• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAKI-LAKI PILIHAN MAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAKI-LAKI PILIHAN MAMA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

LAKI-LAKI PILIHAN MAMA

“Ma, sibuk?” Aku mengintip mama dari pintu yang sedikit terbuka. Mama sedang merapikan baju di lemari. Mama menoleh dan melambaiku agar masuk. Aku tersenyum, menguak pintu lebar-lebar dan melompat ke kasur. Mama memekik.

“Ya, ampuuuun…, Reysha Hanna Safitri!” He he… Aku tertawa. Mama mengacak-acak rambutku. Hmmm, kesempatan untuk bermanja.

“Ih, sudah sarjana, masih bertingkah seperti balita….” Aku tertawa. Ya, sejak papa meninggal saat aku berusia 3,5 tahun, kami hanya berdua melalui hari. Sepanjang waktu yang kami lalui bersama, belum pernah aku melihat mama bermuram durja dan mengeluh. Bahkan saat Papa meninggal, Mama hanya terdiam sambil terus memelukku. Mama bekerja dan terus bekerja, sedangkan aku harus pasrah dititipkan di rumah tetangga. Aku masih bisa mengingat saat aku menjerit-jerit dan menangis karena ditinggalkan mama pergi ke tempat bekerja. Tapi tangisku akan segera mereda setelah mbak Niken, anak bu Rahmi yang menjagaku, mengajakku bermain. Begitu setiap hari kami lalui. Dan kini, 23 tiga tahun sudah usiaku, dan sebulan yang lalu aku diwisuda sebagai Sarjana Kedokteran Hewan. Tapi semua itu tak bisa menghalangiku untuk bermanja-manja pada Mama.

“Ma, Rey mau tanya sesuatu….” Aku mengerling mama. “Tentang apa?” Mama menoleh sekilas.

“Mimpi. Mama, kan, paling jago menafsirkan mimpi.” Mama memonyongkan mulutnya.

“Memangnya Mama paranormal?” Aku tertawa.

“Ma, kalau mimpi baju kita diminta orang, artinya apa?” Mama mengerutkan kening. Sesaat lamanya Mama terdiam, membuatku penasaran.

(2)

“Artinya, kamu harus beli baju baru lagi, ha ha….” “Ah, Mama!” Mama menjerit karena kucubit lengannya.

“Hei, ada yang lebih penting dari sebuah mimpi.” Mama menarikku ke pelukannya. Aku meronta. Pasti itu lagi. Aku harus kabur.

“Eit, tak bisa kabur. Ayolah, Rey. Kenalkanlah Mama dengan calon menantu Mama….” Aku nyengir.

“Masa, iya, tak ada yang tertarik dengan anak Mama yang cantik ini?” Mama menarikku ke depan cermin. “Lihat, gadis semampai berkulit putih bersih dengan rambut indah bak bintang iklan shampoo begini. Apa teman sekampusmu berkaca mata tebal semua? Sampai tak bisa melihat bidadari Mama ini?”

“Ya, ada dong, Ma. Antri malah.” “Lalu?”

“Rey baru akan mengenalkannya pada Mama dengan syarat, Mama harus mau menikah lagi dengan lelaki baik yang akan menjaga Mama.” Mama terdiam.

“Artinya, kamu tak akan pernah bisa memperkenalkan calon menantu Mama, karena Mama tak ada niat sedikit pun untuk menikah lagi, Rey.”

“Ah, Mama. Jangan seperti itu. Rey ingin melihat Mama bahagia.”

“Memangnya selama ini Mama tampak menderita?” Buru-buru kupeluk Mama. Benar, Mama memang tak pernah terlihat sedih dengan keadaannya. Mama bahkan selalu bersemangat dan ceria. Sebenarnya, beberapa pria pernah meminangnya, tapi Mama tak bergeming. Tiba-tiba aku ingat Windu. Laki-laki berusia lima belas tahun lebih tua dariku. Seorang pengusaha muda, pemilik peternakan kuda. Aku mengenalnya saat kuliah lapang. Windu memang sangat menarik. Sifatnya yang lembut dan suka mengalah membuatku tak bisa bilang tidak saat dia memintaku untuk menjadi kekasihnya. Aku yang manja seolah mendapatkan sosok seorang kakak sekaligus ayah. Windu yang selalu

(3)

menempatkanku seolah pualam yang sangat berharga dalam hidupnya. Windu yang selalu ada saat aku membutuhkannya. Kecuali saat aku wisuda. Ya, aku tahu Windu sangat kecewa ketika aku tak mengundangnya untuk hadir di hari bersejarah itu. Dengan alasan yang baginya tak masuk akal, sama sekali. Padahal, saat itu Windu berencana memintaku pada Mama.

