• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS RESIDU PESTISIDA ORGANOKHLORIN PADA SUSU ASAL PETERNAKAN SAPI PERAH DI JAKARTA SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS RESIDU PESTISIDA ORGANOKHLORIN PADA SUSU ASAL PETERNAKAN SAPI PERAH DI JAKARTA SELATAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS RESIDU PESTISIDA ORGANOKHLORIN PADA

SUSU ASAL PETERNAKAN SAPI PERAH

DI JAKARTA SELATAN

(Analysis of Organochlorine Residues in Dairy Milk in South Jakarta)

Indraningsih, Yuliastuti S

Balai Besar Penelitian Veteriner Jl. RE Martadinata No. 30, Bogor 16114

indra_ningsih@yahoo.com

ABSTRACT

Climate changes may affect productivity of livestocks, quality and safety of food, biodiversity as well as disease outbreaks. The climate changes faced by many countries around equatorial including Indonesia may increase risks in disease outbreaks and contamination in different level of food chain. The purpose of this study was to assess organochlorines contamination and residue in milk collected from dairy farms during rainy season in South Jakarta. Field samples such as milk (20), grasses (12), animal feeds (6) and byproducts of tofu (8) was collected for organochlorines analysis using GC-ECD. Results show that simillar pesticides residue including lindane, heptachlor and chlorpyriphos were detected in animal feeds and milk. The highest concentration of pesticide residues was chlorpyriphos (0.0004-0.0234 mg/kg) in milk; heptachlor (0.0018-0.0199 mg/kg) in grasses; heptachlor (0.0006-0.0299 mg/kg) in animal feeds; and chlorpyriphos (0.0013-0.0225 mg/kg) in byproduct of tofu. The concentration of pesticide residues in milk was below the maximum residue limit (MRL) set by SNI 7313:2008. The present production of dairy milk in South Jakarta is lower than the previous year. It is clearly shown that there was a correlation between residues in feed and fresh dairy milk. The reduction of milk production seemed to be due to an increase of temperature during rainy seasons. Although the residue level of pesticides in milk was lower than the MRL, the presence of persistent organochlorine should be taken into consideration since there was a bioaccumulation. Therefore, control of minimum pesticide residues in milk is required for public health concern.

Key Words: Pesticides, Organochlorines, Dairy Milk, Animal Feed

ABSTRAK

Perubahan iklim dapat meningkatkan risiko bahaya keamanan pangan pada berbagai tingkatan mata rantai pangan. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari status pencemaran dan residu pestisida organokhlorin pada susu sapi yang dikoleksi dari peternakan selama musim penghujan di Jakarta Selatan. Sebanyak 20 sampel susu sapi perah, rumput (12), konsentrat (6) dan ampas tahu (8) telah dikoleksi untuk analisis organokhlorin menggunakan GC-ECD. Hasil analisis menunjukkan bahwa residu pestisida yang sama terdeteksi pada sampel analisis yakni: lindan, heptaklor dan klorpirifos baik pada pakan maupun susu. Konsentrasi tertinggi residu pestisida pada susu adalah klorpirifos (0,39 = 23,36 ppb), pada rumput heptaklor (1,76-19,85 ppb), pada konsentrat heptaklor (0,57-29,9 ppb) dan pada ampas tahu klorpirifos (1,3-22,5 ppb. Konsentrasi pestisida pada susu masih di bawah batas maksimum residu (BMR) sehingga masih aman untuk dikonsumsi. Tingkat produksi susu pada peternakan sapi perah di Jakarta Selatan lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara residu pada pakan dan susu, sedang penurunan produksi susu kemungkinan karena kenaikan suhu lingkungan selama musim penghujan. Meskipun konsentrasi residu pestisida pada susu masih dibawah BMR, keberadaannya dimana organokhlorin bersifat persisten perlu mendapatkan perhatian khususnya bila terjadi bioakumulasi. Oleh karena itu, perlu upaya pencegahan kontaminasi pestisida dalam susu tersebut.

(2)

PENDAHULUAN

Perubahan iklim menjadi tantangan bagi usaha peternakan khususnya sapi perah, karena berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat, mempengaruhi produksi dan produktivitas pertanian, kualitas dan keamanan pangan, kesehatan masyarakat, keragaman hayati, keseimbangan patogen, transmisi penyakit bawaan vektor (vector borne disease), kontaminan bahan kimia/senyawa toksik serta menimbulkan berbagai wabah penyakit (Tirado et al. 2010; Patz et al. 2005; Mc Michael et al. 2007). Perubahan iklim merupakan salah satu faktor yang menimbulkan perubahan keseimbangan alam, wabah penyakit hewan dan kontaminasi pada pangan. Patogen dan bahan berbahaya (hazards) dapat muncul pada berbagai titik dalam mata rantai pangan, mulai dari proses produksi sampai pada konsumsi, serta berdampak langsung maupun tidak langsung dalam proses produksi peternakan.

Dampak perubahan iklim pada produktivitas dan keamanan pangan dapat terjadi melalui berbagai cara, antara lain perubahan suhu dan presipitasi, menigkatnya frekuensi/intensitas iklim ekstrim, pemanasan dan pengasaman laut, serta perubahan media transpor kontaminan. Perubahan suhu pada musim hujan dapat mempengaruhi persistensi dan keberadaan agen penyakit serta pola penyakit bawaan pangan (food born diseases). Cuaca ekstrim seperti banjir dan kekeringan dapat menimbulkan kontaminasi pada tanah, lahan pertanian, air, pangan dan pakan ternak oleh patogen, bahan kimia atau bahan berbahaya lain yang berasal dari limbah, proses produksi pertanian dan industri (Few et al. 2004). Perubahan iklim tidak hanya mempengaruhi penyakit–penyakit yang peka terhadap perubahan ekologi, tetapi juga memiliki risiko kesehatan masyarakat (Few et al. 2004).

