• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empati

Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai respon individu terhadap emosi orang lain, seolah individu yang bersangkutan mengalami sendiri keadaan emosi serupa yang dialami oleh orang tersebut. De Vito (2000) berpendapat bahwa empati adalah kemampuan untuk memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut. Kemampuan empati dapat ditunjukkan dengan cara aktif terlibat bersama orang lain melalui ekspresi wajah dan gerajan tangan, konsentrasi yang memfokuskan pada kontak mata, memperhatikan gerak tubuh, ketertutupan fisik, dan melakukan sentuhan fisik.

Koestner dan Frasz (1990) mengartikan empati sebagai kemampuan untuk menempatkan diri dengan orang lain tanpa secara nyata harus terlibat dalam perasaan atau anggapan orang tersebut. Eissenberg dan Mussen (dalam Eissenberg dan Stayer, 2002) berpendapat bahwa empati merupakan keadaan afektif yang seolah-olah dialami sendiri yang berasal dari keadaan atau kondisi emosi orang lain yang mirip dengan keadaan atau kondisi orang tersebut. Menurut Seagal (dalam Taufik, 2012) empati adalah mengetahui perasaan orang lain, empati dianggap sebagai faktor yang penting dalam mengembangkan perilaku yang positif terhadap orang lain, empati akan membuat seseorang menjadi bijaksana dalam perasa.

Stein dan Book (dalam Baron dan Byrne, 2005) berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain sebagaimana orang tersebut merasakan dan memikirkannya. Bersikap empati artinya mampu membaca orang lain dari sudut pandang emosi. Orang yang empatik memiliki

(2)

kepedulian terhadap orang lain dan memperlihatkan minat serta perhatiannya pada orang lain. Wiggins (dalam Hurlock, 1994) berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan persepsi orang lain, yaitu memandang dan merasakan sesuatu seperti cara orang lain memandang dan merasakan. Hurlock (1994) berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan seseorang untuk mengerti perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri berada di tempat lain.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa empati adalah merasakan dan memikirkan kondisi yang dirasakan orang lain tanpa harus secara nyata melibatkan diri dalam perasaan atau tanggapan orang lain. Individu tidak mengalami sendiri suatu peristiwa yang saat itu dialami dan dirasakan oleh orang lain, tetapi mampu memahami peristiwa jika dilihat dari sudut pandang orang lain.

2. Aspek-Aspek Kemampuan Berempati

Empati merupakan suatu reaksi individu pada saat individu mengalami pengalaman-pengalaman orang lain. Ada bermacam-macam reaksi yang mungkin akan muncul pada saat seseorang melihat orang lain mengalami suatu peristiwa. Para ahli membedakan respon empati menjadi dua komponen ( Davis dalam Nashroni, 2008) yaitu:

a. Komponen kognitif dalam empati adalah proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain secara tepat. Dalam komponen kognitif ini diharapkan seseorang mampu untuk membedakan emosi-emosi orang lain dan menerima pandangan mereka.

b. Komponen afektif adalah kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan emosional orang lain.

Lebih lanjut kedua komponen empati kedalam aspek-aspek empati, masing-masing komponen ini mempunyai dua aspek yaitu yang pertama aspek kognitif antara lain

(3)

perspective taking dan fantasy, aspek yang kedua adalah aspek dalam komponen afeksi antara lain empathic concern dan personal distress.

a. Perspective taking adalah membayangkan kondisi seseorang secara fikiran dan perasaan dengan cara meletakkan pandangan dan fikiran pada posisi orang lain yang menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya. Contoh memaklumi teman yang menangis histeris pada saat pemakaman orang tua yang meninggal karena kecelakaan.

b. Fantasy merupakan kemampuan seseorang untuk mengubah diri secara imajinatif mengalami perasaan dan tindakan dalam karakter-karakter khayal dalam buku-buku, film atau sandiwara yang dibaca atau ditonton. Berdasarkan penelitian Stotlang fantasy berpengaruh terhadap reaksi emosi orang lain dan menimbulkan perilaku menolong. Contohnya ikut merasakan senang saat menonton film yang berakhir bahagia.

c. Empathic concern yaitu simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan orang lain. Empathic concern merupakan cermin dari perasaan dan simpati yang erat kaitannya dengan kepekaan serta kepedulian terhadap orang lain. Coke dalam penelitian Empathic concern berhubungan positif dengan reaksi emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa. Contohnya merasa iba dan kasihan terhadap anak-anak yang meminta-minta di pinggir jalan lampu merah.

d. Personal distress yaitu menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi situasi interpersonal yang tidak menyenangkan. Tingginya personal distress menunjukkan kurangnya kemampuan untuk bersosialisasi, ini dapat menyebabkan internal reward seperti kesabaran dan cinta kasih. Pada individu dengan personal distress tinggi menjadi dasar pertimbangan utama dengan perilaku menolong, sehingga dengan personal distress

