• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbedaan Persepsi Pelaku Usaha tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah Menurut Hasil Survei TKED 2007 dan 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbedaan Persepsi Pelaku Usaha tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah Menurut Hasil Survei TKED 2007 dan 2010"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Perbedaan Persepsi Pelaku Usaha tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah Menurut Hasil Survei TKED 2007 dan 2010

Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah kabupaten/kota terbanyak di Indonesia. Dalam mengelola pemerintahan daerahnya, masing-masing kabupaten/kota di Jawa Timur berpegang teguh pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah 2005-2025. Salah satu misi dalam RPJPD ini adalah mengembangkan tata kelola pemerintahan yang baik. Sedangkan arah dan tujuan yang ditetapkan dalam mewujudkan misi ini adalah pembangunan hukum, penyelenggara pemerintahan, pembangunan politik, pembangunan komunikasi dan informasi, pembangunan keamanan dan ketertiban, serta pembangunan keuangan daerah (RPJPD, 2005)

Dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik, perlu adanya pengukuran atau survei persepsi para pelaku usaha di daerah tersebut. Hal inilah yang coba diakomodir oleh KPPOD dengan menyelenggarakan Survei TKED di tahun 2007 dan 2010. Provinsi yang berada di ujung timur Pulau Jawa ini mendapat kesempatan dua kali menjadi responden Survei TKED baik di tahun di tahun 2007 maupun di tahun 2010. Salah satu dasar pertimbangan Jawa Timur kembali diikutkan dalam sampling frame Survei TKED 2010 adalah karena di tahun 2007 beberapa kabupaten/kota meraih posisi 10 besar dalam peringkat indeks TKED. Dengan diikutsertakannya lagi Jawa Timur di tahun 2010, diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai perbedaan persepsi para pelaku usaha di Jawa Timur pasca dilakukannya survei serupa di tahun 2007.

Perbedaan persepsi para pelaku usaha di Jawa Timur dianalisis dengan uji beda berpasangan (paired samples T-test). Uji ini dimaksudkan untuk melihat rata-rata perbedaan persepsi yang nyata dari pelaku usaha di Jawa Timur, dengan hasil pada Tabel 11.

(2)

Tabel 11 Uji beda berpasangan antara Indeks dari Sub Indikator TKED 2007 dan 2010di Provinsi Jawa Timur

SUB INDIKATOR

Mean Sig (2 tailed)

AKSES LAHAN (AL) -0.8842 0.572

IZIN USAHA (IU) 4.1394* 0.003

INTERAKSI PEMDA & PELAKU USAHA (IPPU) -1.5789 0.335 PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA SWASTA

(PPUS) -1.1868 0.634

KAPASITAS & INTEGRITAS BUPATI/ WALIKOTA

(KIBW) -5.5552* 0.010

KEAMANAN &

PENYELESAIAN SENGKETA (KPS) 1.0421 0.577

BIAYA TRANSAKSI (BT) 5.8973** 0.001

INFRASTRUKTUR (INF) 5.7947** 0.000

KUALITAS PERDA (PERDA) -3.1789 0.387

ket:**Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan

Secara umum kita dapat melihat bahwa dari Sembilan sub indikator TKED, lima diantaranya yaitu AL,IPPU,PPUS,KIBW, dan PERDA mengalami penurunan indeks persepsi, tetapi hanya KIBW yang signifikan penurunan indeksnya. Sementara itu , tiga sub indikator lainnya, IU, KPS BT dan INF mengalami kenaikan indeks persepsi , tetapi hanya IU, BT dan INF kenaikannya signifikan.

Dari hasil uji beda berpasangan di atas (Tabel 11) dapat kita lihat bahwa, beberapa indikator yaitu Izin Usaha (IU), Kapasitas Integritas Bupati dan Walikota (KIBW), Biaya Transaksi(BT) dan Infrastruktur (INF) mengalami perubahan angka indeks yang signifikan (p value< taraf nyata 5%) namun dalam arah yang berbeda-beda. Untuk sub indikator IU, BT dan INF rata-rata perbedaan indeksnya adalah positif, artinya secara agregat pelaku usaha meyakini bahwa tata kelola izin usaha, biaya transaksi dan infrastrukturnya lebih baik dalam taraf kepercayaan 95%. Sementara itu sub indikator KPS rata-rata perbedaan indeksnya adalah negatif, yang artinya secara agregat pelaku usaha di Jawa Timur meyakini bahwa tata kelola kapasitas dan integritas bupati/walikotanya makin memburuk dalam taraf kepercayaan 95%.

Jika diuraikan lebih lanjut, para pelaku usaha di kabupaten/kota di Jawa Timur berpersepsi bahwa tata kelola izin usaha di tahun 2010 lebih baik dari tahun 2007 sebesar rata-rata 4 poin. Sementara itu, persepsi untuk tata kelola

(3)

biaya transaksi dan kualitas infrastruktur daerah lebih baik sebesar-rata-rata 5.8 dan 5.7 poin. Akan tetapi ternyata para pelaku usaha juga berpersepsi bahwa tata kelola kualitas dan integritas bupati/walikota lebih buruk sebesar rata-rata 5.55 poin.

Analisis uji beda rata-rata berdasarkan indeks agregat KPPOD di atas tidak boleh langsung kita jadikan tolok ukur bahwa memang suatu sub indeks persepsinya membaik atau memburuk. Elaborasi lebih lanjut sangat diperlukan terutama untuk benar-benar melihat variabel manakah dari suatu sub indikator yang mengalami perbedaan signifikan ke arah yang lebih baik atau bahkan lebih buruk. Untuk itu, uji beda rata-rata juga dilakukan terhadap seluruh variabel penyusun sub indikator tata kelola.

Tabel 12 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Akses Lahan Survei TKED 2007 dan 2010di Provinsi Jawa Timur

Variabel

Rata-rata Sig (2 tailed) Durasi pengurusan status tanah (Q30) -3.38158** 0.004 Kemudahan perolehan lahan (Q32) 5.963355 0.138 Kecilnya kemungkinan lokasi usaha akan digusur

(Q33) 3.24297** 0.003

Frekuensi terjadinya penggusuran lahan : jarang (Q34) -0.19257 0.667 Frekuensi terjadinya konflik : jarang (Q35) 0.51736 0.427 Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil

hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) 1.07512 0.232 ket:**Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed).

* Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan

Untuk sub indikator akses lahan (Tabel 12), ternyata hanya ada 2 variabel yang berbeda nyata yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah (Q30) dan persepsi kecilnya kemungkinan lokasi usaha akan digusur (Q33). Secara rata-rata pelaku usaha di Jawa Timur berpersepsi bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mengurus sertifikat tanah di tahun 2010 berkurang sebesar rata-rata 3 minggu dari tahun 2007. Hal ini semakin menunjukkan semakin sigapnya aparat pemerintah di bagian pertanahan seperti BPN (Badan Pertanahan Nasional) serta perangkat desa seperti lurah dan camat yang sangat akomodatif dalam pengurusan status tanah sehingga pelaku usaha tidak perlu menunggu terlalu lama akibat ketidaksigapan aparat pengurusan administrasi status tanah. Kabupaten

(4)

dengan median durasi pengurusan status tanah tercepat adalah Kabupaten Gresik, yaitu dari 23 minggu menjadi 6 minggu di tahun 2010.

Penggusuran yang biasanya dialami para pelaku usaha kecil dan menengah juga tidaklah mejadi hambatan utama,terbukti dari kenaikan rata-rata persepsi pelaku usaha yang berkeyakinan bahwa kecil kemungkinan lokasi usaha mereka akan digusur, sebesar 3.2 poin dari tahun 2007. Hal ini menunjukkan semakin baiknya kualitas tata kelola pemerintahan daerah dalam sub indikator akses lahan.

Tabel 13 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Izin Usaha Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur

Variabel

Mean Sig (2 tailed) Persentase Perusahaan Yang Memiliki TDP (Q38aR1) 39.714** 0.000 Kemudahan perolehan TDP (Q40cR1) 0.905 0.731 Rata-rata waktu perolehan TDP (Q40dR1) -1.684 0.29 Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) 3.550* 0.051 Pelayanan izin usaha efisien (Q43R1) 5.148** 0.043 Pelayanan izin usaha bebas pungli (Q43R2) 4.834 0.27 Pelayanan izin usaha bebas KKN (Q43R3) 6.269 0.152 Persentase pelaku usaha yang mengetahui keberadaan

mekanisme pengaduan (Q45) 3.167 0.52

Izin usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan

(Q46) 2.560 0.094

ket:**Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan

Pada sub indikator izin usaha (Tabel 13), ternyata hanya ada 4 variabel yang berbeda nyata. Variabel pertama adalah persentase perusahaan yang memiliki TDP. Persentase perusahaan yang memiliki TDP naik sebesar rata-rata 39,714 % dari tahun 2007 dengan kabupaten Blitar sebagai kabupaten yang tertinggi kenaikan persentasenya. Sementara itu pelaku usaha juga berpersepsi bahwa biaya yang dikeluarkan pada saat mengurus izin usaha tidak memberatkan dunia usaha, terbukti dengan naiknya rata-rata indeks sebesar 3.55 poin dari tahun 2007. Pelaku usaha juga berpersepsi bahwa pelayanan izin usaha selama ini sudah cukup efisien, dilihat dari kenaikan rata-rata sebesar 5.1 poin. Secara umum pun para pelaku usaha di Jawa Timur beranggapan bahwa izin usaha makin kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, dengan kenaikan rata-rata sebesar 2.5 poin.

