DI YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Psikologi Pada Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh:
MEXSY SYAPUTRI NIM : 999114155 NIRM : 990051121705120152
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan
daftar pustaka, sebagaimana mestinya karya ilmiah.
Yogyakarta, 28 Juni 2007
Penulis
( Mexsy Syaputri)
Allah pasti akan mengangkat derajat orang
yang beriman dan berpengetahuan diantaramu
beberapa tingkat lebih tinggi
(QS. Al Mujadilah : 11)
Janganlah bangga hanya karena dunia
mengenalmu, tetapi berbahagialah karena kau
mengenal dunia
Yang penting bukanlah yang sudah hilang
Yang penting adalah yang masih ada
Ketika kita pikir kita telah
kehilangan segalanya
Ingatlah, masih tertinggal masa depan
( Buku Kecil Spiritia)
Setiap orang mempunyai jalan hidup
masing-masing,
Tetaplah berusaha dan berdoa untuk
mendapatkan yang terbaik
Terima kasih ya Allah SWT atas semua anugrah yang telah Engkau berikan
kepadaku. Tanpa pertolongan dan izin-MU, aku yakin semua ini tidak akan
terwujud. Lindungilah dan cintailah aku selalu, Amien. I will love You forever.
Papa dan Mama tercinta ( Papa Amad & Mama Krisna)
Pa, Ma, akhirnya Mexsy bisa juga menyelesaikannya. Terima kasih atas doa yang
tidak putus-putusnya, kasih sayang, cinta yang besar, dukungannya serta
kesabarannya. Apapun yang terjadi Mexsy tetap menyayangi kalian
SELAMANYA.
Nenekku tercinta
Maaf.... kata itu yang hanya dapat Mexsy ucapkan, karena sampai hari terakhir
nenek pergi, belum juga dapat melihat Mexsy jadi sarjana. Sekarang harapan
nenek terkabul.... semoga nenek bahagia disana, Amien.
Adik-adikku yang tersayang (Eta & Agung)
Dek, hore akhirnya bisa selesai juga yah.... terimakasih atas dukungan, suntikan
semangatnya, kesabarannya, kasih sayangnya serta bantuannya selama skripsi ini
dikerjakan. Tuk Dedek : Tetap semangat yo .... kuliahnyo jangan lamo2 cak ambo yo dek, OK! ☺ ☺ kau pasti bisa! Tuk Tita : tetap semangat cari kerja....(Jadi Sarjana nyo belum lamo kan dek?) kalo rezeki dak bakal kemano, kau pasti dapat
yang terbaik.... jangan mudah putus asa OK!
Seseorang yang akan mendampingiku kelak dikemudian hari... Siapapun itu
☺
☺
☺
Di Yogyakarta
Mexsy Syaputri Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Orang yang terinfeksi HIV di Indonesia disebut ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS). Status ODHA dapat diketahui setelah seseorang melakukan VCT (Voluntary Counseling and Testing). VCT pada umumnya dilakukan individu yang memiliki perilaku sangat beresiko terinfeksi HIV. Saat akan melaksanakan VCT dan mendapat vonis HIV positif individu akan didampingi oleh petugas Lay Support (LS). Hidup sebagai ODHA bukan hal mudah, karena dapat mempengaruhi identitas dirinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana status identitas ODHA setelah melaksanakan VCT yang didampingi oleh Lay Support. Pendekatan yang akan dilakukan untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini adalah teori status identitas dari Marcia dengan tingkatan empat kategori sebagai berikut : identity foreclosure, identity diffusion, identity moratorium, dan identity achivement. Adapun area identitas dalam penelitian ini meliputi area kesehatan, area pekerjaan, area seksual, area pendidikan dan area hubungan interpersonal.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif-kualitatif. Subyek penelitiannya orang yang telah terinfeksi HIV, ODHA yang didampingi oleh Lay Support, dan ODHA yang telah melaksanakan VCT. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam semi terstruktur. Langkah-langkah analisis data yang digunakan adalah menulis transkrip wawancara, membaca transkrip, melakukan koding, dan melakukan analisa secara keseluruhan.
Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa masing-masing responden mempunyai status identitas yang berbeda-beda pada area tertentu. Kondisi responden S memiliki status identitas yang lebih baik pada semua area secara keseluruhan, dibandingkan dengan responden W dan D. Sebagai contoh dapat digambarkan pada area kesehatan responden S memiliki status identitas
achivement sedangkan responden D dan W hanya memiliki status identitas
Moratorium. Pada area pekerjaan responden S memiliki status identitas
Moratorium sedangkan responden D dan W berada pada status identitas
Foreclosure. Akan tetapi ketiga responden memiliki status identitas yang sama pada area hubungan interpersonal yaitu identitas Diffusion. Status identitas dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu faktor internal (reaksi psikologis, penyangkalan terhadap hasil tes, dan sikap responden) dan faktor eksternal (lingkungan keluarga, masyarakat umum dan adanya peran Lay Support).
in Yogyakarta
A person with HIV positif in Indonesia is named ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Status of ODHA can be known after someone has done VCT (Voluntary Counseling and Testing). Commonly, VCT has done by many people that have very dangerous behaviour and can infected HIV. At the moment will do VCT and get HIV positif status, a person will be accompanied by Lay Support (LS). Life as ODHA isn’t something easy, because it can influence to identity of him/his self. This research have goal to know “how identity status of ODHA after done VCT that is accompanied by Lay Support (LS)”. Based theories that are used to explain a problem of identity status of ODHA are identity status theories from James E. Marcia. They are identity foreclosure, identity diffusion, identity moratorium and identity achievement. Identity area’s of this research are healthy are, job area, sexual area, education area and interpersonal relation area.
The approach that used in this research is kualitatif-descriptif. Subjects who had been as respondent were person who had been infected HIV, ODHA who is accompanied by Lay Support, and ODHA who had done VCT. Interview methoed used here is semi-structural method. The analisis data stept are used comprise the writing of the interwiewed transcription, to read the transcription, to do analyse overall.
The result of this research to describe that every respondent have identity status area different every each other to specific classification. In averall area’s, respondent S has identity status better than respondent W and D. For example in healthy area, respondent S has identity achievement, while respondent W and D only has identity moratorium. In job area, respondent S has identity moratorium, while respondent W and D has identity foreclosure. Nevertheless, all respondent has a same identity status in interpersonal relation area, that is identity diffusion. Identity status is influenced by many factors. They area internal factors (psychology reaction, contradiction of result test and attitude of respondent), and external factors (enviroment in family and society, beside that role of Lay Support).
Skripsi Yang Berjudul ”Studi Deskriptif Status Identitas ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) Yang Didampingi Oleh Lay Support Di Yogyakarta” ini disusun dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Terselesainya skripsi ini, tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang memberikan kesempatan
kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini dan atas izin-izin yang telah
diberikan kepada saya.
2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si., selaku Ketua Program Studi
Psikologi Fakultas Psikologi, USD sekaligus Dosen penguji. Terima
kasih atas saran dan masukan yang telah diberikan sehingga skripsi ini
menjadi lebih baik dari sebelumnya.
3. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, MS., selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang dengan kesabarannya dan kebijaksanaan dalam membimbing dan
memotivasi saya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
4. Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi., selaku Dosen penguji. Terima kasih atas
kritik, saran dan masukan yang telah diberikan sehingga skripsi ini
M.Si., selaku Dosen pembimbing akademik, terima kasih atas bimbingan
yang telah diberikan selama saya menjadi mahasiswa di Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
6. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi USD, yang telah banyak memberikan
ilmu, membantu dan memberikan bimbingan terbaiknya pada penulis.
7. Seluruh civitas akademika Fakultas Psikologi USD (Mbak Nanik, Mas
Gandung, Mas Muji, Mas Doni, Pak Gik) yang telah banyak memberikan
bantuan, kemudahan dan memberikan bimbingan terbaiknya pada
penulis berhubungan dengan apapun selama penulis kuliah sampai
dengan selesai saat ini.
8. Guru sekaligus teman diskusi dan curhatku ” Mb. Susilaningsih ” terima
kasih banyak yah mb, sekali lagi terima kasih untuk semuanya dan
kesabarannya selama ini. Titip salam hormat Mexsy buat ibu ya... mbak.
9. Papa, Mama tercinta serta adik-adikku tersayang (Eta dan Agung),
terima kasih atas dukungan dan semangat yang diberikan walau dengan
bentuk yang berbeda-beda, serta doa dan kesabarannya selama ini.
