• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. terus menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Diabetes melitus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. terus menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Diabetes melitus"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Diabetes melitus (DM) yang umum dikenal sebagai kencing manis adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar gula darah) yang terus menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Diabetes melitus merupakan keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Bilous, 2014).

Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif, yaitu penyakit akibat fungsi atau struktur dari jaringan atau organ tubuh yang secara progresif menurun dari waktu ke waktu karena usia atau pilihan gaya hidup. Penyakit ini juga dikenal sebagai penyakit akibat dari pola hidup modern dimana orang lebih suka makan makanan siap saji, kurangnya aktivitas fisik karena lebih memanfaatkan teknologi seperti penggunaan kendaraan bermotor dibandingkan dengan berjalan kaki (Nurhasan,2000).

Jumlah penderita diabetes mellitus secara global terus meningkat setiap tahunnya. Menurut data yang dipublikasikan oleh World Health Organization

(WHO, 2011) angka kejadian diabetes mellitus di dunia berkembang dari 30 juta pada tahun 1985 menjadi 194 juta pada tahun 2006. Pada tahun 2025 diperkirakan angka ini terus meningkat mencapai 333 juta. Indonesia berada pada peringkat ke-4 terbanyak kasus DM di dunia. Hasil survei WHO tahun 2000, jumlah

(2)

penderita DM di Indonesia adalah 8,4 juta jiwa, setelah India (31,7 juta), Cina (20,8 juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta), dan diperkirakan tahun 2030 prevalensi penyakit DM di Indonesia meningkat menjadi 21,3 juta jiwa (PERKENI, 2011; Depkes RI, 2008). Prevalensi DM di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tahun 2014 sebanyak 217 ribu kasus. Kabupaten Sleman memiliki kasus DM tipe 2 terbanyak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pada tahun 2014 di Kabupaten Sleman terdapat 25 ribu kasus DM tipe 2, angka tersebut mengalami peningkatan 2 kali lipat di atas prevalensi tahun 2011 yaitu sebanyak 12 ribu kasus DM tipe 2 (Dinkes Sleman, 2015).

Pengelolaan penyakit DM dikenal dengan empat pilar utama yaitu penyuluhan atau edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani atau aktivitas fisik dan intervensi farmakologis. Keempat pilar pengelolaan tersebut dapat diterapkan pada semua jenis tipe DM termasuk DM tipe 2. Untuk mencapai fokus pengelolaan DM yang optimal maka perlu adanya keteraturan terhadap empat pilar utama tersebut (PERKENI, 2011). Penderita DM yang tidak patuh pada empat pilar penatalaksanaan maka kadar gula darahnya tidak terkontrol dan akan terjadi komplikasi misalnya, strok, gagal ginjal, jantung, kebutaan dan bahkan harus menjalani amputasi jika anggota badan menderita luka yang sulit sembuhnya (Suryono, 2011).

Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting dalam tindakan penderita diabetes melitus, perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih mudah dilaksanakan daripada yang tidak didasari oleh pengetahuan. Hal tersebut sudah dibuktikan pada penelitian sebelumnya yaitu “Gambaran Pengetahuan dan

(3)

Perilaku tentang penatalaksaan DM pada pasien DM di Puskesmas Ciputat Timur”, hasil gambaran pengetahuan pasien adalah cukup sehingga sikap terhadap pengelolaan terhadap DM belum optimal. Oleh karena itu, pengetahuan erat hubungannya dengan perilaku, karena dengan pengetahuan pasien memiliki alasan atau landasan untk mengambil suatu keputusan atau pilihan. Tambahan pula, sikap berarti suatu keadaan jiwa dan keadaan pikir yang dipersiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu objek yang diorganisasi melalui pengalaman dan mempengaruhi secara langsung pada perilaku. Pengalaman dapat mempengaruhi pengamatan sosial dalam tingkah laku, pengalaman dapat diperoleh dari semua tindakannya dimasa lalu dan dapat dipelajari, melalui belajar orang akan dapat memperoleh pengalaman. Kepribadian dan cara berperilaku yang menentukan perbedaan perilaku dari setiap individu. Harapannya penelitian ini dapat melihat hubungan tingkat pengetahuan dan sikap penderita DM tipe 2 rawat jalan terhadap manajemen DM di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah:

1) Bagaimanakah hubungan tingkat pengetahuan dan sikap penderita DM tipe 2 terhadap manajemen DM di RSUP Dr. Sardjito,Yogyakarta?

2) Bagaimanakah hubungan sikap penderita DM tipe 2 terhadap manajemen DM di RSUP Dr. Sardjito,Yogyakarta?

(4)

C. Tujuan Penelitian

1) Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan sikap terhadap manajemen DM pada penderita DM tipe 2 rawat jalan di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.

2) Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan sikap terhadap manajemen DM pada penderita DM tipe 2 rawat jalan di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.

D.Manfaat Penelitian 1) Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pendukung terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam manajemen DM.

2) Manfaat Praktis

a. Bagi Penderita DM tipe 2

Hasil penelitian ini dapat memacu pasien untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang manajemen DM

b. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi latihan peneliti dan meningkatkan

critical thinking peneliti untuk melihat gambaran karateristik penderita DM, tingkat pengetahuan dan sikap penderita DM tipe 2 terhadap manajemen DM dan dapat melatih peneliti dalam melakukan riset untuk mendapatkan sarjana kefarmasian.

(5)

E.Tinjauan Pustaka

1. Diabetes Melitus (DM)

Bab ini menguraikan tentang teori yang terkait mendasari penyakit DM yang mencangkup definisi DM, klasifikasi, patofisiologi, faktor risiko, diagnosis, komplikasi serta manajemen DM, tingkat pengetahuan, sikap, kerangka konsep dan hipotesis penelitian.

a. Pengertian DM

DM adalah salah satu kelompok penyakit metabolik yang memiliki karakteristik yaitu terjadinya peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemi) dengan faktor penyebabnya adalah kerusakan dalam mensekresikan insulin, kerusakan dalam fungsi insulin atau disebabkan karena keduanya. (Smeltzer & Bare, 2008).

Utaminingsih (2009) menyatakan bahwa DM adalah suatu penyakit dengan kondisi kadar glukosa darah tinggi di dalam tubuh disebabkan karena tubuh tidak dapat menggunakan insulin atau bahkan tidak dapat menghasilkan insulin secara adekuat. Menurut Price & Wilson (2005), DM merupakan suatu gangguan metabolik yang dapat terjadi pada seseorang yang disebabkan karena genetik atau klinis yang memiliki gejala yaitu tubuh seseorang tersebut kehilangan toleransi terhadap karbohidrat.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa DM adalah sebuah penyakit metabolik yang disebabkan karena adanya faktor genetik atau penyebab lainnya yang mengakibatkan insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas tidak diproduksi

(6)

dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh atau insulin diproduksi dalam jumlah yang adekuat tetapi reseptor pada sel tubuh tidak bisa menggunakan insulin.

b. Klasifikasi DM

Secara garis besar DM diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu : 1) DM Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus.

DM Tipe 1 dapat terjadi disebabkan karena autoimun pada tubuh penderita yang mengakibatkan terjadinya kekurangan insulin secara absolut. Selain itu sebagaimana yang dijelaskan oleh Price & Wilson (2005) bahwa DM Tipe 1 adalah suatu penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik yang memiliki gejala-gejala yang akan berakhir pada tahap proses perusakan imunologik sel penghasil insulin. Prevalensi DM Tipe 1 banyak terjadi pada anak-anak, akan tetapi dapat terjadi pada semua usia, biasanya dibawah usia 30 tahun. Kecenderungan lebih terjadi pada orang yang memiliki tubuh kurus. Etiologinya genetik, imunologik, atau idiopatik. Memiliki antibodi pulau lagerhans atau antibodi terhadap insulin sehingga penderita DM Tipe 1 akan memerlukan insulin untuk mempertahankan kelangsungan hidup (Smeltzer & Bare, 2008).

2) DM Tipe 2 atau Noninsulin Dependent Diabetes Melitus.

