• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metafor Kuda dan Fenomena Perempuan dalam Ruang Imajinasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Metafor Kuda dan Fenomena Perempuan dalam Ruang Imajinasi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Metafor Kuda dan Fenomena Perempuan

dalam Ruang Imajinasi

I MADE SUMANTRA

Jurusan Seni Kriya, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar, Indonesia E-mail: madesumantra@isi-dps.ac.id

”Kuda Metafora dan Fenomena Perempuan dalam Ruang Imajinasi” sebagai tema dalam penciptaan ini kerajinan seni, adalah refleksi dari pergeseran dalam sistem nilai, yang baru-baru terjadi, seperti yang ditunjukkan dalam berbagai iklan yang sering menunjukkan perempuan dalam khayalan seks. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan telah digunakan sebagai objek untuk memenuhi keinginan pria. Organ reproduksi wanita telah bergeser menjadi objek tontonan. Pergeseran ditemukan secara umum seperti itu, sehingga menjadi hal yang wajar. Ini realitas media juga ditemukan dalam realitas empiris begitu banyak. Gejala di atas, terlihat persis tepat untuk meningkatkan kuda sebagai metafora dalam penciptaan karya seni ini. Kuda adalah ide dasar dalam penciptaan karya seni, sementara metafora seperti di sini adalah ketajaman bahasa dalam berhubungan masalah yang tidak memiliki korelasi untuk menjadi sesuatu yang terkait dan memiliki arti. Oleh karena itu, seorang seniman membutuhkan keberanian untuk mengeksplorasi banyak hal di dataran pandangan atau virtual dan imajiner untuk diekspresikan dalam bentuk sebuah ”metafora” kreatif, dan dituangkan atau diwujudkan dalam karya. Dengan demikian, menghasilkan, optimal kreatif, kerja yang produktif dan inovatif seni.

Metaphoric Horses and Female Phenomenon

in Space of Imagination

Metaphoric Horses and Female Phenomenon in Space of Imagination used in art industry reflect a shift which has been recently taking place in the system of values, as shown by the advertisements which frequently show ladies in sexual imagination. This shows that ladies have been used as the object for fulfilling men’s desires. Their reproduction organ has been used as the object to watch. Such a shift has been so common that it is regarded as something which is usual. Many empirical realities are found in media. Such a phenomenon can also be seen in the case in which a horse is metaphorically used in art industry. It is used as the basic idea for creating art creation, while a metaphor is used to sharpen the language used to correlate what is meaningless with what is meaningful. Therefore, it is necessary for an artist to be brave to explore many things existing in the virtual and imaginary levels to be expressed in the form of creative metaphors which are then poured into a creation. As a result, creative, optimal, productive and innovative creations will be created.

Keywords: Exploitation, metaphor and crafts of art

Globalisasi hanyalah satu di antara sekian banyak tanda transformasi masyarakat yang telah terjadi begitu cepat yang akibatnya begitu luas sehingga hanya dapat dipahami sebagai suatu keterputusan dengan masa lalu. Semakin banyak orang setuju bahwa zaman kita sekarang sedang menyaksikan

sebuah metamorfosis sejati dalam hubungan antar manusia atau dengan kata lain, suatu perubahan peradaban (Brunsvick & Danzin, 2005: 15). Perubahan keadaan kaum perempuan juga merupakan suatu tanda dalam metamorfosis ini.

(2)

suatu karya ciptaan bisa dari simbol-simbol konvensional, seperti bentuk-bentuk geometris, benda-benda alam, mahluk hidup dan sebagainya, atau simbol yang dimunculkan melalui pikiran kreatif yang tentunya sudah melalui perenungan, walau sepertinya menggunakan hal-hal yang tidak asing dalam kesehariannya. Sebuah simbol adalah sesuatu yang memiliki signifikasi dan resonansi kebudayaan. Simbol tersebut memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan juga memiliki makna yang dalam (Berger, 1984: 23-24). Seperti dalam penciptaan ini, diangkat bentuk kuda sebagai simbol kekuatan dan nafsu dengan harapan bisa mengantarkan representasi ide-ide yang hendak diciptakan.

Ketertarikan pada bentuk kuda karena di masyarakat manapun kuda dikenal sebagai salah satu simbol keindahan dan sumber berbagai perasaan yang menyenangkan (Supangkat, 2007: 9). Secara hampir merata kuda dianggap membawa citra kecantikan perempuan dan mencerminkan keperkasaan laki-laki. Macam-macam citra baik ada pada kuda: setia, patuh, pekerja keras, binatang berguna dan binatang sahabat manusia, citra ini menjadi stereotip pada hampir semua manusia. Karena itu dari dulu sampai sekarang kuda tampil sebagai tema dan subject

matter karya-karya seni. Dalam melihat kuda

sebagai subject matter, kuda mencerminkan

mind-set yang menempatkan kuda sebagai salah satu

patokan memahami realitas.

Ekspresi yang tampil melalui media kayu merupakan cerminan persepsi tentang kemunafikan manusia. Persepsi yang bersifat personal ini merupakan renungan terbuka yang tidak menuntut pembenaran. Inilah ekspresi yang memperlihatkan proses sofestifikasi citra suatu keindahan.