(5)

Tabel 14 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Interaksi Pemda Dengan Pelaku Usaha Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur

Variabel

Mean Sig (2 tailed) Persentase pelaku usaha yang menyadari keberadaan forum

komunikasi pemda dengan pelaku usaha (Q48) 5.180 .100 Kepala Daerah memberikan pemecahan masalah yang nyata pada

pelaku usaha (Q49R1) 2.805 .509

Pemecahan masalah oleh Pemda sesuai harapan pelaku usaha

(Q49R2) 1.327 .743

Instansi Pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah

pemecahan masalah oleh Kepala Daerah (Q49R3) -0.620 .891 Pemda memiliki pengertian akan kebutuhan dunia usaha (Q50R1) -1.350 .709 Pemda melakukan konsultasi publik (Q50R2) 2.534 .564 Pemda mengadakan pertemuan dengan pelaku usaha dlm

membahas permasalahan dunia usaha (Q50R3)

4.318 .256

Pemda tidak membentuk perusahaan daerah yang merugikan

kegiatan usaha (Q50R4) -1.234 .678

Pemda memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan dunia

usaha (Q50R5) 1.186 .779

Kebijakan pemda berorientasi untuk mendorong iklim investasi

(Q51) -10.03** .033

Kebijakan Pemda bersifat non-diskriminatif (Q52) 0.556 .907 Pengaruh kebijakan pemda tidak meningkatkan pengeluaran dunia

usaha (Q53R1) 5.195 .146

Kebijakan Pemda menjamin kepastian hukum dari pelaku usaha

(Q54) 6.258* .097

Interaksi pemda dengan pelaku usaha kecil hambatannya terhadap

kinerja perusahaan (Q55) -11.82** .000

ket:**Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan

Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha di Jawa Timur ternyata belum sepeuhnya dirasakan oleh para pelaku usaha. Terbukti dari nilai variabel persepsi bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemda berorientasi untuk mendorong iklim investasi turun rata-rata sebesar 10.03 poin dari tahun 2007 (Tabel 14). Demikian pula, persepsi bahwa interaksi pemda dengan pelaku usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan , turun sebesar rata-rata 11.8 poin dari tahun 2007. Namun persepsi bahwa kebijakan Pemda menjamin kepastian hukum dari pelaku usaha naik sebesar 6.258 poin. Hal ini mengindikasikan, para pelaku usaha masih merasa kebijakan Pemda belum mendorong peningkatan iklim investasi namun di satu sisi kebijakan Pemda telah menjamin kepastian hukum bagi para pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usahanya.

(6)

Tabel 15 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Program Pengembangan Usaha Sektor Swasta Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur

Variabel

Mean Sig(2 tailed) Tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS (Q57A) 19.022** 0.003 Tingkat partisipasi dalam PPUS (Q57B) 2.959 0.56 PPUS -pelatihan manajemen bisnis bermanfaat bagi dunia usaha

(Q58R1) 5.316 0.274

PPUS -pelatihan peningkatan kualitas tenaga kerja bermanfaat

bagi dunia usaha (Q58R2) 3.784

0.400 PPUS -promosi produk lokal kepada investor bermanfaat bagi

dunia usaha (Q58R3) 13.832** 0.001

PPUS -menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang-besar

bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R4) 2.989 0.632 PPUS -pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi UKM bermanfaat

bagi dunia usaha (Q58R5) 12.363** 0.034

PPUS -business matchmaking program bermanfaat bagi dunia

usaha (Q58R6) 3.798 0.649

PPUS –lainnya bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R7) -7.894* 0.083 PPUS berdampak besar terhadap kinerja perusahaan (Q59) 1.153 0.59 ket:

**Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan

Program Pengembangan Usaha Sektor Swasta diselenggarakan pemda untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi pelaku usaha khususnya usaha kecil menengah (UKM), yang jumlahnya paling dominan dalam perekonomian Indonesia. Adapun dari hasil uji beda berpasangan ini (Tabel 15), terlihat bahwa persentase pelaku usaha yang mengetahui keberadaan PPUS meningkat rata-rata 19.1 % dari tahun 2007. Kabupaten yang tergolong paling menyadari keberadaan PPUS adalah kabupaten Blitar, dengan persentase responden yang menyadari keberadaan PPUS naik dari 33% menjadi 100% di tahun 2010. Sementara itu pelaku usaha juga berpendapat bahwa PPUS berupa promosi produk lokal kepada investor potensial bermanfaat bagi pengembangan usaha mereka, terlihat dari kenaikan rata-rata sebesar 13.8 poin di tahun 2010 jika dibandingkan dengan tahun 2007.

Sektor permodalan yang merupakan “jantung” kegiatan UKM merupakan hal yang krusial. Hal ini terlihat dari persepsi pelaku usaha yang menganggap bahwa PPUS berupa pelatihan pengajuan aplikasi kredit sangatlah penting, naik

(7)

sebesar rata-rata 12.3%. Namun beberapa pelaku usaha juga menganggap bahwa PPUS selain 6 jenis PPUS yang telah dicanangkan sebelumnya, justru tidak terlalu bermanfaat bagi pelaku usaha, terlihat dari penurunan persepsi sebesar rata-rata 7.8 poin di tahun 2010.

Tabel 16 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur

Variabel

Mean Sig (2- tailed) Kepala daerah memiliki pemahaman yang baik terhadap

masalah dunia usaha (Q61R1) -1.52 0.707

Penempatan birokrat sesuai pengalaman kerja dan

profesional (Q61R2) -6.01 0.105

Kepala daerah bertindak tegas terhadap korupsi birokratnya

(Q61R3) 5.68 0.211

Pelaku usaha tidak setuju bahwa tindakan kepala daerah menguntungkan diri sendiri (Q61R4)

-30.61** 0.00

Kepala daerah merupakan figur pemimpin yang kuat

(Q61R5) -5.79 0.11

Kapasitas dan integritas kepala daerah kecil hambatannya

terhadap dunia usaha. (Q63) -0.96 0.148

ket:

**Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan

Kualitas dan Integritas Kepala Daerah yaitu bupati/walikota sebagai tokoh sentral dan figur pemimpin dideskripsikan pada Tabel 16. Secara keseluruhan, persepsi pelaku usaha terhadap kualitas dan integritas kepala daerahnya mengalami penurunan, namun hanya ada satu variabel yang berbeda nyata yaitu pelaku usaha yang tidak setuju bahwa tindakan kepala daerahnya menguntungkan diri sendiri, yang turun sebesar rata-rata 30.61 poin dari tahun 2007.

(8)

Tabel 17 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Keamanan dan Penyelesaian Sengketa Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur

Variabel Mean (2 tailed)

Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha (Q83B) 0.63 0.433 Polisi selalu bertindak tepat waktu menangani kasus kriminal

(Q84R1) -2.74 0.361

Solusi yang diberikan polisi menangani kriminalitas

menguntungkan perusahaan (Q84R2) -3.01 0.392 Solusi yang diberikan polisi meminimalisir dampak kerugian

waktu dan biaya(Q84R3) -0.19 0.96

Polisi selalu bertindak tepat waktu menangani demonstrasi

buruh (Q86R1) -5.01 0.105

Solusi yang diberikan polisi dalam demo buruh hanya

menyebabkan dampak kehilangan kecil pada waktu dan biaya (Q86R2)

-0.84 0.834 Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah

terhadap kinerja perusahaan (Q88) -0.02 0.973 ket:

**Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan

Uji beda berpasangan pun dilakukan pada variabel-variabel penyusun sub indikator keamanan dan penyelesaian sengketa. Secara umum persepsi para pelaku usaha akan keamanan dan penyelesaian sengketa di kabupaten/kotanya memburuk, namun tidak ada yang berbeda nyata (Tabel 17).

