• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN REZIM HUKUM ANTARIKSA MODERN DARI PERSPEKTIF SPACE FARING STATES DAN NON SPACE FARING STATES

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN REZIM HUKUM ANTARIKSA MODERN DARI PERSPEKTIF SPACE FARING STATES DAN NON SPACE FARING STATES"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Negara adalah leviathan.1 Interaksi antarnegara di dalam konsepsi leviathan diibaratkan sebagai suatu interaksi ‘pergumulan’ kekuasaan tiada akhir yang pada akhirnya menciptakan suatu konflik kepentingan yang tidak menentu yang dikenal dengan “security dilemma”. Tonggak sejarah kompetisi antariksa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dimulai ketika pada 4 Oktober 1957, Uni Soviet meluncurkan Sputnik I, satelit pertama buatan manusia. Perkembangan kepentingan hegemoni antariksa yang besar dari kedua negara tersebut dan situasi perang dingin yang tidak

menentu menciptakan kondisi security

dilemma yang pada akhirnya mendesak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk membentuk The United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) pada 13 Desember 1958 melalui Resolusi 1348 (XIII) dan United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS) pada 1959 melalui Resolusi 1472 (XIV). Perbedaan keduanya adalah bahwa UNOOSA berfungsi sebagai kantor sekretariat bagi masalah eksplorasi dan eksploitasi antariksa, sedangkan

UNCOPUOS berfungsi sebagai komite

yang menangani masalah antariksa.

KAJIAN REZIM HUKUM ANTARIKSA MODERN DARI PERSPEKTIF

SPACE FARING STATES

DAN

NON SPACE FARING STATES

Oleh:

Ferry Junigwan Murdiansyah

1. Negara sebagai leviathan, menurut Thomas Hobbes adalah negara sebagai bentuk realisasi dari sesosok makhluk yang sangat mengerikan dengan kekuatan yang sangat besar dan memiliki kemampuan bertahan hidup untuk mempertahankan kepentingannya.

Pembahasan lebih lanjut dalam artikel ini akan berfokus pada UNCOPUOS saja. Suatu terobosan pun diperkenalkan pada tahun 1970an melalui lima instrumen hukum internasional di bidang antariksa, yaitu: The Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space including the Moon and Other Celestial Bodies 1967 (Space Treaty), Agreement on the Rescue of Astrounauts, the Return of Astronouts and the Return of Object Launched into Outer Space 1968 (Astronouts Agreement), Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects 1972 (Liability Convention), Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space 1976 (Registration Convention), dan Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial Bodies 1984 (Moon Agreement).

Space Treaty menjadi landasan hukum yang mengatur prinsip–prinsip dasar dalam upaya ekplorasi dan eksploitasi antariksa untuk maksud dan tujuan damai, sedangkan empat perjanjian lainnya merupakan penjabaran

(2)

dari mandat yang terdapat di dalam Space Treaty. Pada awal pembentukannya, lima instrumen hukum antariksa ini, yang dise-but sebagai rezim hukum antariksa klasik,2 dianggap “sekedar cukup saja” untuk men-jembatani kekosongan hukum di dalam kompetisi antariksa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun dengan pesatnya perkembangan teknologi antariksa, diperlukan suatu pengaturan/instrumen hukum antariksa yang komprehensif, detail, dan melindungi kepentingan space faring states dan non space faring states, serta memperhatikan aspek lingkungan haruslah dianggap sebagai

suatu persyaratan dasar terbentuknya

suatu rezim hukum antariksa modern.

Penekanan pada aspek lingkungan menjadi penting dalam rezim hukum antariksa modern, mengingat secara alami negara sebagai leviathan akan menggunakan segala kekuatan dan kekuasaannya untuk eksploitasi suatu bidang tertentu pada titik maksimal. Pada prinsipnya, negara leviathan lainpun akan melakukan hal yang sama, sehingga tanpa disadari chain of action and reaction akan terjadi yang berdampak pada kerusakan lingkungan.

Artikel inipun dibuat sebagai renungan sederhana atas dua pemasalahan yang ber-kohesi erat di balik jubah diskusi hukum antariksa modern antarnegara dewasa ini, yaitu: (i) rezim hukum antariksa klasik dari perspektif space faring states dan celah hukumnya, dan (ii) rezim hukum antariksa klasik dari perspektif Indonesia dan celah hukumnya.

Rezim Hukum Antariksa Klasik dari Perspektif Space Faring States dan Celah Hukumnya

Space faring states yang selangkah lebih unggul dalam penguasaan antariksa memiliki common syndrome yaitu ‘kecanduan antariksa’ atau adanya ketergantungan dengan teknologi antariksa dan memiliki motivasi penguasaan antariksa secara dominan dan berlebihan. Berdasarkan berbagai kajian hukum antariksa di antara space faring states, terdapat 3 (tiga) inti masalah yang menjadi perhatian, yaitu: denuklirisasi dan

pelarangan senjata antariksa, wisata

antariksa, dan mitigasi sampah antariksa (space debris).