Perempuan dalam konteks masa kini masih menjadi misteri antara gelap dan pencerahan (paradoks), di satu sisi perempuan diuntungkan secara finansial oleh kaum kapitalis dan sisi yang lain terjadinya suatu pelecehan (degradasi moral). Di mana perempuan masa kini berada pada dua alur yang berseberangan yaitu perempuan ingin mengekspresikan dirinya secara bebas dan ia harus berhadapan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Maka dari itu fenomena ini dituangkan ke dalam seni kriya melalui metafora kuda. Yang dimaksud dengan metafora adalah sebuah ungkapan dengan mempergunakan Apa yang diperlihatkan dalam berbagai iklan

yang menampilkan perempuan dalam imaji seks menunjukkan bahwa perempuan telah dijadikan sebagai objek tontonan untuk memenuhi hasrat laki-laki. Organ reproduksi perempuan telah bergeser menjadi tontonan. Bahwa pada intinya perempuan yang memiliki organ reproduksi yang baik akan memiliki kemampuan untuk mengandung, melahirkan dan menyusui (http://id.wikipedia.org/

wiki/wanita, 4 Agustus 2009). Dalam buku Bias Gender dalam Iklan Televisi, Mansour Fakih (2006:

3) menyebutkan seorang perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim, memproduksi sel telur, memiliki vagina, dan memiliki alat menyusui. Realitas media tersebut juga banyak sekali dijumpai dalam realitas emperik.

Penciptaan suatu karya seni tidak berangkat dari kekosongan melainkan menjadi suatu kebutuhan proses penciptaan yang berlangsung setelah adanya pengaruh dari objek dan pengendapan-pengendapan baik secara rasional (pikiran) maupun emosional (Bastomi, 2003: 10). Berdasarkan pengamatan terhadap iklan televisi, maka timbullah sebuah persepsi yang melahirkan ide seni.

Fenomena seperti di atas sangat menarik untuk divisualisasikan ke dalam karya seni kriya melalui media kayu. Seni kriya yang notabene dalam penciptaan sangat membutuhkan kekriyaan (craftsmanship) yang tinggi, ketangkasan teknik (virtuositas) dari kriyawannya, maka sesuai dengan perubahan zaman, seni kriya pada saat ini tidak hanya mengarah pada produk seni kriya yang memenuhi kebutuhan praktis, tetapi penciptaan seni kriya juga telah banyak mengarah pada tujuan-tujuan ekspresi pribadi. Kebanyakan orang cenderung berpikir bahwa seni sebagai ekspresi individual, dan kriya sebagai pembuatan sebuah karya fungsional yang berguna bagi kehidupan. Apabila seni diilhami oleh pikiran dari visi pribadi, dan kriya adalah teknik yang digunakan untuk mewujudkan karya itu, maka seni dan kriya menjadi tak terpisahkan (Bandem, 2007: xi).

Dalam merepresentasikan ide-ide melalui karya seni kriya, simbol merupakan hal yang penting untuk menjembatani antara konsep dan karya yang diciptakan. Yang terpenting harus diperhatikan dalam menetapkan simbol adalah kemampuan asosiatif dan konteks. Simbol pribadi dalam

(3)

tanda-tanda/perlambang yang mengandung arti kiasan berdasarkan persamaan atau perbandingan dengan mempertimbangkan ketepatan arti dan suasana (Marianto, 2007: 28).

KONSEP PENCIPTAAN

Craftsmanship

Interaksi antara pribadi kriyawan dengan sarana akan membuahkan apa yang disebut dengan istilah

craftsmanship (Sadali, 2000: 18). Crafsmanship

(skill) termasuk keterampilan tangan yang dicapai dalam waktu yang relatif pendek atau panjang, tergantung pada intensitas interaksi. Di dalam skill terdapat juga besar kecilnya bakat serta kepekaan (sensitivity), ditambah dengan faktor-faktor lingkungan dan kesempatan yang jelas berperan dalam menumbuhkan suatu bentuk craftsmanship yang dikuasai oleh kriyawan.

Sesungguhnya, hasil karya seni hendaknya tampil dengan keserasian dan keseimbangan potensialitas

skill yang menyeluruh. Dengan kata lain, skill itu

mesti ada sejak kriyawan mempersiapkan diri pada fase persiapan. Pada fase ini kriyawan harus memasang sikap lahir dan bathin secara optimal untuk menumbuhkan ide dan citra. Berikutnya, kriyawan menggumuli ide dan citra itu pada fase perenungan; jiwanya terbuka untuk menerima ilham tanpa pembiusan diri dengan cara-cara yang dibuat-buat, yang datang dan perginya tidak dapat diperhitungkan secara rasional. Akhirnya, kriyawan harus cekatan dan memiliki ketangguhan untuk meneruskan karyanya pada fase pengolahan dan penyelesaian sampai akhir proses kreativitasnya. Simbolisme

Dalam lingkup berkesenian, diyakini tetap tidak lepas dari logika yang kemudian dikenal sebagai logika imajinasi. Di dalam percaturan filsafat, logika imajinasi tidak bermartabat sederajat dengan logika intelek murni. Kalaupun ada teori kesenian, hanya bisa berupa gnoseologia inferior, suatu analisis tentang bagian indrawi yaitu bagian yang dinilai lebih rendah daripada pengetahuan manusia. Di lain pihak, seni bisa dilihat sebagai lencana bagi kebenaran moral (Sachari, 2002: 15). Seni diartikan sebagai suatu kiasan, suatu ibarat, bentuk etis yang diselimuti bentuk indrawi. Dalam tafsiran teoritis ataupun tafsiran moral, seni tidak memiliki nilai dirinya sendiri.