Few et al. (2004) melaporkan bahwa perubahan iklim terjadi dibeberapa negara sekitar khatulistiwa seperti Afrika Timur, Australia dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Kondisi ekstrim yang terjadi mengakibatkan peningkatan resiko kejadian wabah penyakit dan pencemaran. Kekeringan dapat menekan populasi predator vektor ektoparasit dan kemungkinan meningkatnya penggunaan berbagai jenis pestisida. Sebaliknya musim hujan dapat meningkatkan

produksi pangan tetapi sekaligus menciptakan kondisi yang sesuai untuk perkembangbiakan dan propagasi nyamuk. Perubahan iklim ini berpotensi untuk meningkatkan resiko bahaya pada kesehatan ternak maupun produknya (Tirado et al. 2010 dan McMichael et al. 2007). Selama sepuluh tahun belakangan ini dilaporkan telah berjangkit beberapa wabah penyakit di Indonesia antara lain wabah penyakit Avian Influenza (AI) pada ayam, cacingan (helminthiasis) di Kalimantan Timur, Jembrana di Kalimantan Selatan, Surra di Jawa Timur dan NTT, rabies di pulau Bali dan terakhir AI pada bebek. Peran perubahan iklim terhadap wabah penyakit tersebut perlu dipelajari lebih lanjut. Perubahan iklim diperkirakan dapat merubah peta penyakit hewan yang ada saat ini di Indonesia. Perubahan iklim dapat menggeser sebaran penyakit bawaan vektor (vector borne diseases) seperti malaria, trypanosomiasis dan bluetongue ke wilayah dimana iklim yang sesuai untuk kehidupan vektor (Woolhouse, 2006). Begitupula Van Dijk et al. (2010) melaporkan bahwa perubahan iklim, khususnya peningkatan suhu dapat merubah populasi dan penyebaran helminthiasis di Inggris. Kondisi demikian berimplikasi terhadap pembuat kebijakan dan industri peternakan untuk perbaikan teknik diagnosa dan deteksi cepat penyakit hewan, serta kewaspadaan dan antisipasi terhadap perubahan pola penyakit. Oleh karena itu, meningkatnya kasus emergence dan re-emergencediseases di berbagai negara dalam beberapa tahun ini merupakan bukti dampak perubahan iklim.

Lebih lanjut perubahan iklim juga mempengaruhi keamanan pangan dan ketahanan pangan melalui berbagai cara, antara lain cuaca ekstrim, pemanasan suhu laut, perubahan suhu permukaan dan kelembaban serta bencana alam seperti banjir. Kontaminasi tanah pada lahan pertanian dan pastura oleh

polychlorinated biphenyl (PCB) dan dioxin dilaporkan berkaitan dengan perubahan iklim khususnya cuaca ekstrim (Tirado et al. 2010). Kontaminasi tanah merupakan akibat dari remobilisasi sedimen sungai yang tercemar sehingga akhirnya terdeposit di lokasi banjir. Umlauf et al. (2005) melaporkan bahwa banjir Elbe dan Mulde di Eropa Tengah pada tahun 2002 menimbulkan kontaminasi tanah oleh

(3)

dibenzofurans (PCDD/F) yang selanjutnya terdisposisi di dalam air susu sapi perah. Tirado et al. (2010) melaporkan bahwa kontaminasi lahan pertanian dan padang pengembalaan oleh polychlorinated biphenyls

(PCBs) dan dioksin diperkirakan akibat perubahan iklim yang berkaitan peningkatan frekuensi kejadian banjir. Perubahan iklim menimbulkan resiko bahaya (hazards) keamanan pangan pada berbagai tingkatan mata-rantai pangan, dari tingkat produksi hingga konsumsi. Dalam hal ini, perubahan iklim menjadi tantangan untuk melakukan tindakan pengendalian hama dan penyakit seperti Good Agriculture and Good Veterinary Practices yang berimplikasi terhadap timbulnya residu bahan kimia dalam mata-rantai pangan. Dilain pihak kejadian iklim ekstrim seperti banjir dan musim kering dapat menimbulkan kontaminasi pada tanah, lahan pertanian, sumber air dan pangan serta pakan ternak oleh patogen, bahan kimia dan bahan berbahaya lainnya yang berasal dari limbah cair, pertanian dan industri.

Kontaminasi air dapat terjadi melalui peningkatan suhu air, peningkatan intensitas presipitasi dan melambatnya aliran air sehingga menciptakan berbagai bentuk polusi air seperti sedimen, akumulasi patogen, salinitas dan meningkatnya karbon organik terlarut (Kundzewicz et al. 2007). Sementara itu hujan yang intensif akan meningkatkan polutan (pestisida, pupuk, bahan organik dan logam berat) yang dapat akan terbawa masuk ke dalam air (Booman 2003).

Berbagai pestisida golongan organokhlorin antara lain DDT, endosulfan dan dieldrin telah dilarang/dihentikan penggunaannya oleh pemerintah karena sifatnya yang sulit terurai di alam bebas. Penggunaan pestisida organokhlorin ini diketahui sangat intensif pada masa lalu yang kadang-kala berlebihan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Terjadinya perubahan iklim dan bencana alam seperti musim kemarau yang panjang, peningkatan suhu dan banjir dikhawatirkan senyawa tersebut termobilisasi kepermukaan tanah maupun berubah menjadi metabolit yang lebih toksik. Oleh karena itu, perlu dipelajari mekanisme munculnya senyawa-senyawa tersebut akibat perubahan iklim.

Tantangan kedepan dalam menghadapi perubahan iklim adalah meningkatkan

kemampuan petugas lapang untuk melakukan prediksi iklim serta melakukan antisipasi dan adaptasi yang tepat terhadap perubahan iklim tersebut. Oleh karena itu, perlu mendapatkan informasi yang tepat dan data sebaran kontaminasi pestisida di dalam matriks lingkungan dan produk ternak akibat perubahan lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari ekologi kontaminasi pestisida pada pakan ternak akibat perubahan iklim yang dikaitkan dengan residu pestisida di dalam produk ternak (susu) dihasilkannya dan mempelajari hubungan timbulnya residu pestisida golongan organokhlorin pada pakan ternak dan produk susu segar terhadap perubahan iklim.