A. DENUKLIRISASI DAN PELARANGAN SENJATA ANTARIKSA

I. Denuklirisasi dan Pelarangan Senjata Antariksa sebagai Suatu Masalah Internasional

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Amerika Serikat secara diam - diam terus mengembangkan teknologi antariksanya dan secara bertahap melakukan perakitan senjata antariksa yang mampu menyerang aset antariksa negara lain baik di darat dan di antariksa, dan juga melakukan pengembangan teknologi senjata anti misil balistik demi keamanan nasionalnya. Berbagai pengembangan teknologi tersebut diprakarsai oleh Pemerintahan Bush yang berkeinginan untuk memperkuat profil militer antariksanya dengan United 2. Dipandang sebagai ‘rezim hukum antariksa klasik’karena ke-5 instrumen hukum antariksa ini, termasuk resolusi, protokol, guidelines maupun aturan hukum antariksa lainnya, pada proses terbentuknya/kelahiran tanpa memperhatikan kaidah dan ke-pentingan negara lain serta lingkungan secara bersama – sama)

(3)

States Space of Command Vision for 2020 dan United States Air Force 2025 Study. Hal tersebut dilaksanakan dengan memberikan rekomendasi untuk menguasai antariksa dalam berbagai aspek, yang meliputi perang melawan terorisme global pada akhir 2001. Pada 23 Mei 2009, Laura Grego, seorang peneliti dari Union of Concerned Scientist, membuat testimoni di hadapan Subcommittee on National Security and Foreign Affairs of the Committee on Oversight and Government Reform mengenai program antariksa Amerika Serikat yang bertujuan pada penguasaan dan hegemoni antariksa termasuk di dalamnya

penciptaan senjata antariksa untuk

melindungi aset antariksa mereka. Pihak dari pemerintah Amerika Serikat pada saat itu membantah testimoni tersebut, namun terdapat dua bukti konkrit yang mendukung testimoni dari Laura Grego, yaitu:

a. Amerika Serikat pada Desember 2001 menarik diri dari Anti Ballistic Missiles Treaty (ABM) yang ditandatangani oleh Amerika Serikat dan Rusia (Uni Soviet pada saat itu) pada 26 Mei 1972, sehingga dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat sekarang lebih mempunyai “fleksibilitas” dalam memproduksi senjata balistik di kemudian hari.

b. 2001 Rumsfeld Commission Report

memberikan rekomendasi bahwa dalam rangka mencegah terjadinya “Space Pearl Harbor maka kepentingan nasional Amerika Serikat adalah untuk menciptakan senjata antariksa yang berfungsi defensif dan ofensif.

Upaya pengembangan senjata antariksa oleh Amerika Serikat ini tercium oleh negara lain yang langsung memperkenalkan instrumen hukum baru yang mengatur pelarangan senjata antariksa (Treaty on the Prevention of the Placement of Weapons in Outer Space and of the Threats or Use of Force Against Outer Space Objects atau yang biasa disebut Treaty PPWT). Respon lain terhadap masalah ini salah satunya adalah Rusia pada 2004 melakukan deklarasi bahwa negaranya tidak akan menjadi negara pertama

yang akan menempatkan senjata di antariksa. Hal ini merupakan upaya politis pertama yang patut diteladani oleh negara-negara sebagai langkah awal pencegahan nuklirisasi dan penempatan senjata di antariksa.

II. Celah Hukum Rezim Antariksa Klasik

Terdapat 2 (dua) pasal dalam Space Treaty yang sekiranya bersinggungan dengan isu ini, yaitu Pasal 4 dan Pasal 9 Space Treaty.

a. Pasal 4 Space Treaty

States Parties to the Treaty undertake not to place in orbit around the earth

any objects carrying nuclear weapons

or any other kind of weapons of mass destruction, install such weapons in outer space in any other manner…The use of military personnel for scientific research

or for any other peaceful purposes shall not be prohibited…”

Kalimat dalam Pasal 4 di atas yang mendapat perhatian Penulis, yaitu:

(4)

a) Place in orbit around the earth: hanya mengatur senjata yang diletak-kan di orbit bumi tanpa penjelasan lebih lanjut. Bagaimana dengan senjata pemusnah massal yang berada di bumi dan mempunyai kemampuan jangkau tembak antariksa? Bagaimana dengan guided missile yang dikendalikan oleh sistem kendali (bukan senjata) yang secara permanen berada di antariksa? Hal – hal semacam ini belum tercakup di dalam definisi ini. b) Nuclear weapons dan weapons of

mass distruction:

- misil balistik seperti yang dikembang-kan oleh Iran dan didemonstrasidikembang-kan oleh Cina pada tahun 2007 yang ditembakkan keluar angkasa dan mampu menghancurkan satelit Cina tidak termasuk di dalam definisi ini.

• senjata yang mampu

men-gacaukan frekwensi gelom-bang radio satelit dan menye-babkan jamming pada satelit seperti yang dilakukan Irak pada awal 2000-an juga tidak termasuk dalam definisi ini. •

c) Scientific research: apa yang dimaksud dengan aktivitas personil militer untuk penelitian ilmiah disini? Kalimat ini sangatlah multitafsir.

b. Pasal 9 Space Treaty

“…State Parties to the Treaty shall pursue studies of them so as to avoid their harmful

contamination and also adverse changes in the environment of the Earth

resulting from the introduction of extra-terrestrial matter, and when necessary, shall adopt appropriate measures for this purpose…

Kalimat dalam Pasal 4 di atas yang mendapat perhatian Penulis, yaitu: a) Harmful contamination and adverse

changes in the environment of the earth:

● apa sebenarnya definisi dari kon-taminasi berbahaya dan perubahan fatal dari lingkungan bumi? Apakah arti penggunaan bahan kimia, limbah antariksa, atau limbah beracun di antariksa juga diatur dalam pasal ini?