10. Dang Ambo Tersayang (Jamaluddin Alwi, S. Psi), akhirnya ganduik
selesai juga. Terima kasih atas semua cinta yang besar, kasih sayang, doa
dan semua kesabarannya dalam menemani Ganduik selama ini. Tanpa
semua itu, ganduik gak berarti apa2 ☺. Satu hal yang mau ganduik
meluangkan waktunya untuk berbagi cerita tentang hidup dan kehidupan.
Sekali lagi terima kasih atas bantuannya, tetap semangat yah.... dan tetap
optimis dalam menjalani kehidupan. Mexsy banyak belajar berbagai hal dari kalian.
12.Mami Vinolia, makasih banyak atas bantuannya yah mi.... dan sharing
ilmunya kepada penulis. Banyak hal yang penulis dapat dan tidak
diketahui selama ini. Sekali lagi terima kasih banyak.... I LOVE U Mi
dan tetap semangat, OK! ☺
13.Teman-teman PKBI Badran dan Tamsis (khususnya Divisi Konseling
dan Program PMP), yang tidak dapat Mexsy sebutkan satu persatu terima
kasih banyak atas dukungan, pengertian, doa dan bantuannnya selama
ini.
14.Pak Mukhotib, Pak Supri, dan Bu Rosna, terima kasih atas izin dan cuti
yang diberikan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Sekali lagi
terima kasih banyak. Maaf kalo jam kantornya menjadi gak disiplin ☺ ☺
15.Bpk Ryzal sekeluarga, Pak Sugeng, Pak Priyo dan Pak Man, yang selalu
bertanya dan mengingatkan Mexsy, kapan mau selesai dan apa tujuan
utama Mexsy datang ke Yogya. Makasih ya pak.... atas dukungan dan
nasehatnya selama ini.
masih banyak kekurangan dan kelemahan serta jauh dari kesempurnaan. Untuk
itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan
skripsi ini.
Besar harapan saya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
bagi yang memerlukannya.
Yogyakarta, 31 Juli 2007
(Mexsy Syaputri)
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………...
BAB I PENDAHULUAN………..
A. Latar Belakang Masalah……….
B. Rumusan Masalah………...
C. Tujuan Penelitian………
D. Manfaat Penelitian………..
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………. A. Pengertian Identitas Diri………...
B. Pengertian Status Identitas………...
1. Identity Achievement (Pencapaian Identitas)………. 2. Identity Moratorium (Penundaan Identitas)………... 3. Identity Foreclosure (Pencabutan identitas)……….. 4. Identity Diffusion (Penyebaran Identitas)……….. C. Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA)………..
1. Pengertian ODHA………..
2. Pengertian HIV dan AIDS………..
3. Penularan HIV………
2. Fungsi Lay Support……… 3. Tugas Lay Support………. E. Voluntary Conseling and Testing (VCT)……….
1. Pengertian VCT………..
2. Tujuan Konseling HIV dan AIDS dalam VCT…………..
3. Proses Konseling………
4. Pendekatan VCT………
5. Konselor untuk VCT………..
6. Siapakah yang Memerlukan Konseling VCT……….
7. Tes HIV………..
8. Macam-macam Hasil Tes HIV………...
F. Status Identitas ODHA Setelah Melaksanakan VCT yang
didampingi oleh Lay Support………...
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….
A. Jenis Penelitian……… B. Subyek Penelitian………
C. Metode Pengumpulan Data……….
D. Variabel Penelitian……….
E. Metode Analisis Data………..
BAB IV PERSIAPAN, PELAKSANAAN DAN DESKRIPSI
a. Deskripsi Penampilan Fisik Responden D……….
b. Deskripsi Responden D………..
2. Responden S………
a. Deskripsi Penampilan Fisik Responden S…………
b. Deskripsi Responden S……….
3. Responden W ……….
a. Deskripsi Penampilan Fisik Responden W
b. Deskripsi Responden W………
D. Rangkuman Deskripsi Responden Penelitian………...
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Data Hasil Penelitian………..
1. Status Identitas Responden D……….
2. Status Identitas Responden S………..
3. Status Identitas Responden W………
4. Deskripsi Menyeluruh Kehidupan Responden sebagai
ODHA………
B. Pembahasan Hasil Penelitian………
1. Kondisi Internal Responden Setelah VCT……….
2. Kondisi Eksternal Responden Setelah VCT……..…….
a. Hubungan Interpersonal Responden di Lingkungan
Komunitas……….
b. Hubungan Interpersonal Responden di Lingkungan
Keluarga dan Masyarakat………
c. Hubungan Interpersonal Responden di Lingkungan
Pekerjaan……….
3. Deskripsi Keseluruhan Status Identitas
4. Pembahasan Teori dan Hasil Penelitian Status Identitas
Responden Penelitian……….
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN……….
A. Kesimpulan ………
B. Saran ………..
DAFTAR PUSTAKA………..
LAMPIRAN………
89
94
94
95
97
99
Tabel IV.2.
Tabel IV.3.
Tabel V.1.
Tabel V.2.
Tabel V.3.
Tabel V.4.
Tabel V.5.
Tabel V.6.
Pelaksanaan Observasi….……….
Deskripsi Latar Belakang Responden………..
Hasil Tes CD-4 Responden………..
Deskripsi Umum Status Responden Sebagai
ODHA………...
Pembahasan: Kondisi Responden Setelah VCT …...
Status Identitas Responden D………..
Status Identitas Responden S………...
Status Identitas Responden W……….
49
61
73
75
81
84
86
88
Bagan 2.1. Proses Pelaksanaan VCT (Konseling Pra-Test dan
Pasca-Tes HIV)……… 35
A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang dalam hidupnya mempunyai berbagai macam kebutuhan.
Salah satu kebutuhan yang sangat penting adalah kebutuhan akan identitas, yaitu
suatu kebutuhan untuk mengatakan pada orang lain bahwa “saya adalah saya”
bukan “saya seperti yang kamu inginkan”. Dengan identitas ini, setiap orang
mempunyai kesadaran diri dan pengetahuan tentang kemampuan yang
dimilikinya.
Identitas diri merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri
seseorang dari orang lain. Identitas diri merupakan hal yang sangat kompleks
mencakup banyak kualitas dan dimensi yang berbeda-beda. Identitas diri lebih
ditentukan oleh pengalaman subyektif daripada pengalaman obyektif individu,
dan dapat berkembang atas dasar eksplorasi sepanjang proses kehidupan. Dalam
ilmu psikologi, konsep identitas umumnya merujuk pada suatu kesadaran akan
kesatuan dan kesinambungan pribadi.
Pakar psikologi Marcia (dalam Santrock, 2003), menganalisis teori
perkembangan identitas Erikson dan menyimpulkan bahwa seseorang yang telah
mencapai identitas diri yang sukses dapat dilihat dari komitmen yang telah
dibuatnya, khususnya dalam pekerjaan dan hubungan antar pribadi. Lebih jauh
diungkapkan oleh Marcia, dalam teori Erikson tersebut terdapat 4 model status
identitas, pertama, Identity Diffusion adalah orang yang tidak mengalami krisis identitas dan tidak berusaha untuk memulainya. Ia bersifat apatis dan inilah yang
menyebabkan ia tidak memiliki tempat dan mengalami isolasi sosial. Ia juga
cenderung untuk tidak berjuang dalam hidup. Kedua, Foreclosure yaitu orang yang telah membuat komitmen tetapi tanpa pertimbangan yang mendalam
ataupun perjuangan melalui krisis identitas. Ia cenderung memilih apa yang
dijalaninya sekarang sesuai dengan tokoh otoritasnya (orang tua). Tiga,
Moratorium yaitu orang yang secara aktif berjuang untuk menyelesaikan krisis identitasnya tetapi mengalami hambatan dalam pencariannya. Ia dalam tahap
mencoba berbagai alternatif yang nantinya akan menjadi pilihannya untuk
menjalani dan diinternalisasi dalam hidupnya. Empat, Identity Achievement yaitu seseorang yang telah menyelesaikan krisisnya (periode eksplorasi) dan telah
membuat komitmen. Ia adalah seseorang yang mampu menggambarkan serta
menginternalisasikan pilihan yang telah ditentukannya dalam periode eksplorasi.
Pembentukan identitas tidak terjadi secara teratur ataupun besar-besaran.
Pada batasan paling minimum atau paling sederhana, pembentukan identitas
mencakup komitmen terhadap satu tujuan hidup yang akan dimiliki nantinya.
Atau dengan kata lain saat proses pencapaian identitas terjadi diharapkan individu
sudah memiliki suatu komitmen yang menandakan dimilikinya status identitas diri
tertentu. Tetapi seringkali diantara masa eksplorasi dan pembentukan komitmen,
terjadi peristiwa atau hal besar yang tidak diharapkan dan sangat mempengaruhi
proses pembentukan identitas seseorang, sehingga seseorang harus menyusun
kembali apa yang telah dibentuknya.