MATERI DAN METODE

Penelitian lapang dilakukan terhadap 17 peternakan sapi perah di Jakarta Selatan pada musim hujan. Pendekatan yang diterapkan adalah:

1. Pengumpulan data perubahan iklim selama 5 tahun terakhir dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Jakarta Pusat

2. Wawancara langsung dan pengisian kuesioner dengan peternak sapi perah 3. Koleksi sampel: pakan ternak dan susu

segar

4. Analisis laboratorium menggunakan

GC-ECD terhadap residu pestisida

organokhlorin.

Koleksi sampel analisis

Sampel analisis terdiri dari hijauan pakan ternak, konsentrat, ampas tahu dan susu segar yang dikoleksi dari peternakan sapi perah di Jakarta Selatan. Sampel berupa hijauan, konsentrat dan ampas tahu masing-masing dikoleksi sebanyak 100 g dan disimpan dalam plastik bersih. Selanjutnya sebanyak 150 ml sampel susu segar dikoleksi dari peternakan sapi perah secara individual dan dimasukkan kedalam botol plastik bersih. Seluruh sampel analisis dibawa ke laboratorium dalam keadaan dingin suhu 2-5C dalam ice box selama diperjalanan. Selanjutnya seluruh sampel disimpan di dalam freezer -20C sampai

(4)

dilakukan analisis laboratorium terhadap residu organokhlorin.

Analisis residu pestisida golongan organokhlorin

Persiapan sampel uji untuk hijauan, konsentrat dan ampas tahu

Ekstraksi. Sebanyak 5 g sampel pakan ternak dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer dan ditambahkan 15 asetonitril, 6 g magnesium sulfat dan 1,5 g NaCl. Kemudian larutan dikocok menggunakan vortex selama 5 menit dan disentrifuge selama 10 menit pada kecepatan 2500 rpm/menit. Pisahkan filtrat dari supernatan di dalam tabung Erlenmeyer. Selanjutnya supernatan dimasukkan ke dalam gelas piala berisi 150 mg magnesium sulfat.

Pemurnian (clean up). Hasil ekstrak dialirkan ke dalam cartridge C18 yang telah dielusi dengan asetonitril. Tampung hasil pemurnian ke dalam Baker glass dan kemudian dievaporasi pada suhu kamar menggunakan gas nitrogen sampai mendekati kering. Residu

yang dihasilkan ditambah heksan

chromatography grade sebanyak 1 ml. Larutan tersebut siap untuk disuntikkan sebanyak 10 l ke dalam gas chromatography-electron capture detector (GC-ECD) untuk deteksi residu pestisida (Lehotay et al.2005).

Persiapan sampel uji untuk susu segar

Analisis residu pestisida dalam susu mengikuti metode Shenck and Wagner (1995).

Ekstraksi. Sebanyak 5 ml susu diekstraksi menggunakan kolom (syringe) yang dihubungkan dengan cartridge SepPak C18 yang telah dikondisikan dengan 5 ml petroleum ether, 5 ml aseton dan 2 kali 5 ml metanol kemudian dibiarkan selama 15 menit pada suhu kamar. Kemudian tambahkan 400 l asetonitril ke dalam cartridge C18 dan cuci cartridge dengan 2 ml H2O. Pencucian cartridge diulangi kembali dengan pelarut yang sama menggunakan labu semprot.

Pemurnian (clean up). Kolom (syringe) lain diisi dengan glass wool dan 2 g Na2SO4 untuk permunian ekstrak. Selanjutnya kolom fluorisil ini dicuci dengan 10 ml petroleum ether dan 10 ml asetonitril, kemudian kolom dihubungkan dengan cartridge C18 dan dielusi

dengan 10 ml asetonitril untuk menarik residu pestisida. Selanjutnya larutan ekstrak dievaporasi pada suhu kamar menggunakan gas nitrogen sampai mendekati kering. Residu yang dihasilkan ditambah heksan chromatography grade sebanyak 1 ml. Larutan tersebut siap untuk disuntikkan sebanyak 10 l ke dalam gas

chromatography-electron capture detector

(GC-ECD) untuk deteksi residu pestisida.

Deteksi residu pestisida menggunakan GC-ECD

Sebanyak 10 l ekstrak murni dari masing-masing sampel uji diinjeksi ke dalam GC-ECD untuk deteksi residu pestisida. Kondisi operasional alat GC-ECD adalah sebagai berikut:

Tipe alat (GC) : GC-ECD Thermo Finnigan Suhu injeksi : 230C

Suhu detektor : 250C

Gas pembawa : Helium (1 ml/menit) Gas alir : Nitrogen (30 ml/menit) Suhu kolom : 175-280C

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi iklim berdasarkan data BMKG-stasiun Soekarno-Hatta

Data iklim dikoleksi dari BMKG Stasiun Soekarno Hatta, Jakarta yang terdiri dari suhu, kelembaban dan curah hujan pada tahun 2002; 2005; dan 2008 masing-masing setiap bulan dari Januari-Desember terlihat pada Grafik 1, 2 dan 3. Tujuan koleksi data sekunder ini adalah untuk menetapkan kunjungan lapangan dalam rangka koleksi sampel analisis yang terdiri dari pakan dan susu terkait dengan curah hujan tertinggi dalam saat periode tertentu. Pada data iklim tersebut terlihat bahwa curah hujan tertinggi pada tahun 2002 terjadi pada bulan Januari, tahun 2005 pada bulan Maret dan pada tahun 2008 pada bulan Februari yakni masing-masing sebesar 23 mmHg, 13 mmHg dan 24 mmHg (Grafik 1). Berdasarkan curah hujan dengan tingkat ≥10 mmHg maka musim hujan pada tahun 2002 berlangsung pada bulan Januari dan Februari, tahun 2005 pada bulan Januari sampai Maret pada tahun 2005; dan hanya satu bulan pada tahun 2008 yaitu pada