Memang seni merupakan penyimbolan, tetapi penyimbolan seni harus dimengerti sebagai simbolisme imanen, bukan simbolisme transeden. Keindahan harus dicari dalam unsur-unsur struktural dasar pada pengalaman indrawi kriyawan sendiri. Penampilan atau penyingkapan ini tidak terbatas pada hal tertentu saja, karena bahasa manusia dapat mengekspresikan apa saja, hal-hal remeh maupun hal-hal mulia. Seni dapat meliputi dan meresapi seluruh bidang pengalaman manusiawi. Tak ada satu hal pun dalam dunia jasmani maupun moral, tak ada benda jasmani maupun tindakan manusiawi, secara kodrati dan hakiki bisa luput dari jangkauan kesenian, karena tak ada sesuatu pun yang bisa menyangkal proses formatif dan kreatif kesenian. Dalam kajian makna, proses simbolisasi suatu objek estetis menjadi penting karena makna secara tajam dapat diamati pada proses penyimbolan satu fenomena atau juga penyimbolan gagasan estetik. Untuk itu peranan Langer dalam memaparkan teori-teori simbol menjadi lebih penting. Simbol yang ”diskursif” atau yang nalar merupakan simbol logika modern untuk melakukan berbagai analisa pengungkapan (Langer, 1976: 76). Simbol-simbol ini secara jelas terlihat dalam konstruksi logika kebahasaan. Setiap simbol mewakili satu nama sehingga deretan simbol akan tersusun menurut aturan sintaktis tertentu yang menghasilkan suatu gambaran mengenai suatu kenyataan tertentu. Simbol diskursif menyiratkan suatu struktur yang dibangun oleh berbagai unsur teratur yang dapat dipahami maknanya.

Jenis simbol lain yang pemahamannya tidak tergantung pada hukum yang mengatur hubungan unsur-unsurnya, tetapi pada intuisi. Jenis simbol inilah yang disebut sebagai simbol ”presentasional”. Simbol macam ini tidak berupa suatu konstruksi yang dapat diuraikan ke dalam unsur-unsurnya, tapi suatu kesatuan bulat dan utuh. Simbol tersebut dapat menjadi unsur dari suatu simbol ”diskursif”. Sebagai unsur, simbol ”presentasional” tak dapat diuraikan lagi ke bagian lain yang lebih kecil. Simbol ”presentasional” tak perlu harus menjadi unsur saja, namun dapat berdiri sendiri sebagai simbol yang penuh, bukan sebagai suatu konstruksi, bukan pula suatu unsur dari suatu konstruksi atau susunan. Simbol semacam itulah yang terdapat dalam kreasi seni atau karya estetik.

(4)

Metafora

Metafora didefinisikan secara tipikal sebagai sebuah kiasan yang menggunakan sepatah kata atau frase yang mengacu pada objek atau tindakan tertentu untuk menggantikan kata atau frase yang lain, sehingga ada frase atau analogi di antara keduanya (Budiman, 2005: 71).

Metafora di sini adalah hal yang melingkupi, dan membatasi kebebasan berpikir dan memberi limitasi pada kemampuan berpikir manusia. Mengacu pada teori kontemporer mengenai metafora, metafora adalah hal yang jamak dan elemen esensial dari pemikiran biasa. Metafora adalah konsep alam, cara berpikir yang lebih dibanding ekspresi puitis (Audifax, 2006: 177). Lebih jauh, metafora adalah alasan penting untuk konsep abstrak selayaknya suatu kejadian dan intuisi, (misal jatuh cinta) yang tidak bisa secara akurat direpresentasikan oleh penjumlahan dari bagian (misal pembicaraan, tanggal, janji, pemberian). Sulit, atau bahkan tidak mungkin, untuk menyusun sesuatu seperti waktu atau sukses tanpa menggunakan metafora sebagai alat. Orang akan segera melarikan diri dari pengalaman fisik konkrit ke arah pembicaraan mengenai abstraksi atau emosi. Pemahaman metaforik itu sendiri adalah sebuah norma.

Lakoff mengemukakan metafora konseptual yang berada di bawah kesadaran. Sejalan dengan ini, segala mental imagery diasosiasikan dengan suatu konseptualisasi metafora yang terlihat di luar kesadaran. Perlu dipahami, bahwa mengasumsikan metafora adalah elemen jamak dari ordinary

thought, hidup dalam imaji mental ini. Karena itu

konseptualisasi metafora memberikan peluang bagi pemahaman dunia mental imagery yang akan membawa ’dunia lain’ pada penikmat, sehingga tidak bisa melihat hutan hanya sekedar kumpulan pohon. Pada dasarnya cara manusia berhubungan dengan alam bersifat metaforis. Dan hubungan ini menampilkan diri dalam bentuk-bentuk simbolik. Tak heran Ernst Cassirer menyebut manusia sebagai

animal symbolicum. Manusia adalah mahluk yang

menciptakan dunia simbol, dunianya sendiri berbeda dari dunia alamiahnya (dalam Sugiharto, 1996: 113). Segala hal yang ditangkapnya dari alam luar ditafsirkan ulang olehnya dan diubahnya menjadi ungkapan dari dalam dirinya sendiri. Impresi eksternal ditafsirkan dan ditransformasikannya menjadi ekspresi internalnya sendiri. Realitas

almiah yang asing dan tak bisa dimengertinya itu diubahnya menjadi sesuatu yang lebih bisa disentuh dan dipeluknya. Secara lebih konkrit itu semua muncul terutama dalam wujud bahasa, mite, agama, seni, dan ilmu pengetahuan.

Metafora, dengan demikian mesti dipahami sebagai proses ide atau pemaknaan sebelum sampai pada pemahaman akan permainan penanda. Ide adalah pemaknaan petanda, yang diekspresikan dalam kata (penanda). Tetapi ini juga merupakan tanda dari sesuatu, representasi objek yang ada dalam pikiran. Ujung-ujungnya, representasi objek ini, menandai objek dan ditandai oleh kata atau penanda linguistik yang berlaku umum, mungkin pula secara tak langsung menandai suatu perasaan atau gairah. Sebelum representasi ditangkap oleh tanda verbal, metafora adalah relasi antara penanda dan petanda dalam tatanan ide dan suatu hal, merujuk pada apa yang menghubungkan ide dengan apa yang ditempatkan sebagai ide, sebagaimana terucap adalah sesuatu yang telah ada sebagai tanda representatif. Lalu, dalam kontek literal atau pemaknaan yang dianggap pantas akan menjadi relasi ide yang bertujuan untuk merasakan apa yang diekspresikan. Hal inilah letak ketidakakuratan metafora yang dianggap tepat untuk mengekspresikan gairah. Imajinasi sebenarnya adalah kunci untuk menembus batasan metaforik. Imajinasi adalah suatu proses membayangkan yang dilakukan tanpa kehadiran objek yang dibayangkan. Mental imagery, adalah salah satu bentuk pengaktifan kemampuan berimajinasi dalam diri manusia.

Inilah yang terjadi ketika melihat kuda tidak melihat fisiknya saja. Tidak hanya berinteraksi dengan sosok kuda, tetapi juga fenomena-fenomena yang terjadi dewasa ini. Fenomena-fenomena ini, selain menjadi stimulasi bagi imajinasi, juga menyimpan pesan-pesan tersembunyi.

Kuda

Adapun keistimewaan yang dimiliki kuda, selain postur tubuh yang sedemikian rupa hingga dapat difungsikan untuk ”tunggangan” yang memiliki bentuk anatomi yang kokoh serta daya tahan (stamina) yang luar biasa, memungkinkan kuda mempunyai gerakan yang gesit dan dinamis. Kehidupan dan lingkungan kuda menuntut untuk dapat bertahan hidup di alam yang bebas (Lundell,

(5)

2005: 29). Kuda telah menjadi sahabat manusia, dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, misalnya untuk menarik kereta barang, sebagai alat perang (pada zaman dahulu), untuk kepentingan olah raga dan sebagainya. Karena kekuatan tenaganya maka kuda dapat dianalogikan seperti layaknya mesin-mesin.

Hewan ini diangkat sebagai ide penciptaan, karena berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, bahwa jika dicermati secara seksama, dari bentuk fisiknya/alamiah bentuk tubuh kuda menggambarkan sesuatu yang artistik, seperti tampak pada bulunya yang indah, geraknya yang dinamis dan mempunyai vitalitas yang luar biasa sangatlah mempunyai korelasi pada keindahan tubuh perempuan. Kemudian melalui gerakan dan tingkah lakunya, dicoba ditransformasikan ke dalam bentuk tertentu sebagai simbol untuk merefleksikan fenomena dalam kehidupan di masyarakat. Transformasi itu tidak hanya sekedar mendeformasi bentuk semata tetapi mengandung nilai filosofi yang berhubungan erat dengan falsafah dan pedoman hidup, yang diterjemahkan melalui karya seni.

Sumber visual yang dimaksud di sini adalah hasil dokumentasi dari bentuk-bentuk kuda yang telah diciptakan oleh seniman lainnya, yang nantinya dapat dijadikan sebagai referensi dalam berkarya seni.

Gambar 1. Nyoman Nuarta, Pengembaraan Jiwa, (Sumber: Reflection Nyoman Nuarta Sculpture Exhibition, 1999)

Gambar 2. Raden Saleh, Berburu Banteng, (Sumber: Puri Bhakti Renatama Museum Istana Kepresidenan Indonesia, 1978)

Gambar 3. Pamoentjak, Patung Menumen Diponegoro, (Sumber: Majalah Seni Rupa Visual Arts, 2006)

Gambar 4. John Kittelson, Measures, (Sumber: Chip Chats, 1991)

(6)

PROSES PENCIPTAAN

Dalam konteks metodelogis mengacu pada teori penciptaan yang diajukan oleh SP. Gustami dalam bukunya yang berjudul ”Proses Penciptaan Seni Kriya: Untaian Metodologis” menjelaskan tentang proses penciptaan seni kriya yang disebut sebagai tiga pilar penciptaan karya kriya, seperti eksplorasi, perancangan, dan perwujudan (Gustami, 2004: 31). Eksplorasi yang dilakukan meliputi penggalian sumber penciptaan melalui studi pustaka dan pengamatan langsung di lapangan untuk memperoleh ide-ide secara empirik (pengalaman). Ada dua langkah yang dilakukan menyangkut eksplorasi ide dan eksplorasi fisik. Eksplorasi ide dilakukan dengan mengkaji dan meneliti objek-objek seni secara kreatif dan senantiasa mau melihat objek dari berbagai sudut pandang. Metode ini disebut metode

brainstorming atau curah pendapat. Brainstorming

atau curah pendapat adalah satu cara dan proses yang dilakukan oleh sekelompok orang, atau individu, untuk membangkitkan serta memunculkan ide-ide yang bebas dan liar, untuk nantinya dipilih beberapa yang terbaik, lalu dipilih salah satu di antaranya untuk dijalankan/diaktualkan (Marianto, 2006: 62). Menyangkut eksplorasi fisik yaitu melakukan pengamatan langsung maupun tidak langsung terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat maupun eksploitasi tubuh perempuan di layar kaca dalam iklan, perempuan umumnya ditampilkan dengan mengenakan pakaian feminin. Feminin (sering salah dieja feminim) atau femininitas dari bahasa Perancis, feminine adalah kata sifat (adjektif) yang berarti ”kewanitaan” atau menunjukkan sifat perempuan (http://wikipedia.org/wiki/feminin, 4 Agustus 2009). Tanda-tanda dari bentuk pakaian feminin antara lain bahan pakaian tipis dan memperlihatkan lekuk tubuh (Widyatama, 2006: 175).

Dalam melakukan eksplorasi terbuka kepekaan dan sensitivitas terhadap apa yang dilihat maupun dirasakan dan merekamnya dalam pikiran. Segala sesuatu yang menjadi interes mengendap dalam pikiran dan menjadi sebuah pengendapan estetis yang sewaktu-waktu dapat meledak untuk dimuntahkan pada suatu media dan lahirlah sebuah karya seni. Eksplorasi menghasilkan endapan material baik secara abstrak maupun verbal. Material

abstrak ini divisualisasikan dalam material verbal dengan berbagai pengolahan estetis. Dalam hal ini ekplorasi yang dilakukan tidak hanya terbatas pada sumber ide saja, tetapi juga pada material yang ada, teknik pengerjaan, gaya yang divisualisasikan dalam sebuah karya seni.

Pada tahap perancangan, dari hasil rumusan tersebut muncul endapan estetis yang begitu kaya dan unik, yang pada akhirnya memunculkan kegelisahan untuk segera mencurahkan ide tersebut pada suatu media dan menjadi sebuah karya seni. kegelisahan tersebut secara perlahan diwujudkan dengan mengadakan berbagai eksperimen di dalam

Adobe Photoshop CS2 dalam usaha mencari model

dan bentuk yang dianggap cocok dan serasi antara konsep dan objek visual yang dimiliki. Berbagai eksperimen terus dilakukan dalam usaha pencarian baik bentuk, teknik, variasi isian, wujud tampilan dan sebagainya. Eksperimen awal yang dilakukan dengan membuat berbagai desain dengan komposisi yang bermacam-macam sehingga memunculkan sebuah komposisi karya yang diinginkan. Dari pra desain ini, akan dipilih beberapa alternatif yang dianggap tepat dari sisi bentuk, komposisi, dan isiannya, kemudian dijadikan sebuah desain jadi tentunya dengan berbagai penyempurnaan lagi. Dalam proses perwujudan ini berusaha memberikan kekuatan yang sama antara teknik dan ekspresi. Kemampuan dan keahlian teknik dituangkan secara maksimal untuk memunculkan keunikan karya tersebut, namun demikian bukan berarti mengesampingkan ekspresi. Pada prinsipnya adalah teknik dan ekspresi merupakan satu kesatuan yang secara bersamaan hadir dalam proses penciptaan. Dengan demikian dalam karya yang unikpun kandungan ekspresinya juga tinggi. Secara garis besar proses perwujudan ini dapat dikelompokan menjadi dua yaitu: pembentukan dan finishing. Sesuai dengan karya ini yang berbentuk tiga dimensional, maka proses pembentukannya sangat rumit dan panjang. Langkah awal yang dilakukan adalah membentuk secara global sesuai dengan desain yang tentunya, dengan mempertimbangkan besar dan kecil serta teknik yang digunakan. Teknik pahatan sangat mendominasi dalam proses pengerjaan karya ini. Sebagian besar bentuk dikerjakan dengan teknik pahatan. Dalam teknik pahatan ini ekspresi dapat dimunculkan dengan

(7)

permainan pahatan itu sendiri yang secara tidak langsung mencerminkan identitas pribadi. Dalam pahatan ini tidak hanya memerlukan keterampilan belaka, namun karakter pahatan seseorang akan mencerminkan identitas pribadi senimannya. Sebelum proses finishing dilakukan tentunya diawali dengan pengawetan kayu dengan bahan pangawet kayu (Xylamon) sehingga semua bagian dan permukaan benar-benar bisa terhindar dari rayap. Pengawetan selain bertujuan untuk mengawetkan, juga dapat memperkuat tampilan serat atau memunculkan karakter tekstur karya. Kesempurnaan dalam pengawetan sangat memudahkan dalam proses pewarnaan untuk mencapai karya yang optimal.

Proses terakhir adalah pelapisan dengan shellac. Kilap yang ingin dimunculkan dalam karya ini adalah kilap dorf, maksudnya mengkilap tetapi tidak terlalu cemerlang. Makanya setelah di shellac lalu dibubuhi bedak dan digosok dengan lap kering.

Display, dalam pengertian umum adalah pameran,

pertontonan, atau pertunjukan. Display, dalam konteks penciptan karya, lebih cenderung mengungkap cara mempertontonkan atau memamerkan atau mempertunjukan karya yang dibuat. Setiap karya yang dipamerkan diharapkan mampu memberikan efek psikologis terhadap orang yang menikmatinya, karena syarat suatu karya seni bisa disebut karya seni kalau terjadi trilogi kumonikasi yang baik dan benar antara seniman sebagai subjek, pencipta seni, karya seni, penerima sebagai subjek penerima. Tidak ada hubungan relasi antara ketiganya menyebabkan tak ada yang namanya karya seni (Sumardjo, 2000: 28).

Mengingat karya berbentuk tiga dimensional, maka karya cipta ini dipajang di lantai dengan menggunakan pustek. Pustek (dari bahasa Belanda

Voeststuk) ialah landasan untuk memajang karya

seni tiga dimensional. Dapat berupa kotak maupun bentuk-bentuk lain yang dirancang sekuat mungkin untuk mengatasi beban yang dimiliki karya yang akan ditaruh di atasnya (Susanto, 2002: 94). Pustek yang digunakan tingginya antara 70-80 cm. Dalam penataan ini tidak terikat oleh filosofis karya, namun disesuaikan dengan estetik ruangan secara umum. fokus pandangan dimunculkan lewat

karya yang paling besar yang dipusatkan di tengah tepat di depan pintu masuk. Hal ini dilakukan agar pengunjung lebih tertarik untuk menyaksikan dan menikmati lebih lanjut.

ULASAN KARYA

Ulasan karya ini, yang dapat dilakukan hanya menyampaikan deskripsi, atau mendeskripsikan karya yang dibuat. Ada dua hal yang dapat dilakukan dalam mengulas karya yaitu: pertama, berkaitan dengan fisik karya seni yang bersangkutan. M Dwi Marianto menjelaskan ... tiga hal utama dalam dimensi fisik karya seni yang bersangkutan, yaitu: materi subjek (subject matter), medium dan bentuk (form) (Marianto, 2006: 73). Kedua, berkaitan dengan isi (contens), berupa makna atau pesan yang ingin disampaikan melalui karya tersebut. Karya ini diharapkan di samping dapat menumbuhkan apresiasi masyarakat tentang seni kriya secara umum, juga diharapkan dapat dijadikan sebagai penghayatan dan penyadaran diri setiap orang atas pergeseran tata nilai yang berkembang dewasa ini, untuk lebih menghargai kaum perempuan, sehingga dapat mengantisipasi aspek negatif dari globalisasi.

Gambar 5. I Made Sumantra, Tiga Kekuatan, 2009, Kayu Munggur (Suar) diukir. Tingginya 90 cm, (Sumber Foto: I Made Sumantra)

(8)

Pada karya yang berjudul Tiga Kekuatan, dengan subject matter kuda dan perempuan yang menyiratkan ekspresi ketertindasan. Kuda sebagai simbol kekuatan di mana harus disadari bahwa perempuan mempunyai tiga kelebihan yaitu bisa mengandung, menyusui, dan melahirkan. Sedangkan perempuan merupakan ikon budaya populer. Karya ini, menawarkan pilihan, manusia bisa memilih untuk menerima pesan tersembunyi darinya atau sekedar menempatkannya sebagai pemuas hasrat. Namun pada titik ini juga perlu diingat bahwa hanya ia memiliki fenomenalitas sebagai pemuas hasrat, maka ia bisa keluar dari kerumunan dan membawa pesan. Hanya ketika ia membawa hasrat libinal, maka ia juga bisa reflektif. Ini mirip dengan mite kisah pelacur (yang kerap identifikasi sebagai Maria Mangdalena) yang ditolong Yesus dalam Injil, justru karena dia dianggap berdosa, maka ia mampu merefleksikan bahwa ternyata semua manusia juga berdosa. Sebuah refleksi yang justru muncul dalam banalitas. Ini dalam kontek posmodernisme juga terjadi pada fenomena kehadiran sosok perempuan di era posmodernisme, hanya dimungkinkan karena banalitasnya. Namun di balik banalitas itu juga terselip pesan-pesan esensial akan kemanusiawian yang hilang, berkaitan dengan penyatuan dengan aspek-aspek matriarkal yang cenderung dihilangkan dari kehidupan.

Karya yang berjudul Menggapai Awan 1, dibuat bermatra tiga dimensional, dibentuk dan berdiri di atas space yang dirancang khusus dan mendukung keharmonisan komposisi dengan figur seorang perempuan yang berdiri setengah meloncat, satu tangan di atas memegang kepala kuda, didukung oleh draperi kain seolah-olah ingin terbang. Kuda di sini adalah simbol nafsu perempuan yang ingin keluar dari kungkungan moralitas.

Apa yang dilihat di sini, adalah relasi pandangan yang beroperasi sebagai turunan dari hasrat. Individu tak sepenuhnya menyadari ini, tak ubahnya dioperasikan melalui remote control. Memodifikasi formula pemikiran yang mengatakan bahwa manusia memiliki hasrat sebagai bentuk ketidaksadaran. Bahwa ini adalah seperangkat hasrat yang pada akhirnya mampu dipertontonkan atau dilihatnya.

Gamba 6. I Made Sumantra, Menggapai Awan 1, 2009, Kayu Munggur (Suar) diukir. Tingginya 90 cm, (Sumber Foto: I Made Sumantra)

Karya yang berjudul Imagine 1, dibuat bermatra tiga dimensional, dibentuk dan berdiri di atas space yang dirancang khusus dan mendukung keharmonisan komposisi dengan figur seorang perempuan yang duduk setengah berdiri, satu tangan dengan gerakan gemulai lepas, didukung oleh draperi kain yang dikombinasikan dengan beberapa kepala kuda seolah-olah ingin terbang. Kuda di sini adalah simbol nafsu perempuan yang ingin keluar dari kungkungan kekuasaan.

Gambar 7. I Made Sumantra, Imagine 1, 2009, Kayu Munggur (Suar) diukir. Tingginya 69 cm, (Sumber Foto: I Made Sumantra)

(9)

Tak ada yang salah dengan perempuan-perempuan itu, karena ”hasrat menjadi”-nya memang tak akan lepas dari talenta yang dimiliki. Tak ada pula perendahan martabat di sini. Ada suatu hal penting yang mesti disadari di sini, bahwa konsep-konsep feminisme yang diajukan oleh para feminis itu kerap justru mempermudah perempuan untuk jatuh ke dalam kekuasaan, bukan hanya kekuasaan laki-laki tapi kekuasaan pihak yang memiliki modal yang lebih kuat. Pada kondisi ini, perempuan sendiri pun berpotensi untuk menguasai sesama perempuan. Konsep martabat itu sendiri lantas justru menjadi bumerang karena mematikan perempuan dalam sebuah finalitas difinisi. Seolah apa yang bermartabat bagi kaum feminis itu bisa dipaksakan pada semua perempuan.

Karya yang berjudul Perempuan...perempuan ini dibuat bermatra tiga dimensional di atas

space yang dirancang khusus dan mendukung

keharmonisan komposisi, lima figur perempuan setengah telanjang mempertontonkan sensualitas tubuhnya yang ditutupi dengan sedikit kain dengan dikombinasikan dengan beberapa kepala kuda yang merupakan hasrat pembebasan energi libido seksual dari kungkungan.

Secara paradoks, begitu feminisme mendefinisi ”perempuan” feminisme secara langsung menyingkirkan semua jenis perempuan. Ada beberapa aspek dari gerakan feminis yang menghancurkan atau tunduk pada identitas yang ambigu, terutama identitas seksual. Di sinilah perlu

membedakan antara perempuan entitas biologis dan sosial. Feminin yang hal hubungan entitas biologis secara metafora mewakili feminin yang sesungguhnya dalam relasi perbedaan dan bukan relasi oposisi.

SIMPULAN

Kuda yang dijadikan pokok bahasan dalam penciptaan karya seni ini, merupakan refleksi dari pergeseran tata nilai yang terjadi dewasa ini, seperti diperlihatkan dalam berbagai iklan yang menampilkan perempuan dalam imaji seks tersebut menunjukkan bahwa perempuan telah dijadikan sebagai objek tontonan untuk memenuhi hasrat laki-laki. Organ reproduksi perempuan telah bergeser menjadi tontonan. Pergeseran tersebut sedemikian umum dijumpai, sehingga sebagai sesuatu hal yang wajar. Realitas media tersebut juga banyak sekali dijumpai dalam realitas emperik. Bahkan tampaknya sering dijumpai di tengah masyarakat, perempuan justru lebih suka berpenampilan buka-bukaan dan memperlihatkan sensualitas tubuhnya di muka umum.

Gejala-gejala di atas dipandang sangat tepat mengangkat bentuk kuda sebagai metafora dalam penciptaan karya ini. Kuda adalah ide dasar penciptaan karya ini, sedangkan metafora yang dimaksud di sini adalah merupakan ketajaman dalam penguasaan bahasa dalam mengkait- kaitkan suatu hal dari yang tidak ada hubungannya menjadi suatu yang berhubungan dan memiliki makna. Maka seniman dalam berkarya dibutuhkan suatu keberanian, dalam mengeksplorasikan berbagai hal-hal yang kasat mata maupun virtual, bersifat imajinier dan diungkapkan dalam bentuk “Metafora” yang kreatif dan dituangkan/diwujudkan dalam karya. Sehingga tercipta karya yang lebih optimal, kreatif, produktif dan inovatif.