Salah satu penyakit yang dapat membawa pengaruh yang sangat besar
dalam kehidupan manusia adalah AIDS. AIDS adalah kumpulan gejala penyakit
yang belum dapat disembuhkan karena sampai saat ini belum ditemukan cara
Syndrome, merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu. Virus tersebut
merusak sistem kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya atau
hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit dan infeksi yang
berujung pada kematian.
Saat ini kasusHIV dan AIDS di Indonesia jumlahnya semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Data terakhir Oktober 2006 sudah mencapai 11.653 kasus.
Hal ini menjadi permasalahan sendiri yang tidak mudah diselesaikan. Kasus HIV
dan AIDS sama dengan fenomena gunung es, dimana ada 1 kasus yang ditemukan
mewakili 100 kasus lainnya yang belum terungkap (KPA Nasional, 2006).
Penderita HIV positif biasa disebut dengan ODHA (Orang Dengan HIV dan
AIDS). Status ODHA dapat diketahui setelah seseorang melakukan VCT
(Voluntary Conseling and Testing). Voluntary Conseling and Testing (VCT) pada umumnya dilakukan individu yang memiliki perilaku sangat beresiko terinfeksi
HIV.
Konsep VCT yang dilaksanakan saat ini mempunyai perbedaan mendasar
dengan konsep tes yang telah dilakukan sebelumnya. Salah satu perubahan yang
nyata adalah adanya petugas Lay Support (LS) yang bertugas untuk memberikan informasi serta mendampingi individu saat akan melakukan tes hingga pada saat
individu tersebut divonis positif terinfeksi HIV. Dahulu penderita HIV positif
dirawat oleh orang terdekat atau keluarganya, namun pola pendampingan yang
demikian cenderung tidak bisa maksimal, karena pihak keluarga yang merawat
mereka mendampingi dan merawat ODHA. Berdasarkan alasan tersebut, pada
saat ini perawatan ODHA mendapat perhatian lebih dengan adanya petugas Lay Support. Lay Support merupakan orang-orang yang sudah lama berkecimpung dalam penanganan HIV dan AIDS dan memiliki pengetahuan serta pengalaman
yang relatif banyak mengenai HIV dan AIDS. Keterampilan lain Lay Support
diperoleh dari pelatihan mengenai pengetahuan, perawatan dan pendampingan
ODHA. Pelatihan tersebut mencakup pengenalan secara fisik maupun psikis
Orang dengan HIV dan AIDS.
Penanganan kasus HIV dan AIDS yang belum memasyarakat, ditunjang
tingkat pemahaman yang belum optimal tentang penyakit HIV dan AIDS,
menyebabkan jumlah Lay Support yang ada di Indonesia, termasuk Yogyakarta, relatif masih sedikit dibandingkan dengan jumlah penderitanya. Oleh karena itu
tanggung jawab Lay Support lebih diarahkan pada komunitas yang dianggap memiliki resiko tinggi dalam penyebaran HIV dan AIDS. Komunitas yang
ditengarai beresiko tinggi terinfeksi virus HIV antara lain adalah pekerja seks,
waria, gay, dan IDU (Injecting Drug User). Bagi masyarakat umum pola pendampingan Lay Support untuk penderita HIV dan AIDS belum masuk dalam jangkauan yang maksimal. Sehingga kalau pun ada masyarakat yang didampingi
Lay Support jumlahnya sangat sedikit dan mereka cenderung sangat tertutup. Pembentukan petugas Lay Support sendiri merupakan program yang dibuat oleh
Global Fund (GF), sebuah lembaga dana dari Geneva yang peduli pada masalah pencegahan dan penanganan HIV dan AIDS. Lembaga ini bekerja sama dengan
Selama ini orang yang HIV positif datang sendiri untuk melaksanakan tes
dan mengurus dirinya sendiri setelah dia divonis HIV positif, maka dalam konsep
VCT yang ada sekarang, seseorang sebelum melaksanakan tes terlebih dahulu
diberikan informasi seputar HIV dan AIDS oleh Lay Support. Perawatan orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) meliputi aspek medis dan psikologis. Pengobatan
medis tidak berfungsi untuk menyembuhkan, tetapi hanya untuk mempertahankan
kualitas hidup yang lebih baik. Sedangkan perawatan non medis seperti dukungan
psikologis dari anggota keluarga, teman, dan para relawan peduli HIV dan AIDS
sangat dibutuhkan, terutama pada masa dimana tidak ada gejala fisik yang muncul
selama masa HIV (periode tanpa gejala) atau sering disebut fase asimtomatik
(Depkes, 2003).
Reaksi yang muncul dalam diri seseorang ketika mengetahui status HIV
banyak dipengaruhi oleh kesadaran dirinya terhadap perubahan yang mungkin
terjadi dalam kehidupannya dan bukan hanya tentang kematian. Bagaimana
seseorang akan memandang dirinya sendiri, akan sangat mempengaruhi
bagaimana ia akan menjalani kehidupan selanjutnya dan bagaimana ia dapat
produktif selama rentang waktu kehidupannya. Adanya status identitas dapat
memberikan rasa aman secara psikologis. Status identitas ini sangat dibutuhkan
dalam kehidupan ODHA untuk menjalani kehidupannya. Rasa aman secara
psikologis dapat diartikan adanya perjuangan hidup seorang ODHA sebelum
munculnya gejala-gejala AIDS.
Dalam kondisi tersebut, penderita berjuang mempertahankan hidupnya
agar bisa bertahan lebih lama sebelum virus HIV berubah menjadi AIDS dan
semakin mempengaruhi kondisi psikologis mereka. Petugas Lay Support yang ada saat ini mempunyai tanggung jawab yang besar dalam perkembangan kondisi
psikologis bagi mereka yang positif HIV. Tugas mereka mengarah pada
pendampingan ODHA yang berkaitan dengan penanganan tindak lanjut CST
(case, support and treatment) antara lain mengenai kedisiplinan dalam meminum obat secara teratur apabila mereka sudah menjalani terapi ARV, pemberian
makanan dan pendampingan dalam melakukan kontrol pemeriksaan ke dokter
serta memfasilitasi ODHA dalam melakukan pertemuan dengan sesama
teman-teman ODHA yang lain. Banyaknya kasus penderita HIV yang meninggal
belakangan ini disebabkan karena mereka terlambat mengetahui status dirinya,
sehingga beberapa di antaranya telah masuk pada fase AIDS, fase dimana
pertolongan medis dan terapi ARV (Anti Retroviral) terlambat dilakukan
(Griya Lentera, 2005).
Berdasarkan pada hasil pemaparan di atas maka peneliti tertarik untuk
meneliti bagaimana status identitas ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS)
setelah melaksanakan VCT yang didampingi oleh Lay Support di Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan pokok yang hendak
dikaji adalah bagaimana status identitas ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS)
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah memberikan deskripsi bagaimana status
identitas yang dimiliki ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS) setelah
melaksanakan VCT yang didampingi oleh Lay Support.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini :
1. Manfaat Teoritis, diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini,
a. Dapat menambah wacana pemahaman teoritis dalam bidang Psikologi
Sosial dan Psikologi Kepribadian khususnya dan Ilmu Psikologi pada
umumnya.
b. Dapat digunakan sebagai literatur dalam pengembangan
penelitian-penelitian lanjutan yang relevan dimasa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis, diharapkan dapat memberikan, a. Pengetahuan seputar permasalahan HIV dan AIDS;
b. Bagi pemerintah dan lembaga-lembaga yang peduli dengan
permasalahan seputar HIV dan AIDS, penelitian ini bisa dijadikan
sebagai bahan referensi dan membantu mereka melakukan evaluasi
program dalam penanganan ODHA saat ini dan dimasa yang akan
datang.
c. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana
bagi mereka tentang permasalahan HIV dan AIDS serta masyarakat
diharapkan lebih memahami fenomena yang ada dilingkungan
sekitarnya dan lebih bijak dalam menghadapi ODHA serta tidak
A. Pengertian Identitas Diri
Dusek, (dalam Desmita, 2005) menyatakan, setiap orang memiliki ide
tentang identitas diri sendiri. Meski demikian, untuk merumuskan sebuah definisi
yang memadai tentang identitas ini tidaklah mudah. Karena identitas setiap orang
merupakan suatu hal kompleks, yang mencakup banyak kualitas dan dimensi yang
berbeda-beda yang lebih ditentukan oleh pengalaman subyektif daripada
pengalaman obyektif, serta berkembang atas dasar eksplorasi sepanjang proses
kehidupan.