● Perubahan fatal terhadap titik jenuh Geo Stationary Orbit akibat penempatan satelit yang berlebihan tidak diatur dalam pasal ini. ● Kerusakan lingkungan antariksa

akibat pengawasan dan manajemen sampah antariksa yang baik juga tidak diatur di dalam pasal ini. b) Approriate measures: kalimat ini

ambigu dan multitafsir. Penulis ber-pendapat bahwa kalimat ini tidak menjelaskan bentuk tanggung jawab

dari negara pemilik wahana

antariksa dan seharusnya lebih diatur secara detil.

Dari kajian singkat dua pasal tersebut di atas, nyata bahwa Space Treaty dalam

(5)

isu ini memiliki celah hukum sebagai berikut:

a) Space Treatyhanya mengatur prinsip dan norma dasar dari kegiatan ek-splorasi dan eksploitasi antariksa. b) Space Treaty mengesampingkan

kemungkinan digunakannya senjata dari bumi ke antariksa.

c) Space Treaty belum mengisi kekosongan hukum yang ada dengan keluarnya Amerika Serikat dari Anti Ballistic Missile Treaty pada 2001. Hal mana, menjadi penting bagi kita semua untuk mempelajari draft Treaty PPWT berkenaan dengan penciptaan instrumen hukum baru dalam pelarangan senjata antariksa

yang akan bersifat komplementer

terhadap Space Treaty ataupun

rezim antariksa klasik secara keseluruhan.

III. Conference on Disarmament

Conference on Disarmament (CD) merupakan suatu forum multilateral yang didirikan pada tahun 1979 oleh komunitas inter-nasional untuk merundingkan berbagai upaya pengawasan persenjataan dan kesepakatan perlucutan senjata. CD bukanlah suatu badan resmi PBB. Keterkaitannya dengan PBB, adalah melalui penempatan seorang wakil Sekjen PBB yang juga bertugas sebagai Sekjen Konperensi ini. Saat ini, beranggotakan 65 negara, yang meliputi lima (5) negara pemilik senjata nuklir. Indonesia juga menjadi anggota CB.

Salah satu catatan penting dalam aktivitas CD adalah pembahasan isu Prevention of An Arm Race in Outer Space (PAROS) pada tahun 2000 yang dipelopori oleh Cina dan Rusia, yang menganggap bahwa upaya

penggunaan senjata nuklir dan space

weapon memerlukan suatu diskursus tersendiri di dalam CD. Dalam hal ini, penulis memandang perlunya suatu political will dari negara - negara untuk menjadikan CD sebagai institusi resmi PBB dengan wewenang untuk melakukan pengawasan, pelarangan, pemberian sanksi bagi penggunaan senjata berbahaya, wewenang dalam isu denuklirisasi dan pelarangan senjata antariksa, serta menentukan dan mengatur mekanisme kontrol terhadap keadaan lingkungan yang dimungkinkan mengalami dampak akibat aktivitas tersebut. Pada masa yang akan datang, diharapkan CD yang lebih ter-institusi dapat melakukan official synergy dengan UNCOPUOS demi terciptanya sistem hubungan kerja watchdog dan think thank yang ideal dalam upaya eksplorasi dan eksplorasi antariksa untuk maksud dan tujuan damai.

B. WISATA ANTARIKSA

I. Industri Baru dalam Komersialisasi Antariksa

Pada 28 April 2001, milyarder asal California, Amerika Serikat, Dennis Tito, membuat sejarah dengan menjadi turis antariksa pertama di dunia dengan menggunakan wahana antariksa Rusia, Soyuz yang melakukan wisata antariksa selama sebelas (11) hari menginap di International Space Station (ISS) dan kembali ke bumi dengan selamat.

(6)

Ekspedisi fenomenal Tito ini membuktikan bahwa kini antariksa merupakan tujuan wisata baru yang dapat dikembangkan di kemudian hari.

Wisata antariksa pada awalnya merupakan proyek pemerintah yang mulai ditawarkan pada masyarakat sipil pada tahun 2001 dengan biaya yang relatif mahal, sebagai perbandingan harga yang ditawarkan badan antariksa Rusia pada tahun tersebut adalah US$ 45 juta. Kini wacana tersebut mendapat tantangan dari operator swasta yang menawarkan harga yang jauh lebih menarik yaitu berkisar pada US$ 200.000 (harga yang di tawarkan Virgin Galactic). Oleh karenanya, bisnis wisata antariksa kini mendapat pesaing kelas ekonomi yang lebih terjangkau.

Melihat perkembangan yang ada, beberapa perusahaan pun berlomba - lomba untuk terlibat aktif di dalam peluang bisnis baru ini, seperti Virgin Galactic yang melakukan

tandem usaha dengan European Auronautic

Defence and Space Company untuk eksplorasi kemungkinan bisnis lebih jauh. Hal ini merupakan suatu hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya ketika rezim antariksa klasik lahir.

