• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING UNTUK PERLINDUNGAN SUMBERDAYA HUTAN DI INDONESIA BETTY SETIANINGSIH P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING UNTUK PERLINDUNGAN SUMBERDAYA HUTAN DI INDONESIA BETTY SETIANINGSIH P"

Copied!
296
0
0

Teks penuh

(1)

UNTUK PERLINDUNGAN SUMBERDAYA HUTAN

DI INDONESIA

BETTY SETIANINGSIH P 062059454

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

BETTY SETIANINGSIH

. Combating Illegal Logging Policy for

Forest Resources Protection in Indonesia. Under supervision of

CECEP KUSUMA as promoter and SURJONO H. SUTJAHJO and

BAMBANG PRABOWO SOEDARSO as co-promoter.

The lost of world’s natural tropical forest is the highest in Indonesia

(2,83 million ha per year). Combating illegal logging in Indonesia

has become the priority of national program. The purpose of the

research is to analyze the policy related to the combating illegal

logging in Indonesia, the role of stakeholders and the formula of

effective and legal way to to eliminate illegal logging in Indonesia.

The research method uses the 4Rs method (Responsibilities,

Rights, Revenues, and Relationship) to analyze the role of

stakeholder in practicing the policy to eliminate the illegal logging

in Indonesia. The analytical approach uses the Analytical

Hierarchy Process, AHP, to create decision by using mathematical

model. Data analysis in this research uses critical approach. The

data compiled in this research are secondary data in the form of

laws based on forest management regulation in Indonesia. The

research observed illegal logging in Indonesia generally and Jambi

specifically. The tendency of illegal logging in the prone forest

territory with the potential of standing stocks shows that the illegal

logging practice is influenced by the illegal log market. This is

supported by the fact that operation to combat massive illegal

logging happened in the Riau province, directly bordered to the

Jambi province. The finding is the regulation related to illegal

logging in Indonesia is appropriate to be used as law outside the

forest territory but still related to the derivative act. Even though

the law is sufficient, it is not effectively implemented due to the

weak law enforcement and weak law compliance. The relation

between law enforcer in order to eliminate illegal logging is

approximately enough, yet weak between the forest technical and

environmental institution with the regional institution. The priority of

policy to combat illegal logging in Indonesia based on the data

analysis result using AHP approach by showing factor, actor,

purpose, and alternative policy which has the highest priority value

is the law enforcement factor, government actor, the goal to

recover the forest economy, and application of

command-and-control-natured policy, respectively.

(3)
(4)

Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia Nama Mahasiswa : Betty Setianingsih

Nomor Pokok : P 062059454

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof.Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Ketua

Prof.Dr.Ir.Surjono H. Sutjahjo, MS Dr.Bambang Prabowo Soedarso, SH,MES

Anggota Anggota

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan

Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(5)

Hutan di Indonesia yang merupakan sumberdaya alam (SDA) yang memiliki peran sangat strategis dan vital sebagai sistem penyangga kehidupan masyarakat dan makhluk hidup lainnya, yaitu dengan menyediakan beragam manfaat berupa produk dan jasa yang bersifat tangible dan intangible, perlindungan ekosistem, dan penyedia jasa lingkungan saat ini mengalami degradasi yang hebat akibat praktek Illegal logging (IL). Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam pemberantasan IL, tetapi dampaknya belum menunjukkan hasil maksimal yang diindikasikan dengan masih maraknya praktek IL di lapangan.

Penelitian ini bertujuan untuk : (a) menganalisis kebijakan yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia; (b) menganalisis peranan stakeholders yang terlibat dalam pemberantasan IL di Indonesia; dan (c) merumuskan kebijakan pemberantasan IL yang efektif dan sesuai diterapkan di Indonesia.

Dengan terselesaikannya disertasi ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Ketua Komisi Pembimbing dan Anggota Pembimbing lainnya yang telah banyak memberikan masukan dalam penyusunan usulan penelitian ini.

Bogor, Agustus 2009 Betty Setianingsih

(6)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... ii

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR...v

DAFTAR LAMPIRAN... vii

I. PENDAHULUAN ...1 1.1. Latar Belakang...1 1.2. Tujuan Penelitian ...4 1.3. Kerangka Pemikiran...5 1.4. Perumusan Masalah ...7 1.5. Manfaat Penelitian ...7 1.6. Kebaruan (Novelty) ...7

II. TINJAUAN PUSTAKA ...9

2.1. Dampak Praktek Illegal logging...9

2.2. Pemberantasan Illegal logging...15

2.3. Analisis Stakeholders...23

2.4. Proses Hirarki Analitis...24

III. METODE PENELITIAN ...32

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian...32

3.2. Rancangan Penelitian...32

3.2.1. Analisis Kebijakan Terkait Pemberantasan IL ...32

3.2.1.1. Metode Pengumpulan Data ...32

3.2.1.2. Parameter yang Diamati ...33

3.2.1.3. Metode Analisis Data ...34

3.2.2. Analisis Kelembagan Pemberantasan IL...34

3.2.2.1. Metode Pengumpulan Data ...34

3.2.2.2. Parameter yang Diamati ...35

3.2.2.3. Metode Analisis Data ...35

3.2.3. Penentuan Prioritas Alternatif Kebijakan Pemberantasan IL ...36

3.2.3.1. Metode Pengumpulan Data ...36

3.2.3.2. Parameter yang Diamati ...36

3.2.3.3. Metode Analisis Data ...37

3.3. Definisi Operasional...38

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH...40

4.1. Kondisi Kehutanan di Indonesia...40

4.2. Kondisi Kehutanan Provinsi Jambi...44

4.3. Topografi, Jenis Tanah dan Iklim ...45

4.4. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Provinsi Jambi ...46

4.5. Kondisi Pengelolaan Hutan di Provinsi Jambi...50

V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA...54

(7)

5.2. Metode Analisis Kebijakan Pemberantasan Illegal logging...55

a. Metode Pengumpulan Data...55

b. Analisis Data ...56

5.3. Hasil dan Pembahasan Kebijakan Pemberantasan IL di Indonesia...57

5.4. Kesimpulan ...67

VI. ANALISIS EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING...73

6.1. Pendahuluan...73

6.2. Metode...74

a. Metode Pengumpulan Data ...74

b. Analisis Data ...75

6.3. Hasil dan Pembahasan...75

6.3.1. Penanganan Kasus Illegal logging di Indonesia...75

6.3.2. Penanganan Kasus Illegal logging di Provinsi Jambi ...83

6.4. Kesimpulan ...94

VII. KELEMBAGAAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING...96

DI INDONESIA...96

7.1. Pendahuluan ...96

7.2. Metode Analisis Kelembagaan Pemberantasan IL di Indonesia ...97

a. Metode Pengumpulan Data ...97

b. Analisis Data ...98

7.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Kelembagaan Pemberantasan IL di Indonesia...100

7.4. Kesimpulan...112

VIII. PRIORITAS KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA...114

8.1. Pendahuluan ...114

8.2. Metode Analisis Prioritas Kebijakan Pemberantasan IL di Indonesia ...115

a. Metode Pengumpulan Data ...115

b. Analisis Data ...115

8.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Prioritas Kebijakan Pemberantasan IL di Indonesia...117

8.4. Kesimpulan...122

IX. PEMBAHASAN UMUM ...123

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN ...130

10.1. Kebijakan Umum...130

10.2. Kebijakan Operasional...130

XI. KESIMPULAN DAN SARAN ...132

11.1. Kesimpulan ...132

11.2. Saran ...132

DAFTAR PUSTAKA ...134 LAMPIRAN ...Error! Bookmark not defined.