Dalam psikologi, konsep identitas pada umumnya merujuk pada kesadaran
akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, serta keyakinan yang relatif stabil
dalam rentang kehidupan, sekalipun terjadi berbagai perubahan. Menurut Erikson
(dalam Desmita, 2005), seseorang yang sedang mencari identitas akan berusaha
“menjadi seseorang atau mengalami menjadi aku dengan memiliki sifat sentral,
mandiri, unik, yang memiliki suatu kesadaran akan kesatuan batinnya” yang
berarti berusaha menjadi seseorang yang dapat diakui oleh orang banyak. Dengan
kata lain, bahwa orang yang sedang mencari identitas adalah orang yang ingin
menentukan “siapakah” atau “apakah” yang diinginkannya pada masa yang akan
datang. Individu yang telah memperoleh identitas, akan menyadari ciri-ciri khas
kepribadiannya, seperti apa yang paling disukainya dan apa yang paling tidak
disukainya, aspirasi, tujuan masa depan yang antisipasi, perasaan ia mampu dan
harus dapat mengatur orientasi hidupnya.
Identitas diri merefleksikan bagaimana seseorang melihat dirinya dan
bagaimana ia bertingkah laku sesuai dengan identitasnya. Identitas diri seringkali
digunakan untuk menjawab pertanyaan Siapakah saya? Apa yang
sungguh-sungguh saya sukai? Ingin menjadi apa saya nantinya?. Dengan kata lain
pengertian identitas diri adalah kesadaran tentang apa (what) dan siapakah (who)
seseorang itu.
Psikologi perkembangan menjelaskan, pembentukan identitas merupakan
tugas utama dalam perkembangan kepribadian seseorang yang harus dicapai pada
akhir masa remaja. Tugas pembentukan identitas ini telah mempunyai
akar-akarnya pada masa anak-anak, namun dapat berubah pada masa remaja karena
adanya perubahan-perubahan secara fisik, kognitif dan relasi interpersonal.
Menurut Jones dan Hartmann (dalam Desmita, 2005), perkembangan identitas
pada masa remaja sangat penting karena memberikan suatu landasan bagi
perkembangan psikososial dan relasi interpersonal pada masa dewasa.
B. Pengertian Status Identitas
Pandangan-pandangan kontemporer tentang pembentukan identitas pada
prinsipnya merupakan elaborasi dari teori psikososial Erikson. Pandangan yang
paling terkenal adalah pandangan Marcia. Seperti halnya Erikson, Marcia juga
percaya bahwa pembentukan identitas merupakan tugas utama yang harus
of an ego identity is a major event in the development of personality. Occuring during late adolescence, the consolidation of identity marks the end of childhood and the beginning of adulthood” (Marcia dalam Desmita, 2005).
Proses pencapaian status identitas yang diawali dengan masa ekplorasi
dimulai pada masa remaja. Diharapkan pada tahap perkembangan selanjutnya
individu telah memiliki suatu komitmen yang menandakan dimilikinya suatu
identitas tertentu. Archer (dalam Santrock), mengungkapkan, banyak peneliti
status identitas yakin bahwa pola umum individu yang mengembangkan
identitas-identitas yang positif mengikuti siklus ”MAMA” moratorium-achiever-moratorium-achiever Siklus ini dapat diciptakan sepanjang hidup (Francis, Fraser, dan Marcia, 1989, dalam Santrock, 2002). Perubahan-perubahan pribadi,
keluarga, dan masyarakat tidak dapat dihindari, dan ketika perubahan-
perubahan itu terjadi, fleksibilitas dan keterampilan individu sangat berperan
penting dalam memfasilitasi perubahan-perubahan tersebut. Alan Waterman
(dalam Santrock, 2002) mengungkapkan, beberapa peneliti meyakini
perubahan-perubahan identitas yang paling penting terjadi di masa muda daripada di masa
remaja awal.
Marcia (dalam Santrock, 2003), mengembangkan metode interview untuk
mengukur ego identity. Marcia menggunakan dua kriteria, yaitu krisis (atau sering disebut juga eksplorasi) dan komitmen. Eksplorasi adalah tingkat dimana individu
mulai melihat dan mencoba-coba berbagai alternatif arah dan kepercayaan (peran
dan ide-ide) yang ditemui, sedangkan komitmen adalah pemilihan beberapa
mengidentifikasikan dirinya dengan alternatif-alternatif tersebut. Dalam penelitian
itu, Marcia melakukan proses wawancara tentang status identitas yang meliputi
pertanyaan-pertanyaan dalam tiga area (namun dapat dimodifikasi sesuai dengan
usia interviewee), yaitu pekerjaan, ideologi dan nilai hubungan antar pribadi.
Marcia mendefinisikan 4 model status identitas, yaitu (1) Identity Foreclosure, (2) Identity diffusion, (3) Identity Moratorium dan (4) Identity achievement, sebagai berikut :
1. Identity Achievement (Pencapaian Identitas)
Identity Achievement adalah status dari seseorang yang telah menyelesaikan periode eksplorasi (krisis) dan telah membuat komitmen dalam
berbagai area tertentu. Ciri-ciri orang yang memiliki status identitas ini adalah
mantap, mampu memberikan alasan untuk pilihan mereka dalam berbagai
area, mampu menggambarkan bagaimana komitmen tersebut dapat dipilih,
mampu menghadapi stress, tahan terhadap pengaruh lingkungan yang dapat
mengubah harga dirinya, telah menginternalisasi proses pengaturan diri
sendiri, peka terhadap harapan lingkungan. Atau dengan kata lain mereka
membuat komitmen tentang pilihan ini berdasarkan self constructed yaitu identitas yang ditemukan ini bukanlah identitas yang terakhir, tetapi mereka
akan berusaha memodifikasinya terus-menerus sesuai dengan pengalaman
mereka.
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan Identity Achievement
a) Mampu membuat pilihan dengan mantap dan mampu memberikan
alasan untuk pilihan tersebut di berbagai area.
b) Mempunyai komitmen .
c) Mampu memberikan alasan untuk pilihannya.
d) Mampu menghadapi stress
e) Mampu bertahan terhadap dari pengaruh lingkungan yang dapat
mengubah harga diri
2. Identity Moratorium (Penundaan Identitas)
Seseorang yang memiliki status identitas moratorium adalah seseorang
yang sekarang ini tengah mengalami krisis. Mereka belum membuat
komitmen tetapi mereka sekarang sedang berjuang secara aktif untuk
mencapainya. Ciri-ciri orang dengan status identitas moratorium adalah
mereka memiliki kemampuan untuk berpikir secara jernih dalam kondisi stres
dan tahan terhadap pengaruh lingkungan yang dapat mengubah harga dirinya.
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan Identity Moratorium
memiliki indikator sebagai berikut :
a) Belum mempunyai komitmen pada area tertentu tapi berjuang secara
aktif untuk mencapainya
b) Berada dalam masa krisis menentukan komitmen atau pilihan
c) Individu berusaha membentuk komitmen dengan cara kompromi
menyatukan pendapat lingkungan (orang tua, teman, dan lain-lain)
3. Identity Foreclosure (Pencabutan Identitas)
Status dari orang-orang yang telah membuat suatu komitmen tanpa
pemikiran atau pertimbangan yang matang disebut foreclosure. Komitmen ini dibuat tanpa melalui tahap krisis (exploration). Mereka telah memilih suatu pekerjaan, agama, atau pandangan ideologi, Tetapi pemilihan ini dibuat terlalu
awal (tanpa pertimbangan dan keputusan sendiri). Pilihan-pilihan tersebut
lebih ditentukan oleh orang tua daripada oleh mereka sendiri. Misalnya
memutuskan untuk menjadi seorang dokter bedah karena ayah dan kakeknya
adalah seorang dokter bedah. Mereka membuat suatu keputusan tanpa
mengetahui apa akibatnya di masa yang akan datang.
Berdasarkan wawancara selama penelitian yang dilakukan oleh Marcia,
orang-orang yang tergolong foreclosure memiliki hubungan yang lebih dekat dengan orang tuanya. Kedekatan dengan orang tua atau keluarganya ini, termasuk
dalam hal membuat suatu keputusan yang penting bagi hidupnya. Masa
kanak-kanaknya sampai remaja dilalui dengan lancar dan dengan sedikit
konflik. Hal inilah yang menyebabkan krisis identitas tidak muncul.