(4)

semakin tinggi berperilaku prososial dan eksternal reward seperti popularitas, pujian dari orang lain cenderung rendah.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada empat aspek yang terkandung dalam konsep empati, yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern dan personal distress. Aspek-Aspek inilah yang akan digunakan untuk menyusun alat ukur penelitian Kemampuan Berempati.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Berempati

Menurut Koestner & Franz (1990) ada beberapa faktor yang memunculkan empati, antara lain:

a. Pola asuh

Perkembangan empati lebih mudah terjadi pada lingkungan keluarga yang telah memberikan kepuasan pada kebutuhan emosional anak sehingga anak tidak terlalu mementingkan kepentingan sendiri. Pola asuh lingkungan keluarga dapat mendorong anak untuk mengalami dan mengekspresikan emosin serta memberikan kesempatan kepada anak untuk mengobservasi dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mendorong kepekaan dan kemampuan emosi anak untuk berempati pada orang lain. Pendapat ini sesuai dengan hasil penelitian Koestner & Frans (1990) menunjukkan adanya hubungan yang relatif kuat antara pola asuh pada masa-masa awal dengan emphatic concern pada masa dewasa. Ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak dan Ibu yang mempunyai kesabaran dalam menghadapai ketergantungan anak menunjukkan kemampuan berempati yang tinggi ketika individu sudah berusia 31 tahun.

(5)

Faktor kepribadian berpengaruh terhadap tingkat empati seseorang. Individu yang mempunyai kebutuhan berafiliasi tinggi cenderung mempunyai tingkat empati dan nilai-nilai prososial yang tinggi pula.

Pribadi yang tenang dan sering berintropeksi diri dipastikan akan memiliki kepekaan yang tinggi ketika berbagi dengan orang lain. Kepekaan ini yang kemudian menumbuhkan empati terhadap orang lain.

c. Usia

Tingkat empati seseorang semakin meningkat dengan bertambahnya usia, karena kemampuan pemahaman perspektif terhadap orang lain juga meningkat bersamaan dengan usia. Menurut Mussen dkk (1989) individu yang berusia dewasa menunjukkan peningkatan kemampuan empati dan kemampuan pemahaman perspektif. Individu yang lebih tua mempunyai tingkat fungsi kognitif dan pemahaman moral yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang lebih muda, karena pengalaman, kemampuan, dan kematangan emosi lebih tinggi.

d. Derajat kematangan

Menurut Gunarsa (2000) empati dipengaruhi oleh derajad kematangan individu. Derajat kematangan adalah besarnya kemampuan individu dalam memandang suatu hal secara proposional. Hal tersebut menunjukkan bahwa individu yang mempunyai derajat kematangan tinggi mampu untuk memahami segala sesuatu termasuk kondisi yang dirasakan orang lain dari berbagai sudut pandang baik dari diri sendiri maupun orang lain. Derajat kematangan seseorang akan sangat mempengaruhi kemampuan empatinya terhadap orang lain. Seseorang dengan derajat kematangan yang baik akan mampu untuk menampilkan empati yang tinggi pula.

(6)

Sosialisasi merupakan proses melatih kepekaan diri terhadap rangsangan sosial yang berhubungan dengan empati dan sesuai dengan norma, nilai atau harapan sosial. Sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami empati artinya mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain.

Sosialisasi menjadi dasar penting dalam berempati karena dapat melahirkan sikap dan kepekaan sosial terhadap lingkungan. Hoffman (dalam Kurtinez & Gerwitz, 1992) menyatakan beberapa hal yang menjadikan sosialisasi sebagi komponen yang berpengaruh terhadap empati, yaitu:

1) Sosialisasi membuat seseorang mengaami banyak emosi.

2) Sosialisasi membuat seseorang dapat mengamati secara langsung situasi internal orang lain.

3) Sosialisasi membuka terjadinya proses role taking (pengambilan peran), seseorang belajar untuk mengetahui peranan yang harus dijalankannya serta peranan yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.

4) Menjadi lebih terbuka terhadap kebutuhan orang lain.

5) Dalam sosialisasi ditemukan banyak model yang dapat memberikan banyak contoh kebiasaan prososial dan perasaan empati yang dinyatakan secara verbal.

f. Jenis Kelamin

Perempuan mempunyai tingkat empati yang lebih tinggi daripada laki-laki. Persepsi ini didasarkan pada kepercayaan bahwa perempuan lebih nurturance (bersifat memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal dibandingkan laki-laki (Parson dan Bales dalam Eisenberg & Strayer, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Marcus (dalam Eisenberg & Strayer, 1987) berupa cerita hipotetik yang diajukan untuk melihat respon

(7)

empati, didapatkan hasil bahwa anak perempuan lebih empatik dalam merespon secara verbal keadaan distress orang lain, ada perbedaan dalam hubungan dengan orientasi eksternal dan internal. Perempuan lebih berorientasi eksternal (orientasi pada orang lain), sedangkan laki-laki lebih berorientasi internal (orientasi pada diri sendiri).

