• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum

a. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum adalah perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum, baik yang bersifat preventif maupun represif untuk menegakkan hukum. Kata perlindungan secara kebahasaan tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan unsur-unsur, yaitu :

1) Unsur tindakan melindungi;

2) Unsur pihak-pihak yang melindungi; dan 3) Unsur cara-cara melindungi.

Kata perlindungan mengandung makna yaitu suatu tindakan perlindungan atau tindakan melindungi dari pihak-pihak tertentu yang ditunjukkan untuk pihak tertentu dengan menggunakan cara-cara tertentu (Wahyu Sasongko, 2007 : 30).

Perlindungan hukum bila dijelaskan secara harafiah dapat menimbulkan banyak persepsi. Perlindungan hukum dapat menimbulkan pertanyaan yang kemudian meragukan keberadaan hukum. Oleh karena hukum sejatinya harus memberikan perlindungan terhadap semua pihak sesuai dengan status hukumnya karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum (Status Hukum, 2014,

(2)

http://statushukum.com/perlindungan-hukum.html, diakses tanggal 21 April 2016 pukul 10.26).

Menurut Philipus M. Hadjon (dalam Philipus M. Hadjon dkk, 2001 : 288) bahwa Undang-Undang Dasar Belanda menyatakan sekarang ini hampir seluruh bidang hukum administrasi seorang warga ditangani oleh hakim administrasi. Pertama, seorang hakim tidak pernah dapat mengambil keputusan sendiri tetapi dia harus mendapat informasi tambahan; Kedua, seorang hakim hanya dapat mengambil keputusan dalam perkara yang konkrit tentu saja harus dicatat; Ketiga, hakim itu sifat pengujiannya terbatas menurut hukum. Seorang hakim memegang kekuasaan dalam memutus perkara.

Di Indonesia, perlindungan hukum diatur pada sebuah aturan dimana ada asas yang sangat penting bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Ketentuan tersebut dikatakan sebagai penegasan dari penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Walaupun menurut undang-undang dasar dan undang-undang kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka dari campur tangan siapapun dalam menyelenggarakan peradilan, tetapi dalam hal ini tergantung pada pribadi para hakim (Philipus M. Hadjon dkk, 2001 : 296).

b. Tujuan Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum (Status Hukum, 2014, http://statushukum.com/perlindungan-hukum.html, diakses tanggal 20 April 2016 pukul 16.02).

c. Bentuk Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum terdiri dari dua bentuk yaitu perlindungan hukum preventif (pencegahan) dan hukum represif (pemaksaan), baik yang

(3)

secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum (Status Hukum, 2014, http://statushukum.com/perlindungan-hukum.html, diakses tanggal 20 April 2016 pukul 16.02).

Menurut Philipus M. Hadjon (dalam Status Hukum, 2014, http://statushukum.com/perlindungan-hukum.html, diakses tanggal 20 April 2016 pukul 16.02), perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni: Pertama : Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan. Di Indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.

Kedua : Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum untuk menyelesaikan sengketa.

Secara konseptual, perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila.

2. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen a. Pengertian Perlindungan Konsumen

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut cukup memadai. Kalimat yang

(4)

menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011 : 1-2).

b. Asas-Asas Perlindungan Konsumen

Berkaitan dengan tujuan perlindungan konsumen, ada lima asas yang terkandung menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini adalah (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011 : 31-33) :

1) Asas manfaat

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, tetapi untuk memberikan kepada masing-masing pihak, pelaku usaha dan konsumen, apa yang menjadi haknya.

2) Asas keadilan

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal, memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan menjalankan kewajiban secara seimbang.

(5)

3) Asas keseimbangan

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen.

4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.

5) Asas kepastian hukum

Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

c) Tujuan Perlindungan Konsumen

Tujuan yang ingin dicapai melalui Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini sebagaimana dimaksud adalah (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011 : 33-34) :

1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,

(6)

4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; dan

6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

3. Tinjauan Umum tentang Hukum Perlindungan Konsumen a. Sejarah Terbitnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Dasar pertimbangan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa pembangunan dan perkembangan perekonomian di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang di dukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, paragraf ke-1).

