HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Varietas Kedelai, Mulsa Jerami dan Aplikasi PGPR terhadap Penyakit Pustul BakteriGejala pustul bakteri mulai terlihat di lapang pada umur tanaman 1 minggu setelah tanam (MST) dengan keparahan penyakit yang masih rendah dan berkembang pada minggu-minggu berikutnya. Gejala awal penyakit pustul banyak ditemukan pada daun-daun muda bagian atas. dengan gejala pada daun terdapat bercak berwarna hijau pucat kekuningan dengan ukuran sebesar mata jarum. dengan bagian tengah agak menonjol (bisul), bercak nampak kebasah-basahan,
kemudian bercak berkembang seiring dengan pertambahan umur tanaman. Pada
gejala lanjut, bercak kemudian berwarna coklat muda sampai coklat tua, pada bagian inti bercak berwarna abu-abu bercak membesar, tepi bercak tidak teratur, mengering dan mudah sobek (Gambar 4 ).
Gambar 4 Gejala awal penyakit pustul bakteri pada 2 MST (a); Gejala lanjut penyakit pustul bakteri pada 7MST pada tanaman yang sama (b).
Perkembangan penyakit pustul bakteri pada 1 MST sampai 6 MST mengalami peningkatan yang tidak terlalu besar rata-rata peningkatan penyakit sebesar 1.51%. Akan tetapi, pada 7 MST penyakit pustul bakteri mengalami peningkatan yang cukup besar dengan rata-rata peningkatan keparahan penyakit sebesar 4.71% (Gambar 5) hampir pada seluruh kombinasi perlakuan kecuali pada perlakuan varietas Gepak Kuning, mulsa jerami dengan atau tanpa PGPR (V2M1P1,V2M1P2). Pada saat 7MST tanaman berada dalam stadium mulai
Kep a ra h a nP en y a ki t( % )
berbunga sampai berbunga penuh yang ditandai dengan terbukanya bunga pertama pada setiap buku dan terbukanya bunga pada satu dari dua buku diatas pada batang utama dengan daun terbuka penuh. Dirmawati (2004) menyatakan bahwa masa pembungaan kedelai merupakan fase kritis tanaman kedelai terhadap penyakit pustul bakteri.
80 V1M1P1 V1M1P2 70 60 V1M2P1 V1M2P2 AUDPC = 208 AUDPC = 194 AUDPC = 181 50 V2M1P1 V2M1P2 AUDPCAUDPC = 179 = 149 40 30 20 V2M2P1 V2M2P2 AUDPC = 135 AUDPC = 47 AUDPC = 42 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Waktu Pengamatan (Minggu)
Gambar 5 Rata-rata keparahan penyakit pustul bakteri pada 1 hingga 12 MST dan nilai AUDPC; V1: varietas Anjasmoro; V2: varietas Gepak Kuning; M1: dengan mulsa jerami; M2: tanpa mulsa jerami; P1: dengan PGPR; P2: tanpa PGPR.
Penyakit lain yang ditemukan di Lapangan selain pustul bakteri adalah karat, busuk pangkal batang (Sclerotium rolfsii) dan penyakit yang diduga disebabkan oleh virus. Karat merupakan penyakit yang dominan selain pustul yang ditemui di lapangan. Sedangkan penyakit busuk pangkal batang dan penyakit yang diduga disebabkan oleh virus hanya sedikit ditemukan menginfeksi tanaman kedelai di lapangan.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan faktor tunggal varietas menunjukkan pengaruh sangat nyata (p < 0.01) terhadap perkembangan penyakit. Kombinasi perlakuan antara varietas dan pemberian mulsa jerami menunjukkan pengaruh nyata (p < 0.05) terhadap perkembangan penyakit (Tabel 1).
K epar a h a np enyak it PGPR 15b 22b
Tabel 1 Ringkasan hasil analisis ragam (Anova) perlakuan varietas, pemberian mulsa dan aplikasi PGPR terhadap perkembangan penyakit pustul bakteri (AUDPC) dan kelimpahan bakteri kitinolitik, tahan panas, fluorescence
dan non-fluorescence Perlakuan AUDPC Tahan panas Kelimpahan bakteri Kitinolitik fluorescence Non-
fluorescence Varietas ** TN TN TN TN Mulsa TN TN TN TN TN PGPR TN TN TN ** TN Varietas XMulsa Varietas X PGPR MulsaXPGPR VarietasXMulsa * TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN X
Ket: *) Nyata (5%), **) Sangat Nyata(1%), TN (Tidak Nyata)
Penggunaan varietas Gepak Kuning terbukti mampu mengurangi
keparahan penyakit pustul bakteri. Berdasarkan hasil analisis ragam, diketahui
bahwa keparahan penyakit pada varietas Gepak Kuning lebih rendah
dibandingkan varietas Anjasmoro. Nilai keparahan pada akhir pengamatan untuk varietas Anjasmoro adalah 60% sedangkan untuk varietas Gepak Kuning nilai keparahan penyakit jauh lebih kecil dibandingkan dengan varietas Anjasmoro yaitu 33%. Selain itu, perkembangan penyakit pada varietas Anjasmoro lebih besar dibanding pada varietas Gepak Kuning dilihat dari nilai AUDPC masing- masing sebesar 199 dan 99 unit (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa varietas
Gepak Kuning lebih mampu menekan perkembangan penyakit pustul dibanding
varietas Anjasmoro. 80 60 Anjasmoro Gepak Kuning 45a
54a 61a 60a AUDPC = 199a
40 20 4a4a 6a6a 9a8a 12a12a 14a12a 18a11b 23a 35a 36b 30b 35b 33b AUDPC = 99b 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Umur Tanaman (Minggu)
Gambar 6 Pengaruh varietas terhadap keparahan penyakit pustul bakteri dan nilai AUDPC.
Agrios (2005) menyatakan bahwa banyak faktor yang dapat memengaruhi ketahanan tanaman. Ketahanan tanaman inang, dapat bersifat : (1) genetik, sifat
tahan diatur oleh sifat genetik yang dapat diwariskan, (2) morfologik, sifat tahan yang disebabkan oleh sifat morfologi tanaman yang tidak menguntungkan patogen, dan (3) kimiawi, ketahanan yang disebabkan oleh zat kimia yang dihasilkan oleh tanaman.
Hasil pengamatan di Lapangan, diketahui bahwa karakter daun pada varietas Gepak Kuning berbentuk lonjong, agak meruncing, tidak begitu lebar dan berwarna hijau gelap. Sedangkan, varietas Anjasmoro memiliki daun yang berbentuk oval, lebar dan warnanya lebih terang dibandingkan dengan varietas Gepak Kuning (Gambar 7). Diduga, adanya perbedaan morfologi tersebut menjadi salah satu faktor ketahanan terhadap penyakit pustul bakteri. Hal ini sesuai dengan penelitian Fanani et al. (1981), mengemukakan bahwa tanaman kedelai yang agak tahan terhadap penyakit daunnya lebih kaku dan warnanya lebih gelap sedangkan pada yang peka daunnya agak lemas dan warnanya lebih terang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa daun yang memiliki karakter lebih gelap dan kaku lebih sulit untuk diinfeksi patogen secara langsung dan cenderung lebih tahan terhadap luka mekanik (Sharma 1993). Semakin kecil terjadinya luka mekanik, maka memperkecil kemungkinan X. axonopodis pv. glycines masuk dan menginfeksi tanaman.
Gambar 7 Gejala penyakit pustul bakteri pada varietas Anjasmoro (a); Gejala penyakit pustul bakteri pada varietas Gepak Kuning pada 7 MST (b).
Singh (1986) menambahkan terhindarnya daun-daun dari serangan penyakit,
kemungkinan disebabkan karena adanya ketahanan morfologis yaitu terdapatnya
bulu-bulu daun (trichoma) pada permukaan daun, sedikitnya jumlah stomata dan ketidaksesuaian membuka dan menutupnya stomata dengan proses infeksi oleh patogen. Bakteri penyebab pustul (X. axonopodis pv. glycines) menginfeksi
Kepara h a nPen y a kit( %)
tanaman kedelai melalui secara pasif melalui lubang alami seperti hidatoda dan stomata atau melalui luka mekanik. Oleh karena itu, diduga jumlah hidatoda dan stomata, lebar sempitnya hidatoda dan stomata serta frekuensi membuka dan menutupnya stomata berpengaruh dalam ketahanan tanaman kedelai terhadap penyakit pustul. Akan tetapi, informasi mengenai hal tersebut pada varietas Anjasmoro dan Gepak Kuning belum diketahui.
Selain dari karakter morfologi, sifat genetik tanaman juga mempengaruhi ketahanan tanaman. Agrios (2005) menyatakan bahwa adanya variasi dalam kerentanan tanaman terhadap patogen disebabkan adanya perbedaan gen yang mengendalikan ketahanan, tingkat patogenesitas dan faktor lingkungan. Pengaruh setiap gen ketahanan bervariasi mulai dari yang sangat besar sampai sangat kecil, tergantung pada fungsi yang dikendalikannya.
Interaksi antara varietas dan pemberian mulsa jerami juga mempengaruhi terhadap penekanan perkembangan penyakit (Tabel 1). Kombinasi antara varietas Gepak Kuning yang diberi mulsa (V2M1) diketahui mampu menekan keparahan penyakit pustul dilihat dari nilai AUDPC yang sangat kecil (16.3 unit) dibandingkan dengan nilai pada perlakuan kontrol untuk varietas yang mencapai 114.3 unit. Diduga terjadi interaksi yang kompatibel antara varietas Gepak Kuning dengan pemberian mulsa (Gambar 8).
80
70 Anjasmoro dengan mulsa
60
50
40
30
20
Anjasmoro tanpa mulsa
Gepak Kuning dengan mulsa
Gepak Kuning tanpa mulsa
AUDPC= 172.7 AUDPC= 151.7 AUDPC= 114.3 AUDPC= 16.3 10 0 Umur tanaman (minggu)
Gambar 8 Pengaruh kombinasi antara varietas dan pemberian mulsa jerami terhadap keparahan penyakit pustul dan nilai AUDPC.
Berdasarkan hasil analisis sebelumnya diketahui varietas Gepak Kuning lebih mampu menekan perkembangan penyakit pustul dibandingkan dengan varietas Anjasmoro. Pada Gambar 7 diketahui bahwa varietas Gepak Kuning yang diaplikasikan tunggal memiliki nilai perkembangan penyakit (AUDPC) sebesar 99 unit, sedangkan jika varietas Gepak Kuning yang diberi tambahan mulsa jerami maka menurunkan nilai AUDPC sebesar 16.3. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Gepak Kuning akan lebih optimum dalam menekan perkembangan penyakit pustul jika diberi mulsa jerami.
Penambahan mulsa jerami memberikan sumbangan bahan organik pada
tanah. Lebih lanjut Mustaha (1999) menjelaskan bahwa penambahan bahan organik akan membentuk agregat tanah menjadi lebih baik sehingga aerasi, permeabilitas dan infiltrasi menjadi lebih baik. Kondisi ini akan mendorong perkembangan akar, sehingga kemampuan akar menyerap air dan unsur hara juga meningkat. Peningkatan serapan hara dan air akan berdampak pada peningkatan aktifitas fotosintesis yang secara langsung akan meningkatkan metabolisme tanaman sehingga tanaman menjadi lebih vigor, dan lebih tahan terhadap infeksi penyakit.
Bahan organik juga berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap ketersediaan hara. Bahan organik secara langsung merupakan sumber hara N, P, S, unsur mikro maupun unsur hara esensial lainnya. Secara tidak langsung bahan organik membantu menyediakan unsur hara N melalui fiksasi N2 dengan cara menyediakan energi bagi bakteri penambat N2, membebaskan fosfat yang difiksasi secara kimiawi maupun biologi dan menyebabkan pengkhelatan unsur mikro sehingga tidak mudah hilang dari zona perakaran (Sharma 2002).
Varietas Gepak Kuning diketahui sebelumnya lebih tahan terhadap pustul dibandingkan dengan varietas Anjasmoro. Varietas tanaman yang tahan diduga
menghasilkan eksudat akar dengan kandungan senyawa yang cocok dibutuhkan
oleh mikroorganisme tanah yang bermanfaat, sehingga mikroorganisme tanah lebih banyak tertarik pada perakaran varietas Gepak Kuning dan mampu
berkembang secara optimal.
Brimecombe et al. (2001) menjelaskan bahwa tingkat kolonisasi suatu agens biokontrol sangat dipengaruhi oleh eksudat tanaman. Pergerakan bakteri di dalam
K eparah a nPenyak it(%)
rizosfer dipengaruhi antara lain oleh kandungan bahan kimia dalam eksudat perakaran. Kandungan senyawa kimia yang ada dalam eksudat akar dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis dan umur tanaman. Komposisi mikroba dan kelimpahan spesies pada tanah yang berdekatan dengan tanaman berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan eksudat akar dan beragam tergantung pada faktor lingkungan yang sama yang mempengaruhi eksudasi.
Salah satu cara mengatasi kekurangan bahan organik di tanah adalah dengan pemberiam mulsa jerami. Hasil analisis statistik diketahui bahwa pemberian mulsa jerami tidak berpengaruh nyata terhadap penekanan penyakit pustul bakteri (Tabel 1). Data hasil pengamatan keparahan penyakit pustul bakteri pada petak yang diberi mulsa dan tanpa mulsa ditampilkan pada Gambar 9. Pada awal pengamatan mulai 1 MST- 3MST dan 8 MST pemberian mulsa berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit dibandingkan dengan petak yang tidak diberi mulsa. Akan tetapi, secara umum dilihat dari nilai keparahan penyakit, pemberian mulsa tidak terlalu berbeda nyata dengan petak yang tidak diberi mulsa. Walaupun tidak berbeda nyata, perlakuan pemberian mulsa menghasilkan keparahan penyakit pustul bakteri yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tanpa mulsa dilihat dari nilai AUDPC dengan nilai masing-masing untuk mulsa dan tanpa mulsa adalah 112 unit dan 154 unit. Aplikasi mulsa jerami dilakukan satu kali pada awal penanaman setelah penanaman benih. Diduga, mulsa jerami yang diberikan ke tanah secara umum hanya dapat bertahan pada 3-4 minggu setelah aplikasi. 60 50 40 Tanpa Mulsa Mulsa AUDPC = 154 AUDPC = 112 30 20 10 0 Waktu Pengamatan (Minggu)
Gambar 9 Pengaruh pemberian mulsa jerami terhadap keparahan penyakit pustul dan nilai AUDPC.
K eparah a nP enyak it(%)
Hasil analisis ragam, aplikasi tunggal PGPR menunjukkan bahwa aplikasi PGPR yang berasal dari kombinasi B. subtilis AB89 dan P. fluorescens RH4003 belum mampu mengendalikan penyakit pustul bakteri dilihat dari nilai keparahan penyakit dan AUDPC yang tidak berbeda nyata dengan petak kontrol (Gambar 10). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan aplikasi agens PGPR di lapangan. Agens PGPR diaplikasikan pada perakaran tanaman kedelai dengan konsentrasi yang cukup besar + 107-108 cfu/ml. Harapannya, dengan jumlah yang besar, peluang agens PGPR dalam mengkolonisasi perakaran juga semakin besar. Kemungkinan, agens PGPR yang diaplikasikan tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan harus bersaing dengan mikroorganisme lain yang sebelumnya telah ada di lapangan. Selain itu, aplikasi PGPR hanya dilakukan sekali pada awal penanaman.
60 50 PGPR AUDPC=128.7 40 Kontrol AUDPC=123.4 30 20 10 0 Waktu Pengamatan (Minggu)
Gambar 10 Pengaruh aplikasi PGPR terhadap keparahan penyakit pustul dan nilai AUDPC.
Frekuensi juga diduga berpengaruh terhadap keberhasilan agen PGPR di lapangan. Hal ini berhubungan dengan kompetisi antara agens PGPR yang
diaplikasikan dengan mikroorganisme asli. Nawangsih (2006) menambahkan
bahwa walaupun inokulasi agens biokontrol biasa dalam jumlah besar, namun setelah beberapa bulan hanya sedikit yang berhasil diisolasi kembali. Dalam
jangka waktu tertentu strain yang diintroduksikan populasinya lebih dominan, akan tetapi secara perlahan akan digantikan oleh mikroorganisme penghuni asli. Oleh karena itu, aplikasi agens antagonis tidak cukup hanya sekali, harus
dilakukan berulang.
Dalam epidemiologi, langkah awal untuk mencegah terjadinya epidemi adalah dengan mengurangi inokulum awal. Salah satu caranya dengan
perendaman benih menggunakan PGPR. Aplikasi melalui perendaman benih
dilakukan untuk mempertahankan populasi dengan harapan B. subtilis AB89 dan P. fluorescens RH4003 mampu mengkolonisasi perakaran saat pertama muncul dari benih sebagai langkah langkah awal untuk perlindungan. Nawangsih (2006)
melaporkan aplikasi melalui perendaman benih mampu mempertahankan populasi
P. fluorescens RH4003 tetap tinggi (+ 108 cfu/g akar) hingga 25 hari setelah aplikasi.
Hasil isolasi bakteri rizosfer diketahui bahwa keragaman bakteri rizosfer cukup tinggi pada lahan percobaan dilihat dari nilai keragaman pada petak kontrol untuk masing-masing varietas (V1M2P2 dan V2M2P2) (Tabel 3). Menurut Cook dan Baker (1996) keragaman mikroorganisme tanah juga akan sangat berpengaruh terhadap agen PGPR dalam pemanfaatan bahan makanan, ruang dan udara. Semakin banyak mikroorganisme saprofit di dalam tanah maka akan semakin tinggi persaingan antara PGPR dengan mikroorganisme saprofit lainnya terutama
dalam pengambilan nutrisi/makanan.
Nawangsih (2006) menyatakan bahwa untuk mengendalikan suatu penyakit,
agens biokontrol dituntut tidak hanya terdapat dalam jumlah yang banyak tetapi harus dapat aktif mengekspresikan kemampuan antagonismenya dan tepat sasaran. Agens PGPR dengan mekanisme antagonis akan lebih efektif jika memiliki niche yang sama dengan patogen. Diketahui bahwa agens PGPR yang diaplikasikan merupakan bakteri rizosfer yang diisolasi dari rizosfer tanaman tomat, sedangkan bakteri penyebab penyakit pustul hidup di daerah filloplane. Sehingga, diduga mekanisme yang berperan adalah induksi ketahanan untuk meningkatkan aktivitas enzim peroksidase. Diduga, agen PGPR yang diaplikasikan kurang mampu dalam
(PGPR yang sebelumnya telah ada/PGPR asli) yang lebih berperan dalam
menginduksi ketahanan tanaman terhadap penyakit pustul.
Penelitian sebelumnya, diketahui bahwa P. fluorescence RH4003 dan B. subtilis AB89 dapat menekan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum di tomat masing-masing sebesar 22% dan 35% (Nawangsih 2006). Ketidakberhasilan P. fluorescence RH4003 dan B. subtilis AB89 dalam menekan perkembangan pustul bakteri pada kedelai dapat dikaitkan dengan hubungan antara jenis tanaman dengan agens PGPR yang diaplikasikan.
Glick (1999) mengemukakan bahwa hubungan antara tanaman dengan
mikroorganisme tanah dapat bersifat kompatibel atau tidak. Kompatibel, jika senyawa dan asam organik yang dikeluarkan oleh tanaman cocok dengan kebutuhan mikroorganisme tersebut sehingga dapat tumbuh secara optimal dan
bersimbiosis mutualisme dengan tanaman. Bakteri PGPR (P. fluorescence
RH4003 dan B. subtilis AB89) diisolasi dari tanaman tomat, sehingga ketika diaplikasikan kembali pada perakaran tomat cocok dengan habitat asal bakteri tersebut, sehingga bakteri PGPR tersebut berkembang dengan optimal. Kemungkinan, tidak terjadi kompatibilitas jika bakteri PGPR diaplikasikan pada tanaman kedelai karena senyawa dan asam organik yang dikeluarkan oleh akar tanaman kedelai kurang cocok dengan kebutuhan nutrisi bakteri PGPR yang diaplikasikan. Pengaruh Varietas Kedelai, Mulsa Jerami dan Aplikasi PGPR terhadap Kelimpahan Bakteri Rizosfer
Koloni bakteri diperoleh dari hasil isolasi contoh tanah yang diambil tiga kali selama musim tanam, yaitu pada saat pertumbuhan tanaman pada fase vegetatif, pembungaan dan pengisian polong. Dari hasil isolasi diperoleh empat kelompok bakteri. Koloni bakteri tahan panas diperoleh dari medium TSA, bakteri kitinolitik diperoleh dari medium kitin. Dari medium KBA diperoleh dua kelompok bakteri, jika diamati dibawah lampu UV berpendar maka termasuk kelompok bakteri fluorescence, sedangkan jika tidak tergolong kelompok non- fluorescence.
Pertumbuhan bakteri pada medium TSA dan KBA lebih cepat (24-48 jam) dibandingkan dengan pertumbuhan bakteri kitinolitik pada medium kitin (96-120 jam). Secara umum, jumlah koloni bakteri tahan panas banyak dibandingkan dengan bakteri lainnya (Gambar 11).
15% 31 % Tahan panas Non-fluorescence Kitinolitik 24% fluorescence 30%
Gambar 11 Total kelimpahan bakteri (%) pada masing-masing kelompok.
Secara umum, kombinasi perlakuan varietas, mulsa jerami dan aplikasi PGPR mampu meningkatkan kelimpahan bakteri rizosfer kelompok kitinolitik, tahan panas, fluorescence dan non-fluorescence dibandingkan dengan perlakuan kontrol pada masing-masing varietas (V1M2P2 dan V2M2P2) (Gambar 12).
Menurut Graham (2005) mengemukakan bahwa keseimbangan biologi pada
rizosfer untuk mengendalikan patogen dapat diciptakan dengan memanipulasi lingkungan yaitu dengan cara integrasi pengendalian hayati dan kultur teknis. Keseimbangan mikroorganisme selain dapat melindungi akar tanaman inang namun juga terdapat beberapa keuntungan yaitu produksi senyawa pemacu pertumbuhan tanaman atau peningkatan pengambilan hara dan air oleh akar tanaman.
Kombinasi perlakuan varietas Gepak Kuning, dengan mulsa jerami dan dengan aplikasi PGPR (V2M1P1) menunjukkan nilai kelimpahan bakteri terbesar hampir pada semua kelompok bakteri, kecuali kelompok bakteri non- fluorescence. Selain itu, diketahui juga bahwa keragaman kelompok bakteri terbanyak terdapat pada kombinasi perlakuan Gepak Kuning yang diberi mulsa
jerami dan diaplikasikan PGPR (V2M1P1) (Tabel 2). Semakin beragam
mikroorganisme dalam tanah makan akan semakin banyak peluang
mengendalikan patogen secara biologi.
Tabel 2 Pengaruh varietas, mulsa jerami dan aplikasi PGPR terhadap keragaman bakteri rizosfer (kelompok kitinolitik, tahan panas, non-fluorescence dan fluorescence)
Keragaman bakteri (jumlah jenis)
Perlakuan Tahan
panas Kitinolitik fluorescence Non-fluorescence V1M1P1 V1M1P2 V2M1P1 V2M1P2 V1M2P1 V1M2P2 V2M2P1 V2M2P2 15 5 20 7 4 10 6 4 3 1 10 7 1 9 12 3 14 19 1 11 7 1 4 9 2 3 6 1 6 3 1 6
Ket : V1: varietas Anjasmoro; V2: varietas Gepak Kuning; M1: Dengan Mulsa Jerami; M2:Tanpa Mulsa Jerami; P1: Dengan PGPR; P2: Tanpa PGPR.
Hasil isolasi tanah diketahui bahwa kelimpahan bakteri rizosfer (kitinolitik, tahan panas, fluorescence dan non-fluorescence) lebih banyak terdapat pada petak yang diberi mulsa jerami (Tabel 3). Oke dan Ologun (2005) menyatakan bahwa pemberian mulsa merupakan sumber energi bagi mikroorganisme yang hidup di dalam tanah yang selanjutnya akan didekomposisisi dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana. Sehingga, hasil dekomposisisi dapat dimanfaatkan langsung oleh tanaman. Adanya interaksi yang kompatibel antara mikroorganisme dalam tanah dengan varietas Gepak Kuning memungkinkan terjadinya penekanan terhadap perkembangan penyakit pustul bakteri.
Tabel 3 Pengaruh pemberian mulsa jerami terhadap kelimpahan bakteri rizosfer
Kelimpahan bakteri kelompok-(log cfu/g)
Perlakuan Tahan
panas Kitinolitik fluorescence Non- fluorescence
Mulsa Jerami 12.09 a 7.94 a 6.36 a 11.70 a
Tanpa Mulsa jerami 11.90 a 7.10 a 5.02 a 11.37A
Ket : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak
K elimp a h a nba kt eri( logcfu K elimp a h a nba kt eri( logcfu K elimp a h a nba kt eri( logcfu /g ) K elimp a h a nba kt eri( logcfu /g ) 10 12 6 11,8 11.8a 11.7a 4 2 0 11,6 11,4 11,2
fluorescence
8 6.3 ab 6 5.8 ab 6.4 ab 8.4 ab 4.9 a5.6 a 4.9 a
Non-fluorescence
11.8a 11,5 11.3a 11.9a 11.8a 11.7a 11.6a 4 3.1 a 11 11.1a11.0a 2 0 10,5
Gambar
12
Diagram
kelimpahan
masing-masing
kelompok
bakteri
pada
kombinasi
perlakuan
dibandingkan
dengan
kontrol
pada
masing-masing
varietas;
V
1:
varietas
Anjasmoro;
V
2:
varietas
Gepak
Kuning;
M
1:
dengan
mulsa
jerami;
M
2:tanpa
Semua isolat yang diperoleh selanjutnya, di uji Gram dengan menggunakan KOH 3%, diketahui bahwa rata-rata pada kelompok bakteri tahan panas dan non-fluorescence sebagian besar merupakan kelompok bakteri gram positif. Sedangkan semua isolat bakteri fluorescence yang diperoleh termasuk ke dalam kelompok bakteri gram negatif. Dan hanya satu dari 97 isolat bakteri kelompok kitinolitik yang termasuk gram negatif, sisanya termasuk kelompok gram positif. Ciri khas pengelompokkan kelompok bakteri berdasarkan gram positif dan negatif terutama didasarkan pada perbedaan lapisan peptidoglikan yang menyusun dinding sel bakteri. Menurut Pelchzar dan Chan (1986) bakteri gram positif memiliki lapisan peptidoglikan yang tebal berupa asam teiokat, sedangkan bakteri gram negatif memiliki lapisan peptidoglikan pada dinding sel yang tipis. Sehingga, perlakuan KOH 3% terhadap massa bakteri gram negatif akan menyebabkan rusaknya dinding sel bakteri dan melepas DNA yang merupakan komponen yang bersifat viscid (seperti lendir).
Selain pengujian gram, karakteristik yang dilakukan lainnya adalah pengujian hipersensitif. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah isolat tersebut patogen tumbuhan atau bukan. Hasil pengujian diketahui bahwa, sebanyak 85% dari total semua populasi bakteri bukan merupakan bakteri patogen tumbuhan yang ditandai dengan reaksi negatif dari uji hipersensitif. Hal ini, menunjukkan bahwa kelompok bakteri tahan panas, kitinolitik fluorescence dan non fluorescence yang ada pada petak yang diberi perlakuan lebih banyak bakteri
yang menguntungkan terhadap tanaman.
Hasil analisis statistika diketahui bahwa aplikasi PGPR berpengaruh terhadap peningkatan kelimpahan bakteri kelompok fluorescence (Tabel 4). PGPR yang diaplikasikan merupakan kombinasi antara B. subtilis AB89 dan P. fluorescens RH4003. Ada kemungkinan bakteri fluorescence yang diaplikasikan terisolasi kembali. Oleh karena itu, dilakukan karakterisasi secara morfologi dan fisiologi terhadap 5 jenis isolat terbanyak, dengan asumsi bahwa bakteri tersebut merupakan bakteri yang lebih dominan dan mampu bertahan dibandingkan dengan bakteri lain. 5 isolat terbanyak untuk kelompok fluorescence adalah F3, F4, F7, F9 dan F11.
Tabel 4 Pengaruh perlakuan varietas, mulsa jerami dan aplikasi PGPR terhadap kelimpahan bakteri rizosfer
Perlakuan Kelimpahan bakteri(log cfu/g tanah)
Kitinolitik Tahan panas fluorescence Non-fluorescence
Anjasmoro 7.26 a 11.97 a 5.42 a 11.31 a
Gepak Kuning 7.78 a 12.03 a 5.96 a 11.77 a
Mulsa Jerami 7.94 a 12.09 a 6.36 a 11.70 a
Tanpa Mulsa
jerami 7.10 a 11.90 a 5.02 a 11.37 a
PGPR 8.02 a 12.02 a 6.69 a 11.63 a
Tanpa PGPR 7.02 a 11.97 a 4.69 b 11.45 a
Ket : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%).
Karakterisasi Morfologi dan Fisiologi Isolat Terbanyak Bakteri Tahan Panas
Hasil isolasi diketahui lima isolat terbanyak untuk kelompok bakteri tahan panas yaitu T31, T42, T48, T61 dan T70. Karakterisasi fisiologi yang dilakukan adalah uji endospora dan uji pada medium agar darah. Hasil pengujian endospora melalui pewarnaan malachite green dan pewarna lawan safranin pada semua isolat yang diuji menunjukkan endospora berwarna hijau dengan sel vegetatifnya berwarna merah muda seperti tampak pada Gambar 13.
a
b
Gambar 13 Endospora T61 (hijau) didalam sel vegetatifnya (merah), posisi endospora ditengah (a); Endospora T70 (hijau) didalam sel vegetatifnya (merah), posisi endospora didekat ujung (b); Insert: Endospora ditengah sel (kiri), endospora diujung sel (kanan)
Tabel 5 Hasil pengujian endospora isolat tahan panas terbanyak
No Kode isolat Ada/tidaknya
Posisi endospora
endospora
1 T31 Ada Dekat ujung
2 T42 Ada Dekat ujung
3 T48 Ada Tengah
4 T61 Ada Tengah
5 T70 Ada Dekat ujung
6 B. subtilis AB89 Ada Dekat ujung
Hasil pengujian, seperti tersaji pada Tabel 5 diketahui bahwa semua isolat tahan panas yang diuji memiliki endospora, akan tetapi, diketahui ada tiga isolat yang memiliki posisi endospora yang sama dengan B. subtilis AB89 diantaranya adalah T31, T42 dan T70. Menurut Pelczar dan Chan (1986) endospora berfungsi sebagai struktur bertahan. Dibandingkan dengan sel vegetatif, endospora sangat resisten terhadap kondisi-kondisi fisik yang kurang menguntungkan seperti suhu tinggi dan kekeringan juga terhadap bahan-bahan kimia seperti desinfektan. Beberapa ahli telah menghubungkan resistensi ini dengan selubung spora yang impermeable, yang berkaitan dengan kompleks asam dipikolinatkalsium- peptidoglikan. Keadaan ini menjadi penting bagi ketahanan hidup Bacillus sp. khususnya sebagai agensia pengendalian hayati. Beberapa jenis bakteri yang memiliki endospora selain Bacillus sp, adalah Clostridium sp dan Sporosarcina sp. Hasil pengamatan diketahui posisi endospora dapat terletak ditengah dan didekat ujung sel. Menurut Salle (1973) masing-masing spesies Bacillus memiliki karakteristik tersendiri baik ukuran, bentuk dan posisi spora walaupun variasi ini bisa berubah dalam lingkungan yang berbeda.
Selain endospora, uji lain yang dilakukan adalah uji pada medium agar darah. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui sifat lisis dari isolat bakteri terhadap medium agar darah. Hasil pengujian diketahui bahwa B. subtilis AB89 menunjukkan reaksi lisis yang bersifat β-hemolisis, ada 3 isolat yang menunjukkan reaksi yang sama dengan B. subtilis AB89 yaitu isolat T42, T48 dan T70 (Tabel 6 dan Gambar 14).
2 T42 β-hemolisis Terlisis sempurna. warna lisis
3 T48 β-hemolisis Terlisis sempurna. warna lisis
5 T70 β-hemolisis Terlisis sempurna. warna lisis
6 B. subtilis AB89 β-hemolisis Terlisis sempurna. warna lisis Tabel 6 Reaksi lisis isolat terbanyak kelompok tahan panas pada medium agar
darah
No Kode isolat Sifat lisis Keterangan
1 T31 γ-hemolisis Tidak adanya perubahan warna
bening bening
4 T61 γ-hemolisis Tidak adanya perubahan warna
bening bening
Gambar 14 Reaksi hemolisis pada agar darah isolat bakteri tahan panas terpilih (tampak depan) (A); Reaksi hemolisis pada agar darah isolat bakteri tahan panas terpilih (tampak belakang) (B); a)T31, b) T42, c) T48, d) T61, e) T70, f) B. subtilis AB89, g) kontrol (LB); γ-hemolisis (tanda panah biru), β-hemolisis (tanda panah kuning).
Hasil uji endospora dan uji pada medium agar darah, diketahui isolat T42, T48 dan T70 memiliki kesamaan dengan isolat B. subtilis AB89. Akan tetapi, dilihat secara morfologi terdapat perbedaan antara isolat T42, T48 dan T70 dengan isolat B. subtilis AB89 (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa isolat tersebut diduga bukan merupakan B. subtilis AB89. Diduga, B. subtilis AB89 kurang mampu bertahan dan bersaing dengan mikroorganisme lain yang sebelumnya telah ada di lapangan. Simon et al (2001) menyatakan bahwa strain Bacillus pertumbuhannya relatif terbatas dibanding strain Pseudomonas.
Non- Ber-
parafin parafin
Tabel 7 Morfologi isolat T42, T48, T70 dan B. subtilis AB89
Kode Isolat
Bentuk Warna Tepian Elevasi Berlendir/ Tidak
T42 Bundar Putih kusam Licin Cembung Tidak
T48 Bundar Putih kusam Berombak Cembung Tidak
T70 Bundar Putih kusam Seperti benang Timbul Tidak
B.subtilis AB89
Bentuk L
Putih kusam Berombak Datar Tidak
Bakteri Fluorescence
Kelompok yang kedua yang dikarakteristik adalah kelompok fluorescence. Isolat terbanyak pada kelompok ini adalah F3, F4, F7, F9 dan F11. Hasil uji LOPAT, diketahui hanya isolat F9 yang berbeda dengan bakteri PGPR yang diaplikasikan (P. fluorescens RH4003). Sedangkan, isolat lainnya menunjukkan karakter yang sama dengan bakteri PGPR yang diaplikasikan (Tabel 8).
Tabel 8 Hasil uji LOPAT isolat kelompok fluorescence terbanyak Uji LOPAT Kode isolat Levan Oksidase Potato
Soft rot Arginin Tobacco hyper- sensitive F3 + + - + + - F4 + + - + + - F7 + + - + + - F9 - - + - - - F11 + + - + + - P. fluorescens RH4003 + + - + + -
Hasil uji levan, diketahui hanya isolat F9 yang bereaksi negatif (Tabel 8). Sedangkan isolat lainnya menunjukkan reaksi yang positif. Reaksi positif ditandai dengan koloni yang cembung, membentuk kubah (Gambar 15). Levan terbentuk sebagai akibat aktifitas enzim dari levan sukrase dalam sukrosa (disakarida yang terdiri dari glukosa dan fruktosa). Glukosa dimetabolisme dan fruktosa dipolimerasi (Schaad 2001).
Gambar 15 Uji levan isolat fluorescence (A); Reaksi positif uji levan, koloni
seperti kubah (cembung jelas), putih, mucoid (B); Reaksi negatif uji levan, koloni datar, tidak berkilau dan transparan (C).
Pengujian yang kedua adalah uji oksidase. Enzim oksidase memegang peranan yang penting dalam operasi sistem transport elektron selama proses respirasi secara aerob. Cytocrom oksidase, mengkatalisis oksidasi dengan mereduksi molekul oksigen (O2), menyebabkan atau menghasilkan bentuk H2O atau H2O2. Bakteri yang anaerobik, sebagiamana beberapa yang fakultatif anaerobik dan mikro aerophilik, memperlihatkan aktifitas oksidase (Salle 1973).
Gambar 16 Reaksi oksidase isolat fluorescence (A); Reaksi oksidase positif (+) berwarna ungu (B.a); Reaksi oksidase negatif (-) tidak terjadi perubahan warna (B.b).
Pengujian yang ketiga adalah Potato Soft Root. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas pektolitik isolat bakteri yang diuji yakni dalam menghasilkan enzim pektinase (Schaad 2001). Diketahui bahwa hanya isolat bakteri F9 yang bereaksi positif, artinya hanya isolat bakteri tersebut yang mampu menghasilkan enzim pektinase (Gambar 17). Sedangkan, pengujian terakhir yaitu reaksi hidrolisis arginin. Hasilnya diketahui bahwa isolat F3, F4, F7
dan F11 bereaksi positif. Hal ini menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut bersifat anaerob. Fahl dan Hayward (1983) menyatakan bahwa enzim arginin desmidase di dalam bakteri memiliki peranan sebagai pendegradasi arginin yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh pada kondisi anaerobik. Enzim-enzim tersebut (generate) ATP dengan cara mengubah arginin menjadi ornitin dengan cara menggenerasi CO2 dan NH3. Perubahan warna terjadi karena reaksi yang bersifat alkalin merupakan reaksi yang bersifat alkalin dari produksi NH3 pada lingkungan
yang anaerob.
Gambar 17 Reaksi potato soft rot positif (+) umbi busuk. Kecoklatan, berlendir (A.a); Reaksi potato soft rot negatif (-) umbi segar, tidak terjadi perubahan warna (A.b); Reaksi potato soft rot pada isolat fluorescence (B).
Dari hasil semua pengujian karakterisasi pada kelompok fluorescens, diketahui hampir semua isolat bakteri yang diuji menunjukkan karakteristik yang sama dengan bakteri PGPR yang diaplikasikan yaitu P. fluorescens RH4003, kecuali isolat F9. Dilihat dari morfologi koloni isolat yang mirip dengan P. fluorescens RH4003 adalah isolat F4 dan F7. Untuk lebih meyakinkan, seharusnya dilakukan analisis secara molekuler untuk mengetahui kemiripan isolat tersebut.
Bakteri Kitinolitik
Karakterisasi juga dilakukan pada kelompok bakteri kitinolitik. Berdasarkan hasil pengujian diketahui 5 isolat bakteri kitinolitik dengan populasi terbanyak, memiliki aktifitas zona bening yang beragam. Mulai dari sangat kuat sampai
rendah. Isolat kitinolitik terbanyak adalah K17, K21, K29, K31 dan K37. Hasilnya diketahui bahwa isolat kitinolitik K17 mempunyai aktifitas kitinolitik yang sangat kuat sebesar 2.1 cm (Gambar 18). Bakteri penghasil enzim kitinolitik banyak berada pada habitat yang memiliki kandungan kitin tinggi, seperti kompos yang mengandung kitin (Sakai et al. 1998), eksosskeleton crustaceae (Vogan et al. 2002), air laut, sedimen laut (Brzezinska dan Donderski 2001) dan tanah (Chernin et al. 1995)
Gambar 18 Aktivitas kitinolitik isolat K17 pada medium kitin.
Adanya aktifitas zona bening pada medium kitin, menunjukkan bahwa bakteri
mempunyai kemampuan untuk menghasilkan enzim kitinolitik yang mampu
mendegradasi kitin. Lebih lanjut dijelaskan Patil (2004) Enzim kitinolitik merupakan enzim ekstraseluler untuk pengambilan nutrisi dan parasitisme.
Brzezinska dan Donderski (2001) menambahkan, bakteri memproduksi enzim
kitinolitik untuk mendegradasi kitin sehingga memperoleh N-asetilglukosamin sebagai nutrisi karbon dan nitrogen untuk proses hidup bakteri. Thompshon et al (2001) melaporkan bahwa degradasi kitin oleh enzim kitinolitik bakteri adalah
untuk memperoleh N-asetilglukosamin yang selanjutnya akan dimetabolisme
sehingga menghasilkan energi, CO2, H2O dan NH3. Menurut Metclaf et al (2002) peranan bakteri kitinolitik penting dalam mempertahankan siklus karbon dan nitrogen dari degradasi kitin dalam ekosistem. Hasil isolasi kelompok bakteri ini dapat dijadikan koleksi untuk kemudian dapat dijadikan calon agen antagonis untuk penyakit-penyakit pada kedelai.