• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMODELAN NUMERIK UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH UPWELLING SEBAGAI KRITERIA LOKASI PENANGKAPAN IKAN (FISHING GROUND) DI SELAT MAKASSAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMODELAN NUMERIK UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH UPWELLING SEBAGAI KRITERIA LOKASI PENANGKAPAN IKAN (FISHING GROUND) DI SELAT MAKASSAR"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN NUMERIK

UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH UPWELLING

SEBAGAI KRITERIA LOKASI PENANGKAPAN IKAN (FISHING GROUND)

DI SELAT MAKASSAR

Andi Galsan Mahie (*)

Jurusan Matematika Fakultas MIPA UNHAS

Abstrak

Penelitian ini mengkaji dinamika upwelling di perairan Selat Makassar yang akan dijadikan pedoman dalam menentukan lokasi penangkapan ikan (fishing ground). Kajian ini menggunakan model hidrodinamika tiga-dimensi (3D), dengan gaya pembangkit arus: angin 6 jam-an dari National Center Environmental Prediction (NCEP) tahun 1997. Model hidrodinamika yang akan digunakan adalah model POM (Princeton Ocean Model). Dari penelitian ini diperoleh informasi yang detil tentang kejadian upwelling dan dinamikanya di perairan Selat Makassar yang selanjutnya akan dijadikan pedoman dalam menentukan lokasi penangkapan ikan di selat tersebut baik secara spasial maupun temporal. Daerah–daerah yang diduga menjadi tempat terjadinya upwelling rata-rata diakibatkan karena terjadinya perubahan topografi dasar laut secara drastis. Terdapat perubahan intensitas maupun lokasi terjadinya upwelling untuk setiap bulan di tahun1997.

Kata kunci: Upwelling, POM, NCEP

1. Pendahuluan

Sebagai salah satu potensi sumber daya laut di Indonesia, perikanan yang merupakan sumber pangan dan komoditi niaga bernilai tinggi belum dimanfaatkan secara optimal dan merata, karena keberadaan alat-alat penangkap ikan yang mutakhir masih terbatas dan masih kurangnya informasi spasial dan temporal yang akurat yang dapat memberikan gambaran lokasi penangkapan ikan (fishing ground).

Pada saat ini prediksi lokasi fishing ground yang diperoleh dari hasil intepretasi data satelit (Sea WifFS, TOPEX/POSEIDON dan NOAA) telah dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Hasil intepretasi data satelit tersebut perlu untuk diverifikasi dan divalidasi. Verifikasi tersebut dapat dilakukan melalui dua metodologi, yaitu: (1) melakukan simulasi model matematik dinamika arus laut tiga-dimensi (3D) spasial; serta (2) pengukuran dan pengecekan langsung di lapangan (ground truth).

Pada penelitian yang diusulkan ini, hasil intepretasi data-data satelit tersebut akan diverifikasi melalui metodologi yang pertama (pemodelan matematik untuk mensimulasikan arus laut di perairan Selat Makassar). Sedangkan verifikasi berdasarkan data lapangan (metodologi kedua) hanya akan dilakukan dengan menggunakan data sekunder (jka ada).

Pemodelan matematika tersebut akan diaplikasikan untuk mensimulasikan arus laut di perairan Selat Makassar guna mendapatkan informasi daerah-daerah terjadinya upwelling (naiknya massa air dari bawah ke permukaan), yang biasanya merupakan daerah dimana potensi perikanannya tinggi.

(2)

2.Tinjauan Pustaka

Pada umumnya, lokasi upwelling sangat bergantung pada musim dan sistem sirkulasi arus yang ada di suatu perairan. Lokasi upwelling di perairan Indonesia ada yang sudah dapat diketahui keberadaannya dengan pasti (Nontji, 1993), yaitu:

1. Selatan Jawa hingga Sumbawa; upwelling terjadi selama satu musim saja (Mei – September)

2. Laut Banda dan Arafura; upwelling terjadi secara bergantian dengan proses sinking (tenggelamnya massa air). Pada musim timur (Mei – September) terjadi upwelling, sedangkan pada musim barat (Desember – Februari) terjadi sinking.