DM Tipe 2 biasanya disebabkan karena faktor lingkungan sehingga penderita mengalami resisten insulin (Smeltzer & Bare, 2008). Selain itu menurut Price & Wilson (2005) DM Tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi dan kerja insulin sehingga terjadi resisten pada insulin. DM Tipe 2 juga merupakan salah

(7)

satu gangguan metabolik dengan kondisi insulin yang diproduksi oleh tubuh tidak cukup jumlahnya atau cukup jumlahnya akan tetapi reseptor insulin di jaringan tidak berespon terhadap insulin tersebut (Lewis, 2004). DM Tipe 2 dapat terjadi di segala usia, akan tetapi biasanya menyerang usia diatas 30 tahun. Kecenderungan lebih terjadi pada orang yang obesitas pada saat didiagnosis. Pasien membutuhkan agen hipogligemik atau terkadang membutuhkan insulin dalam waktu yang singkat (Smeltzer & Bare, 2008).

3) DM Gestational

DM gestational merupakan DM yang terjadi pada masa kehamilan biasanya terjadi trimester kedua atau ketiga hidup (Smeltzer & Bare, 2008). Sebesar 2-5 % DM merupakan tipe gestational. Penyebab DM gestational adalah karena hormon yang disekresikan oleh plasenta yang menghambat kerja insulin, sehingga berisiko terjadinya bayi makrosmia. Dapat diatasi dengan diet dan insulin jika diperlukan (Smeltzer & Bare, 2008).

4) DM Penyebab Lain.

DM penyebab lain biasanya terjadi karena kelainan genetik pada fungsi sel beta, penyakit eksokrin pankreas, penggunaan obat-obatan atau zat kimia, infeksi, endokrinopati seperti akromegali, sindrom chusing (Soegondo, 2009). Penderita DM tipe lain ini mungkin memerlukan terapi insulin atau hanya dengan obat oral, tergantung pada kemampuan pankreas menghasilkan insulin (Smeltzer & Bare, 2008).

(8)

c. Patofisiologi

DM tipe 2 ditandai oleh adanya kegagalan sekresi insulin, resistensi insulin, peningkatan produksi glukosa oleh hati, dan metabolisme lemak yang abnormal. Obesitas, terutama yang jenis viseral atau sentral sangat sering ditemukan pada DM tipe 2.

Pada tahap awal dari gangguan, toleransi glukosa masih mendekati normal, meskipun telah terdapat resistensi insulin. Hal ini terjadi karena sel beta pankreas meningkatkan sekresi insulin yang akhirnya dapat menimbulkan hiperinsulinemia. Namun, resistensi insulin yang terus-menerus terjadi akhirnya mengakibatkan ketidakmampuan pankreas untuk mempertahankan status hiperinsulinemia ini. Pada saat inilah Impaired Glucose Tolerance (IGT) akhirnya muncul yang ditandai oleh peningkatan glukosa pos prandial. Sekresi insulin yang semakin lama semakin berkurang, dan ditambah lagi oleh adanya peningkatan produksi glukosa oleh hati yang mengakibatkan keadaan hiperglikemia semakin nyata dan pada akhirnya terjadilah kegagalan sel beta pankreas (Powers, 2010).

Resistensi insulin adalah penurunan kemampuan insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan target (khususnya otot, hati dan lemak). Hal ini paling menonjol pada gambaran klinis DM tipe 2 yang disebabkan oleh kombinasi dari genetik dan obesitas. Resistensi insulin adalah relatif, tapi karena jumlah insulin yang beredar lebih banyak dari biasanya akhirnya dapat menormalkan kadar glukosa plasma. Namun lama-kelamaan, produksi insulin semakin berkurang dan ditambah adanya resitensi insulin akhirnya mengakibatkan kegagalan penggunaan

(9)

glukosa oleh jaringan-jaringan yang bergantung insulin serta akan terjadi peningkatan produksi glukosa oleh hati. Hal inilah yang megakibatkan keadaan hiperglikemia. Mekanisme yang mengakibatkan terjadinya resistensi insulin masih belum dapat dijelaskan. Jumlah reseptor insulin dan dan aktifitas tirosin kinase memang berkurang, tetapi perubahan ini merupakan akibat dari keadaan hiperinsulinemia dan bukan merupakan kelainan awal. Untuk itu, kelainan pada pos reseptor insulin dalam mengatur fosforilasi dan defosforilasi kemungkinan memainkan peranan penting (Powers, 2010).

d. Faktor Risiko

Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes seharusnya lebih waspada akan kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Menurut Izucchi (2005) faktor risiko terjadinya DM Tipe 2 adalah:

1) Keluarga. Seseorang yang memiliki orang tua atau saudara yang menderita DM maka orang tersebut memiliki risiko yang nyata untuk menderita DM sebesar 2-6 kali lebih tinggi. Walaupun keluarga sendiri tidak dipastikan secara nyata memiliki faktor genetiknya.