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Identity Foreclosure memiliki indikator sebagai berikut :
a) Sudah memiliki komitmen pada area tertentu berdasarkan keputusan
yang ada tanpa pemikiran yang matang.
b) Belum pernah mengalami tahap krisis dalam menentukan pilihan
c) Orang tua otoriter, sehingga individu tidak mampu membuat pilihan
pada area tertentu.
d) Individu tidak mampu mengeksplorasi potensi atau kemampuan yang
dimilikinya.
4. Identity Diffusion (Penyebaran Identitas)
Seseorang dengan Identity Diffusion tidak mengalami tahap krisis dan tidak pula membuat suatu komitmen. Hal ini mungkin terjadi karena mereka
belum memasuki tahap krisis ataupun karena mereka seakan-akan menjauh
dari pencarian identitas. Ada 2 bentuk Identity Diffusion yaitu (1) apatis, hal ini menyebabkan mereka merasa tidak memiliki tempat dan mengalami isolasi
sosial, (2) cenderung kompulsif (Berzonsky, Nelmeyer, 1994, dan Donovan
1975, dalam Soekandar & Bernadetta, 2001).
Dari wawancara penelitian Marcia diketahui bahwa orang yang
memiliki status identitas ini memiliki jarak dengan orang tua mereka. Hal ini
menunjukkan adanya masalah dalam perkembangan psikososial yang pertama
yaitu Basic Trust. Ciri-ciri orang yang memiliki Identity diffusion adalah sulit berpikir di bawah tekanan dan mengikuti harapan-harapan lingkungan (dengan
kata lain mudah terpengaruh).
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan, Identity Diffusion
mempunyai indikator sebagai berikut :
a) Belum mampu membuat komitmen.
c) Cenderung kompulsif.
d) Memiliki jarak dengan orang tuanya (baik fisik dan psikis).
e) Mengalami isolasi sosial.
f) Tidak memiliki minat terhadap pekerjaan dan ideologi tertentu .
g) Sulit berpikir dibawah tekanan
h) Individu mudah terpengaruh lingkungan berhubungan dengan harga
dirinya.
Dengan demikian pengertian Status Identitas dalam penelitian ini
adalah suatu keadaan dimana seseorang mampu membuat pilihan dalam
berbagai area kehidupan (kesehatan, pekerjaan, seksual, pendidikan, hubungan
interpersonal), mempunyai komitmen dengan baik terhadap area kehidupan
tersebut, mampu menghadapi stress saat memiliki permasalahan dalam hidup,
selalu dapat berproses kearah yang lebih positif, serta mampu bertahan dari
pengaruh negatif lingkungan.
C. Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) 1. Pengertian ODHA
Berbicara tentang HIV dan AIDS kita pasti juga akan berbicara tentang
ODHA. Istilah ini tidak dapat dilepaskan dari HIV dan AIDS. ODHA adalah
singkatan dari Orang dengan HIV dan AIDS. Istilah ini merupakan sebutan
bagi mereka yang telah positif terinfeksi HIV. Akan tetapi ada pula yang
menyebutnya dengan ODIV, yang berarti orang dengan virus HIV saja.
AIDS. Seorang yang terinfeksi HIV belum berarti mengalami AIDS atau
masuk dalam fase AIDS, yaitu fase terakhir atau fase mematikan dalam
perjalanan kumpulan infeksi HIV dan AIDS. Dalam perjalanan seseorang
terinfeksi HIV ada masa dimana seseorang mengalami fase asimtomatik atau fase tanpa gejala sehingga seorang yang terinfeksi HIV tetap dapat
beraktivitas seperti biasa layaknya orang yang tidak terinfeksi HIV. Pada masa
inilah banyak sekali permasalahan psikologis yang muncul, sehingga ODHA
atau ODIV membutuhkan dukungan dari orang-orang disekitarnya, supaya dia
dapat menjalani hidupnya dengan kualitas yang baik.
2. Pengertian HIV dan AIDS
AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh
manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus yang disebut HIV.
AIDS tercermin dari singkatan lengkapnya yaitu Acquired Immuno Deficiency Syndrome. AIDS dalam bahasa Indonesia dapat dialihkatakan sebagai sindrom cacat kekebalan tubuh dengan penjabaran sebagai berikut :
Acquired : Didapat, bukan penyakit keturunan
Immune : Sistem kekebalan tubuh
Deficiency : Kekurangan
Syndrome : Sekumpulan gejala-gejala berbagai penyakit
AIDS adalah suatu sindrom yang fatal karena terjadi kerusakan
progresif pada sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan manusia amat
menderita penyakit-penyakit yang disebabkan oleh berbagai jenis protozoa,
cacing, jamur, bakteri, virus dan kanker. Oleh karena penyakit-penyakit yang
menyerang penderitanya amat bervariasi, AIDS kurang tepat jika disebut
penyakit melainkan suatu sindrom.
Sedangkan HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian dapat
menimbulkan AIDS. Sampai kini mekanisme kerja HIV di dalam tubuh
manusia masih terus diteliti. Namun secara umum telah diketahui bahwa HIV
menyerang sel-sel darah putih sistem kekebalan tubuh, yang bertugas
menangkal terjadinya infeksi. Sel darah putih tersebut bernama limfosit “sel
T-4”,”sel T-penolong”. (T-helper) atau “sel CD-4”. HIV tergolong dalam
kelompok retrovirus, yaitu kelompok virus yang mempunyai kemampuan
untuk mengkopi cetak biru materi genetik diri di dalam materi genetik sel-sel
manusia yang ditumpanginya. Dengan proses ini HIV dapat mematikan sel-sel
T-4 (Depkes, 2003).
Masa inkubasi, atau masa laten infeksi HIV adalah bertahun-tahun,
dengan rata-rata 5-7 tahun. Selama masa ini orang tidak memperlihatkan
gejala-gejala, walaupun jumlah HIV semakin bertambah dan sel T-4 semakin
menurun. Semakin rendah jumlah sel T-4, semakin rusak fungsi sistem
kekebalan tubuh. Berarti penyakit-penyakit yang semula tidak menyebabkan
kelainan yang serius (karena sistem kekebalan tubuh masih sehat) akan
deficiency). Penyakit atau infeksi yang menyerang orang yang kekebalan tubuhnya rendah lazim disebut infeksi oportunistik (Depkes, 2003).
Pada waktu sistem kekebalan tubuh sudah dalam keadaan parah,
seorang pengidap HIV akan mulai menampakkan gejala-gejala AIDS, dan
kondisinya akan terus memburuk hingga ajal menjemputnya.
3. Penularan HIV
HIV ditemukan dalam cairan tubuh seperti darah, air mani, cairan
vagina dan ASI. Bila salah satu dari cairan tersebut berasal dari seorang yang
sudah terinfeksi HIV masuk kedalam sistem darah, maka dia punya
kemungkinan besar untuk terinfeksi HIV. Cara penularan HIV antara lain :
a. Hubungan seksual tanpa pengaman
Hubungan seksual merupakan jalur pelularan yang paling umum
ditemukan pada kasus HIV positif. Virus dapat ditularkan dari seorang
yang sudah terkena HIV kepada pasangan seksualnya (laki-laki ke
perempuan, perempuan ke laki-laki, laki-laki ke laki-laki) melalui
hubungan seksual tanpa pengaman (kondom). Perempuan lebih rentan
terhadap penularan HIV dibanding laki-laki. Luka pada saat hubungan
seksual (luka pada dinding dalam vagina sering tidak disadari oleh
perempuan) dapat mempermudah masuknya HIV yang ada pada cairan
alat kelamin pasangan seksual kedalam tubuh kita.
Penularan HIV juga bisa terjadi lewat jarum suntik yang tidak
steril, misalnya melalui transfusi darah, jarum suntik, akupuntur, jarum
tattoo, tindik, dan memakai narkoba lewat jarum suntik.
c. Transfusi darah
Jika darah yang dimasukkan kedalam tubuh kita mengandung
virus HIV maka si pemakai transfusi darah juga akan terkena HIV. Oleh
karena itu kita harus berhati-hati jika mendapatkan darah yang berasal
dari donor. Darah harus di tes dulu apakah donor tersebut mengidap HIV
positif atau tidak.
d. Perinatal
Perinatal adalah penularan melalui ibu kepada anaknya. Hal ini
terjadi saat anak masih dalam kandungan, ketika dalam proses lahir, atau
sesudah lahir. Presentase penularan dari ibu HIV positif kepada anaknya
adalah 15-39%. Seorang ibu yang positif HIV juga dilarang memberikan
ASI pada bayinya, hal ini disebabkan karena didalam ASI terdapat
antibody (zat kekebalan tubuh) ibunya yang telah terinfeksi HIV.