“Kenapa kamu tak mau mengenalkanku pada keluargamu?” Aku menangkap nada redaman kecewa yang luar biasa dari suara Windu, saat itu.

“Aku tak ingin setelah wisuda, Mama memaksaku segera menikah begitu tahu aku sudah memiliki kekasih.” Windu menatapku dengan sorot aneh.

“Aku baru akan mengenalkanmu pada Mama kalau beliau sudah mendapatkan pengganti papa. Kasihan Mama. Selama ini waktunya tercurah hanya untukku. Jika aku menikah, tentu aku akan kehilangan banyak waktu untuknya. Padahal, sudah saatnya giliran aku yang mencurahkan perhatian untuknya.”

“Jika ternyata mamamu tak ingin menikah, kamu juga tak akan pernah menikah?” Windu mengerlingku.

“Jangan diambil kesimpulan seperti itu, dong. Paling tidak, beberapa tahun ke depan, aku ingin membuat Mama bahagia dengan selalu menjaganya.” Aku membalas kerlingan Windu dengan tepukan halus di pipinya.

“Bukannya lebih baik kalau kita segera menikah, sehingga aku pun bisa ikut menjaga Mama?”

“Ah, Windu. Nanti kamu yang akan kecewa karena perhatianku tak sepenuhnya untukmu. Aku tentu akan membagi waktuku untuk Mama dan kamu.”

“Ya, kan, bukan masalah. Toh, kamu membagi waktu bukan untuk orang lain? Tak patut juga aku cemburu pada mamamu, kan?” Aku tak bisa menjawab. Windu meraih tanganku, menepuk-nepuk punggung tanganku lembut.

(4)

“Usiaku sudah 38 tahun, Rey. Aku juga pernah berpikir sepertimu. Kamu, kan, tahu, aku juga cuma punya mama. Papaku meninggal saat aku masih kuliah. Sejak itu, waktu dan hidupku tercurah hanya untuk Mama dan mengembangkan peternakan peninggalan Papa. Aku sebenarnya juga berusaha mengenal wanita, tapi tak ada satu pun yang sesuai di hati Mama, lalu kamu tahu akhirnya? Semua wanita yang pernah dekat denganku, tak ada yang sanggup bertahan. Tapi begitu melihat kamu, Mamaku jadi seperti serdadu kalah perang, bertekuk lutut padamu. Sampai-sampai perhatiannya untukku berkurang hampir seratus persen.” Aku tersenyum mendengar gurauannya.

“Jadi kamu memilihku karena permintaan mamamu?” Windu mengacak-acak rambutku.

“Kalau mama saja bisa jatuh hati padamu, apalagi aku.” Windu mengusap bahuku. “Jadi, jangan biarkan aku menunggu lebih lama lagi, ya?” Aku menatap Windu dalam-dalam. Windu tersayang, kamulah seseorang yang paling kuinginkan saat aku membutuhkan pendamping hidup, kelak. Tapi jika kamu terus mendesak, aku tak bisa lagi mengikuti keinginanmu. Mata Windu menyiratkan kekecewaan yang dalam. Aku hanya bisa tertunduk dan membiarkannya berlalu, tanpa mengucap salam perpisahan.

“Lho, malah melamun.” Ucapan Mama menyadarkanku dari lamunan sesaat tentang Windu. “Rey, mama takut….”

“Takut Rey tak normal?” Mama mencubit pipiku.

“Tentu bukan. Mama takut, karena kehilangan figur seorang ayah, kamu jadi sulit menerima seorang laki-laki. Mama takut, kamu salah mengartikan keputusan Mama untuk tetap sendiri sebagai bentuk ketidakpedulian Mama pada laki-laki. Lalu kamu berpikir bahwa kita tak memerlukan kehadiran mereka karena merasa mampu bertahan hidup tanpa mereka….”

(5)

“Aduh, Ma. Janganlah berpikir berlebihan. Rey normal, Rey bisa, kok, jatuh cinta pada laki-laki. Rey juga punya keinginan untuk berkeluarga, kelak. Tapi, Rey ingin, Mama bisa menemukan pengganti Papa sebelum saat itu tiba. Agar Mama tak merasa terlalu kehilangan perhatian….”

“Ah, janganlah keadaan Mama menjadi beban untuk rencana hidupmu. Lagipula, kalau kamu berpikir seperti itu, jadi beban juga buat Mama. Bagaimana kalau Mama tak menemukan jodoh Mama lagi? Apa kamu tega, Mama memaksakan diri menerima seseorang hanya untuk membuatmu mau menikah?”

“Tentu bukan seperti itu mau Rey….” Mama menggenggam jemariku.

“Nah, kalau kamu sudah menemukan orang yang tepat, perkenalkan pada Mama, cepat menikah, dan segera kasih cucu untuk Mama. Itu semua sudah lebih dari cukup.” Mama menutup bibirku dengan dua jarinya, melihatku hendak bicara.

“Rey, Sayang. Sembilan belas tahun sejak kepergian Papa, lalu Mama memutuskan untuk tetap sendiri, membuat Mama jadi terbiasa. Rasanya, Mama sudah lupa bagaimana harus berbagi dengan orang lain, selain denganmu.”

“Karena itu, Ma, Rey ingin Mama mulai memperhatikan kebutuhan Mama sendiri. Selama ini, Mama mencurahkan seluruh waktu hanya untuk bekerja dan Rey. Sekarang, Rey sudah dewasa, Ma. Rey yakin, Mama sesungguhnya masih memerlukan pendamping hidup. Pasti ada hal lain yang tak bisa Rey berikan untuk Mama tapi bisa Mama dapatkan dari orang lain….” Mama tertawa kecil.

“Lagipula, Mama sudah tua. Tak pantas lagi berpikir tentang pernikahan.” “Ah, Mama tampak sepuluh tahun lebih muda, kok. Oom Rio orangnya baik juga, kan, Ma? Selama ini beliau tak berhenti memberi perhatian pada kita. Mama saja yang tak berusaha membuka hati dan memberi kesempatan padanya.”

“Mungkin Mama terlalu mencintai papamu, Rey. Lima tahun yang kami lalui bersama terasa amat singkat. Hanya kenangan manis saja yang membekas di hati

(6)

Mama. Ribuan kali Mama mencoba mencari, Mama tak bisa menemukan segores luka pun yang ditinggalkannya. Rasanya, tak ada yang dapat menggantikan posisinya di hati Mama.” Rey melihat sebuah senyuman indah tersungging di wajah cantik Mama.

“Rey tak bermaksud meminta Mama untuk menghilangkan kenangan Mama tentang Papa. Sekali pun Rey tak banyak ingat tentang Papa, Rey yakin Papa adalah laki-laki yang sangat baik.”

“Amat sangat baik, Sayang….”

“Ma, beri kesempatan pada Rey untuk mendapatkan laki-laki sebaik Papa, untuk Mama.” Mama tertawa.

“Ah, kamu. Mencari untukmu sendiri saja, belum bisa.”

“Rey, kan, masih 23 tahun, Ma. Masih panjang langkah Rey. Yang paling penting, sekarang, untuk Mama.” Ujarku bersemangat. Mama menatapku lekat.

“Anggaplah kita sedang bermain. Mama beri kamu waktu dua puluh tiga hari untuk mencari laki-laki yang tepat untuk mama.”

“Kenapa 23 hari?” “Sesuai umur kamu.”

“Ah, 45 hari, deh. Sesuai umur Mama.” Mama terdiam sejenak. Aku menatapnya memohon. Sambil tersenyum, mama menjabat tanganku erat-erat.

Deal. Tapi ingat, jika kamu tak berhasil, kamu harus segera perkenalkan calon menantu mama.” Aku mengaculkan dua jempol tanda setuju.

Mulailah hari-hariku disibukkan dengan mengatur rencana untuk mencarikan jodoh untuk mama. Seminggu pertama aku sibuk membuka setiap majalah, tabloid, dan koran, hanya untuk melihat rubrik kontak jodoh. Tapi tidak dari internet. Terlalu maya laki-laki dari dunia maya, menurutku. Lalu, membuat daftar nama dan alamat. Ya, terseleksi lima belas laki-laki keren, lagi-lagi menurutku, cocok untuk mama.

(7)

Selanjutnya, lima hari berturut-turut mencari alamat bakal calon jodoh mama. Sengaja aku mencari laki-laki yang sekota. Empat puluh lima hari, kan, bukan waktu yang lama? Hi hi, 45 hari kerja. Kok, jadi seperti menang tender, ya? Tiga hari berikutnya, waktu untuk melakukan cek dan ricek. Akhirnya tereliminasi sepuluh orang. Mereka pembohong belaka. Ada yang alamatnya palsu, wajah palsu, atau biodata palsu.

Kerjaku agak ringan sekarang, tinggal lima kandidat. Lima hari untuk menjumpai lima bakal calon papaku. Dari seleksi tahap tiga ini, kupilih tiga laki-laki untuk kuperkenalkan dengan mama.

Ok, show time! Aku membawa tiga foto dan biodata mereka ke mama. Tak lepas pandanganku dari wajah mama. Beliau tampak serius memperhatikan dan membaca biografi bakal calon papa baruku. Aku mulai tak sabar. Mama tak juga menunjukkan ekspresi yang kuharapkan. Misalnya, tertarik pada salah satu calon.

“Jadi, kapan jadwal pertemuan kami?” Aku tersenyum sambil menyodorkan selembar kertas. Mama mengerutkan kening.

“Padat sekali jadwalnya? Mama merasa jadi seperti kepala Negara.” Aku terkekeh.

Hari-hari berlalu dan setiap saat menimbulkan harap cemas dihatiku. Takut semua usahaku gagal dan aku harus menyerah pada keinginan mama. Akhirnya sampailah pada hari di mana mama akan mengambil keputusan.

“Kita makan malam di luar?” Aku melonjak gembira. Bukan karena tak pernah makan di luar. Tapi karena aku tahu kebiasaan Mama. Jika mama mengajakku makan di luar, artinya, ada sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan.

“Ok. Rey siap mendengarkan keputusan Mama.” Mama tersenyum. Cantik sekali. Mama meraih jemariku.

(8)

“Rey, Mama menghargai usahamu untuk mencarian jodoh untuk Mama. Sekali pun sebenarnya Mama setengah hati menanggapi calon yang kamu ajukan. Tapi, Mama tak bisa menipu hati Mama, akhirnya ada seseorang yang menggerakkan mama untuk mencoba membina rumah tangga lagi.”

“Calon yang mana, Ma?” Aku benar-benar tak sabar.

“Bukan dari ketiganya. Tapi karena salah seorang dari mereka, Mama mengenal laki-laki yang hampir serupa dengan papamu. Nah, malam ini, Mama akan mengenalkannya padamu. Kemarin Mama sudah menerima lamarannya. Maaf, ya, Mama tak segera memberitahumu? Karena, sebenarnya Mama masih punya syarat untuknya. Jika kamu tak setuju, Mama akan membatalkan semuanya.”

“Oh, jangan, Ma. Aku pasti setuju. Mama tak akan salah pilih.”

“Anak Mama yang manis.” Mama mengusap pipiku. “Namanya Sam. Memang beberapa tahun lebih muda dari Mama, tapi dia sangat dewasa. Nah, itu dia datang.” Bisik mama.

“Selamat malam….” Demi mendengar sapaan lembut dari belakangku, aku membalikkan badan dengan cepat. Kusiapkan senyum terindah untuk calon papa baruku.

Tapi, Tuhan, betapa bahagianya aku jika Kau biarkan bumi terbelah saat ini juga, lalu menelanku bulat-bulat ketika aku bersitatap dengan Sam, laki-laki pilihan mama. Sam milik Mama adalah Windu kekasih hatiku, yang tiga bulan ini terabaikan olehku.

Windu Samudra…!

Aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya mampu menatap Windu yang masih terpaku di tempatnya. Menatapku tanpa sepatah kata….

Referensi

Dokumen terkait

Memasukkan bola merupakan tujuan terakhir dari permainan bola basket. Oleh karena itu, shooting merupakan teknik terpenting untuk mencetak angka. Salah satu teknik

Publikasi informasi menjadi sangat mudah pada era saat ini, dimana teknologi informasi yang berkembang cepat dan semakin canggih dapat digunakan untuk sarana peningkatan

Penyebab asam urat yang paling utama adalah makanan atau faktor dari luar. Asam urat dapat meningkat dengan cepat antara lain disebabkan karena nutrisi dan

Dari hasil kombinasi analisis SAP dan ETOP, diperoleh matriks SWOT menunjukkan posisi, Sentra Gula Merah Di Kecamatan Dawe Kudus berada pada posisi I (Investasi),

6 Laporan kasus ini melaporkan pemakaian alat orthodonti cekat rapid maxillary expansion (RPE) dan elastik intermaksila untuk mengkoreksi gigitan terbalik posterior

Dari berbagai perkembangan tersebut di atas, maka para ahli epidemiologi mulai mengembangkan apa yang sekarang dikenal dengan metode epidemiologi, yakni suatu

Kalimat interogatif merupakan kalimat yang mengandung maksud menanyakan sesuatu kepada mitra tutur. Tuturan dengan fungsi menanyakan yang.. meminta pengakuan atau

Azhar Arsyad (2013:2) mengemukakan bahwa media adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar mengajar demi tercapainya tujuan pendidikan pada umumnya