang menimbulkan ketidakkonsistenan dalam pemakaian kata pinjaman dari bahasa Prancis.
Perubahan atau penyesuaian tersebut terjadi juga dalam tataran semantis. Makna asal kata tersebut berubah ketika kata tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kata gala dalam bahasa Prancis berasal dari kata gala yang mempunyai makna pesta yang besar (resmi). Dalam bahasa Indonesia kata gala juga bermakna 1. pesta atau jamuan resmi dan 2. pertama, perdana (pertunjukan film, drama). Makna gala dari bahasa Prancis menjadi lebih luas dalam bahasa Indonesia dan tidak hanya bermakna pesta atau jamuan makan yang resmi saja tapi meluas menjadi acara pertunjukan atau penayangan perdana sebuah film atau drama.
Selain perubahan-perubahan yang terjadi dalam kata serapan, status kata serapan bahasa Prancis ini di dalam bahasa Indonesia apakah masih berupa interferensi atau sudah berintegrasi dalam bahasa Indonesia. Istilah interferensi dekat dengan integrasi, namun di dalam masyarakat integrasi dianggap sebagai gejala yang wajar karena dianggap sudah menyatu dengan masyarakat (Hadi, 2003: 31 dan Suhardi, dkk, 1982: 14). Untuk menentukan sebuah kata serapan berstatus interferensi atau integrasi bukan hal yang mudah karena antara interferensi dan integrasi hampir sama. Status kata berupa integrasi ini dianggap wajar oleh masyarakat penutur terutama bagi penutur asing bahasa Prancis seperti halnya penutur Indonesia. Penutur Indonesia cenderung mengintegrasikan kosakata yang berasal dari bahasa asing terutama bagi yang awam, akan tetapi tidak bagi yang menguasai bahasa tersebut seperti kata carrefour ‘persimpangan jalan’ seharusnya diucapkan kaRfuR tetapi banyak penutur Indonesia
13
mengucapkan kerfur atau [kerfɔr]. Hal ini mungkin karena banyak dari orang Indonesia tidak tahu kalau kata carrefour berasal dari bahasa Prancis dan tidak melafalkan kata tersebut dengan benar, terlebih lagi carre dalam kata carrefour dianggap sama dengan care dalam bahasa Inggris yang dilafalkan keR. Kata four juga dianggap sama dengan kata four dalam bahasa Inggris sehingga dilafalkan [fɔr]. Pemahaman yang kurang benar dan kesalahan pelafalan ini memunculkan ketidakkonsistenan di dalam pelafalan kata pinjaman dari bahasa Prancis yang masuk ke dalam bahasa Indonesia.
Kesalahan dalam pelafalan ini merupakan hal yang wajar terjadi karena kenyataannya penguasaan bahasa Prancis oleh orang Indonesia masih terbatas pada golongan tertentu saja di samping itu adanya perbedaan sistem fonologi bahasa Indonesia dan bahasa Prancis. Penyebaran bahasa Prancis di Indonesia tidak seperti bahasa asing lainnya seperti bahasa Inggris dan bahasa Arab. Bahasa Inggris merupakan bahasa asing yang wajib dipelajari oleh pelajar di Indonesia dan menjadi salah satu mata pelajaran yang diujiankan secara nasional pada tingkat sekolah menengah pertama6 dan atas7. Bahasa Arab wajib dipelajari juga di sekolah yang berhubungan dengan agama Islam seperti di pesantren dan sekolah dasar, menengah, dan atas yang dikelola oleh Departemen Agama. Pada pendidikan formal bahasa Prancis seperti di SMA masih merupakan bahasa asing
6
Berdasarkan Kurikulum 2013, Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2013, bahasa Inggris merupakan salah satu mata pelajaran wajib kelompok A, yaitu kelompok mata pelajaran yang kontennya dikembangkan oleh pusat dengan alokasi waktu 4 jam per minggu.
7 Berdasarkan Kurikulum 2013, Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2013, bahasa Inggris merupakan salah satu mata pelajaran wajib kelompok A yaitu yang memberi orientasi kompetensi lebih kepada aspek kognitif dan afektif dengan alokasi 2 jam pelajaran per minggu. Untuk kelompok peminatan bahasa, bahasa Inggris diberikan 3-4 jam pelajaran per minggu.
14
lainnya yang masuk dalam kategori peminatan bahasa. Dengan demikian, penguasaan bahasa Ingrris dan Arab oleh orang Indonesia jauh lebih besar secara kualitas dan kuantitas dibandingkan dengan penguasaan bahasa Prancis.
Di dalam ranah kuliner dan mode pemakaian kata serapan dari bahasa Prancis ini cenderung dipertahankan terutama dengan alasan kebutuhan akan istilah. Meskipun demikian, istilah yang sama kadangkala juga dapat ditemukan di dalam bahasa Indonesia, kata serapan tersebut tetap dipertahankan pemakaiannya dengan berbagai alasan lainnya seperti gengsi. Memakai bahasa asing dalam masyarakat Indonesia identik dengan lifestyle sehingga ada kecenderungan untuk tetap mempertahankan keasingannya dengan membuat atau mempertahankan kelas sosial tertentu (Bourdieu, 1979).
1.2. Perumusan Masalah
Dalam perkembangannya, kata serapan dari bahasa Prancis ini ikut mewarnai khasanah kosakata bahasa Indonesia terutama untuk mengisi kekosongan istilah atau ketiadaan istilah semakna dalam bahasa Indonesia pada bidang kuliner dan mode. Secara historis, kata serapan dari bahasa Prancis ini mulai diserap ke dalam bahasa Indonesia sejak masa kolonial di Indonesia hingga saat ini dan mengalami perkembangan yang signifikan semenjak adanya kontak antara bangsa Indonesia dan bangsa Barat terutama Prancis. Seperti halnya kata serapan secara umum, kata serapan dari bahasa Prancis ini juga di dalam proses penyerapannya terjadi penyesuaian yang berupa perubahan-perubahan baik secara fonologi maupun secara semantik. Akan tetapi, ada ketidakkonsistenan di dalam
15
penyesuaiannya sehingga menimbulkan perbedaan pada pemakaian kata serapan ini di dalam bahasa Indonesia terutama dalam ranah kuliner dan mode.
Kedua bidang ini merupakan bidang yang dapat dikatakan dekat dengan kalangan tertentu sehingga pemakaian kata serapan ini berkembang di kalangan atau kelas sosial tertentu pula karena tidak semua kalangan memahami serta menggunakan kata serapan dari bahasa Prancis ini. Kalangan pemakai kata serapan tentu saja mempunyai alasan tertentu untuk tetap mempertahankan dan bahkan memperkaya kata serapan ini meskipun terkadang padanan untuk kata serapan ini ada di dalam bahasa Indonesia.