(8)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Sumber-Sumber Yang Dianggap Legal Dan Ilegal ...10

2. Kategori Masalah Illegal logging pada Beberapa Wilayah di Dunia ...12

3. Beberapa Aspek yang Dipengaruhi Praktek Illegal logging...14

4. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan...29

5. Contoh Matriks Perbandingan Berpasangan ...29

6. Nilai Indeks Random (Saaty, 2001) ...31

7. Matriks Ringkasan Metodologi Penelitian ...37

8. Luas Kawasan Hutan Berdasarkan Paduserasi TGHK dan RTRWP, serta Penunjukkan dan TGHK ...41

9. Realisasi Produksi Hasil Hutan Provinsi Jambi Tahun 2008...51

10. Realisasi Produksi Industri Hasil Hutan Provinsi Jambi Tahun 2008...51

11. Klasifikasi Aktor Putusan IL di Mahkamah Agung...78

12. Perkara Tindak Pidana IL yang Dibebaskan Pengadilan...80

13. Perkara Tindak Pidana IL yang Divonis Penjara dan Denda ...81

14. Luas Kawasan Hutan Di Provinsi Jambi menurut Fungsinya (Ha) ...84

15. Jumlah Kasus IL di Provinsi Jambi (2004-2008)...88

16. Kerangka Dasar Pendekatan 4R ...99

17. Relationship Stakeholders dalam Pemberantasan IL di Indonesia ...100

18. Aspek Hak dan Kewajiban Stakeholders dalam Pemberantasan IL di Indonesia...107

19. Revenues (Manfaat) yang Dapat Diperoleh dari Pemberantasan IL...110

20. Tingkat Hubungan (Relationhship) antar Stakeholders dalam Pemberantasan IL Di Indonesia...112

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian...6

2. Tiga Pilar Pengelolaan Hutan ...18

3. Wilayah Administratif Provinsi Jambi (PIK Jambi, 2009) ...44

4 . Kondisi Topografi Wilayah Provinsi Jambi (PIK Jambi, 2009) ...46

5 . Peraturan Perundang-undangan Pemberantasan Illegal logging di Indonesia ...58

6 . Hubungan antara IL dengan Korupsi (Kishor,2006)...62

7. Jumlah kasus IL di Indonesia (2006-Juli 2008)...77

8. Jumlah Tersangka kasus IL di Indonesia (2006-Juli 2008)...77

9. Jumlah Kayu Olahan Sitaan di Indonesia (2006-Juli 2008)...78

10. Jumlah Kayu Bulat Sitaan di Indonesia (2006-Juli 2008)...79

11. Efektifitas Pemberantaan IL di Operasi Hutan Lestari-2 (OHL-2) (Masduki,2009) ...82

12. Kasus IL di Mahkamah Agung ...83

13. Persentase Kawasan Hutan di Provinsi Jambi menurut Fungsinya ...84

14. Sebaran Kawasan Hutan di Provinsi Jambi menurut Fungsinya ...85

15. Luas Kawasan Hutan di Provinsi Jambi menurut Kabupaten ...85

16. Perkembangan Kasus IL di Provinsi Jambi...86

17. Jumlah Tersangka Kasus IL di Provinsi Jambi ...86

18. Jumlah Kayu Olahan Sitaan di Provinsi Jambi ...87

19. Jumlah Kayu Bulat Sitaan di Provinsi Jambi...88

20. Jumlah Kasus IL di Provinsi Jambi menurut Wilayah Polres...89

21. Peta Kecenderungan Kegiatan IL di Provinsi Jambi ...91

22. Persentase Hutan Per Kabupaten dan Kasus IL di Jambi...91

23. Jumlah Kasus dan Persentase Vonis Kasus IL di Provinsi Jambi...92

24. Persentase Kasus yang Sudah P.21 dan Vonis Kasus IL di Provinsi Jambi...93

(10)

25. Kerangka 4R untuk Mendefinisikan Peranan

Stakeholders (Dubois, 1998). ...98 26. Pendapat Responden

terhadap Keberadaan Aparat Hukum ...101 27. Pendapat Responden Terhadap Keberadaan

Instansi Pusat Dalam Kaitannya

dengan Pemberantasan IL Di Indonesia...102 28. Pendapat Responden terhadap Keberadaan

Stakeholders dalam Kaitannya

dengan Pemberantasan IL di Indonesia ...104 29. Pendapat Responden terhadap Tingkat Pemahaman

Aparat Hukum dalam Kaitannya

dengan Pemberantasan IL di Indonesia ...106 30. Pendapat Responden terhadap Tingkat Pemahaman

Instansi Pusat dalam Kaitannya

dengan Pemberantasan IL di Indonesia ...106 31. Pendapat Responden terhadap Tingkat Pemahaman

Stakeholders dalam Kaitannya

dengan Pemberantasan IL di Indonesia ...107 32. Hirarki Desain Kebijakan Pemberantasan IL

di Indonesia ...116 33. Hirarki Hasil AHP Kebijakan Pemberantasan IL ...117 34. Urutan Prioritas Faktor

yang Mempengaruhi Pemberantasan IL di Indonesia...118 35. Urutan Prioritas Aktor

yang Mempengaruhi Pemberantasan IL di Indonesia...118 36. Urutan Prioritas Tujuan

yang Mempengaruhi Pemberantasan IL di Indonesia...120 37. Urutan Prioritas Alternatif Kebijakan

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Peraturan perundang-undangan terkait

Pemberantasan IL di Indonesia...137 2. Identitas Responden Kebijakan

Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan

Sumberdaya Hutan di Indonesia...160 3. Peraturan-peraturan atau Kebijakan

yang Terkait dengan Kegiatan

Pemberantasan Illegal Loggging di Indonesia...163 4. Efektifitas dan atau Kebijakan yang Terkait dengan

Kegiatan Pemberantasan Illegal logging di Indonesia...168 5. Kepentingan Parapihak Terhadap Pentingnya

Pemberantasan Illegal logging di Indonesia...171 6. Tingkat Pemahaman Parapihak

Terhadap Pemberantasan Illegal logging di Indonesia ...193 7. Bentuk Tanggung-jawab dari Instansi/Lembaga

Responden Terhadap Pemeberantasan Illegal logging. ...215 8. Bentuk Hak dan Kewajiban Instansi/Lembaga

Responden dalam Pemberantasan Illegal logging

di Indonesia...219 9. Manfaat Apabila Dampak Negatif Illegal logging

di Indonesia Dapat Dikendalikan...222 10. Tingkat Interaksi antar Stakeholders dalam

Pemberantasan Ilegal Logging di Indonesia selama ini. ...226 11. Kendala-kendala yang Telah dan Mungkin Terjadi

dalam Pemberantasan Illegal logging di Indonesia ...233 12. Bentuk kelembagaan yang dianggap efektif

dalam Pemberantasan Illegal logging di Indonesia. ...242 13. Apakah Pemerintah Perlu Mengeluarkan Kebijakan

yang Bersifat Insentif atau Disinsentif untuk Mendorong Kesadaran Semua Pihak

dalam Memberantas Praktek Illegal logging

di Indonesia?...246 14. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Faktor Terhadap Fokus Kebijakan

Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan

(12)

15. Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Faktor

terhadap Fokus Kebijakan

Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan

Sumberdaya Hutan di Indonesia...250 16. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Aktor dalam Mempengaruhi

Faktor Penegakan Hukum ...251 17. Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan Tingkat

Kepentingan Antar Aktor

dalam Mempengaruhi Faktor Penegakan Hukum...252 18. Data Responden Perbandingan

Tingkat Kepentingan Antar Aktor

dalam Mempengaruhi Faktor Ekonomi Masyarakat...253 19. Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan

Tingkat Kepentingan Antar Aktor

dalam Mempengaruhi Faktor Ekonomi Masyarakat...254 20. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Aktor dalam Mempengaruhi Faktor

Sistem Pengelolaan Hutan...255 21. Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Perbandingan

Tingkat Kepentingan Antar Aktor

dalam Mempengaruhi Faktor Pengelolaan Hutan...256 22. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Aktor dalam Mempengaruhi

Faktor Sumber Pendapatan Nasional dan Daerah...257 23. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Aktor dalam Mempengaruhi Faktor Sumber Pendapatan

Nasional dan Daerah ...258 24. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Pemerintah

dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia ...259 25. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Pemerintah dalam Kebijakan

Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan

Sumberdaya Hutan di Indonesia...260 26. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Pemerintah Daerah dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan

(13)

27. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Pemerintah Daerah dalam Kebijakan

Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan

Sumberdaya Hutan di Indonesia...262 28. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Aparat Penegak Hukum dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia ...263 29. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Aparat Penegak Hukum

dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging untuk

Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia...264 30. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Masyarakat dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan

Sumberdaya Hutan di Indonesia...265 31. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Masyarakat dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan

Sumberdaya Hutan di Indonesia...266 32. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

Antar Tujuan Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia ...267 33. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan Antar Tujuan Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia ...268 34. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan

dari Tiga Alternatif Kebijakan dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia

untuk Menjamin Tujuan: Pemulihan Ekosistem...269 35. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan

dari Tiga Alternatif Kebijakan dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia

(14)

36. Data Responden Perbandingan Tingkat Kepentingan dari Tiga Alternatif Kebijakan dalam Kebijakan

Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan Di Indonesia untuk Menjamin Tujuan:

Peningkatan Nilai Ekonomi Hutan...272 37. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan

dari Tiga Alternatif Kebijakan dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia untuk Menjamin Tujuan:

Peningkatan Nilai Ekonomi Hutan...273 38. Data Responden Perbandingan

Tingkat Kepentingan dari Tiga Alternatif Kebijakan dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia

untuk Menjamin Tujuan:

Peningkatan Kesejahteraan dan Pertumbuhan Ekonomi...275 39. Hasil Pengolahan HIPRE 3+

Perbandingan Tingkat Kepentingan

dari Tiga Alternatif Kebijakan dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging Untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan Di Indonesia

untuk Menjamin Tujuan:

