1 BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kesehatan merupakan kebutuhan yang esensial dari setiap individu. Ketika salah satu dari organ yang terdapat dalam tubuh mengalami suatu ketidakseimbangan maka tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu dari organ tersebut akan menjadi sumber terjangkitnya suatu penyakit. Bagian dari sistem pernafasan, paru-paru memiliki peranan yang sangat penting. Beberapa penyakit paru mulai berkembang dan menjadi penyakit yang diwaspadai. Dengan mengetahui gejala serta penyebab dari penyakit paru-paru merupakan usaha untuk menghindari penyakit tersebut.1 Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa penyakit TB Paru merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan lainnya.2
Berdasarkan Global Tuberculosis Control tahun 2009 (data tahun 2007) angka prevalensi semua tipe kasus TB sebesar 244 per 100.000 penduduk atau sekitar 565.614 kasus semua tipe TB, insidensi semua tipe TB sebesar 228 per 100.000 penduduk atau sekitar 528.063 kasus semua tipe TB, sedangkan kematian TB 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari.3,4 Selain kasus putus obat yang terjadi dalam pengobatan TB, kasus resistensi pun merupakan tantangan baru dalam program penanggulangan TB yang akan berdampak pada kualitas hidup seseorang. Pencegahan meningkatnya kasus TB yang resisten obat menjadi prioritas penting.5 Laporan WHO tahun 2007 menyatakan persentase
2
resistensi primer di seluruh dunia telah terjadi poli resisten 17,0%, mono resisten terdapat 10,3%, dan tuberculosis multidrug resistant (TB-MDR) sebesar 2,9%. Sedangkan di Indonesia resistensi primer jenis MDR terjadi sebesar 2% .3,6 Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa resistensi primer isoniazid (H) sebesar 2,16%, diikuti streptomisin (S) 1,23%, rifampisin (R) 0,50%, etionamid (N) 0,16%, kanamisin (K) 0,08% dan pyrazinamid (Z) 0,04% dan tidak ditemukan resistensi terhadap etambutol (E). Resistensi terhadap dua atau lebih obat antituberkulosis (OAT) bervariasi antara 0,08% sampai dengan 2,71%, serta terdapat TB-MDR primer sebanyak 3 orang dari 15 orang pasien yang tidak memiliki riwayat pengobatan OAT. Sedangkan berdasarkan hasil uji resistensi terhadap obat diantara semua subjek penelitian dijumpai kasus TB-MDR primer sebanyak 4 orang (4,71%) dengan jenis kelamin 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Empat kasus TB-MDR primer yang ditemukan memiliki kecenderungan pada usia tua, yaitu pada usia 43, 51, 57, dan 61 tahun.8,9,10,11 World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 50 juta orang di dunia yang telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap OAT dan dijumpai 273.000 (3,1%) dari 8,7 juta TB kasus baru pada tahun 2000. 7
Kasus TB MDR merupakan bentuk spesifik dari TB resisten obat yang terjadi jika kuman resisten terhadap setidaknya isoniazid dan rifampisin, dua jenis OAT yang utama. Resistensi obat terjadi akibat penggunaan OAT yang tidak tepat dosis pada pasien yang masih sensitif terhadap regimen OAT serta ketidaksesuaian ini bisa ditimbulkan oleh berbagai sebab seperti karena pemberian
3
regimen yang tidak tepat oleh tenaga kesehatan atau karena kegagalan dalam memastikan pasien menyelesaikan seluruh tahapan pengobatan. Dengan demikian, kejadian resistensi obat banyak meningkat di wilayah dengan kendali program TB yang kurang baik. 12
1.2 Identifikasi masalah
Bagaimana pola resistensi obat anti tuberkulosis (OAT) yang terjadi pada pasien TB anak maupun dewasa?
1.3 Tujuan penelitian
Mengetahui pola resistensi obat anti tuberkulosis (OAT) pada pasien TB anak dan dewasa.
1.4 Kegunaan penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan penatalaksanaan yang sesuai bagi penderita pediatrik maupun geriatrik untuk penyakit TB sehingga pasien akan mendapatkan terapi yang lebih efektif.