Permasalahan ketidakkonsistenan pemakaian kata serapan bahasa Prancis dalam ranah kuliner dan mode serta perkembangan pemakaian kata serapan tersebut dalam masyarakat Indonesia Indonesia merupakan hal yang menarik untuk diteliti lebih mendalam. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan permasalahan tersebut antara lain:
1. bagaimana proses penyerapan kosakata dari bahasa Prancis di dalam ranah kuliner dan mode ini secara historis masuk ke dalam bahasa Indonesia? 2. mengapa terjadi penyesuaian secara fonologis dan ortografis kata serapan
yang diserap dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia?
3. bagaimana makna kata serapan yang diserap dari bahasa Prancis dalam ranah kuliner dan mode, apakah terjadi penyesuaian makna atau tidak. Mengapa terjadi penyesuaian dan faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi perubahan dan pergeseran makna kata serapan itu serta apa konsekuensi dari perubahan dan pergeseran tersebut?
16
4. bagaimana status dan sifat kata serapan dari bahasa Prancis ini di dalam bahasa Indonesia apakah masih berupa kata pinjaman atau benar-benar merupakan kata serapan serta hal-hal apa sajakah yang mempengaruhinya. 5. bagaimana fungsi dan alasan pemakaian kata serapan tersebut dan mengapa secara kultural kata serapan dari bahasa Prancis dalam ranah kuliner dan mode dipertahankan dan digunakan oleh kalangan tertentu bahkan cenderung untuk memperkayanya dan apa yang menyebabkannya?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian tentang kata serapan dari bahasa Prancis dalam bahasa Indonesia dalam perkembangan ranah kuliner dan mode di Indonesia bertujuan untuk mengetahui kata serapan bahasa Prancis dalam ranah kuliner dan mode di Indonesia. Adapun yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah proses penyerapannya, perubahan atau penyesuaian kata serapan bahasa Prancis pada ranah kuliner dan mode dalam bahasa Indonesia terutama secara fonologis dan semantis beserta faktor penyebab dan konsekuensinya, sifat kata serapan serta fungsi dan kedudukannya dalam bahasa Indonesia, dan alasan pemakaian kata serapan tersebut di dalam masyarakat Indonesia sehingga dapat ditemukan ketidakkonsistenan di dalam pemakaiannya.
Penelitian tentang kata serapan dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia ini diharapkan dapat memperoleh dua manfaat, yaitu manfaat secara teoretis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat membawa kebaruan dalam teori yang berhubungan dengan penyerapan dari bahasa asing ke dalam
17
bahasa Indonesia terutama dalam bidang etimologi atau ilmu tentang asal-usul kata serta hubungannya dengan fenomena sosial budaya di Indonesia. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang penting bagi pemerhati bahasa Indonesia terutama pengajar dan pembelajarnya, serta bidang sosial dan budaya Indonesia.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Sehubungan dengan beberapa permasalahan yang telah dipaparkan maka disertasi ini membatasi lingkup penelitiannya pada kata serapan dan istilah dari bahasa Prancis yang masuk ke dalam bahasa Indonesia pada ranah kuliner dan mode. Istilah dan kata serapan tersebut berada dalam tataran leksikal yang diambil dari kamus kuliner dan mode yang terbit dan beredar di Indonesia maupun istilah-istilah yang digunakan oleh para praktisi yang terlibat langsung dalam kedua ranah tersebut. Terkait tataran leksikal, permasalahan yang dibahas meliputi kajian fonologi dan semantik.
Untuk permasalahan yang berhubungan dengan fungsi dan pemakaian kata serapan, penelitian ini memfokuskan pada pemakaian dan posisi kata serapan dari bahasa Prancis tersebut yang ada di media massa. Media massa yang digunakan dalam penelitian ini adalah majalah Femina yang terbit pada tahun 2012. Majalah Femina ini dipilih karena majalah ini menurut beberapa editor majalah gaya hidup merupakan majalah yang sangat Indonesia baik dalam style maupun ideologinya sehingga majalah ini mengutamakan pemakaian bahasa Indonesia termasuk dalam pilihan katanya.
18
1.5. Tinjauan Pustaka
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012: 1584-1617) di bagian kata dan ungkapan asing, bahasa sumber atau istilah bahasa asing yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia antara lain berasal dari bahasa Sansekerta, Inggris, Belanda, Arab, Cina, Prancis, dan Portugis. Demikian pula halnya Baried (2009: 3) dan Chamamah-Soeratno (1994: 5) menyatakan bahwa bahasa Indonesia dipengaruhi oleh bahasa asing antara lain bahasa Sanskerta, Arab, Persi, Tamil, Cina, Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang. Dengan demikian hubungan bahasa Indonesia dengan bahasa asing sangat erat karena bahasa Indonesia banyak menyerap unsur asing. Penyerapan unsur asing tersebut akibat dari adanya kontak antara bangsa Indonesia dengan bangsa asing terutama yang pernah berhubungan langsung dengan bangsa Indonesia baik dalam bidang politik maupun kebudayaan (Eddy, 1989: 11). Di samping itu juga menurut Peteda dan Pulubuhu (1987: 13) unsur serapan tersebut masuk ke dalam bahasa Indonesia karena berhubungan dengan bidang yang diminati oleh penutur bahasa Indonesia, misalnya kosakata bahasa Belanda dan Inggris banyak berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sedangkan kosakata bahasa Arab banyak berhubungan dengan agama.
Sehubungan dengan kata serapan dari bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia sudah ada beberapa penelitian yang berhubungan dengan kata serapan seperti dari bahasa Arab, bahasa-bahasa Eropa, maupun bahasa asing lainnya secara umum. Penelitian yang berhubungan dengan kata serapan dari bahasa Arab antara lain pernah diteliti oleh Chamamah-Soeratno (1994), Baried
19
(2009), dan Hadi (2003). Chamamah-Soeratno dan Baried lebih menekankan pada pengaruh leksikal, Chamamah-Soeratno menyatakan bahwa pengaruh bahasa Arab yang paling banyak adalah pada kata dan istilah sedangkan Baried menyatakan unsur-unsur Arab yang paling berpengaruh adalah kata benda. Dari kedua penelitian tersebut Hadi memaparkan secara lebih detail kata serapan dari bahasa Arab dibandingkan dengan dua penelitian sebelumnya dengan menggunakan teori linguistik yang lebih memadai. Dalam penelitian tersebut Hadi memaparkan pengaruh bahasa Arab terhadap bahasa Indonesia disebabkan adanya kontak bahasa baik secara langsung maupun tidak langsung yang menimbulkan adanya perubahan-perubahan di dalam proses penyerapannya seperti perubahan fonologis, morfologis, dan semantis.