Peningkatan Kesejahteraan dan Pertumbuhan Ekonomi...276 40. Nilai (Bobot) Setiap Elemen

dalam Hirarki Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia. ...278 41. Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Faktor

terhadap Fokus Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di Indonesia ...279 42. Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Aktor

terhadap Faktor dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan

di Indonesia...280 43. Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot) Setiap Tujuan

bagi Aktor dalam Kebijakan Pemberantasan

Illegal logging untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan

di Indonesia...281 44. Hasil Pengolahan HIPRE 3+ Nilai (Bobot)

Setiap Alternatif Kebijakan untuk Menjamin setiap Tujuan dalam Kebijakan Pemberantasan Illegal logging untuk

(15)

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Hutan merupakan sumberdaya alam (SDA) yang memiliki peran sangat strategis dan vital sebagai sistem penyangga kehidupan masyarakat dan makhluk hidup lainnya, yaitu dengan menyediakan beragam manfaat berupa produk dan jasa yang bersifat tangible dan intangible, perlindungan ekosistem, dan penyedia jasa lingkungan. Ekosistem hutan tropis Indonesia yang mencapai sepuluh persen dari luas hutan tropis dunia memiliki keanekaragaman hayati tinggi di dunia. Hampir 10% tanaman, 12% mamalia, 16% reptil, dan 17% burung dari populasi dunia berada di hutan tropis Indonesia (EIA, 1998). Ekosistem hutan memberikan banyak manfaat secara langsung dan tidak langsung terhadap masyarakat, berkontribusi terhadap pembangunan wilayah, dan membantu mempertahankan lingkungan global yang baik. Tetapi eksploitasi hutan yang tinggi, khususnya kayu, menyebabkan kehilangan hutan melebihi kapasitas regeneratif sumberdaya tersebut. Wardojo et.al. (2001) menyebutkan bahwa dengan makin luasnya degradasi hutan di Indonesia akan memiskinkan masyarakat dan melemahkan ekonomi nasional. Laju dehutanisasi di Indonesia dalam periode antara tahun 1997-2000 mencapai 2,83 juta/tahun dengan kerugian negara mencapai

Rp30,4 trilyun (Poernama, 2006). Kemenkopolhukam (2006)

menyebutkan pula bahwa dalam kurun waktu 50 tahun terakhir luas penutupan hutan di Indonesia berkurang sekitar 25-40% atau seluas 40-60 juta ha. Dehutanisasi tersebut salahsatunya disebabkan oleh praktek pembalakan liar (Illegal logging, IL). Contreras-Hermosilla (2002) menyebutkan pula bahwa permasalahan IL dan kejahatan kehutanan merupakan masalah global dan serius, dimana diperkirakan 15% perdagangan kayu dunia melibatkan praktek ilegal dan korupsi, serta menimbulkan kerugian aset dan pendapatan lebih dari US$10 milyar per tahun.

(16)

Dampak praktek IL memiliki spektrum yang luas, tidak hanya berdampak negatif terhadap ekologis, tetapi juga berpengaruh terhadap aspek fisik, pendapatan negara, pembangunan berkelanjutan, sosial, perdagangan, dan politis. Contreras-Hermosilla (2002) menyatakan bahwa dampak praktek IL selain berdampak pada penurunan kualitas ekosistem hutan, juga berdampak besar terhadap investasi pengusahaan hutan berkelanjutan, kemiskinan masyarakat sekitar hutan, tata kelola pemerintahan, dan efisiensi ekonomi sumberdaya alam.

Praktek IL tidak hanya terjadi di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, akan tetapi juga terjadi di hutan konservasi seperti di taman nasional dan cagar alam yang sangat dilindungi karena merupakan rumah atau habitat bagi beragam spesies tumbuhan dan hewan yang apabila punah maka nilai keberadaannya tidak dapat digantikan. Rusaknya kawasan hutan konservasi mempersempit ruang hidup satwa dan memusnahkan tapak bagi tumbuhan alam untuk hidup, sehingga peluang terjadinya kehilangan spesies makin tinggi. Kerusakan hutan alam juga memicu konflik antara manusia dengan hewan hutan, misalnya dimangsanya enam orang pembalak liar oleh harimau (Panthera tigris sumatrae) di Provinsi Jambi selama bulan Februari 20091. Punahnya potensi tumbuhan dan satwa sebelum diketahui manfaatnya merupakan salah satu bencana kemanusiaan, Tacconi et.al. (2004) mengemukakan bahwa praktek IL secara signifikan mempengaruhi keberadaan hutan di Indonesia. Penelitian EIA (1998) mengestimasikan bahwa pembukaan lahan hutan seluas 100.000 ha di Pulau Sumatera berpotensi menghilangkan 50.000 monyet, 9000 siamang, 6000 orang utan, 30.000 tupai, 15.000 burung enggang, 200 harimau, dan 100 gajah. Lebih lanjut EIA (1998) menyebutkan bahwa dalam sepuluh hektar hutan hujan tropis di Kalimantan terdapat 700 spesies tumbuhan yang setara dengan total spesies yang ditemukan di Amerika Utara, dan 58% diantaranya merupakan spesies endemik. Tacconi et.al. (2004) menyebutkan bahwa proporsi penebangan kayu illegal pada tahun 2000 mencapai 64%, dan

1http://sains.kompas.com/read/xml/2009/02/24/0746134/harimau.jambi.mangsa.6.warga.dalam.seb ulan Accessed at April 1, 2009.

(17)

meningkat menjadi 83% dari total pemanenan kayu di tahun 2001. Pada tahun 2001 kayu yang dihasilkan dari praktek IL diestimasikan mencapai 50 juta m3, sehingga apabila terjadi laju pemanenan kayu illegal rata-rata sebesar 20 m3/ha, maka areal yang mengalami praktek IL setidaknya mencapai 2,5 juta ha pada tahun tersebut. Luasnya hutan yang rusak akibat praktek IL telah sangat mengkhawatirkan keberadaan hutan di masa mendatang, sehingga ada diantara para ahli kehutanan dan lingkungan memperkirakan bahwa dalam dekade mendatang hutan tropis Indonesia akan musnah apabila langkah-langkah pemberantasan praktek IL tidak dilakukan dengan sangat serius.

Praktek IL di Indonesia dengan intensitas dampak yang sangat mengkhawatirkan terkategorikan sebagai kejahatan terorganisir yang melibatkan jaringan yang solid, rentang kendali yang luas, mapan, menggunakan pola kerja yang terorganisir dan modern, dengan sistem manajemen yang rapih, serta jaringan pemasaran yang luas di dalam dan luar negeri. Selain itu Kemenpolhukam (2006) menambahkan pula bahwa aspek perijinan berkontribusi terhadap kerumitan pemberantasan IL, termasuk di dalamnya adanya ketidakselarasan berbagai produk hukum pemberantasan IL. Penyelesaian masalah ketidakselarasan ini bukan hanya kewenangan eksekutif, tetapi juga menempati ruang legislatif. Praktek IL yang sistemik tersebut perlu diberantas dengan strategi pemberantasan yang sistemik pula, sehingga eksesnya terhadap kegiatan pengelolaan hutan dapat ditekan.

Komitmen Pemerintah Indonesia dalam pemberantasan IL telah lama dilakukan melalui sejumlah kebijakan dan pembentukan beberapa task

force penanganan IL. Pada awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY) di dalam pidato pelantikannya sebagai presiden (20 Oktober 2004), SBY menegaskan komitmennya untuk memberantas IL di Indonesia yang ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 4 tahun 2005 tentang Percepatan Penanganan IL di Indonesia. Namun upaya itu belum cukup efektif menjawab persoalan di lapangan karena kegiatan IL masih marak terjadi dan modusnya pun semakin

(18)

berkembang. Pola penanganan yang dilakukan selama ini baru mampu menjerat para pelaksana lapangan dan belum dapat mengungkap dalang dibalik kegiatan IL tersebut. Sementara itu, kurangnya koordinasi dan pemahaman yang sama antara instansi penegak hukum dalam menjerat pelaku IL merupakan salah satu faktor kelemahan yang selama ini dilakukan, akibat penggunaan pola pendekatan konvensional.

Contreras-Hermosilla (2002) menyatakan bahwa praktek IL banyak terjadi di negara berkembang atau negara yang sedang dalam keadaan transisi dan terkait erat dengan praktek korupsi sebagai kegiatan ilegal yang melibatkan pegawai/pejabat publik, melibatkan barang milik dan kekuatan publik, dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, dilakukan dengan sengaja dan sembunyi-sembunyi (surreptitious). RECOFTC dan Sida (2008) menyebutkan bahwa praktek IL tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan penyebab kunci lainnya, seperti : kebijakan dan kerangka hukum yang lemah, ketidakpastian masalah lahan hutan (forestland tenure), korupsi yang marak dan tidak adanya transparansi, penegakan hukum yang lemah, serta ketidakmampuan untuk memonitor dan menegakan regulasi yang dapat diterapkan dalam pemanfaatan dan konservasi sumberdaya hutan.