Kondisi ini memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, paragraf ke-2). Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini disebabkan karena rendahnya pendidikan konsumen

(7)

(Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, paragraf ke-4).

Adanya upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. Sehingga terbentuklah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, paragraf ke-5, ke-7, dan ke-8).

b. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Menurut Nasution (dalam Kelik Wardiono, 2014 : 5) menyatakan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas. Secara definitif beliau mengemukakan :

Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.

Selanjutnya Nasution (dalam Kelik Wardiono, 2014 : 5-6) telah mengakui salah satu bagian dari hukum konsumen adalah aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan pihak lain.

c. Subjek Hukum Perlindungan Konsumen

Subjek hukum adalah setiap pendukung hak dan kewajiban. Maksudnya adalah segala sesuatu yang dapat memiliki hak secara sah dan diakui berdasarkan hukum dan/atau dapat di bebani kewajiban menurut hukum yang berlaku. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terdapat dua subjek hukum yaitu : Konsumen dan Pelaku Usaha (Kelik Wardiono, 2014 : 6-7).

d. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Kasus pelanggaran hak

(8)

konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggungjawab (Sidharta, 2000 : 58-59).

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut (Sidharta, 2000 : 59-65) :

1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata, prinsip ini dipegang secara teguh. Penerapan prinsip ini adalah konsumen hanya melihat semua di balik dinding suatu korporasi itu sebagai satu kesatuan. Maksudnya, jika suatu korporasi (misalnya rumah sakit) memberi kesan kepada masyarakat (pasien), orang yang bekerja di situ (dokter, perawat, dan lain-lain) adalah karyawan yang tunduk di bawah perintah/koordinasi korporasi tersebut, maka sudah cukup syarat bagi korporasi itu untuk wajib bertanggungjawab terhadap konsumennya.

2) Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab

Prinsip ini menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggungjawab sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Apabila penggugat ingkar dapat digugat balik.

3) Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab

Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan biasanya dapat dibenarkan. Penerapan prinsip ini adalah dalam hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Hal ini, pengangkutan (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.

(9)

4) Prinsip tanggung jawab mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen.

5) Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan

Prinsip tanggung jawab pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan jika ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggungjawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.

4. Tinjauan Umum tentang Konsumen a. Pengertian Konsumen

Pengertian konsumen menurut pendapat para ahli dan Undang-Undang Republik Indonesia sebagai berikut :

1) Menurut A.Z. Nasution

Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan jasa digunakan untuk tujuan tertentu (dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011 : 25).

2) Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011 : 4).

(10)

b. Unsur-unsur Konsumen

Menurut Sidharta (dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011 : 27-30) terdapat unsur-unsur dalam pengertian konsumen sebagai berikut :

1) Setiap Orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum. Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam Pasal 1 angka 3, secara khusus membedakan kedua pengertian “orang” di atas, dengan menyebutkan kata-kata “orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tampaknya berusaha menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai lawan kata “konsumen”. Untuk itu digunakan kata “pelaku usaha” yang bermakna lebih luas.

2) Pemakai

Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir. Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli.

3) Barang dan/atau jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti digunakan kata produk. Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang. Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus lebih dari satu orang. Kata-kata “ditawarkan kepada

(11)

masyarakat” itu harus ditafsirkan sebagai bagian dari suatu transaksi konsumen.

4) Yang Tersedia dalam Masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia dipasaran, dilihat Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berbunyi, “barang dan/atau jasa tersebut tersedia”.

5) Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang lain, dan Makhluk Hidup Lain

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarga) bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan.

6) Barang dan/atau jasa itu tidak untuk Diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen berbagai negara.

c. Ciri-ciri Konsumen

Menurut Hans W. Micklitz (dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011 : 34-35) menyatakan terdapat dua tipe konsumen yang akan mendapatkan perlindungan, yaitu :

1) Konsumen yang terinformasi

a) Ciri-ciri konsumen yang terinformasi sebagai tipe pertama yaitu : (1)Memiliki tingkat pendidikan tertentu;

(2)Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar; dan

(12)

Adanya tiga potensi, konsumen jenis ini mampu bertanggung jawab dan relatif tidak memerlukan perlindungan.

