• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENETAPAN WALI ADHOL DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG TAHUN 2010 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ANALISIS PENETAPAN WALI ADHOL DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG TAHUN 2010 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS PENETAPAN WALI ADHOL

DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG TAHUN 2010

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh

Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

Danang Eko Setyo Adi

21110002

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)

ii

NOTA PEMBIMBING

Lamp : 4 (Empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Kepada Yth,

Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga Di Salatiga

Assalamualaikum Wr. Wb.

Disampaikan dengan hormat, Setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi maka naskah skripsi mahasiswa:

Nama : DANANG EKO SETYO ADI NIM : 21110002

Judul : ANALISIS PENETAPAN WALI ADHOL DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG TAHUN 2010

dapat diajukan kepada Fakultas Syariah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqasyah.

Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Salatiga, 11 September 2015 Pembimbing,

(3)

iii

KEMENTERIAN AGAMA RI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)SALATIGA FAKULTAS SYARI’AH

Jl. Nakula Sadewa No. 9 Telp (0298) 3419400 Salatiga 50722 http//www.iainsalatiga.ac.id e-mail: akademik@iainsalatiga.ac.id

PENGESAHAN

Skripsi Berjudul:

ANALISIS PENETAPAN WALI ADHOL DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG TAHUN 2010

Oleh:

Danang Eko Setyo Adi NIM: 21110002

Telah dipertahankan di depan sidang munaqasyah skripsi Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada tanggal 25 September 2015 dan telah dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam hukum Islam.

Dewan Sidang Munaqasyah

Ketua Penguji : Dr. H. Muh Irfan Helmy, Lc. M.A. ...

Sekretaris : Luthfiana Zahriani, MH. ...

Penguji I : Evi Ariyani, MH. ...

Penguji II : H. M. Yusuf Khummaini,S.HI.,MH ...

Salatiga, 25 September 2015 Dekan Fakultas Syariah

(4)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, Saya: Nama : Danang Eko Setyo Adi NIM : 21110002

Jurusan : Ahwal Al-Syakhshiyya Fakultas : Syari‟ah

Judul Skripsi : ANALISIS PENETAPAN WALI ADHOL

DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG TAHUN 2010

Menyatakan bahwa, skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan (plagiat), saduran atau terjemahan dari karya tulis orang lain. pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 18 September 2015 Yang menyatakan,

(5)

v

MOTTO







Maka orang-orang yang beriman dan beramal

saleh,mereka memperoleh ampunan dan rezki yang

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Untuk Orang-Orang yang Ku Sayangi

Karya ini aku persembahkan kepada kedua orang tuaku yang

tersayang, Bapak Jumadi dan Ibu Ngaimah

Adik Tercinta, Deni Dwi Rahayu

Teman-teman seperjuangan di perkuliahan (Akhwal Al Syakhsiyyah)

Terima kasih

(7)

vii

ABSTRAK

Adi, Danang Eko Setyo. 2015. Analisa Penetapan Wali Adhol di Pengadilan Agama Semarang Tahun 2010. Skripsi. Fakultas Syariah. Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

Kata Kunci: Perkawinan, Wali Adhol, Hukum Fiqih,

Dewasa ini sering muncul permasalahan dimana orang tua mempelai tidak setuju dengan pernikahan anaknya, sehingga orang tua enggan untuk menikahkan calon mempelai. Dalam hal ini, wali yang menolak untuk menjadi wali nikah disebut Wali Adhol. Hanya dalam hal yang benar-benar dipandang tidak beralasan,orang tua tidak menyetujui perkawinan anaknya dan menolak menjadi wali, misalnya orang tua menolak atas pertimbangan materi, pangkat, dan sifat-sifat lahiriyah calon suami, bukan atas pertimbangan agama dan akhlak. Perwalian dapat dimintakan kepada sultan, kepala negara yang disebut juga hakim. Ini adalah landasan dari dilakukannya penelitian ini. Seperti yang terjadi di Pengadilan Agama Semarang, ada beberapa calon mempelai yang tersandung oleh permasalahan dimana orang tua mempelai tidak setuju dengan pernikahan anaknya. Maka fokus penelitian yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Apakah pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Semarang dalam menetapkan perkara wali adhol tersebut.(2) Bagaimana penetapan wali adhol Pengadilan Agama Semarang ditinjau dari fiqh.

Penelitian kualitatif ini menggunnakan metode pengumpulan data, wawancara, observasi, dokumentasi dan studi kepustakaan. Jenis penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder tentang penetapan wali adhol.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahminirrahim,Alhamdulillahirobbil „alamin,

Peneliti menyampaikan rasa syukur yang mendalam atas nikmat yang Allah SWT anugerahkan, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “ANALISA PENETAPAN WALI ADHOL DI PENGADILAN

AGAMA SEMARANG TAHUN 2010” dengan baik dan penuh dedikasi.

Penulisan ini dapat terselesaikan dengan baik berkat bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Drs. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga 3. Sukron Ma‟mun, M.Si selaku Ketua Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah

4. Lutfiana Zahriani, M.H selaku pembimbing skripsi yang telah sudi kiranya meluangkan waktunya untuk membimbing dalam penulisan skripsi.

5. Ketua Pengadilan Agama Semarang, Drs Jasirudin, S.H. M.Si beserta jajaran pengurus yang telah mau memberikan waktunya untuk keperluan penggalian informasi

6. Kepada semua pihak yang belum dapat penulis sampaikan satu persatu.

Semoga Allah berkenan untuk membimbing dan memberikan hidayah dalam setiap langkah hidupnya. Kemudian, semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat untuk pembaca.

Salatiga, 18 September 2015

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

NOTA PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Kegunaan Penelitian ... 7

E. Penegasan Istilah ... 7

F. Metodologi penelitian ... 8

G. Telaah Pustaka ... 12

H. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II KAJIAN TEORI A. Perkawinan ... 17

1. Pengertian Perkawinan ... 17

2. Hukum Perkawinan ... 18

3. Rukun Perkawinan ... 19

(10)

x

B. Wali ... 24

1. Pengertian Wali ... 24

2. Dasar Hukum Wali ... 27

3. Kedudukan Wali Nikah ... 29

4. Syarat-Syarat Wali ... 34

5. Macam-Macam Wali ... 39

BAB III Perkara Penetapan Pengadilan Agama Semarang Tentang Wali Adhol tahun 2010 A. Perkara Hukum Tentang Wali Adhol ... 47

1. Jumlah Perkara Wali Adhol di Pengadilan Agama Semarang ... 47

2. Penetapan-penetapan Pengadilan Agama Semarang tentang Wali Adhol Tahun 2010 ... 48

B. Proses Penyelesaian Perkara Wali Adhol ... 62

BAB IV Analisis Penetapan Pengadilan Agama Semarang Tahun 2010 tentang Wali Adhol A. Analisis Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Semarang dalam Menetapkan Wali Adhol ... 65

B. Analisis Penetapan Pengadilan Agama Semarang ditinjau dari Fiqh ... 66

1. Penetapan Nomor : 0031/Pdt.P/2010/PA.Sm ... 67

(11)

xi

3. Nomor Penetapan: 0078/Pdt.P/2010/PA.Sm ... 71 4. Penetapan Nomor: 0071/Pdt.P/2010/PA.Sm ... 73 5. Penetapan Nomor: 0072/Pdt.P/2010/PA.Sm ... 74

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 76 B. Saran ... 76

(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan Allah SWT dalam jenis yang berbeda namun berpasangan dengan maksud agar manusia dapat mengembangkan keturunan. Dalam Islam jalan yang sah untuk mengembangkan keturunan ialah melalui perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan manusia untuk beranak pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarki tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan kemuliaa manusia, Allah mengadakan hukum sesuai martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridlai, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang adanya rasa ridla-meridlai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa kedua pasangan laki-laki dan perempuan itu saling terikat.

(13)

2

yang luhur. Suatu perkawinan dimaksudkan untuk mewujudkan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal yang diliputi perasaan cinta, kasih, dan kedamaian di antara masing-masing anggotanya, sebagaimana tercermin dalam undang-undang perkawinan sebagai berikut:

"Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Lembaran Negara RI, 1988:1).

Pada dasarnya, yang berkepentingan langsung dalam perkawinan adalah para calon suami istri, namun tidak boleh dilupakan bahwa perkawinan adalah masalah besar, masalah keturunan yang akan menyambung kehidupan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, perkawinan seharusnya tidak hanya dipandang sebagai masalah para pribadi yang mengalaminya, bukan masalah pribadi yang saling "cinta" satu sama lain tanpa menghiraukan hubungannya dengan keluarga, lebih-lebih orang tua masing-masing yang Bersangkutan Sahnya suatu perkawinan menandakan adanya suatu keadaan dimana perkawinan telah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya berdasarkan hukum Islam (Basyir, 1996:41).

(14)

3

Akad pernikahan merupakan akad yang istimewa dari pada akad-akad lainnya seperti jual-beli atau gadai. Akad nikah dianggap oleh ulama sebagai hal yang harus ditangani dengan hati-hati (aqd khatir) karena akan berimplikasi kepada anak dan hal-hal lain yang ditimbulkan karena pernikahan seperti hak warisan. Salah satu unsur yang paling utama dari akad nikah adalah wali nikah. Hanya wali nikah yang memiliki hak untuk menikahkan wanita yang berada dalam perwaliannya. Hak ini diberikan Islam kepada wali nikah, karena wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Jika wanita menikahkan dirinya sendiri, maka berarti ia telah berzina.

Sebagaimana para ahli hukum islam mengatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan tanpa wali. Maka perkawinan tersebut tidak sah karena kedudukan wali dalam akad perkawinan adalah salah satu rukun yang mesti harus dipenuhi.

(15)

4

Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali nikah atas seseorang calon mempelai wanita harus memenuhi syarat, yaitu: laki-laki, beragama islam, dewasa dan sehat akal, merdeka, tidak dibawah pengampuan, adil, dan tidak sedang ihram. Dalam KHI pasal 20, yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim aqil dan baligh.

(16)

5

Kemudian pada pasal 22 menyebutkan: Apabila wali nikah yang lebih berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

Umumnya yang menjadi wali nikah adalah ayah kandung. Dan jika memang orang tua berhalangan, bisa diwakilkan oleh dari pihak ayah (laki-laki) paman, kakek, saudara laki-laki sebagai wali nasab. Atau jika semuanya tidak ada atau berhalangan maka bisa diwakilkan hakim. Dalam Kompilasi Hukum

Isalam pasal 23 ayat 1 “wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah

apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketaui keberadaanya (tempat tinggalnya) atau gaib atau adhal”. Dalam hal wali adhol maka wali baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Dewasa ini sering muncul permasalahan dimana orang tua mempelai tidak setuju dengan pernikahan anaknya, sehingga orang tua enggan untuk menikahkan calon mempelai. Dalam hal ini, wali yang menolak untuk menjadi wali nikah disebut wali adhol.

(17)

6

landasan dari dilakukannya penelitian ini. Apabila masalah tersebut tidak diselesaikan, maka akan menjadikan masalah yang tidak akan ada hentinya. Seperti yang terjadi di Pengadilan Agama Semarang, ada beberapa calon mempelai yang tersandung oleh permasalahan dimana orang tua mempelai tidak setuju dengan pernikahan anaknya.

Meskipun tidak menutup kemungkinan perkara wali adhol ini terjadi diwilayah peradilan lain tapi penyusun lebih tertarik di Pengadilan Agama Semarang karena jumlah perkara tentang wali adhol lebih banyak terutama di tahun 2010 jumlahnya 13 perkara dibandingkan antara tahun 2011 sampai tahun 2014 dan juga penyusun mengetahui, memahami, situasi dan kondisi diwilayah Semarang. Maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana proses pengajuan, penyelesaian atau penetapan wali adhol di Pengadilan Agama Semarang. Untuk itu penyusun mengambil judul:

“ANALISIS PENETAPAN WALI ADHOL PENGADILAN AGAMA

SEMARANG TAHUN 2010”.

B. Rumusan masalah

Berangkat dari latar belakang di depan, ada beberapa hal yang akan penulis kemukakan sebagai pokok masalah, yaitu:

(18)

7

2. Bagaimana penetapan wali adhol Pengadilan Agama Semarang tahun 2010 ditinjau dari fiqh?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: .

1. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Semarang dalam menetapkan perkara wali adhol tahun 2010

2. Untuk mengetahui bagaimana penetapan wali adhol Pengadilan Agama Semarang tahun 2010 ditinjau dari fiqh.

D. Kegunaan penelitan

Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah:

1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan hazanah keilmuan bagi penulis dan masyarakat luas.

2. Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan rujukan masalah yang berkaitan dengan perpindahan perwalian.

E. Penegasan Istilah

(19)

8

“ANALISIS PENETAPAN WALI ADHOL PENGADILAN AGAMA

SEMARANG TAHUN 2010” sebagai berikut ini:

1. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagian dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.

2. Penetapan adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis, dan diucapkan pleh Hakim dalam sidang terbuka bentuk umun, sebagai hasil dari pemeriksaa perkara permohonan (voluntair) (Arto, 2011:251). 3. Wali Adhol adalah wali nasab yang mempunyai kekuasaan untuk

menikahkan mempelai wanita yang berada di bawah perwaliannya, tapi enggan atau tidak mau menikahkan sebagai layaknya seorang wali yang baik (Arto, 2011:243).

4. Pengadilan Agama Semarang adalah badan peradilan tingkat pertama yang melaksanakan kekuasaan kehakiman negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan di wilayah Semarang (Bisri, 2000:6).

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

(20)

9

menjaring informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan suatu masalah baik dari sudut pandangan teoritis maupun praktis (Nawawi dan Hadari, 1992:208). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian langsung terhadap nara sumber yang dibutuhkan dalam penelitian dan tidak dengan menyebar angket.

Berangkat dari judul dan permasalahan yang mendasari penelitian, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif (yuridis normatif) adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti

bahan pustaka atau data sekunder penetapan wali adhol (Soekanto dan Mamudji, 2001: 13-14).

2. Kehadiran Peneliti

Peneliti bertindan sebagai instrument sekaligus pengumpulan datayang mana penulis langsung datang dan mewawancarai salah satu hakim Pengadilan Agama Semarang yang telah menetapkan perkara tentang wali adhol.

3. Lokasi Penelitian

Peneliti ini dilaksanakan di Pengadilan Agama Semarang yang beralamat dijalan Ronggolawe No. 6 Telp. (024) 7606741, 7622887 Fax. (024) 7616741 http: // www.pasemarang.net email:

(21)

10 4. Sumber Data

a. Data primer artinya data yang yang diperoleh peneliti dari sumber pertama atau tangan pertama. Dalam hal ini adalah langsung diperoleh dari wawancara hakim serta penetapan Pengadilan Agama Semarang tentang wali adhol.

b. Data Sekunder, artinya data penunjang dalam bentuk dokumen-dokumen yang diperoleh dari tangan kedua atau diperoleh dari data literature. Setelah permasalahan dirumuskan, langkah selanjutnya adalah mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pandangan-pandangan, atau penemuan-penemuan yang relevan dengan pokok permasalahannya (Soemitro, 1983:23).

5. Prosedur Pengumpulan Data a. Interview atau wawancara

Metode interview adalah suatu bentuk komunikasi untuk mendapatkan suatu informasi yaitu dengan bertanya langsung dengan Majelis Hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutuskan perkara tentang wali adhol tersebut.

b. Dokumentasi

(22)

11

kegiatan. Teknik dokumenter ini akan penulis gunakan untuk memperoleh data tentang penelitian wali adhol (Nawawi, 1990:133). 6. Analisis Data

Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif. Analisa data dilakukan setiap saat pengumpulan data dilapangan secara berkesinambungan. Diawali dengan proses klarifikasi data agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksi-abstraksi teoritis terhadap informasi lapangan, dengan mempertimbangkan menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat memungkinkan dianggap mendasar dan universal. Gambaran atau informasi tentang peristiwa atas obyek yang dikaji tetap mempertimbangkan koherensi internal, masuk akal dan berhubungan dengan peristiwa factual atau realistik. Dengan cara melakukan komparasi hasil temuan observasi dan pendalaman makna, diperoleh suatu analisis data yang terus-menerus sepanjang proses penelitian. (Bungin, 2011:154). Metode berfikir yang digunakan dalam menganalisis adalah berdasarkan dasar-dasar yang bersifat umumkemudian meneliti persoalan-persoalan yang bersifat khusus. Dari analisis tersebut kemudian ditarik, kesimpulan yang pada hakikatnyamerupakan jawaban atas permasalahan (Nawawi dan Hadari, 1992:213).

7. Pengecekkan Keabsahan Data

(23)

12

tertentuyang sama, dapat disbanding-bandingkan. Usaha itu akan memungkinkan data yang terhimpundapat lebih dipercaya kebenaranmya (Nawawi dan Hadari, 1992:211).

8. Tahap-tahap Penelitian

Tahap penelitian yang penulis lakukan adalah: menentukan atau memilih tema penelitian, pencarian informasi, penentuan lokasi penelitianyang akan diteliti pencarian dan pengumpulan sumber-sumber dat serta menganalisis data yang telah diperoleh berkaitan tentang masalah yang penulis teliti atau bahas.

G. Telaah Pustaka

(24)

13

1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhol atau enggan.

2. Dalam hal wali adhol atau enggan maka wali hakim dapat dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut (Ramulya, 1999:74-75).

Sedangkan dalam buku "Fiqih Sunnah" yang ditulis oleh Sayyid Sabiq hanya menerangkan pengertian wali, syarat-syarat wali, wali mujbir serta perpindahan wali karena ghaib (belum datang).

Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya yang berjudul "Hukum Perkawinan Islam" menguak tentang syarat-syarat wali, yang berhak menjadi wali, tertib wali, wali mujbir, wali hakim dan wali muhakkam.

Ahmad Azhar Mengenai wali hakim menyatakan bahwa perwalian nasab pindah kepada wali hakim apabila:

a. Wali nasab memang tidak ada

b. Wali nasab bepergian jauh atau tidak di tempat, tapi tidak memberi kuasa kepada wali yang lebih dekat

c. Wali nasab kehilangan hak perwaliannya d. Wali nasab sedang berihram haji atau umrah e. Wali nasab menolak bertindak sebagai wali

(25)

14

Hadi Sayuti, Achmad dalam sripsinya Fakultas Syariah Jurusan Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Wali Nikah dalam Prespektif Dua Madzhab dan Hukum Positif, untuk mengetahui dasar madzhab Imam Syafi‟I tentang kedudukan wali dalam pemikirannya, untuk mengetahui dasar madzhab Imam Hanafi tentang kedudukan wali dalam pemikirannya, serta wali pernikahan menurut hukum positif jenis penelitian menggunakan library research (penelitian pustaka), metode yang digunakan induktif menguraikan data terlebih dahulu kemudian menarik kesimpulan. Kesimpulannya adalan pendapat Imam Syafi‟I nikah tanpa wali adalah tidak sah, Imam Hanafi menggunakan argumen Surah Al Baqarah ayat 232, menurut hukum positif datur dalam Undang-Undang Perkawinan no.1 Tahun 1974 pasal 51 ayat 1.

Abdul Ghufron dalam sripsinya Fakultas Syariah Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah IAIN Walisongo Semarang yang berjudul Analisa Pendapat Imam Syafi‟i Tentang Wali Nikah Janda di Bawah Umur untuk mengetahui pendapat

serta metode istimbat imam syafi‟i tentang wali nikah di bawah umur, jenis

penelitian ini menggunakan library research (peneliti kepustakaan) pemilihan kepustakaan diseleksi sedemikian rupa dengan mempertimbangkan aspek mutu dan kualitas dari kemampuan pengarannya. Metode analisis datanya

menggunakan deskriptif analisis. Kesimpulannya tentang pendapat Imam Syafi‟i

(26)

15

Dedy Roehan Asfia dalam skripsinya Fakultas Syariah Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah IAIN Walisongo Semarang yang berjudul Analisa Terhadap Penentuan Wali Nikah bagi Perempuan yang Lahir Kurang dari 6 Bulan untuk mengetahui pelaksanaan penentuan wali serta mengetahui dasar hukum wali nikah bagi perempuan yang lahir urang dari 6 bulan, di dalam penelitian ini menggunakan field research langsung mengambil data dari lapangan. Metode analisa datanya menggunakan deskripti kualitatif memberikan predikat kepada variable yang diteliti sesuai kondisi yang sebenarnya. Kesimplannya penentuan pelaksanaan penentuan wali tidak mempunyai dasar hukum karena kementrian agam tidak memberikan petunjuk untuk penentuan wali, serta dasar hukum yang di gunakan untuk penentuan wali adalah fiqih.

Pada dasarnya proposal skripsi ini dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu sangtlah berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu, yaitu yang akan diteliti pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Semarang dalam menetapkan perkara wali adhol serta bagaimana penetapan wali adhol Pengadilan Agama Semarang ditinjau dari fiqh . Kemudian karya para ilmuan-ilmuan yang telah membahas mengenai wali nikah akan menjadi bahan acuan dalam penyusunan proposal skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

(27)

16

universal dengan membagi seluruh materi kepada beberapa bagian bab dan masing-masing menjadi sub bab. Ada pun susunan dari bab-bab tersebut adalah sebagai berikut :

1. BAB I merupakan pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, telaah pustaka, dan sistematika penulisan

2. BAB II merupakan kajian teori dan menjelaskan tentang perkawinan yang meliputi: pengertian perkawinan, hukum perkawinan, rukun perkawinan, syarat perkawinan. dan selanjutnya menjelaskan tentang tinjauan umum tentang wali nikah yaitu: pengertian wali, dasar hukum wali, kedudukan wali, syarat-syarat wali dan macam-macam wali.

3. BAB III merupakan hasil penelitian yang terdiri dari: perkara hukum tentang wali adhol, jumlah perkara, penetapan-penetapan Pengadilan Agama Semarang tentang wali adhol dan proses penyelesaian perkara wali adhol. 4. BAB IV merupakan analisa data dari data temuan-temuan yang terdiri dari:

pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Semarang dalam menetapkan perkara tentang wali adhol dan penetapan wali adhol Pengadilan Agama Semarang ditinjau dari hukum fiqh.