Praktek IL yang masih terjadi di Indonesia walaupun sejumlah kebijakan pemberantasannya telah dikeluarkan menunjukkan bahwa upaya pemberantasan IL tersebut belum sepenuhnya efektif. Oleh karena itu upaya untuk menemukan rumusan kebijakan pembalakan IL yang lebih komprehensif perlu dikaji. Penelitian ini dimaksudkan untuk merumuskan kebijakan pemberantasan IL secara komprehensif untuk menekan praktek IL di Indonesia di dalam kerangka pengelolaan hutan Indonesia yang berkelanjutan.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

a. Menganalisis kebijakan yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia.

(19)

b. Menganalisis peranan stakeholders yang terlibat dalam pemberantasan IL di Indonesia.

c. Menentukan prioritas alternatif kebijakan pemberantasan IL yang efektif dan sesuai diterapkan di Indonesia.

1.3. Kerangka Pemikiran

Kebijakan kehutanan dalam pengelolaan hutan di Indonesia terbagi dalam dua kelompok kebijakan, yaitu kebijakan ekonomi kehutanan dan kebijakan konservasi (Gambar 1). Kebijakan ekonomi kehutanan sampai satu dekade terakhir masih mendominasi kebijakan kehutanan di Indonesia dengan paradigma pengusahaan hutan berbasis kayu (forest management based on timber extraction) dalam memenuhi kebutuhan kayu masyarakat dan industri kayu. Kebutuhan kayu yang tinggi tidak

sebanding dengan ketersediaan kayu sehingga menimbulkan

ketimpangan (gap) antara kebutuhan (demand) dan pasokan (supply) kayu, yang pada akhirnya mendorong maraknya kegiatan IL. Selain itu, harga kayu tropis di luar negeri yang lebih kompetitif telah mendorong juga praktek IL di berbagai wilayah Indonesia dan menyelundupkannya ke luar negeri (timber smugling). Di sisi lain, kebijakan konservasi dan kebijakan ekonomi dalam pengelolaan hutan di Indonesia dalam prakteknya masih ditemukan kesenjangan (gap), bahwa kegiatan konservasi masih dianggap sebagai cost centre yang kurang memberikan kontribusi finansial secara langsung terhadap pendapatan negara atau pendapatan daerah. Sebagai akibat dari hal-hal di atas, kebijakan konservasi sering dikalahkan oleh kebijakan ekonomi hutan karena sumberdaya hutan masih dianggap penting sebagai sumber pendapatan nasional dan pendapatan daerah. Adanya permasalahan kebijakan kehutanan yang terkait dengan praktek IL tersebut dipandang perlu adanya suatu kebijakan pengendaliannya. Walaupun political will pemerintah dalam pemberantasan IL di Indonesia serius yang ditandai dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Kayu Illegal dan Peredarannya di Seluruh Wilayah

(20)

Republik Indonesia, tetapi efektifitasnya selama ini belum menunjukkan hasil maksimal.

Gambar 1 .Kerangka Pemikiran Penelitian

Kebijakan pemberantasan IL di Indonesia yang perlu dianalisis mencakup kebijakan dan peraturan perundangan-undangan, sistem kelembagaan stakeholders yang terlibat dalam pemberantasan IL tersebut. Praktek IL tidak cukup dikendalikan melalui instrumen kebijakan hukum saja, tetapi harus terkait dengan pengembangan sistem kelembagaan. Kelembagaan pengendalian praktek IL yang baik, sinergis, dan kondusif perlu dianalisis dan dikembangkan. Hasil analisis terhadap dua sistem tersebut diharapkan akan mendapatkan hasil penelitian berupa desain kebijakan pemberantasan IL di Indonesia yang lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan terdahulu. Dunn (2003) menyebutkan bahwa analisis kebijakan diperlukan untuk meneliti sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dan program publik yang diterapkan.

Gap antara Kebijakan Ekonomi, Konservasi, dan Sosial

(21)

1.4. Perumusan Masalah

Praktek IL di Indonesia yang tergolong kepada kejahatan di bidang kehutanan (forest crimes) merupakan kegiatan kehutanan illegal yang berdampak negatif terhadap kelestarian ekosistem, kehidupan masyarakat, dan pembangunan daerah dan atau nasional. Beragam dampak negatif akibat praktek IL ditandai dengan banyaknya bencana alam di wilayah yang ekosistem hutannya terdegradasi yang pada gilirannya akan dapat merugikan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat dan kegiatan pembangunan. Upaya pemerintah untuk memberantas praktek IL di kawasan hutan telah lama dilakukan melalui sejumlah peraturan perundang-undangan. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Kayu

Illegal dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Namun

demikian, di dalam prakteknya upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang efektif untuk mengendalikan IL. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas beberapa pertanyaan berikut ini perlu mendapatkan jawaban, yaitu:

a. Apakah kebijakan dan peraturan perundang-undangan terkait IL efektif menurunkan praktek IL?

b. Bagaimana peranan kelembagaan stakeholders dalam

pemberantasan IL di Indonesia?

c. Bagaimana desain kebijakan yang dapat dipandang efektif dalam pemberantasan IL?

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa manfaat praktis dalam menata kebijakan pemberantasan IL di Indonesia. Selain itu dari aspek pengembangan keilmuan diharapkan bermanfaat dalam mengembangkan pendekatan ilmu lingkungan yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia.

1.6. Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah ditemukannya rumusan kebijakan pemberantasan IL secara komprehensif untuk

(22)

mengefektifkan pelaksanaan pemberantasan IL di Indonesia. Selain itu dari aspek metodologi penelitian, pendekatan metode 4Rs (Responsibilities, Rights, Revenues, dan Relationships) digunakan untuk menganalisis peranan stakeholders terkait pelaksanaan kebijakan pemberantasan IL di Indonesia.

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dampak Praktek Illegal logging

Praktek IL secara umum berupa kegiatan menebang, mengangkut, dan menjual kayu dengan melanggar ketentuan/perundangan nasional dan/atau internasional (Contreras-Hermosilla, 1997). Definisi tentang IL atau pembalakan liar menurut draft RUU Pemberantasan Pembalakan Liar adalah bentuk kegiatan secara tidak sah di bidang kehutanan yang meliputi penebangan pohon, penguasaan, pengangkutan dan peredaran kayu hasil tebangan, serta perambahan kawasan hutan. Lebih lanjut Tacconi et.al (2003) mendefinsikan IL sebagai kegiatan illegal yang berkaitan dengan ekosistem hutan, industri terkait hutan, dan juga produk hutan kayu dan non-kayu. Hermosilla (1997) mengklasifikasikan beberapa praktek kehutanan yang termasuk praktek IL, yaitu : (a) pembalakan (logging) spesies yang dilindungi; (b) pemalsuan dokumen pemanenan kayu; (c) melakukan kontrak dengan oknum pengusaha lokal untuk membeli kayu dari kawasan yang dilindungi; (d) pembalakan kayu di dalam kawasan lindung; (e) pembalakan kayu di luar batas konsesi; (f) pembalakan kayu di dalam areal yang dilarang untuk ditebang, seperti lahan dengan kemiringan lahan curam sampai sangat curam dan daerah tangkapan air; (g) pemungutan kayu melebihi ijin yang diperkenankan; (h) pembalakan kayu tanpa ijin; (i) mendapatkan konsesi melalui proses yang illegal; (j) mengkonversi lahan hutan untuk penggunaan lain tanpa ijin; (k) pengangkutan kayu tanpa ijin; (l) penyelundupan kayu; (m) ekspor dan impor spesies pohon yang dilarang oleh perjanjian internasional, misalnya CITES; (n) menyatakan nilai dan volume ekspor kayu lebih rendah daripada yang sebenarnya; (o) mengabaikan hukum lingkungan, sosial, dan tenaga kerja dalam pengelolaan hutan; dan (p) penggunaan kayu yang diperoleh secara illegal dalam proses industri. Rosander (2008) menyebutkan bahwa ITTO (International Tropical Timber Organization) membedakan istilah Illegal logging dengan illegal (timber) trade, walaupun keduanya terkait erat. Illegal logging merupakan kegiatan pemanenan

(24)

kayu yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan (forest law), sedangkan illegal trade (domestik atau luar negeri) dilihat lebih kompleks, melibatkan tidak hanya hukum kehutanan, tetapi juga hukum yang mengatur perusahaan, perdagangan, perbankan, auditing, cukai, pajak, dan sebagainya. Legalitas kayu dapat dilihat dari sumber-sumber kayu yang dianggap legal atau tidak legal. Kemenkopolhukam (2006) menyebutkan bahwa Departemen Kehutanan memberikan kriteria untuk sumber kayu legal dan kayu ilegal sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sumber-Sumber Yang Dianggap Legal Dan Ilegal