Bahasa Cina juga ikut memberikan sumbangan kepada perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia berdasarkan penelitian Zi (1987). Menurut Zi kata serapan dari bahasa Cina yang masuk ke Indonesia berasal dari dialek Fujian Selatan terdapat 218 kata atau sekitar 35,3% yang masuk ke dalam bahasa Indonesia, 24 kata atau 11% merupakan kata dalam dialek Jakarta, dan 117 kata atau 53,7% merupakan dialek Cina perantauan. Kata serapan dari Cina ini terutama dalam ranah makanan, benda sehari-hari, nama festival, kata ganti orang, hitungan dan ukuran, nama bangunan, nama permainan serta peramalan, kata yang berhubungan dengan status dan fungsinya, nama tempat, dan nama perahu atau bagian dari kapal.
Penelitian yang berhubungan dengan kata serapan dari bahasa asing lainnya secara umum antara lain telah dilakukan oleh Eddy ( 1989), Pateda dan
20
Pulubuhu (1987), serta Samuel (2008). Eddy dalam tulisannya lebih memfokuskan pada pada kesejarahan dan perkembangan kata serapan asing itu dalam bahasa Indonesia. Latar belakang masuknya kata serapan, pemakaian kata serapan terutama di media cetak di Indonesia serta sikap atau tindakan di dalam menerima kata serapan asing ini menjadi fokus pembahasannya. Sementara itu Pateda dan Pulubulu lebih menekankan pada pengajaran bahasa Indonesia yang berhubungan dengan unsur serapan baik berupa kata serapan maupun imbuhan serapannya. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian Samuel memfokuskan pada proses pemodernan kosakata bahasa Indonesia khususnya di bidang peristilahan. Dalam penelitiannya Samuel mengungkapkan upaya-upaya yang dilakukan untuk memperkaya khazanah istilah bahasa Indonesia sepanjang abad XX oleh instansi-instansi pemerintah baik pra maupun pasca-kemerdekaan. Metode yang dilakukan Samuel adalah dengan pendekatan historik, melihat fakta sejarah perkembangan bahasa Indonesia serta proses masuknya istilah-istilah asing ke dalam bahasa Indonesia. Menurut Samuel pemodernan kosakata bahasa Melayu (bahasa Indonesia) lewat aliran kosakata asing merupakan fenomena yang sebenarnya biasa. Sementara itu, yang tidak biasa adalah berulang-ulangnya fenomena ini, skala, dan kaitannya dengan perubahan peradaban yang menyeluruh.
Kata serapan asing yang berasal dari bahasa Barat, dalam hal ini bahasa-bahasa Eropa, juga mempengaruhi khazanah bahasa-bahasa Indonesia telah diteliti antara lain oleh Grijn, dkk (1983), Hassall (2010), Hendwiyani (2010), dan Kustiyanti (2014). Penelitian yang dilakukan oleh Grijn, dkk (Gogolewski & Kopec, 1979)
21
ini berhubungan dengan kajian etimologi bahasa Indonesia. Mereka membuat daftar kata serapan yang berasal dari bahasa-bahasa di Eropa. Sementara itu, menurut Hassall, kosakata Barat ini terutama digunakan orang Indonesia sebagai kode tuturan elite. Namun, berdasarkan penelitiannya kosakata Barat digunakan bukan hanya karena gengsi semata, tetapi juga karena faktor semantik. Faktor alasan nuansa makna penutur tidak merasakan adanya persamaan makna antara kata pinjaman Barat dan sinonimnya dalam bahasa Indonesia atau non-Barat. Faktor motivasi psikolinguistik juga turut memicu penggunaan kata serapan dari Barat ini untuk memproduksi perbedaan semantik yang didapatkan dari bahasa Barat tersebut. Di samping kebutuhan estetik-emosional akan sinonim, juga dijadikan alasan untuk menggunakan kata serapan Barat, karena faktor kegemaran sebagai pemakai bahasa terhadap berbagai variasi cara untuk mengekspresikan diri. Penelitian yang dilakukan Hassall ini berdasarkan data lapangan yang berupa kuesioner dengan respondennya para mahasiswa dan berdasarkan berbagai tulisan baik dalam media cetak maupun elektronik serta baik lisan maupun tulisan. Hendwiyani dan Kustiyanti membahas perubahan kata serapan dari bahasa Belanda yang masuk ke dalam bahasa Indonesia. Hendwiyani membahas penyesuaian ejaan dan fonologi dalam ranah hukum sedangkan Kustiyanti membahasa penyesuaian fonologis dalam ranah kuliner.
Bahasa Prancis merupakan salah satu bahasa Barat yang juga merupakan salah satu bahasa sumber dalam bahasa Indonesia meskipun secara umum kata yang diserap tidak sebanyak bahasa Arab, Inggris, maupun Belanda. Penelitian yang dilakukan oleh Cholsy (2011) terhadap tiga kamus kata serapan
22
membuktikan bahwa jumlah persentase kata serapan dari bahasa Prancis yang diserap langsung ke dalam bahasa Indonesia jumlahnya lebih sedikit daripada yang diserap dari bahasa Inggris maupun bahasa Belanda. Meskipun demikian antara kamus satu dengan kamus lainnya terdapat perbedaan di dalam penggolongan asal bahasanya. Dasar penulisan kamus sangat mempengaruhi penyusunnya karena berhubungan dengan sudut pandang penyusun, latar belakang penyusun serta landasan penyusunan kamus. Di samping itu fakta bilingualisme yang ada di Indonesia juga berperan dalam penentuan asal bahasa yang diserap.
Dalam Kamus Kata Serapan yang ditulis oleh Martinus (2008) kata-kata serapan dari berbagai bahasa yang diserap dalam bahasa Indonesia diiventaris dan dicari asal kata tersebut. Secara umum kamus ini tidak berbeda dengan kamus-kamus mono bahasa lainnya. Dalam kamus-kamus ini dicantumkan asal bahasa beserta kata asalnya dan juga arti kata tersebut termasuk kata yang diserap dari bahasa Prancis. Kata serapan yang asalnya berhubungan dengan bahasa Prancis di dalam kamus ini berjumlah 32%. Sementara hanya 2% yang diserap langsung dari bahasa Prancis, 66,2% diserap dari bahasa Inggris, 31,7% diserap dari bahasa Belanda dan 0,1% diserap dari bahasa lainnya seperti Latin dan Italia. Sebagian besar kata serapan bahasa Prancis dalam kamus ini diserap dari bahasa Inggris karena selain referensi dalam kamus ini adalah The Concise Oxford Dictionary of Curent English juga pengaruh bahasa Inggris di Indonesia sangat kuat.