(5)

bulan Februari. Oleh karena itu, diperkirakan bahwa musim hujan terjadi pada bulan Januari-Maret selama beberapa tahun belakangan ini. Sementara itu, tidak terlihat perubahan nyata terhadap kelembaban periode 2002 hingga 2008 (Grafik 2) yakni berkisar antara 63-82% (tahun 2002); 66-80% (tahun 2005); dan 63-80% (tahun 2008). Begitupula terhadap suhu yang berkisar antara 27-29C pada tahun 2002; 27-29C pada tahun 2005; dan 25-29C pada tahun 2008. Sementara itu, suhu pada saat pengambilan sampel uji pada bulan Maret 2012 di Jakarta Selatan tercatat sebesar 35C. Suhu tersebut ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan data BMKG antara tahun 2002-2008 yang berkisar antara 25-29C.

Dari tiga parameter diatas terlihat bahwa terjadi pergeseran musim hujan dari bulan Oktober sampai Maret menjadi Januari-Maret. Pada tahun 2008, musim hujan hanya berlangsung selama 1 bulan yaitu pada bulan Februari. Pada kondisi iklim normal, musim hujan di Indonesia biasanya berlangsung pada bulan Oktober-Maret, sedangkan musim kemarau pada bulan April-September. Antara bulan September-Oktober merupakan masa peralihan musim (pancaroba) dari musim kemarau menjadi musim hujan. Namun dalam beberapa tahun belakangan ini, dilaporkan telah terjadi perubahan pola musim di wilayah Indonesia maupun kawasan sekitarnya dimana jadwal musim sulit diprediksi. Sebagaimana terlihat pada data BMKG (Grafik 1, 2 dan 3) pada tahun 2002, 2005 dan 2008 bahwa pada

bulan Desember seharusnya musim hujan telah berlangsung, namun pada kenyataanya musim kemarau masih berlangsung dibeberapa daerah. Musim hujan mulai terjadi pada bulan Januari-Februari (2002), Januari-Maret (2005) dan hanya pada bulan Februari pada tahun 2008. Pergeseran musim diwilayah Indonesia diyakini oleh beberapa Ahli Klimatologi merupakan dampak terjadinya perubahan iklim maupun pemanasan global seperti El Nino maupun La Nina.

Selama satu dasawarsa belakangan ini tercatat bahwa Indonesia menghadapi berbagai bencana alam yang nyata mempengaruhi kehidupan masyarakat, biota dan biofisik lingkungan seperti Tsunami Aceh dan sebagian Sumatera (2006), Tsunami Pangandaran/Jawa Barat (2008), Gempa Tektonik Yogyakarta (2007) dan Sumatera Barat (2009), Erupsi Gunung Merapi-Yogyakarta (2010 dan 2011), serta banjir di Jakarta dan Jawa (hampir setiap tahun) dan NTT (2011). Menurut Tirado et al. (2010) dan Mc Michael et al. (2007) bencana alam yang berhubungan dengan perubahan iklim tersebut dikhawatirkan berakibat pada munculnya wabah penyakit serta pencemaran lingkungan yang mempengaruhi kualitas produk pangan seperti wabah AI (2003), rabies di Bali (2007), penyakit cacingan pada ruminansia di Kalimantan (2008) dan wabah AI pada itik di Jawa dan sebagian Sumatera (2012). Banjir dan erupsi gunung berapi dikhawatirkan menimbulkan pencemaran lingkungan khususnya logam berat dan

Gambar 1. Grafik curah hujan rata-rata sepanjang tahun 2002, 2005 dan 2008 di wilayah Jakarta 2002 2005 2008 30 25 20 15 10 5 0 Cu ra h h u jan (m m Hg )

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des Bulan

(6)

Gambar 2. Grafik kelembaban rata-rata sepanjang tahun 2002, 2005 dan 2008 di wilayah Jakarta

Gambar 3. Grafik suhu rata–rata sepanjang tahun 2002, 2005 dan 2008 di wilayah Jakarta

pestisida golongan organokhlorin. Pestisida organokhlorin diketahui bersifat persisten dan sulit mengalami degradasi yang umumnya terakumulasi di dalam tanah. Sebagaimana diketahui, pada awal diperkenalkannya pestisida jenis ini khususnya DDT pada 1960-an untuk meningkatk1960-an produktivitas padi maka penggunaanya sangat berlebihan dan tidak sesuai aturan pemakaian sampai dikeluarkannya larangan penggunaan dan peredaran pesetisida tersebut pada tahun 1980-an. Bencana alam seperti banjir dan erupsi gunung berapi dapat mengangkat senyawa tersebut kepermukaan lahan sehingga terjadi pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pencemaran pestisida golongan organokhlorin pada produk ternak (susu) terkait dengan perubahan iklim dan iklim ekstrim yang telah berlangsung beberapa tahun silam. Berdasarkan data BMKG diatas telah

disimpulkan bahwa musim hujan pada tahun 2002-2008 jatuh pada bulan Januari hingga Maret dan pada tahun 2008 musim hujan hanya berlangsung satu bulan pada bulan Februari, maka kunjungan lapangan dalam rangka koleksi sampel analisis dilakukan pada bulan Maret dalam penelitian ini.