Sumber Kayu Legal Sumber Kayu Ilegal

• HPH di hutan produksi dengan ijin konsesi kayu ijin dari Departemen Kehutanan

• Kayu berasal dari kawasan hutan konservasi dan hutan lindung

• HTI di hutan produksi dengan ijin konsesi

dari Departemen Kehutanan •

Ijin Bupati di dalam kawasan hutan dan diterbitkan sesudah 8 Juni 2002 • IPK HTI dengan stok tebangan di bawah

<20 meter kubik •

Hutan adat yang terletak di dalam kawasan hutan produksi dan tidak memiliki ijin dari pemerintah pusat • IPK Kebun dengan ijin tebang oleh

pemerintah provinsi mewakili pusat •

IPK HTI dengan tebangan >20 meter kubik

• Hutan rakyat • Konsesi Kopermas yang dikeluarkan

oleh Pemda setempat setelah Desember 2004

• Ijin Bupati untuk melaksanakan penebangan di luar batas kawasan hutan, untuk industri dan atau masyarakat adat

• Hutan kemasyarakatan (Hkm)

• HPH kecil (ijin 5000 ha kayu hutan alam berlaku 25 tahun), dikeluarkan Bupati antara 27 Januari 1999 sampai dengan 8 Juni 2002, jika potensi kayunya masih ada

• Kawasan dengan tujuan istimewa (KDTI) yang dikeluarkan Departemen Kehutanan kepada Masyarakat Adat Pesisir, Krui Lampung Barat

• Konsesi Kopermas yang disahkan Menteri Kehutanan dan atau dikeluarkan antara 27 Januari 1999 dan 8 Juni 2002 • Impor kayu secara sah

• Lelang kayu secara sah

(25)

Permasalahan IL bukanlah isu baru, tetapi fakta yang telah lama berjalan dan saat ini kondisinya makin kompleks. Conteras-Hermosilla (2002) menyebutkan beberapa faktor yang berkontribusi terhadap IL :

a. Kegiatan kehutanan melibatkan areal yang luas, terjadi di tempat yang jauh, sehingga lolos dari keamanan publik, press, dan badan pengawas. Walaupun adanya teknologi penginderaan jauh, tetapi kapasitas untuk memonitor dan menegakkan hukumnya rendah; b. Di negara yang kaya sumberdaya hutan tetapi tingkat

pembangunan ekonominya rendah jarang ditemukan informasi akurat tentang volume pohon yang ada, kualitas sumberdaya hutan, distribusi spesies, dan lokasi geografis lainnya. Kegiatan inventarisasi hutan dan rencana pengelolaan hutan tidak sempurna dilakukan, sehingga monitoring sulit dilakukan;

c. Pengelolaan sumberdaya alam lebih memprioritaskan aspek ekonomi, diantaranya dengan adanya pandangan bahwa keberadaan hutan kurang ekonomis dibandingkan dengan lahan yang digunakan untuk pertanian intensif. Dalam hal ini pengambil kebijakan mendorong konversi lahan hutan untuk menjadi pertanian;

d. Hak kepemilikan lahan hutan sering tidak jelas dan tidak eksis. Batas lahan hutan di lapangan tidak jelas.

e. Gaji pegawai pemerintah yang jauh lebih rendah harus mengawasi kayu yang bernilai ekonomi tinggi mendorong terjadi pelanggaran atas jabatan;

f. Hukuman bagi pelaku IL sangat rendah, sehingga tidak menimbulkan efek jera.

Faktor penyebab terjadinya praktek IL di Indonesia tidaklah ditentukan oleh faktor tunggal, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi. Ketimpangan supply dan demand kayu, masalah sosial-ekonomi masyarakat sekitar hutan, rendahnya apresiasi publik terhadap nilai ekosistem hutan, penegakan hukum dan tingkat ketaatan

(26)

hukum yang masih lemah sampai maraknya korupsi dalam praktek IL merupakan beberapa faktor kunci terjadinya praktek IL di Indonesia. Permasalahan IL juga terjadi di berbagai negara walaupun dengan tipe IL yang berbeda-beda. Tabel 2 menunjukkan kategori masalah IL yang terjadi di beberapa wilayah di dunia.

Tabel 2. Kategori Masalah Illegal logging pada Beberapa Wilayah di Dunia Rusia, Timur Jauh dan Siberia Asia Tenggara Afrika Tengah Baltik Amerika Selatan Amerika Utara Korupsi Pelanggaran hak-hak masyarakat lokal Pelanggaran hak asasi manusia Korupsi Pembalakan di kawasan yang dilindungi Pelanggaran hak-hak masyarakat lokal Pelanggaran hak asasi manusia Konflik Non Timber Penyalah-gunaan wewenang oleh aparat pemerintah Kerusakan lingkungan dan polusi Korupsi Pelanggaran hak-hak masyarakat lokal Pelanggaran hak asasi manusia Korupsi Pelanggaran hak-hak masyarakat lokal Pelanggaran hak asasi manusia Korupsi Pelanggaran hak-hak masyarakat lokal Pelanggaran hak asasi manusia Pelanggaran hak-hak masyarakat lokal dan pelanggaran perjanjian Pelanggaran pemanenan Pembalakan di kawasan yang dilindungi Kerusakan lingkungan dan polusi

Sumber : Ottitsch,et.al (2006)

Praktek IL terkategori sebagai kejahatan terorganisir yang melibatkan jaringan yang sangat solid, luas rentang kendalinya, kuat, mapan, menggunakan pola kerja yang terorganisir dan modern dengan sistem manajemen yang rapih dan baik, serta jaringan pemasaran yang luas di dalam dan luar negeri. Kategori pelaku IL , terdiri dari : (a). Masyarakat setempat dan masyarakat pendatang; (b). Pemilik modal atau cukong; (c). Oknum pemilik industri kayu atau pemilik IUPHHK yang bertindak sebagai penadah; (d) Awak pengangkut kayu IL; (e). Oknum pejabat pemerintah dan/atau penegak hukum; dan (f). Oknum pengusaha asing sebagai pemodal dan/atau penadah. Adapun modus operandi yang sering dilakukan dalam IL adalah sebagai berikut (Sukardi, 2005) :

(27)

a. Modus operandi di daerah hulu

• Melakukan penebangan tanpa ijin, biasanya dilakukan oleh

masyarakat dan hasil tebangannya dijual kepada cukong kayu atau oknum pengusaha industri kehutanan.

• Melakukan penebangan di luar ijin yang telah ditetapkan

konsesinya oleh pemerintah, biasanya dilakukan oleh oknum pemegang konsesi HPH dan HTI.

b. Modus operandi di jalur pengangkutan dan di daerah hilir

• Pengangkutan kayu tanpa dilengkapi dokumen yang sah. • Pengangkutan kayu dilengakapi dokumen palsu

o Blangko dan isinya palsu

o Blangko asli tetapi isinya palsu

o Dokumen berasal dari daerah lain

• Jumlah kayu yang diangkut tidak sesuai dengan data yang ada

dalam dokumen yang sah.

• Penggunaan dokumen sahnya kayu yang berulang-ulang.

• Penggunaan dokumen lain di luar dokumen yang telah

ditetapkan, misalnya penggunaan faktur kayu sebagai pengganti dokumen sahnya kayu; hal ini disebabkan oleh terjadinya praktek kolusi antara oknum pejabat, pengusaha, dan penegak hukum.

Dampak praktek IL mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat dan pembangunan sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3. Praktek IL yang terjadi memberikan dampak negatif, seperti : berkontribusi terhadap dehutanisasi dan kehilangan keanekaragaman hayati, hilangnya pendapatan negara, mendorong tata kelola pemerintahan yang buruk, berkontribusi terhadap meningkatnya kemiskinan akibat penduduk kehilangan sumberdayanya, berkontribusi terhadap pendanaan konflik nasional dan regional, serta mendistorsi pasar hasil hutan yang akan menurunkan insentif untuk pengelolaan hutan berkelanjutan (Contreras-Hermosilla, 2002). Bagi sebagian orang, praktek IL dapat memberikan keuntungan positif, misalnya: pengembangan penggunaan lahan alternatif

(28)

di lahan hutan menyediakan sejumlah manfaat lokal bagi yang terlibat, pemerintah menerima pendapatan lebih besar sebagai hasil konversi lahan ilegal atau dilegalkan serta produksi kayu yang meningkat, oknum militer dan polisi mendapat pendapatan dari kegiatan kehutanan ilegal, adanya pendapatan bagi penduduk miskin dan penggangguran yang terlibat, harga kayu yang lebih rendah meningkatkan nilai kompetetif dari industri nasional, serta konsumen mendapatkan keuntungan akibat harga kayu yang lebih rendah (Tacconi et.al.,2003).