2. Penelitian ini bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan sebagai sarana belajar untuk meningkatkan kualitas terutama tenaga kesehatan.
3. Diperoleh data ilmiah tentang pola resistensi obat anti tuberkulosis bagi penderita TB pada pediatrik maupun geriatrik.
4
4. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai saran untuk dasar penatalaksanaan bagi penderita pediatrik maupun geriatrik pada penyakit TB di Rumah Sakit yang bersangkutan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang masih menjadi perhatian dunia. Hingga saat ini, belum ada satu negara pun yang bebas TB. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis cukup tinggi. Tahun 2009, 1,7 juta orang meninggal karena TB (600.000 diantaranya perempuan) sementara ada 9,4 juta kasus baru TB (3,3 juta diantaranya perempuan). Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB dimana sebagian besar penderita TB adalah usia produktif (15-55 tahun).23
Gejala TB yaitu batuk (biasanya dengan lendir), batuk darah, keringat berlebihan terutama pada malam hari, kelelahan, demam, kesulitan bernapas, nyeri dada, dan menggigil.24
Pengobatan TB saat ini sudah cukup maju, dengan lama pengobatan berkisar antara 6 bulan sampai 1 tahun menggunakan antibiotik kombinasi secara teratur dan displin dengan dosis yang tepat. Akan tetapi kombinasi antibiotik yang terdiri dari rifampisin, isoniazid, etambutol, pirazinamid dan ditambah streptomisin untuk kasus resisten banyak mengakibatkan efek samping bagi penderita TB. Obat rifampisin merupakan obat-obatan yang sangat toksik terhadap hati. Mengkonsumsi obat ini dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan gangguan hati. Isoniazid menyebabkan gangguan pada sendi. Keadaan ini diperparah apabila pasien sudah mempunyai penyakit gout arthritis
6
atau osteoarthritis sebelumnya. Etambutol dalam jangka waktu yang panjang bisa menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan dan buta warna karena rusaknya sel-sel konus di retina. Pirazinamid mempunyai efek samping yang mirip dengan rifampisin dan isoniazid yaitu gangguan pada hati dan sendi. Streptomisin adalah golongan aminoglikosida yang menyebabkan ototoksik atau memberikan efek samping pada pendengaran berupa penurunan ketajaman pendengaran.39
2.1.1 Resistensi bakteri TB terhadap OAT
Dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan di beberapa kota yang ada di indonesia hingga dunia, terlihat bahwa kasus resistensi merupakan masalah besar dalam pengobatan tuberkulosis. Pada masa sekarang ini. World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 50 juta orang di dunia yang telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap OAT dan dijumpai 273.000 (3,1%) dari 8,7 juta TB kasus baru pada tahun 2000.40 Pasien yang terinfeksi galur M. tuberculosis yang telah resisten obat disebut dengan resistensi primer. Data ini sering digunakan sebagai evaluasi terhadap transmisi/penularan terbaru.23,27,9
Resistensi primer adalah keadaan resistensi terhadap OAT pada penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT sebelumnya atau telah minum obat anti tuberkulosis kurang dari 1 bulan. Faktor risiko terjadinya resistensi primer OAT adalah kasus infeksi oleh bakteri TB yang resistensi OAT. Keadaan ini dijumpai secara geografis pada tempat yang mempunyai risiko tinggi untuk resistensi OAT, usia muda, infeksi HIV, atau pemakaian berbagai
obat-7
obat suntik.19 sedangkan resistensi sekunder yaitu terdapatnya strain mikobakterium tuberkulosis yang resisten pada penderita TB yang telah minum obat anti tuberkulosis minimal 1 bulan.42
TB MDR (multy drug resistance) merupakan TB yang disebabkan oleh M.tuberkulosis yang sudah resisten terhadap OAT (obat anti tuberkulosis ) lini 1 (Rifampisin, Izoniasid, Ethambutol, Pirizinamid). TB MDR bisa terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah pengobatan TB yang tidak adekuat seperti dosis OAT, lama pengobatan & keteraturan/ketaatan pasien dalam pengobatan yang tidak sesuai.41
8 BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional retrospektif cohort dengan mengamati rekam medis pasien serta pemantauan langsung terhadap pasien yang menjalani rawat jalan dan rawat inap di RS Al-Islam Bandung Periode 2010-2013.