2) Umur dan jenis kelamin. Prevalensi DM Tipe 2 akan meningkat sejalan dengan usia, walaupun bentuk kejadiannya sangat beragam. Pada populasi dengan frekuensi penyakit yang tinggi angka kejadianya akan tinggi dan meningkat pada usia dewasa muda. Pada kondisi lain angka kejadian meningkat seiring dengan banyaknya individu di usia dewasa lanjut. Sedang pada sebagian populasi akan terjadi penurunan angka kejadian jika dilihat dari kelompok usia tua diatas 75 tahun.

(10)

3) Obesitas. Obesitas sering secara bersamaan menjadi penyebab terjadinya DM Tipe 2. Pada banyak studi longitudinal obesitas telah ditunjukkan sebagai faktor prediksi yang paling kuat. Pada individu yang tidak obesitas angka kejadian DM Tipe 2 sangat rendah. Angka kejadian DM Tipe 2 karena obesitas juga bisa dihubungkan dengan faktor risiko lainnya. Obesitas dengan cepat meningkat pada banyak populasi pada tahun terbaru. Peningkatan ini telah disertai oleh peningkatan prevalensi DM Tipe 2.

4) Ketidakaktifan Kegiatan Fisik. Banyak penelitian yang telah mengindikasikan peranan penting dari ketidakatifan melakukan kegiatan fisik pada perkembangan kejadian DM Tipe 2.

e. Diagnosis

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik. Diabetes Melitus seperti tersebut di bawah ini (PERKENI, 2011) :

1) Keluhan klasik Diabetes Melitus berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

2) Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

3) Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara: 1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL atau 2. glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. 3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada

(11)

hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL. Diagnosis GDPT pula ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL (PERKENI,2011).

Tabel I . Kriteria Diagnosis DM

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200mg/dL. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan

waktu makan terakhir

2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

ATAU

3. Kadar gula plasma 2 jam TTGO ≥200mg/dL TTGO yang dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa

anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

f. Komplikasi

1) Komplikasi DM oleh Waspadji (2007) dibedakan dalam :

Komplikasi akut berupa: hipoglikemi dan hiperglikemi (dengan manifestasi Keto Asidosis Diabetik (KAD), Hiperosmolar Non Ketotik (HONK), dan Asidosis Laktat.

2) Komplikasi kronik berupa : 1. mikrovaskuler (ginjal neuropati dan retina mata: retinopati), 2. makrovaskuler (jantung koroner: CAD, pembuluh

(12)

darah kaki ; ulkus kaki diabetik, pembuluh darah otak: strok; 3. komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler : neuropati dan rentan infeksi.

2. Manajemen DM

Menurut Taylor (2006), jika suatu penyakit merupakan penyakit kronik termasuk diabetes dan tidak dapat disembuhkan, maka satu-satunya cara adalah melakukan manajemen diri. Manajemen diri ini menjadi kunci strategi untuk mengelola kesehatan bagi penyandang diabetes dan merupakan hal yang lebih menonjol pada diabetes Tipe 2 dibandingkan dengan Tipe 1 mengingat bahwa munculnya diabetes Tipe 2 lebih banyak dipicu oleh gaya hidup, sehingga pasien dengan Tipe 2 ini mempunyai kondisi yang lebih baik apabila memperbaiki gaya hidupnya (Taylor, 2006).

Beliau juga menyebutkan bahwa faktor gaya hidup yang dapat diubah adalah kebiasaan berolahraga, menurunkan berat badan bagi mereka yang mempunyai berat badan berlebih, manajemen stres, dan mengontrol diet. Pada diabetes Tipe 1, menyuntik insulin sangat berperan dalam manajemen diri, sedangkan pada diabetes Tipe 2 manajemen diri dapat dilakukan dengan berbagai cara. Seperti yang dinyatakan Taylor (2006) bahwa pada diabetes Tipe 2 mengatur asupan makanan(diet) dan berolahraga dapat dilakukan oleh penderita DM untuk menjaga agar kadar glukosa tetap normal, sebelum dibantu oleh obat atau insulin.