Beberapa faktor lain yang mempengaruhi proses empati menurut Goleman & Daniel, (2007): a. Perkembangan kognitif

Perkembangan kognitif adalah suatu proses berfikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Empati dapat berkembang seiring dengan perkembangan kognitif yang bisa dikatakan kematangan kognitif, sehingga dapat melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan perkembangan kognitif meliputi menganalisis, membandingkan, mengurutkan dan mengevaluasi.

b. Mood and Feeling

Mood adalah sebuah keadaan sadar pikiran atau emosi yang dominan, sedangkan feeling adalah ekspresi suasana hati terutama dalam gambaran diri. Situasi perasaan seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya akan mempengaruhi cara seseorang dalam memberikan respon terhadap perasaan dan perilaku orang lain.

c. Situasi dan tempat

Situasi adalah semua fakta, kondisi dan peristiwa yang mempengaruhi seseorang atau sesuatu pada waktu tertentu dan di tempat tertentu. Tempat adalah sebuah wilayah tertentu atau kawasan yang digunakan untuk tujuan tertentu. Situasi dan tempat tertentu dapat memberikan pengaruh terhadap proses empati seseorang. Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik dibanding situasi yang lain. Sekolah Inklusi yang menerima siswa yang memiliki kekurangan atau anak berkebutuhan khusus (ABK),

(8)

diharapkan bisa menumbuhkan rasa empati anak normal kepada anak berkebutuhan khusus (Irawati, 2015). Pada Sekolah Konvensional dibutuhkan suatu upaya untuk meningkatkan rasa empati yang dimiliki siswa sehingga siswa dapat menghindarkan diri dari berbuat sesuatu yang negatif. Dalam sekolah konvensional kemampuan empati yang harus dimiliki yaitu kerjasama,toleransi,mengendalikan emosi,memahami aturan,peduli teman,dan menghargai orang lain (Kusminar, 2014).

d. Komunikasi

Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik secara lisan (langsung) ataupun tidak langsung (melalui media). Pengungkapan empati dipengaruhi oleh komunikasi (bahasa) yang digunakan seseorang. Perbedaan bahasa dan ketidakpahaman tentang komunikasi yang terjadi akan menjadi hambatan pada proses empati. Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur, yakni: komunikator, pesan, media, komunikan efek.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi empati meliputi faktor pola asuh, kepribadian, usia, derajat kematangan, sosialisasi, jenis kelamin, perkembangan kognitif, mood dan feeling, situasi dan tempat, dan komunikasi. Dari beberapa faktor kemampuan empati tersebut, salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan empati adalah faktor situasi dan tempat. Berdasarkan penelitian Prihartanti, dkk. (2009) menunjukan bahwa pada masa SMP dan SMA masalah sosial berupa interaksi dengan situasi dan tempat sangat mempengaruhi proses pembentukan empati. Dalam hal ini yang dimaksud adalah sekolah inklusif dan sekolah konvensional dengan segala unsur-unsur yang berada dalamnya. Remaja lebih banyak menghabiskan waktu di

(9)

sekolah daripada di rumah, sehingga pengaruh sekolah akan lebih besar berpengaruh pada kemampuan berempati remaja.

B. Sekolah Inklusi dan Sekolah Biasa (Konvensional) 1. Sekolah Inklusi

a. Pengertian

Dalam ranah pendidikan, istilah inklusi dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki individu, sekolah inklusi didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu. Istilah inklusi digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah (David, 2006). Baihaqi dan Sugiarmin (2006), menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka.

Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat. Baihaqi dan Sugiarmin (2006), menekankan bahwa siswa memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan berdasarkan perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Perbedaan yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia pendidikan dengan mempersiapkan model pendidikan yang disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan individu tersebut.

(10)

Perbedaan bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam pendidikan, namun pendidikan harus tanggap dalam menghadapi perbedaan.

Hallahan (2009), mengemukakan pengertian sekolah inklusi sebagai lembaga pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah normal sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut.Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusi menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Untuk itulah, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru harus memiliki kemampuan dalam menghadapi banyaknya perbedaan peserta didik. Senada dengan pengertian yang disampaikan Hallahan (2009), dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sekolah inklusi adalah suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Pengertian yang disebutkan dalam Permendiknas di atas memberikan penjelasan secara lebih rinci mengenai siapa saja yang dapat dimasukkan dalam pendidikan inklusif. Perincian yang diberikan pemerintah ini dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sehingga pemerintah memandang perlu memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik dari yang normal, memilik kelainan, dan memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan. Dengan demikian pemerintah mulai mengubah model pendidikan yang selama ini memisah-misahkan peserta didik normal ke dalam sekolah normal, peserta

(11)

didik dengan kecerdasan luar biasa dan bakat istimewa ke dalam sekolah akselerasi, dan peserta didik dengan kelainan ke dalam Sekolah Luar Biasa (SLB).