2) Konsumen yang tidak terinformasi

a) Ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasi sebagai tipe kedua yaitu : (1)Kurang pendidikan;

(2)Termasuk kategori kelas menengah ke bawah; dan (3)Tidak lancar berkomunikasi.

d. Hak dan Kewajiban Konsumen

Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan hanya fisik, melainkan perlindungan yang diberikan mengenai hak-hak konsumen (Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011 : 30).

Secara umum terdapat empat hak dasar konsumen, yaitu (Sidharta dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011 : 30) :

1) Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan/atau jasa tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan jasmani dan rohani (Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011 : 33).

2) Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)

Setiap produk yang diperkenalkan konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan/atau jasa. Informasi disampaikan lisan kepada konsumen, melalui iklan atau mencantumkan dalam kemasan produk (Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011 : 33-34).

3) Hak untuk memilih (the right to choose)

Setiap mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia

(13)

tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli (Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011 : 36).

4) Hak untuk di dengar (the right to be heard)

Hak untuk di dengar merupakan hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi. Ini disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen (Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011 : 335-36).

PBB melalui Resolusi Nomor A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection) merumuskan enam kepentingan konsumen yang harus dilindungi, yaitu (Inosentius Samsul dalam Zulham, 2013 : 49) :

1) Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;

2) Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

3) Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;

4) Pendidikan konsumen;

5) Tersediannya ganti rugi yang efektif; dan

6) Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union-IOCU) menambahkan empat hak dasar konsumen yang harus dilindungi, yaitu (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam Zulham, 2013 : 49) :

1) Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; 2) Hak untuk memperoleh ganti rugi;

(14)

4) Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Masyarakat ekonomi Eropa juga telah menetapkan hak-hak dasar konsumen yang perlu mendapat perlindungan, yaitu (Mariam Darus dalam Zulham, 2013 : 49-50):

1) Hak perlindungan kesehatan dan keamanan; 2) Hak kepentingan ekonomi;

3) Hak mendapat ganti rugi; 4) Hak atas penerangan; dan 5) Hak untuk didengar.

Hak konsumen tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai berikut (Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011 : 31-32) :

1) Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4) Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5) Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8) Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang di terima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan

9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

(15)

Adapun kewajiban konsumen menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagai berikut (Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011 : 41) :

1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi kemanan dan keselamatan; 2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; dan

4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

5. Tinjauan Umum tentang Pelaku Usaha a. Pengertian Pelaku Usaha

Menurut penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen istilahnya pelaku usaha atau produsen adalah “setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi” (Az Nasution dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011 : 41).

b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Kegiatan menjalankan usaha, undang-udang memberikan sejumlah hak dan membebankan sejumlah kewajiban dan larangan kepada produsen. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hak-hak dari pelaku usaha (produsen) sebagai berikut (Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011 : 43) :

1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

(16)

2) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; dan

5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kewajiban dari pelaku usaha (produsen) sebagai berikut (Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011 : 43) :

1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan /atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; dan

7) Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang di terima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

(17)

c. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Menurut Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tanggung jawab pelaku usaha (produsen) sebagai berikut (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011 : 125) :

1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;

2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi;

4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan; dan

5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

6. Tinjauan Umum tentang Hak Atas Kesehatan a. Pengertian Kesehatan

Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan), karena itu kesehatan merupakan dasar dari diakuinya derajat kemanusiaan. Tanpa kesehatan, seseorang menjadi tidak sederajat secara kondisional dan tidak akan mampu memperoleh hak-hak lainnya (Dedi Afandi, 2008 : 2). Sehingga kesehatan menjadi salah satu ukuran selain tingkat pendidikan dan ekonomi yang menentukan mutu sumber daya

(18)

manusia (Dedi Afandi, 2008 : 3). Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat.