Tabel 3. Beberapa Aspek yang Dipengaruhi Praktek Illegal logging

Aspek Keterangan

Aspek Lingkungan

Kegiatan IL meningkatkan keterbukaan lahan hutan, merusak habitat sehingga kehidupan spesies tumbuhan dan satwa terancam, mengurangi kemampuan lahan untuk mengabsorbsi emisi karbon dioksida yang berkaitan dengan dampak dari perubahan iklim.

Aspek Fisik Penghancuran penutupan hutan menimbulkan terjadinya bencana alam seperti banjir, longsor, fluktuasi debit yang tinggi antara musim kemarau dan hujan, dan sebagainya.

Aspek Pendapatan Negara

Kegiatan IL menghilangkan pendapatan negara. Akibat prakek IL pemerintah Indonesia pada tahun 2003 diperkirakan kehilangan pendapatan hampir $1 milyar per tahun.

Aspek

Pembangunan Berkelanjutan

Akibat kegiatan IL generasi mendatang diperkirakan akan menanggung resiko lingkungan yang lebih berat daripada generasi saat ini. Kesempatan generasi mendatang untuk mendapatkan kehidupan lebih baik berkurang akibat ekosistem hutan yang memberikan produk dan jasa lingkungan menurun. Hasil studi Bank Dunia pada tahun 1997 menunjukkan bahwa akibat kegiatan IL di Kamboja dengan nilai $0.5-1 milyar dengan perkiraan 4 juta m3 setidaknya 10 kali dari volume dari penebangan kayu legal.

Aspek Sosial Kegiatan IL merusak respek terhadap hukum dan kewibawaan pemerintah. Praktek IL juga turut menyuburkan praktek korupsi dalam pemungutan kayu.

Aspek Perdagangan

Kayu yang dibalak secara illegal lebih murah daripada produk legal, sehingga mendistorsi pasar global dan merusak insentif bagi pengelolaan hutan berkelanjutan. Tacconi et.al (2004) menunjukkan bahwa biaya eksploitasi kayu illegal adalah US$32/m3 , jauh lebih murah daripada biaya eksploitasi HPH yang legal sebesar US$85/m3.

Aspek Politik Di beberapa negara pendapatan dari IL digunakan untuk membiayai konflik nasional dan regional, misalnya kasus di Liberia dan Republik Demokratik Kongo. Di Kamboja, tentara Khmer Rouge dapat bertahan dari dana yang berasal praktek IL dari kawasan hutan yang berada di bawah kendalinya selama beberapa tahun sampai pertengahan tahun 1990-an.

(29)

2.2. Pemberantasan Illegal logging

Upaya pemberantasan IL menjadi prioritas kebijakan kehutanan yang harus dituntaskan mengingat dampak IL sangat merugikan bagi kelestarian hutan, kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup, juga menjadi ancaman terhadap moral bangsa, kedaulatan, dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Walaupun political will pemerintah kuat dalam pemberantasan IL, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap praktek IL yang disebut juga sebagai tindak kejahatan kehutanan belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada saat operasi pemberantasan IL dilakukan, kegiatan penebangan kayu secara illegal terus berjalan. Tampaknya kegiatan penegakan hukum belum mampu menciptakan dampak jera bagi pelaku praktek IL. Persepsi di antara penegak hukum dalam penanganan kasus IL belum sepenuhnya sama. Hal ini diindikasikan dengan masih banyaknya kasus hukum praktek IL yang divonis hukuman ringan bahkan dibebaskan. Tampaknya peningkatan apresiasi nilai ekosistem hutan perlu juga dilakukan terhadap aparat penegak hukum, dengan harapan makin tingginya apresiasi penegak hukum terhadap nilai ekosistem hutan maka makin berat hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku IL (Ramdan, 2006). Penegakan aturan hukum akan berjalan efektif apabila tingkat kepatuhan (compliance) masyarakat terhadap hukum itu besar. Hirakuri (2003) mengemukakan perbedaan compliance (tingkat kepatuhan) hukum dalam bidang kehutanan di Finlandia yang compliance-nya tinggi dan Brazil yang compliance-nya rendah. Tingkat compliance yang tinggi di Finlandia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu economic incentives, forest extention, institutional management and cooperation, small-scale forestry, forest-management plans, dan penerapan forest-certification. Adapun di Brazil, beberapa permasalahan pengelolaan hutan diantaranya:

(30)

complicated administratif procedures for procursing logging permits, deficient processes for forest control, law rates of compliance with forest-law, ineffectiveness within the legal systems for imposing penalties on violators, institutional problems within enforcement division, scarce financial resources allocated to field enforcement, dan less economic

incentives. Dari kasus yang dikemukakan tersebut tampak bahwa

keberhasilan penegakan hukum tidak berdiri sendiri, namun harus didukung oleh pembenahan instrumen lainnya termasuk di dalamnya instrumen politik, sosial-kelembagaan, dan ekonomi.

Pengembangan sistem pemberantasan IL terpadu merupakan upaya untuk memadu-harmoniskan antara prinsip sustainability dengan legality dalam proses pemanfaatan hasil hutan (Ramdan,2006). Lebih lanjut Ramdan (2006) menyebutkan bahwa apabila pemberantasan IL (combatting Illegal logging/CIL), sustainability (S) dan legality (L) masing-masing dinotasikan masing-masing-masing-masing sebagai CIL, S, dan L, maka CIL = f( S , L). Pemberantasan IL tidak akan berjalan apabila parameter S dan L tidak efektif dijalankan. Dalam hal ini upaya pemberantasan IL perlu dimulai dari diterapkannya S dalam pengelolaan hutan secara konsisten, transparan, dan akuntabel. Prinsip sustainability dalam pengelolaan hutan yang berintikan kelola ekologis (lingkungan), kelola produksi (ekonomi), dan kelola sosial senantiasa harus diterapkan secara utuh dalam pengelolaan hutan sesuai dengan tipologi hutan yang dikelola. Apabila terjadi gap diantara tiga kelola tersebut berdampak pada ketidaklestarian pengelolaan hutan, misalnya terjadi kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Sistem sustainability dalam pengelolaan hutan menjadi inti kegiatan dalam membangun sistem pemberantasan IL di dalam kawasan hutan. Dalam kegiatan pengelolaan hutan dikenal adanya tiga pilar, yaitu manajemen hutan (MH) sebagai inti kegiatan, manajemen kawasan (MK) sebagai prasyarat keharusan, dan kelembagaan hutan (KH) sebagai prasyarat kecukupan sebagaimana ditampilkan pada Gambar 2. Masing-masing pilar tersebut saling memengaruhi satu dengan lainnya, sehingga di antara pilar tersebut ada interaksi, yaitu MH-KH, MK-KH, dan MK-KH.

(31)

Ruang interaksi tersebut selama ini belum berjalan secara sinergis, sehingga pencapaian sistem pengelolaan hutan berkelanjutan sering tidak tercapai. Implementasi MH sebagai inti kegiatan yang terdiri dari kelola ekologis, kelola produksi, dan kelola sosial apabila tidak dijalankan secara baik sesuai peraturan perundang-undangan bidang pengelolaan hutan akan mengundang sistem kelembagaan lainnya untuk mengontrol pilar MH, misalnya masuknya penyidik di luar PPNS Kehutanan untuk menyidik kegiatan pengelolaan hutan di lapangan. Ruang antara MH-KH perlu dianalisis model sinergisitasnya sehingga tidak mengganggu MH yang menjadi menjadi inti kegiatan. Begitu pula ruang MK-KH yang mengintegrasikan inti kegiatan dengan prasyarat keharusan. Pilar KH diantaranya adalah kesesuaian dengan tata ruang dan kepastian kawasan. Ketidakpastian kawasan sangat berdampak pada iklim investasi dalam inti kegiatan (MH), sehingga tanpa terpenuhinya secara baik pilar MK maka kegiatan MH tidak akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu upaya untuk membangun sinergisitas diantara tiga pilar pengelolaan hutan perlu dilakukan segera, sehingga ekses negatif ketidaksinergisan diantara ketiga pilar tersebut dapat diminimalkan (Ramdan, 2006). Untuk mengkaji kinerja sustainability dalam pengelolaan hutan telah banyak dikembangkan acuan/pedoman yang dapat berfungsi sebagai sistem verifikasi kehutanan. Dalam kegiatan pengusahaan hutan dapat ditemukan beberapa lembaga dan sistem verifikasi kehutanan yang ada di Indonesia sebagai berikut :

A. Departemen Kehutanan

1. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 2. Laporan Tahunan Unit Manajemen ke DepHut 3. Lembaga Penilai Independen (LPI)

4. Kelompok Kerja Restrukturisasi Pengusahaan Hutan Produksi Alam

5. Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) B. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI)

(32)

2. Sertifikasi PHTL 3. Sertifikasi PHBML

4. Sertifikasi Lacak Balak (CoC) D. Forest Stewardship Council (FSC)

E. International Tropical Timber Organization (ITTO)

F. Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI)- Self Declaration (Pernyataan Diri)

G. Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) – Departemen Kehutanan serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan

H. The Nature Conservancy (TNC)

I. Tropical Forest Foundation (TFF)

J. Global Forest And Trade Network (GFTN)

Gambar 2. Tiga Pilar Pengelolaan Hutan

Sistem verifikasi kehutanan tersebut menjadi gerbang pertama dalam menyusun sistem pemberantasan IL secara terpadu. Belum dipahaminya sistem verifikasi kehutanan diantara stakeholders kehutanan, baik pelaku usaha, pemerintah, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan masyarakat menimbulkan gap yang menimbulkan ekses negatif terhadap perkembangan pembangunan sektor kehutanan. Harmonisasi persepsi diantara stakeholders kehutanan terhadap sistem verifikasi kehutanan perlu dilakukan dengan menyusun Standar Verifikasi Kegiatan Kehutanan

(33)

yang disepakati oleh semua pihak. Keberadaan standar tersebut diharapkan akan membangun visi bersama dalam memantau proses kegiatan kehutanan secara transparan dan akuntabel, sehingga ekses negatif dari kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dapat dihindari (Ramdan, 2006).