(28)

17

BAB II Kajian Teori

A. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang

menurut bahasa artinya memebentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. (kamus b.ind). Perkaiwnan

disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa

artinya mengumpulkan, saling memasukkan dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah (Ghazali, 2008:7).

(29)

18

2. Hukum Perkawinan

Hukum asal pernikahan mubah, Mubah yaitu sesuatu perbuatan yang dibolehkan mengerjakannya, tidak diwajibkan dan tidak pula diharamkan (Muchtar, 1974:23). Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat an-Nur ayat 32:

ىمايَْلْا اوُحِكْنَأ َو

ُللها ُمِهِنْغُ ي َءارَقُ ف اوُنوُكَي ْنِإ ْمُكِئامِإ َو ْمُكِدابِع ْنِم َينِلِاَّصلا َو ْمُكْنِم

ِوِلْضَف ْنِم

ٌميلَع ٌعِساو ُللها َو

Artinya: “Dan kawinlah laki-laki dan perempuan yang janda di antara kamu, dan budak-budak laki-laki dan perempuan yang patut buat berkawin. Walaupun mereka miskin, namun Allah akan me-mampukan dengan kurniaNya karena Tuhan Allah itu adalah Maha Luas pemberianNya, lagi Maha Mengetahui (akan nasib dan kehendak hambaNya) (Hatta, 2009:354)”.

Namun hukum pernikahan itu mungkin bisa berubah menjadi wajib, sunnah, haram dan makruh. Hukum pernikahan bisa berubah disebabkan oleh faktor berikut ini:

a. Orang yang diwajikan menikah adalah orang yang sanggup untuk menikah, sedang dia khawatir terhadap dirinya akan melakukan perbuatan yang dilarang Allah SWT. Melaksanakan pernikahan merupakan satu-satunya jalan baginya untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.

(30)

19

kemungkinan melakukan perbuatan terlarang. Sekalipun demikian melaksanakan pernikahan adalah lebih baik baginya, karena Rasulullah SAW melarang hidup sendirian dalam nikah.

c. Orang yang dimakruhkan menikah adalah orang yang tidak mempunyai kesangupan menikah. Pada hakekatnya orang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk menikah diperbolehkan untuk melakukan pernikahan. Tetapi dia dikhawatirkan tidak dapat mencapai tujuan pernikahannya, karena itu dianjurkan sebaiknya dia tidak melakukan pernikahan.

d. Orang yang diharamkan menikah adalah orang-orang yang mempunyai kesanggupan untuk menikah, tetapi kalau dia menikah diduga akan menimbulkan kemudharatan terhadap pihak yang lain, seperti orang gila, orang yang suka membunuh, atau mempunyai sifat-sifat yang dapat membahayakan pihak yang lain dan sebagainya (Muchtar, 1974:23-25).

3. Rukun Perkawinan

(31)

20

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dikemukakan bahwa rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidak sahnya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya perbuatan tersebut (Djubaedah, 2010:91). Rukun dapat pula diartikan sesuatu yang harus ada yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu pekerjaan, dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat (Ghazaly, 2006:46).

Rukun nikah terdiri dari:

a. Calon mempelai laki-laki dan perempuan

Calon mempelai laki-laki dan perempuan biasanya hadir dalam upacara pernikahan. Calon mempelai perempuan selalu ada dalam upacara tersebut, tetapi calon mempelai laki-laki, mungkin karena sesuatu keadaan, dapat mewakilkan kepada orang lain dalam ijab kabul. (Saleh, 2008:300).

b. Wali dari calon mempelai perempuan

(32)

21

menikahkan calon mempelai perempuan, maka wali hakimlah yang bertindak untuk menikahkannya.

c. Dua orang saksi

Saksi dalam perkawinan harus terdiri dari dua orang laki-laki yang memenuhi syarat. Perkawinan yang tidak dihadiri saksi, walaupun rukun (1), (2), dan (3) sudah dipenuhi, menurut pendapat umum adalah tidak sah.

d. Ijab dan Kabul

Tentang pelaksanaan ijab kabul atau akad, perkawinan harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan kabul. Menurut pengertian hukum perkawinan, ijab adalah penegasan kehendak untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan dari pihak perempuan kepada calon mempelai laki-laki. Kabul adalah penegasan untuk menerima ikatan perkawinan tersebut, yang diucapkan oleh mempelai laki-laki. Penegasan penerimaan itu harus diucapkan oleh mempelai laki-laki langsung sesudah ucapan penegasan penawaran yang dilakukan oleh wali pihak mempelai perempuan. Tidak boleh ada tenggang waktu yang mengesankan adanya keraguan. (Saleh, 2008:300).

(33)

22

4. Syarat Perkawinan

Syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum. (Djubaedah, 2010:92). Syarat menurut Tihami (2010:12) adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan ibadah, tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat. Rukun dan syarat dalam pernikahan keduanya wajib dipenuhi, apabila tidak dipenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah.

Syarat yang merupakan bagian dari masing-masing rukun perkawinan antara lain:

a. Syarat-syarat calon suami: 1) Beragama Islam. 2) Laki-laki.

3) Jelas orangnya.

4) Dapat memberikan persetujuan, tidak terpaksa dan atas kemauannya sendiri.

5) Tidak terdapat halangan perkawinan atau bukan merupakan mahram dari calon istri.

(34)

23 3) Jelas orangnya.

4) Dapat dimintai persetujuannya. 5) Tidak terdapat halangan perkawinan. c. Syarat-syarat wali:

1) Laki-laki. 2) Islam. 3) Baligh.

4) Mempunyai hak perwalian. 5) Waras akalnya.

6) Tidak terdapat halangan perwaliannya. d. Syarat-syarat saksi:

1) Minimal dua orang laki-laki. 2) Islam.

3) Baligh.

4) Hadir dalam ijab qabul. 5) Dapat mengerti maksud akad. e. Syarat-syarat akad

1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.

2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria.

3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah, atau tazwij.

(35)

24

5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.

6) Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram haji/umrah.

7) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai pria atau wakilnya, dan dua orang saksi (Rofiq, 1998:72).

Undang-undang Perkawinan mengatur syarat-syarat perkawinan dalam Bab II pasal 6:

a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur

21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua,

c. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya,

d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya (Rofiq, 1998:73).

B. Wali

1. Pengertian Wali

Wali dalam istilah fiqh disebut “wilayah” , yang berarti “penguasa

dan “perlindungan”. Menurut istilah fiqh yang dimaksud dengan wali ialah

(36)

25

Wahbah Al-Zuhayli berpendapat mengenai wali ialah Kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) pada izin orang lain (Supriyadi, 2011:570).

Dalam kamus besar bahasa indonesia bahwa Wali nikah berati wali pengasuh pengantin perempuan pada waktu nikah atau yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki, karena ayahnya telah meninggal maka kakaknya yang menjadi wali untuk menikahkan anak perempuan itu.

Pengertian lain mengenai wali ialah orang yang berkuasa terhadap orang yang berada dibawah perwaliannya untuk melakukan tugasnya, baik orang yang dibawah perwaliannya suka atau tidak suka (Yunus, 1997:66)..

Begitu pula dalam Fikih Sunnah disebutkan bahwa Wali ialah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya ( Sabiq, 1981:7).

Dalam Kitab Al-Fiqh madzhibil Arba‟ah disebutkan:

ّخصٌ لاف دقعنا تّذص ًٍهع فقُتٌ ام : ٌُ حاكىنا ىف ىنُنا

ًوَدب

Artinya: “wali dalam pernikahan adalah seseorang yang padanya bertahan sahnya suatu akad, maka tidah sah akad tanpa adanya wali”( Aljaizry, 1979:26).