Sementara itu variabel-variabel penyusun sub indikator biaya transaksi juga diuji apakah berbeda nyata antara persepsi di tahun 2007 dan 2010. Unsur biaya transaksi berupa pajak daerah, retribusi daerah dan biaya lainnya merupakan salah satu pertimbangan utama investor dalam berinvestasi di suatu daerah. Untuk kasus Jawa Timur, rata-rata tingkat pembayaran donasi baik pajak, retribusi maupun biaya lainnya kepada Pemda dalam kurun waktu satu tahun meningkat dari tahun 2007 ke 2010 sebesar rata-rata Rp. 821.277.000,00 per pelaku usaha per tahun (Tabel 18) dengan kabupaten Trenggalek sebagai kabupaten dengan kenaikan biaya transaksi tertinggi sebesar Rp. 14.999.328.000,00 per pelaku usaha per tahun. Kenaikan biaya transaksi rata-rata ini mengindikasikan semakin mahalnya biaya transaksi rata-rata yang harus dipikul pelaku usaha di kabupaten/kota di Jawa Timur.

(9)

Tabel 18 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Biaya Transaksi Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur

Variabel

Mean Sig(2 tailed) Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan

(Q65cR1) 1.542 0.435

Pajak daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan

(Q65cR2) 0.721 0.736

Tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda (Q67a) 821277.3** 0.048

Pajak dan retribusi daerah tidak memberatkan/menghambat

kegiatan usaha (Q67cR1) -8.614 0.316

Pembayaran biaya tambahan untuk polisi untuk keamananan

tidak memberatkan pelaku usaha (Q70bR1) 10.354 0.179 Biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja

perusahaan (Q71) 2.904** 0.034

ket:**Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan

Walaupun demikian biaya transaksi yang besar ini justru bukanlah menjadi suatu hambatan bagi pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat dari persepsi pelaku usaha bahwa biaya-biaya transaksi ini kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan yang naik sebesar rata-rata 2.9 poin dibandingkan di tahun 2007. Salah satu yang melatarbelakangi fenomena ini adalah makin tingginya kepatuhan para pelaku usaha dalam membayar pajak dan retribusi daerah kepada Pemda, yang pada akhirnya akan digunakan untuk membangun kabupaten/kotanya masing-masing.

Beranjak ke sub indikator berikutnya, kualitas infrastruktur sangat erat hubungannya dengan keputusan pelaku usaha untuk melakukan investasi. Dari hasil Survei KPPOD di tahun 2007 dan 2010, terlihat bahwa infrastruktur merupakan kendala utama bagi pelaku usaha dalam menanamkan modalnya. Bobot hambatan infrastruktur ini adalah 38% (KPPOD, 2010).

(10)

Tabel 19 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Infrastruktur Daerah Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur

Variabel

Mean Sig (2

tailed) Kualitas infrastruktur jalan (Q78aR1) 4.20 0.136 Kualitas infrastruktur lampu jalan (Q78aR2) 5.05** 0.028 Kualitas infrastruktur air PDAM (Q78aR3) 1.95 0.563 Kualitas infrastruktur listrik (Q78aR4) 2.37 0.12 Kualitas infrastruktur telepon (Q78aR5) -0.83 0.541

Lama perbaikan jalan (Q78cR1) 19.13 0.236

Lama perbaikan lampu jalan (Q78cR2) 0.59 0.644 Lama perbaikan air PDAM (Q78cR3) -2.15 0.103 Lama perbaikan listrik (Q78cR4) -0.02 0.324

Lama perbaikan telepon (Q78cR5) 0.52 0.55

Persentase pelaku usaha yang menggunakan genset(Q79) -13.9** 0.000

Lama pemadaman listrik (Q80) -1.13** 0.00

Infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan

(Q81) 2.11 0.407

ket:**Variabel signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan

Dari hasil uji beda berpasangan pada Tabel 19 dapat dideskripsikan bahwa kualitas infrastruktur berupa lampu jalan mengalami kenaikan sebesar rata-rata 5.05 poin di tahun 2010, dengan kenaikan indeks tertinggi diraih oleh kabupaten Jember. Sementara itu persentase pelaku usaha yang menggunakan genset pun menurun sebesar rata-rata 13.9% dibandingkan tahun 2007. Hal ini menunjukkan semakin baiknya kualitas pelayanan PLN di Jawa Timur, sehingga para pelaku usaha tidak terlalu menggantungkan pasokan listriknya pada genset. Berbanding lurus dengan penurunan pelaku usaha yang memakai genset, lama pemadaman listrik pun berkurang sebesar rata-rata 1 kali dalam seminggu dibandingkan tahun 2007.

5.2. Hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dan realisasi PMDN 5.2.1. Hubungan antara Akses Lahan dan realisasi PMDN dan PMA

Kabupaten dan Kota di Jawa Timur

Variabel-variabel penyusun sub indikator akses lahan memiliki skala yang berbeda-beda yaitu skala ordinal dan skala interval. Ada enam variabel pembentuk sub indikator akses lahan ini. Khusus untuk variabel waktu yang

(11)

diperlukan untukkepengurusan status tanah (Q30) memiliki skala interval dengan satuan lama waktu kepengurusan tanah dalam minggu. Oleh karena itu, variabel ini dianalisis dengan uji korelasi Pearson.

Tabel 20 Korelasi Pearson antara Ln PMDN dan Ln PMA 2005-2010 dengan Variabel Lama Kepengurusan Status Tanahdi Provinsi Jawa Timur

Q30

LPMDN Pearson Correlation 0.107362

Sig. (2-tailed) 0.355944

LPMA Pearson Correlation -0.0724

Sig. (2-tailed) 0.534252

Sumber: data olahan

Dari hasil uji korelasi Pearson, ternyata lama kepengurusan status tanah tidak memiliki hubungan yang signifikan baik dengan dengan realisasi PMDN maupun PMA (Tabel 20). Hal ini berarti bahwa para pelaku usaha di kabupaten kota di Jawa Timur secara umum tidak menganggap variabel akses lahan sebagai suatu hambatan dalam melakukan kegiatan usahanya.

Lima variabel akses lahan lainnya yakni persepsi kemudahan perolehan lahan (Q32),Persepsi Penggusuran Lahan oleh Pemda ( Q33 , Q34), Frekuensi Konflik (Q35)dan Persepsi Keseluruhan Permasalahan Lahan Usaha(Q36) memiliki skala ordinal, sehingga dianalisis dengan uji korelasi Spearman yang dilengkapi dengan boxplot.

Tabel 21 Korelasi Spearman antaraPMDN dan PMA 2005-2010 dengan Persepsi Kemudahan Perolehan Lahan,Persepsi Penggusuran Lahan oleh Pemda, Frekuensi Konflik dan Persepsi Keseluruhan Permasalahan Lahan Usaha di Provinsi Jawa Timur

Q32 Q33 Q34 Q35 Spearman's rho PMDN Correlation Coefficient 0.1298 0.1049 -0.2686** 0.0959 Sig. (2-tailed) 0.2637 0.3668 0.0189 0.4095 PMA Correlation Coefficient 0.0853 -0.0761 -0.3068** -0.0965 Sig. (2-tailed) 0.4634 0.5135 0.0070 0.4067 ket.**Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed).

Sumber: data olahan

Berdasarkan uji korelasi Spearman, dapat dilihat bahwa variabel yang berhubungan secara signifikan pada level 10% adalah persepsi penggusuran lahan oleh Pemda (Q34) yaitu seberapa sering terjadi penggusuran di daerah tersebut, namun hubungan keduanya adalah negatif dan tidak sejalan dengan teori (Tabel

(12)

21). Deskripsi lebih jelasnya dapat diamati dalam boxplot (Gambar 14). Kabupaten/kota yang frekuensi penggusurannya jarang memiliki median realisasi investasi PMDN sebesar Rp. 1,370 Trilyun dibandingkan kabupaten/kota yang tidak pernah terjadi penggusuran dengan median realisasi investasi PMDN sebesar 0. Semakin tidak pernah terjadi penggusuran, realisasi investasi PMDN semakin rendah dan sebaliknya semakin sering terjadi penggusuran, realisasi investasi PMDN semakin tinggi.

4 3 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 0 Q34 P M D N Boxplot of PMDN VS Q34

Sumber: Data Olahan

Gambar 14 Boxplot Variabel Persepsi Penggusuran Lahan oleh Pemda terhadap Realisasi PMDN dan PMA (2005-2010) di Provinsi Jawa Timur

Salah satu hal yang melatarbelakangi kondisi makin seringnya terjadi penggusuran maka semakin tinggi realisasi investasi adalah komposisi perusahaan dengan skala kecil dan menengah yang menempati lebih dari 50% responden dalam sampling frame survei ini. Dalam kenyataannya usaha mikro, kecil dan menengahlah yang biasanya menjadi sasaran penggusuran, baik karena tidak adanya izin usaha, berebut tempat dengan pelaku usaha lain, atau lahan yang mereka pakai ternyata akan dipakai untuk pembangunan proyek pemerintah. Ketika persepsi para pelaku usaha yang sering mengalami penggusuran ini dikorelasikan dengan realisasi PMDN, ternyata berkorelasi negatif. Adapun penggusuran lahan usaha pihak UKM ini adalah sebagai substitusi realisasi

Seringkah terjadi penggusuran di wilayah ini?

3=Jarang, 4= Tidak pernah

Rs=- 0.268 P value=0. 018 4 3 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0 Q34 P M A Boxplot of PMA vs Q34 R s = - 0.306 P value = 0.007

(13)

investasi yang baru, baik berupa PMDN, PMA, maupun investasi pemerintah yang bekerjasama dengan PMA maupun PMDN. Dengan demikian, semakin sering terjadi penggusuran terhadap lahan usaha kecil dan menengah, realisasi investasi PMDN akhirnya makin tinggi.

Untuk kasus PMA, yang biasanya adalah perusahaan dengan skala besar, ternyata juga terjadi fenomena seiring pelaku usaha berpendapat bahwa penggusuran sering terjadi, realisasi PMA makin besar. Hal ini disebabkan oleh kondisi yang terjadi juga pada PMDN yaitu, lahan usaha milik usaha kecil maupun menengah yang sering digusur, pada akhirnya akan digunakan untuk investasi baru seperti proyek pemerintah dengan PMA maupun PMA murni.

5.2.2. Hubungan antara Izin Usaha dan Realisasi PMDNdan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur

Sama halnya dengan variabel-variabel penyusun sub indikator akses lahan, variabel-variabel penyusun sub indikator Izin Usaha pun memiliki skala yang berbeda-beda. Variabel kepemilikan Tanda Daftar Perusahaan (Q38AR1) berskala nominal, demikian pula variabel persentase keberadaan mekanisme pengaduan (Q45). Sementara itu variabel Q40DR1 mengenai lama hari kerja perusahaan memperoleh TDP berskala interval. Oleh karena itu ketiga variabel ini dianalisis dengan korelasi Pearson.

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan, hanya variabel Persentase keberadaan mekanisme pengaduan (Q45) lah yang berhubungan secara signifikan tetapi hubungannya negatif (Tabel 22). Implikasinya adalah seiring semakin besarnya persentase pelaku usaha yang menyadari keberadaan mekanisme pengaduan, realisasi PMDN justru semakin rendah.

(14)

Tabel 22 Korelasi Pearson antara PMDN dan PMA dengan Persentase Perusahaan yang Memiliki TDP, Rata-Rata waktu perolehan TDP dan Persentase Keberadaan Mekanisme Pengaduandi Provinsi Jawa Timur

Q38AR1 Q40DR1 Q45 LPMDN Pearson Correlation 0.165812 0.146889 -0.23759** Sig. (2-tailed) 0.15229 0.20544 0.040116 LPMA Pearson Correlation 0.049738 0.029428 -0.14606 Sig. (2-tailed) 0.669613 0.800769 0.211149 ket

**Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: data olahan

Keberadaan mekanisme pengaduan justru diikuti dengan semakin menurunnya realisasi investasi PMDN (Gambar 15). Hal ini terjadi karena adanya mekanisme pengaduan ini menyebabkan para petugas perizinan usaha sangat berhati-hati dalam mengeluarkan suatu izin terkait dunia usaha, seperti tanda daftar perusahaan (TDP), Tanda Daftar Industri (TDP) , Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Izin Gangguan (HO) dan IMB, sehingga realisasi PMDN semakin menurun. 100 80 60 40 20 0 30 25 20 15 10 5 0 Q45 LP M DN Scatterplot of LPMDN vs Q45

Sumber: Data Olahan

Gambar 15 Scatterplot Variabel Persentase Keberadaan Mekanisme Pengaduan terhadap PMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur

Empat variabel lain menyangkut izin usaha yaitupersepsi kemudahan perolehan TDP (Q40CR1), persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha (Q41DR1), persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien dan

Rp= -0.237

(15)

bebas pungli (Q43 R1-R3) serta persepsi tingkat hambatan izin usaha (Q46) berskala ordinal sehingga dianalisis dengan menggunakan Uji Korelasi Spearman (Tabel 23).

Tabel 23 Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA dengan Persepsi Kemudahan Perolehan TDP, Persepsi Tingkat Biaya yang Memberatkan Usaha,Persepsi bahwa Pelayanan Izin Usaha Bebas KKN, Efisien dan Bebas Pungli, Persepsi Tingkat Hambatan Usaha terhadap Usahanya di Provinsi Jawa Timur

Q40 CR1 Q41 DR1 Q43R1 Q43R2 Q43R3 Q46 Spear man's rho PM DN Correlation Coefficient 0.095 -0.120 -0.175 0.208* -0.215* 0.098 Sig. (2-tailed) 0.409 0.298 0.129 0.070 0.062 0.395 PM A Correlation Coefficient 0.115 0.012 -0.138 0.113 -0.218* 0.254** Sig. (2-tailed) 0.318 0.911 0.231 0.326 0.058 0.026

ket.** Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). * Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan

Dari hasil uji korelasi Spearman, dapat dilihat bahwa variabel yang berhubungan positif secara signifikan terhadap realisasi PMDN adalah variabel persepsi bahwa pelayanan izin usaha bebas pungli (Q43R2). Lebih jauh lagi dalam boxplot (Gambar 16) terlihat bahwa untuk kabupaten/kota yang setuju bahwa pelayanan perizinan usahanya bebas pungli memiliki median realisasi investasi sebesar Rp. 80.100.000,00 lebih tinggi dari nilai tengah kabupaten/kota yang menyatakan tidak setuju yaitu sebesar Rp. 0. Hal ini sejalan dengan teori bahwa semakin perizinan usaha menghindarkan diri dari hal-hal yang berbau pungutan liar, diharapkan semakin banyak pelaku usaha yang tertarik untuk berinvestasi, dan akan berdampak pada realisasi PMDN yang makin besar.

(16)

3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 0 Q43R2 PM DN Boxplot of PMDN VS Q43R2

Sumber: Data Olahan

Gambar 16 Boxplot Variabel Persepsi Pelayanan Izin Usaha Bebas Pungli terhadap PMDN (2005-2010) di Provinsi Jawa Timur

Hubungan yang negatif secara signifikan juga dapat kita lihat dari hasil uji korelasi Spearman untuk variabel persepsi bahwa perizinan usaha bebas KKN (Q43R3) terhadap realisasi PMDN di Tabel 25. Peningkatan pelayanan perizinan usaha yang bebas pungli ternyata belum diikuti oleh kualitas pelayanan perizinan usaha yang bebas KKN. Para pelaku usaha yang menjawab tidak setuju bahwa pelayanan perizinan bebas KKN, ternyata memiliki kisaran realisasi investasi sebesar Rp. 1,3 Trilyun lebih besar dari para pelaku usaha yang menjawab setuju yaitu sebesar Rp. 12 Milyar saja (Gambar 17).

Salah satu hal yang melatarbelakangi fenomena ini adalah proses perizinan usaha yang masih sangat berbelit, sementara itu perizinan yang harus diurus untuk melakukan kegiatan usaha juga sangat banyak, sehingga pelaku usaha lebih senang melalui jalan belakang, baik lewat kenalan, saudara atau calo yang berurusan dengan petugas perizinan. Semakin banyak perusahaan yang melalui jalur tidak resmi ini, pada akhirnya menyebabkan realisasi investasi PMDN semakin meningkat. Hal ini adalah merupakan indikasi awal, karena realisasi investasi tidak hanya dipengaruhi oleh persepsi pelaku usaha tentang tata kelola pemerintahan daerah dalam hal perizinan, namun juga oleh faktor lainnya.

Persepsi bahwa pelayanan izin usaha bebas pungli

2: Tidak setuju , 3= setuju

Rs=0.208

(17)

3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 0 Q43R3 P M D N Boxplot of PMDN VS Q43R3

Sumber: Data Olahan

Gambar 17 Boxplot Variabel Persepsi Pelayanan Izin Usaha Bebas KKN terhadap PMDN dan PMA (2005-2010)di Provinsi Jawa Timur

Adapun kabupaten yang merupakan pencilan dalam boxplot PMDN vsQ43R3 dan PMA vs Q43R3 adalah Kabupaten Pasuruan dan Gresik. Di kedua kabupaten ini walaupun pelaku usaha tidak setuju bahwa pelayanan izin usaha bebas KKN, realisasi PMA maupun PMDNnya tetap tinggi.Namun jika kita telusuri lebih lanjut ternyata ada beberapa variabel tatakelola yang sangat baik kualitasnya di kedua kabupaten ini, antara lain konflik atas tanah jarang terjadi, retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan dan infrastruktur sangat kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Tabel 24). Hal ini membuktikan, dalam satu aspek/variabel bisa saja terjadi suatu kabupaten kota memiliki hubungan yang anomali, namun di sisi lain, kualitas tata kelola pemerintahan lainnya justru sangat baik. Dapat disimpulkan bahwa analisis korelasi yang dilakukan hanyalah deteksi awal hubungan sederhana, karena sangat banyak faktor dari segi tata kelola yang sangat mempengaruhi keputusan investor dalam menanamkan modalnya.