Analisis residu pestisida oragnoklorin pada susu segar dan pakan ternak

Tabel 1 menunjukkan hasil analisis residu pestisida golongan organoklorin pada pakan ternak meliputi rumput (hijauan), pakan konsentrat komersial dan ampas tahu yang dikoleksi dari peternakan setempat. Residu pestisida golongan organoklorin seperti lindan, heptaklor dan klorfirifos terdeteksi pada seluruh jenis sampel pakan ternak. Pada penelitian ini sebanyak 5 jenis pestisida

2002 2005 2008 100 80 60 40 20 0

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des Bulan

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des Bulan

(7)

organoklorin dianalisis menggunakan GC-ECD yang terdiri dari lindan, heptaklor, klorfirifos, DDT dan endosulfan. Dua jenis pestisida organoklorin terakhir yakni DDT dan endosulfan tidak terdeteksi pada seluruh jenis sampel pakan dalam penelitian ini. Konsentrasi total OC tertinggi terdeteksi pada pakan konsentrat [0,1188 mg/kg (0,0057-0,0299 mg/kg)] dan diikuti oleh rumput [0,0711 mg/kg (0,0018-0,0199 mg/kg)] dan ampas tahu [0,0617 mg/kg (0,0003-0,0225 mg/kg)]. Klorfirifos terdeteksi dalam konsentrasi tertinggi pada sampel pakan konsentrat (total OC = 0,0169 mg/kg) dan ampas tahu (total OC

= 0,0086 mg/kg) dibandingkan dengan heptaklor (0,0112 mg/kg pada pakan konsentrat dan 0,0022 mg/kg pada ampas tahu) dan lindan (0,0030 mg/kg pada pakan konsentrat dan 0,0014 mg/kg pada ampas tahu). Sebaliknya pada rumput ditemukan bahwa lindan (0,0099 mg/kg) merupakan konsentrasi tertinggi dan diikuti oleh klorfirifos (0,0071 mg/kg) dan lindan (0,0029 mg/kg). Namun demikian, konsentrasi ketiga jenis pestisida organoklorin tersebut masih berada dibawah nilai batas maksimum residu (BMR) dan masih aman untuk dikonsumsi oleh ternak.

Tabel 1. Residu pestisida organokhlorin dalam pakan ternak pada musim hujan di Jakarta Selatan

Jenis pestisida Jenis pakan/konsentrasi residu pestisida (mg/kg)

Rumput Konsentrat Ampas tahu

Lindan 5/12 (0,0033-0,0128) 2/6 (0,0022-0,0032) 4/8 (0,0003-0,0024) Rata-rata 0,0029 0,0030 0,0014 BMR* 0,01 0,01 1 Heptakhlor 3/12 (0,0018-0,0199) 4/6 (0,0006-0,0299) 7/8 (0,0007-0,0046) Rata-rata 0,0099 0,0112 0,0022 BMR* 0,05 0,02 0,02 Klorfirifos 3/12 (0,0028-0,0138) 6/6 (0,0007-0,0268) 6/8 (0,0013-0,0225) Rata-rata 0,0071 0,0169 0,0086 BMR* 20 0,05 0,10 DDT tt tt tt BMR* 1 0,1 0,1 Endosulfan tt tt tt BMR* 1 1 1 Total OC 0,0711 0,1188 0,0617

*BMR = Batas maksimum residu ; tt = Tidak terdeteksi

Tabel 2. Residu pestisida organokhlorin dalam susu segar sapi perah pada musim hujan di Jakarta Selatan

Jenis pestisida Konsentrasi residu pestisida (mg/kg) Susu segar Batas maksimum residu/BMR* (mg/kg) Lindan 7/20 (0,0004-0,0018) 0,01 Rata-rata 0,0007 Heptakhlor 8/20 (0,0008-0,0031) 0,006 Rata-rata 0,0014 Klorfirifos 19/20 (0,0004-0,0234) 0,02 Rata-rata 0,0033 DDT tt 0,02 Endosulfan tt 0,004 Total OC 0,0702

(8)

Tabel 2 menggambarkan residu pestisida pada sampel susu segar yang dikoleksi langsung dari peternakan sapi perah di Jakarta Selatan. Kondisi yang sama dengan sampel pakan ternak, pada sampel susu segar juga terdeteksi 3 jenis pestisida organokhlorin yang sama yakni lindan (total residu = 0,0007 mg/kg); heptaklor (total residu = 0,0014 mg/kg) dan klorfirifos (total residu = 0,0033 mg/kg) dengan konsentrasi total OC mencapai 0,0702 mg/kg. Konsentrasi residu masing-masing jenis pestisida organoklorin masih berada dibawah nilai BMR. Namun keberadaan pestisida di dalam susu segar perlu mendapat perhatian mengingat dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.

Dari kedua tabel tersebut diatas diketahui bahwa pakan ternak merupakan sumber utama pencemaran pestisida dalam susu sapi perah. Pakan konsentrat (total OC = 0,1188 mg/kg) merupakan sumber utama pencemaran pestisida pada susu segar disamping rumput (total OC = 0,0701 mg/kg) dan ampas tahu (total OC = 0,0617 mg/kg).

Manajemen pemeliharaan sapi perah Analisis pemeliharaan sapi perah di Jakarta Selatan dilakukan melalui wawancara langsung dengan peternak untuk mendapatkan data yang terdiri dari jumlah sapi perah, jumlah kepemilikan sapi, produksi susu per hari, penyakit hewan yang dihadapi, jenis pakan dan lamanya beternak. Jumlah responden dalam wawancara ini sebanyak 17 orang dengan lokasi di Mampang dan Pancoran, Jakarta Selatan. Hasil wawancara terlihat pada Tabel 3. Keterangan lain yang diperoleh dari wawancara langsung dengan peternak (n = 17 responden) adalah:

Produksi susu bervariasi dari 1-15 liter/hari, dimana produksi tahun ini mengalami penurunan yang cukup tajam dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang dapat mencapai 15 liter/hari.

Kesehatan hewan: penyakit yang pernah dihadapi peternak adalah Septicaemia epizootica (SE), diare dan tympani. Sebanyak 15 ekor ternak mengalami kematian yang terdiri dari 2 ekor sapi mati akibat infeksi SE

dan 13 ekor dipotong paksa karena menunjukkan gejala ngorok. Sebanyak 24 ekor sapi lainnya sembuh dari gejala ngorok setelah mendapat pengobatan.