Dengan mengolah objek tersebut menjadi simbol atau lambang seperti yang dimaksudkan adalah suatu proses aktualisasi gagasan atau ide-ide yang secara sadar dialami, sebagai pencarian realitas kehidupan. Melalui kuda sebagai metafora yang berbentuk karya seni kriya kayu, dapat berbicara luas/banyak dalam arti dapat memberikan asosiasi-asosiasi pada pengamat seni karena bentuk, warna, tekstur, garis dan sebagainya. Dalam visualisasinya menjadi karya dalam bentuk tiga dimensional Gambar 8. I Made Sumantra, Perempuan... perempuan,

2009, Kayu Munggur (Suar) diukir. Tingginya 63 cm, (Sumber Foto: I Made Sumantra)

(10)

dengan gaya simbolik suryalistik yang dibentuk dengan mengkombinasikan teknik pahatan dan pertimbangan konstruksi serta craftsmanship tinggi, sehingga mendapatkan suatu karya yang artistik dan menarik.

DAFTAR RUJUKAN

Audifax. (2006). Imagining Lara Croft:

Psiko-semiotika, Hiperealitas, dan Simbol-Simbol Ketidaksadaran, Jalasutra, Yogyakarta.

Bandem, I Made. (2007). ”Sekapur Sirih”, dalam SP. Gustami. (2007), Butir-Butir Mutiara Estetika

Timur: Ide Dasar Penciptaan Seni Kriya Indonesia,

Prasista, Yogyakarta.

Bastomi, Suwaji. (2003). Seni Kriya Seni, UPT Unnes Press, Semarang.

Berger, Arthur Asa. (1984), Signs in Contemporary

Culture An Introduction to Semiatics atau Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer,

terjemahan M. Dwi Marianto. (2000), Tirta Wacana, Yogyakarta.

Brunsvick, Yves & Danzin, Andre. (2005), Lahirnya

Sebuah Peradaban, Kanisius, Yogyakarta.

Budiman, Kris. (2005), Ikonisitas Semiotika Sastra

dan Seni Visual, Buku Baik, Yogyakarta.

Gustami, SP. (2004), Proses Penciptaan

Seni Kriya: Untaian Metodologis, Pps ISI

Yogyakarta,Yogyakarta.

http://id.wikipedia.org/wiki/wanita. 4 Agustus 2009 Wanita, Available from: URL: http//id.wikipedia. org/wiki/wanita

http://id.wikipedia.org/wiki/wanita. 4 Agustus 2009 Feminitas, Available from: URL: http//id.wikipedia. org/wiki/wanita

Langer, Suzanne K. (1976), Philosophy in a New

Key, Harvard.

Lundell, Margo. (2005), Mengenal dan Manyayangi

Kuda, PT Alex Media Komputindo Kelompok

Gramedia, Jakarta.

Marianto, M. Dwi. (2006), Quantum Seni, Dahara Prize, Semarang.

_______________. (2007), “Relasi Luar-Dalam Antara Seni dan Metafora”, dalam SURYA SENI,

Jurnal Penciptaan dan Pengkajian Seni, IV/02,

PPs. ISI Yogayakarta, Yogayakarta.

Sachari, Agus. (2002), Estetika: Makna, Simbol dan

Daya, ITB Bandung, Bandung.

Sugiharto, Bambang. (1996), Postmodernisme:

Tantangan bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.

Supangkat, Jim. (April 2007), ”Death Row di Dunia Kuda”, dalam Katalog Pameran Ugo Untoro: Poem

Of Blood, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta.

Susanto, Mikke. (2002), Diksi Rupa: Kumpulan

Istilah Seni Rupa, Kanisius, Yogyakarta.

Widyatama, Rendra. (2006), Bias Gender dalam

Gambar

Gambar  1.  Nyoman  Nuarta,    Pengembaraan  Jiwa,              (Sumber:  Reflection  Nyoman  Nuarta  Sculpture  Exhibition, 1999)
Gambar  5.  I  Made  Sumantra,  Tiga  Kekuatan,  2009,  Kayu Munggur (Suar) diukir. Tingginya 90 cm, (Sumber  Foto: I Made Sumantra)
Gambar 7.  I Made Sumantra, Imagine 1, 2009, Kayu  Munggur (Suar) diukir. Tingginya 69 cm, (Sumber Foto:

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: a) Kebiasaan belajar biologi siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Donri-Donri berada pada kategori baik

Sejak terjadi pandemi, ini terjadi kekhawatiran terhadap risiko infeksi SARS-CoV-2 serta komplikasi pada pasien penyakit reumatik autoimun sistemik. 11 Di satu sisi, pasien

In Chinese rural practice cases, the architects fully consider the original architectural materials, forms and other traditional elements to make the construction design

ANALISIS RISIKO KONSTRUKSI STRUKTUR BORE PILE PADA PROYEK DENGAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY

 struct Node* temp = head; yaitu memanggil/mengalokasikan alamat/link tiap simpul yang baru akan disisipkan dimana alamat tersebut diinisialisasikan menjadi kepala atau head.. 

The numerical computation is based on the frontal area of the vehicle and the obtained results have shown reasonable values of drag and lift coefficients when compared to ordinary

Bagi yang akan melanjutkan penelitian tentang terhadap pembentukan perilaku sosial. siswa, disarankan melakukan penelilitian lebih spesifik

Pengaruh Solidaritas Kelompok Teman Sebaya Terhadap Motivasi Belajar Peserta Didik Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..