(37)

26

calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahknnya (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008:7).

Dari definisi-definisi mengenai wali nikah diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwasanya wali ialah Seseorang yang diberi kekuasaan yang

bersifat syar‟i, dimana seseorang tersebut berhak mengijabkan calon

mempelai perempuan dan menahan berlangsugnya akad perkawinan. Penguasaan dan perlindungan ini disebabkan oleh:

a. Pemilikan atas orang atau barang, seperti perwalian atas budak yang memiliki atau barang-barang yang dimiliki.

b. Hubungna kerabat atau keturunan, seperti perwalian seseorang atas salah seorang kerabatnya atau anak-anaknya.

c. Karena memerdekakan seseorang budak, seperti perwalian seseorang atas budak-budak yang telah dimerdekakannya.

d. Karena pengangkatan, seperti perwalian seseorang kepala negara atas rakyatnya atau perwalian seorang pemimpin atas orang-orang yang dipimpinnya ( Mukhtar, 1993:93).

Oleh sebab itu pada garis besarnya, perwalian itu dapat dibagi atas: a. Perwalian atas orang.

b. Perwalian atas barang.

c. Perwalian atas orang dalam perkawinannya.

Orang yang diberi kekuasaan perwalian disebut dengan “wali”. Yang

(38)

27

dalam perkawinannya.Yang dimaksud wali dalam perkawinan disini yaitu Suatu kekuasaan atau wewenang syar‟i atas segolongan orang atau manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri.Kedudukan wali nikah sangat penting dan menentukan dalam sahnya perkawinan, dan tidak sah perkawinan tanpa adanya wali nikah.

2. Dasar Hukum Wali

Menurut Jumhur Ulama keberadaan seorang wali dalam akad nikah merupakan sesuatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali.Hal berlaku untuk semua perempuan, baik yang dewasa atau kecil, masih perawan atau sudah janda. (Syarifudin, 2003:90).

Meskipun tidak ada satupun ayat Al-qur‟an yang secara jelas menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan, tetapi yang ada hanya ayat-ayat yang dapat difahami menghendaki adanya wali seperti dalam surat Al-baqarah ayat 221:

(39)

28

Artinya:“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an,

2009:35).

Tuntutan ini dikemukakan Allah kepada para wali untuk tidak mengawinkan anak perempuannya dengan laki-laki musyrik.Hal itu berarti dalam mengawinkan itu adalah wali. Namun disamping itu terdapat pula ayat Al-qur‟an yang memberikan pengertian perempuan itu kawin sendiri tanpa mesti memakai wali, sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 232:

Artinya:“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian.itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui”.(Yayasan Penyelenggara

(40)

29

Larangan dalam ayat ini ditunjukkan kepada para wali sesuai dangan sebab diturunkannya ayat diatas.Maksudnya ialah bahwa para wali termasuk diantara orang-orang yang dapat menghalangi berlangsungnya suatu perkawinan, seandainya perkawinan itu terlaksana tanpa meminta izin kepada mereka, atau tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan agama.

3. Kedudukan Wali Nikah

a. Pendapat-pendapat Fuqaha

Perdebatan tentang wali nikah dalam suatu akad perkawinan sudah lama dibicarakan oleh para ahli hukum Islam, terutama tentang kedudukan wali dalam akad tersebut.Sebagian para ahli hukum Islam mengatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan tanpa wali, perkawinan tersebut tidak sah karena kedudukan wali dalam akad perkawinan adalah salah satu rukun yang mesti harus dipenuhi.Dan sebagian para ahli hukum Islam yang lain mengemukakan bahwa wali dalam suatu akad perkawianan bukanlah suatu rukun yang mesti harus dipenuhi, tetapi sekedar sunah.

Hukum kedudukan wali dalam akad perkawinan dikalangan para Ulama secara umum terbagi dua pendapat:

1) Pendapat pertama bahwa wali adalah merupakan salah satu rukun dalam perkawinan.

Pendapat ini didukung oleh Imam Syafi‟iyah, Imam

(41)

30

wali itu sangat penting ( dharuri ) dalam perkawinan. Tanpa wali atau orang yang menggantikan wali, perkawinannya batal (tidak sah).Seseorang wanita tidak boleh menikah sendiri dengan akad pernikahannya sendiri dalam keadaan apapun, baik kepada gadis atau laki-laki yang dewasa maupun yang belum dewasa kecuali janda yang harus diminta izin dan ridhanya. Adapun dasar wali dalam Firman Allah Q.S Al-baqarah ayat 232:

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian.itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui”.(Yayasan

Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, 2009:37).

Adapun hadis yang dijadikan sebagai keharusan wali adalah:

(42)

31 Sofyan bin Uyainah memberitahukan kepada kami dari Juraij dari Sulaiman dari Az Zuhri dari Urwah dari Aisyah: Sesungguhnya Rasullah saw bersabda: “Setiap perempuan yang dinikahi dengan tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Kalu ia dikumpuli (disetubuhi) maka baginya mahar, karena suami telah menghalakan farjinya, dan jika ada pertengkaran-pertengkaran antara wali maka hakim adalah wali bagi oang yang tidak mempunyai wali”( At Tirmidzi, 1992:424).

Berdasarkan landasan tersebut, pendapat pertama menetapkan bahwa wali itu wajib dan harus ada dalam pernikahan.Ia menjadi rukun diantara rukun-rukun nikah. Pernikahan tanpa wali adalah tidak sah baik kepada oarng yang sudah dewasa atau belum dewasa.Jika wanita baligh dan berakal sehat itu masi gadis, hak menikahkan dirinya ada pada wali. Akan tetapi, jika ia janda, hak itu ada pada keduanya. Wali tidak boleh menikahkan wanita janda itu tanpa persetujuannya dan sebaliknya wanita itu pun tidak boleh menikahkna dirinya tanpa restu wali (Supriyadi, 2011:49).

(43)

32

Pendapat ini disuarakan oleh mazhab hanafiyah dan abu yusuf(murid imam hanafi) bahwasanya wali menjadi syarat sahnya perkawinan khusus anak kecil, baik perempuan maupun laki-laki, orang gila ( madznun perempuan atau laki-laki) meskipn orang dewasa. Adapun orang dewasa yang sudah baligh, baik janda maupun gadis tidak berada dalam kekuasaan wali, cukuplah bagi kedua mempelai tersebut dengan akad nikah (ijab qabul) dengan syarat keduanya kafa‟ah.Jika tidak (kafa‟ah), wali memiliki hak untuk membatalkan atau memfasakh akad tersebut.

Pendapat ini berdasarkan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 23

(44)

33

Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ia berkata,telah bersabda Rasulullah SAW:

ىنا نَا :ش ا بَع ه با هَع

ََ ً ٍَهَع الله ى هَص ى ب

ه م اٍَ س فَى ب قَدَا ب ٍ ثنا :ضناَق َم هَس

رَم اَت س ت ر ك ب ناََ اٍَ ٍ نََ

ُ ك س اٍَ و ذ اََ

اٍَ ت

Artinya: “Bersumber dari Ibnu Abbas: Sesungguhnya nabi s.a.w bersabda: “Wanita janda itu lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya. Dan wanita gadis atau perawanperlu dimintai izinnya terlebih dahulu. Sedangkam izinnya adalah kalau ia diam saja (Mustofa, 1993:775).