Pakan ternak terdiri dari rumput dan ampas tahu. Rumput diperoleh dari beberapa lokasi antara lain Cawang, Halim Perdanakusuma, Kebon Jeruk, Cengkareng dan Grogol serta dibeli dari Depot Rumput yang terdapat disekitar peternakan.

Perubahan iklim: seluruh peternak (responden) merasakan bahwa suhu lingkungan saat ini mengalami perubahan/merasakan lebih panas dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada Tabel 3 terlihat bahwa jumlah total sapi FH adalah 580 ekor yang terdiri dari 452 ekor sapi betina (77,9%), 29 ekor sapi jantan (4%) dan 99 ekor anak sapi (17,1%). Dari 452 ekor sapi betina terdapat 374 ekor sapi perah sedang laktasi (64,5%) dan 78 ekor sapi perah non laktasi (13,4%) yang kemungkinan terdiri dari sapi perah dara dan sapi perah dalam masa kering kandang. Pola perkembangbiakan sapi dilakukan dengan cara inseminasi buatan menggunakan jasa petugas kesehatan hewan. Seluruh peternak yang dikunjungi melakukan usaha tani mandiri yang bukan merupakan anggota koperasi atau kelompok tani yang terdapat disekitar lokasi pengamatan. Bila dilihat dari pengalaman beternak, sebagian besar peternak (11 orang) merupakan peternak berpengalaman yang telah menjalani usaha tani lebih dari 5 tahun dan hanya 6 orang peternak yang merupakan peternak pemula dengan pengalaman antara 1-5 tahun. Seiringan dengan pengalaman peternak, jumlah kepemilikan sapi perah di lokasi ini cukup tinggi yakni:

1. 11-20 ekor sebanyak 6 peternak 2. 21-50 ekor sebanyak 9 peternak 3. >50 ekor sebanyak 2 peternak.

Namun demikian produksi susu sapi perah di Jakarta Selatan ini sangat rendah sekali yakni: (1) 1-5 liter per hari sebanyak 211 ekor sapi (56,4%); (2) 6-10 liter per hari sebanyak 129 ekor (34,5%); (3) 11-15 liter per hari sebanyak 34 ekor (9,1%) dari total 452 ekor sapi perah betina; dan tidak ada sapi perah yang mampu menghasilkan susu >15 liter per hari. Kondisi ini sesuai dengan hasil wawancara langsung dengan peternak yang

(9)

Tabel 3. Hasil wawancara dengan peternak sapi perah di Jakarta Selatan (n = 17)

Parameter Hasil wawancara dan kunjungan

Jumlah Persentase (%) Populasi:

Jumlah total sapi perah (♀) non laktasi 78 ekor 13,45 Jumlah total sapi perah (♀) laktasi 374 ekor 64,48

Jumlah total sapi perah jantan (♂) 29 ekor 5,0

Jumlah total anak sapi 99 ekor 17,07

Jumlah total sapi 580 ekor

Jumlah kepemilikan/peternak:(17 orang)

1 – 10 ekor 0 peternak 0

11 – 20 ekor 6 peternak 35,29

21 – 50 ekor 9 peternak 52,94

>50 ekor 2 peternak 11,77

Produksi susu per hari: (374 ekor)

1 – 5 liter 211 ekor 56,42

6 – 10 liter 129 ekor 34,49

11 – 15 liter 34 ekor 9,09

>15 liter 0 ekor 0

Pakan ternak:

Rumput + Ampas tahu. 11 peternak 64,71

Rumput + Ampas tahu + konsentrat 6 peternak 35,29 Pola pemberian pakan:

Sekali sehari 0 peternak 0

Dua kali sehari 17 peternak 100

Tak terbatas (selalu tersedia) 0 peternak 0

Kesehatan hewan:

Penyakit yang pernah muncul/menjadi kendala

Pernapasan 9 ekor 1,55

Pencernaan 3 ekor 0,52

Alat gerak 0 ekor 0

Infeksius 9 ekor 1,55

Reproduksi 0 ekor 0

Lainnya (keracunan, metabolisme) 2 ekor 0,34

Pengendalian penyakit

Memiliki data rekording keswan. 17 peternak 100

Memiliki program vaksinasi 17 peternak 100

Menggunakan jasa layanan keswan. 16 peternak 94,12

Memiliki tenaga medis sendiri. 1 peternak 5,88

Dampak perubahan iklim (suhu):

Merasakan adanya peningkatan suhu lingkungan. 17 peternak 100 Tidak merasakan adanya perubahan suhu lingkungan. 0 peternak 0

Tidak tahu. 0 peternak 0

Pola usaha tani:

Anggota koperasi 0 peternak 0

Mandiri 17 peternak 100

Pengalaman beternak:

1-5 tahun 6 peternak 35,29

6-10 tahun 6 peternak 35,29

>10 tahun 5 peternak 29,41

melaporkan bahwa produksi susu bervariasi dari 1-15 liter/hari, dimana produksi susu tahun 2012 (saat kunjungan) menurun drastis dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang dapat mencapai 15 liter/hari. Oleh karena itu, penyebab penurunan produksi susu di Jakarta

Selatan ini perlu dipelajari apakah disebabkan oleh faktor perubahan iklim, gangguan kesehatan hewan, kualitas pakan ternak atau ketiga faktor tersebut yang saling berkaitan sehingga mempengaruhi kualitas susu sebagai sumber pangan bagi masyarakat.