Persepsi bahwa pelayanan izin usaha bebas KKN :

2: Tidak setuju , 3= setuju

Rs=-0. 215 P value= 0.062 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0 Q43R3 P M A Boxplot of PMA vs Q43R3 Rs=-0. 218 P value= 0.058

(18)

Tabel 24 Kabupaten Pencilan pada Korelasi Persepsi Pelayanan Izin Usaha Bebas KKN (Q43R3) terhadap PMDN dan PMA serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya di Provinsi Jawa Timur

Pencilan

(anomali) Kualitas Tata Kelola yang baik Kab.

Gresik

a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35) Kab.

Pasuruan

b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36)

c. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha (Q55) d.Persepsi bahwa kapasitas dan integritas kepala daerah kecil hambatannya terhadap dunia usaha. (Q63)

e.Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan (Q88)

f. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) g. Biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)

h. Infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81) Sumber: data olahan

Namun pelaku usaha yang berpersepsi bahwa izin usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, realisasi PMAnya justru lebih rendah daripada yang setuju (Gambar 18). Kabupaten/kota yang menganggap izin usaha besar hambatannya terhadap kinerja perusahaan adalah kabupaten Gresik. Walaupun demikian, di Kabupaten ini sangat kecil kemungkinan usahanya akan, digusur (Q33) , program PPUS berupa proses memepertemukan mitra bisnis (business matchmaking program) sangat dirasakan manfaatnya bagi pelaku usaha (Q58R6) dan biaya transaksi berupa pajak daerah tidak memberatkan para pelaku usaha (Q65CR2).

(19)

Sumber: data olahan

Gambar 18 Boxplot Variabel Persepsi Tingkat Hambatan Izin Usaha Terhadap realisasi PMA (2005-2010) di Provinsi Jawa Timur

5.2.3 Hubungan antara Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha (IPPU) dan Realisasi PMDN dan PMAKabupaten dan Kota di Jawa Timur

Dalam rangka meningkatkan investasi di daerahnya, Pemda sebagai

stakeholder perlu mengembangkan komunikasi yang baik dengan para pelaku usaha sebagai shareholder. Salah satu upayanya adalah dengan membentuk forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha agar dapat diketahui apa saja permasalahan dunia usaha yang sedang terjadi belakangan in. Selain itu tujuan dibentuknya IPPU adalah agar dapat merumuskan kebijakan-kebijakan apa sajakah yang dibutuhkan oleh para pelaku usaha dan memberikan dukungan serta solusi permasalahan para pelaku usaha.

Variabel-variabel penyusun sub indikator IPPU ini terdiri dari variabel berskala nominal yaitu persentase keberadaan forum komunikasi Pemda dengan pelaku usaha(Q48). Sementara itu variabel lainnya pembentuk sub indikator IPPU berskala ordinal seperti tingkat pemecahan permasalahan oleh pemda (Q49R1-R3), tingkat dukungan pemda terhadap pelaku usaha (Q50R1-R5), tingkat kebijakan pemda yang mendorong iklim investasi (Q51), tingkat kebijakan non diskriminatif pemda (Q52), pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran usaha (Q53R1), tingkat kepastian hukum terkait dunia usaha (Q53R2) dan tingkat

3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0 Q46 PM A Boxplot of PMA VS Q46

Persepsi tingkat hambatan izin usaha terhadap kinerja perusahaan 2: Besar , 3= Kecil

Rs=0. 254

(20)

hambatan interaksi Pemda dengan pelaku usaha (Q55), sehingga dianalisis dengan uji korelasi Spearman (Tabel 25).

Tabel 25 Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA2005-2010 dengan Variabel Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha di Provinsi Jawa Timur

PMDN PMA PMDN PMA Spear man's rho Q48 Correlation Coefficient .134 .014 Q50 R4 Correlation Coefficient -.100 -.050 Sig. (2-tailed) .247 .900 Sig. (2-tailed) .385 .663 Q49 R1 Correlation Coefficient -.128 .001 Q50 R5 Correlation Coefficient -.371** -.202* Sig. (2-tailed) .267 .986 Sig. (2-tailed) .001 .080 Q49 R2 Correlation Coefficient -.161 .078 Q51 Correlation Coefficient -.278** -.160 Sig. (2-tailed) .163 .500 Sig. (2-tailed) .014 .165 Q49 R3 Correlation Coefficient -.307** -.091 Q52 Correlation Coefficient .355** .174 Sig. (2-tailed) .006 .430 Sig. (2-tailed) .001 .131 Q50 R1 Correlation Coefficient -.054 -.019 Q53 R1 Correlation Coefficient -.180 -.333** Sig. (2-tailed) .642 .864 Sig. (2-tailed) .118 .003 Q50 R2 Correlation Coefficient -.006 .159 Q53 R2 Correlation Coefficient -.231** .283** Sig. (2-tailed) .958 .169 Sig. (2-tailed) .044 .013 Q50 R3 Correlation Coefficient -.216** .060 Q55 Correlation Coefficient .202* .318** Sig. (2-tailed) .060 .603 Sig. (2-tailed) .079 .005 ket.

**Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan

Korelasi yang positif secara signifikan hanya didapati pada variabel Tingkat Hambatan Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha (Q55) dan tingkat kebijakan non diskriminatif Pemda (Q52) . Hal ini menunjukkan secara umum hal-hal yang berkaitan dengan perizinan usaha tidak menghambat kinerja perusahaan bahkan bergerak seiring kenaikan realisasi PMDN dan PMA di kabupaten/kota Jawa Timur (Gambar 19).

(21)

4 3 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 0 Q55 P M D N Boxplot of PMDN vs Q55

Sumber: Data Olahan

Gambar 19 Boxplot Variabel Tingkat Hambatan Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha , terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur

Semakin Pemda bersikap tidak diskriminatif akan berdampak positif terhadap realisasi PMDN di kabupaten/kota tersebut (Gambar 20). Dengan Pemda yang bersifat tidak berpihak kepada golongan pengusaha tertentu saja, akan berkorelasi positif terhadap realisasi PMDN.

3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 0 Q52 PM DN Boxplot of PMDN VS Q52

Sumber: Data Olahan

Gambar 20 Boxplot Variabel Tingkat Kebijakan Non Diskriminatif Pemda , terhadap PMDN (2005-2010)di Provinsi Jawa Timur

Korelasi yang negatif secara signifikandapat ditemui pada korelasi variabel Tingkat Kepastian Hukum Pemda Terkait Dunia Usaha (Q53R2) terhadap PMDN dan PMA. Dari boxplot Gambar 19 dapat kita lihat bersama bahwa semakin banyak pelaku usaha yang tidak setuju bahwa kebijakan Pemda

Tindakan Pemda terhadap sektor swasta: 2:=Non Diskriminatif

3= Diskriminatif

Seberapa besar hal yang berkaitan dengan IPPU menghambat kinerja perusahaan? 2= Besar 3= Kecil Rs= 0.202 P value: 0.079 Rs= 0.355 P value: 0.079 4 3 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0 Q55 P M A Boxplot of PMA VS Q55 Rs= 0.318 P value: 0.005

(22)

tidak meningkatkan tingkat ketidakpastian bagi pelaku usaha maka semakin besar realisasi PMDN maupun PMA di daerah tersebut.

3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 0 Q53R2 P M D N Boxplot of PMDN vs Q53R2

Sumber: Data Olahan

Gambar 21 Boxplot Variabel Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Tingkat Ketidakpastian Bagi Dunia Usaha , terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur

Pencilan untuk korelasi persepsi Q53R2 terhadap PMDN dan PMA adalah kabupaten Gresik, Kediri Pasuruan, Nganjuk, Tuban dan kota Pasuruan (Tabel 26). Di kabupaten/kota pencilan ini ternyata sangat jarang terjadi konflik atas tanah (Q35), biaya perizinan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q41dR1), serta biaya transaksi berupa retribusi tidak menghambat kinerja perusahaan (Q65CR1). Hal ini membuktikan, dalam satu aspek/variabel bisa saja terjadi suatu kabupaten kota memiliki hubungan yang anomali, namun di sisi lain, kualitas tata kelola pemerintahan lainnya justru sangat baik. Dapat disimpulkan bahwa analisis korelasi yang dilakukan hanyalah deteksi awal hubungan sederhana, karena sangat banyak faktor dari segi tata kelola yang sangat mempengaruhi keputusan investor dalam menanamkan modalnya.