3. Selat Makasar bagian Selatan; upwelling terjadi selama satu musim saja (Juni – September)

Sedangkan keberadaan upwelling di daerah lain dari perairan Indonesia masih memerlukan penelitian lebih lanjut yang terintegrasi (an integrated research project), antara lain dengan memanfaatkan data satelit (Sea WifFS, TOPEX/POSEIDON, dan NOAA) dan membuat model prediksi dinamika arus laut. Pengintegrasian atau kombinasi dua pendekatan ini sangat diperlukan karena masing-masing metoda mempunyai kendala atau kelemahan yang akan diupayakan untuk diminimalkan dengan metoda lainnya.

Pemanfaatan data satelit untuk memperkirakan lokasi fishing ground dapat dilakukan melalui gambar warna laut (ocean color images) yang dihasilkan dari satellite borne Sea-viewing Wide Field-of-View Sensor (Sea WiFS). Interpretasi warna-warna laut yang dihasilkan ini dapat digunakan untuk memperkirakan lokasi dan konsentrasi dari phytoplankton (yang berhubungan dengan proses upwelling), sedimen, dan senyawa-senyawa kimia organik terlarut. Selain itu pemanfaatan data anomali ketinggian permukaan laut yang dihasilkan dari satelit altimetri TOPEX/POSEIDON serta data distribusi temperatur permukaan laut dari satelit NOAA dapat juga digunakan untuk membuat peta lokasi upwelling.

Pada saat ini pemanfaatan data satelit-satelit di atas telah dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan untuk membuat peta lokasi daerah penangkapan ikan. Hasil intepretasi data satelit tersebut perlu untuk diverifikasi dan divalidasi. Verifikasi tersebut dapat dilakukan melalui dua metodologi, yaitu: (1) melakukan simulasi model matematik dinamika arus laut tiga-dimensi (3D) spasial; serta (2) pengukuran dan pengecekan langsung di lapangan (ground truth).

Sebagai tahap awal dalam menentukan lokasi-lokasi terjadinya upwelling dan dalam rangka membuat peta lokasi fishing ground, kami hanya akan meninjau pola sirkulasi arus yang dibangkitkan angin monsun saja. Pada tahap ini simulasi arus akan dilakukan di perairan Selat Makassar sebagai daerah model.

Prosedur pemodelan tersebut akan mengacu pada penelitian terdahulu yang telah mengaplikasikan model hidrodinamika 3D spasial di Laut Jawa (Ningsih dan Yamashita, 1998) dan di Teluk Osaka, Jepang (merupakan salah satu bagian yang dibahas dalam literatur Ningsih, 2000), dan berdasarkan studi pustaka (Kowalik dan Murti, 1993; Melor, 1996).

Penelitian lain yang mendukung adalah aplikasi model hidrodinamika 3D di Selat Makassar untuk melihat variabilitas Arus Lintas Indonesia yang mengalir dari Samudera Pasifik ke Selat Makassar (Mahie, A. G., Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung, 2005) serta penelitian yang dilakukan oleh Mihardja, D.K., N.S. Ningsih, I.M. Radjawane., A.G. Mahie., P. Nanlohy., D.N.N. Simandjuntak dalam dalam bentuk laporan akhir penelitian program riset ITB Desember 2005 “Pemodelan Numerik Sirkulasi Arus Dan Dinamika Massa Air Selat Makassar”.

(3)

2.1

Pola Monsun Indonesia

Menurut McBride (1992) di dalam Mahie (2005), pada kondisi normal wilayah Indonesia dipengaruhi oleh empat musim utama, yaitu :

1. Monsun barat (west monsoon), yang terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari. 2. Transisi dari monsun barat ke monsun timur (Peralihan I) yang terjadi pada bulan Maret,

April dan Mei.

3. Monsun timur, yang terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus.

4. Transisi dari monsun timur ke barat (Peralihan 2), yang terjadi pada bulan September, Oktober, November.

2.2

Pola Arus Indonesia

Secara umum yang dimaksud dengan arus adalah gerakan massa air laut ke arah horizontal dalam skala besar (Wibisono, 2005). Sverdrup (1972) membagi arus laut ke dalam tiga golongan besar, yaitu:

1. Arus yang disebabkan oleh perbedaan sebaran densitas di laut. Arus ini disebabkan oleh air yang berdensitas lebih berat akan mengalir ke tempat air yang berdensitas kecil atau lebih ringan. Jenis arus ini biasanya membawa sejumlah besar air dari suatu tempat ke tempat lain. 2. Arus yang disebabkan oleh air pasang. Jenis arus ini mengalirnya bolak-balik dari dan ke

pantai, atau berputar. Arus air pasang dipengaruhi oleh gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi dan datangnya secara periodik sehingga dapat di ramalkan.

3. Arus yang ditimbulkan oleh angin yang berhembus di permukaan laut. Jenis arus ini biasanya membawa air kesatu jurusan dengan arah yang sama selama satu musim tertentu. Jenis arus ini yang akan dikaji lebih lanjut pada pembahasan berikutnya.

Perubahan arah arus yang kompleks susunannya terjadi sesuai dengan makin dalamnya kedalaman suatu perairan. Kecepatan arus ini akan berkurang cepat sesuai dengan makin bertambahnya kedalaman perairan dan akhirnya angin menjadi tak berpengaruh sama sekali terhadap kecepatan arus (Hutabarat dan Evans, 1986).

Ketika angin berhembus melintasi lautan, angin menggerakkan arus permukaan dalam skala besar pada pola yang serupa. Aliran arus lebih bereaksi terhadap sirkulasi atmosfer daripada cuaca harian. Akan tetapi, arus utama berubah arah sebagai reaksi atas perubahan musim. Arus selanjutnya berubah akibat interaksi antara arus dan sekitar daerah air konvergen dan divergen (Sverdrup, 2005).

Angin yang berhembus di perairan di Indonesia terutama adalah angin musim (monsoon) yang dalam setahun terjadi dua kali pembalikan arah yang mantap masing-masing disebut angin musim barat dan angin musim timur. Dari pola arah angin musim tersebut Laut Cina,Laut Jawa, Laut Flores sampai ke Laut Banda dan Laut Arafura berada pada posisi yang porosnya tepat dalam arah utama kedua angin musim. Karena angin musim ini bertiup dengan mantap, walaupun kekuatannya relatif tidak besar, maka akan terjadi kondisi yang sangat baik untuk terjadinya arus musim (Monsoon Current) di perairan-perairan ini.

Selain arus yang terjadi secara horisontal terdapat arus yang terjadi secara pertikal yang biasa disebut sebagai upwelling. Upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi, dan zat-zat hara yang kaya ke permukaan (Nontji, 1993). Proses upwelling ini dapat terjadi dalam tiga bentuk.

1. Pada waktu arus dalam (deep current) bertemu dengan rintangan seperti mid-ocean ridge (suatu sistem ridge bagian tengah lautan) di mana arus tersebut dibelokkan ke atas dan selanjutnya air mengalir deras ke permukaan.

(4)

2. Ketika dua massa air bergerak berdampingan, misalnya saat massa air yang di utara di bawah pengaruh gaya coriolis dan massa air di selatan ekuator bergerak ke selatan di bawah pengaruh gaya coriolis juga, keadaan tersebut akan menimbulkan “ruang kosong” pada lapisan di bawahnya. Kedalaman di mana massa air itu naik tergantung pada jumlah massa air permukaan yang bergerak ke sisi ruang kosong tersebut dengan kecepatan arusnya. Hal ini terjadi karena adanya divergensi pada perairan laut tersebut.

3. Upwelling dapat pula disebabkan oleh arus yang menjauhi pantai akibat tiupan angin darat yang terus-menerus selama beberapa waktu. Arus ini membawa massa air permukaan pantai ke laut lepas yang mengakibatkan ruang kosong di daerah pantai yang kemudian diisi dengan massa air di bawahnya (Gambar II.6).

Meningkatnya produksi perikanan di suatu perairan dapat disebabkan karena terjadinya proses air naik (upwelling). Karena gerakan air naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas yang tinggi dan tak kalah pentingnya zat-zat hara yang kaya seperti fosfat dan nitrat naik ke permukaan (Nontji, 1993). Selain itu proses air naik tersebut disertai dengan produksi plankton yang tinggi. Di perairan Selat Makasar bagian selatan diketahui terjadi upwelling. Proses terjadinya upwelling tersebut disebabkan karena pertemuan arus dari Selat Makasar dan Laut Flores bergabung kuat menjadi satu dan mengalir kuat ke barat menuju Laut Jawa. Dengan kondisi demikian dimungkinkan massa air di permukaan di dekat pantai Makassar secara cepat terseret oleh aliran tersebut dan untuk menggantikannya massa air dari lapisan bawah naik ke atas.