Seperti yang dijabarkan di dalam Peraturan Walikota Yogyakarta no 47 tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, pada BAB I, Pasal 1, No.6, bahwa: “Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi adalah satuan pendidikan formal normal jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang memiliki peserta didik tanpa membedabedakan latar belakang kondisi sosial, ekonomi, politik, suku, bahasa, jenis kelamin, agama atau kepercayaan, serta perbedaan kondisi fisik maupun mental dan telah menyelenggarakan proses pembelajaran yang inklusif”. Sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua peserta didik baik yang normal maupun berkelainan di lingkungan sekolah dan kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik.

David (2012), menyatakan sekolah inklusif berarti lembaga pendidikan yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus. Masing-masing dari mereka memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain. Sekolah inklusi menampung semua peserta didik baik yang normal maupun berkelainan di lingkungn sekolah dan kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik. Peserta didik menurut Peraturan Walikota Yogyakarta No.47 Tahun 2008 adalah semua peserta didik termasuk peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus yang dimaksud meilputi: (a) siswa dengan gangguan penglihatan, (b) siswa dengan gangguan pendengaran, (c) siswa dengan gangguan wicara, (d) siswa dengan gangguan fisik, (e) siswa dengan kesulitan belajar, (f) siswa dengan gangguan

(12)

lambat belajar, (g) siswa dengan gangguan pemusatan pemikiran, (h) siswa cerdas istimewa, (i) siswa bakat istimewa, (j) siswa yang memiliki kebutuhan khusus secara sosial.

Berdasarkan penjelasan diatas Sekolah Inklusif adalah lembaga pendidikan yang didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah normal di lingkungn sekolah dan kelas yang sama dan masing-masing dari mereka memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain.

b. Tujuan Sekolah Inklusi

Adapun tujuan dari sekolah inklusi (Tarsidi, 2007), yaitu:

1) Untuk mendidik anak berkebutuhan khusus akibat kecacatannya dikelas normal bersama-sama dengan anak-anak lain yang non cacat, beserta dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya.

2) Untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus dan memberi kesempatan bersosialisasi.

c. Manfaat Sekolah Inklusi

Beberapa manfaat dari sekolah inklusi ini (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 2007), yaitu:

1) Bagi anak berkebutuhan khusus diharapkan untuk dapat bersosialisasi dengan kelompok sebaya normal lainnya dengan baik, tidak menerima banyak tekanan dan tidak terisolasi dalam dunianya sendiri.

(13)

2) Bagi anak yang normal, sekolah inklusi mengajarkan banyak hal, antara lain bersikap terbuka terhadap perbedaan, menanamkan rasa empati, tidak memandang rendah anak berkebutuhan khusus dan memupuk sikap saling menolong.

d. Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar

Peksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di kelas normal, namun demikian karena di dalam kelas inklusif di samping terdapat anak normal juga terdapat anak luar biasa yang mengalami kelainan/penyimpangan (baik phisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dibanding dengan anak normal, maka dalam kegiatan belajar-mengajar guru yang belajar-mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak (Choiri, 2009).

Menurut David (2012) dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya disesuaikan dengan model penempatan anak luar biasa yang dipilih, penempatan anak luar biasa di sekolah inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut: 1) Bentuk kelas normal penuh

Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas normal dengan menggunakan kurikulum yang sama.

2) Bentuk kelas normal dengan cluster

Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas normal dalam kelompok khusus.

3) Bentuk kelas normal dengan pull out

Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas normal namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas normal ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

(14)

4) Bentuk kelas normal dengan cluster dan pull out

Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas normal dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas normal ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus.

5) Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian

Anak berkebutuhan khusus belajar di kelas khusus pada sekolah normal, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas normal.

6) Bentuk kelas khusus penuh di sekolah normal

Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah normal. Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas normal setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkebutuhan khusus dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah normal (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah normal (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit) (David, 2012).

Kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif akan berbeda baik dalam srategi, kegiatan media, dan metoda. Beberapa kegiatan belajar mungkin dilakukan berdasarkan literatur-literatur tertentu, sementara yang lainyna belajar yang sama akan lebih efektif apabila melalui observasi dan eksperimen. Beberapa anak memerlukan alat bantu tulis untuk mengingat sesuatu, mungkin yang lainnya cukup dengan hanya mendengarkan. Beberapa siswa mungkin memerlukan kertas dari pensil untuk mengingat suatu hubungan

(15)

tertentu. sementara beberapa siswa lainnya cukup mengingat dengan hanya melihat saja. Beberapa siswa mungkin lebih senang belajar secara individual, sedangkan yang lainnya lebih senang secara berkelompok, Taba (dalam Kustawan, 2010) mengemukakan, bahwa berbedanya kebutuhan individu berbeda pula di dalam teknik belajar dalam upaya mengemhangkan dirinya. Dewasa ini isitilah strategi belajar banyak dipergunakan di dalam teori kognitif dan penelitian. Hal itu berhuhungan dengan strategi individu dalam hal pemusatan perhatian, pemecahan rnasalah. mengingat dan mengawasi proses belajar dan pemecahan masalah (Kustawan, 2010).