Kebijakan Pemda tidak meningkatkan tingkat ketidakpastian bagi pelaku usaha 2= Tidak Setuju 3= Setuju Rs= - 0.231 P value: 0.044 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0 Q53R2 P M A Boxplot of PMA vs Q53R2 Rs= - 0.283 P value:0.013

(23)

Tabel 26 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Kebijakan Pemda Meningkatkan Tingkat Kepastian Bagi Dunia Usaha (Q53R2) terhadap PMDN dan PMA, serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya

Pencilan

(anomali) Kualitas Tata Kelola yang baik

kab. Gresik a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35) kab. Kediri

b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36)

kab. Pasuruan c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) kab. Nganjuk

d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46)

kab. Tuban e.Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88)

kota Pasuruan f. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja

perusahaan (Q71)

h. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81) Sumber: Data Olahan

Korelasi negatif berikutnya dapat kita temui pada korelasi antara Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Tingkat Pengeluaran bagi Bisnis (Q53R1) dengan realisasi PMA(Gambar 22). Deskripsi boxplotini pada dasarnya hanyalah deteksi fenomena awal, yang memang menunjukkan fenomena yang tidak sejalan teori. Selanjutnya perlu kita telusuri kabupaten/kota yang mengalami hubungan anomali ini, agar dapat mengidentifikasi variabel tata kelola lainnya yang berkualitas baik yang dimiliki kabupaten/kota tersebut.

(24)

Sumber: data olahan

Gambar 22 Boxplot Variabel Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Tingkat Pengeluaran bagi Bisnis, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur

Pencilan pada gambar 22 ditempati oleh kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Tuban, kota Pasuruan dan kota Surabaya (Tabel 27). Modus persepsi yang berlaku pada kabupaten/kota pencilan ini adalah pelaku usaha yang tidak setuju bahwa kebijakan pemerintah tidak meningkatkan pengeluaran bagi bisnis, namun kenyataannya realisasi PMDNnya tinggi. Namun pada kabupaten pencilan ini, beberapa aspek tata kelola lainnya justru sangat baik seperti konflik atas tanah jarang terjadi (Q35). Demikian pula untuk biaya perizinan, para pelaku usaha di kabupaten-kabupaten pencilan menganggap biaya tersebut sama sekali bukan hal yang memberatkan (Q41DR1). Dengan kata lain, terbukti bahwa biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71). Dapat disimpulkan bahwa analisis korelasi yang dilakukan hanyalah deteksi awal hubungan sederhana, karena sangat banyak faktor dari segi tata kelola maupun faktor ekonomi yang sangat mempengaruhi keputusan investor dalam menanamkan modalnya. 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0 Q53R1 PM A Boxplot of PMA VS Q53R1

Kebijakan Pemda tidak meningkatkan tingkat peningkatan pengeluaran bisnis 2= Tidak Setuju

3= Setuju

Rs= - 0.333

(25)

Tabel 27 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Pengeluaran bagi bisnis (Q53R1) terhadap PMDN , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya.

Korelasi Pencilan (anomali) Kualitas Tata Kelola yang baik Q53R1 vs

PMDN kab. Pasuruan

a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35)

kab. Probolinggo

b.Persepsi bahwa biaya tidak memberatkan usaha (Q41dR1)

kab. Tuban

c. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46)

Kota Pasuruan

d. Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88)

Kota Surabaya

e. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1)

g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)

h. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81)

Sumber: data olahan

Adapun salah satu alasan yang melatarbelakangi fenomena mengapa kebijakan pemerintah daerah tidak berkorelasi positif dengan realisasi PMA maupun PMDN adalah kualitas kebijakan itu sendiri. Hasil penelitian Azis dan Wihardja (2010) menyatakan bahwa ada 3 tipe kebijakan yang dirumuskan oleh Pemda. Pertama adalah tipe kebijakan yang mengabaikan fakta bahwa kualitas institusi pemerintah masih rendah. Akibatnya kebijakan tersebuthanya bekerja berdasarkan asumsi yang dimiliki oleh pengambil kebijakan. Yang kedua adalah tipe kebijakan yang secara tegas mempertimbangkan fakta bahwa kualitas institusi masih rendah. Kebijakan ini dibuat dengan asumsi bahwa institusi tidaklah sempurna. Yang ketiga adalah tipe kebijakan yang mengendogenouskan institusi dengan cara menginternalisasikan kompleksitas institusi tetapi juga melakukan perubahan pada institusi dengan memberikan insentif kepada masyarakat untk bertindak yang baik. Sayangnya sampai saat ini aturan dan kebijakan Pemda masih menempati tipe yang pertama, sehingga pada saat diaplikasikan, masih akan terdapat penyimpangan-penyimpangan karena kualitas institusinya masih rendah.

Korelasi yang negatif namun signifikan juga ditemukan pada korelasi variabel-variabel Persepsi Instansi Pemda selalu Menindaklanjuti

(26)

Langkah-Langkah Pemecahan masalah yang Telah Ditentukan Kepala Daerah (Q49R3), Tingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah (Q50R3 dan Q50R5),Tingkat Kebijakan Pemda yang Berorientasi Mendorong Iklim Investasi (Q51), terhadap PMDN dan juga PMA. Deskripsi lebih detail dapat dilihat pada

boxplot Gambar 23 sampai 25.

3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 0 Q49R3 PM DN Boxplot of PMDN vs Q49R3

Sumber: Data Olahan

Gambar 23 Boxplot Variabel Persepsi Instansi Pemda selalu Menindaklanjuti Langkah-Langkah Pemecahan Masalah yang Telah Ditentukan Kepala Daerah terhadap PMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur

Pada Gambar 23 di atas terlihat bahwa semakin pelaku usaha menjawab setuju bahwa Pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah yang telah ditentukan Kepala Daerah (Q49R3), semakin rendah realisasi PMDN di kabupaten/kota tersebut. Demikian sebaliknya, semakin pelaku usaha menjawab tidak setuju bahwa Pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah yang telah ditentukan Kepala Daerah, semakin tinggi realisasi PMDN di kabupaten/kota tersebut. Hal ini merupakan fenomena yang tidak sejalan teori, namun kembali ditegaskan bahwa korelasi ini adalah hanya deteksi awal hubungan linear sederhana antara PMDN dengan Q49R3.

Pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah Kepala Daerah:

2= Tidak Setuju 3= Setuju

Rs=- 0.307

(27)

Tabel 28 Kabupaten Pencilandi Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Pemda Selalu Menindaklanjuti Langkah-langkah yang telah ditentukan Kepala Daerah (Q49R3) terhadap PMDN dan PMA, serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya

Korelasi Pencilan (anomali) Kualitas Tata Kelola yang baik Q49R3 VS

PMDN kab. Pasuruan

a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35)

kab. Malang

b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) kab. Gresik

c.Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1)

kab. Sidoarjo

d. Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88)

e. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1)

f. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)

Sumber: Data Olahan

Adapun kabupaten yang menjadi pencilan pada korelasi Q49R3 terhadap PMDN ini adalah Kabupaten Pasuruan, Malang, Gresik, dan Sidoarjo (Tabel 28). Di Kabupaten/kota pencilan ini, kualitas tata kelola yang baik adalah konflik atas tanah jarang terjadi (Q35), biaya perizinan bagi para pelaku usaha sama sekali bukan hal yang memberatkan (Q41DR1). Retribusi pun bukanlah menjadi hambatan terhadap kinerja perusahaan (Q65CR1). Di balik posisi 4 kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya

Hubungan atau korelasi negatif dalam sub indikator IPPU ini juga ditunjukkan pada Gambar 24. Semakin pelaku usaha menjawab setuju bahwa Pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan pelaku usaha (Q50R3), semakin rendah realisasi PMDN di kabupaten/kota tersebut. Demikian sebaliknya, semakin pelaku usaha menjawab tidak setuju bahwa Pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan pelaku usaha, semakin tinggi realisasi PMDN di kabupaten/kota tersebut.

(28)

3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 0 Q50R3 PM DN Boxplot of PMDN vs Q50R3

Sumber: Data Olahan

Gambar 24 Boxplot Variabel Tingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah (Q50R3), terhadap PMDN

.

Pencilan pada korelasi Q50R3 terhadap PMDN ini kembali ditempati Kabupaten Pasuruan, Malang, Gresik, Sidoarjo, Tuban.(Tabel 29). Untuk kabupaten-kabupaten pencilan ini konflik atas lahan sangat jarang terjadi (Q35), biaya perizinan bagi para pelaku usaha sama sekali bukan hal yang memberatkan (Q41DR1). Retribusi pun bukanlah menjadi hambatan terhadap kinerja perusahaan (Q65CR1).