Gambar II.6. Upwelling akibat arus menjauhi pantai

2.3

Pemodelan Numerik Tiga Dimensi dan Gaya Pembangkit Angin

Di dalam penelitian ini digunakan model hidrodinamika tiga dimensi yang dikembangkan oleh Alan Blumberg dan George Mellor yang dikenal dengan sebutan model POM (the Princeton Ocean Model) sekitar tahun 1977 (Mellor, 1998). Model POM ini telah mengalami banyak pengembangan oleh peneliti-peneliti lainnya, termasuk dalam penelitian ini digunakan model POM yang telah dimodifikasi oleh Ningsih (2000). Model POM dalam implementasinya mengadopsi metode beda hingga.

(5)

Model POM ini telah diaplikasikan di daerah Selat Makassar oleh Mahie, A.G (2005) dalam bentuk Thesis di Jurusan Geofisika dan Meteorolgi Program Studi Oseanografi, ITB, Bandung.

2.3.1

Transformasi Persamaan Dasar

Model POM menggunakan transformasi persamaan pengatur dalam arah vertikal, yaitu dari sistem koordinat kartesian menjadi sistem koordinat sigma (σ). Tujuan transformasi ini adalah agar diperoleh hasil simulasi yang lebih baik di lapisan permukaan dan dasar. Sistem koordinat sigma akan mengikuti batimetri perairan yang disimulasikan seperti terlihat pada Gambar 2, transformasi yang digunakan adalah :

* * *

,

,

z

,

x

x y

y

t

t

H

(2.1)

Dimana x, y, z adalah koordinat kartesian, x*, y*, t* adalah koordinat hasil transformasi, D= H + η adalah kedalaman total dengan H(x,y) adalah topografi dasar dan η(x,y,t) adalah elevasi permukaan air. Dalam sistem koordinat sigma, interval kolom air dari permukaan (z= η ) ke dasar (z=-H) dirubah menjadi kedalaman yang seragam dari 0 sampai -1.

   z = 0 z = H(x,y)

Gambar 2. Sistem koordinat sigma (Sumber: Mellor, 1998)

Persamaan-persamaan pembangun model sirkulasi arus 3D yang sudah ditransformasikan kedalam sistem koordinat sigma adalah :

Persamaan kontinuitas:

0

DU

DV

x

y

t

(2.2)

(6)

2 0 2 ' ' ' ' 0 M x

UD

U D

UVD

U

fVD

t

x

y

gD

D

K

U

gD

d

F

x

x

D

x

D

 

 

 

(2.3) 2 0 2 ' ' ' ' ' 0 M y

VD

UVD

V D

V

fUD

t

x

y

gD

D

K

V

gD

d

F

y

y

D

y

D

 

 

 

(2.4) dimana:

U dan V : masing-masing komponen kecepatan arus arah timur-barat dan utara-selatan

: kecepatan vertikal dalam kordinat-

t : waktu

f : parameter coriolis g : percepatan gravitasi

: elevasi permukaan air,

0

: densitas referensi air. ρ’

: nilai fluktuasi dari densitas air

M

K

: viskositas eddy vertikal

Fx dan Fy : suku difusi dan viskositas horizontal dalam arah x dan y KH : koefisien difusivitas eddy vertikal untuk suhu dan salinitas

FT dan FS : suku difusivitas horizontal untuk temperatur dan salinitas

Persamaan (2.3) dan (2.4) mengandung suku perubahan lokal kecepatan, adveksi, pengaruh coriolis, gradien tekanan, gradien densitas, tegangan (stress) permukaan dan dasar, serta olakan. Simbol

pada persamaan di atas merupakan kecepatan horizontal dalam koordinat-

. Secara fisis

adalah komponen kecepatan normal ke permukaan sigma (σ). Kecepatan arus dalam arah horizontal pada koordinat kartesian adalah:

t

t

D

y

y

D

V

x

x

D

U

W





(2.5)

Model POM menggunakan teknik penyelesaian mode pemisah (mode-splitting technique) untuk mereduksi sejumlah besar pekerjaan komputasi dalam model 3D. Langkah waktu (time step) perhitungan dalam teknik ini ada dua macam, yaitu: langkah waktu pendek digunakan untuk menyelesaikan persamaan dua dimensi (2D) yang diintegrasikan secara horizontal (mode eksternal) dan langkah waktu yang lebih panjang digunakan untuk persamaan tiga dimensi (mode internal).

(7)

Mode eksternal diselesaikan dengan menggunakan persamaan yang diintegrasikan secara horizontal (2D), yaitu: Persamaan kontinuitas: __ __

0

UD

VD

t

x

y

(2.6)

Persamaan gerak dalam arah x dan y

__ 0 __ _____ __ 2 __ U A D x g V f y UV x U t U H bx sx                

(2.7) __ __ _____ 2 __ __ 0 sy by H V UV V f U g A V t x y y D

        (2.8) dimana:

dan

U

V

: komponen kecepatan arus yang dirata-ratakan terhadap kedalaman masing-masing untuk arah timur-barat dan utara-selatan

dan

sx sy

: stress permukaan masing-masing untuk arah x dan y dan

bx by

: stress dasar masing-masing untuk arah x dan y

H

A

: viskositas eddy horizontal;

2 2

2 2

x

y

 

: operator Laplace 2-dimensi;

2.3.2

Penentuan Langkah Waktu

Penentuan langkah waktu dalam model eksternal (vertically integrated) dilakukan berdasarkan pada syarat stabilitas komputasi Courant-Friedrichs-Levy (CFL) dengan perumusan sebagai berikut : 2 / 1 2 2 1 1 1       y x C t t E (2.9) dimana Ct = 2 (gH) 1/2

+ Umax; Umax adalah kecepatan maksimum yang mungkin terjadi. Terdapat

syarat-syarat pilihan langkah waktu yang lain namun untuk kepraktisan maka digunakan syarat stabilitas CFL yang cukup ketat. Model internal mempunyai langkah waktu yang lebih panjang selama efek model eksternal telah dihilangkan.

Kriteria penentuan langkah waktu yang digunakan untuk metode ini analog dengan model eksternal yaitu : 2 / 1 2 2 1 1 1 1       y x C t t (2.10)

dimana Ct 2CUmax; Ct adalah kecepatan maksimum gelombang gravitasi internal yang

umumnya dalam orde 2 m/detik dan Umax adalah kecepatan advektif maksimum. Untuk kondisi

lautan tertentu, perbandingan antara langkah waktu internal dan langkah waktu eksternal

E

E

DT

DT

t

t

1

/

1

/

(8)

Terdapat pembatasan tambahan dalam penentuan langkah waktu model internal karena dilibatkannya difusi horizontal dari momentum atau disimbolkan dalam skalar A = AM atau A =

AH. kriteria yang digunakan adalah : 1 2 2 1 1 1 4 1       y x A t (2.11)

Kriteria penentuan langkah waktu model internal akibat adanya rotasi adalah :

sin

2

1

1

f

t

(2.12)

dimana AH adalah diffusifitas horizontal,  adalah kecepatan sudut rotasi bumi dan

adalah

lintang. Dua kriteria penentuan langkah waktu di atas tidak seketat kriteria penentuan langkah waktu berdasarkan kriteri CFL (Courant Friederichs Levy).

2.3.3 Syarat Batas

2.3.3.1 Syarat Batas Lateral

Syarat batas tertutup digunakan pada batas darat, dimana kecepatan yang datang tegak lurus pantai adalah sama dengan nol (zero flow normal), sedangkan syarat batas radiasi Sommerfeld digunakan pada batas terbuka berdasarkan teknik penjalaran gelombang. Pendekatan syarat batas radiasi tersebut dalam bentuk persamaan adveksi (Chapman, 1985 dalam Mandang, 2002):

0 c t x

  (2.13)

Dimana

= kecepatan arus atau elevasi permukaan air, dan c = kecepatan fasa. Tanda pada bagian atas dan bawah (+ dan -) masing-masing bersesuaian dengan batas terbuka pada sisi kiri dan kanan.