Jones di dalam Loan-Words: In Indonesian and Malay (2008) berbeda dengan Martinus dalam menyatakan sumber bahasa entri yang diserap. Dari 3217
23
entri yang diserap yang berhubungan dengan bahasa Prancis hanya 0,5% yang diserap langsung dari bahasa Prancis, 92% dari bahasa Belanda, 7,4% dari bahasa Inggris, dan 0,1% dari bahasa lainnya. Begitu pula halnya dengan Badudu (2009) dalam Kamus: Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia yang berbeda juga dalam menyatakan sumber bahasa entrinya. Dari 708 entri yang berhubungan dengan bahasa Prancis sebanyak 73% diserap langsung dari bahasa Prancis. Ketiga kamus tersebut dalam mengkategorikan sumber bahasa tidaklah sama karena tidak ada satu entripun yang sama-sama dikategorikan berasal dari sumber yang sama. Bahkan ada entri yang sama dikategorikan sumber penyerapannya ke dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa yang berbeda, yaitu kata alienasi. Menurut Badudu kata alienasi diserap langsung dari bahasa Prancis, akan tetapi menurut Jones kata alienasi masuk ke dalam bahasa Indonesia melalui bahasa bahasa Belanda meskipun kata ini berasal dari bahasa Prancis. Demikian pula halnya dengan Martinus, kata alienasi berasal dari bahasa Prancis, akan tetapi masuk ke dalam bahasa Indonesia melalui bahasa Inggris.
Penelitian tentang kata serapan bahasa Prancis di dalam bahasa Indonesia juga pernah dilakukan oleh Saefullah (2009) dan Hardini dan Grange (2016). Penelitian Saefullah berjudul Kosa Kata Serapan Bahasa Prancis di Dalam Bahasa Indonesia berisi tentang adanya kontak dengan bangsa Prancis dalam komunikasi lisan sehingga menimbulkan penyesuaian ejaan dan pelafalan dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia. Di samping itu terjadi pergeseran dalam bidang semantik dan perubahan kelas kata yang diserap serta ranah kosakata yang banyak diserap ke dalam bahasa Indonesia. Penelitian Hardini dan
24
Grangé berjudul An Overview of Indonesian Loanwords from French berisi tentang masuknya kosakata dari bahasa Prancis yang sudah mengalami penyesuaian dengan sistem bahasa Indonesia baik secara fonologi maupun semantik yang diserap baik secara langsung maupun melalui bahasa asing lainnya yaitu bahasa Portugis, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris. Di dalam penelitian tersebut Hardini dan Grangé juga memberi masukan dalam bidang pengajaran bahasa Prancis sebagai bahasa asing di Indonesia karena kosakata yang diserap tersebut dapat membantu di dalam proses pembelajaran dengan memperhatikan secara cermat konteks budaya dengan makna kata yang diserap tersebut untuk menghindari adanya salah kaprah atau faux-amis.
Kontak bahasa Prancis di dunia internasional sudah dimulai sejak abad ke-15 pada awal masa kolonialisasi negara-negara Eropa di Afrika, Amerika, Selatan sampai timur Asia, dan wilayah Oceania (Stolz, 2008:1). Dari kontak bahasa tersebut, antara bahasa lokal dan bahasa Prancis muncul bahasa atau variasi bahasa yang baru seperti bahasa Creol, bilingualisme, maupun penyerapan kosakata, seperti halnya dalam bahasa Indonesia.
Penelitian mengenai kata serapan dari bahasa Prancis di Eropa antara lain diteliti oleh Morawski (1928), Doroszewski (1934), serta Gogolewski dan Kopec (1979). Penelitian Morawski yang berjudul Des Mots Français en Polonais: Voyelles Finales et ə Atone dan Doroszewski yang berjudul La Langue Française en Pologne meneliti kata serapan dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Polandia. Morawski meneliti penyesuaian secara fonologis kata serapan dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Polandia terutama yang berhubungan dengan pelafalan bunyi [ə],
25
sedangkan Doroszewski pembahasannya lebih mendalam dan luas. Doroszewski mengiventarisasi kata serapan serta ranah-tanahnya dan penyesuaian serta perubahan kata serapan tersebut secara fonetis, morfologis, dan semantis. Berbeda dengan kedua penelitian tersebut Gogolewski dan Kopec dalam penelitiannya yang berjudul Les Emprunts Français dans la Langue Polonaise des Émigrés Polonais du Nord de la France membahas pemakaian bahasa Prancis oleh kaum imigran yang berasal dari Polandia di sebelah utara Prancis. Dalam penelitian ini Gogolewski dan Kopec mengungkapkan adanya perbedaan penguasaan bahasa Prancis oleh kaum imigran dan keturunannya serta kata-kata yang diserap oleh imigran Polandia beserta perubahan dan penyesuaiannya secara fonologis.
Selain bahasa Polandia, bahasa Bulgaria dan bahasa Jerman juga mendapat pengaruh bahasa Prancis. Penelitian Vankov (1967) yang berjudul Les Éléments Français en Bulgare membahas sejarah masuknya kata serapan bahasa Prancis ke Bulgaria yang dimulai pada abad pertengahan. Di samping itu Vankov juga mengiventaris kata serapan bahasa Prancis yang masuk ke Bulgaria dan ranah-ranahnya serta penyesuaian kata serapan tersebut secara fonologis, morfologis, dan semantis. Laeufer (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Nasal Vowels in French Loanwords in German: The Effect of Linguistics Environment meneliti perbedaan pelafalan vokal nasal kata serapan dari bahasa Prancis yang diserap oleh bahasa Jerman. Perbedaan pelafalan tersebut dipengaruhi oleh faktor geografis, perbedaan register, dan strata sosial penuturnya.
Pengaruh bahasa Polandia dan Jerman secara tidak langsung ikut menyebarkan bahasa Prancis ke dalam bahasa Rusia seperti dalam penelitian
26
Breuillard dan Keruhel (1979) serta Martinowsky (1978). Penelitian Breuillard dan Keruhel berjudul L’identification des Emprunts Français dans le Russe Du Début du XIXe Siècle: Bilan d’une Recherche. Penelitian tersebut memaparkan adanya kontak antara Polandia dan Rusia dari abad 17 hingga awal pertengahan abad 18 serta hubungan antara Jerman dan Rusia di bagian kedua pertengahan abad 18. Pada era ini bahasa Prancis secara tidak langsung masuk ke dalam bahasa Rusia. Penelitian ini selain mengiventarisir kata serapan dari bahasa Prancis yang masuk melalui bahasa Polandia dan Jerman, Breuillard dan Keruhel juga meneliti ranah kata serapan dari bahasa Prancis ini. Pembahasan mengenai maknanya dibahas oleh Martinowsky dalam penelitiannya yang berjudul L’évolution Sémantique en Russe des Emprunts au Français et au Vocabulaire International Spécialisé: Recherche de Méthode. Penelitian Martinowsky ini membandingkan hubungan makna kata serapan dari bahasa Prancis yang masuk ke dalam bahasa Rusia dengan penanda-penanda linguistik dalam bahasa Rusia secara morfologis, dengan menggunakan pendekatan artikulasi ganda André Martinet.