b. Pengertian Hak Atas Kesehatan

Hak atas kesehatan bukanlah berarti hak agar setiap orang untuk menjadi sehat, atau pemerintah harus menyediakan sarana pelayanan kesehatan yang mahal di luar kesanggupan pemerintah. Tetapi lebih menuntut agar pemerintah dan pejabat publik dapat membuat berbagai kebijakan dan rencana kerja yang mengarah kepada tersedia dan terjangkaunya sarana pelayanan kesehatan untuk semua dalam kemungkinan waktu yang secepatnya (Dedi Afandi, 2008 : 16). Adanya hak atas kesehatan memberikan suatu hak kepada konsumen dalam menggunakan pelayanan air dari PDAM.

c. Hak-Hak Atas Kesehatan Konsumen

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berbunyi, “Setiap orang berhak atas kesehatan” (Kelik Wardiono, 2014 : 10).

Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sebagai berikut (Kelik Wardiono, 2014 : 10) :

1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.

2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.

3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggungjawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berbunyi, “Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan”.

Menurut Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berbunyi, “Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat

(19)

kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kerja” (Kelik Wardiono, 2014 : 10).

Menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berbunyi, “pemerintah bertanggungjawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat” (Kelik Wardiono, 2014 : 10).

Menurut Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berbunyi, “pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan/atau persyaratan kesehatan” (Kelik Wardiono, 2014 : 11).

7. Tinjauan Umum tentang Hak Atas Keamanan dan Keselamatan a. Hak Atas Keamanan

Hak atas keamanan merupakan hak untuk melindungi dari pemasaran barang dan/atau jasa yang berbahaya terhadap kesehatan dan kehidupan. Konsumen memiliki hak untuk memperoleh perlindungan atas keamanan produk atau jasa. Misalnya, makanan dan minuman yang dikonsumsi harus aman bagi kesehatan konsumen dan masyarakat umumnya. Produk makanan yang aman berarti produk tersebut memiliki standar kesehatan, gizi, dan sanitasi serta tidak mengandung unsur yang dapat membahayakan manusia baik dalam jangka pendek maupun panjang. Di Amerika Serikat hak ini merupakan hak pertama dan tertua serta paling tidak kontroversial (Bob Widyahartono MA, 2013, www.antaranews.com, diakses tanggal 25 Februari 2016 pukul 23.30 WIB).

b. Hak Atas Keselamatan

Hak atas keselamatan mengandung pengertian bahwa konsumen berhak mendapatkan produk yang memberi keselamatan. Oleh karena itu, konsumen harus dilindungi dari segala bahaya yang mengancam kesehatan, jiwa, dan harta bendanya karena memakai atau mengkonsumsi produk. Setiap produk baik dari segi komposisi bahannya, dari segi desain dan konstruksi, maupun dari segi kualitasnya harus diarahkan untuk

(20)

mempertinggi rasa keselamatan konsumen (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011 : 41).

8. Tinjauan Umum tentang Air a. Pengertian Air

Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah kecuali air laut dan air fosil. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air dalam ketentuan umum Pasal 1 menyatakan bahwa air adalah air minum, air bersih, air kolam renang, dan air pemandian umum.

b. Klasifikasi Mutu Air

Menurut Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, klasifikasi mutu air dapat dibedakan menjadi empat kelas, sebagai berikut :

1) Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan/atau peruntukan lain yang memper-syaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

2) Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

3) Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; dan

(21)

4) Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan/atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

c. Pengertian Air Minum

Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung di minum.

d. Standar Kualitas Air Minum

Menurut Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, standar kualitas air minum sebagai berikut :

1) Air minum aman bagi kesehatan apabila memenuhi persyaratan fisika, mikrobiologis, kimiawi, dan radioaktif yang memuat dalam parameter wajib dan parameter tambahan.

2) Parameter wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persyaratan kualitas air minum yang wajib diikuti dan ditaati oleh seluruh penyelenggara air minum.

3) Pemerintah daerah dapat menetapkan parameter tambahan sesuai dengan kondisi kualitas lingkungan daerah masing-masing dengan mengacu pada parameter tambahan sebagaimana diatur dalam Peraturan ini.