Pemberantasan IL dengan tingkat kompleksitasnya yang tinggi tidak cukup mengacu pada proses sustainability di tingkat unit pengelolaan, tetapi harus memperhatikan pula proses legality di setiap proses pengelolaannya. Upaya membangun sistem pemberantasan IL di Indonesia mencakup beberapa tahapan kegiatan. Ramdan (2006) menyebutkan bahwa langkah pengembangan sistem dimulai dari menganalisis tiga sistem yang mempengaruhi pengelolaan hutan, yaitu sistem manajemen kawasan dan tata ruang, sistem pengelolaan hutan, dan sistem kelembagaannya yang digunakan untuk menyusun pola sinergisitasnya diantara ketiga sistem tersebut. Adanya sinergisitas antar sistem tersebut akan membangun harmonisasi antara sistem sustainabilty dan legality dalam pengelolaan hutan. Komponen utama dari sistem sustainability dan legality yang perlu dibangun menyangkut : (a) implementasi prinsip-prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan; (b) pembenahan struktur hukum terkait IL; (c) kebijakan insentif dan disinsentif; serta (d) pemberdayaan ekonomi dan partisipasi masyarakat. Koordinasi dan pengawasan antar lembaga perlu dilakukan diantara komponen (a) dan (b) sehingga diperoleh Standar Verifikasi dan Legalitas Pemanfaatan Hasil Hutan yang menjadi bagian penting dari harmonisasi sistem pengelolaan hutan dan legalitas pemanfaatan hasil hutan. Kebijakan insentif dan disinsentif diarahkan untuk mendorong pelaku pemanfaatan hutan yang legal agar mengelola hutannya secara on the

track sesuai dengan sistem pengelolaan hutan berkelanjutan. Komponen

pemberdayaan masyarakat dan partisipasi masyarakat terdiri dari upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan, peningkatan apresiasi nilai sumberdaya hutan, dan sistem pengawasan pemberantasan IL oleh masyarakat secara partisipatif. Peningkatan

(34)

pendapatan dan apresiasi nilai terhadap sumberdaya hutan diharapkan akan membangun sistem perlindungan ekosistem hutan oleh masyarakat secara mandiri. Pengembangan sistem pengawasan oleh masyarakat didasarkan atas fakta bahwa kemampuan untuk mengontrol praktek IL tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi harus didukung penuh oleh partisipasi masyarakat. Penanganan praktek IL perlu dilakukan secara komprehensif. Tidak cukup hanya dengan penegakan hukum saja, tetapi juga harus memperhatikan aspek lainnya. Ramdan (2006) menyebutkan bahwa alternatif penanganan Illegal logging dapat dilakukan dengan model BILL sebagai akronim dari Berantas yang Illegal-Lindungi yang Legal yang meliputi beberapa kegiatan sebagai berikut :

a. Penegakan Hukum

Kegiatan penegakan hukum dilakukan untuk menimbulkan dampak jera terhadap pelaku praktek IL dan meningkatkan tingkat ketaatan publik terhadap peraturan perundangan khususnya di bidang kehutanan. Proses penegakan hukum terdiri dari : penyidikan, penuntutan, pemidanaan, dan pelaksanaan/eksekusi. Tahapan penyidikan IL menjadi permasalahan tersendiri dalam pemberantasan IL terkait masih lemahnya koordinasi antar institusi penyidik dalam pemberantasan IL. Lemahnya koordinasi antar penyidik tersebut merupakan celah yang mudah diterobos pelaku IL. Oleh karena itu perlu pembenahan sistem penyidikan yang terintegrasi diantara institusi penyidik dalam pemberantasan IL2.

2 Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 ayat 1 UU No.8/1981).Ada empat institusi penyidik : penyidik Polri, penyidik PPNS, penyidik Kejaksaan, dan Penyidik Perwira TNI-AL. Tata cara penyerahan berkas perkara oleh PPNS kepada penyidik Polri diatur oleh Fatwa Mahkamah Agung No.KMA/114/IV/1990 tanggal 7 April 1990 : Baik terhadap tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus Penyidikan PNS tersebut selesai melakukan penyidikannya harus menyerahkan hasil penyidikannya secara nyata kepada penyidik Polri, barulah setelah itu Penyidik Polri menyerahkan hasil penyidikan PPNS berkas perkara kepada penuntut umum.

(35)

b. Peningkatan Apresiasi Publik terhadap Nilai Ekosistem Hutan

Upaya untuk meningkatkan apresiasi publik terhadap nilai ekosistem hutan, disamping dengan metode formal melalui penyuluhan, juga dapat dilakukan dengan pendekatan kultural. Secara kultural, publik diberikan penjelasan keterkaitan antara tata nilai sosial dengan potensi nilai yang dikandung dalam hutan sebagai sistem penyangga kehidupan masyarakat.

c. Kebijakan Insentif Menghindari Degradasi Hutan

Pemberantasan IL sebaiknya juga memperhatikan kelompok dunia usaha kehutanan yang melakukan kegiatannya secara legal. Insentif dan penghargaan seharusnya lebih besar diberikan pula pada kelompok dunia usaha atau masyarakat yang selama ini telah berupaya keras melakukan pencegahan dehutanisasi (deforestration avoidance). Tampaknya dalam hal ini pemerintah perlu membuat kebijakan insentif untuk merangsang dunia usaha dan masyarakat mau menjalankan aktifitasnya secara legal, sehingga gambaran bahwa berusaha secara legal lebih mahal daripada usaha ilegal dapat dihapuskan. Sebaliknya kebijakan disinsentif bagi dunia usaha yang melakukan aktifitas ilegal perlu diterapkan pula. Kebijakan disinsentif bagi pelaku aktifitas IL yang dibuat ditujukan untuk membuat efek jera bahwa apabila berusaha di bidang kehutanan secara ilegal dapat dipastikan secara ekonomi akan rugi. Tampaknya bentuk kebijakan insentif ini tidak akan efektif berjalan sepanjang korupsi masih marak, sehingga penerapan prinsip-prinsip good governance dalam pengusahaan hutan mutlak diperlukan.

d. Pemberdayaan Masyarakat

Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan secara umum relatif rendah. Kelimpahan sumberdaya hutan yang ada di sekitarnya tidak mampu mengangkat kondisi ekonominya menjadi lebih baik, sebaliknya akibat eksploitasi hutan yang menimbulkan eksternalitas negatif telah menjadi beban sosial masyarakat yang berkepanjangan

(36)

dan cenderung makin termarjinalkan. Kemiskinan dan sempitnya peluang berusaha bagi masyarakat sekitar hutan mendorong mereka untuk terlibat dalam praktek IL dengan dukungan dana dari pihak luar yang secara ekonomi jauh lebih kuat. Ketika sumberdaya hutan di sekitarnya yang menjadi rusak, maka pada saat itu pula kemiskinan mereka bertambah. Oleh karena itu upaya pemberdayaan masyarakat harus terintegrasi dengan program pemberantasan praktek IL. Hasil Operasi Wanalaga Lodaya Tahun 2003 di tiga kawasan konservasi (Cagar Alam Gunung Papandayan, Cagar Alam Gunung Talagabodas, dan Cagar Alam Leuweung Sancang) di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa kegiatan penegakan hukum telah berhasil membuat dampak jera pelaku perambahan lahan hutan, termasuk penggarap lahan hutan di luar kawasan tersebut. Namun ketika upaya pemberdayaan masyarakat terlambat diluncurkan, maka beberapa perambah lahan hutan yang tadinya sepakat menghentikan aktifitasnya kembali masuk merambah lahan hutan di kawasan konservasi dan lindung yang ada. Masalah kebutuhan ekonomi ternyata masih menjadi alasan klasik untuk menjarah hutan bagi kelompok masyarakat yang tingkat ekonominya rendah.

e. Kerjasama Internasional Pemberantasan Illegal logging

Sebagian dari kayu diselundupkan ke luar negeri. Beberapa negara mengimpor bahan baku kayunya secara illegal dari Indonesia. Upaya menyetop perdagangan kayu ilegal tersebut tidak mungkin dilakukan tanpa kerjasama dengan negara yang disinyalir mengimpor kayu illegal. Dalam hal ini pemerintah Indonesia harus lebih proaktif terlibat dalam perjanjian multilateral dan bilateral yang berkaitan dengan pemberantasan praktek IL. Komitmen bersama perlu dibangun dengan negara-negara lain yang selama ini menjadi pengimpor kayu dalam memerangi praktek IL.