3.2 Populasi penelitian
Pada penelitian ini, populasi adalah seluruh pasien TB dan pneumonia yang menjalani rawat jalan dan rawat inap di RS Al-Islam Bandung Periode 2010-2013 dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut :
1. Kriteria inklusi :
a. Pasien TB kategori pertama anak-anak berumur kurang dari 15 tahun.
b. Pasien TB kategori pertama dewasa berumur 18-59 tahun. c. Pasien baru yang terdiagnosis TB
d. Pasien yang menjalani rawat jalan dan rawat inap di RSUD Kota Bandung Periode 2010-2013
2. Kriteria eksklusi :
a. Pasien yang tidak mempunyai data lengkap dan tidak bisa di telusuri.
9 3.3 Waktu dan tempat
Penelitian ini akan dilaksanakan dibagian rekam medik, serta bagian lab klinis/patologi di RSUD Kota Bandung Periode 2010-2013 mulai dari Maret 2014-Mei 2014.
3.4 Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan kerja, meliputi :
a. Mengajukan proposal penelitian disertai surat pengantar penelitian dari Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran ke RSUD Kota Bandung. b. Pengambilan data pengobatan menggunakan rekam medik pasien TB
tahun 2010-2013.
c. Pengolahan data penelitian.
d. Penyajian data penelitian, data-data kualitatif yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk narasi, sedangkan data kuantitatif akan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Indah. 2013. Tentang penyakit paru-paru. Available online at
http://carapedia.com/tentang_penyakit_paru_paru_info2290.html
2. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). 2001. Pola Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia.
3. Global Tuberculosis control WHO Report 2009. Tuberculosis profile :
Indonesia. Available online at
http://www.scribd.com/doc/17641206/Global-TB-Report- Fullreport-2009
4. TB Indonesia. 2010. Available online at
http://www.tbindonesia.or.id/epidemiologi-tb-indonesia/
5. Utarini A, Wuryaningtyas B, Basri C. 2011. Strategi nasional pengendalian TB di Indonesia 2010-2014: Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
6. Wright A, Zignol M. 2008. Anti-tuberculosis drug resistance in the world. Fourth Global Report. Geneva: WHO.
7. World Health Organization. 1997 . report on TB epidemic. Global TB programme. Geneva: The Organization.
8. Aditama TY, Chairil A.S, Herry B.W. 1995. Resistensi primer dan sekunder mikobakterium tuberkulosis. Cermin Dunia Kedokteran (10:48-9)
11
9. Munir SM, Nawas A, Soetoyo DK. 2010. Pengamatan pasien tuberkulosis paru dengan multidrug resistant (TB-MDR) di poliklinik paru RSUP Persahabatan. J Respir Indo. 30 (2):92-104.
10. Sadarita-Sitepu. 2006. Penderita tuberkulosis paru dengan resistensi ganda di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan. Tesis Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedoteran Universitas Sumatera Utara. Medan;.
11. Sihombing , Hendra., Sembiring, Hilaluddin., Amir, Zainuddin., Sinaga Y.M. Bintang. 2012. Pola Resistensi Primer pada Penderita TB Paru Kategori I di RSUPH. Adam Malik, Medan. J Respir Indo Vol. 32, No. 3, Juli 2012
12. Burhan, E. 2010. Tuberkulosis Multi Drug Resistance (TB_MDR). Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Persahabatan. Jakarta 13. Dr. Fransisca S. K. 200o. Pneumonia. Fak. Kedokteran Wijaya Kusuma
Surabaya
14. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2001. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
15. Priyanti Z.S, Hadiarto Mangunnegoro, Erlina Burhan, dkk. 2008. Hasil Pengobatan Pneumonia Komuniti dengan Strategi Terapi Sulih Fos fomycin Intravena – Cefditoren Oral. Medika. vol 34 : 608 – 12.