Bentuk numerik untuk persamaan (2.13) adalah sebagai berikut:

0

2

/

2

1 1 1 1 1

   

x

c

t

n B n B n B n B n B

(2.14)

Dimana subkrip B menyatakan batas, dan superskrip n-1, n, n+1 menyatakan level waktu. Selanjutnya pers (2.14) dapat ditulis:



      1 / 2 1 1 1 n B n B n B (2.15)

Dimana

Bn1 adalah nilai yang diperoleh dari perhitungan di batas (dapat berupa elevasi muka air atau kecepatan arus).

2.3.3.2 Syarat Batas Vertikal

Dalam sistem koordinat-σ, syarat batas permukaan (σ =0) dan dasar (σ = -1) dapat ditulis sebagai berikut: ω(x,y,0,t) = ω(x,y,-1,t) = 0 (2.16)

a D T

x y

s y s x M W W W C V U D K , , ,

        , di σ =0 (2.17)

dimana

W

T

W

x2

W

y2

1/2 dengan Wx dan Wy masing-masing adalah komponen kecepatan angin dalam arah barat-timur dan utara selatan pada ketinggian 10 m dari permukaan laut. CD

adalah koefisien gesekan angin, ρa adalah densitas udara. Syarat batas yang digunakan di dasar

(9)

M U V

xb by

Cz

Uh Vh

Uh Vh

D K , , , 2 / 1 2 2           

(2.18) dimana Uh dan Vhmerupakan kecepatan dekat dasar, Cz merupakan koefisien gesekan dasar.

3.Metodologi Penelitian

Model hidrodinamika 3 dimensi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model POM (the Princeton Ocean Model). Kegiatan penelitian akan dibagi kedalam tiga skenario yaitu: Penentuan Lokasi Penelitian

Daerah yang dimodelkan adalah perairan Selat Makassar yaitu pada 40LS - 10LU dan 116,170BT - 120,270BT. Data batimetri daerah model adalah data batimetri sekunder yang diterbitkan oleh Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL(1992) dengan nomor peta sebagai berikut:

1. Peta batimetri Selat Makassar No. 126 2. Peta batimetri Selat Makassar No. 127 3. Peta batimetri Selat Makassar No. 128

Gambar II.1. Batimetri daerah model

(Sumber:1. Peta Batimetri No.126 (Dishidros), 2. Peta Batimetri No.127 (Dishidros), dan 3. Peta Batimetri No 128 (Dishidros))

Kedalaman daerah model sangat bervariasi dengan kedalaman maksimum + 3359 meter di daerah bagian utara Selat Makassar.

Daerah model dibagi-bagi dengan ukuran grid x = y = 2500 m dengan banyak grid arah x ada 182 dan untuk arah y ada 222 grid, sedangkan secara vertikal dibagi menjadi 7 lapisan dengan ukuran grid dalam koordinat-

diperlihatkan pada Tabel III.1.

(10)

Tabel III.1

Nilai  untuk tiap lapisan No. Lapisan tebal lapisan ()

1 0.081604 2 0.023315 3 0.023315 4 0.069946 5 0.303101 6 0.396363 7 0.102355

Gambar-3.1. Peta Lokasi Penelitian

Data batimetri Kepulauan Spermonde yang diperoleh dari DISHIDROS TNI-AL, dengan panjang 74 km, lebar 81.4 km, mempunyai kedalaman maksimum perairan 650 meter.

Angin sebagai gaya pembangkit arus

Data yang digunakan adalah data angin tahun 1997 yang bervariasi setiap 6 jam-an diperoleh melalui http://www.ncep.gov. Analis distribusi kecepatan angin dilakukan untuk mengetahui pola angin rata-rata tiap bulan . Data angin yang diperoleh dalam format netcdf diolah dengan memanfaatkan software Grid Analysis Display System (GrADS) versi 1.8SL11 dengan data keluaran berupa komponen angin yaitu u dan v dalam 1 tahun yaitu tahun 1997, kemudian diasimilasi untuk memperoleh data angin tiap 6 jam-an dalam 1 tahun.

4.

Hasil dan Pembahasan

Simulasi model dilakukan untuk angin tahun 1997. Gerakan vertikal arus (upwelling) yang memperlihatkan lokasi-lokasi penangkapan ikan.