HIV dan AIDS dapat dialami oleh siapa saja melalui jalur-jalur
yang sudah dijelaskan diatas (hubungan seksual, jarum suntik, transfusi darah,
dan perinatal). Namun, ada kelompok-kelompok yang mendapat ancaman
tertinggi untuk terkena HIV dan AIDS karena perilaku mereka yang tidak
aman. Mereka yang dimaksud adalah perempuan yang dilacurkan, waria/
banci, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (gay), pengguna
melalui suaminya yang memiliki perilaku seksual yang tidak aman, anak-anak
dan bayi (tertular melalui ibunya yang positif HIV).
HIV dan AIDS tidak menular melalui :
a. Gigitan nyamuk
b. Bersalaman/bersentuhan
c. Bersin, batuk, dan keringat
d. Makan dan minum bersama ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS)
e. Menggunakan alat mandi bersama
f. Menggunakan kolam renang bersama
g. Hidup serumah dengan ODHA
4. Cara Pencegahan Penularan HIV dan AIDS
Ada Beberapa cara yang dilakukan untuk mencegah penularan HIV
dan AIDS adalah sebagai berikut :
a. Tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah.
Tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah adalah
cara terbaik agar individu tidak beresiko tertular Infeksi Menular Seksual
(IMS).
b. Bersikap saling setia dengan pasangan.
Hanya melakukan hubungan seks dengan satu pasangan saja.
Apabila sudah seksual aktif hendaknya setia pada satu pasangan saja
yang benar-benar kita tahu riwayat kesehatannya. Hal ini dapat
saat melakukan hubungan seks sangat beresiko terhadap penularan
penyakit terutama HIV DAN AIDS karena kita tidak mengetahui riwayat
kesehatan orang yang menjadi pasangan seksual kita.
c. Cegah dengan menggunakan kondom.
Pelajari cara aman melakukan hubungan seks dengan pasangan
agar individu dapat menghindar dari penularan HIV dan AIDS.
d. Hindari pemakaian narkoba suntik
Jangan memakai jarum suntik secara bergantian dengan orang
lain tanpa dibebaskan dari kuman dengan benar.
e. Pendidikan dan penyuluhan tentang HIV dan AIDS
Pendidikan dan pemberian informasi kemasyarakat luas tentang
HIV dan AIDS secara menyeluruh agar masyarakat dapat paham dan
mengerti bagaimana sebenarnya informasi HIV dan AIDS yang benar
sehingga masyarakat dapat mencegahnya lebih dini.
Selain itu, untuk menghindari penularan, yakinkan bahwa darah, cairan
sperma, atau cairan vagina orang lain tidak masuk kedalam tubuh. Perilaku
berciuman termasuk aman, namun menjadi tidak aman bila salah satu atau
keduanya mempunyai luka pada gusi/gusi berdarah, sariawan, dan lain-lain.
Bila ada luka pada bagian tubuh yang terkena salah satu atau ketiga cairan,
maka bila cairan tersebut mengandung HIV bisa saja menjadi media
5. Tahap-Tahap Perjalanan HIV
Tahap-tahap perjalanan HIV adalah :
a. Tahap pertama yaitu terinfeksi HIV
Pada tahap ini, pengidap HIV tidak menampakkan gejala apapun
juga. Mereka tampak dan merasa sehat, tetapi mereka dapat menyebarkan
atau menularkan HIV kepada orang lain.
b. Tahap kedua yaitu gejala-gejala mulai terlihat
Gejala umum yang tampak pada tahap ini adalah hilangnya selera
makan, gangguan pada rongga mulut dan tenggorokan, sakit diare yang
berkepanjangan.
c. Tahap ketiga yaitu penyakit AIDS
Pada tahap ini HIV benar-benar menimbulkan AIDS. Sistem
kekebalan tubuh semakin menurun sehingga tidak ada perlawanan tubuh
terhadap penyakit-penyakit yang menyerang, termasuk infeksi.
Penyakit-penyakit oppurtunistik yang umumnya menyerang adalah TBC, radang
paru, dan infeksi saluran pencernaan.
D. Fungsi dan Peran Lay Support (LS) 1. Pengertian Lay Support
Lay Support adalah seorang petugas/tenaga lapangan yang berasal dari LSM atau institusi lain yang menjadi jembatan di komunitas atau masyarakat
Dahulu ODHA dirawat oleh orang terdekat atau keluarganya namun
hal tersebut tidak bisa maksimal karena mereka sendiri tidak terlalu mengerti
tentang HIV sehingga terkadang masih ada ketakutan saat mereka
mendampingi dan merawat ODHA. Berdasarkan hal tersebut, maka pada saat
ini perawatan ODHA mendapat perhatian lebih dengan adanya petugas Lay Support dimana mereka merupakan orang-orang yang sudah lama berkecimpung dan memiliki pengetahuan dalam penanganan HIV dan AIDS.
Di samping itu Lay Support juga dibekali pelatihan yang dapat menambah pengetahuan dan keterampilan mereka agar perawatan ODHA dapat dilakukan
secara optimal.
Pembentukan petugas Lay Support sendiri merupakan program yang di buat oleh Global Fund ATM (GF ATM) sebuah lembaga dana yang peduli pada masalah pencegahan dan penanganan HIV dan AIDS bekerja sama
dengan Dinas Kesehatan Propinsi DIY. (wawancara informal dengan Dr
Riyanto, Penanggung Jawab Global Fund (GF ATM DIY, 2006).
2. Fungsi Lay Support
Lay Support berfungsi sebagai jembatan atau penghubung antara komunitas dan masyarakat dengan Rumah Sakit atau institusi terkait dalam
pelaksanaan VCT serta CST dalam hal pemberian informasi HIV dan AIDS
3. Tugas Lay Support
Beberapa tugas Lay Support antara lain :
a) Memberikan informasi HIV dan AIDS yang benar dan lengkap pada
komunitas atau kelompok dampingan dan masyarakat umum
b) Memberikan konseling di komunitas
c) Mengajak dan mendampingi komunitas untuk melakukan VCT
d) Menindaklanjuti jika dampingan yang di rujuk positif, bekerja sama
dengan case manager
e) Menjadi petugas minum obat bagi ODHA yang membutuhkan ARV
f) Mendampingi ODHA melakukan pemeriksaan kesehatan di Rumah
Sakit.
E.Voluntary Counseling and Testing(VCT) 1. Pengertian VCT
Konseling adalah proses pertolongan dimana seseorang dengan tulus
dan tujuan jelas memberikan waktu, perhatian dan keahliannya untuk
membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan
pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan.
Voluntary Counseling and Testing (VCT), dalam bahasa Indonesia disebut konseling dan tes sukarela, artinya sama dengan VCCT : Voluntary and Confidential Counseling and Testing. VCT merupakan kegiatan konseling bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah
untuk HIV di laboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien terlebih dahulu
setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar tentang HIV dan
AIDS.
Peran VCT sangat penting karena :
a. Merupakan pintu masuk keseluruh layanan HIV dan AIDS
b. Menawarkan keuntungan, baik bagi yang hasil tesnya positif maupun
negatif, dengan fokus pada pemberian dukungan atas kebutuhan klien
seperti perubahan perilaku, dukungan mental, dukungan terapi ARV,
pemahaman faktual dan terkini atas HIV dan AIDS
c. Mengurangi stigma masyarakat
d. Merupakan pendekatan menyeluruh : kesehatan fisik dan mental
e. Memudahkan akses ke berbagai pelayanan yang dibutuhkan klien baik
kesehatan maupun psikososial.
2. Tujuan Konseling HIV dan AIDS dalam VCT
Konseling HIV dan AIDS merupakan proses dengan tiga tujuan
umum, yaitu :
a. Menyediakan dukungan psikologis, misalnya dukungan yang berkaitan
dengan emosi, psikologis, sosial dan spiritual seseorang yang
mengidap virus HIV atau virus lainnya.
b. Pencegahan penularan HIV dengan menyediakan informasi tentang
perilaku beresiko (seperti seks aman atau penggunaan jarum bersama)
dan membantu orang dalam mengembangkan keterampilan pribadi
yang diperlukan untuk perubahan perilaku dan negosiasi praktek lebih
c. Memastikan efektivitas rujukan kesehatan, terapi, dan perawatan
melalui pemecahan masalah kepatuhan berobat dan minum obat.
3. Proses Konseling
Konseling merupakan proses interaksi antara konselor dan klien yang
membuahkan kematangan kepribadian pada konselor dan memberikan
dukungan mental emosional kepada klien. Proses konseling mencakup
upaya-upaya realistik dan terjangkau serta dapat dilaksanakan.