Berdasarkan landasan tersebut tesebut, mazhab hanafiyah membagi wanita dalam hubungannya dengan wali, menjadi dua bagian, yaitu janda dan gadis.Bagi janda, wali bukan syarat perkawinan, dan bagi gadis pun, kedudukan wali hanya dimintai izinnya.Janda lebih mengetahui banyak dari pada gadis. Oleh karena itu, posisi wali itu tidak mutlak dan kalaupun ada, hanya diperuntukan kepada wanita yang masih gadis (belum dewasa). b. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawian

Dalam pasal 6 ayat 2, 3 dan 4 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan diatur sebagai berikut:

(45)

34

2) Dalam hal salah satu kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksudkan ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari oarng tua yang mampu menyatakan kehendaknya (Pasal 6 ayat 3).

3) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang meepunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya (Pasal 6 ayat 4) (Asnawi,1975:7).

Dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang tersebut, tidak jelas mengatur tentang Wali nikah, tetapi disyaratkan harus ada izin orang tua bagi yang menikah apabila calon pengantin belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun (Ramulyo, 1999:224).

4. Syarat-syarat Wali

Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Dalam Kompilasi Hukum

(46)

35

nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni

muslim, aqil dan baligh”.

Kemudian dalam Undang-undang Perkawinan Pasal 51 ayat 2

menyebutkan bahwa: “Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak

tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berfikiran sehat, adil, jujur dan

berkelakuan baik” (Asnawi,1999:19).

Jumhur Ulama menetapkan bahwa seseorang yang akan menjadi wali diisyaratkan memenuhi hal-hal sebagai berikut:

a. Baligh dan berakal sehat. b. Laki-laki.

c. Muslim.

d. Orang merdeka. e. Adil.

f. Tidak sedang melakukan ihram ( Syarifudin, 2003:93).

(47)

36

tidak boleh menjadi walinya orang Islam.Allah telah berfirman An-Nisa‟ Ayat 141:

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu ?"dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi Keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. yaitu dengan jalan membukakan rahasia-rahasia orang mukmin dan menyampaikan hal ihwal mereka kepada orang-orang kafir atau kalau mereka berperang di pihak orang mukmin mereka berperang dengan tidak sepenuh hati” (

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, 2009:141).

Sedangkan dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 11 Tahun 2007 Pasal 18 Tentang Pencatatan Nikah, syarat-syarat menjadi wali ialah:

a. Laki-laki. b. Beragama Islam

(48)

37 d. Berakal

e. Merdeka, dan f. Dapat berlaku adil.

Dari beberapa pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa persyaratan menjadi wali secara umum adalah:

a. Beragama Islam atau seorang muslim. Apabila yang kawin orang muslim, disyaratkan walinya juga seorang muslim. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT Ali-Imran ayat 28:

Artinya:“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang-orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya kepada Allah kembali (mu)”.( Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, 2009:53).

(49)

38 dibebaskan hubungan dari tiga macam orang, yaitu dari orang yang tidur hingga dia bangun, dari anak kecil sehingga ia dewasa (baligh), dan dari orang gila hingga dia ingat atau dia sadar”. Diriwiyatkan oleh Ahmad, Al-Arba‟ah (perawi empat, yaitu: Abu Daud, At-Tirmidzi, An Nasa‟i dan Ibnu Majah) tetapi disini tidak termasuk An Nasa‟i. Hadis itu dinilai shahih oleh Al Hakim, juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban.(Muhamad, 1995:649).

c. Berakal sehat. Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali harus bertanggung jawab, karena itu seorang wali haruslah orang yang berakal sehat. Sesuai dengan Hadis Nabi yang telah disebut diatas. d. Laki-laki, seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain

ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:

َةَر ٌَر ٌ ً بَا هَع

(50)

39 e. Cerdas ( adil )

Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas.Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya.Sebagai yang disebutkan dalam Hadis Shahih:

ًٍّ ن َُ ب ل ا َح اَك و َل

يَد ٌ اَش ََ

ل دَع

Artinya:“Nikah tidah sah, melainkan dengan wali dan dua dua orang saksi yang adil.”)Mas‟un dan Abidin, 270:2007).

5. Macam-macam Wali

Orang-orang yang berhak menjadi wali:

a. Ayah, kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki. b. Saudara laki-laki kadung (seayah dan seibu) atau seayah.

c. Kemenakan laki kandung atau seayah (anak laki saudara laki-laki kandung atau seayah.

d. Paman kandung atau seayah (saudara laki-laki kandung atau seayah). e. Saudara sepupu kandung atau seayah (anak laki-laki paman kandung

atau seayah)

f. Sultan (pengusaha tertinggi) yang disebut juga hakim (bukan qadi, hakim pengadilan).

(51)

40

Dari macam-macam orang yang dinyatakan berhak menjadi wali tersebut diatas, dapat kita lihat adanya tiga macam wali, yaitu: Wali nasab atau kerabat atau wali mujbir, wali sultan atau hakim, wali muhakam. a. Wali Nasab

Wali nasab adalah Wali nikah yang memiliki hubungan keluarga dengan calon pengantian perempuan,wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung, bapak, paman beserta keturunan menurut garis patrilinial (Sudarsono, 2001:204).

Wali nasab terbagi menjadi dua yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab‟ad (jauh).Dalam urutan wali diatas yang termasuk wali aqrab yaitu wali nomor 1, sedangkan wali nomor 2 menjadi wali ab‟ad.Jika wali nomor 1 tidak ada, maka wali nomor 2 menjadi wali aqrab dan nomor 3 menjadi wali ab‟ad dan seterusnya.

Adapun perpindahan wali aqrab kepada wali ab‟ad adalah sebagai berikut:

1) Apabila wali aqrabnya non muslim. 2) Apabila wali aqrabnya fasiq.

3) Apabila wali aqrabnya belum dewasa. 4) Apabila wali aqrabnya gila.

5) Apabila wali aqrabnya bisu atau tuli.

(52)

41

Wali mujbir adalah wali yang mempunyai wewenang langsung untuk menikahkan orang yang berada dibawah perwaliannya meskipun tanpa izin orang itu ( Aziz,1996:1337).

Kebolehan wali mujbir ini dengan syarat-syarat: a) Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu

b) Jika mahar yang diberikan calon sebanding dengan kedudukan putrinya (mahar mithl).

c) Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan. d) Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan

putrinya dengan laki-laki (calon suaminya).

e) Jika putrinya tidak mengikrarkan ia tidak perawan lagi (Sudarsono, 2001:202).

2) Wali Mukhtar

Wali mukhtar adalah wali yang tidak memiliki kekuasaan memaksa orang yang berada dibawah perwaliannya untuk menikah (Aziz,1996:1338).

b. Wali Hakim

(53)

42

Dalam Kompilasi Hukum Islam ada beberapa pasal yang mengenai wali hakim:

1) pasal 1 sub.b yang berbunyi: “ Wali Hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya , yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali

nikah”.

2) Pasal 23 diterangkan:

a) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketaui keberadaanya (tempat tinggalnya) atau gaib atau adhal.

b) Dalam hal wali adhal maka wali baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Perwalian nasab atau kerabat pindah kepada perwalian hakim apabila:

1) Wali nasab memang tidak ada.

2) Wali nasab berpergian jauh atau tidak ditempat, tetapi tidak memberi kuasa kepada wali yang lebih dekat yang ada ditempat. 3) Wali nasab kehilangan hak perwaliannya.