Identifikasi daerah-daerah Upwelling sebagi indikator fishing ground

Hasil simulasi yang diperoleh dari model yang dijalankan selama setahun dengan dibagi setiap bulan mulai Januari sampai dengan bulan Desember dapat dilihat pada Gambar 4.1 – 4.2. Pola arus secara vertikal dapat dilihat dari indikator warna yang diperlihatkan oleh setiap gambar. Pola kecepatan arus secara vertikal sebagai kriteria terjadinya Upwelling dapat dilihat dari indikator warna dari biru, merah sampai kuning dimana warna kuning memberikan pengertian bahwa kecepatan arus secara vertikal adalah membesar. Selanjutnya tempat terjadinya Upwelling dapat dijadikan sebagai kriteria daerah – daerah fishing ground.

(11)

Gambar 4.1 Gambar 4.2

(12)

Gambar 4.5 Gambar 4.6

(13)

Gambar 4.9 Gambar 4.10

Gambar 4.11 Gambar 4.12

Dari hasil model mulai bulan Januari sampai Desember 1997 memperlihatkan tidak terjadinya perubahan tempat terjadinya Upwelling dengan kata lain selama setahun daerah – daerah

(14)

Upwelling secara umum tidak berubah. Jadi dapat dikatakan bahwa peristiwa Upwelling di Selat Makassar sangat dipengaruhi oleh perubahan tofografi bawah laut.

5.

Kesimpulan

1. Daerah–daerah yang diduga menjadi tempat terjadinya upwelling rata-rata diakibatkan karena terjadinya perubahan topografi dasar laut secara drastis.

2. Terdapat perubahan intensitas terjadinya upwelling untuk setiap bulan di tahun 1997. 3. Pada umumnya tidak terjadi perubahan tempat terjadinya upwelling untuk setiap bulan di

tahun 1997.

DAFTAR PUSTAKA

Kowalik, Z and Murty, TS, “Numerical modeling of ocean dynamics”, World scientific, Singapore, p. 216-267, 1993.

Mahie, A.G, “Analisis Variabilitas Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) di Selat Makassar”, Tesis Magister, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung, 2005.

Mellor, G. L., (1998), Users Guide for a three-dimensional, primitive equation, numerical ocean model, Revisoon July 1998, Princiton Uneversity, Princiton.

Mihardja, D.K., N.S. Ningsih, I.M. Radjawane., A.G. Mahie., P. Nanlohy., D.N.N. Simandjuntak., ”Pemodelan Numerik Sirkulasi Arus dan Dinamika Massa Air Selat Makassar’., Laporan Akhir Program Riset ITB, 2005.

Ningsih, N.S., and T. Yamashita, “Three-dimensional model of tide and wind-driven circulation in Java Sea”, Proceedings of the second regional symposium on infrastructure planning in civil engineering, Manila, Philippines, Vol.2, February 20-21, 1998.

Ningsih, N.S, “Three-dimensional model for coastal ocean circulation and sea floor topography changes: application to the Java Sea”, Doctoral Thesis in Engineering, Civil Engineering, Kyoto University, Japan, 2000.

Gambar

Gambar II.6. Upwelling akibat arus menjauhi pantai   2.3  Pemodelan Numerik Tiga Dimensi dan Gaya Pembangkit Angin
Gambar 2. Sistem koordinat sigma (Sumber: Mellor, 1998)
Tabel III.1

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dan wawasan peneliti tentang pengaruh latar belakang pendidikan menengah dan perilaku

Dengan demikian setiap perbedaan yang ada di dunia hendaknya dijadikan alat pemersatu, karena dalam konsep Hindu, segala bentuk perbedaan adalah berasal dari

A. Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Android Media pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebuah software Android yang diberi nama G-Forest yang

Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian ketiga oleh Arif Rahman Hakim tentang “Zakat Perniagaan (Tijarah) Perspektif Masyarakat Pedagang Hasil Tambak

Prosedur penilaian adalah langkah-langkah yang digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan data dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian. Penelitian pada dasarnya

Gambar 4.25 Grafik Perbandingan Hasil Observasi Partisipasi Mengemukakan Pendapat di Kelas dan Twitter Siklus 3 dan 4

Populasi dalam penelitian ini seluruh konsumen yang berada di toko mas di pusat kota Surabaya. Sampel yang diambil adalah sebesar 112 responden. Data yang dipergunakan adalah

Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa perubahan persentase kurs dalam jangka pendek (Dlnkurs) mempunyai hubungan yang positif dan tidak signifikan terhadap perubahan persentase