Secara umum manajemen diri adalah keterlibatan pasien terhadap seluruh aspek dalam penyakit kroniknya dan implikasinya, termasuk manajemen pengobatan , perubahan dalam peran sosial dan pekerjaan, serta coping (Taylor,

(13)

2006). Istilah manajemen diri atau self-management sering dipertukarkan dengan istilah perawatan diri atau self-care (Rahim-Williams, 2004). Menurut penelitian Glasgow dan Nutting (2004) bahwa manajemen diri diabetes terdiri dari pengobatan, diet, olahraga, dan pemantauan kadar glukosa dalam darah. Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu:

a. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal.

b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes. Prinsip penanganan DM secara umum ada empat sesuai dengan Konsensus Pengelolaan DM di Indonesia (2006) dan PERKENI (2011) yaitu :

1) Edukasi/Penyuluhan

Edukasi yang diberikan adalah pemahaman tentang perjalanan penyakit, betapa pentingnya pengendalian penyakit, komplikasi yang ditimbulkan dan risikonya, intervensi dan pemantauan glukosa darah, cara mengatasi hipoglikemi, olahraga yang teratur dan cara menggunakan fasilitas kesehatan. Pasien juga seharusnya diajarkan tentang perencanaan diet yaitu pemahaman tentang asupan kalori, protein, lemak, mineral dan serat. Hal ini agar pasien dapat mengontrol gula darah untuk mencegah komplikasi dan mampu merawat diri sendiri.

Edukasi DM adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan bagi pasien DM yang menunjang ke perubahan perilaku, meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakitnya sehingga tercapai

(14)

kesehatan yang optimal sehingga penyesuaian keadaan psikologis dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Soegondo, 2009).

Tujuan utama edukasi DM adalah untuk meningkatkan tingkat pengetahuan dan keterampilan kepada pasien dalam melaksanakan perawatan mandiri. Hal ini memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi dan evaluasi. Berdasarkan hal tersebut, memerlukan kerjasama antara pasien serta tenaga kesehatan dalam penanganan DM. Manajemen diri DM juga dimana pasien diingatkan dalam melakukan perawatan diri dengan mendapat informasi dari dokter maupun perawat, dan juga ahli gizi. Selain itu jika pasien bergabung dalam kelompok sesama penyandang diabetes, pasien juga mendapatkan informasi tentang perawatan diabetes dari pasien lain dan saling bertukar informasi. Dalam penelitian ini manajemen diri yang dimaksud adalah manajemen diri terhadap penyakit diabetes atau biasa disebut sebagai manajemen diri diabetes.

2) Pengaturan Diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:

a) Karbohidrat : 60-70% b) Protein : 10-15% c) Lemak : 20-25%

(15)

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan.

3) Olah Raga

Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Olahraga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Depkes RI, 2008).

PERKENI (2011) menyatakan bahwa kegiatan atau aktivitas sehari-hari harus tetap dilakukan oleh seorang pasien DM Tipe 2. Adapun aktivitas sehari-hari yang harus tetap dilakukan yaitu : mengurangi atau menghindari aktivitas seperti menonton televisi, bermain game komputer, bermain internet dan mempersering aktivitas dengan mengikuti olahraga rekreasi dan beraktivitas tinggi serta melakukan aktivitas harian misalnya berjalan kaki ke pasar (tidak menaiki mobil), menaiki tangga (tidak menggunakan lift), berjalan dari tempat parkir.

(16)

4) Terapi Obat

Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olahraga) belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan penatalaksanaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya.Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan: Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid, peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion, penghambat glukoneogenesis (metformin), penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa, DPP-IV inhibitor (PERKENI, 2011).

Cara pemberian OHO, terdiri dari: OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal. Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan, Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan, Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan, Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama, Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan., DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

5) Monitoring Kadar Gula Darah

Menurut Soewondo (2004) monitoring kadar glukosa darah yang baik dapat menurunkan risiko terjadinya komplikasi kronik diabetes. Manfaat dari monitoring kadar glukosa darah yang dilakukan secara mandiri adalah :

(17)

a) Memberikan informasi kepada pasien mengenai keadaan kadar glukosa darahnya dari hari ke hari yang memungkinkan pasien melakukan penyesuaian diet, pengobatan, pada saat sakit dan saat latihan jasmani. b) Memberikan informasi kepada dokter atau perawat mengenai keadaan

kadar glukosa darah pasien, sehingga dapat mengevaluasi kondisi pasien dan dapat memberikan pendidikan kesehatan yang tepat.

c) Mendeteksi hipoglikemia : pemeriksaan kadar glukosa darah sendiri yang dilakukan oleh pasien dapat memastikan atau mencegah terjadinya hipoglikemia.