(10)

Berdasarkan hasil wawancara dengan peternak setempat bahwa sebanyak 17 responden merasakan adanya perubahan iklim

berupa kenaikan suhu lingkungan

dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Informasi peternak mengenai perubahan suhu lingkungan dapat dibenarkan dengan data yang disampaikan oleh BMKG (Grafik 3) dimana kisaran suhu antara tahun 2002-2008 telah mengalami perubahan yakni pada tahun 2002 berkisar antara 27-29C (rata-rata 27,8C); pada tahun 2005 antara 27-29C (rata-rata 28,3C); dan pada tahun 2008 antara 25-29C (rata-rata 28,3C). Data suhu tersebut terlihat adanya peningkatan suhu rata-rata sebesar 0,5C yaitu dari 27,8C pada tahun 2002 menjadi 28,3C pada tahun 2008. Pada saat kunjungan lapang ke lokasi peternakan ini pada bulan Maret 2012 tercatat suhu lingkungan sebesar 35C yang dilakukan sebanyak 2 hari pengukuran. Tingkat suhu 35C pada saat kunjungan tersebut mengindikasikan peningkatan suhu yang cukup tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Berdasarkan data BMKG suhu tertinggi antara tahun 2002, 2005 dan 2008 adalah 29C, sedangkan pencatatan suhu pada bulan Maret 2012 mencapai 35C.

Seiring dengan kenaikan suhu di wilayah DKI Jakarta, pada tahun 2010 dan 2011 tercatat kejadian bencana banjir diwilayah DKI Jakarta dengan curah hujan yang tinggi. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Pondok Betung Tangerang (2010) terlihat bahwa curah hujan pada bulan Oktober 2010 dan prakiraan bulan Januari 2011 di wilayah DKI Jakarta mencapai >300 mm yang dikategorikan sebagai curah hujan ekstrim. Oleh karena itu, dalam dua tahun berutan terjadi banjir besar di wilayah DKI Jakarta. Dampak dari curah hujan ekstrim dan bencana banjir selama dua tahun berturut-turut adalah terangkatnya senyawa pestisida organokhlorin ke permukaan tanah serta terbawanya senyawa tersebut melalui sedimen tanah. Sehingga dapat

menimbulkan pencemaran pestisida

organokhlorin pada pakan hijauan ternak seperti yang terlihat pada Tabel 1 dimana total residu pestisida organokhlorin terdeteksi pada rumput pakan ternak sebesar 0,0711 mg/kg yang terdiri dari lindan (0,0029 mg/kg),

heptakhlor (0,0099 mg/kg) dan klorfirifos (0,0071 mg/kg). Demikianpula pada konsentrat terdeteksi total residu pestisida organokhlorin sebsar 0,1188 mg/kg yang terdiri dari lindan (0,0030 mg/kg), heptakhlor (0,0112 mg/kg), dan klorfirifos (0,0169 mg/kg) serta pada ampas tahu dengan total residu pestisida sebesar 0,0617 mg/kg terdiri dari lindan (0,0014 mg/kg), heptakhlor (0,0022 mg/kg), dan khlorfirifos (0,0086 mg/kg).

Keberadaan residu pestisida organokhlorin pada pakan ternak tersebut dapat mempengaruhi kualitas produk ternak baik berupa daging maupun susu. Tabel 2 menunjukkan bahwa residu pestisida golongan organokhlorin terdeteksi pada sampel susu segar yang dikoleksi secara langsung dari sapi perah di Jakarta Selatan dengan total residu pestisida organokhlorin mencapai 0,0702 mg/kg terdiri dari senyawaan organokhlorin yang sama dengan pakan ternak yakni lindan (0,0007 mg/kg), heptakhlor (0,0014 mg/kg), dan khlorfirifos (0,0033 mg/kg). Meskipun konsentrasi residu pada susu segar masih berada dibawah nilai batas maksimum residu, terdeteksi senyawa organokhlorin dapat

membahwakan kesehatan masyarakat

mengingat senyawa ini sulit mengalami degradasi dan memiliki sifat persistensi yang sangat tinggi di alam bebas. Tirado et al. (2010) menyatakan bahwa kontaminasi pada tanah mempunyai andil dalam remobilisasi sedimen terkontaminasi yang pada akhirnya terdisposisi di wilayah banjir.

Perubahan lingkungan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan dan sifat–sifat senyawa kimiawi toksik melalui hambatan fisik, kimia dan biologis pada udara, air, tanah/sedimen dan biota yang pada akhirnya mempengaruhi kesehatan manusia maupun makhluk hidup lainnya (Noyes et al. 2009). Perubahan iklim yang ekstrim dilaporkan pernah terjadi di beberapa negara sekitar khatulistiwa seperti Afrika Timur, Australia dan Indonesia. Iklim dapat mempengaruhi keamanan pangan dengan berbagai cara, antara lain perubahan suhu dan pola presipitasi, menigkatnya frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrim, pemanasan dan pengasaman laut, serta perubahan media transpor untuk kontaminan kompleks. Peningkatan dan perubahan suhu pada musim hujan mempunyai dampak terhadap persistensi dan pola

(11)

keberadaan senyawa kimia toksik (pestisida). Berbagai pestisida golongan organokhlorin (khususnya DDT, endosulfan dan dieldrin) telah dilarang/dihentikan penggunaannya oleh pemerintah Republik Indonesia karena sulitnya senyawa-senyawa tersebut mengalami degradasi. Penggunaan pestisida jenis tersebut pada masa lalu diketahui sangat intensif yang kadang kala berlebihan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Terjadinya perubahan iklim dan bencana alam seperti musim kemarau yang panjang, peningkatan suhu dan banjir dikhawatirkan senyawa tersebut termobilisasi kepermukaan tanah maupun berubah menjadi metabolit yang lebih toksik.

KESIMPULAN

Berdasarkan data dari badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dalam wawancara dengan para peternak di daerah survei, terjadi kenaikan suhu udara pada tahun 2012 dibandingkan dengan tahun 2011, dan telah menunjukkan adanya penurunan produksi.

Ada keterkaitan jenis residu pestisida yang terdeteksi pada susu dan pakan tetapi jumlahnya bervariasi, kebanyakkan sama atau lebih sedikit dibandingkan dengan residu yang terdeteksi pada pakan.

Total residu pestisida pada susu masih dibawah batas Maksimum residu (BMR) yang diizinkan tetapi karena residu tersebut adalah pestisida golongan organoklorin maka perlu diupayakan untuk tindakan pencegahannya.