Di Canada dan benua Amerika, penelitian tentang kata serapan dari bahasa Prancis diteliti oleh Tastevin (1919), Pentland (1982), serta Bakker dan Papen (2008). Dalam penelitiannya yang berjudul Note sur Quelques Mots Français Empruntés à la Langue Tupi du Brésil, au Galibi de la Guyanne, et à l’Aruac des Antilles, Tastevin masih sebatas mengumpulkan kata serapan dari bahasa Prancis yang diserap ke dalam bahasa Tupi di Brazil, bahasa Galibi di Guyanne, dan bahasa Aruac di Antilles. Kosakata bahasa Prancis yang diserap oleh ketiga
27
bahasa terutama berhubungan dengan kata benda seperti nama binatang, nama vegetasi, dan beberapa kata benda di luar binatang dan vegetasi. Penelitian kata serapan bahasa Prancis di benua Amerika lebih mendalam lagi dibandingkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pentland, berjudul French Loanwords in Cree. Penelitian Pentland ini memaparkan kosakata bahasa Prancis yang diserap ke dalam bahasa Cree di Canada sebagai bahasa yang paling banyak menyerap kosakata bahasa Prancis di Canada. Namun, Pentland berpendapat bahwa kosakata yang diserap dari bahasa Prancis ini terbagi dalam tiga dialek berdasarkan kronologi dan geografinya. Selain bahasa Cree, bahasa asli penduduk Amerika Utara yaitu bahasa Algonquin juga mendapat pengaruh bahasa Prancis seperti yang dipaparkan oleh Geary (1945) dalam penelitiannya yang berjudul Algonquin Nasaump and Napōpi: French Loanwords?. Dalam penelitian ini Geary memaparkan asal usul beberapa kata dalam bahasa Algonquin, seperti kata nasaump dan napōpi secara kronologis serta alasan penyerapannya. Pengaruh bahasa Prancis yang lebih luas lagi di wilayah tersebut meliputi semua bahasa asli Amerindian diteliti oleh Bakker dan Papen (2008) dalam penelitiannya yang berjudul French Influence on the Native Languages of Canada and Adjacent USA. Penelitian Bakker dan Papen ini membahas aspek historis kontak bahasa, penyebaran, variasi bahasa, tipologi dan sosiolinguistik serta faktor ekonomi bahasa dalam hubungannya dengan kata serapan bahasa Prancis di wilayah Amerindian dan Canada terutama wilayah Québec.
Di benua Afrika, di beberapa bekas jajahan Prancis, kedudukan bahasa Prancis berada pada posisi yang penting. Di wilayah tersebut terjadi bilingualisme
28
bahkan bahasa Prancis ada yang digunakan sebagai bahasa resmi ataupun sebagai bahasa lingua franca. Penelitian yang berhubungan dengan kata serapan dari bahasa Prancis di benua tersebut antara lain pernah diteliti oleh Feussi (2006), Nkulu (1986), dan Samarin (1989 dan 1986). Dalam disertasinya yang berjudul Une Construction du Français À Douala-Cameroun, Feussi meneliti situasi sosiolinguistik yang berhubungan dengan konstruksi identitas dan kedudukan bahasa Prancis di kota metropolitan Douala di negara Camerun. Pemakaian bahasa di Douala bersifat multilingual karena selain menggunakan bahasa lokal (bahasa Ghomala dan Ngomba) sebagai bahasa ibu, penduduk di negara tersebut juga menguasai dan menggunakan bahasa Inggris tepatnya pidgin english, bahasa Prancis, dan juga bahasa Spanyol. Sebagai bahasa resmi (selain bahasa Inggris) pemakaian bahasa Prancis di Douala juga mempresentasikan sebuah konstruksi identitas sosial karena bahasa Prancis digunakan pada waktu, situasi, dan konteks tertentu.
Seperti halnya Feussi, penelitian Samarin (1989) yang berjudul The Colonial Heritage of The Central African Republic: A Linguistic Perspective masih berkutat dengan multilingualisme di Afrika terutama Afrika Tengah sebagai warisan kolonial bangsa-bangsa Eropa. Penelitian ini menyempurnakan penelitian sebelumnya yang berjudul French and Sango in The Central African Republic (1986). Masuknya istilah-istilah asing seperti dari bahasa Prancis yang diserap oleh bahasa yang ada di negara-negara Afrika seperti di Zaire juga sudah diteliti oleh Nkulu (1986) yang berjudul French Loans and Innovative Items in The Kinship Field of Zaïrean Copperbelt Swahili. Nkulu meneliti penyerapan
29
istilah kekerabatan dari bahasa Prancis yang digunakan dalam bahasa Swahili di Zaire.
Asia terutama Vietnam banyak menyerap kosakata dari bahasa Prancis terutama pada masa kolonialisme Prancis di negara tersebut. Barker (1969) dalam penelitiannya yang berjudul The Phonological Adaptation of French Loanwords in Vietnamese membahas perubahan secara fonologis dan penyesuaian pelafalan kata serapan dari bahasa Prancis yang masuk ke dalam bahasa Vietnam karena perbedaan sistem fonemik kedua bahasa tersebut.
Dari penelitian-penelitian yang dipaparkan di atas, terdapat persamaan dengan penelitian ini karena objek penelitiannya membahas kata serapan yang masuk ke dalam bahasa Indonesia. Penelitian Baried, Chamamah-Soeratno, dan Hadi tentang kata serapan yang berasal dari bahasa Arab sedangkan Samuel tentang pemodernan kosakata asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia serta politik peristilahan. Kosakata asing dalam penelitian Samuel berasal dari berbagai bahasa dan bukan dari satu bahasa asing saja. Di samping itu penelitian Hassall dan Eddy juga lebih memfokuskan pada bahasa Barat, yaitu bahasa Inggris. Meskipun demikian, penelitian ini mempunyai perbedaan dengan penelitian sebelumnya karena penelitian ini memfokuskan pada kata serapan yang berasal dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia di dalam ranah tertentu yairu ranah kuliner dan mode. Di samping itu, penelitian ini juga membahas permasalahan proses penyerapan serta sifat kata serapannya secara lebih detail. Penelitian yang berhubungan dengan kata serapan yang diserap bahasa Indonesia dari bahasa Prancis belum banyak dilakukan. Meskipun sudah ada yang melakukannya seperti
30
Saefullah serta Hardini dan Grangé, mereka meneliti kata serapan maupun kosakata bahasa Prancis yang masuk ke dalam bahasa Indonesia secara umum dan lebih kepada pemanfaatannya bagi pengajaran bahasa Prancis di Indonesia . Di samping itu, kata serapan yang berasal dari bahasa Prancis yang masuk ke dalam bahasa Indonesia sejauh ini hanya sebatas pada iventarisasi terutama dalam bidang leksikografi dan belum pada tahapan penelitian yang lebih mendalam terutama yang berhubungan dengan sosial budaya masyarakat penggunanya.