Hambatan belajar dapat berasal dan kesulitan menentukan strategi belajar dan metoda belajar lainnya sebagai akibat dan faktor-faktor biologis, psikologis, lingkungan, atau gabungan dan beberapa faktor tersebut. Sebagai contoh gangguan sensori seperti hilangnya penglihatan atau pendengaran, merupakan hambatan dalam memperoleh masukkan informasi dan luar berfungsi minimal otak mungkin akan berakibat yang cukup serius terhadap konsentrasi (Kustawan, 2010).

Pelaksanaan kegiatan belajar menjadi model kelas tertentu mungkin berbeda dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada model kelas yang lain. Pada model Kelas Normal (Inklusi Penuh), bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal mungkin tidak berbeda secara signifikan namun pada model Kelas Normal dengan Cluster, bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal biasanya tidak sama, bahkan antara sesama anak luar biasa pun dapat berbeda (David, 2012).

2. Sekolah Biasa (Konvensional) a. Pengertian

Sekolah biasa (konvensional) adalah suatu tempat terjadinya proses interaksi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru yang bertujuan membentuk siswa menjadi

(16)

individu yang cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, dan bertanggung jawab (Rusman, 2011). Sekolah biasa (konvensional) adalah sekolah pada umumnya yang merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya unuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri , kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Gulo, 2002). Unsur – unsur dalam Sekolah biasa (konvensional) menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995) antara lain: (1) Peserta didik normal, (2) Kurikulum sama semua, (3) Tenaga guru tidak ada perbedaan, (4) Sarana dan prasarana seperti sekolah pada umumnya, (5) Lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk anak normal, (6) Bentuk kelas dalah bentuk kelas yang berisi anak normal penuh dengan kurikulum yang sama tanpa perbedaan.

Berdasarkan penjelasan di atas Sekolah Biasa (Konvensional) adalah lembaga pendidikan yang merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, proses interaksi terjadi antara siswa normal dengan siswa normal dengan lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk siswa normal.

b. Tujuan Sekolah biasa (konvensional)

Tujuan Sekolah biasa (konvensional) berdasarkan UUSPN (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional) no 20 tahun 2003 antara lain:

1) Mendidik siswa agar menjadi manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila yang mampu ikut bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa.

2) Memberikan bekal kemampuan yang diperlukan bagi siwa-siswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

(17)

3) Memberikan bekal kemampuan dasar untuk hidup di masyarakat dan mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan lingkungan. Kelebihan Sekolah biasa (konvensional) menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995), sebagai berikut :

1) Pendidikan normal kurikulum sama seluruhnya. 2) Pendidikan normal semuaa siswanya normal.

3) Guru tidak mesti berlatar pendidikan khusus anak berkebutuhan khusus.

4) Sarana dan prasarananya tidak memerlukan biaya yang relative besar karena semuanya seragam

Kelemahan Sekolah biasa (konvensional) menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995), sebagai berikut :

1) Peserta didik yang memiliki kelainan tidak dapat mengikuti pendidikan seperti peserta didik yang normal.

2) Sarana dan prasarana tidak memenuhi untuk peserta didik berkebutuhan khusus. 3) Gurunya tidak memiliki keprofesionalan menghadapi peserta didik berkebutuhan

khusus.

c. Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar.

Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu (Rusman, 2011). Kegiatan belajar mengajar mengajar yang guru laksanakan berupa kegiatan pendahuluan adalah kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran (Rusman, 2011).

(18)

Pada kegiatan pendahuluan guru dapat melakukan apersepsi, memberikan motivasi kepada siswa dan menyampaikan tujuan yang akan dicapai. Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik (Rusman, 2011).

Pada kegiatan inti pelajaran yang dapat guru laksanakan yaitu menguasai materi pelajaran, pendekatan/strategi pembelajaran, pemanfaatan media pembelajaran/sumber belajar, memicu dan memelihara keterlibatan siswa, menilai proses dan hasil belajar dan penggunaan bahasa yang benar dan tepat dalam pembelajaran. Kegiatan penutup pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan guru untuk mengakhiri pelajaran atau kegiatan belajar mengajar (Muchit, 2008).

Kegiatan penutup dapat guru laksanakan dengan menyimpulkan materi pelajaran yang telah disampaikan dan memberikan arahan atau kegiatan yang akan dilakukan minggu berikutnya. Metode ceramah adalah metode mengajar yang disampaikan secara lisan, metode seperti ini termasuk metode pembelajaran yang paling sederhana (Fikri, 2006). Sehingga pendekatan yang sering digunakan adalah teacher center strateies atau pendekatan yang berpusat pada guru. Pendekatan ini mengutamakan keaktifan peran guru, guru menguasai informasi yang kemudian di transfer kepada siswa sehingga terjadi komunikasi yang searah, situasi belajar terkesan kaku, monoton, dan kurang menarik (Gulo, 2002).

(19)

C. Kemampuan Berempati pada siswa normal di sekolah inklusi dengan siswa normal di sekolah biasa (konvensional).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemampuan berasal dari kata dasar mampu yang berarti kuasa atau sanggup. Jadi kemampuan adalah kesanggupan individu untuk melakukan segala sesuatu termasuk berempati pada orang lain ( Poerwodarminto, 1984). Goleman (2002), mengatakan bahwa empati adalah merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. Menurut Adler (dalam Baron & Byrne, 2005), kemampuan berempati yaitu kemampuan merasakan kesulitan atau penderitaan orang lain, termasuk kesanggupan memahami perasaan dan tergerak untuk berbuat sesuatu bagi orang lain. Wuryanano (dalam Taufik, 2012) memaparkan bahwa kemampuan berempati merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain. Semakin dalam rasa empati seseorang, semakin tinggi rasa hormat dan sopan santunnya kepada sesama.

Kemampuan berempati individu merupakan bagian sensitivitas dari individu, kepekaan rasa dan kedekatan hati pada hal-hal yang berkaitan secara emosional . Menurut definisi Eisenberg dan Strayer (2002) munculnya perasaan empati memungkinkan individu melakukan usaha untuk membantu orang lain. Situasi dan tempat adalah salah satu faktor yang mempengaruhi dalam perkembangan empati seseorang. Dalam usia awal sekolah, anak akan belajar berempati dari lingkungan keluarga, tempat bermain dan di sekolah. Berdasarkan penelitian Prihartanti, dkk. (2009) menunjukan bahwa pada masa SMP dan SMA masalah sosial berupa interaksi dengan situasi dan tempat sangat mempengaruhi proses pembentukan empati. Dalam hal ini yang dimaksud adalah sekolah inklusif dan sekolah konvensional dengan segala unsur-unsur yang berada dalamnya.

Menurut Davis dalam Nashroni (2008) aspek yang mempengaruhi kemampuan berempati yaitu; pertama Perspective taking adalah membayangkan kondisi seseorang secara

(20)

fikiran dan perasaan dengan cara meletakkan pandangan dan fikiran pada posisi orang lain yang menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya. Contoh perspektive taking yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah inklusi “X” yaitu; Saat salah satu siswa berkebutuhan khusus tidak bisa menjawab pertanyaan dari guru, siswa lain berusaha membantu dengan memperjelas pertanyaan yang diberikan guru, tidak ada yang mengejek siswa tersebut. Setiap hari jumat selalu ada uang sumbangan untuk di sumbangkan ke orang yang membutuhkan, jumlah tersebut selalu meningkat, hal ini menunjukkan siswa dapat membayangkan kondisi seseorang secara fikiran dan perasaan yang terwujud dalam pemberian sumbangan. Contoh perspektive taking yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah biasa (konvensional) “Y” yaitu; ketika ada salah satu teman yang tidak jajan, ada beberapa siswa yang dengan cuek jajan tanpa menawarkan teman tersebut. Ketika salah satu siswa kesulitan dalam menjawab pertanyaan dari peneliti, siswa lain meledek dengan senyum sehingga siswa tersebut terlihat kesal.

Aspek kedua yang mempengaruhi kemampuan berempati yaitu; Fantasy, merupakan kemampuan seseorang untuk mengubah diri secara imajinatif mengalami perasaan dan tindakan dalam karakter-karakter khayal dalam buku-buku, film atau sandiwara yang dibaca atau ditonton. Berdasarkan penelitian Stotlang, fantasy berpengaruh terhadap reaksi emosi orang lain dan menimbulkan perilaku menolong. Contoh fantasy yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah inklusi “X” yaitu; ketika penulis menanyakan pada siswa tentang cerita film yang sedih atau berita tentang musibah yang sedang dialami saat ini, sebagian anak merespon dengan ekspresi wajah sedih dan menjawab dengan iba, sedangkan saat pertanyaan diberikan di sekolah biasa (konvensional) “Y”, yang merespon dengan ekspresi wajah sedih dan menjawab dengan iba sebagian besar adalah siswa perempuan, siswa laki-laki tidak begitu terlihat ekspresi wajah sedih.

(21)

Aspek ketiga yang mempengaruhi kemampuan berempati yaitu; Empathic concern yaitu simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan orang lain. Empathic concern merupakan cermin dari perasaan dan simpati yang erat kaitannya dengan kepekaan serta kepedulian terhadap orang lain. Coke dalam penelitian Empathic concern berhubungan positif dengan reaksi emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa. Contoh Empathic concern yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah inklusi “X” yaitu; dari wawancara dengan guru bimbingan dan konseling ketika salah satu siswa sakit atau terkena musibah kecelakaan, siswa satu kelas dan siswa kelas lain ikut menjenguk dan membantu meminjamkan buku pelajaran supaya tidak tertinggal pelajaran. Contoh Empathic concern yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah biasa (konvensional) “Y” yaitu; saat ada teman yang terjatuh dari sepeda, dua siswa lari untuk membantu dan beberapa siswa ada yang tertawa dan diam.

Aspek keempat yang mempengaruhi kemampuan berempati yaitu; Personal distress yaitu menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi situasi interpersonal yang tidak menyenangkan. Contoh Personal distress yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah inklusi “X” yaitu; saat ada siswa yang pingsan ketika sedang pelajaran olah raga, siswa lain segera membantu membawa ke kelas dan memanggil guru untuk menolong, terlihat kekhawatiran teman-teman saat siswa tersebut sakit. Contoh Personal distress yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah biasa (konvensional) “Y” yaitu; saat peneliti menanyakan pendapat sebagian siswa tentang anak-anak yang mengemis di lampu merah, respon siswa sebagian besar kasihan dan kecewa terhadap orang tua anak tersebut. Ikut prihatin terhadap kondisi yang tidak menyenangkan pada orang lain.

Sekolah inklusi merupakan model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak berkelainan atau berkebutuhan khusus di mana penyelenggaraannya dipadukan bersama anak

(22)

normal dan bertempat di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga bersangkutan (Sukadari, 2006). Sekolah inklusi memberikan kesempatan dan akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi. Pihak sekolah dituntut untuk melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik (Direktorat PLB, 2007). Manfaat dari sekolah inklusi ini (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 2007), yaitu: Bagi anak berkebutuhan khusus diharapkan untuk dapat bersosialisasi dengan kelompok sebaya normal lainnya dengan baik, tidak menerima banyak tekanan dan tidak terisolasi dalam dunianya sendiri. bagi anak normal, sekolah inklusi mengajarkan banyak hal, antara lain bersikap terbuka terhadap perbedaan, menanamkan rasa empati, tidak memandang rendah anak berkebutuhan khusus dan memupuk sikap saling menolong.

Sekolah Inklusi yang menerima siswa yang memiliki kekurangan atau anak berkebutuhan khusus (ABK), tidak serta merta membuat anak-anak yang berkebutuhan khusus ini akan diasingkan oleh siswa lainnya. Namun sebaliknya, bisa menumbuhkan rasa empati kepada anak berkebutuhan khusus sejak dini. Ada anggapan jika orangtua merasa khawatir dan takut untuk memasukkan anak ke dalam sekolah inklusi karena nantinya akan diasingkan, padahal sebaliknya, siswa normal bisa menolong temannya yang memiliki kekurangan. Pemerintah saat ini mulai membuka jalan dengan memberikan pelatihan kepada guru-guru untuk meningkatkan kualitas sekolah inklusi, sehingga guru dan siswa normal dapat meningkatkan kemampuan berempati kepada anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi (www.suaramerdeka.com, 2016).

Adapun tujuan dari sekolah inklusi (Tarsidi, 2007), yaitu: Untuk mendidik anak berkebutuhan khusus akibat kecacatannya dikelas normal bersama-sama dengan anak-anak lain yang non cacat, beserta dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk

(23)

mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus dan memberi kesempatan bersosialisasi. Menurut Salim dalam Ginanjar (2013) siswa normal di sekolah inklusi diharapkan dapat memahami, menghargai, dan menerima siswa berkebutuhan khusus dengan segala perbedaan dan keterbatasannya. Penerimaan siswa normal terhadap siswa berkebutuhan khusus menjadi langkah awal bagi terwujudnya hubungan harmonis di lingkungan sekolah inklusi. Empati merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan siswa normal terhadap siswa berkebutuhan khusus.

Menurut Soefandi dan Pramudya (2009) empati merupakan kemampuan menempatkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman orang tersebut. Menurut Taufik (2012) siswa normal yang mampu menempatkan diri dalam posisi siswa berkebutuhan khusus, menyelami keadaan siswa berkebutuhan khusus, ikut merasakan perasaan dan memahami pandangan siswa berkebutuhan khusus terkait dengan segala keterbatasannya, senantiasa akan lebih dapat menghargai siswa berkebutuhan khusus dan selanjutnya diharapkan dapat menerima siswa berkebutuhan khusus. Hal tersebut dikarenakan dengan kemampuan empati seseorang dapat lebih menghormati dan menghargai orang lain sehingga dapat menerima perbedaan yang ada.

Menurut hasil penelitian dari Salim dan Ginanjar (2013) di SMPN Inklusi Jakarta, sebagian besar siswa normal di sekolah inklusi memiliki tingkat empati yang tinggi terhadap siswa berkebutuhan khusus, terlihat dari mean skor empati (M= 31,98) yang mendekati nilai maksimum (42) pada distributor skor empati. Siswa normal yang lebih banyak dan sering berinteraksi dengan siswa berkebutuhan khusus maka besar kemungkinan lebih mampu untuk berempati terhadap siswa berkebutuhan khusus, karakteristik siswa berkebutuhan khusus yang bagi siswa sekolah biasa (konvensional) terlihat “aneh”, bagi siswa normal di sekolah inkluasi akan terlihat lebih familiar dan dapat dimaklumi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari siswa yang merasa bahwa lama-kelamaan siswa normal semakin mampu