Selama proses berlangsung konselor bertindak sebagai pantulan
cermin bagi pikiran, perasaan dan perilaku klien. Konselor memandu klien
menemukan jalan keluar yang diyakininya. Konseling berlangsung tidak
cukup hanya satu sesi, beberapa kali pertemuan konseling sering kali
diperlukan, tergantung dari masalah dan kebutuhan klien.
Dalam pelaksanaan VCT untuk tes HIV terdapat dua proses konseling
yang dilakukan, yaitu :
a. Konseling Pra-tes HIV
Berdasarkan kebijakan Internasional, Tes HIV senantiasa didahului
konseling pra-tes. Kebijakan ini berbunyi bahwa setiap konseling sukarela
termasuk didalamnya pembuatan informed consent (pemahaman makna tes) sebelum pemeriksaan darah HIV, menjaga kerahasiaan dan konseling
pasca-tes. Konseling pra-tes HIV membantu klien menyiapkan diri untuk
pemeriksaan darah HIV, memberikan pengetahuan akan implikasi
menyesuaikan diri dengan status HIV. Dalam konseling didiskusikan juga
soal seksualitas, hubungan relasi, perilaku seksual dan suntikan beresiko,
dan membantu klien melindungi diri dari infeksi. Konseling dimaksud
juga untuk meluruskan pemahaman yang salah tentang AIDS dan
mitosnya.
Keterbatasan waktu untuk setiap klien sering menjadi kendala bagi
konselor dalam melaksanakan konseling pra-tes. Dalam waktu yang
singkat, ia harus memfokuskan diri pada masalah tentang tes, pencegahan,
dan penularan HIV. Setiap individu yang datang pada konselor membawa
banyak isu yang perlu dibicarakan, disadari ataupun tidak, sehingga tak
cukup didiskusikan dalam konseling pra-tes. Bila demikian diperlukan
perjanjian ulang untuk datang konseling lagi dilain waktu atau di rujuk ke
fasilitas yang memadai bagi kebutuhan klien.
Konseling pra-tes menantang konselor untuk dapat membuat
keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian resiko, dan merespon
kebutuhan emosi klien. Banyak orang takut melakukan tes HIV karena
berbagai alasan termasuk perlakuan diskriminasi dan stigmatisasi
masyarakat dan keluarga. Karena itu layanan VCT senantiasa melindungi
klien dengan menjaga kerahasiaan. Peletakan kepercayaan klien pada
konselor merupakan dasar utama bagi terjaganya rahasia dengan demikian
hubungan baik, saling memahami dapat terbina, suatu hal yang menjadi
sangat penting untuk membina rapport dan menunjukkan adanya layanan berfokus pada klien.
b. Konseling pasca-tes HIV
Konseling pasca tes membantu klien memahami dan menyesuaikan
diri dengan hasil tes. Konselor mempersiapkan klien untuk menerima hasil
tes, memberikan hasil tesnya, dan menyediakan informasi selanjutnya, jika
perlu merujuk klien ke fasilitas layanan lainnya. Kemudian konselor
mengajak klien mendiskusikan tentang strategi untuk menurunkan
transmisi HIV. Bentuk dari konseling pasca tes tergantung dari hasil tes.
Jika hasil tes positif, konselor menyampaikan hasil tes dengan cara yang
dapat diterima klien, secara halus dan manusiawi, bersiap untuk
memberikan dukungan emosi dan bantuan strategi penyesuaian diri.
Konseling tetap diperlukan meski hasil tes negatif.
Agar klien turun ketegangannya, konselor juga harus menekankan
dan memperjelas isu penting. Seks aman tetap disarankan, konselor
senantiasa memberi kewaspadaan akan kemungkinan hal potensial muncul
pada masa jendela. Kepastian hasil tes didapatkan melaui serangkaian tes.
Klien harus diberi informasi kapan waktu tes ulang. Konselor dapat
membantu klien dalam memformulasikan strategi lain agar tetap berada
dalam hasil tes yang negatif.
Dasar keberhasilan konseling pasca tes ditentukan oleh baiknya
konseling pra-tes. Bila konselor pra-tes berjalan baik, maka dapat terbina
mudah untuk terjadinya perubahan perilaku dimasa mendatang, dan
memungkinkan pendalaman akan masalah klien. Mereka yang menunggu
hasil tes HIV berada dalam kondisi cemas, dan mereka yang menerima
hasil tes positif akan mengalami stress. Karena itu penyaranan agar
konselor yang melakukan pasca tes adalah konselor yang juga
menjalankan konseling pra-tes perlu menjadi perhatian.
4. Pendekatan VCT
Pendekatan VCT tidak dapat dilakukan secara massal seperti
penyuluhan atau edukasi massal melainkan harus :
a. Terfokus pada klien satu persatu
b. Melakukan penilaian resiko personal dan menurunkan resiko
c. Menggali kemampuan diri dan mengarahkan rencana kedepan
d. Meneguhkan keputusan tes
e. Menindaklanjuti dukungan atas kebutuhan
Beberapa hal yang menjadi perhatian pada penerapan konseling yang
terdapat dalam VCT adalah :
a. Tak ada satu formula yang tepat bagi semua klien, karena
kebutuhannya sangat bersifat individu
b. Perlu belajar saling menerapkan dan kemudian mengembangkannya
c. Perlu respon efektif dan inovatif akan kebutuhan psikososial klien
d. Pengembangan kemampuan konseling dari para petugas dapat terus
e. Penguatan kemampuan kerja dapat dihimpun melalui jejaring
pelayanan, kebijakan tempat kerja, kebijakan nasional serta dukungan
para stake holders
5. Konselor untuk VCT
Konseling dilakukan oleh konselor terlatih yang memiliki
keterampilan konseling dan pemahaman akan seluk beluk HIV dan AIDS.
Konseling dilakukan oleh konselor yang telah dilatih dengan modul VCT.
Mereka dapat berprofesi perawat, pekerja sosial, dokter, psikolog, psikiater
atau profesi lain.
Konselor mempunyai kemampuan berjenjang dari dasar sampai mahir.
Konselor dengan kemampuan dasar dapat dilakukan oleh mereka yang
menyediakan ruang dan waktunya bagi ODHA, mempunyai keterampilan
konseling dan mampu membantu ODHA. Sementara yang profesional
dilakukan oleh mereka yang secara formal mempunyai pendidikan konseling
dan/atau psikoterapi, serta mampu melakukannya seperti psikiater, psikolog
klinis, pekerja sosial. Disamping konselor untuk klien, diperlukan juga
konselor untuk konselor. Mereka akan memberikan terapi saat konselor
mengalami atau mendekati kejenuhan/burn out.
Keterampilan yang diperlukan dalam memberikan konseling adalah :
a. Mendengarkan aktif dan mengamati
b. Mengajukan pertanyaan dan menghayati
d. Membaca dan merefleksikan perasaan
e. Membangun relasi dan persetujuan pelayanan
f. Menggali dan memahami masalah, penyebab dan kebutuhan
g. Mengenali alternatif penyelesaian masalah, memberi pertimbangan
h. Penyelesaian masalah, dapat memberikan jalan keluar dan menguatkan
diri
i. Penyelesaian masalah, konsekuensi logis dan mengakhiri.
6. Siapakah yang Memerlukan Konseling VCT
Konseling HIV dianjurkan untuk :
a. Mereka yang sudah terinfeksi HIV atau sudah AIDS, dan keluarganya
b. Mereka yang akan di tes HIV
c. Mereka yang mencari pertolongan karena merasa telah melakukan
tindakan beresiko di masa lalu, dan merencanakan masa depannya
d. Mereka yang tidak mencari pertolongan, namun beresiko tinggi
Berbagai motivasi yang mendorong seseorang mengikuti konseling,
antara lain :
• Ingin tahu status infeksi HIV dirinya
• Hubungan seksual sebelum menikah atau beresiko
• Sangat cemas
• Resiko, maksudnya adalah apabila seseorang merasa telah melakukan
perilaku beresiko yang mengakibatkan dia memiliki kemungkinan
• Menduga diri terinfeksi dengan atau tanpa gejala sakit
• Pasangan atau anak meninggal dunia dengan status HIV positif
• Berencana menikah atau berencana untuk hamil
• Berganti pasangan
• Dipersyaratkan oleh tempat kerja
• Sebagai persyaratan untuk permohonan keimigrasian atau pendidikan
7. Tes HIV
Tes HIV adalah suatu tes yang dipakai untuk mengidentifikasi
seseorang telah terinfeksi atau tidak oleh HIV. Sampai sekarang tersedia
beberapa tehnik untuk mendeteksi HIV, yaitu:
a. Tes untuk menguji antibodi HIV. (antibody adalah zat kekebalan tubuh
yang dibentuk akibat adanya rangsangan dari adanya HIV dalam tubuh
seseorang) Tes HIV ini adalah sebagai berikut :
Enzyme-linked immunosobert assay (ELISA), Westerm blot assay (WB), Latex agglutination, Indirect Immunosorbent assay (IFA), Radioimmunoprecipitation assay (RIPA)
b. Tes untuk menguji antigen HIV. (Antigen HIV adalah virus HIV itu
sendiri).