1.6. Landasan Teori 1.6.1. Kontak Bahasa
Masuknya kosakata bahasa asing ke dalam suatu bahasa merupakan peristiwa yang wajar dan lazim terjadi karena menurut Baried (2009:3) tidak ada suatu bahasa yang bersih dari pengaruh bahasa asing dan tidak ada suatu bangsa yang mutlak terpisah dari bangsa lainnya. Pengaruh bahasa asing ini muncul karena adanya kontak bahasa yang terjadi antara penutur atau pemakai suatu bahasa dan penutur atau pemakai bahasa lainnya. Kontak bahasa ini merupakan salah satu aspek dari kontak budaya (Weinreich, 1968: 5). Dari adanya kontak budaya inilah terjadi interaksi dan komunikasi yang saling mempengaruhi dan berlanjut ke alat untuk berkomunikasi yaitu bahasa. Saling mempengaruhi dalam bahasa ini menimbulkan adanya pinjam-meminjam kosakata atau masuknya kosakata asing ke dalam suatu bahasa baik karena kebutuhan maupun karena tuntutan zaman (Meillet, 1982: 252).
31
Menurut Weinreich (1968: 56-61), Hadi (2003: 67-70) masuknya kosakata asing antara lain disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor makna, faktor sosial budaya, faktor kejarangan, dan faktor historis. Faktor makna dalam hal ini adalah adanya kebutuhan akan istilah atau kata semakna untuk sebuah referen tertentu yang tidak atau belum ada di dalam suatu bahasa tertentu. Untuk mengakomodir kebutuhan akan kata semakna itu, maka sebuah bahasa meminjam dan kemudian menyerap istilah dari bahasa asing lainnya. Faktor nuansa makna (Hassall, 2010: 142-143) juga berperan dalam masuknya kosakata asing tersebut karena kosakata yang diserap maknanya tidak dapat ditemui dalam bahasa yang menyerapnya. Di samping itu istilah asing lebih mudah untuk mencapai kesepakatan makna (Marcellino, 1993; Eddy, 1989:39-48) karena corak keinternasionalan istilah-istilah asing mempermudah kesepakatan makna daripada harus menterjemahkan istilah tersebut ke dalam bahasa Indonesia, terlebih dalam ranah-ranah tertentu.
Faktor sosial dan budaya juga berperan dalam masuknya kosakata asing ini terutama dalam hubungannya dengan pemakaian kosakata asing. Faktor pendorong pemakaian kosakata asing ini berhubungan dengan penutur suatu bahasa seperti motivasi penutur menggunakan kosakata asing. Kosakata asing digunakan terutama untuk alasan kebutuhan akan istilah, nuansa makna, atau hanya sekedar untuk alasan gaya hidup. Di samping itu, kosakata asing dan kata serapan itu menjadi lebih dominan digunakan karena adanya pertelingkahan budaya atau cultural incompatibility. Dalam hal ini muncul ketidakmungkinan
32
penolakan terhadap unsur budaya dari luar yang membawa kosakata asing untuk masuk dan diserap.
Faktor kejarangan pemakaian kosakata tertentu juga dapat mempengaruhi masuknya kosakata asing semakna walaupun frekuensi pemakaiannya dapat dikatakan kecil. Kosakata bahasa lokal yang dikenal lebih dulu jarang digunakan menjadi tidak stabil sehingga mudah dilupakan, dan akhirnya tergantikan dengan kata serapan (Weinrich, 1968: 92), seperti kata penatu atau ada juga yang menyebutnya binatu sudah jarang digunakan dan digantikan dengan istilah laundry dari bahasa Inggris. Faktor historis kontak bahasa seperti kolonialisasi dan imigrasi yang tidak bisa dihindari dari dominasi suatu bahasa terhadap bahasa yang lain.
Faktor-faktor tersebut juga dapat mempengaruhi masuknya kosakata serapan dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia. Kontak bahasa yang terjadi tidak terlepas dari kontak antara bangsa Indonesia dan bangsa Prancis. Kontak antara bangsa Indonesia dan bangsa Prancis sudah terjadi sejak masa kolonial Belanda di Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan kolonial Prancis di Indonesia meskipun hanya sebentar secara de facto (1808-1811).
Pengaruh bahasa Prancis di Indonesia tidak seluas bahasa Inggris dan Belanda karena kedekatan antara Indonesia dan Prancis tidak seintensif kedua bahasa tersebut dan hanya dalam bidang tertentu saja. Di mata dunia bangsa Prancis terkenal akan cita rasa seni yang tinggi baik itu seni murni maupun seni kontemporer dan di dalam berbagai bidang seperti busana maupun kuliner. Hal tersebut menjadikan Prancis sebagai kiblat dunia dan menjadikan Prancis sebagai
33
tempat belajar bidang-bidang tersebut. Selain bidang-bidang tersebut, bangsa Prancis juga terkenal dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tidak sedikit orang Indonesia yang menuntut ilmu ke Prancis dan menggunakan ilmu serta hasil teknologi Prancis. Dengan demikian, secara tidak langsung banyak istilah atau kosakata yang berhubungan dengan bidang-bidang tersebut terutama yang tidak terdapat dalam khazanah kosakata bahasa Indonesia diserap oleh bahasa Indonesia.