Wisata antariksa adalah fenomena baru yang layak mendapat perhatian lebih dalam dan serius. Peluang bisnis wisata antariksa bukanlah sesuatu yang risk-free melainkan penuh resiko bagi crew dan turis di pesawat antariksa itu sendiri, crew di space port tempat peluncuran wahana antariksa, maupun terhadap publik lainnya. Lebih jauh lagi, kemungkinan polusi, kemungkinan collision, masalah sertifikasi kelayakan penerbangan

antariksa, dan masalah cuaca di orbit antariksa adalah masalah – masalah yang memerlukan perhatian lebih dalam. Sehingga timbul suatu pertanyaan, apabila wisata antariksa di kemudian hari menjadi sesuatu yang lazim untuk dilakukan maka: (i) instrumen hukum apa yang akan mengaturnya, dan (ii) apakah akan ada organisasi internasional yang akan mengawasinya?

II. Celah Hukum Rezim Antariksa Klasik

Di dalam rezim hukum antariksa klasik, pembahasan mengenai isu ini sama sekali belum tersentuh. Sehingga implikasinya adalah, akan sangat beresiko apabila wisata antariksa hanya dilakukan berdasarkan multi kontrak antara: (i) investor – negara, (ii) negara – operator wisata antariksa, (iii). operator wisata antariksa – turis antariksa , (iv) operator antariksa – perusahaan asuransi, dan sebagainya. Sehingga, diperlukan suatu rezim hukum antariksa modern yang juga membahas dan mengatur masalah ini.

III. International Civil Aviation Organization (ICAO) untuk Wisata Antariksa?

ICAO dibentuk pada Oktober 1947 dan diberi mandat untuk menjadi organisasi inter-nasional yang berwenang mengenai segala sesuatu yang berurusan dengan penerbangan

udara sipil, seperti: pengaturan frekwensi radio, pengaturan sistem komunikasi pilot dengan stasiun udara, penetapan prosedur dan mekanisme untuk kontrol penerbangan, dan sebagainya.

Seiring dengan fenomena wisata antariksa ini, berkembang juga wacana untuk menjadikan

(7)

ICAO sebagai organisasi yang juga akan melakukan kontrol dan berwenang terhadap penerbangan antariksa. Alasan perlunya perluasan mandat dan kewenangan ICAO sehubungan dengan wisata antariksa adalah bahwa baik penerbangan udara maupun penerbangan antariksa memiliki rutinitas, aktivitas dan mekanisme kontrol yang sama. Dimana kesemuanya itu menggunakan teknologi komunikasi dan remote sensing satelit. Oleh karenanya, sistem, prosedur, dan mekanisme penerbangan udara yang

diatur dalam ICAO sekarang bisa

diperluas mencakup penerbangan antariksa dengan sistem, prosedur, dan mekanisme yang kurang lebih sama.

Berkaitan dengan wacana ini, penulis setuju dan memandang perlunya suatu organisasi inter-nasional baru yang akan mengatur hal tersebut, namun, apakah organisasi baru tersebut merupakan organisasi internasional yang terpisah dari ICAO atau hanya merupakan “perluasan” tugas dan mandat ICAO dilakukan penelitian lebih lanjut.

C. MITIGASI SAMPAH ANTARIKSA

Sampah antariksa merupakan common

problems bagi space faring states dan non space faring states dan merupakan suatu ancaman terhadap keamanan antariksa. Benturan sampah antariksa sekecil apapun, akan dapat menyebabkan kerusakan atau bahkan hancurnya suatu aset antariksa, seperti sampah antariksa dengan diameter sebesar 1 cm apabila bersinggungan dengan satelit pada kecepatan 80 mil per jam dapat

menyebabkan kerusakan fatal pada satelit tersebut.

Pada 2007, sub-komite ilmiah dan teknis

dari UNCOPUOS telah mengadopsi UN

Guideline on Space Debris Mitigation (Debris Guideline) yang mengatur prosedur – prosedur yang dipandang dapat mengurangi jumlah sampah antariksa. Pada 31 Maret 2009, sub-komite hukum UNCOPUOS telah mengadakan sesi dengan salah satu pemba-hasannya adalah tentang Debris Guideline. Namun, sesi subkomite hukum UNCOPUOS tersebut belum menghasilkan komitmen baru dalam mitigasi sampah antariksa. Penulis berpendapat bahwa sesi pada level subkomite hukum UNCOPUOS yang membahas mengenai mitigasi sampah antariksa dan Debris Guideline harus terus ditingkatkan, hingga terciptanya suatu komitmen negara–negara untuk mem-bentuk intrumen hukum antariksa baru yang mengatur mengenai space debris.

REZIM HUKUM ANTARIKSA KLASIK DARI PERSPEKTIF INDONESIA DAN CELAH HUKUMNYA

Indonesia memandang hukum antariksa sebagai suatu kajian konseptual. Namun, penulis berpendapat bahwa terdapat tiga kajian konseptual yang belum diatur di dalam rezim hukum antariksa klasik. Tiga hal tersebut antara lain definisi dan delimitasi antariksa; hak berdaulat dan kedaulatan pada Geo Stationary Orbit dan pemisahan tanggung jawab dari definisi Launching State.