(54)

43

6) Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan dibawah perwaliannya. Hal ini dapat terjadi apabila yang kawin adalah seorang perempuan dengan laki-laki sepupunya, kandung atau seayah ( Ansori, 2011:42).

c. Wali Muhakkam

Dalam keadaan tertentu, apabila wali nasab tidak dapat bertindak sebagai wali karena tidak memenuhi syarat atau menolak, dan wali hakim pun tidak dapat bertindak sebagai wali nasab karena berbagai sebab, maka mempelai yang bersangkutan dapat mengangkat seseorang menjadi walinya untuk memenuhi syarat sahnya nikah bagi yang mengharuskan ada wali. Wali yang diangkat mempelai disebut wali Muhakkam (Ansori, 2011:43).

Misalnya: apabila seorang laki beragama islam kawin dengan perempuan beragama kristen tanpa persetujuan orang tuanya, biasanya yang berwenang bertindak sebagai wali hakim dikalangan umat Islam tidak bersedia menjadi wali apabila orang tua mempelai perempuan tidak memberi kuasa. Dalam hal ini agar perkawinan dapat dipandang sah menurut Islam, maka mempelai perempuan dapat mengangkat wali Muhakkam.

Untuk dapat menjadi wali dalam akad nikah, diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:

(55)

44 2) Telah baligh.

3) Berakal sehat. 4) Laki-laki.

5) Adil (menjalankan agama dengan baik). d. Wali Adhol

Wali Adhol adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang telah baligh, dan berakal dengan seseorang laki-laki pilihannya, sedangkan masing-masing pihak menginginkan pernikahan itu dilangsungkan.Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila seorang wanita yang telah baligh dan berakal meminta walinya untuk menikahkannya dengan laki-laki yang sepadan, maka wali itu tidak boleh menolak permintaan itu ( Aziz, 1996:1339).

Pendapat pengertian lain wali adhol penolakan wali untuk Menikahkan anak perempuannya yang sudah berakal dan baligh dengan laki-laki yang sepadan dengan perempuan itu. Jika perempuan tersebut telah meminta (kepada walinya) untuk dinikahkan dan masing-masing calon mempelai itu saling mencintai, maka penolakan demikian menurut

syara‟ dilarang (Al Zuhailiy, 1997:6720).

Ketentuan mengenai wali adhol diatur dalam hukum perkawinan Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:

(56)

45

Dalam peraturan disebutkan bahwa adholnya wali adalah merupakan salah satu syarat atau dibolehkannya wali hakimsebagai wali dalam perkawinan calon mempelai perempuan dengan calon mempelai laki-laki. Untuk menyatakan adholnya seorang wali, maka diperlukan penetapan dari pengadilan agama yang mewilayai tempat tinggal calon mempelai perempuan.

2) Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 23

a. Wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnyaatau ghoib atau adhol atau enggan.

b. Dalam hal wali adhol atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut. Substansinya pada dasarnya sama dengan peraturan menteri agama tersebut diatas.

Wali adhol ialah wali yang enggan atau wali yang menolak. Maksudnya seorang wali yang enggan atau menolak tidak mau

menikahkan atau tidak mau menjadi wali dalam pernikahan anak

perempuannya dengan seorang laki-laki yang sudah menjadi pilihan

(57)

46

agama untuk merujuk kepada perkara yang diajukan oleh seorang calon

pengantin wanita yang ingin menikah dengan menggunakan wali hakim

karena keengganan atau penolakan wali nasabnya. Apabila seorang

perempuan telah meminta kepada walinya untuk dinikahkan dengan

seorang laki-laki yang seimbang (se-kufu) dan walinya berkeberatan

dengan tidak ada alasan, maka hakim berhak menikahkannya setelah

ternyata bahwa keduanya se-kufu, dan setelah memberi nasihat kepada

wali agar mencabut keberatannya itu. Menurut Syafi‟i, Maliki dan

Hanbali, jika wali yang dekat enggan mengawinkan perempuan kepada

laki-laki yang sejodoh dengan dia, maka yang menjadi wali adalah

sultan atau hakim, bukan wali yang jauh. Menurut Hanafi yang menjadi

wali adalah yang jauh, bukan hakim karena masih ada juga wali

perempuan dari keluarganya. Tetapi bila wali yang jauh enggan pula,

maka hakimlah yang menjadi wali, demikian menurut Hanafi. Oleh

sebab itu sebaiknya hakim meminta izin kepada wali yang jauh untuk

mengawinkan

(58)

47

BAB III

Perkara Penetapan Pengadilan Agama Semarang

Tentang Wali Adhol Tahun 2010

A. Perkara Hukum Tentang Wali Adhol

1. Jumlah Perkara Wali Adhol di Pengadilan Agama Semarang

Dari hasil penelitian di Pengadilan Agama Semarang, data statistik menunjukan perkara Wali adhol yang diterima oleh Pengadilan Agama Semarang pada tahun 2010 adalah 13 perkara, dalam arsip Pengadilan Agama Semarang, dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 3.1 Data Putusan Perkara Wali Adhol Tahun 2010

Perkara diterima Perkara diputus

13

Dikabulkan Ditolak Dicabut Digugurkan

12 1 0 0

Jumlah 13

Data diambil dari Pengadilan Agama Semarang

(59)

48

a. Putusan dikabulkan yaitu Putusan apabila syarat-syarat gugat relah terpenuhi dan seluruh dalil-dalil gugat yang mendukung petitum ternyata telah terbukti. (Arto, 2011:260).

b. Putusan yang ditolak ialah Putusan yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahapan, dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti, putusan ini termasuk putusan negatif. (Arto, 2011:259).

c. Gugatan dicabut adalah pencabutn gugatan tidak hanya mungkin terjadi pada bidang pertama tapi mungkin saja terjadi kapan saja bahkan mungkin terlanjur sampai pada pencabutan permohonan banding atau permohonan kasasi. (Rosyid, 1990 :114).

d. Putusan gugur artinya Putusan yang menyatakan bahwa gugatann ayau permohonan gugur karena penggugat atau pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil (secara resmi sedang tergugat hadir dan mohon diputuskan). (Arto, 2011:255).

2. Penetapan-penetapan Pengadilan Agama Semarang tentang Wali Adhol Tahun 2010

Seperti yang telah disebutkan dalam table mengenai perkara wali adhol di Pengadilan Agama Semarang dalam kurun waktu satu tahun (2010) terdapat 13 perkara, namun Penulis menentukan besarnya jumlah data untuk mewakili data dari jumlah keseluruhan..

(60)

49

No Nomor Perkara No Nomor Perkara

1 0004/Pdt.P/2010/PA.Sm 8 0078/Pdt.P/2010/PA.Sm 2 0019/Pdt.P/2010/PA.Sm 9 0089/Pdt.P/2010/PA.Sm 3 0022/Pdt.P/2010/PA.Sm 10 0091/Pdt.P/2010/PA.Sm

4 0031/Pdt.P/2010/PA.Sm 11 0095/Pdt.P/2010/PA.Sm 5 0068/Pdt.P/2010/PA.Sm 12 0102/Pdt.P/2010/PA.Sm 6 0071/Pdt.P/2010/PA.Sm 13 0121/Pdt.P/2010/PA.Sm 7 0072/Pdt.P/2010/PA.Sm

Data diambil dari Pengadilan Agama Semarang

a. Salinan PENETAPAN Nomor: 0031/Pdt.P/2010/P.Sm

Pengadilan Agama Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan sebagai berikut dalam perkara Permohonan Penetapan Wali Adhol yang diajukan Agustina Binti Haryodo umur 31 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta bertempat tinggal di Kelurahan Pendrikan Kidul, Kecamatan Semarang Tengah kota Semarang disebut PEMOHON.