Dalam proses penyerapan tersebut terjadi penyesuaian karena adanya perbedaan sistem kebahasaan antara bahasa yang menyerap dengan bahasa yang diserap terutama pada tataran fonologi, morfologi, dan semantik (Weinreich, 1968). Proses masuknya kata serapan dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia pada tataran fonologi banyak terjadi proses penyesuaian karena adanya perbedaan baik bunyi vokal maupun konsonan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Prancis yang mempengaruhi penutur Indonesia dalam melafalkan bunyi bahasa Prancis, terutama jika bunyi tersebut tidak ada dalam sistem bunyi bahasa Indonesia. Di samping itu adanya perbedaan antara tulisan dan lafal dalam bahasa Prancis yang berbeda dengan sistem tulisan dan lafal dalam bahasa Indonesia. Kata croissant dalam bahasa Prancis dilafalkan [kRwasᾶ] namun sebagian orang Indonesia melafalkan kata tersebut menjadi [kroissan]. Jika ditinjau dari sistem fonologi bahasa Indonesia yang antara tulisan dan lafal sama maka kata croissant dilafalkan [croissan] namun bunyi [c] mengalami penyesuaian karena dianggap bahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris) sehingga lafal yang keluar adalah bunyi [c] menjadi [k]. Meskipun demikian tulisan /oi/ dalam bahasa Prancis yang
34
seharusnya dilafalkan [wa] tidak muncul karena di dalam sistem bahasa asing yang banyak dikuasai oleh orang Indonesia seperti bahasa Inggris tidak mengenal lafal seperti itu sehingga lafal oleh orang Indonesia mengikuti tulisannya dan menjadi [kroissan].
Tataran semantik juga mengalami penyesuaian, menurut Ullmann (1972: 193) makna merupakan elemen yang paling resisten terhadap perubahan. Makna tidak mudah untuk berubah jika dibandingkan dengan elemen linguistik lainnya. Berhubungan dengan kata serapan atau istilah asing yang masuk ke dalam suatu bahasa, seperti yang dipaparkan dalam kontak bahasa bahwa makna termasuk elemen yang dapat berubah ketika diserap ke dalam suatu bahasa karena ada penyesuaian akibat perbedaan sistem di kedua bahasa tersebut. Perbedaan sistem ini dapat dipicu oleh faktor linguistik maupun faktor di luar linguistik. Demikian pula halnya dengan kata serapan dan istilah dari bahasa Prancis dalam ranah kuliner dan mode di Indonesia ada yang mengalami perubahan makna.
Perubahan makna dapat terjadi karena kosakata sebuah bahasa selalu berkembang seiring dengan keberadaan masyarakat pemakai bahasa tersebut (Meillet, 1982: 230). Wujud dari perkembangannya ini adalah adanya perubahan dan pergeseran tersebut terlebih di dalam kata serapan asing. Faktor-faktor yang memicu adanya perubahan antara lain menurut Meillet (1982: 230-244 dan Ullmann, 1972: 193-195) adanya diskontinyu bahasa dari generasi ke generasi sehingga memungkinkan adanya salah persepsi dan tanggapan atas makna sebuah kosakata. Di samping itu, ada ketidakpastian makna karena ketidakakraban pemakaian bahasa juga dapat menimbulkan atau mengubah makna sebuah kata.
35
Kurangnya pemahaman atas makna dasar dari kosakata yang diserap juga dapat memicu perubahan makna ketika kosakata tersebut digunakan. Contoh dari fenomena tersebut adalah kata fransman. Kata tersebut dalam bahasa Belanda bermakna orang Prancis yang banyak digunakan pada masa kolonial Belanda di Indonesia terutama yang berhubungan dengan kuliner berubah menjadi kata prasman yang kemudian berkembang menjadi prasmanan seperti yang dikenal saat ini dengan makna yang berbeda yaitu cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja atau dikenal dengan istilah buffet dalam bahasa Prancis. Adanya polisemi atau banyak makna yang berada dalam gugus makna dan digunakan dalam berbagai konteks oleh penutur yang berbeda sehingga dapat menimbulkan salah kaprah. Sementara itu kesalahan yang terjadi karena kelaziman dibiarkan tanpa ada usaha perbaikan oleh pemakainya. Struktur kosakata yang bersifat terbuka juga dapat memicu terjadinya perubahan makna ini. Kosakata yang bersifat terbuka ini dipahami sebagai kosakata yang mudah berkembang dan maknanya dapat berubah dan bergeser. Semua ini tentu saja tidak lepas dari faktor penutur atau pengguna kata serapan atau istilah dari bahasa asing tersebut.
Penyebab perubahan dan pergeseran makna ini ditegaskan oleh Meillet dan Ullmann selain disebabkan oleh faktor linguistik dan sejarah, faktor sosial seperti perubahan lingkungan, dan faktor psikologis memegang peran yang sangat kuat karena sebagai pemakai atau penutur bahasa. Penutur bahasa yang lebih
36
banyak berperan karena penutur bahasa inilah yang menentukan perubahan makna sebuah kosakata.
Adapun konsekuensi dari perubahan dan pergeseran makna ini menurut Ullmann (1972: 227-235) adalah adanya rentang perubahan makna dan perubahan penilaian makna. Pada rentang perubahan makna terdapat pembatasan atau penyempitan makna dan perluasan makna. Penyempitan atau perluasan makna ini terjadi karena adanya kecenderungan untuk melakukan spesialisasi oleh sekelompok penutur sedangkan perluasan makna karena adanya upaya untuk membuat generalisasi makna dan ini merupakan kecenderungan dari masyarakat Indonesia secara umum. Pada perubahan penilaian ada perubahan arah penilaian yaitu secara peyoratif yang mengarah ke negatif dan amelioratif yang mengarah ke positif.
1.6.2. Interferensi
Fenonema masuknya kata asing menimbulkan penyimpangan-penyimpangan yang disebut dengan fenomena interferensi kebahasaan (Weinreich, 1968: 1). Fenomena interferensi kebahasaan ini dapat menjadi jalan kepada integrasi kebahasaan (Suhardi, dkk, 1982: 13) dengan memenuhi syarat tertentu seperti konteks, pemakaian, serta bentuk kebahasaannya. Meskipun demikian, fenomena interferensi ini hendaknya tidak digeneralisir sebagai sebuah fenomena yang negatif atau yang selalu mengarah kepada integrasi. Fenomena interferensi merupakan fenomena yang wajar dan terjadi karena adanya kontak dengan bahasa lain dan merupakan penampakan dari proses difusi dan akulturasi
37
budaya (Weinreich, 1963: 5). Interferensi menurut Weinreich terjadi karena adanya perubahan sistem suatu bahasa baik mengenai sistem fonologi, morfologi, maupun sistem lainnya (Chaer & Agustina, 1995: 161, Romaine, 1989: 52). Pengaruh bahasa lokal tidak dapat dihindari dengan masuknya kosakata asing sehingga di dalam proses penyerapannya terjadi perubahan-perubahan dalam sistem-sistem kebahasaannya atau dapat dikatakan adanya penyesuaian. Pelafalan kosakata bahasa Prancis oleh orang Indonesia mengalami fenomena interferensi karena adanya perbedaan sistem fonologi bahasa Indonesia dan bahasa Prancis, ada beberapa fonem bahasa Prancis yang tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia sehingga berpengaruh terhadap pelafalan kosakata bahasa Prancis oleh orang Indonesia. Konsekuensi dari perbedaan sistem tersebut menimbulkan lafal Prancis ala Indonesia seperti lafal kata rocher seharusnya [Rɔʃe] menjadi [rohe],
corvette seharusnya [kɔRvεt] menjadi [kɔrfet], dan culotte seharusnya [kylɔt]
menjadi [kulɔt].