(8)

I. Definisi dan Delimitasi Antariksa

Masalah definisi dan delimitasi antariksa sudah menjadi pembahasan sub komite hu-kum UNCOPUOS sejak 1966, berdasarkan proposal dari Perancis. Dalam proposal tersebut ditekankan pentingnya mengatur definisi dan batas terendah yang jelas dari antariksa, sehingga perbedaan antara ruang antariksa dengan ruang udara dapat terukur.

Namun demikian, Amerika Serikat

memandang masalah ini sebagai suatu hal

yang tidak perlu menjadi bahan

perbincangan. Hal inilah yang menjadi kendala mengapa tarik ulur kepentingan di dalam isu ini sangatlah panjang dan tidak menentu. Sejak disepakatinya Space Treaty hingga tahun artikel ini ditulis, masalah ini belum terselesaikan. Dengan demikian, definisi dan delimitasi antariksa merupakan suatu isu klasik yang telah larut selama hampir separuh abad lamanya.

Dalam isu definisi dan delimitasi antariksa, Indonesia menggunakan pendekatan spasial (kewilayahan) dengan beberapa referensi teori spasial sebagai berikut:

a) Batas kedaulatan negara berada pada lapisan atmosfir dimana komposisi gasnya membentuk lapisan - lapisan (layers), yaitu pada ketinggian 80 km di atas permukaan air laut.

b) Batas kemampuan terbang pesawat udara yaitu 60 – 80 km di atas permukaan air laut. c) Perigee terendah dari orbit satelit yaitu

ketinggian antara 80 – 120 km di atas permukaan air laut.

d) Garis von Karman yang mengajukan batas terendah antariksa berada pada ketinggian 100 km di atas permukaan air laut.

e) Teori penguasaan efektif yang menekankan kemampuan negara untuk melakukan pengawasan di dalam zona t er seb ut, ya i t u 100 km d i a t as permukaan air laut.

Berdasarkan kajian dan penelitian para ahli sebagaimana tertuang dalam laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua, pendekatan teori spasial dalam menentukan definisi dan delimitasi antariksa bagi kepentingan nasional Indonesia adalah pada

ketinggian 100 kmdi atas permukaan air

laut. Sehingga, ruang dengan ketinggian di bawah 100 km permukaan air laut disebut dengan ruang udara dan tunduk kepada Chicago Convention 1944, sedangkan ruang di atas 100 km permukaan air laut disebut ruang antariksa dan tunduk kepada rezim hukum antariksa.

Penulis berpendapat bahwa upaya definisi dan delimitasi antariksa haruslah terus

diperjuangkan dalam pembahasan

sub-komite hukum UNCOPUOS. Bila tercapainya kesepakatan dalam pembahasan mengenai isu ini, maka kepastian hukum di dalam ruang antariksa dapat tercipta. Oleh karenanya, akan membawa kepastian hukum lainnya bagi seluruh negara terutama non-space faring states, seperti Indonesia dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi di ruang antariksa-nya.

(9)

II. Hak Berdaulat dan Kedaulatan pada

Geo Stationary Orbit (GSO) a. Pengertian GSO

GSO merupakan suatu orbit lingkaran yang terletak sejajar dengan bidang khatulistiwa bumi dengan ketinggian ± 35.786 km dari permukaan wilayah khatulistiwa bumi, berupa cincin dengan diameter ± 150 km dan mem-punyai ketebalan ± 70 km. Keistimewaan dari GSO adalah bahwa satelit yang ditem-patkan pada orbit ini akan bergerak mengelilingi bumi sesuai dengan rotasi bumi itu sendiri. Keistimewaan lain dari GSO adalah jika kita menempatkan sebuah satelit di jalur tersebut maka satelit akan dalam keadaan tidak bergerak dan hanya dengan lebar 17° saja akan dapat meliput sepertiga dari bagian bumi.

Jalur GSO hanya terdapat di atas negara - negara khatulistiwa seperti Columbia, Congo, Equador, Kenya, Uganda, Zaire, Brazil, dan Indonesia. Indonesia adalah satu - satunya negara yang memiliki jalur GSO terpanjang diatas wilayah teritorialnya, yakni 13% dari panjang GSO seluruhnya atau sepanjang 34.000 km.

b. Arti Penting GSO Bagi Indonesia

Indonesia adalah negara kepulauan yang membentang sepanjang garis khatulistiwa dan merupakan negara khatulistiwa yang terpan-jang. Secara geografis-strategis Indonesia merupakan negara yang mempunyai kolong yang sama panjangnya dengan segment GSO yang berada di atas wilayah Indonesia.