(37)

2.3. Analisis Stakeholders

Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan memerlukan kolaborasi diantara stakeholders (pemangku kepentingan) yang berbeda-beda. Kolaborasi tidak membangun persetujuan diantara masyarakat tentang apa yang akan dilakukan, tetapi lebih sering menyangkut pengaturan perbedaan dalam kepentingan (interests) dan kekuatan (power) dalam penggunaan yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Oleh karena itu pendekatan dalam menganalisis stakeholders difokuskan terhadap hak-hak yang dimiliki (rights), tanggung-jawab (responsibilities), keuntungan yang diperoleh (Revenues), dan hubungan diantara stakeholders (relationships). Analisis stakeholders tersebut disebut sebagai pendekatan 4Rs (Dubois, 1998).

Pendekatan 4Rs sebagai alat analisis stakeholders dapat diterapkan dalam: (a) menganalisis situasi multi-stakeholders dan mendiagnosa permasalahan; (b) menilai dan membandingkan kebijakan-kebijakan; (c) berperan dalam proses negosiasi; (d) alat evaluasi dalam siklus proyek; (d) merekstrukturisasi dan kelembagaan dan desentralisasi (Dubois, 1998).

Pendekatan 4Rs merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk mengklarifikasi peranan (roles) yang dimainkan oleh stakeholders yang berbeda dan sifat hubungan (relationship) diantara mereka (IIED, 2005). Peranan merupakan bentuk dari perilaku, kebiasaan dan respon. Untuk memainkan peranan yang baik setiap stakeholder perlu untuk

menginterpretasikan peranannya, mengidentifikasinya,

mengembangkannya, dan bekerja dengannya. Kerangka 4 Rs membongkar peranan dari stakeholders ke dalam rights, responsibilities, Revenues (dapat disamakan dengan return, rewards atau benefits), serta menilai relationship diantara stakeholders yang terlibat (IIED, 2005). Dalam hal ini peranan stakeholders dianalisis berdasarkan karakteristik hak-haknya (rights), tanggung-jawab (responsibilities), manfaat atau hasil yang akan diperolehnya (Revenues), dan hubungan yang terbangun diantara stakeholders (relationships).

(38)

IIED (2005) menyebutkan bahwa kerangka pendekatan 4Rs ini dapat diterapkan pada berbagai tingkatan yang berbeda, baik di tingkatan lokal atau proyek, wilayah, dan nasional. Pendekatan 4Rs dianggap paling efektif sebagai participatory tool untuk membangun dialog diantara stakeholders . Di dalam praktek penggunaan pendekatan 4Rs meliputi dua komponen utama, yaitu : (a) penilaian keseimbangan dari tiga R (rights, responsibilities, dan Revenues) di dalam dan diantara stakeholders (assesment of the balance of three Rs); serta (b) penilaian status dari R keempat yaitu relationship diantara stakeholders . Tiga Rs menunjukkan progres yang sering menunjukkan kualitas dari hubungan antar stakeholders , politik lokal dan budaya, serta pengaruh tekanan eksternal (IIED, 2005).

Analisis 3 Rs sebaiknya dilakukan secara bersamaan daripada sendiri-sendiri dan di dalam serta diantara kelompok-kelompok stakeholders , karena keseimbangan (balance) diantara hak,

tanggung-jawab, dan manfaat merupakan indikasi yang baik dalam

menggarisbawahi struktur kekuatan serta insentif atau disinsentif dalam mencapai pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, misalnya : (a) tanggung-jawab yang tinggi akan meningkatkan insentif yang diberikan; dan (b) pelaksana swasta memiliki hak dan pendapatan dari pengelolaan sumberdaya alam tetapi memiliki beban tanggung-jawab rendah atau tanggung-jawab terhadap publik yang kurang. Hubungan diantara stakeholders dianalisis dengan memperhatikan : (a) kualitas hubungan (misalnya : baik, sedang, atau terjadi konflik); (b) kekuatan hubungan, berkaitan dengan frekuensi dan intensitas kontak diantara stakeholders ; (c) formalitas hubungan, berkaitan dengan tipe hubungan yang bersifat formal atau informal; serta (d) ketergantungan (dependence) antar stakeholders (IIED, 2005).

2.4. Proses Hirarki Analitis

Pendekatan Proses Hirarki Analitis (Analytical Hierarchy Process, AHP) dikembangkan oleh Thomas L Saaty pada tahun 1970-an yang merupakan sistem pembuat keputusan dengan menggunakan model

(39)

matematis. Pendekatan AHP membantu dalam menentukan prioritas dari beberapa kriteria dengan melakukan analisa perbandingan berpasangan dari masing-masing kriteria. Metode ini digunakan untuk menyelesaikan masalah pengambilan keputusan yang memerlukan multikriteria (terdapat banyak kriteria dan alternatif). Analisis AHP dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara manual (hitungan) dan dengan alat bantu analisis yaitu dengan program Criteium Plus. Adapun langkah – langkah analisa AHP dengan cara manual adalah sebagai berikut (Saaty, 2001) :

a. Penyusunan struktur keputusan

Penyusunan struktur keputusan dalam penentuan prioritas pada suatu permasalahan dilakukan dengan melakukan dekomposisi dari permasalahan yang ada sehingga akan tergambar faktor-faktor yang mempengaruhi serta alternatif keputusan yang ditentukan dalam bentuk hirarki dimana semua elemen yang ada di dalam struktur keputusan.

b. Penyusunan matriks pendapat

Penyusunan matrik pendapat adalah untuk menentukan nilai kepentingan dari setiap elemen pada struktur keputusan. Dalam menentukan skala kepentingan mengacu pada skala komparasi dari Saaty. Skala prioritas dilakukan guna mempermudah pemahaman penggunaan metode analisis jenjang keputusan. Matriks pendapat dibuat berdasarkan tingkatan level dari masing-masing faktor.

c. Prioritas elemen setiap level

Penentuan prioritas elemen pada setiap level dapat diketahui dengan mencari nilai komparasi berpasangan. Nilai ini dapat diperoleh dengan melakukan normalisasi dari bobot skala prioritas dari matriks pendapat. Bobot normal dari matriks komparasi berpasangan dari masing-masing level dalam struktur keputusan adalah rata-rata terhadap nilai masing-masing baris. Pembobotan normal menunjukkan prioritas dari masing-masing

Gambar

Gambar 1 .Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 1. Sumber-Sumber Yang Dianggap Legal Dan Ilegal
Tabel 2. Kategori Masalah Illegal logging pada Beberapa Wilayah di Dunia
Tabel 9.  Realisasi Produksi Hasil Hutan Provinsi Jambi Tahun 2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perhitungan emisi yang dihasilkan oleh lingkup 1 juga dilakukan untuk setiap produk PB dan Bronze dengan menggunakan nilai konversi.. Faktor Carbon footprint

It was a joint collaboration of the Center for Chinese Indonesian Studies (CCIS) and Chinese Department at Petra Christian University, Surabaya, as the organizing

Karya ini bertujuan untuk membuat zeolit canister yang berfungsi untuk menampung zeolit dalam mesin pendingin zeo-tech air conditioner , menghitung kekuatan bahan dan

3.a Peningkatan kemampuan relasional matematis pada siswa yang memperoleh pembelajaran saintifik dengan strategi konflik kognitif lebih baik daripada siswa yang

kurs dollar Amerika Serikat dan ekspor karet terhadap cadangan devisa Indonesia periode 1995-2012 telah di uji dengan menggunakan uji t dan F, dari analisis yang telah

Tentang Jadwal kegiatan, sebagian besar tidak memiliki dengan alasan tidak ada jam masuk kelas, alasan tersebut sebenarnya tidak tepat dan oleh karena itu kami menghimbau

Tema yang penulis pilih untuk disertasi adalah Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan Berbasis Agroekosistem dan Implikasinya pada Kebijakan Pengurangan

Minyak mentah dan air garam yang terpisah diukur waktu dan presentase pemisahannya untuk perbandingan antara demulsifikasi menggunakan oven gelombang mikro terhadap