Tabel 29 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timurpada KorelasiTingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah (Q50R3) terhadap PMDN , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Korelasi Pencilan (anomali) Kualitas Tata Kelola yang baik

Q50R3 vs

PMDN kab. Pasuruan

a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35)

kab. Malang

b. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1)

kab. Gresik

c.Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88)

kab. Sidoarjo

d. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1)

kab Tuban

e. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)

Sumber: Data Olahan

Variabel yang sama, terbukti memiliki korelasi yang relatif sama dengan realisasi PMA maupun PMDN. Variabel yang dimaksud adalah persepsi bahwa Pemda memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan dunia usaha

Pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan pelaku usaha 2=Tidak Setuju, 3= Setuju

Rs=- 0.216

(29)

(Q50R5). Semakin pelaku usaha menjawab setuju akan persepsi ini, semakin rendah realisasi PMA maupun PMDN di kabupaten/kota tersebut (Gambar 25).

3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 0 Q50R5 P M D N Boxplot of PMDN vs Q50R5

Sumber: Data Olahan

Gambar 25 Boxplot Variabel Tingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah, terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur

Pencilan pada korelasi Q50R5 terhadap PMDN dan PMA ini adalah kabupaten Pasuruan dan Gresik (Tabel 30). Terbukti dengan modus persepsi pelaku usaha yang tidak setuju bahwa Pemda memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan dunia usaha, ternyata di beberapa aspek tata kelola kabupaten ini masih memiliki keunggulan. Beberapa diantaranya adalah seperti konflik atas tanah jarang terjadi (Q35), biaya perizinan sama sekali bukan hal yang memberatkan (Q41DR1), retribusi bukanlah menjadi hambatan terhadap kinerja perusahaan (Q65CR1) serta infrastruktur kecil hambatannya terhadap dunia usaha (Q81).

Pemda memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan dunia usaha 2=Tidak Setuju, 3= Setuju

Rs=- 0.371 P value: 0.001 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0 Q50R5 P M A Boxplot of PMA VS Q50R5 Rs=- 0.202 P value: 0.080

(30)

Tabel 30 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timurpada KorelasiTingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah (Q50R5) terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya

Pencilan (anomali) Kualitas Tata Kelola yang baik

kab. Pasuruan a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35) kab. Gresik

b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36)

c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46)

e. Kapasitas dan Integritas kepala Daerah kecil hambatannya terhadap dunia usaha (Q63)

f.Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88) g. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1)

h. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)

i. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81)

Sumber: Data Olahan

Di balik posisi 2 kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya.

Sementara itu, variabel kebijakan Pemda terhadap sektor swasta (Q51) juga berkorelasi negatif dengan realisasi PMDN. Semakin pelaku usaha berpersepsi bahwa kebijakan Pemda terhadap sektor swasta bersifat mendorong iklim investasi, realisasi investasinya makin rendah (Gambar 26).

(31)

3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 0 Q51 PM DN Boxplot of PMDN vs Q51

Sumber: Data Olahan

Gambar 26 Boxplot Variabel Tingkat Kebijakan Pemda yang Berorientasi Mendorong Iklim Investasi , terhadap PMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur

Pencilan untuk korelasi ini adalah Kabupaten Pasuruan, Malang, Gresik,dan Sidoarjo (Tabel 31). Pada keempat kabupaten ini terlihat bahwa aspek tata kelola dalam hal akses lahan sangat baikterlihat dari konflik atas lahan sangat jarang terjadi (Q35 dan secara keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36). Di samping itu biaya perizinan, retribusi biaya transaksi lain tidak memberatkan usaha serta kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q41DR1 ,Q65CR1 dan Q71), serta keamanan kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q88).

Di balik posisi 4 kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan,analisis korelasi yang dilakukan hanyalah deteksi awal hubungan sederhana karena faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya.

Kebijakan Pemda terhadap Sektor Swasta

2= Tidak mendorong iklim investasi 3= mendorong iklim investasi

Rs=- 0.278

(32)

Tabel 31 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timurpada KorelasiTingkat Kebijakan Pemda yang Mendorong Iklim Investasi (Q51) terhadap PMDN , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya

Korelasi

Pencilan

(anomali) Kualitas Tata Kelola yang baik Q51 vs PMDN

Kab. Pasuruan

a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35) Kab.

Malang

b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) Kab. Gresik

c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1)

Kab. Sidoarjo

d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46)

e.Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88)

f. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1)

g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)

Sumber: Data Olahan

5.2.4 Hubungan antara Program Pengembangan Usaha Sektor Swasta dan Realisasi PMDNdan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur

Terdapat empat variabel yang dianalisis pada sub indikator ini, yaitu tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS (Q57A), tingkat partisipasi dalam PPUS (Q57B), tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha (Q58 R1-7) dan dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan (Q49). Keempat indikator tersebut dianalisis dengan uji korelasi Spearman.

Berdasarkan uji korelasi Spearman (Tabel 32), tidak ada satupun variabel PPUS yang berhubungan secara signifikan dengan realisasi PMDN. Seluruh pelaku usaha mengetahui adanya PPUS yang diselenggarakan oleh pemda di kabupaten mereka minimal satu program dan mereka pun telah mengikuti minimal satu program yang diselenggarakan oleh pemda. Namun, program tersebut pada kenyataannya kurang bermanfaat terhadap kinerja perusahaan sehingga ada atau tiadanya PPUS tersebut tidak berhubungan baik positif ataupun negatif terhadap realisasi investasi di kabupaten/kota tersebut.

(33)

Tabel 32 Korelasi Spearman antara dan PMDN dan PMA 2005-2010 dengan Variabel Program Pengembangan Usaha Swasta di Provinsi Jawa Timur

ket.

**Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed) Sumber: data olahan

PPUS di Jawa Timur diselenggarakan dalam berbagai jenis kegiatan. Di kabupaten Malang misalnya, Pemda bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat dari berbagai universitas seperti Universitas Merdeka, Universitas Brawijaya, Universitas Muhammadiyah, dan Unisma untuk mengembangkan klinik UKM (KUKM). Tak hanya empat LPPM, Dinas juga menggandeng perusahaan profesional yaitu CV ASI Mas Malang. Para pelaku usaha di kota Surabaya pun banyak terbantu dengan adanya Surabaya Business Incubator Center, kerjasama antara Institut Teknologi Surabaya, Pemda Tingkat I Jawa Timur, dan Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Tingkat I Jawa Timur. Kegiatan yang diselenggarakan antara lain pembinaan, pelatihan dan konsultasi kepada para pelaku usaha.

Selain itu, untuk mendukung pemasaran hasil-hasil industri kecil menengah, Pemda Jatim di tahun 2010 bekerja sama dengan pemerintah daerah Osaka, jepang telah membangun sebuah pusat pameran produk UKM bernama Core Higashi. Diharapkan Pemda Jatim dan Osaka bisa saling bertukar informasi dan produk UKM agar di kedua Provinsi tersebut Usaha Kecil dan Menengah bisa berkembang pesat. Q 5 7 A Q 5 7 B Q58 AR1 Q58 AR2 Q58 AR3 Q58 AR4 Q58 AR5 Q58 AR6 Q58 AR7 Q59 Spea r man' s rho PM DN Correlatio n Coefficient . . .100 .050 .002 .086 .014 -.071 .029 .139 Sig. (2-tailed) . . .387 .666 .983 .457 .899 .539 .800 .231 PM A Correlatio n Coefficient . . .021 -.038 -.096 .008 -.007 -.022 -.129 .280* * Sig. (2-tailed) . . .855 .742 .407 .943 .951 .843 .263 .014

(34)

Namun sayangnya seiring makin bervariasinya PPUS yang diselenggarakan Pemda belum mampu mendorong meningkatnya realisasi investasi PMDN. Hal ini disebabkan tingkat pengetahuan akan PPUS yang masih sangat terbatas di kalangan tertentu saja, dan sosialisasi PPUS yang masih sangat terbatas hanya di kota besar saja.

Walaupun manfaat PPUS tidak terlalu dirasakan oleh investor PMDN, ternyata PPUS masih berdampak positif terhadap PMA. Hal ini terlihat dari terdapatnya satu variabel yang berkorelasi positif dengan realisasi PMDN yaitu dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan (Q59). Semakin responden menjawab dampak PPUS besar terhadap PMA, semakin besar realisasi investasi PMA di kabupaten/kota tersebut (Gambar 27).

Sumber: Data Olahan

Gambar 27 Boxplot Variabel Dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan , terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur

5.2.5 Hubungan antara Kapasitas dan Integritas Bupati /Walikota dan Realisasi PMDNdan PMAKabupaten dan Kota di Jawa Timur

Sub indikator Kapasitas dan integritas Bupati/ Walikota terdiri dari enam variabel, yaitu pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha (Q61R1),

3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0 Q59 PM A Boxplot of PMA VS Q59 Rs= 0.280 P value: 0.014

Secara umum, dampak dari PPUS Pemda terhadap kinerja perusahaan: 2= Kecil , 3 = besar

(35)

profesionalisme birokrat daerah (Q61R2), ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya (Q61R3), tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri (Q61R4), karakter kepemimpinan kepala daerah (Q61R5), hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah terhadap dunia usaha (Q63). Semua variabel tersebut berskala ordinal sehingga semuanya dianalisis dengan uji korelasi Spearman.