Dengan memperhatikan kondisi geografis yang sedemikian dan juga memperhatikan kemanfaatan GSO sebagai suatu fenomena alam yang dapat dijadikan sebagai tempat bersemayamnya satelit-satelit, maka kelangsungan dan keamanan dalam pemanfaatan segmen GSO yang berada di wilayah kepentingan Indonesia harus selalu dapat terjamin.

c. Status Hukum GSO

Secara yuridis, status GSO sebagai sumber daya alam yang terbatas dapat dijumpai pada pasal 33 (2) International Telecommunication Union (ITU) Convention 1973 sebagai berikut:

A using frequency bands for space radio services members shall bear in mind that radio frequencies and the Geostationary satellites orbit are limited natural resources, that they must be used efficiently and economically”. Penjelasan di atas menegaskan bahwa GSO merupakan sumber daya alam yang amat terbatas baik dari panjang jalur tersebut namun dari keterbatasan satelit yang dapat ditempat-kan pada GSO. Namun pada kenyataannya, jalur tersebut didominasi oleh negara-negara yang telah mempunyai kemampuan

teknologi tinggi, negara berkembang

khususnya negara - negara khatulistiwa yang berada di bawah jalur tersebut tidak mampu mengikutinya.

d. Hak Berdaulat dalam GSO

Dengan dikembangkannya prinsip first

(10)

dalam penguasaan GSO, telah membawa suasana competition serta mengakibatkan lahirnya technological appropriation. Hal ini menambah keadaan kelompok negara khatulistiwa semakin dirugikan. Kelompok negara khatulistiwa menginginkan adanya suatu pengaturan hukum international yang tidak merugikan posisi mereka dalam rangka pemanfaatan sumber daya GSO tersebut. Pada awalnya, negara khatulistiwa tersebut mencoba untuk melakukan suatu

klaim terhadap GSO yakni dengan

dicetuskannya Deklarasi Bogota 1976. Namun, kelompok space faring states, terutama Amerika Serikat, dengan kemampuan teknologinya selalu menekankan efisiensi penggunaan GSO sebagai hal utama yang harus dicapai dalam penyelesaian masalah tersebut sebagai suatu pendekatan teknis, dan menghindari tercapainya suatu penyelesaian dalam kerangka hukum internasional. Oleh karena itu, dalam pembahasan sub-komite ilmiah dan teknik UNCOPUOS, Amerika Serikat selalu memberikan argumentasi teknis yang ditujukan untuk mendukung posisinya dalam subkomite hukum. Sebaliknya kelompok negara khatulistiwa yang pada umumnya belum memiliki satelit bumi, tidak mempunyai jalan lain kecuali menempuh jalan hukum serta menghindari perdebatan teknis. Kelompok negara ini pada prinsipnya memperjuangkan hak berdaulat penuh atas ruang antariksa di atas wilayah-nya, dalam hal ini GSO.

e. Kedaulatan dalam GSO

Bentuk lain dari perjuangan Indonesia terhadap GSO adalah dengan dikeluarkannya national statement Indonesia pada sidang UNCOPUOS

1979 yang menuntut kedaulatan atas GSO. National Statement ini kemudian diterje-mahkan menjadi Posisi Dasar RI 1979 atas GSO yang di dalamnya berisi tuntutan kedaulatan Indonesia atas GSO yang juga disertai dengan kompromi sebagai berikut:

i) Pengakuan terhadap GSO sebagai sumber alam terbatas yang mempunyai ciri - ciri khusus;

ii) Negara - negara khatulistiwa memiliki hak berdaulat (souvereign right) atas GSO di atas wilayahnya;

iii) Hak-hak berdaulat tersebut hanya untuk tujuan-tujuan yang ditentukan (specified), antara lain:

a) bagi kepentingan rakyat negara-negara khatulistiwa;

b) pencegahan terjadinya titik jenuh (saturated) pada orbit GSO;

c) pencegah akibat-akibat yang merugikan negara-negara khatulistiwa dikemudian hari.

iv) Pada prinsipnya memberikan kebebasan terhadap satelit - satelit yang digunakan untuk kemanusiaan dan perdamaian. Dalam hal ini, Indonesia secara konsisten melakukan tuntutan yang sama sebagai-mana tertuang di dalam national statement 2008 di hadapan sub-komite teknik dan ilmiah UNCOPUOS, agar negara-negara di khatulistiwa memiliki hak khusus dalam pemanfaatan GSO yang berada di atas ruang wilayahnya.

(11)

f. Fondasi Hukum Nasional atas GSO

Perjuangan diplomasi Indonesia atas GSO berlanjut dengan penguatan fondasi hukum yang memuat materi mengenai GSO seba-gaimana tertuang dalam kebijakan nasional sebagai berikut:

i) Pasal 30 Ayat 3, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan Keamanan Negara sebagai berikut:

“Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara” bertugas:

a) Selaku penegak kedaulatan negara di udara bertugas mempertahankan keutuhan wilayah dirgantara nasional bersama-sama segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara lainnya;

Penjelasan resmi pasal ini adalah: “Yang dimaksud dengan tugas penegakan kedaulatan negara diartikan sama dengan penjelasan ayat (2) huruf a pasal ini bagi wilayah udara. Adapun pengertian dirgantara mencakup ruang udara dan antariksa termasuk “Orbit Geostasioner“ yang merupakan sumber daya alam terbatas“. ii. Pasal 7, Undang - Undang Nomor 3 Tahun

1989 tentang Telekomunikasi sebagai berikut : “Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit geostasioner yang

terbatas dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Per-aturan Pemerintah”