4) Parameter wajib dan parameter tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana tercantum dalam lampiran peraturan ini.

(22)

e. Persyaratan Kualitas Air Minum

Tabel 2.1. Parameter Wajib

No Jenis Parameter Satuan

Kadar maksimum

yang diperbolehkan 1 Parameter yang berhubungan

langsung dengan kesehatan a. Parameter Mikrobiologi

1) E.Coli Jumlah per

100 ml sampel 0 2) Total Bakteri Koliform Jumlah per

100 ml sampel 0 b. Kimia an-organik 1) Arsen mg/l 0,01 2) Fluorida mg/l 1,5 3) Total Kromium mg/l 0,05 4) Kadmium mg/l 0,003 5) Nitrit, sebagai NO2- mg/l 3 6) Nitrat, sebagai NO3- mg/l 50 7) Sianida mg/l 0,07 8) Selenium mg/l 0,01

2 Parameter yang tidak langsung berhubungan dengan kesehatan

a. Parameter Fisik

1) Bau Tidak berbau

2) Warna TCU 15

3) Total zat padat terlarut

(TDS) mg/l 500

4) Kekeruhan NTU 5

5) Rasa Tidak berasa

6) Suhu 0C Suhu udara ±3

b. Parameter Kimiawi 1) Alumunium mg/l 0,2 2) Besi mg/l 0,3 3) Kesadahan mg/l 500 4) Khlorida mg/l 250 5) Manga mg/l 0,4 6) Ph 6,5-8,5 7) Seng mg/l 3 8) Sulfat mg/l 250 9) Tembaga mg/l 2 10) Amonia mg/l 1,5

Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum

(23)

Tabel 2.2. Parameter Tambahan

No Jenis Parameter Satuan

Kadar maksimum yang diperbolehkan 1 KIMIAWI a. Bahan Anorganik Air Raksa mg/l 0,001 Antimon mg/l 0,02 Barium mg/l 0,7 Boron mg/l 0,5 Molybdenum mg/l 0,07 Nikel mg/l 0,07 Sodium mg/l 200 Timbal mg/l 0,01 Uranium mg/l 0,015 b. Bahan Organik

Zat Organik (KMnO4) mg/l 10

Deterjen mg/l 0,05 Chlorinated alkanes Carbon tetrachloride mg/l 0,004 Dichloromethane mg/l 0,02 1,2-Dichloroethane mg/l 0,05 Chlorinated ethenes 1,2-Dichloroethene mg/l 0,05 Trichloroethene mg/l 0,02 Tetrachloroethene mg/l 0,04 Aromatic hydrocarbons Benzene mg/l 0,01 Toluene mg/l 0,7 Xylenes mg/l 0,5 Ethylbenzene mg/l 0,3 Styrene mg/l 0,02 Chlorinated benzenes 1,2-Dichlorobenzene mg/l 1 1,4-Dichlorobenzene mg/l 0,3 Lain-lain Di(2-ethylhexyl) phthalate mg/l 0,008 Acrylamide mg/l 0,0005 Epichlorohydrin mg/l 0,0004 Hexachlorobutadiene mg/l 0,0006 Ethylenediamine-tetraacetic acid (EDTA) mg/l 0,6

Nitrilotriacetic acid (NTA) mg/l 0,2 c. Pestisida

Alachlor mg/l 0,02

Aldicarb mg/l 0,01

Aldrin dan dieldrin mg/l 0,00003

Atrazine mg/l 0,002

(24)

No Jenis Parameter Satuan Kadar maksimum yang diperbolehkan Chlordane mg/l 0,0002 Chlorotoluron mg/l 0,03 DDT mg/l 0,001 1,2-Dibromo-3-chloropropane (DBCP) mg/l 0,001 2,4 Dichlorophenoxyacetic (2,4-D) mg/l 0,03 1,2-Dichloropropane mg/l 0,04 Isoproturon mg/l 0,009 Lindane mg/l 0,002 MCPA mg/l 0,002 Methoxychlor mg/l 0,02 Metolachlor mg/l 0,01 Molinate mg/l 0,006 Pendimethalin mg/l 0,02 Pentachlorophenol (PCP) mg/l 0,009 Permethrin mg/l 0,3 Simazine mg/l 0,002 Trifluralin mg/l 0,02