Tabel 33 Korelasi Spearman antara PMDN 2005-2010 dengan Variabel Kapasitas Integritas Bupati/Walikotadi Provinsi Jawa Timur

Q61R 1 Q61R 2 Q61R3 Q61R4 Q61R5 Q63 Spear man's rho PM DN Correlation Coefficient .091 .032 -.251** .230** -.052 .188 Sig. (2-tailed) .430 .777 .028 .045 .652 .102 PMA Correlation Coefficient .214 -.055 -.380** .384** .177 .274** Sig. (2-tailed) .062 .635 .001 .001 .124 .016 Ket.

**Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: data olahan

Dari kesemua variabel penyusun sub indikator ini, variabel yang berhubungan negatifsecara signifikan dilihat dari Tabel 33 adalah ketegasan kepala daerah akan korupsi birokratnya (Q61 R3) dan tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri (Q61R4).Deskripsi lebih lanjutnya dapat dilihat pada gambar 28 dan 29.

(36)

3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 0 Q61R3 P M D N Boxplot of PMDN VS Q61R3

Sumber: Data Olahan

Gambar 28 Boxplot Variabel Ketegasan Kepala Daerah Terhadap Korupsi Birokratnya , terhdadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur

Pada kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur, ternyata semakin pelaku usaha tidak setuju bahwa bupati/walikota bertindak tegas terhadap tindakan korupsi jajarannya(Q61R3), realisasi investasibaik PMA maupun PMDN makin besar (Gambar 26). Pencilan untuk korelasi Q61R3 terhadap PMDN ini adalah Kabupaten Tuban, Probolinggo, Gresik, Pasuruan, Sidoarjo dan kota Surabaya (Tabel 34). Di lima kabupaten/kota ini terlihat bahwa aspek tata kelola dalam hal akses lahan sangat baik karena konflik atas tanah jarang terjadi (Q35) dan keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36). Selain itu biaya perizinan serta retribusi juga tidak menghambat kinerja perusahaan, serta infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan.

Bupati/walikota bertindak tegas kepadatindakan korupsi jajarannya: 2= Tidak setuju , 3= setuju

Rs=- 0.251 P value: 0.028 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0 Q61R3 P M A Boxplot of PMA VS Q61R3 Rs= -0.380 P value: 0.001

(37)

Tabel 34 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada KorelasiKetegasan Kepala Daerah akan Korupsi Birokratnya (Q61R3) terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan (anomali) Kualitas Tata Kelola yang baik

kab. Tuban a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35) kab. Probolinggo

b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36)

kab. Gresik c.Persepsi bahwa biaya tidak memberatkan usaha (Q41dR1) kab. Pasuruan

d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46)

kota Surabaya

e. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha (Q55)

kab. Sidoarjo f. Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88) g. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1)

h. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71)

i. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81)

Sumber: data olahan

Korelasi negatif juga ditemui pada Tindakan kepala Daerah yang Menguntungkan Diri Sendiri (Q61R4) terhadap realisasi PMDN dan PMA. Semakin pelaku usaha setuju bahwa bupati/walikotanya melakukan perbuatan yang meguntungkan dirinya sendiri, realisasi PMA maupun PMDNnya makin tinggi (Gambar 29).

(38)

3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 0 Q61R4 P M D N Boxplot of PMDN VS Q61R4

Sumber: Data Olahan

Gambar 29 Boxplot Variabel Tindakan kepala Daerah yang Menguntungkan Diri Sendiri, terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur

Pencilan pada korelasi Q61R4 dengan PMDN dan PMA adalah kabupaten Pasuruan, Malang, Gresik, Sidoarjo,Tuban, Bojonegoro dan Kota Surabaya (Tabel 35). Pada enam kabupaten ini, pelaku usahanya berpendapat kepala daerahnya melakukan tindakan korupsi, namun ternyata realisasi investasi PMDN dan PMAnya masih tinggi. Namun ternyata ada beberapa variabel tata kelola lainnya yang baik antara lain konflik atas tanah jarang terjadi (Q35) dan biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71). Di balik posisi 2 kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya.

Bupati/walikota melakukan perbuatan yang menguntungkan dirinya (korupsi) 2= Tidak setuju , 3= setuju

Rs= 0.230 P value: 0.045 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 0 Q61R4 P M A Boxplot of PMA VS Q61R4 Rs= 0.384 P value: 0.001

(39)

Tabel 35 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Tindakan Kepala Daerah yang Menguntungkan Diri Sendiri (Q61R4) terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya

Pencilan (anomali) Kualitas Tata Kelola yang baik

kab. Pasuruan a. Konflik atas tanah jarang terjadi(Q35) kab. Malang

b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36)

kab. Gresik c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) kab. Sidoarjo

d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46)

kab. Tuban e. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha (Q55) kota Surabaya f.Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88)

kab. Bojonegoro g. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) h. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja

perusahaan (Q71) Sumber: Data Olahan

Hubungan antara dua variabel (Q61R3 dan Q61R4) ini terhadap realisasi PMA maupun PMDN sangatlah berkebalikan namun saling mendukung. Responden di kabupaten/kota yang tidak setuju bahwa kepala daerahnya telah bertindak tegas terhadap korupsi ternyata memiliki nilai realisasi investasi yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota yang menjawab setuju (Gambar 28). Sedangkan sejalan dengan gambar 28, Gambar 29 menunjukkan bahwa para pelaku usaha yang setuju bahwa bupati/walikotanya melakukan tindakan korupsi justru realisasi PMDN maupun PMAnya makin rendah. Hal ini menandakan bahwa sosok bupati/walikota di suatu kabupaten/kota belum menjadi sosok panutan dan sosok figur pemimpin yang kuat. Kenyataannya bupati/walikota yang korup justru membuat para investor yang memiliki kepentingan dalam beberapa proyek pengadaan gencar melakukan negosiasi dan pendekatan tertentu dengan harapan proyek tersebut mendapat persetujuan, dan pada akhirnya meningkatkan realisasi PMDN maupun PMA di kabupaten/kota tersebut.

Namun di balik korelasi yang negatif tersebut, terdapat satu variabel yang berkorelasi positif, yaitu tingkat hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah (Q63). Semakin pelaku usaha berpersepsi bahwa kapasitas dan integritas kepala daerah memiliki hambatan yang kecil terhadap dunia usaha, semakin tinggi realisasi PMA di daerah tersebut (Gambar 30).

Gambar

Tabel 19 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator   Infrastruktur  Daerah Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur
Gambar  14  Boxplot  Variabel  Persepsi  Penggusuran  Lahan  oleh  Pemda  terhadap  Realisasi PMDN dan PMA (2005-2010) di Provinsi Jawa Timur
Gambar  15  Scatterplot  Variabel  Persentase  Keberadaan  Mekanisme  Pengaduan  terhadap PMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur
Gambar  16  Boxplot  Variabel  Persepsi  Pelayanan  Izin  Usaha  Bebas  Pungli  terhadap PMDN (2005-2010) di Provinsi Jawa Timur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Sinambela (2008) untuk dapat membantu siswa dalam memahami materi pembelajaran maka perlu adaya suatu pembelajaran yang berbasis masalah yang mencakup banyak teori

Dengan hasil penelitian yang diperoleh yakni tidak ada pengaruh kreativitas guru dan lingkungan sekolah terhadap hasil belajar siswa kelas VII pada mata pelajaran IPS di MTs

Terlepas dari fenomena di atas, secara dinamis BMT ini lebih dikelola oleh beberapa individu dan menjangkau sektor mikro dari perekonomian rakyat, terlepas dari fungsi baitul

Nilai difusivitas panas bahan merupakan salah satu sifat panas yang dibutuhkan untuk menduga laju perubahan suhu bahan sehingga dapat ditentukan waktu optimum

lembaga keuangan formal dan non formal, sumberdaya fisik berupa jumlah pasar dan panjang jalan, sumberdaya alam berupa luas lahan dan banyaknya komoditi unggulan

Berdasarkan latar belakang penelitian mengenai faktor – faktor yang dapat mempengaruhi kinerja reksa dana syariah, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah terdapat adanya

Berdasarkan hasil analisis instrumen yang telah disebarkan yaitu angket, wawancara, serta dokumentasi pada subyek penelitian diperoleh hasil bahwa self-management

Pada dimensi generality, pem- belajaran Socrates Kontekstual yang telah dilakukan dapat memunculkan indikator self-efficacy berpikir kritis matematis yaitu indikator berpedo-