Tujuan pemeriksaan glukosa darah adalah untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai atau belum tercapai untuk melakukan penyesuaian dosis obat. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala sesuai dengan kebutuhan. Kalau karena salah satu hal terpaksa hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan pemeriksaan 2 jam posprandial.

3. Pengetahuan

a. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya) (Notoatmodjo,2003, p:50). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

(18)

terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour). Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu.

Menurut teori WHO yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007), salah satu bentuk objek kesehatan dapat dijabarkan oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri. Menurut Bloom dan Skinner pengetahuan adalah kemampuan seseorang untuk mengungkapkan kembali apa yang diketahuinya dalam bentuk bukti jawaban baik lisan atau tulisan, bukti atau tulisan tersebut merupakan suatu reaksi dari suatu stimulasi yang berupa pertanyaan baik lisan atau tulisan (Notoatmodjo, 2003).

b. Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yakni:

1) Tahu (know) : Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telahditerima. Oleh karena itu, tahu adalah tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2) Memahami (comprehension) : Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang telah diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar

(19)

3) Aplikasi (application) : Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi nyata. 4) Analisis (analysis) : Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan

materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen. Tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5) Sintesis (synthesis) : Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk

meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6) Evaluasi (evaluation) : Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk meletakkan penilaian terhadap satu materi atau objek.

c. Faktor Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1) Pengalaman. Pengalaman seseorang individu tentang berbagai hal biasa diperoleh dari lingkungan kehidupan dari proses perkembangan, misalnya sering mengikuti kegiatan yang mendidik seperti pelatihan, seminar dan lain-lain (Notoatmojo, 2005).

2) Tingkat Pendidikan. Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan terhadap seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah. 3) Keyakinan. Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa

(20)

4) Fasilitas. Fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang, misalnya radio, televisi, majalah, koran, dan buku-buku.

5) Penghasilan. Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun bila seseorang berpenghasilan cukup besar maka dia akan mampu untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi.

6) Sosial budaya. Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.

d. Pengukuran Tingkat Pengetahuan

Pengukuran tingkat pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara langsung atau dengan angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari responden atau subjek penelitian. Kedalaman pengetahuan responden yang ingin diukur atau diketahui, dapat disesuaikan dengan tingkat pengetahuan dari responden.

4. Sikap

a. Pengertian Sikap

Sikap adalah mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku individu terhadap manusia lainnya atau sesuatu yang sedang dihadapi oleh individu, bahkan terhadap diri individu itu sendiri disebut fenomena sikap. Fenomena sikap yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang

(21)

sedang dihadapi tetapi juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di saat sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang. Sikap manusia telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli (Azwar, 2007). Menurut Thustone berpendapat bahwa sikap merupakan suatu tingkatan afeksi, baik bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis, seperti: simbul, prase, slogan, orang, lembaga, cita-cita dan gagasan (Zuriah, 2003). Sikap adalah kondisi mental relatif tetap untuk merespon suatu objek atau perangsang tertentu yang mempunyai arti baik bersifat positif, netral, atau negatif yang mengangkat aspek-aspek kognisi, afeksi, dan kecenderungan untuk bertindak.

b. Unsur (Komponen) Sikap

Menurut Yusuf (2006) komponen yang membentuk struktur sikap, yaitu: 1) Komponen kognitif (komponen perceptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana persepsi orang terhadap objek sikap. Merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap dan berisi persepsi dan kepercayaan yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Komponen kognitif sering disamakan dengan pandangan (opini) apabila menyangkut masalah isu atau

problem controversial.

2) Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau rasa tidak senang terhadap objek sikap. Dimana rasa senang merupakan hal yang positif, manakala rasa tidak senang merupakan hal yang negatif. Komponen ini menunjukkan arah sikap, yaitu positif

(22)

dan negatif. Merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional ini yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang. Komponen afeksi disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.

3) Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukan intensitas sikap, yaitu menunjukan besar kecilnya kecendrungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Salah satu aspek kecenderungan berperilaku sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang dan berisi tendensi untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu dan berkaitan dengan objek yang akan dihadapi.

c. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Sikap

1) Pengalaman pribadi .Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.

2) Pengaruh orang lain yang dianggap penting . Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang diangap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafilisasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang di anggap penting tersebut.

(23)

3) Pengaruh Kebudayaan. Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, dengan memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.

4) Media massa . Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyektif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisannya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap.

5) Lembaga Pendidikan Dan Lembaga Agama. Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidak mengherankan jika kalau pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.

6) Faktor emosional. Suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.

d. Pengukuran Sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Pengukuran secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan. Menurut Arikunto (1993:182) ada beberapa bentuk mengukur skala adalah:

a. Skala Likert

Skala ini disusun dalam bentuk suatu pernyataan dan diikuti oleh lima respons yang menunjukkan tingkatan. Misalnya seperti yang telah dikutip, yaitu:

(24)

SS = Sangat setuju S = Setuju N = Netral TS = Tidak setuju STS = Sangat tidak setuju

b. Skala Jhon West

Skala ini penyederhana dari skala Likert yang disusun dalam bentuk suatu pernyataan dan diikuti oleh tiga respons yang menunjukkan tingkatan. Misalnya:

S = Setuju R = Ragu-ragu TS = Tidak setuju c. Skala Pilihan Ganda

Skala ini bentuknya seperti soal pilihan ganda yaitu suatu pernyatan yang diikuti oleh sejumlah alternatif pendapat.

d. Skala Thurstone

Skala Thurstone merupakan skala mirip skala Likert karena merupakan suatu instrumen yang jawabannya menunjukkan tingkatan.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 A B C D E F G H I J

Pernyataan yang diajukan kepada responden disarankan oleh Thurstone kira-kira 10 butir, tetapi tidak kurang dari 5 butir.

e. Skala Guttman

Skala ini dengan yang disusun oleh Bergadus, yaitu berupa tiga atau empat buah pernyataan yang masing-masing harus dijawab “ya” atau “tidak”.

(25)

F. Kerangka Konsep Penelitian

G. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian „Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Jalan Terhadap Manajemen Diabetes Melitus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta‟ adalah terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap penderita rawat jalan DM tipe 2 terhadap manajemen DM.

Faktor Internal :

1. Umur

2. Jenis kelamin

3. Penyakit penyerta

4. Keturunan dari keluarga

5. Lama menderita DM

Faktor Eksternal :

1. Pendidikan

2. Pekerjaan Manajemen DM

Tingkat Pengetahuan Sikap

Gambar

Gambar 1 . Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Pengirim akan membayar atau memberikan penggantian kepada DHL atas semua biaya, biaya tambahan, bea, dan pajak Kiriman yang terutang untuk jasa-jasa yang diberikan oleh DHL atau

Tujuan dari penelitian dan penulisan tugas akhir ini adalah untuk mengetahui apakah sistem pembayaran uang lembur di KPPN Surakarta sudah berjalan sesuai dengan

Reservoir panasbumi berdasarkan hasil penelitian berada pada kedalaman kurang lebih 2 km sehingga kalau mengacu pada hasil penelitian [1] yang menyatakan bahwa

Adapun yang menjadi fokus penelitian adalah perkongsian yang dilakukan di dalam usaha perikanan, kerja sama yang dilakukan oleh pemilik modal dengan pemilik perahu

Mulai dari mengembangkan perdagangan terbuka dan sistem keuangan berdasarkan aturan, pembangungan dan pengurangan tingkat kemiskinan secara nasional dan internasional,

Bahwa dengan adanya perjanjian penutupan asuransi kerugian antara Terlapor dengan empat perusahaan yaitu Tri Pakarta Wahana Tata, MAI atau Jasindo menyebabkan penguasaan

‘Ali ibn Abi Thalib membakar seorang kafir zindiq 8 , lalu Ibnu ‘Abbas mendengar berita tersebut dan berkata kepada khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib bahwa Rasulullah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan bahwa motivasi belajar siswa dengan media audio visual lebih baik daripada dengan metode ceramah pada materi