Pembiakan virus, Antigen p24, Polymerase chain reaction (PCR).
Walaupun ada beberapa cara untuk tes HIV, secara rutin hanya dipakai
pemeriksaan serum atau darah dengan tehnik ELISA untuk mengetes antobodi
dengan ELISA harus dites dengan WB untuk konfirmasinya. Penggunaan tes
untuk menguji antigen HIV hanya untuk keperluan penelitian kasus-kasus
yang sulit dideteksi dengan tes antibodi, misalnya untuk tes pada bayi yang
lahir dari ibu HIV positif, dan untuk kasus-kasus yang diperkirakan masih
berada dalam “window period”, dimana keperluan hasil tes segera dan tidak dapat menunggu lewatnya fase “window period” tersebut. Yang popular dipakai adalah tes PCR.
8. Macam-macam Hasil Tes HIV
Beberapa macam hasil tes HIV menurut buku Pedoman Nasional
Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA (Depkes, 2003) adalah
sebagai berikut :
a. HIV Positif
Artinya, seseorang sudah ditemukan positif terkena HIV, baik
didasarkan atas hasil tes darahnya ataupun didasarkan atas diagnosa sindrimik (berdasarkan kumpulan gejala-gejala yang tampak) bila gejala-gejala itu tampak.
b. Positif Palsu
Artinya, seseorang didiagnosa (dinyatakan) HIV positif secara salah. Orang tersebut tidak positif HIV, namun tes menyatakan orang
tersebut positif. Bisa terjadi karena adanya pencemaran pada darah
sebelum atau saat diperiksa, karena alat-alat yang dipakai untuk
c. Negatif Palsu
Artinya, tes darah seseorang mengatakan tidak terkena HIV meski
sebenarnya orang tersebut sudah terkena HIV. Dapat terjadi karena
tubuh belum mengeluarkan cukup banyak antibody (zat kekebalan tubuh) sehingga tidak tampak waktu di tes.
Hasil tes positif palsu dan negatif palsu dapat terjadi bila seseorang
berada dalam masa jendela (window period) sehingga perlu dilakukan
treatment atau perlakuan khusus, dimana seseorang yang melakukan VCT (tes darah) pertamakali dengan kedua hasil tes tesebut, harus melakukan
tes darah ulang selama 3 sampai 6 bulan kemudian. Tes darah dilakukan
maksimal sebanyak tiga kali, untuk mendapatkan hasil tes yang
Proses Pelaksanaan VCT
(Konseling Pra-Test dan Pasca-Tes HIV)
Gejala atau kecemasan yang membawa seseorang memutuskan untuk tes status HIV
Konseling pra tes mencakup penilaian kondisi perilaku beresiko dan kondisi psikososial, dan penyediaan informasi faktual tertulis ataupun lisan
Beri waktu untuk berpikir
Penundaan pengambilan darah Pengambilan darah
HIV positif
Sampaikan berita dengan hati-hati, menilai kemampuan mengelola berita hasil, sediakan waktu untuk diskusi, Bantu agar adaptasi dengan situasi dan buat rencana tepat dan rasional
Berikan konseling berkelanjutan yang melibatkan keluarga dan teman; gerakkan dukungan keluarga dan masyarakat; cari dukungan lainnya; tumbuhkan perilaku bertanggung jawab
Melakukan periksa ulang selama 12 bulan setelah tes atau sesudah tes. Sarankan tes ulang dan lakukan tes ulang.
Bagan 2.1:
Kerangka model ini merupakan prosedur kunci penyediaan layanan VCT. Meski demikian model memerlukan adaptasi sesuai kebutuhan layanan. Pada beberapa layanan, klien dapat datang bersama. Jika kunjungan tinggi, maka pemberian informasi dapat dilakukan secara berkelompok, baru kemudian konseling pra-tes satu per satu.
Berikan konseling berkelanjutan, termasuk dorongan untuk mengurangi penularan; motivasi untuk menurunkan resiko penularan; jika dibutuhkan kenali sumber dukungan lain, termasuk layanan medik RS, hospice (pendampingan menuju kematian) HIV negatif
Mendorong mengubah perilaku kearah positif, hilangkan yang negatif
Katakan mesti situasinya masih beresiko rendah, tetap harus merawat diri untuk hindari infeksi dan kemungkinan penularan
F. Status Identitas ODHA Setelah Melaksanakan VCT yang Didampingi oleh Lay Support
Perawatan orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) meliputi dua hal yaitu
medis dan psikologis. Pengobatan medis tidak berfungsi untuk menyembuhkan,
tetapi hanya untuk mempertahankan kualitas hidup yang lebih baik. Sedangkan
perawatan non medis seperti dukungan psikologis dari anggota keluarga, teman,
dan para relawan peduli HIV DAN AIDS sangat dibutuhkan, terutama pada masa
dimana tidak ada gejala fisik yang menonjol selama periode tanpa gejala.
Reaksi yang muncul dalam diri seseorang ketika mengetahui status
HIVnya banyak dipengaruhi oleh kesadaran dirinya terhadap perubahan yang
mungkin terjadi dalam kehidupannya dan bukan hanya tentang kematian.
Bagaimana seseorang akan memandang dirinya sendiri, akan sangat
mempengaruhi bagaimana ia akan menjalani kehidupan selanjutnya dan
bagaimana ia dapat produktif dalam hidupnya. Adanya status identitas dapat
memberikan rasa aman secara psikologis yang sangat dibutuhkan dalam
kehidupan ODHA untuk menjalani kehidupannya. Rasa aman secara psikologis
dapat diartikan adanya perjuangan hidup seorang ODHA sebelum munculnya
gejala-gejala AIDS.
Seorang ODHA pada umumnya tidak dengan mudah mengungkapkan
status identitasnya pada orang baru. Hal ini disebabkan masih banyaknya stigma
dimasyarakat yang tentunya berpandangan negatif terhadap mereka. Apa yang
mereka alami belum dapat dianggap sebagai penyakit biasa layaknya TBC atau
berbahaya dan bahkan penyakit kutukan karena perbuatan mereka yang
menyimpang, sehingga banyak sekali teman-teman ODHA yang mengalami
diskriminasi terhadap apapun yang menjadi hak mereka. Kondisi seperti inilah
yang menyebabkan mereka semakin terpuruk dan sangat membutuhkan dukungan
secara psikologis agar hidup yang mereka jalani tetap berjalan secara normal dan
berkualitas layaknya orang biasa. Salah satu yang berperan besar dalam
mendampingi mereka agar dapat mejalani kehidupannya dengan kualitas yang
baik, mampu menjalani pencarian status identitas dengan arah yang positif adalah
peran petugas Lay Support.
Dari penjelasan diatas penelitian ini ingin melihat bagaimana status
identitas ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS) setelah melaksanakan VCT yang
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif
deskriptif, yaitu penelitian yang bertumpu atau menitikberatkan pada narasi
(deskripsi) untuk mengungkap kompleksitas permasalahan yang diteliti
(Poerwandari, 2001). Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan atau
menggambarkan suatu fenomena yang terjadi di masa sekarang. Dalam penelitian
ini, masalah yang akan diungkap adalah status identitas ODHA (Orang Dengan
HIV dan AIDS) setelah melaksanakan VCT yang didampingi oleh Lay Support.
B. Subyek Penelitian
Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif mempunyai
karakteristik : (1) tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar, melainkan
fokus pada kasus dengan tipikal yang sesuai kekhususan masalah penelitian, (2)
tidak ditentukan secara kaku sejak awal tetapi dapat berubah baik dalam hal
jumlah maupun karakteristik sampelnya sesuai dengan pemahaman konseptual
yang berkembang dalam penelitian, dan (3) tidak diarahkan pada keterwakilan
(dalam arti jumlah/peristiwa acak) melainkan pada kecocokan konteks
(Sarantakos dalam Poerwandari, 1998).
Pengambilan subjek penelitian disesuaikan dengan jenis penelitian, yaitu
studi deskriptif yang mengungkapkan penjabaran secara mendalam. Subyek yang