Penjelasan resmi pasal ini adalah: “Ketentuan ini dimaksudkan sebagai sarana untuk mengawasi peng-gunaan dan pemanfaatan frekuensi radio “dan orbit geo stasioner” bagi penyelenggaraan telekomunikasi dalam negeri sesuai dengan alokasi yang telah ditentukan oleh organisasi telekomunikasi internasional yang mengikat pihak Indonesia”.

g. Kekosongan Hukum dalam Rezim Hukum Antariksa Klasik Berkenaan Mengenai GSO

Rezim hukum antariksa klasik, adalah suatu produk yang dibuat hanya untuk menjelaskan prinsip dan norma dasar mengenai eksplorasi dan eksploitasi antariksa, tanpa pengaturan khusus mengenai GSO, kedaulatan dan hak berdaulat atas GSO. Hal ini dipandang sebagai suatu kesengajaan yang dibuat oleh space faring states, demi kepentingan untuk eksploitasi GSO guna penempatan satelitnya, sementara negara khatulistiwa seperti Indonesia memperhatikan mengenai kemungkinan terjadinya saturasi di dalam eksploitasi tersebut yang secara nyata akan membawa dampak langsung maupun tidak langsung terhadap Indonesia.

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia, hendaknya terus melakukan kajian yang mendalam, sistematis dan terkoordinasi dengan baik dengan negara khatulisatiwa lainnya untuk

(12)

dapat melahirkan format baru yang dapat diajukan di dalam sidang khusus subkomite hukum UNCOPUOS berikutnya (2010), bersama - sama dengan isu lainnya, yaitu "definisi dan delimitasi antariksa".

Apabila sinergi di dalam pembahasan dua topik ini berhasil, langkah terakhir bagi Indonesia adalah membuat suatu hukum nasional yang lebih tegas mengenai definisi dan delimitasi antariksa, GSO, serta hak berdaulat dan kedaulatan di dalamnya.

III. Definisi Launching State di dalam Rezim Hukum Antariksa Klasik

Indonesia adalah negara yang memiliki aset dan nilai jual yang sangat tinggi untuk ikut meramaikan industri antariksa. Aset dan nilai jual tersebut adalah posisi Indonesia yang berlokasi langsung di bawah GSO dengan jalur terpanjang yaitu 34.000 km. Hal ini ber-implikasi pada setidak - tidaknya empat hal: a) Implikasi ekonomis dimana sesungguhnya

Indonesia dapat menawarkan “paket” yang lebih terjangkau kepada negara-negara peluncur satelit apabila meluncurkan satelitnya dari spaceport yang dibangun di Indonesia dan disisi lainnya, Indonesia dapat mengambil keuntungan ekonomi dan pembangunan daerah yang akan dijadikan spaceport antariksa tersebut. b) Implikasi efisiensi, dimana negara peluncur

satelit dapat merasa lebih secure apabila satelitnya di luncurkan dari spaceport Indonesia, karena satelit akan lebih mudah

3. Sementara Malaysia, Singapura, dan India melihat peluang ini dan sekarang sedang membangun spaceport di negaranya masing–masing

untuk berposisi di dalam GSO yang terletak langsung di atas wilayah Indonesia. c) Implikasi eksklusivitas, dimana Indonesia

akan mendapatkan informasi dan teknologi antariksa yang lebih baik dibandingkan negara lain dengan tingginya frekwensi peluncuran satelit yang dilaksanakan di Indonesia. Kemungkinan diikutserta-kannya Indonesia di dalam proyek-proyek bergengsi seperti ISS pun akan semakin tinggi.

d) Implikasi deterrence (daya tangkal), dimana dengan semakin aktifnya suatu negara terhadap aktivitas dan penguasaan teknologi antariksa, maka semakin dekat negara tersebut dengan kemampuan deterrence yang lebih besar terhadap negara lain.

Namun Indonesia belum mengambil opsi tersebut3 dikarenakan masih adanya suatu ganjalan yang terdapat di dalam rezim hukum antariksa klasik, yaitu disatukannya definisi negara yang meluncurkan satelit dengan

negara yang menyediakan spaceport bagi pluncuran satelit sebagai launching state. Sebagai contoh, Pasal 7 dari Space Treaty mengatakan:

each State Party to the Treaty that launches or procure the launching of an object into outer space…and each State Party from whose territory or facility an object is launched, is inter-nationally liable for damage to an-other State Party to the Treaty…”

(13)

Sangatlah tidak wajar apabila negara pemilik satelit dan negara spaceport memiliki tanggung jawab yang sama apabila terjadi kerusakan yang timbul dari peluncuran satelit tersebut. Kondisinya akan sedikit berbeda apabila bentuk tanggung jawab antara negara pemilik satelit dan negara spaceport di pisahkan secara proporsional. Penulis memandang pasal karet di dalam rezim hukum antariksa klasik seperti ini harus segera diamandemen, agar sesuai dengan hakekat Pasal 1 Space Treaty, yaitu “exploration and exploitation of outer space shall be carried out for the benefit and in the interest of all countries…”

KESIMPULAN

Perkembangan isu eksplorasi dan eksploitasi antariksa memiliki dua pendekatan yang berbeda antara space faring states dan non space faring states seperti Indonesia. Space faring states pada umumnya sudah melakukan pendekatan yang lebih berorientasi pada aplikasi teknis dan industrialisasi antariksa sementara Indonesia masih berorientasi pada perdebatan (atau boleh dikatakan perjuangan) konseptual.