Chlorophenoxy herbicides selain 2,4-D dan MCPA

2,4-DB mg/l 0,090

Dichlorprop mg/l 0,10

Fenoprop mg/l 0,009

Mecoprop mg/l 0,001

2,4,5-Trichlorophenoxy- acetic acid mg/l 0,009 d. Desinfektan dan Hasil Sampingannya

Desinfektan Chlorine mg/l 5 Hasil sampingan Bromate mg/l 0,01 Chlorate mg/l 0,7 Chlorite mg/l 0,7 Chlorophenols 2,4,6-Trichlorophenol (2,4,6-TCP) mg/l 0,2 Bromoform mg/l 0,1 Dibromochloromethane (DBCM) mg/l 0,1 Bromodichloromethane (BDCM) mg/l 0,006 Chloroform mg/l 0,3

Chlorinated acetic acids

Dichloroacetic acid mg/l 0,05 Trichloroacetic acid mg/l 0,02 Chloral hydrate Halogenated acetonitrilies Dichloroacetonitrile mg/l 0,02 Dibromoacetonitrile mg/l 0,07 Cyanogen chloride (sebagai CN) mg/l 0,07

(25)

No Jenis Parameter Satuan Kadar maksimum yang diperbolehkan 2. RADIOAKTIFITAS

Gross alpha activity Bq/l 0,1

Gross beta activity Bq/l 1

Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum

9. Tinjauan Umum tentang Hak Atas Air a. Sejarah

Keberadaan suatu konstitusi dalam suatu negara dimaksudkan sebagai aturan main dalam proses penyelenggaraan negara. Ketentuan mengenai jaminan hak atas air bagi seluruh rakyat Indonesia ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penguasaan negara atas air sebagai kekayaan alam yang bersifat nasional untuk pemenuhan kesejahteraan rakyat. Pemenuhan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia sebagai suatu bentuk perjuangan bangsa Indonesia dalam melepaskan diri dari penjajahan yang telah menciptakan penderitaan bagi rakyat Indonesia, sehingga diharapkan penderitaan itu berakhir dan kewajiban bangsa Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan sebagai konsekuensi kesepakatan seluruh rakyat Indonesia untuk mendirikan negara yang bernama Indonesia (F. Sugeng Istanto, 1998 : 1). Jaminan hak atas air bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan bentuk kesejahteraan tersebut.

b. Pengertian

Hak atas air merupakan penjelmaan dari pemenuhan hak asasi masyarakat Indonesia yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak menguasai negara dalam bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan bentuk hak asasi sosial (F. Sugeng Istanto, 1998 : 2), hal ini menuntut campur tangan pemerintah dalam pengelolaannya untuk

(26)

mewujudkan kemakmuran rakyat itu sendiri. Ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memiliki tujuan mulia dalam memberikan kesejahteraan pada rakyat akan menjadi suatu tempat kosong ketika tidak diikuti oleh semangat dan keinginan yang kuat untuk mewujudkannya.

Hak atas air merupakan hak asasi yang bukan datang dari negara, konteks ekologis tertentu dari eksistensi manusia yang memunculkan hak atas air (Vandhana Shiva, 2003 : 23). Oleh karena itu, masuknya negara dalam pengelolaan air sebagai wujud hak menguasai yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan bentuk perlindungan hak-hak asasi tersebut agar dapat terjaga dan terjamin bagi seluruh rakyat, tidak dapat dihilangkan oleh siapapun karena hak atas air merupakan hak yang bersifat kodrati. Air sebagai kebutuhan manusia merupakan hak yang harus dipenuhi oleh negara sebagai bentuk pengakuan terhadap hak untuk hidup itu sendiri. Keberadaan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara filosofis sebagai penjelmaan Sila ke-5 Pancasila yaitu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, di mana air sebagai salah satu kekayaan nasional merupakan kebutuhan rakyat dikuasai negara dalam kerangka memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