Analisa residu pestisida pada pakan ternak dapat terbentuknya residu pestisida yang sama pada produk ternak yang dihasilkan seperti susu segar. Konsentrasi residu pestisida yang terdeteksi pada sampel susu masih dibawah nilai batas maksimum residu (BMR) yang dizinkan. Susu tersebut masih aman untuk dikonsumsi, keberadaan residu pestisida organokhlorin dalam susu sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan untuk mengembangkan strategi produk susu segar bebas residu pestisida.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2008. Batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian. SNI 7313:2008. ICS 65.100.01 Badan Standardisasi Nasional.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). 2010. Analisis hujan bulan Oktober 2010 dan prakiraan hujan bulan Oktober 2010 dan Januari-Februari 2011 di Provinsi Banten dan DKI Jakarta. Stasiun Klimatologi Pondok Bitun-Tangerang.

Boorman DB. 2003. LOIS in-stream water quality modelling. Part 2. Results and scenarios. Sci Total Environment. 397-409.

Few R, Ahern M, Matthies F, Kovats S. 2004. Floods, health and climate change: a strategic review. Tyndall Centre Working Paper 63. <http://www.tyndall.ac.uk/publi-cations/work ing_papers/working_papers.shtml>.

Kundzewicz ZW, Mata LJ, Arnell NW, Döll P, Kabat P, Jiménez B. 2007. Freshwater resources and their management. In Parry ML, Canziani OF, Palutikof JP, van der Linden PJ, Hanson CE. (Eds.), Climate change 2007: Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of working group II to the fourth assessment report of the intergovernmental panel on climate change. Cambridge, UK: Cambridge University Press. p. 173-210. Lehotay SJ, Mastovska K, Yun SJ. 2005. Evaluation

of two fast and easy methods for pesticide residues analysis in fatty food matrices. J AOAC International. 88(2):630-638.

Mc Michael AJ, Powles JW, Butler CD, Uauy R. 2007. Food, livestock production, energy, climate change and health. Lancet. 370: 1253-1263.

Noyes PD, Mc Elwee, MK, Miller HD, Clark BW, VanTiem LA, Walcot KC, Erwin, KC Levin, ED. 2009. The toxicology of climate change: Environmental contaminants in a warming world. Environ. International. 35: 971-986. Patz JA, Campbell-Lendrum D, Holloway T, Foley

JA. 2005. Impact of regional climate change on human health. Nature 438 (November): 310-317.

Schenck FJ, Wagner, DR. 1995. Screening procedure for organochlorine and organophosphorus pesticide residue in milk using matrix solid phase dispersion (MSPD) extraction and gas chromatography. Food Additives and Contaminants. 12(4):535-541. Tirado, MC, Clarke, R, Jaykus LA,

McQuatters-Gollop, A, Frank, JM. 2010. Climate change and food safety: A review. Food Research International. 43:745-1765.

(12)

Umauf C, Bidoglio B, Christoph E, J. Kruger J, Landman D. 2005. The situation of pcdd/f and dioxin-like pcbs after the flooding of river elbe and muddle in 2002, Acta hydrochimica et hydrobiologica. 33(5):543-554

van dijk j, sargison nd, kenyon f, skuce pj. 2010. Climate change and infectious disease: helminthological chalenges to farmed ruminants in temperate regions. Animal 4:377-392

Woolhouse m. 2006. Mathematical modeling of future infectious diseases risks: an overview foresight, infectious diseases: preparing for the future, office of science and innovation .http:/www.foresight.gov.uk/infectious%20dis eases/t8 1/pdf

Gambar

Gambar 1. Grafik curah hujan rata-rata sepanjang tahun 2002, 2005 dan 2008 di wilayah Jakarta  2002 2005 2008 30 25 20 15 10 5 0 Curah hujan (mm Hg)
Gambar 3. Grafik suhu rata–rata sepanjang tahun 2002, 2005 dan 2008 di wilayah Jakarta
Tabel 1. Residu pestisida organokhlorin dalam pakan ternak pada musim hujan di Jakarta Selatan  Jenis pestisida  Jenis pakan/konsentrasi residu pestisida (mg/kg)
Tabel 3. Hasil wawancara dengan peternak sapi perah di Jakarta Selatan (n = 17)

Referensi

Dokumen terkait

Metodologi yang digunakan dalam Taman Pendidikan Al-Qur’an Bahrul Muhtadin yang sekarang adalah merupakan rekonstruksi dari metodologi yang dipakai dulu, yakni

sebesar kuku ibu jari, letakkan secara terpisah pada salah satu sisi sehelai kertas tapis, kemudian kedua bongkah tanah tadi dibasahi dengan larutan HCI 10Vo.. -

Sistem informasi akuntansi piutang dagang yang telah lama dijalankan oleh PT Aspirasi Jaya Lestari ini telah cukup baik, tetapi masih memiliki beberapa kekurangan yang

Dari pengujian tarik yang telah dilakukan oleh Fuadi Salman ST, diperoleh data. hasil pengujian sebagai

dengan mempertahankan ukuran keuangan dari performa sebelumnya, balanced scorecard memberikan drover tambahan berupa konsumen, proses bisnis internal dan

Menurut DITJEM EBTKE, KEMJEN ESDM tahun 2013, telah memetakan potensi penghasil biomassa dari berbagai sektor yang ada di Indonesia, dari peta tersebut dapat dilihat

Pada Gambar 6, didapatkan bahwa pada frekuensi 30 GHz dengan jari – jari titik hujan 1 mm dan ukuran cubic sphere adalah 0.5 mm diperoleh hasil penyerapan daya rata – rata

Besar kuat medan Listrik, Medan Magnet dan Densitas daya yang dihasilkan oleh telepon seluler yang telah di ukur sebagai objek masih dibawah batas aman yang ditetapkan oleh IRPA