Demikian pula halnya dengan kosakata bahasa Indonesia yang tidak bisa lepas dari pengaruh kosakata dari luar bahasa Indonesia sendiri, baik itu dari bahasa asing maupun bahasa daerah untuk memperkaya khazanah kosakata bahasa Indonesia. Kosakata tersebut merupakan kata pinjaman atau kata serapan atau loanword karena kata tersebut dipinjam dan diserap dari bahasa lain dan kemudian disesuaikan dengan kaidah bahasa sendiri (Kridalaksana, 2001: 90). Kosakata yang berasal dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia juga merupakan kata pinjaman atau loanword karena kata tersebut dipinjam dari bahasa Prancis dan kemudian disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia.
38
Kosakata asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia tersebut dan merupakan fenomena interferensi leksikal ini juga tidak selamanya bersifat interferensi tapi juga dapat berintegrasi dengan bahasa Indonesia. Hal senada ditegaskan oleh Mackey (1976: 310) bahwa interferensi sebuah tanda (leksikal) tidak lagi bersifat interferensi jika interferensi tersebut sudah menjadi bagian dari sebuah bahasa atau sudah berintegrasi dengan bahasa tersebut. Dengan demikian interferensi ini membuka jalan kepada integrasi kebahasaan (Suhardi, dkk, 1982: 13). Dalam jangka waktu tertentu dan penyesuaian dengan sistem dan kaidah kebahasaan bahasa Indonesia, kosakata serapan yang awalnya bersifat interferensi dapat berintegrasi dengan bahasa Indonesia. Kata serapan yang sudah berintegrasi dengan bahasa Indonesia antara lain dapat mengalami proses afiksasi karena sesuai dengan tipe bahasa Indonesia, yaitu tipe fleksi. Jadi kata serapan yang mengalami proses afiksasi dan berterima baik secara gramatikal maupun semantis, maka kata serapan tersebut dapat dikatakan sudah berintegrasi dengan bahasa Indonesia. Jika tidak, maka kata serapan tersebut masih bersifat interferensi.
Orang Indonesia melafalkan kosakata bahasa Prancis dengan menggunakan sistem bahasa Indonesia seperti kata corsage dan satin tidak dilafalkan [kɔRsaʒ] dan [sat ] oleh orang Indonesia tetapi menjadi [korsasə] dan [satin], secara ortograf dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kata korsase dan
satin. Faktor sistem fonologi bahasa Indonesia yang tidak mengenal fonem [ʒ], [R], dan vokal nasal [ ] sehingga pelafalan kedua kosakata tersebut menjadi berbeda, pelafalannya menyesuaikan dengan sistem fonologi Indonesia. Hal tersebut tentu saja berpengaruh terhadap penulisan kosakatanya yang tentu saja
39
menyesuaikan dengan sistem bahasa Indonesia yang tidak membedakan antara tulisan dan lafal. Dari kedua contoh tersebut terlihat bahwa fenomena interferensi muncul yang kemudian mengarah kepada integrasi ketika unsur asing sudah melebur dengan sistem dalam bahasa Indonesia dan tentu saja dengan frekuensi pemakaian dan penyebaran yang cukup tinggi. Jika sudah berintegrasi unsur asing dari sebuah kosakata yang diserap sudah tidak terlihat sehingga tidak jarang kata tersebut dianggap sebagai kosakata asli bahasa Indonesia seperti istilah kain
satin. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia kain satin tidak dianggap dan
mungkin bukan bahasa asing karena tidak lagi terlihat unsur asingnya, ditambah dengan kata kain, serta digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat.
1.6.3. Kelas Sosial dan Kata Serapan
Pemakaian kata serapan ini berhubungan dengan status sosial seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu karena kata serapan ini berasal dari bahasa asing dan tentu saja masyarakat yang menguasai bahasa asing paling tidak merupakan kelompok masyarakat yang dapat dikatakan mempunyai status sosial yang baik terutama berdasarkan tingkat pendidikannya. Faktor pendidikan merupakan bagian dari kapital (sumber daya) budaya yang berperan di dalam menentukan kedudukan sosial (Bourdieu, 1994: 20-46), sehingga antara pemakaian maupun penguasaan bahasa asing dengan pendidikan mempunyai hubungan yang erat. Dengan demikian, pemakai bahasa asing dapat dikatakan merupakan golongan yang pendidikan formalnya dapat dikatakan baik, terlebih
40
jika didukung dengan kapital lain sehingga dapat mempunyai kedudukan sosial yang baik pula. Berdasarkan kapital tersebut, muncul kelas sosial atas kelompok-kelompok yang ditandai dengan kepemilikan sumber daya tersebut dan komposisinya, baik sumber daya budaya, ekonomi, sosial, maupun simbolik (Bourdieu, 1979: 127).
Kelas sosial ini tentu saja berhubungan dengan praktik sosialnya di dalam masyarakat yang direpresentasikan di dalam perilaku bermasyarakat. Perilaku kelompok sosial ini menimbulkan sebuah dikotomi yaitu dominan dan dominasi berdasarkan besarnya kapital yang dimiliki (Bourdieu, 1979: 126-127). Kelompok dominan mempunyai kapital yang lebih besar atau banyak dan biasanya kelompok ini cenderung untuk terlihat berbeda atau berusaha membedakan diri dari kelompok lainnya, yaitu kelompok yang didominasi. Salah satu cara untuk membedakan diri dari kelompok yang didominasi adalah melalui tiga struktur konsumsi, yaitu makanan, budaya, dan penampilan (Bourdieu, 1979: 204-215).
Tiga struktur konsumsi tersebut merupakan bagian dari lifestyle atau gaya hidup yang mencerminkan dan sekaligus merupakan representasi dari sebuah kelompok. Upaya untuk merepresentasikan dan sekaligus membedakan dengan kelompok lainnya terutama kelompok yang didominasi ini merupakan bagian dari strategi kekuasaan yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan (Haryatmoko, 2014: 8). Kelompok yang dominan biasanya mempunyai kekuasaan dan berperan sebagai penentu wacana.
Kelompok dominan secara vertikal merupakan kelompok yang ditiru oleh kelompok di bawahnya yang ingin “naik kelas” menjadi kelompok yang dominan