12
16. Putro Gurendro dan Santoso Priyo. 2006. Faktor Resiko Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Kali Kedinding, Kecamatan Kenjerang, Surabaya. Medika. September 2006; vol 32: 529 – 33.
17. Rizanda, M. 2006. Pneumonia Balita di Indonesia dan Peranan Kabupaten Dalam Menanggulanginya. Jakata : Andalas University Press 18. Sucipta, A.A.M, dkk. 2012. Jurnal Risk Factors For Cefotaxime
Resistance In Children With Pneumonia vol. 52 no.5
19. Abramowicz Mark . 2002. .Handbook of Antimicrobial Therapy.16th ed. The Medical Letter.New York ( 34-35)
20. Douglas JG et al. 1997. Respiratory Disease. Avery’s Drug Treatment. 4th ed.Auckland (1039)
21. Direktorat Binafarmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.2005. Pharmaceutical Care untuk penyakit infeksi saluran pernapasan .
22. Asih, Retno, Landia, dan Makmuri. 2006. Pneumonia. Divisi Respirologi Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. Available from
http://www.pediatrik.com/pkb/061022023132-f6vo140.pdf
23. Depkes RI. 2011. TB Masalah Kesehatan Dunia. Tersedia online di
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1444-tbc-masalah-kesehatan-dunia.pdf (diakses tanggal 20 September 2013)
24. Krisna, Sidharta. 2012. Antibiotik Untuk TBC. Tersedia online di
http://home.spotdokter.com/725/hati-hati-memakai-antibiotik-untuk-tbc/
13
25. Ditjen PPM-PLP Departemen Kesehatan RI. 1996. Pedoman Penyakit Tuberkulosis dan Penanggulangannya. Jakarta. (Hal 1-106)
26. Ditjen PPM-PLP Departemen Kesehatan RI. 1997. PMO (Pengawas Menelan Obat) adalah DOTS ala Indonesia. Jakarta. (Hal 1-4)
27.Djauzi, Samsuridjal. 2013. Terapi Tuberkulosis Paru. Tersedia online di http://health.kompas.com/read/2013/03/10/03224485/Terapi.Tuberkulosis. Paru (diakses tanggal 18 September 2013)
28. Enjang, Indan. 2001. Mikrobiologi dan Parasitologi. PT Citra Aditya Bakti. Jakarta
29. Skevington, S. M., Lotfy, M., & O’Connell, K. A. 2004. The World Health Organization’s WHOQOL-BREF quality of life assessment: Psychometric properties and results of the international field trial: A report from the WHOQOL Group. Quality of Life Research
30. Direktorat Jenderal PPM dan PLP. 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Depok : FKM UI
31. Bari, AS. 2008. Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta : Bina Pustaka
32. Deshpande, L. M., Fix, A. M., Pfaller, M. A., & Jones, R. N.2011. Diagn Microbiol Infect
33. Lakhanpul M, Atkitson M, Stephenson T. 2004. Community Acquired Pneumonia in Children : A Clinical Update. Arch Dis Child Ed Pract
14
34. Correa AG, Starke JR. 1998. Bacteria Pneumonias. Philadelphia : WB Saunders
35. Ostapchuk M, Robert DM, Haddy R. 2004. Community Acquired Pneumonia in Infants and Children. Am Fam Physician
36. Greenberg D, Leibovitz E. 2005. Community Acquired Pneumonia in Children : from Diagnosis to Treatment. Chang Gung Med.
37. Miller MA, Ben-Ami T, Daum RS. 1999. Bacterial Pneumonia in Neonates and Older Children. St. Louis : Mosby Inc. 595-664
38. Diener. 1999. Subjective well-being : three decades of profress. Psichological bulletin, 125 (2), 2276-302
39. Krisna, sidharta. 2012. Antibiotik untuk TBC . available online at
http://home.spotdokter.com/725/hati-hati-memakai-antibiotika-untuk-tbc
40. Loddenkemper R, Sagebiel D, Brendel A. Strategies Against Multidrug-resistant Tuberculosis. Eur Respir J. 2002; 20 (36): 66–77.
41. Kemenkes RI. 2010. Kebijakan nasional penanggulangan TB MDR. Jakarta.
42. PDPI. 2006 . Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta