S TR U KTU R M ED AN GALOIS
Skr ipsi
Diajukan un tuk Mem enuh i Salah Satu Syarat Mem p eroleh Gelar Sarjana Sain s
Program Studi Matem atika
Oleh
LAM H OT
98 31140 15
J URUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, Mei 2007 Penulis
ABSTRACT
There exists a finite field of order p, namely Zp, for any prime p. According to Galois, a finite field of order a power of a prime could be constructed if an irreducible polynomial of positive degree over Zp could be found. In fact, an irreducible polynomial of positive degree over Zp can be found. Thus for any prime p and any positive integer
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kemampuan yang telah diberikan-Nya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini mulai dari mempersiapkan bahan, mendapatkan ide, mengolah kreativitas, hingga terbentuknya skripsi ini menjadi sebuah karya ilmiah. Maka dengan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Romo Frans Susilo sebagai Pembimbing skripsi dan akademik. Terima kasih atas koreksi-koreksinya yang indah, juga ketelitiannya yang memberikan banyak masukan kepada penulis.
2. Bapak Aris Dwiatmoko sebagai Dekan FMIPA yang selalu menjadi bapak bagi mahasiswa-mahasiswanya.
3. Bapak Y.G. Hartono sebagai Kaprodi Matematika yang siap setiap saat menjadi mediator bagi mahasiswa, juga banyak memberikan diskusi yang baik.
4. Ibu Any Herawati yang memberikan banyak koreksi dan masukan kepada penulis. 5. Bapak Andy Rudhito yang memberikan banyak koreksi dan masukan kepada
penulis.
6. Perpustakaan USD dan Sekretariat FMIPA yang banyak membantu mengolah data dan kepentingan penulis.
7. Keluargaku tercinta yang dengan sabar mendampingi penulis selama mengikuti pendidikan hingga selesai. Curahan kasih sayang, doa, dan bekal moral yang diberikan sungguh menjadi pegangan hidup bagi penulis.
8. Bapak Y. Suroto dan Ibu Harum Juwita yang selalu memberikan semangat kepada penulis.
9. Dik Tanti yang selalu mendampingi penulis dengan doa dan kebersamaan. Suka duka yang telah kami alami bersama memberikan banyak pelajaran berharga kepada penulis.
10. Adik-adikku Reni, Adi Nugroho, dan Vanda yang memberikan banyak senyum dan kelucuan sebagai penghibur kepada penulis.
Tak ada gading yang tak retak, demikian pula skripsi ini tidak akan pernah menjadi sempurna. Namun demikian penulis bersyukur karena telah ikut berpartisipasi dalam mencerdaskan bangsa. Kesempatan yang penulis dapatkan sungguh sangat berharga dan penulis berharap kelak dapat ambil bagian dalam mengembangkan pendidikan. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat.
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERSEMBAHAN
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
ABSTRAK
ABSTRACT
PRAKATA
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Perumusan Masalah 1
1.3. Tujuan Penulisan 1
1.4. Metode Penulisan 2
1.5. Sistematika Pembahasan 2
BAB II GRUP DAN GELANGGANG 3
2.1. Operasi Biner 3
2.2. Grup dan Teorema Lagrange 4
2.3. Gelanggang dan Medan 20
2.4. Bilangan Bulat Modulo n 28
2.5. Ideal dan Teorema Isomorfisma 32
BAB III STRUKTUR MEDAN GALOIS 72
3.1. Perluasan Medan 72
3.2. Ruang Vektor 87
3.3. Medan Galois 93
BAB IV PENUTUP 109
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Teori Galois merupakan salah satu teori besar dan elegan dalam aljabar abstrak. Teori ini diberi nama demikian sebagai penghargaan atas ide dan hasil kerja dari seorang matematikawan muda berkebangsaan Perancis, Evariste Galois (1811−1832).
Teorema Fundamental Galois masih menjadi topik menarik dalam banyak diskusi saat ini. Karena merupakan teori besar, ruang lingkup teori Galois cukup luas. Salah satunya adalah teori Galois pada medan berhingga (kemudian disebut sebagai medan Galois) yang menjadi pembicaraan dalam tulisan ini.
Diawali dengan dibuktikannya Zp = {[0], [1], [2], …, [p − 1]} medan, kemudian dapat dikonstruksi medan dengan 4 elemen, sampai pada akhirnya dapat dikonstruksi medan dengan pn elemen untuk setiap bilangan prima p dan setiap bilangan bulat n> 1. Pertanyaan menarik untuk ditanyakan adalah berapa banyak medan dengan pn elemen? Apakah ada medan berhingga lainnya selain medan dengan pn elemen? Dan hal utama untuk diselidiki pada struktur suatu sistem aljabar adalah berapa banyak submedan dari medan dengan pn elemen?
1.2. Perumusan Masalah
Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan tulisan ini adalah untuk mengenal lebih jauh teori medan yang sudah dipelajari dalam perkuliahan dan memperkenalkan medan Galois. Selain itu tulisan ini juga mendeskripsikan beberapa konsep berkaitan dengan teori Galois.
1.4. Metode Penulisan
Penyusunan skripsi ini murni menggunakan metode studi pustaka.
1.5. Sistematika Pembahasan
GRUP DAN GELANGGANG
2.1. Operasi Biner
Operasi biner pada himpunan takkosong B adalah aturan yang mengaitkan setiap dua anggota dalam B dengan tepat satu anggota dalam B. Lebih tepatnya, operasi biner
pada B adalah sebuah pemetaan µ : B × B →B. Berarti µ memetakan (mengawankan) setiap anggota pasangan terurut (x, y) dari anggota-anggota dalam B dengan suatu anggota µ(x, y) dalam B.
Elemen (anggota) µ(x, y) dinyatakan dalam bentuk x∗ y. Karena x ∗ y ∈B untuk
x, y ∈B, maka himpunan B dikatakan bersifat tertutup terhadap operasi ∗. Selanjutnya himpunan B yang dilengkapi dengan operasi biner ∗ ditulis (B, ∗).
Contoh 2.1.1.
Pada himpunan semua bilangan real R, operasi-operasi penjumlahan, pengurangan, dan perkalian adalah operasi-operasi biner sebab jika a ∈ R dioperasikan dengan b ∈ R, masing-masing menghasilkan tepat satu a + b, a – b, ab dalam R. Sedangkan operasi pembagian bukanlah operasi biner pada R, karena hasil bagi a b tidak terdefinisi untuk
b= 0.
Contoh 2.1.2.
2.2. Grup dan Teorema Lagrange
Dalam membicarakan sistem aljabar, tidak ada aturan untuk mulai dari mana dulu. Namun idealnya dimulai dari grup. Kemudian sistem aljabar lainnya seperti gelanggang, daerah integral, dan medan hanyalah memperluas definisi sebelumnya.
Definisi 2.2.1.
Himpunan (G, ∗) disebut grup jika dan hanya jika memenuhi sifat-sifat (i) operasi biner (disingkat operasi) ∗ bersifat asosiatif, yaitu
(a∗b) ∗c=a∗ (b∗ c), ∀a, b, c∈G
(ii) terdapat elemen identitaseG ∈G dengan sifat
x∗eG =eG ∗x= x, ∀x∈G
(iii) setiap elemen x∈G mempunyai inversx−1∈G dengan sifat
x−1∗x=x∗ x−1=eG.
Definisi 2.2.2.
Operasi ∗ dikatakan bersifat komutatif jika dan hanya jika a ∗ b = b ∗ a, ∀a, b ∈ G. Grup (G, ∗) disebut grup komutatif jika dan hanya jika operasi ∗ bersifat komutatif.
Contoh 2.2.1.
Misalkan G grup dan x∈G, maka untuk n∈Z didefinisikan (i) x0=eG.
(ii) Jika n> 0, maka xn=xn−1∗x.
(iii) Jika n< 0, yaitu n=−m dengan m> 0, maka xn= (x−1)m.
Teorema 2.2.1.
(i) Hukum Kanselasi
Jika a ∗ b =a ∗ c, maka b = c untuk setiap a, b, c dalam grup G. Demikian juga jika b∗a=c ∗a, maka b=c.
(ii) Penyelesaian Tunggal dalam Persamaan Linear
Jika x∗a =b, maka x=b∗a−1 untuk setiap a, b dalam grup G. Juga jika a∗x=b, maka x=a−1∗b.
(iii) Ketunggalan Identitas
Grup G hanya mempunyai satu elemen identitas. (iv) Ketunggalan Invers
Setiap elemen dalam grup G mempunyai tepat satu invers. (v) Sifat-sifat Invers
Jika G grup, maka untuk setiap a, b∈G berlaku 1. (a∗b)−1=b−1∗a−1.
(vi) Hukum Eksponen
Jika G grup dan a∈G, maka untuk m, n∈Z berlaku 1. am∗an=am+n.
2. (am)n=amn.
BUKTI.
(i) Ambil sembarang a, b, c∈G sedemikian sehingga a ∗ b = a ∗ c. Maka menurut Definisi 2.2.1(iii), ada a−1∈ G sedemikian sehingga a−1∗ (a ∗b) =a−1∗ (a ∗ c). Dengan Definisi 2.2.1, didapat b = c. Dengan cara yang sama, jika b ∗ a = c∗ a
maka b=c.
(ii) Jika x∗ a =b, maka dengan Definisi 2.2.1(i) dan (iii), x= (x∗ a) ∗ a−1=b ∗ a−1. Dengan cara yang sama, jika a∗ x=b maka x=a−1∗b.
(iii) Misalkan eG dan fG elemen-elemen identitas dalam G. Maka x∗ eG = eG ∗ x= x
dan x∗fG =fG ∗x=x, untuk setiap x∈G. Jadi eG =eG ∗fG =fG.
(iv) Ambil sembarang a ∈ G. Misalkan a1−1 dan a2−1 invers-invers dari a dalam G. Maka a1−1∗ a=a ∗ a1−1= eG dan a2−1∗a =a ∗a2−1= eG. Jadi a1−1= a1−1∗ eG=
a1−1∗ (a∗a2−1) = (a1−1∗a) ∗a2−1=eG ∗a2−1=a2−1.
(v) 1. (a ∗ b) ∗ (b−1∗a−1) =a∗ (b∗ b−1) ∗a−1= eG. Jadi b−1∗ a−1 invers dari a ∗ b
(ketunggalan invers).
2. Menurut Definisi 2.2.1(ii) dan (iii), eG ∗ eG = eG = eG ∗ eG−1. Dengan hukum kanselasi, maka eG =eG−1.
1. Dibuktikan dengan Induksi Matematis.
Pangkal Untuk n= 0, maka am∗an=am∗a0=am∗eG =am=am+0=am+n. Langkah Untuk n> 0, diasumsikan benar untuk n=k, yaitu am∗ak=am+k.
Dibuktikan benar untuk n=k+ 1.
am∗ak+1=am∗ak∗a=am+k∗a=am+k+1.
Untuk n < 0, misalkan n = −p dengan p > 0. Sehingga am ∗ an = am ∗ a−p = a−(−m)∗a−p= (a−1)−m∗ (a−1)p= (a−1)−m+p=a−(−m+p)=am−p=am+n.
Jadi am∗an=am+n.
2. Dibuktikan dengan Induksi Matematis.
Pangkal Untuk n= 0, maka (am)n= (am)0=eG =a0=a m0=amn. Langkah Untuk n> 0, diasumsikan benar untuk n=k, yaitu (am)k=amk.
Dibuktikan benar untuk n=k + 1.
(am)k+1= (am)k∗am=amk∗am=amk+m=am(k+1).
Untuk n < 0, misalkan n =−p dengan p> 0.Maka (am)n= (am)−p= ((am)−1)p= (a−m)p=a−mp=am(−p)=amn.
Jadi (am)n=amn. ■
Grup Z mempunyai takhingga banyak anggota. Himpunan ({0}, +) juga grup, tetapi hanya mempunyai satu anggota. Jadi banyaknya anggota dalam suatu grup dapat berhingga atau takhingga. Banyaknya anggota dalam grup G atau bilangan kardinal G
Definisi 2.2.4.
Misalkan G grup dan H⊆ G. Himpunan H disebut subgrup dari G (ditulis H ≤G) jika dan hanya jika (H, ∗) grup di mana ∗ adalah operasi pada G.
Definisi 2.2.4 di atas mengatakan bahwa jika H≤G, maka (H, ∗) bersifat tertutup, hukum asosiatif berlaku, mempunyai elemen identitas eH = eG (ketunggalan elemen identitas), dan setiap elemen dalam H mempunyai invers. Jelas {eG} dan G merupakan subgrup-subgrup dari G.
Teorema 2.2.2 (Uji Subgrup).
Jika G grup dan H⊆G, maka H≤G jika dan hanya jika (i) H≠∅,
(ii) (∀h1, h2 ∈H) h1 ∗h2 ∈H, (iii) (∀h∈H) h−1∈H.
BUKTI.
( ⇒ ) Jika H≤G, maka menurut Definisi 2.2.4, (i), (ii), dan (iii) terpenuhi.
( ⇐ ) Karena H ⊆ G dan berlaku (ii), maka H bersifat tertutup dan berlaku asosiatif. Kemudian jika h ∈ H, maka dari (ii) dan (iii), h ∗ h−1 = eH ∈ H dan h−1 ∈ H.
Menurut Definisi 2.2.4, H≤G. ■
Teorema 2.2.3.
Karena a0= eG, maka eG ∈〈a〉 sehingga 〈a〉≠∅. Ambil sembarang am, an∈ 〈a〉 untuk suatu m, n ∈Z. Maka am∗ an=am+n∈〈a〉 dan (am)−1=a−m∈〈a〉. Dari Teorema 2.2.2,
〈a〉 subgrup dari G. ■
Subgrup 〈a〉 di atas dinamakan subgrup siklik dari grup G yang dihasilkan atau
dibangun oleh a ∈ G. Teorema berikut menjelaskan apa yang terjadi jika dua elemen pangkat dari a∈G sama.
Teorema 2.2.4.
Jika G grup dan a ∈G sedemikian sehingga ar = as untuk suatu r, s∈Z dengan r≠ s, maka
(i) terdapat bilangan bulat positif terkecil n sedemikian sehingga an=eG, (ii) jika t∈Z, maka at=eG jika dan hanya jika n adalah faktor dari t,
(iii) 〈a〉= {eG, a, a2, …, an−1} di mana eG, a, a2, …, an−1 adalah elemen-elemen yang saling berbeda.
BUKTI.
(i) Jika ar=as dan r>s, maka ar∗a−s=eG ⇔ar−s=eG. Misalkan n= r −s> 0, maka
an= eG. Menurut prinsip bilangan bulat, terdapat bilangan bulat positif terkecil n sedemikian sehingga an=eG. Analog untuk s>r.
dengan 0 ≤ r<n. Maka eG =at=anq+r= anq∗ar= (an)q∗ar= (eG)q∗ar= ar. Padahal dari (i) diketahui bahwa n adalah bilangan bulat positif terkecil sedemikian sehingga an=eG, maka haruslah r= 0. Ini menunjukkan bahwa
t=nq.
( ⇐ ) Jika n adalah faktor dari t, maka t=nw. Jadi at=anw= (an)w= (eG)w=eG. (iii) Ambil sembarang am ∈ 〈a〉 untuk suatu m ∈ Z. Menurut algoritma pembagian
pada bilangan bulat, terdapat dengan tunggal bilangan bulat u dan v sedemikian sehingga m= nu + v dengan 0 ≤ v < n. Maka am= anu+v =anu ∗av = (an)u∗ av=
(eG)u∗av=av. Jadi am sama dengan tepat salah satu dari a0, a1, a2, …, an−1.
Untuk menunjukkan bahwa elemen-elemen a0, a1, a2, …, an−1 saling berbeda, misalkan av = aw di mana 0 ≤ v< n dan 0 ≤ w < n. Jika v ≥ w, maka av−w = eG dengan v− w ≥ 0. Dan menurut (ii), n adalah faktor dari v − w. Tetapi perhatikan bahwa 0 ≤v−w<n, maka haruslah v− w= 0, yaitu v= w. Demikian juga analog untuk w≥v.
Jadi 〈a〉= {eG, a, a2, …, an−1}. ■
Definisi 2.2.5 (Order Elemen).
Jika terdapat bilangan bulat positif terkecil n sedemikian sehingga an = eG, maka n
disebut order a dalam grup G, dinotasikan ο(a). Tetapi jika tidak terdapat bilangan bulat positif terkecil yang dimaksud di atas, maka a dikatakan berorder takhingga.
Akibat 2.2.5.
Jika ο(a) = n, maka menurut Teorema 2.2.4(iii), 〈a〉 = {eG, a, a2, …, an−1}, sehingga
〉
〈a = n = ο(a). Jika a berorder takhingga, maka tidak terdapat bilangan bulat positif
terkecil n sedemikian sehingga an= eG. Jadi ar≠ as untuk setiap bilangan bulat r dan s,
sehingga 〈a〉 takhingga. ■
Definisi 2.2.6.
Jika a∈G dan G=〈a〉, maka grup G disebut grup siklik yang dibangun atau dihasilkan oleh a.
Contoh 2.2.2.
Grup Z adalah grup siklik yang dihasilkan oleh 1 atau −1. Perhatikan bahwa di sini 1n adalah 1 + 1 + … + 1 =n1.
Jika G grup siklik yang dihasilkan oleh a ∈ G, maka setiap elemen dalam G
berbentuk ak untuk suatu k ∈ Z. Jika G berorder n, maka G = {eG, a, a2, …, an−1}. Selanjutnya faktor persekutuan terbesar dari k dan n ditulis (k, n).
Teorema 2.2.6 (Sifat-sifat Grup Siklik).
Jika G grup siklik berorder n yang dihasilkan oleh a∈G dan 1 ≤k<n, maka (i) G grup komutatif.
(iv) Jika (k, n) = 1, maka ak membangun G.
(v) Jika kn, maka G mempunyai tepat satu subgrup berorder k.
BUKTI.
(i) Ambil sembarang elemen-elemen am, an∈G. Maka am∗an=am+n=an+m=an∗am
untuk suatu m, n∈Z. Menurut Definisi 2.2.2, G grup komutatif.
(ii) Ambil sembarang H ≤ G. Jelas H = {eG} adalah subgrup siklik. Jika H ≠ {eG}, maka terdapat ak ∈ H untuk suatu bilangan bulat positif k. Misalkan m adalah bilangan bulat positif terkecil sedemikian sehingga am ∈ H. Selanjutnya akan ditunjukkan H=〈am〉, yaitu setiap elemen dalam H adalah pangkat dari am.
Ambil sembarang b ∈H, maka b =at untuk suatu t∈ {0, 1, …, n − 1}. Menurut algoritma pembagian pada bilangan bulat, terdapat dengan tunggal bilangan bulat
q, r sedemikian sehingga t=mq+r dengan 0 ≤r<m. Maka at=amq+r= (am)q∗ar ⇔ ((am)q)−1∗ at = ar. Perhatikan bahwa am, at ∈H, sehingga ar ∈H. Kemudian, karena 0 ≤r<m dan m adalah bilangan bulat positif terkecil sedemikian sehingga
am∈H, maka haruslah r= 0. Jadi b=at=amq= (am)q.
(iii) Jika G adalah grup siklik berorder n yang dihasilkan oleh a ∈ G, maka an= eG. Perhatikan bahwa 〈ak〉 merupakan bilangan bulat positif terkecil s sedemikian sehingga (ak)s =aks= eG. Menurut Teorema 2.2.4(ii), aks =eG jika dan hanya jika
ks
) , (k n
n .
(iv) Jika (k, n) = 1, maka dari (iii), 〈ak〉 = n 1 =n= G , sehingga 〈ak〉=G.
(v) Jika kn, maka n=ku untuk suatu bilangan bulat positif u dan (u, n) =u. Dari (iii),
au membangun subgrup berorder n u =k. Jadi G mempunyai subgrup berorder k. Akan ditunjukkan subgrup berorder k tunggal. Misalkan L dan M subgrup-subgrup berorder k. Maka L = M . Jelas L= M untuk L = M = 1. Dari (ii), L dan M
adalah siklik, yaitu L=〈ar〉 dan M=〈as〉 untuk suatu bilangan bulat positif r dan s. Karena eG = an, maka an dalam 〈ar〉 dan 〈as〉. Ini berarti an adalah pangkat dari ar
dan as, sehingga rn dan sn. Jadi (r, n) = r dan (s, n) = s. Maka menurut (iii),
〉 〈 r
a = n (r,n) = n r dan 〈as〉 = n (s,n) = n s. Jadi jika 〈ar〉 = 〈as〉, maka
r
n = n s ⇔r=s, sehingga 〈ar〉=〈as〉 atau L=M. ■
Jadi dari teorema di atas, berarti banyaknya subgrup dari grup siklik berhingga G
adalah banyaknya bilangan bulat positif yang membagi order G. Selanjutnya Lagrange membuktikan bahwa order subgrup dari grup berhingga harus membagi order grupnya. Dibahas dahulu tentang suatu subhimpunan dari grup yang dinamakan koset.
Teorema 2.2.7.
Misalkan G grup dan H≤G. Jika relasi ∼ pada G didefinisikan dengan
BUKTI.
Akan dibuktikan ∼ bersifat refleksif, simetris, dan transitif.
Karena a ∗ a−1= eG ∈ H, maka a ∼a, yaitu ∼ refleksif. Jika a ∼ b, maka b∗ a−1∈ H, sehingga (b ∗a−1)−1=a ∗b−1∈H, yaitu b ∼a. Berarti ∼ simetris. Jika a ∼b dan b∼c, maka b ∗a−1∈H dan c∗ b−1∈H. Maka (c∗b−1) ∗ (b∗a−1) =c∗a−1∈H. Jadi a∼c,
sehingga ∼ transitif. ■
Kelas-kelas ekivalensi dari ∼ dinamakan koset kanan dari H dalam G. Jika b∗ a−1
diganti dengan a−1∗ b, maka kelas-kelas ekivalensi dari ∼ dinamakan koset kiri dari H
dalam G.
Akibat 2.2.8 (Bentuk Koset).
Misalkan G grup dan H≤G. Setiap koset kanan dari H berbentuk Ha= {h∗a : h∈H} dan koset kiri dari H berbentuk aH= {a∗h : h∈H}, untuk suatu a ∈G.
BUKTI.
Misalkan K adalah koset kanan dari H dalam G, maka K adalah kelas ekivalensi dari ∼ yang memuat suatu elemen a ∈G, yaitu K= {b∈G : a∼b} = {b ∈G : b ∗a−1∈H}. Selanjutnya akan dibuktikan K= Ha. Ambil sembarang x∈ K, maka x∗ a−1= h ∈H, sehingga x= h ∗ a ∈Ha. Kemudian jika x∈ Ha, maka x= h ∗ a untuk suatu h ∈ H, berarti x∗a−1=h∈H, sehingga x∈K. Jadi x∈K jika dan hanya jika x∈Ha untuk ∀x, sehingga K= Ha. Dengan cara yang sama, maka setiap koset kiri dari H dalam G pasti
Misalkan G grup, H≤G dan a, b∈G. Maka Ha=Hb jika dan hanya jika b∗a−1∈H.
BUKTI.
( ⇒ ) Karena b ∈Hb, yaitu b = eH ∗ b dan Ha= Hb, maka b ∈Ha. Ini berarti untuk suatu h∈H, b=h∗a⇔b∗a−1=h. Jadi b∗a−1∈H.
( ⇐ ) Diasumsikan b ∗a−1∈H. Akan dibuktikan Ha= Hb. Ambil sembarang elemen dalam Ha katakanlah h ∗a dengan h∈H. Karena b∗a−1∈H, maka (b ∗a−1)−1
= a ∗ b−1 ∈H, sehingga h ∗ a = (h ∗ a ∗ b−1) ∗ b ∈Hb. Jadi Ha⊆ Hb. Untuk sembarang h ∗ b ∈ Hb, maka h ∗ b = (h ∗ b ∗ a−1) ∗ a ∈ Ha. Jadi Hb ⊆ Ha,
sehingga Ha=Hb. ■
Misalkan H subgrup dari grup G dan ∼ adalah relasi ekivalensi pada G yang didefinisikan dalam Teorema 2.2.7. Maka kelas-kelas ekivalensi dari ∼ membentuk suatu partisi dari G, yaitu subhimpunan-subhimpunan takkosong dari G yang saling asing (atau saling lepas, tidak saling tumpang tindih) dan G harus merupakan gabungan dari subhimpunan-subhimpunan tersebut. Jadi partisi dari G yang ditimbulkan oleh kelas-kelas ekivalensi dari ∼ terdiri dari koset-koset kanan dari H dalam G. Di bawah ditunjukkan bahwa H berkorespondensi satu-satu dengan setiap kosetnya. Jadi jika G
berhingga, maka banyaknya elemen dalam G kelipatan dari banyaknya elemen dalam H.
Lema 2.2.10.
BUKTI.
Didefinisikan µ : H→Ha dengan aturan µ(h) =h∗ a, ∀h ∈H. Pemetaan µ terdefinisi dengan baik sebab untuk sembarang h1, h2 ∈ H dengan h1 =h2, maka h1 ∗ a = h2 ∗ a, yaitu µ(h1) =µ(h2). Kemudian jika µ(h1) =µ(h2), maka h1 ∗a=h2 ∗a, sehingga h1 =h2. Jadi pemetaan µ injektif. Jelas pemetaan µ surjektif sebab jika x∈Ha, maka x= h∗ a
untuk suatu h ∈H. Jadi pemetaan µ bijektif, sehingga H = Ha. Dengan cara yang
sama, maka H = aH .
Terbukti Ha = H = aH . ■
Teorema 2.2.11 (Teorema Lagrange).
Jika G grup berhingga dan H≤G, maka order H membagi order G.
BUKTI.
Grup G adalah gabungan koset-koset kanan dari H yang saling asing, yaitu
U
k
i i Ha G
1 =
=
di mana Hai ∩Haj =∅, i≠j. Menurut Lema 2.2.10, Hai = H untuk setiap i. Maka
G = Ha1 + Ha2 + … + Hak = H + H + … + H =k H . Jadi G H =k. ■
Akibat 2.2.12.
(i) Jika G grup berhingga, maka order a membagi order G dan aG =eG, ∀a∈G. (ii) Grup G berorder prima adalah grup siklik yang dihasilkan oleh setiap a ≠eG ∈G
(i) Dari Akibat 2.2.5, ο(a) = 〈a〉. Karena 〈a〉 subgrup, maka 〈a〉 membagi G . Jadi
ο(a) membagi G . Kemudian dari Teorema 2.2.4(ii), aG =eG untuk ∀a∈G.
(ii) Diasumsikan G berorder prima p. Pilih a ≠ eG ∈ G. Menurut (i), ο(a) = 〈a〉 = p,
sehingga G = 〈a〉. Berarti G grup siklik yang dihasilkan oleh setiap a ≠ eG ∈ G. Kemudian jika H≤ G, maka haruslah H = 1 atau H =p (Teorema Lagrange). Jadi subgrup-subgrup yang memenuhi hanyalah {eG} dan G. ■
Sudah terbukti jika H≤ G, maka G =k H . Jadi bilangan k ini adalah banyaknya
koset kanan dari H sebab setiap koset kanan dari H mempunyai H elemen.
Definisi 2.2.7.
Jika G grup dan H ≤ G, maka banyaknya koset kanan dari H dalam G disebut indeks
dari H dalam G, dinotasikan (G:H).
Definisi 2.2.8.
Subgrup N dari grup G disebut subgrup normal (dinotasikan N<G) jika dan hanya jika (∀g∈G) (∀n ∈N) g ∗n∗g−1∈N.
Teorema 2.2.13.
BUKTI.
Terlebih dahulu dibuktikan bahwa operasi • dalam G N terdefinisi dengan baik. Ambil sembarang Na1, Na2, Nb1, Nb2 ∈ G N sedemikian sehingga Na1 =Na2 dan Nb1 = Nb2. Akan ditunjukkan N(a1 ∗b1) =N(a2 ∗b2). Jika Na1 =Na2 dan Nb1 =Nb2, maka menurut Lema 2.2.9, a2 ∗ a1−1= n1 ∈N dan b2 ∗b1−1=n2 ∈N untuk suatu n1, n2 ∈N. Sehingga
a2 =n1 ∗a1 dan b2 =n2 ∗b1. Perhatikan bahwa
a2 ∗b2 = (n1 ∗a1) ∗ (n2 ∗b1)
= n1 ∗ (a1 ∗n2 ∗a1−1) ∗a1 ∗b1
= n1 ∗n3 ∗a1 ∗b1 (N<G)
= n4 ∗ (a1 ∗b1).
Sehingga (a2 ∗b2) ∗ (a1 ∗b1)−1=n4 ∈N. Menurut Lema 2.2.9, N(a1 ∗b1) =N(a2 ∗b2). Selanjutnya ambil sembarang Na, Nb, Nc ∈ G N. Maka Na •Nb= N(a ∗ b) ∈ G N
sebab G grup. Berarti • bersifat tertutup. Kemudian, (Na•Nb) •Nc= N(a ∗b) •Nc= N(a ∗ b∗ c) =Na •N(b ∗ c) = Na• (Nb •Nc). Sehingga • bersifat asosiatif. Terdapat identitas NeG ∈ G N sebab berlaku Na•NeG =N(a∗eG) =Na=N(eG ∗a) =NeG •Na. Akhirnya, Na•Na−1=N(a ∗a−1) = NeG = N(a−1∗ a) =Na−1•Na. Dan ini berarti Na−1
invers dari Na.
Terbukti G N grup. ■
Grup koset-koset kanan dari subgrup normal N dalam grup G (ditulis G N) disebut
grup faktor.
Lema 2.2.14.
Jika G grup komutatif dan N≤G, maka N<G dan G N grup komutatif.
BUKTI.
Ambil sembarang a ∈G dan n ∈N. Maka a ∗ n ∗ a−1=n ∗ a ∗ a−1 =n ∈ N sebab G
grup komutatif. Menurut Definisi 2.2.8, N<G. Dan karena N normal dalam G, maka terdapat grup faktor G N. Selanjutnya ditunjukkan G N komutatif. Ambil sembarang
Na, Nb ∈ G N. Maka Na • Nb = N(a ∗ b) = N(b ∗ a) = Nb • Na. Dengan demikian
N
G grup komutatif. ■
Teorema 2.2.15.
Jika G grup berhingga dan N<G, maka G N = G N .
BUKTI.
Teorema Lagrange telah membuktikan bahwa G = (G:N) N di mana (G:N) adalah
2.3. Gelanggang dan Medan
Dalam grup didefinisikan sebuah operasi bersifat umum, dapat berupa operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, komposisi, dan sebagainya. Jadi jika G adalah grup terhadap operasi penjumlahan, maka operasi tersebut yang dipakai.
Dalam gelanggang didefinisikan dua buah operasi, yaitu operasi + (penjumlahan) dan operasi ⋅ (perkalian), bahkan kombinasi dari kedua operasi tersebut. Ini membuat gelanggang sedikit lebih sulit daripada grup, tetapi hal ini justru membuat obyek-obyek gelanggang kurang bervariasi dibandingkan grup, dalam arti grup lebih mudah untuk dieksplorasi.
Definisi 2.3.1.
Himpunan (R, +, ⋅) disebut gelanggang jika dan hanya jika memenuhi sifat-sifat (i) (R, +) grup komutatif,
(ii) operasi ⋅ bersifat asosiatif,
(iii) kombinasi operasi + dan ⋅ bersifat distributif, yaitu
(a+b) ⋅c= (a⋅c) + (b⋅c) dan c⋅ (a+b) = (c⋅a) + (c⋅b) untuk ∀a, b, c∈R.
Dari definisi gelanggang di atas, akan diuraikan sifat (i) di mana R adalah grup aditif (grup dengan operasi penjumlahan) yang komutatif. Untuk setiap a, b, c ∈ R, maka sifat asosiatif berarti (a+b) +c=a + (b +c), sifat komutatif berarti a+b=b+ a, kemudian elemen identitas adalah 0 di mana a+ 0 =a, dan invers aditif dari a adalah −a
di mana (−a) + a = 0. Selanjutnya dari definisi pangkat suatu elemen, maka di sini an
Gelanggang (R, +, ⋅) disebut gelanggangkomutatif jika dan hanya jika operasi ⋅ bersifat komutatif.
Contoh 2.3.1.
Himpunan semua bilangan bulat (Z, +, ⋅), himpunan semua bilangan rasional (Q, +, ⋅), himpunan semua bilangan real (R, +, ⋅), himpunan semua bilangan kompleks (C, +, ⋅) adalah gelanggang-gelanggang komutatif.
Gelanggang R merupakan grup aditif. Jika operasi ∗ dalam Teorema 2.2.1 diganti dengan operasi +, maka dalam R berlaku hukum kanselasi aditif, penyelesaian tunggal dari persamaan linear aditif, ketunggalan elemen identitas, ketunggalan invers aditif,
sifat-sifat invers aditif, dan hukum eksponen aditif.
Proposisi 2.3.1.
Misalkan R gelanggang dengan elemen identitas 0 dan a, b, c∈R. Maka berlaku (i) 0 ⋅a=a ⋅ 0 = 0.
(ii) a ⋅ (−b) = (−a) ⋅b=−(a ⋅b). (iii) (−a) ⋅ (−b) =a ⋅b.
BUKTI.
(ii) (a ⋅b) + (a⋅ (−b)) =a⋅ (b+ (−b)) =a⋅ 0 = 0. Jadi a⋅ (−b) adalah invers aditif dari
a⋅b, yaitu −(a⋅b) =a⋅ (−b). Dengan cara yang sama, maka −(a⋅b) = (−a) ⋅b. (iii) Dari (ii) dan sifat invers aditif, maka didapat (−a) ⋅ (−b) =−(a ⋅ (−b)) =−(−(a⋅b))
=a⋅b. ■
Definisi 2.3.3.
Misalkan R gelanggang dan S⊆R. Himpunan S disebut subgelanggang dari R jika dan hanya jika (S, +, ⋅) gelanggang di mana + dan ⋅ adalah operasi pada R.
Teorema 2.3.2 (Uji Subgelanggang).
Jika R gelanggang dan S⊆R, maka S subgelanggang dari R jika dan hanya jika (i) S≠∅,
(ii) (∀a, b∈S) a+b∈S dan a⋅b∈S, (iii) (∀a∈S) −a∈S.
BUKTI.
( ⇒ ) Definisi 2.3.3.
( ⇐ ) Karena S ⊆R dan berlaku (ii), maka operasi + dan ⋅ bersifat asosiatif, tertutup, dan kombinasinya bersifat distributif. Jika diambil sembarang a ∈S, maka dari (ii) dan (iii), a+ (−a) = 0 ∈S dan −a ∈S. Di sini S grup aditif komutatif sebab operasi + pada R bersifat komutatif.
Elemen 1R dalam gelanggang R disebut elemensatuan jika dan hanya jika untuk setiap
a ∈ R berlaku a ⋅ 1R = 1R ⋅ a = a. Jika R mempunyai elemen satuan, maka R disebut
gelanggang dengan elemen satuan.
Jadi elemen satuan merupakan elemen identitas terhadap operasi ⋅. Jika elemen identitas 0 adalah elemen satuan 1R, maka gelanggang R menjadi gelanggang nol {0}. Untuk selanjutnya gelanggang R dengan elemen satuan diasumsikan bukan {0}.
Definisi 2.3.5.
Misalkan R gelanggang dengan elemen satuan 1R. Elemen u ≠ 0 dalam R disebut unit, jika mempunyai invers multiplikatif u−1 sedemikian sehingga u−1⋅u =u⋅ u−1= 1R. Jika setiap elemen taknol dalam R merupakan unit, maka R disebut gelanggang pembagian.
Lema 2.3.3 (Ketunggalan Elemen Satuan dan Invers Multiplikatif).
Jika R gelanggang pembagian, maka elemen satuan tunggal. Juga invers multiplikatif dari setiap elemen taknol dalam R.
BUKTI.
1R. Karena elemen 1R tunggal, maka u1−1=u1−1⋅ 1R =u1−1⋅ (u ⋅u2−1) = (u1−1⋅u) ⋅u2−1= 1R ⋅u2−1=u2−1.
Terbukti elemen satuan dan invers multiplikatif tunggal. ■
Definisi 2.3.6.
Misalkan R adalah gelanggang. Jika terdapat bilangan bulat positif terkecil n sedemikian sehingga na =a + a + … + a = 0 untuk ∀a ∈R, maka n disebut karakteristik dari R. Jika tidak terdapat bilangan bulat positif terkecil n yang demikian itu, maka R dikatakan berkarakteristik 0.
Lema 2.3.4 (Karakteristik Gelanggang dengan Elemen Satuan).
Gelanggang R dengan elemen satuan berkarakteristik n jika dan hanya jika n1R = 0.
BUKTI.
( ⇒ ) Jika R berkarakteristik n, maka na= 0 untuk ∀a∈R. Jadi n1R = 0.
( ⇐ ) Jika diasumsikan n1R= 0, maka na=a +a + … +a = (1R+ 1R+ … + 1R) ⋅a =
(n1R) ⋅a= 0 ⋅a= 0. ■
Selanjutnya definisi gelanggang diperluas lagi untuk mendapatkan struktur baru. Pada gelanggang R sudah didefinisikan R adalah grup aditif komutatif dan ditambahkan sifat asosiatif pada operasi ⋅ dan bersifat distributif (kombinasi + dan ⋅). Kemudian jika
Misalkan F adalah gelanggang komutatif dengan elemen satuan. Maka F disebut medan
jika dan hanya jika setiap elemen taknol dalam F mempunyai invers multiplikatif.
Dari definisi di atas, dapat dikatakan (dengan cara lebih baik) bahwa F adalah medan jika dan hanya jika
(i) (F, +) grup komutatif
1. Operasi + bersifat asosiatif dan komutatif. 2. Terdapat elemen identitas 0.
3. Setiap elemen a mempunyai invers −a. (ii) (F#, ⋅) dengan F#=F− {0} grup komutatif
1. Operasi ⋅ bersifat asosiatif dan komutatif. 2. Terdapat elemen satuan 1F.
3. Setiap elemen u mempunyai invers u−1. (iii) Kombinasi operasi + dan ⋅ bersifat distributif.
Contoh 2.3.2.
Gelanggang-gelanggang Q, R, dan C semuanya adalah medan. Tetapi gelanggang Z
bukan medan sebab unit-unit dalam Z hanyalah −1 dan 1.
Definisi 2.3.8.
Definisi 2.3.9.
Gelanggang komutatif D dengan elemen satuan disebut daerah integral jika dan hanya jika D tidak memuat pembagi nol (berarti jika a ⋅ b = 0, maka a = 0 atau b = 0 untuk setiap a, b∈D).
Contoh 2.3.3.
Gelanggang komutatif Z merupakan gelanggang dengan elemen satuan yang tidak memuat pembagi nol, sehingga Z adalah daerah integral. Juga gelanggang-gelanggang
Q, R, dan C semuanya adalah daerah integral.
Definisi 2.3.10.
Misalkan a, b, c dalam gelanggang R dengan a ≠ 0. Hukum kanselasi multiplikatif
(disingkat kanselasi) dikatakan berlaku dalam R yaitu jika a ⋅ b = a ⋅ c, maka b = c, demikian pula jika b⋅a=c⋅a, maka b=c.
Teorema 2.3.5.
Gelanggang komutatif R dengan elemen satuan adalah daerah integral jika dan hanya jika dalam R berlaku kanselasi.
BUKTI.
persamaan a ⋅b = 0 = a ⋅ 0 mengakibatkan b = 0, karena diasumsikan dalam R
berlaku kanselasi. Jadi R adalah daerah integral. ■
Sudah dibuktikan bahwa dalam daerah integral berlaku kanselasi. Berikutnya akan dibuktikan bahwa dalam medan juga berlaku kanselasi sehingga setiap medan adalah daerah integral.
Teorema 2.3.6.
Setiap medan F adalah daerah integral.
BUKTI.
Ambil sembarang a, b, c∈F. Dari Definisi 2.3.7, a≠ 0 mempunyai invers multiplikatif
a−1. Berarti jika a ⋅b =a⋅c, maka b= c. Maka dari Definisi 2.3.10 dan Teorema 2.3.5,
F adalah daerah integral. ■
Teorema 2.3.7.
Jika D daerah integral, maka D berkarakteristik prima atau 0.
BUKTI.
4 4 3 4 4 2 1 n D D
D 1 ... 1
1 + + + =
4 4 4 3 4 4 4 2 1 4 4 4 3 4 4 4 2 1 t D D D s D D
D 1 ... 1 ) . (1 1 ... 1 )
1
( + + + + + + , 1 < s < n dan 1 < t < n.
Sehingga jika n1D = (s1D) ⋅ (t1D) = 0, maka s1D = 0 atau t1D = 0 sebab D daerah integral. Ini menunjukkan bahwa D berkarakteristik s atau t. Terdapat suatu kontradiksi dengan
D berkarakteristik n. Jadi haruslah n prima. ■
2.4. Bilangan Bulat Modulo n
Hanya ada dua metode standar untuk mengonstruksikan medan, yaitu medan hasil bagi daerah integral (misalnya, medan semua bilangan rasional adalah medan yang dikonstruksi dari daerah integral semua bilangan bulat) dan bilangan bulat modulo prima p (nanti akan ditunjukkan bahwa terdapat medan berhingga berorder p). Medan hasil bagi daerah integral, yaitu medan semua anggotanya direpresentasikan sebagai hasil bagi anggota-anggota dari daerah integral, khusus untuk mengkonstruksi medan takhingga. Karena tulisan ini akan membahas medan Galois (medan berhingga), maka kita akan akrab dengan bilangan bulat modulo p dalam mengoperasikan elemen-elemen dari medan Galois.
Definisi 2.4.1.
Misalkan n adalah bilangan bulat positif. Bilangan-bilangan bulat a dan b dikatakan
kongruenmodulon (ditulis a≡b mod n) jika dan hanya jika a−b=kn, k ∈Z.
Teorema 2.4.1.
Akan dibuktikan relasi kongruensi modulo n bersifat refleksif, simetris, dan transitif. Ambil sembarang bilangan-bilangan bulat u, v, w.
Karena u−u= 0 = 0n, maka u≡u mod n. Jadi relasi bersifat refleksif. Jika u≡v mod n, maka u − v= kn, k∈Z, sehingga v− u = −kn, −k∈Z. Maka v≡ u mod n. Jadi relasi bersifat simetris. Jika u ≡ v mod n dan v ≡ w mod n, maka u − v= rn dan v− w = sn
untuk r, s ∈Z. Ini berarti (u − v) + (v− w) =rn + sn ⇔u − w= (r + s)n, r+ s∈ Z, sehingga u≡w mod n. Jadi relasi bersifat transitif. ■
Kelas-kelas ekivalensi dari relasi kongruensi modulo n disebut kelas kongruensi modn. Kelas kongruensi mod n yang memuat suatu a∈Z adalah
[a] = {b∈Z : b≡a mod n} = {b∈Z : b−a=kn untuk suatu k∈Z}.
Menurut algoritma pembagian pada bilangan bulat, terdapat dengan tunggal bilangan bulat q dan r sedemikian sehingga a =qn+r dengan 0 ≤r<n. Ini menunjukkan bahwa
a≡r mod n dan [a] = [r]. Maka bilangan bulat a kongruen modulo n dengan tepat salah satu bilangan bulat 0, 1, 2, …, n − 1. Misalkan juga [a] = [s] dengan 0 ≤s<n, maka [r]
= [s], sehingga r−s=kn. Karena 0 ≤r−s<n, maka haruslah r− s= 0, yaitu r=s. Jadi jika r≠ s, maka [r] ≠ [s], artinya kelas-kelas kongruensi [0], [1], [2], …, [n − 1] saling berbeda. Misalkan Zn menyatakan himpunan kelas-kelas kongruensi mod n, maka
Zn = {[0], [1], [2], …, [n− 1]}
Contoh 2.4.1.
Untuk n= 3, maka terdapat 3 kelas kongruensi mod 3, yaitu [0] = [−9] = [30] = [18] = {…, −9, −6, −3, 0, 3, 6, 9, …} ⊆Z
[1] = [−2] = [−8] = [28] = {…, −8, −5, −2, 1, 4, 7, 10, …} ⊆Z
[2] = [11] = [47] = [−1] = {…, −7, −4, −1, 2, 5, 8, 11, …} ⊆Z
sehingga Z3 = {[0], [1], [2]}.
Teorema 2.4.2.
Untuk setiap bilangan bulat positif n, maka Zn adalah gelanggang komutatif dengan elemen satuan terhadap operasi penjumlahan dan perkalian yang didefinisikan dengan
[a] + [b] = [a+b] dan [a] ⋅ [b] = [ab] untuk setiap [a], [b] ∈Zn.
BUKTI.
Ditunjukkan dahulu kedua operasi terdefinisi dengan baik. Ambil sembarang [a1], [a2], [b1], [b2] ∈Zn dengan [a1] = [a2] dan [b1] = [b2]. Akan ditunjukkan [a1+b1] = [a2+b2] dan [a1b1] = [a2b2]. Karena [a1] = [a2] dan [b1] = [b2], maka
a1 =a2 +sn dan b1 =b2 +tn untuk suatu s, t∈Z.
Sekarang, a1 +b1 =a2 +s n+b2 +tn=a2 +b2 + (s+t)n=a2 +b2 +un, u∈Z, sehingga (a1+b1) ≡ (a2+b2) mod n, yaitu [a1+b1] = [a2+b2].
Kemudian, a1b1 = (a2 +sn) (b2 + tn) = (a2b2) + (a2tn) + (b2sn) + (tnsn) = (a2b2) + (a2t+
bahwa ([a] + [b]) + [c] = [a+b] + [c] = [a+b+c] = [a] + ([b] + [c]) dan ([a] ⋅ [b]) ⋅ [c]
= [ab] ⋅ [c] = [abc] = [a] ⋅ ([b] ⋅ [c]). Berarti kedua operasi bersifat asosiatif. Kedua operasi bersifat komutatif, yaitu [a] + [b] = [a +b] = [b +a] = [a] + [b] dan [a] ⋅ [b] = [ab] = [ba] = [b] ⋅ [a]. Kombinasi kedua operasi bersifat distributif, yaitu ([a] + [b]) ⋅ [c]
= [a +b] ⋅ [c] = [(a+b)c] = [ac+bc] = [ac] + [bc] = ([a] ⋅ [c]) + ([b] ⋅ [c]) dan [c] ⋅ ([a]
+ [b]) = [c] ⋅ [a + b] = [c(a + b)] = [ca+ cb] = [ca] + [cb] = ([c] ⋅ [a]) + ([c] ⋅ [b]). Elemen identitas adalah [0] sebab [a] + [0] = [a+ 0] = [a]. Invers aditif dari [a] adalah [−a] sebab [−a] = [0] + [−a] = [n] + [−a] = [n −a] sehingga [a] + [−a] = [a] + [n −a] = [n] = [0]. Elemen satuan adalah [1] sebab [a] ⋅ [1] = [a1] = [a].
Terbukti Zn adalah gelanggang komutatif dengan elemen satuan. ■
Di atas sudah dibuktikan bahwa Zn gelanggang. Gelanggang Z6 = {[0], [1], [2], [3], [4], [5]} bukan medan sebab [2] dan [3] adalah pembagi nol, yaitu [2] ⋅ [3] = [0]. Mudah dipahami bahwa Z2, Z3, Z5, Z7 tidak mempunyai pembagi nol. Secara umum, teorema berikut membuktikan bahwa Zn adalah medan untuk setiap bilangan prima n.
Teorema 2.4.3.
Zn adalah medan jika dan hanya jika n prima.
BUKTI.
Padahal [s] ≠ [0] dan [t] ≠ [0], berarti [s] dan [t] adalah pembagi nol dalam Zn. Kontradiksi dengan Zn medan. Jadi haruslah n prima.
( ⇐ ) Ambil sembarang [a] ≠ [0] dalam Zn dan n prima. Akan ditunjukkan bahwa [a] mempunyai invers multiplikatif. Karena n prima dan n bukan faktor dari a, maka faktor persekutuan terbesar dari n dan a adalah 1. Sehingga dari sifat bilangan bulat, 1 adalah kombinasi linear dari n dan a. Jadi terdapat bilangan bulat r dan s
sedemikian sehingga 1 =ra+sn. Berarti 1 ≡ra mod n. Jadi pada bilangan bulat modulo prima n, [1] = [ra] = [r] ⋅ [a]. Jadi jika n prima, maka [a] ≠ [0] dalam Zn mempunyai invers multiplikatif [r], sehingga Zn medan. ■
2.5. Ideal dan Teorema Isomorfisma
Untuk mengkonstruksi medan nantinya, diperlukan suatu subgelanggang khusus (menjadi salah satu kunci dari tujuan yang hendak dicapai) yang dinamakan ideal.
Definisi 2.5.1.
Misalkan R adalah gelanggang. Subgelanggang I dari R disebut ideal jika dan hanya jika
r⋅a∈I dan a⋅r∈I untuk ∀a∈I, ∀r∈R.
Teorema 2.5.1 (Uji Ideal).
Misalkan R gelanggang dan I⊆R. Maka I ideal dalam R jika dan hanya jika (i) I≠∅,
(ii) (∀a1, a2 ∈I) a1 + (−a2) ∈I,
( ⇒ ) Definisi 2.5.1.
( ⇐ ) Ambil sembarang a, b ∈I. Maka a + (−a) = 0 sebab R gelanggang dan I⊆ R. Berarti dari (ii), 0 ∈I, sehingga I≠∅. Karena 0 ∈I, maka dari (ii), 0 + (−a) =
−a ∈ I. Dan a + (−(−b)) = a + b ∈ I. Kemudian dari (iii), a ⋅ b ∈ I. Menurut Teorema 2.3.2, I subgelanggang dari R. Dari (iii), I ideal dalam R. ■
Teorema 2.5.2.
Jika R gelanggang komutatif dengan elemen satuan, maka (a) = {r⋅ a : r ∈ R} ideal dalam R, untuk ∀a∈R.
BUKTI.
Karena 1R ∈R dan a= 1R ⋅a, maka a ∈ (a), sehingga (a) ≠∅. Jika r1 ⋅a, r2 ⋅a ∈ (a), maka (r1 ⋅ a) + (−(r2 ⋅ a)) = (r1 + (−r2)) ⋅ a ∈ (a) untuk suatu r1, r2 ∈ R. Jika diambil sembarang r ∈R, maka r⋅ (r1⋅ a) = (r⋅ r1) ⋅a ∈ (a) dan (r1⋅ a) ⋅ r= (r1⋅r) ⋅ a ∈ (a) sebab R gelanggang komutatif. Menurut Teorema 2.5.1, (a) ideal dalam R. ■
Definisi 2.5.2.
Ideal (a) = {a ⋅ r : r ∈R} dari gelanggang komutatif R dengan elemen satuan disebut
ideal utama yang dihasilkan oleh a∈R.
Contoh 2.5.1.
Teorema 2.5.3.
Gelanggang komutatif R dengan elemen satuan adalah medan jika dan hanya jika ideal dalam R hanyalah {0} dan R.
BUKTI.
( ⇒ ) Jelas R mempunyai ideal trivial {0}. Misalkan I ideal taktrivial dalam R. Akan ditunjukkan I= R. Pilih a ≠ 0 ∈ I. Karena diasumsikan R medan, maka untuk setiap x∈ R, x= a ⋅ (a−1 ⋅ x) ∈ I, sehingga R ⊆ I. Karena I⊆ R, maka I = R. Terbukti ideal dalam R hanyalah {0} dan R.
( ⇐ ) Ambil sembarang a ≠ 0 dalam R. Akan ditunjukkan bahwa a mempunyai invers multiplikatif. Menurut Teorema 2.5.2, (a) ideal dalam R. Karena a ∈ (a), maka (a) ≠ {0}. Karena diasumsikan ideal dalam R hanya {0} dan R, maka (a) = R, sehingga 1R ∈ (a), yaitu 1R =a⋅b. Jadi ∃b ∈R sedemikian sehingga a ⋅b= 1R.
Terbukti R medan. ■
Definisi 2.5.3.
Jika R gelanggang komutatif, maka ideal I dalam R disebut idealprima jika dan hanya jika I≠R dan jika a⋅b∈I, maka a∈I atau b∈I, untuk ∀a, b∈R.
Definisi 2.5.4.
komutatif R, sehingga dapat dibentuk grup faktor R I dengan operasi penjumlahan dan bersifat komutatif (Lema 2.2.14). Elemen-elemen dalam R I adalah koset-koset kanan dari I dalam R yang berbentuk I+ r dengan r ∈ R. Teorema berikut ini menunjukkan bahwa R I adalah gelanggang. Seperti halnya grup faktor, maka syarat supaya R I
gelanggang adalah I ideal dalam R. Dengan perkataan lain, jika I ideal dalam R, maka
I
R gelanggang.
Teorema 2.5.4.
Jika R gelanggang dan I ideal dalam R, maka R I = {I+ r : r∈R} adalah gelanggang terhadap operasi penjumlahan dan perkalian yang didefinisikan dengan
(I+a) + (I+b) = I+ (a+b) (I+a) ⋅ (I+b) = I+ (a⋅b) untuk setiap I+a, I+b∈ R I.
BUKTI.
Sudah ditunjukkan R I grup komutatif terhadap operasi +. Tinggal ditunjukkan operasi
⋅ bersifat tertutup dan asosiatif, dan berlaku hukum distributif. Ditunjukkan dahulu operasi ⋅ pada R I terdefinisi dengan baik, yaitu jika I+a1 =I+ a2 dan I+b1 =I+b2, maka I+ (a1 ⋅b1) =I+ (a2 ⋅b2). Jika I+a1 =I+a2 dan I+b1 =I+b2, maka a1 =n1 +a2 dan b1 =n2 +b2 untuk suatu n1, n2 ∈I. Sekarang, a1 ⋅b1 = (n1 +a2) ⋅ (n2 +b2) = (n1 ⋅n2)
Maka (a1 ⋅b1) + (−(a2 ⋅b2)) = n3 ∈I sebab I ideal. Karena R grup aditif, maka menurut Lema 2.2.9, I+ (a1 ⋅b1) =I+ (a2 ⋅b2). Ambil sembarang I+a, I+b, I+c∈ R I. Jelas di sini operasi ⋅ pada R I bersifat tertutup. Dan operasi ⋅ pada R I bersifat asosiatif, yaitu ((I+a) ⋅ (I+b)) ⋅ (I+c) = (I+ (a⋅b)) ⋅ (I+c) =I+ ((a⋅b) ⋅c) =I+ (a⋅ (b⋅c)) = (I+a) ⋅ (I+ (b⋅c)) = (I+a) ⋅ ((I+b) ⋅ (I+c)). Selanjutnya, ((I+a) + (I+b)) ⋅ (I+c) = (I+ (a +b)) ⋅ (I+c) =I+ ((a+b) ⋅c) =I+ ((a⋅c) + (b⋅c)) = (I+ (a⋅c)) + (I+ (b⋅c))
= ((I+a) ⋅ (I+c)) + ((I+b) ⋅ (I+c)). Secara analog, maka (I+c) ⋅ ((I+a) + (I+b)) = ((I+c) ⋅ (I+a)) + ((I+c) ⋅ (I+b)), sehingga dalam R I berlaku hukum distributif. ■
Definisi 2.5.5.
Gelanggang R I = {I+r : r∈R} disebut gelanggangfaktor.
Lema 2.5.5.
Jika R gelanggang komutatif dan I ideal dalam R, maka R I komutatif.
BUKTI.
Ambil sembarang I+r1, I+r2∈ R I untuk suatu r1, r2∈R. Didapat (I+r1) ⋅ (I+r2) =
I+ (r1 ⋅r2) =I+ (r2 ⋅r1) = (I+r2) ⋅ (I+r1). Jadi R I komutatif. ■
Teorema 2.5.6.
( ⇒ ) Ambil sembarang M + a ∈ R M dengan M + a ≠ M + 0. Maka a ∉ M. Kemudian ditunjukkan bahwa M + a mempunyai invers multiplikatif. Misalkan
N= {(r⋅a) +m : r∈R dan m∈ M}. Akan dibuktikan bahwa N ideal dalam R. Karena 0 = 0 ⋅a+ 0 ∈N, maka N≠∅. Jika (r1 ⋅a) +m1, (r2 ⋅a) +m2 ∈N, maka ((r1 ⋅ a) + m1) + (−((r2 ⋅a) + m2)) = ((r1 + (−r2)) ⋅a) + (m1 + (−m2)) ∈ N untuk suatu r1, r2 ∈R dan m1, m2 ∈M. Untuk sembarang r∈R, maka r⋅ ((r1 ⋅a) +m1)
= ((r⋅ r1) ⋅ a) + (r⋅m1) ∈N. Dan karena R komutatif, maka ((r1 ⋅a) + m1) ⋅r=
((r1 ⋅ r) ⋅ a) + (m1 ⋅ r) ∈ N. Jadi N ideal dalam R (Teorema 2.5.1). Perhatikan bahwa untuk ∀m∈M, (0 ⋅a) + m=m∈N. Lagipula a∉M tetapi (1R ⋅a) + 0 =
a ∈ N. Ini menunjukkan bahwa M ⊂ N. Padahal M ideal maksimal dalam R, maka haruslah N=R. Jadi 1R ∈N, sehingga 1R = (r⋅a) +m. Sekarang, M+ 1R =
M+ ((r⋅a) +m) = (M+ (r⋅a)) + (M+ m) =M+ (r⋅a) = (M+r) ⋅ (M+a). Ini berarti ∃M + r ∈ R M sedemikian sehingga (M + r) ⋅ (M + a) = M + 1R. Terbukti R M medan.
( ⇐ ) Diasumsikan R M medan, akan ditunjukkan M ideal maksimal. Andaikan M
bukan ideal maksimal. Maka terdapat ideal N sedemikian sehingga M⊂ N⊂R. Jelas M ideal dalam N, sehingga dapat dibentuk gelanggang faktor N M. Akan dibuktikan N M ideal dalam R M . Jika M+ n ∈ N M dengan n ∈ N, maka sembarang M+r∈ R M dengan r∈R, (M+r) ⋅ (M+n) =M+ (r⋅n) ∈ N M
sebab N ideal dalam R. Juga (M+n) ⋅ (M+r) ∈ N M. Jadi N M ideal dalam
M
2.5.3, medan R M hanya memuat ideal-ideal {M+ 0} dan R M . Timbul suatu
kontradiksi. Jadi haruslah M ideal maksimal. ■
Teorema 2.5.7.
Ideal sejati I dalam gelanggang komutatif R dengan elemen satuan adalah ideal prima jika dan hanya jika R I daerah integral.
BUKTI.
( ⇒ ) Sudah dibuktikan bahwa jika I ideal dalam R, maka R I gelanggang komutatif. Akan ditunjukkan bahwa jika I ideal prima, maka R I daerah integral. Ambil sembarang I+ a, I+b ∈ R I. Jika (I+ a) ⋅ (I +b) =I+ (a ⋅b) = I+ 0, maka haruslah a⋅b∈I. Karena I ideal prima, maka a∈I atau b∈I. Ini menunjukkan
I+a=I+ 0 atau I+b=I+ 0. Terbukti R I daerah integral.
( ⇐ ) Ambil sembarang r1, r2 ∈ R. Jika r1 ⋅ r2 ∈I, maka I+ (r1 ⋅ r2) = I+ 0. Karena
I
R adalah daerah integral, maka jika I + (r1 ⋅ r2) = (I + r1) ⋅ (I + r2) = I+ 0, haruslah I+r1 =I+ 0 atau I+r2 =I+ 0. Ini berarti r1 ∈I atau r2 ∈I.
Terbukti I ideal prima. ■
Teorema 2.5.8.
Jika I ideal maksimal dalam R, maka I ≠ R. Dari Teorema 2.5.6, R I medan. Karena medan adalah daerah integral, maka dari Teorema 2.5.7, I ideal prima. ■
Berikutnya didefinisikan pemetaan gelanggang yang merupakan homomorfisma.
Definisi 2.5.6.
Misalkan R dan S adalah gelanggang-gelanggang. Maka pemetaan θ : R → S disebut
homomorfisma gelanggang jika dan hanya jika
θ(a+b) =θ(a) +θ(b) dan θ(a⋅b) =θ(a) ⋅θ(b) untuk setiap a, b ∈R.
Contoh 2.5.2.
Didefinisikan θ : Z →Zndengan aturan θ(a) = [a] untuk setiap a ∈Z. Maka θ adalah pemetaan dari Z ke Zn. Sekarang, θ(a + b) = [a + b] = [a] + [b] = θ(a) + θ(b). Kemudian, θ(ab) = [ab] = [a] ⋅ [b] = θ(a) ⋅ θ(b). Maka pemetaan θ : Z → Zn adalah homomorfisma gelanggang.
Definisi 2.5.7.
Misalkan θ : R →S homomorfisma gelanggang. Maka kernelθ (ditulis Ker(θ)) adalah himpunan elemen-elemen r ∈ R sedemikian sehingga θ(r) = 0S. Sedangkan image θ (bayangan homomorfisma dan ditulis Im(θ)) adalah himpunan elemen-elemen s ∈ S
Proposisi 2.5.9.
Jika R, S adalah gelanggang-gelanggang dan θ : R→S homomorfisma, maka (i) θ(0R) = 0S dan θ(−r) =−θ(r) untuk ∀r∈R.
(ii) Ker(θ) = {r∈R : θ(r) = 0S} ideal dalam R.
(iii) Im(θ) = {s∈S : s=θ(r), r∈R} subgelanggang dari S. (iv) θ injektif jika dan hanya jika Ker(θ) = {0R}.
BUKTI.
(i) Karena θ homomorfisma, maka θ(0R) + θ(0R) = θ(0R + 0R) = θ(0R) = θ(0R) + 0S. Dengan kanselasi aditif, maka θ(0R) = 0S. Kemudian untuk sembarang r∈R, maka
θ(−r) + θ(r) = θ(−r+ r) =θ(0R) = 0S =−θ(r) + θ(r) sebab S gelanggang. Dengan kanselasi aditif, maka θ(−r) =−θ(r).
(ii) Ker(θ) ≠∅ sebab 0R ∈ Ker(θ). Ambil sembarang a, b ∈ Ker(θ). Maka θ(a) = 0S dan θ(b) = 0S, sehingga θ(a+ (−b)) =θ(a) +θ(−b) = θ(a) + (−θ(b)) = 0S + 0S = 0S. Ini berarti a + (−b) ∈ Ker(θ). Kemudian jika r∈R, maka θ(r⋅a) = θ(r) ⋅θ(a) =
θ(r) ⋅ 0S= 0S dan θ(a ⋅r) =θ(a) ⋅θ(r) = 0S⋅θ(r) = 0S, sehingga r⋅a ∈ Ker(θ) dan
a⋅r∈ Ker(θ). Menurut Teorema 2.5.1, Ker(θ) ideal dalam R.
(iii) Jelas Im(θ) ≠ ∅ sebab 0S ∈ Im(θ) menurut (i). Ambil sembarang s1, s2 ∈ Im(θ) sedemikian sehingga s1 =θ(r1) dan s2 =θ(r2), untuk suatu r1, r2 ∈R. Maka s1 + s2
=θ(r1) + θ(r2) = θ(r1 + r2) ∈ Im(θ) dan s1 ⋅ s2 = θ(r1) ⋅ θ(r2) = θ(r1 ⋅ r2) ∈ Im(θ) sebab θ homomorfisma dan R gelanggang. Selanjutnya menurut (i), −s1 =−θ(r1) =
sehingga Ker(θ) = {0R}.
( ⇐ ) Ambil sembarang r1, r2 ∈R sedemikian sehingga θ(r1) = θ(r2). Maka 0S =
θ(r1) + (−θ(r2)) = θ(r1) + θ(−r2) = θ(r1+ (−r2)). Jadi r1 + (−r2) ∈ Ker(θ). Padahal Ker(θ) = {0R}, ini berarti haruslah r1 + (−r2) = 0R, yaitu r1 = r2.
Terbukti θ injektif. ■
Pada Proposisi 2.5.9 telah dibuktikan bahwa jika θ : R → S homomorfisma gelanggang, maka Im(θ) subgelanggang dari S, dan Ker(θ) ideal dalam R. Selanjutnya teorema berikut membuktikan bahwa jika I ideal dalam gelanggang R, maka terdapat suatu pemetaan α : R → R I yang merupakan homomorfisma surjektif sedemikian sehingga Ker(α) =I. Pemetaan ini disebut homomorfisma kanonik.
Teorema 2.5.10.
Misalkan R gelanggang dan I ideal dalam R. Maka pemetaan α : R → R I dengan aturan α(r) =I+r untuk setiap r∈R, adalah homomorfisma surjektif dan Ker(α) =I.
BUKTI.
Ditunjukkan dahulu pemetaan terdefinisi dengan baik. Ambil sembarang r1, r2 ∈ R
sedemikian sehingga r1 = r2. Akan ditunjukkan α(r1) = α(r2). Karena r1 ∈I+ r1, maka
r1) + (I+r2) =α(r1) +α(r2) dan α(r1 ⋅r2) =I+ (r1 ⋅r2) = (I+r1) ⋅ (I+r2) =α(r1) ⋅α(r2), sehingga α homomorfisma. Jelas α surjektif sebab jika diambil sembarang s ∈ R I, maka s= I+r dengan r∈R, dan α(r) = I+r=s. Selanjutnya ditunjukkan Ker(α) =I. Ker(α) = {r∈R : α(r) =I+ 0} = {r∈R : I+r=I+ 0} = {r∈R : r∈I} =I. ■