10. Tinjauan Umum tentang PDAM a. Sejarah

Pada awalnya air minum Kota Surakarta terbangun tahun 1929 oleh Paku Buwono X. Pelaksanaan pembangunan diserahkan kepada NV Hoogdruk Water Leiding Hoofplaats Surakarta en Omstreken. Pada zaman pendudukan Jepang, berubah nama menjadi SOLO SUIDO SYO. Kemudian diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945. Selanjutnya pada tanggal 9 April 1960 pengelolaan dialihkan kepada Dinas Penghasilan Daerah Kotamadya Dati II Surakarta. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 1977 tanggal 21 Mei 1977,

(27)

status dari Seksi Air Minum pada Dinas Pendapatan Daerah ditingkatkan menjadi PDAM Kodya Dati II Surakarta. Pada tanggal 16 Januari 2004 telah ditetapkan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 1977 (PDAM, 2011, www.pdamsolo.or.id, diakses tanggal 14 Februari 2016 pukul 09.52 WIB).

b. Visi dan Misi

Visi PDAM Kota Surakarta adalah menjadi salah satu PDAM yang terbaik di bidang pelayanan air minum dan air limbah melalui pengelolaan yang berwawasan lingkungan (PDAM, 2011, www.pdamsolo.or.id, diakses tanggal 14 Februari 2016 pukul 09.54 WIB).

Misi PDAM Kota Surakarta sebagai berikut (PDAM, 2011, www.pdamsolo.or.id, diakses tanggal 14 Februari 2016 pukul 09.55 WIB) : 1) Memberikan layanan air minum dan air limbah kepada masyarakat secara

berkesinambungan dengan mengutamakan kepuasan pelanggan;

2) Meningkatkan kontribusi perusahaan pada Pendapatan Asli Daerah (PAD);

3) Meningkatkan Profesionalisme Sumber Daya Manusia; dan 4) Melestarikan sumber air.

c. Acuan Peraturan PDAM Terkait Pemberian Hak

Pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan penduduk pada wilayah kota dan daerah mendorong pemerintah untuk menyelenggarakan persediaan air dan distribusi air minum yang selaras, adil, dan merata. Tugas PDAM adalah pengelolaan dan melayani kebutuhan air, namun pertumbuhan perkembangan penduduk merupakan faktor utama yang pada akhirnya memperoleh perhatian. Secara internal perusahaan berusaha membina sesuatu kehidupan perusahaan yang baik serta dinamis dan secara eksternal berusaha meningkatkan pelayanan yang baik karena mati hidupnya perusahaan tergantung pada langganan, sehingga langganan harus dipelihara baik kepercayaannya maupun pelayanannya (PDAM, 2011, www.pdamsolo.or.id, diakses tanggal 26 Februari 2016 pukul 00.16 WIB).

(28)

Adanya penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum tujuan utama yang ingin dicapai adalah pengelolaan dan pengurusan air minum yang berkualitas dengan harga terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Sementara penyediaan air bersih yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini adalah PDAM belum mampu memberikan pelayanan yang seimbang akan kebutuhan masyarakat terhadap air bersih. Selama ini pelanggan dituntut terus memenuhi kewajiban dalam pembayaran tagihan PDAM, dan akan dikenai sanksi jika mengalami keterlambatan pembayaran, baik itu berupa denda sampai berupa pencabutan atau pemutusan dari pelangganan PDAM sendiri (PDAM, 2011, www.pdamsolo.or.id, diakses tanggal 26 Februari 2016 pukul 00.16 WIB).

Menghadapi permasalahan di PDAM Kota Surakarta terdapat aturan yang dapat dijadikan acuan terkait pemberian hak-hak konsumen yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PDAM, 2011, www.pdamsolo.or.id, diakses tanggal 26 Februari 2016 pukul 00.16 WIB).