(61)

50

Kaslan hubungan Pemohon dengan calon suami Pemohon sudah sedemikian eratnya dan sulit di pisahkan orang tua pemohon/keluarga Pemohon dan orang tua/keluarga calon suami telah sama-sama mengetahui hubungan cinta kasih antara Pemohon dengan calon suami Pemohon bahkan calon suami Pemohon telah memingang Pemohon 3 kali, namun ayah/kakak Pemohon tetap menolak dengan alasan tidak suka dengan sikap calon suaminya, Pemohon juga telah berusaha membujuk ayah Pemohon agar mau menikahan Pemohon dengan calon suami tersebut, namun ayah Pemohon tetap tidak mau, Pemohon berpendapat penolakan tersebut tidak berdasarkan hukum dan tidak berorientasi pada kebahagian dan atau kesejahtraan pemohon sebagai anak atau adik.

Adapun dari pertimbangan Majelis Hakim telah berusaha dengan sungguh-sungguh menasehati Pemohon namun tidak berhasil berdasarkan keterangan para saksi didepan persidangan, Majelis Hakim telah menemukan fakta-fakta yang pada pokoknya sebagai berikut:

1) Bahwa, Pemohon adalah anak sah dari pasangan suami istri Karti (meninggal dunia) dengan Haryodo yang menikah pada tahun 1963. 2) Bahwa, Pemohon berstatus janda dan telah dilamar oleh seorang

perjaka yang bernama bejo bin Kaslan.

(62)

51

4) Bahwa, calon suami Pemohon telah mempunyai pekerjaan dan pengahsilan tetap setiap bukannya sebesar kurang lebih Rp. 2.000.0000,-(duajuta rupiah).

5) Bahwa, Pemohon dengan calon suaminya tidak ada hubungan keluarga, semenda, maupun sesusuan yang menurut hukum tidak ada larangan untuk menikah

Majelis Hakim juga menilai bahwa Penolakan Wali Pemohon (kakak kandung Pemohon) yang bernama Janu bin Kurdi untuk menjadi wali nikah dalam perkawinan Pemohon dengan calon suami Pemohon bernama Bejo bin Kaslan adalah tidak beralasan dan tidak berdasarkan hukum maka Majelis Hakim menyatakan Janu bin Kurdi (kakak kandung Pemohon) sebagai wali yang adhol karena berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas maka permohonan Pemohon cukup beralasan dan terbukti menurut hukum sehinggan permohonan Pemohon patut dikabulkan Menetapkan adholnya kakak Pemohon.

b. Salinan PENETAPAN Nomor: 0068/Pdt.P/2010/PA. Sm

(63)

52

bertempat tinggal Kelurahan Pring Surat Kecamatan Semaramg Kota Semarang disebut sebagai PEMOHON.

Bahwa Pemohon mengajukan surat permohonan Wali Adhol dimana telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut, Pemohon adalah anak kandung dari pasangan suami istri Oki dan Ngaedi, dalam tempo sesingkat-singkatnya melangsungkan pernikahan dengan calon suami Pemohon bernama Upin Bin Kardun, hubungan Pemohon dengan calon suami Pemohon sudah sedemikian eratnya dan sulit di pisahkan orang tua pemohon/keluarga Pemohon dan orang tua/keluarga calon suami telah sama-sama mengetahui hubungan cinta kasih antara Pemohon dengan calon suami Pemohon bahkan calon suami Pemohon telah memingang Pemohon 2 kali, namun ayah/kakak Pemohon tetap menolak dengan alasan selisih umur 20 Tahun, Pemohon juga telah berusaha membujuk ayah Pemohon agar mau menikahan Pemohon dengan calon suami tersebut, namun ayah Pemohon tetap tidak mau, Pemohon berpendapat penolakan tersebut tidak berdasarkan hukum dan tidak berorientasi pada kebahagian dan atau kesejahtraan pemohon sebagai anak.

(64)

53

(65)

54

wanita dengan calon suaminya 9 (Peraturan Aenteri agama Nomor 2 tahun 1987 pasal 6), dengan ini Majels Hakim mengabulkan dan menetapkan wali Pemohon bernama Ngaedi bin Tawes adalah adhol serta pernikahan Pemohon Karsih binti Ngaedi dengan Upin Bin Kardun dapat dilaksanakan dengan wali hakim.

c. Salinan PENETAPAN Nomor: 0078/Pdt.P/2010/PA. Sm

Pengadilan Agama Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu dalam tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan sebagai berikut dalam perkara wali adhol yang diajukan oleh Sulis binti Bagong umur 42 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal Kelurahan Panggung Lor Kecamatan Semarang Utara sebagai PEMOHON.

(66)

55

calon suami tersebut, namun ayah Pemohon tetap tidak mau, Pemohon berpendapat penolakan tersebut tidak berdasarkan hukum dan tidak berorientasi pada kebahagian dan atau kesejahtraan pemohon sebagai anak.

(67)

56

suaminya telah bekerja dan mempunyai penghasilan yang cukup, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa penolakan wali untuk menikahkan Pemohon dengan Apit Bin Karna tidak beralasan dan harus dinyatakan bahwa wali Pemohon atas nama Bagong bin Nusu sebagai wali adhol, serta berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas dan permohonan Pemohon cukup beralasan sesuai peraturan Menteri agama No. 2 Tahun 1987 pasal 2, maka permohonan Pemohon tersebut dapat dikabulkan, maka pernikahan Pemohon dengan Apit bin Karna dapat dilaksanakan dengan wali hakim sesuai dengan2 (1) Peraturan Menteri Agama No. 2Tahun 1987, dan Menetapkan wali Pemohon bernama Bagong bin Nusu adalah adhol.

d. Salinan PENETAPAN Nomor: 0071/Pdt.P/2010/PA. Sm

Pengadilan Agama Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu dalam tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan sebagai berikut dalam perkara wali adhol yang diajukan oleh Romansa binti Junaidi umur 21 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta bertempat tinggal Kelurahan Gajahmungkur Kecamatan Gajahmungkur Kota Semarang disebut sebagai PEMOHON.

Gambar

Tabel 3.1 Data Putusan Perkara Wali Adhol Tahun 2010

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian pajak bisa jadi sulit tidak hanya karena kita harus mengikuti studi pajak di bidang akuntansi, keuangan, eko- nomi, dan hukum, namun juga karena berbagai

Pada sampel 16 juga memiliki nilai kelas kesesuaian lahan aktual adalah tidak sesuai dengan pembatas yakni pada keadaan perakaran yaitu tekstur tanah/ Nrc. Untuk

Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapatkan, evaluasi program praktik industri luar negeri di Fakultas Teknik UNY tahun 2018 sesuai dengan penelitian Factoni (2017),

Penatalaksanaan omfalokel secara konservatif dilakukan pada kasus omfalokel besar atau terdapat perbedaan yang besar antara volume organ- organ intraabdomen yang

Di samping itu, pengamatan dan analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran uang (M2) merupakan variabel kunci bagi otoritas moneter untuk menetapkan

perataan laba dengan perusahaan yang tidak melakukan bahwa mempunyai. reaksi pasar

Masalah yang akan didefinisikan dalam aplikasi ini yaitu bagaimana membuat aplikasi penyisipan dan pengambilan data dari file carier yang digunakan untuk mengamankan

Dapat dilihat dari tabel di atas bahwa laporan keuangan Bank Jabar Banten Syariah KCP Sumedang terjadi permasalahan selama kurun waktu dua tahun, periode