Namun demikian, terdapat satu benang merah yang dapat diambil dari perbedaan derajat kepentingan antara space faring states dan Indonesia. Kedua kelompok negara ini sama-sama membutuhkan suatu rezim hukum antariksa modern yang lebih baik, lebih komprehensif, dan lebih detail yang mengatur seluruh kepentingan yang ada di dalam eksplorasi dan eksploitasi antariksa. Sehingga, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa kini saatnya membuat suatu rezim

hukum antariksa modern yang bertumpu pada tiga (3) hal:

a) amandemen atau penyempurnaan terhadap rezim hukum antariksa klasik yang sudah ada;

b) perumusan instrumen - instrumen hukum antariksa baru yang mengatur elemen elemen yang dibahas di dalam artikel ini, dan

c) penciptaan dua organisasi internasional baru sehingga dimasa yang akan datang, isu antariksa memiliki tiga pilar organisasi internasional, yaitu UNCOPUOUS sebagai think thank isu antariksa, satu organisasi yang berwenang mengatur mengenai komersialisasi dan industrialisasi antariksa (termasuk di dalamnya wisata antariksa, aplikasi google map dan navigator, dan sebagainya), dan organisasi internasional yang terakhir merupakan perwujudan institusional conference of disarmanment sebagai organisasi watchdog untuk mengatur mengenai aspek politik-keamanan di dalam eksplorasi dan eksploitasi antariksa.

SARAN

Perbedaan pendekatan antara space faring states dan non space faring states perlu dijembatani, untuk mencegah suatu keterlambatan dalam membuat suatu aturan yang jelas dan tegas yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak. Ini adalah cermin untuk kita semua untuk mengupayakan suatu aturan hukum yang lebih jelas lagi di dalam upaya eksplorasi dan eksploitasi antariksa sebelum semuanya terlambat.

(14)

Ada dua kesalahan fatal yang memberikan kontribusi langsung terhadap terjadinya global warming. Pertama; tidak adanya komitmen dan aturan hukum yang jelas dalam eksploitasi sektor industri. Kedua; setmind yang salah yang dilakukan oleh negara - negara pada saat itu. Negara maju melakukan setmind bahwa demi kepentingan nasional masing-masing negara dalam melakukan eksploitasi industri yang dilakukan secara masif tanpa memperdulikan negara berkembang, lingkungan dan kaedah– kaedah yang ada. Di lain pihak, negara berkem-bang memiliki setmind bahwa belum menjadi kepentingannasionalnya untuk membicarakan eksploitasi industri secara terukur dan terencana. Global warming dan isu Kopenhagen adalah suatu momentum untuk dapat dijadikan cermin agar kesalahan yang sama tidak terulang dalam pembahasan isu antariksa, sehingga saran yang dapat diberikan guna

pencapaian suatu rezim antariksa modern adalah:

a) pembangunan kesadaran (awareness) yang berkelanjutan akan perlunya suatu rezim hukum antariksa yang lebih baik yang memenuhi kebutuhan - kebutuhan dan persoalan - persoalan antariksa yang berkembang pada masa sekarang harus terus ditingkatkan oleh semua negara termasuk Indonesia; dan

b) Perubahan pola pikir (setmind) bahwa isu antariksa tidaklah merupakan isu sekelompok negara tertentu saja. Indonesia seharusnya bisa memposisikan diri sebagai negara yang memiliki kepentingan dan lingkungan yang strategis dalam penguasaan dan pemanfaatan teknologi antariksa pada masa yang akan datang.

Referensi

Dokumen terkait

Warna adalah salah satu bagian dari parameter sensori yang penting, karena merupakan sifat sensoris yang pertama kali dilihat oleh konsumen.Warna merupakan faktor

Istilah Take and Give sering diartikan saling memberi dan saling menerima. Prinsip ini juga menjadi intisari dari model pembelajaran Take and Give. Take and Give

Pada pengendalian input dilakukan audit yang berfokus kepada proses input data pada sistem informasi akuntansi siklus pengeluaran, dari proses audit tersebut ada hal positif

100% pada perlakuan pemaparan umpan secara paksa dengan lama pemaparan enarn minggu, demikian pula pada pemaparan umpan tanpa paksa selama enam minggu mendapatkan

Tahanan tanah (soil resistance) sepanjang tiang yang tertanam dan pada ujung tiang direpresentasikan dengan komponen statik dan dinamik.

Trauma tidak langsung membentur kepala, tetapi terjadi pada waktu kepala mendadak bergerak atau gerakan kepala berhenti mendadak, contoh : pukulan pada

Project Integration Management kumpulan aktivitas dan proses yang diperlukan untuk mengidentifikasi, mendefinisi, mengkombinasi, menyatukan dan mengkoordinasi berbagai

dikemukakan maka sebagai saran untuk ditindak lanjuti dalam pengembangan penelitian ini adalah perlu dilakukan pengembangan set eksperimen gerak jatuh bebas