(29)

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen PDAM Kota Surakarta Kualitas Air Tidak Berkualitas atau Tidak Memenuhi Syarat Hak-Hak Konsumen Berkualitas atau Memenuhi Syarat Pengolahan

(30)

Penjelasan Kerangka Pemikiran :

Bagan kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur berpikir penulis dalam menyusun penelitian hukum. Sumber daya alam merupakan hal terpenting, khususnya sumber air bersih atau istilah lainnya air minum yang peranannya sangat penting bagi kehidupan manusia. Setiap orang atau sering disebut dengan konsumen memerlukan air demi memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk memenuhi kebutuhan konsumen maka dalam memberikan layanan air bagi konsumen harus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kini di Indonesia muncul Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen untuk melindungi hubungan antara konsumen dan pelaku usaha. Dimaksud dengan pelaku usaha adalah PDAM Kota Surakarta. PDAM sebagai suatu perusahaan yang memproduksi atau mengolah air sangat membutuhkan dan sangat bergantung atas dukungan konsumen sebagai pelanggan. Salah satu layanan yang harus dipenuhi adalah pemenuhan kebutuhan air minum berdasarkan kualitas air yang diperuntukkan bagi konsumen. Pihak PDAM memberikan layanan air berkualitas sesuai hak-haknya kemudian sebaliknya bahwa konsumen menerima layanan tersebut dan PDAM dapat terjamin kelangsungan usahanya. Air yang diolah oleh PDAM menimbulkan dua kemungkinan, yaitu : Pertama, Air Berkualitas atau Memenuhi Syarat adalah air tersebut tidak ditemukan kandungan fisika, kimia, dan bakteriologi melebihi kadar maksimal yang diperbolehkan; Kedua, Air Tidak Berkualitas atau Tidak Memenuhi Syarat adalah air tersebut didalamnya ditemukan kandungan fisika, kimia, dan bakteriologi diatas batas normal kadar maksimal yang diperbolehkan. Apabila air tidak berkualitas atau tidak memenuhi syarat maka pihak PDAM akan melakukan penelitian ke sumber air baku untuk dilakukan pengolahan lebih lanjut agar kembali ke standar air yang layak dikonsumsi oleh konsumen.

Apabila air dari PDAM sudah memenuhi syarat dan terjaga kualitas airnya agar layak dikonsumsi konsumen maka PDAM telah memberikan hak-hak kosumen seperti hak atas kesehatan, keamanan, dan keselamatan konsumen sesuai peraturan yang berlaku untuk memberikan pelayanan air.

Gambar

Tabel 2.2. Parameter Tambahan
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Referensi

Dokumen terkait

Ketika saya ditanya tentang seseorang yang saya ketahui bahwa dirinya adalah salafi, namun seseorang mengambil ucapannya keluar dari konteks, atau menyodorkan

Administrasi merupakan salah satu tolak ukur berkembangnya suatu organisasi dengan pesat. Administrasi berkaitan erat dengan pengolahan data yang saat ini sesuai

Dalam banyak kasus, sebuah perusahaan e-commerce bisa bertahan tidak hanya mengandalkan kekuatan produk saja, tapi dengan adanya tim manajemen yang handal, pengiriman yang tepat

Analisis terhadap rantai pasokan bahan baku rotan ini dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu biaya distribusi pasokan rotan dari empat wilayah supplier bahan baku rotan yaitu

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas dan untuk memperjelas arah penelitian, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah ada

Kemudian pada penelitian sebelumnya [5] juga menggunakan The Statlog ( Heart Disease) dataset , dimana hasil akurasi tertinggi didapat oleh algoritma Logistic

Edukasi Kreatif yang ditawarkan dari komik kesatria bela negara merancang pembaca webtoon untuk lebih dekat dengan cerita dan karakter karena lebih manusiawi,

Dasar yang digunakan untuk menggolongkan adalah titik ilokusi (illocutionary point) atau tujuan ilokusi, yaitu, 1) asertif; titik ilokusi asertif adalah untuk mengikat penutur