(24)

untuk memahami keadaan siswa berkebutuhan khusus, bahkan menganggap siswa tersebut sebagai seorang teman sekelas yang sebenarnya cukup menyenangkan. Lamanya waktu yang dihabiskan siswa normal untuk berinteraksi dengan siswa berkebutuhan khusus di kelas dapat membuat siswa normal semakin memahami diri siswa berkebutuhan khusus. Siswa normal yang memiliki kedekatan dengan siswa berkebutuhan khusus akan cenderung menampilkan perilaku menolong yang lebih tinggi. Berdasarkan Bellmore (dalam Salim & Ginanjar, 2013), terdapat beberapa alasan yang dapat diasosiasikan dengan perilaku menolong, dimana dua di antaranya adalah empati terhadap korban serta kedekatan hubungan dengan korban tersebut.

Sekolah biasa (konvensional) adalah sekolah pada umumnya yang merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya unuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri , kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Gulo, 2002). Unsur – unsur dalam Sekolah biasa (konvensional) menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995) antara lain: (1) Peserta didik normal, (2) Kurikulum sama semua, (3) Tenaga guru tidak ada perbedaan, (4) Sarana dan prasarana seperti sekolah pada umumnya, (5) Lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk anak normal, (6) Bentuk kelas dalah bentuk kelas yang berisi anak normal penuh dengan kurikulum yang sama tanpa perbedaan.

Menurut Wallace (dalam Sunarto 2009) di sekolah biasa (konvensional) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: perhatian kepada masing-masing siswa atau minat sangat kecil, pembelajaran di sekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan sebagai peningkatan kompetensi siswa di saat ini, penekanan yang mendasar adalah pada bagaimana pengetahuan dapat diserap oleh siswa dan penguasaan pengetahuan tersebutlah yang menjadi tolak ukur keberhasilan tujuan, sementara pengembangan potensi siswa terabaikan.

(25)

Di dalam sekolah konvensional, yang paling disoroti adalah prestasi belajar siswa (Hamdani, 2011). Proses pembelajaran di lingkungan sekolah konvensional mengakibatkan empati belum seutuhnya dimiliki siswa di sekolah konvensional (Nurfidia, 20017). Wahyuni & Adiyanti (dalam Salim & Ginanjar, 2013) menambahkan sekolah merupakan lembaga pendidikian yang mengajarkan ilmu pengetahuan agar siswa memiliki wawasan luas dan mengajarkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Lingkungan sekolah memiliki pengaruh yang besar bagi siswa untuk membentuk perilaku siswa, karena di lingkungan sekolah, siswa dapat menanamkan nilai-nilai positif dalam bersosialisasi dengan teman sebaya, namun terkadang apa yang diharapkan tidak sesuai apa yang diharapkan. Empati mendasari banyak segi tindakan dan pertimbangan moral. Oleh karena itu, jika seseorang tidak memiliki rasa empati pada sesama, kemungkinan besar yang bisa terjadi adalah orang tersebut akan bertindak semaunya kepada orang lain. Seseorang yang tidak mempunyai empati ini memiliki potensi untuk melakukan tindak kejahatan kepada orang lain, karena orang tersebut hanya menggunakan pertimbangan pikirannya sendiri. Empati yang kuat dalam diri siswa diharapkan akan menumbuhkan perasaan peka serta rasa iba terhadap suatu kejadian yang dialami oleh siswa lain, sehingga mendorong siswa untuk menolong setiap kesulitan (Wuryanano dalam Taufik 2012).

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berasumsi bahwa terdapat perbedaan kemampuan berempati antara siswa normal di sekolah inklusi dan siswa normal di sekolah biasa (konvensional).

D. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah Ada perbedaan kemampuan berempati pada siswa normal di sekolah inklusi dengan siswa normal di sekolah biasa (konvensional).

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS PERILAKU PEMILIHAN MODA TRANSPORTASI ANTARA BUS DAN TRAVEL KELAS EKSEKUTIF RUTE.. PURWOKERTO

Dalam bekerja yang memerlukan kemampuan untuk melihat dalam jangka waktu yang lama, biasanya disertai dengan kondisi pandangan yang tidak nyaman (Pheasant, 1991

Tabel 10 : Parameter Pemilihan Jenis Distribusi Sebaran Curah Hujan.. No Jenis Syarat Hasil

Berdasarkan hygiene sanitasi, ditinjau dari cara pemilihan kecap sudah memenuhi syarat kesehatan karena dari 10 kantin 9 kantin memperoleh kecap dari pasar, 6 kantin

Berdasarkan hasil analisis diperoleh F hitung sebesar 35.166 dengan tingkat signifikansi 0.000, yang jauh lebih kecil dari 0.05, maka H a diterima dan H o ditolak, dengan

Skripsi berjudul Hubungan Penyakit Gondok dengan Tingkat Intelegensia Pada Siswa Sekolah Dasar di (SDN) Darsono 2 Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember telah diuji

[r]

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada