• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Batubara Berkelanjutan (Studi Kasus Pertambangan Batubara Di Sekitar Kota Samarinda, Kalimantan Timur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Batubara Berkelanjutan (Studi Kasus Pertambangan Batubara Di Sekitar Kota Samarinda, Kalimantan Timur)"

Copied!
276
0
0

Teks penuh

(1)

(STUDI KASUS PERTAMBANGAN BATUBARA DI SEKITAR

KOTA SAMARINDA, KALIMANTAN TIMUR)

EDI PRASODJO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Batubara Berkelanjutan (Studi Kasus Pertambangan Batubara Di Sekitar Kota Samarinda, Kalimantan Timur) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Bogor, September 2015

(3)

RINGKASAN

EDI PRASODJO. Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Batubara Berkelanjutan (Studi Kasus Pertambangan Batubara Di Sekitar Kota Samarinda, Kalimantan Timur). Dibimbing oleh: SANTUN R.P. SITORUS, SETYO PERTIWI dan EKA INTAN KUMALA PUTRI.

Pertambangan batubara di Samarinda menimbulkan dampak terhadap dimensi ekonomi, lingkungan, sosial, hukum dan infrastruktur dan teknologi. Pertambangan batubara tersebut telah berkembang sejak beberapa dekade, dan semakin meluas ketika kebijakan otonomi daerah diterapkan pada awal tahun 2000-an. Seluruh tambang batubara di Kota Samarinda dan sekitarnya dilakukan dengan operasi tambang terbuka yang memiliki dampak lingkungan yang lebih besar dibandingkan dengan operasi tambang bawah tanah.

Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2013 sampai bulan Oktober 2014, dengan tujuan: 1) Menilai status keberlanjutan kegiatan pertambangan batubara di Kota Samarinda dan sekitarnya; 2) Menganalisis nilai valuasi ekonomi kegiatan pertambangan batubara terkait dengan nilai kerugian ekonomi lingkungan pada kegiatan pertambangan batubara di Kota Samarinda dan sekitarnya; 3) Menganalisis dampak lingkungan, ekonomi, sosial, hukum serta infrastruktur dan teknologi dengan keberadaan pertambangan batubara di Kota Samarinda dan sekitarnya; 4) Menyusun disain model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan batubara berkelanjutan di Kota Samarinda dan sekitarnya. Wilayah studi adalah 8 blok pertambangan pada 2 Perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan (PKP2B) di Kota Samarinda, yaitu PT Lana Harita Indonesia (LHI), dan PT Insani Baraperkasa (IBP), serta 2 sampel Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang bersebelahan dengan PT LHI yaitu PT Cahaya Energy Kaltim (CEK) dan PT Buana Rizky Armea (BRA) dan 2 sampel IUP bersebelahan dengan PT IBP yaitu PT Energi Cahaya Industritama (ECI) dan PT Bara Energy Kaltim (BEK).

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian terdiri dari: 1) Analisis keberlanjutan dengan menggunakan metode Multidimensional Scalling (MDS)

dan Interpretive Structural Modelling (ISM); 2) Valuasi ekonomi dampak pertambangan; 3) Analisis statistik persepsi masyarakat terhadap keberadaan pertambangan;; 4) Pemodelan sistem dinamik untuk mengetahui dinamika perilaku tambang selama dan setelah masa produksi tambang dengan menggunakan parameter dinamik yang telah ditemukan sebelumnya melalui cara 1) dan 2).

(4)

lingkungan dilakukan terhadap deplesi batubara, deplesi kayu dan manfaat hutan yang hilang atas 8 blok wilayah penelitian pada PKP2B dan IUP diatas dengan wilayah terganggu pada awal 2012 seluas 156,07 ha. Diperoleh bahwa nilai manfaat bruto sebesar US$ 43.745.926. Nilai kerugian terdiri dari nilai deplesi batubara US$ 34.958.128, nilai deplesi kayu sebesar US$ 92.041 dan nilai manfaat hutan yang hilang sebesar US$ 130.837, sehingga diperoleh valuasi ekonomi akhir untuk tambang batubara di 8 blok tersebut adalah US$ 8.564.919.

Berdasarkan analisis statistik dari hasil survei masyarakat pada 4 kelurahan di wilayah studi IBP dan 4 kelurahan di wilayah studi LHI, didapat bahwa umumnya penduduk menginginkan peningkatan peran pertambangan terhadap ketenagakerjaan, pelestarian lingkungan hidup serta pengembangan masyarakat. Hasil ini konsisten dengan model dinamis dengan sistem dinamik.

Dinamika perilaku model keberlanjutan dilakukan untuk periode 2012 sampai 2035, yaitu periode terlama dari 6 tambang batubara yang menjadi obyek studi yang masih beroperasi, diantaranya diperoleh: 1) keterkaitan antara produksi batubara yang dihasilkan dengan kebutuhan tenaga kerja tambang; 2) kegiatan pengangkutan batubara dengan tambang terbuka dan pengangkutan truk menimbulkan kerusakan jalan dan gangguan lingkungan dari polusi udara dan polusi tanah yang berbanding lurus dengan jumlah orang yang sakit di sekitar wilayah pertambangan; 3) pembelanjaan lokal cenderung turun atau naik mengikuti turun atau naiknya produksi batubara, karena besarnya jumlah produksi juga berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja yang digunakan; 4) nilai manfaat, biaya dan kerugian ekonomi berfluktuasi seiring dengan fluktuasi produksi batubara, dengan nilai kerugian berkurang seiring dengan berkurangnya lahan terbuka karena reklamasi; 4) perkiraan kondisi keberlanjutan kegiatan pertambangan batubara selama kurun waktu kegiatan tambang yang dimodelkan, yaitu antara tahun 2012 sampai 2035 menunjukkan bahwa parameter reklamasi, pengembangan masyarakat serta kemampuan atas tumbuhnya ekonomi lokal sangat menentukan kondisi keberlanjutan. Dalam hal ini, dari 5 dimensi yang dianalisis, dimensi ekonomi, paling lambat dalam mencapai tahap keberlanjutan, khususnya tergantung pada tingkat keberhasilan pengembangan ekonomi lokal.

Dengan menggunakan tiga set skenario, yaitu pesimis, moderat dan optimis, dengan parameter skenario: 1) persentase biaya reklamasi terhadap biaya total penambangan batubara per tahun; 2) persentase dana pengembangan masyarakat terhadap biaya produksi perusahaan tambang batubara per tahun; 3) batas penggunaan jalan umum; 4) tingkat keberhasilan pengembangan ekonomi lokal, diperoleh kebijakan penting ke depan, yaitu: konsistensi atas pengawasan, pembinaan dan pengendalian terhadap kegiatan pertambangan batubara khususnya pada tingkat gangguan kegiatan pertambangan terhadap ekosistem. Rekomendasi yang utama adalah mengembalikan kondisi lahan sesuai dengan kebutuhan yang disepakati dengan para pihak termasuk untuk pengembangan kota ke depan.

(5)

SUMMARY

EDI PRASODJO. Policy Model of Sustainable Environmental Management of Coal Mining (Case study of Coal Mining Surrounding Samarinda City, East Kalimantan). Supervised by: SANTUN R.P. SITORUS, SETYO PERTIWI and EKA INTAN KUMALA PUTRI.

Coal mining in Samarinda creates impacts on economic, environment, social, law, and infrastructure and technological dimensions. The coal mining has been expanded since decades, and becomes enlarged following the implementation of regional autonomy policy in the early 2000s. Coal mining in Samarinda City and its surrounding was entirely conducted by open pit mining operation that generate larger environmental impacts than that underground mining operation.

This study is conducted during the period of April 2013 to October 2014 with objectives: 1) examining the sustainability status of mining activity in Samarinda City and its surroundings; 2) analyzing the economic value of coal mining activity in relation with the environmental loss in Samarinda City and its surrounding; 3) analyzing the environment, economic, social, law and infrastructure with technological dimensions in relation with the existence of coal mining in Samarinda City and its surrounding; and 4) designing a policy model concerning the Sustainable Environmental Management of Coal Mining in Samarinda City and its surrounding. The studied areas covering 8 mining blocks of 2 Coal Mining Enterprises Agreements, namely: PT LHI, and PT IBP; 2 Mining Enterprise Licenses (IUP) adjacent to PT LHI, namely, PT CEK and PT BRA; and 2 IUPs adjacent to PT IBP, namely PT ECI and BEK.

Methods of analysis used in this research consist of: 1) Sustainability analysis by using the Multidimensional Scalling (MDS) and Interpretive Structural Modelling (ISM) methods; 2) Economic valuation on the impacts of mining activity; 3) Statistical analysis to analyze people’s perception on the existence of mining activity; 4) Modelling of dynamics system in order to understand the dynamic mining behaviours, during and after the period of production by using parameters acquired previously from point 1) and point 2).

Sustainability assessment on 5 dimensions (environment, economic, social, law, and infrastructure and technology) to its 55 attributes showed that the aggregate value of multidimension sustainability was 47,57 and therefore categorized as less sustainable (between 25-50). From 55 attributes, there are 10 key factors being analyzed by ISM method and resulted in one key factor that become the driving force to other factors or sub elements, viz, the disturbance level of mining activity to the ecosystem. However, the policy implementation requires policy supports from three other factors, which are: law enforcement on violation of environment aspects, the presence of human resources as mining inspectors, and infrastructures for mining activity.

(6)

and thus gives the final calculated economic valuation of the 8 mining blocks around US$ 8.564.919.

On the basis of statistical analysis of the public survey attained from 4 villages surrounding the IBP and 4 villages surrounding the LHI, it is recognized that in general people want enhancements of the role of the mining company in the employment opportunity, and community development. This result is consistent with the model dynamics developed by dynamic system.

The dynamic behaviour of sustainability model was developed for the period of 2012 to 2035 which signify the longest period of 6 still-operated coal mining adapted as the objects of study. Some important findings are summarized as follows: 1) there is a strong relationship between the level of coal production with the need of mining employment; 2) coal transportation activity of open pit mining with trucks has not only caused the road disturbance but also air and land pollution that directly related to people’s health living in the vicinity of the mining areas; 3) local expenditure tends to go ups and downs following the ups and downs of the coal production, as the volume of production related with the amount of workers; 4) benefit, cost and loss value continuously fluctuate in parallel with the coal production fluctuation, where loss value decreased in line with the decrease of open land; 5) assessment of sustainability condition of coal mining activities during the modelled period of 2012 to 2035 showed that several parameters including reclamation, community development, and the capacity of local economic growth are decisive for the sustainability condition. It was found that of 5 analyzed dimensions, the economic dimension is the slowest to reach sustainability stage, and it depends on the local economic development level.

By using three sets of scenarios, namely: pessimistic, moderate and optimistic, with the scenarios parameters: 1) percentage of reclamation cost to total operational cost; 2) percentage of community development fund to the annual coal production cost; 3) limit of public road usage; 3) success rate of local economic development, we found important impending policy: the consistency of controlling, monitoring and supervising coal mining activity, especially on the disturbance level of mining activity to the ecosystem. The fundamental recommendations, one of them, is to restore or reclaim land condition according to the needs required and accepted by stakeholders including for the forthcoming urban development needs.

Keywords: coal depletion, dynamic model, local economy, reclamation, sustainability

(7)

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)
(9)

MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

PERTAMBANGAN BATUBARA BERKELANJUTAN

(STUDI KASUS PERTAMBANGAN BATUBARA DI SEKITAR

KOTA SAMARINDA, KALIMANTAN TIMUR)

EDI PRASODJO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup Prof. Dr Ir Bambang Pramudya

(Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian IPB)

Prof. Dr Ir Rudy Sayoga Gautama

(Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB)

Penguji pada Sidang Promosi Prof. Dr Ir Bambang Pramudya

(Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian IPB)

Prof. Dr Ir Rudy Sayoga Gautama

(11)

l'yq

?ueusny dmo3 rI rO 'Jord

enlex

W

#

.-Eulqurquad Isruroy

duN

STII?N

--7

ru

uuu[J?s?cs"d

: qelo mfn]osrc

?6200t290 d

ofOosarg

pg

(multl

uulueurllu; ?puuuueg slo>I

r"${os

rp

eruqnlug u"Euequru1red snsp1 1pnts) uqnlue1sryag er?qn1eg ua8uuqurufro6

ue8un$u1

uuu;o1aEua4 uqsfrqey loporu

eloE8uy

(12)

Dengan penuh rasa syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, dzat yang Maha Agung dan Tinggi, yang telah memberikan limpahan rahmat dan karuniaNYA, sehingga pada akhirnya disertasi dengan judul “Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Batubara Berkelanjutan (Studi Kasus Pertambangan Batubara di Sekitar Kota Samarinda, Kalimantan Timur)” ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk menempuh jenjang Program Doktor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.

Kami tertarik untuk mengambil topik seperti di atas dalam bidang studi ini karena dengan perkembangan keadaan serta kompleksitas permasalahan, maka peran kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan akan semakin penting. Kerjasama dan kesadaran para pemangku kepentingan amat berperan untuk menjaga dan melakukan transformasi manfaat sumberdaya alam secara berkelanjutan, khususnya dimensi lingkungan, ekonomi, sosial, hukum dan infrastruktur dan teknologi.

Disertasi ini akhirnya terselesaikan berkat bimbingan dan arahan yang sungguh-sungguh dan bermanfaat dari para Komisi Pembimbing, yaitu Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus, selaku Ketua Komisi Pembimbing; dan Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, M.Si serta Dr Ir Setyo Pertiwi, M.Agr selaku Anggota Komisi Pembimbing. Untuk itu kami ucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas bimbingan dan arahan mereka tersebut.

Ucapan terima kasih juga kami sampaikan pula kepada semua pihak yang telah membantu dan berkontribusi dalam penyelesaian disertasi ini. Penulis mendoakan semoga seluruh bantuan tersebut mendapat ganjaran setimpal sebagai amal saleh oleh Allah SWT. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna dan oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kami menerima segala kritik dan saran dari semua pihak untuk penyempurnaan isi disertasi ini. Akhir kata, semoga hasil karya ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, pemerintah, para peneliti, perguruan tinggi dan semua pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, September 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvii

DAFTAR ISTILAH xvii

DAFTAR SINGKATAN xix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan dan Manfaat Penelitian 6

Kerangka Pikir Penelitian 7

Kebaruan (Novelty) Penelitian 11

Ruang Lingkup Penelitian 11

TINJAUAN PUSTAKA 13

Paradigma Pertambangan yang Berkelanjutan Ekonomi Lingkungan untuk Pertambangan

Dampak Lingkungan, Ekonomi dan Sosial Pertambangan Batubara

13 14 18 1. Dampak Pertambangan Batubara pada Dimensi Lingkungan 18 2. Dampak Pertambangan Batubara pada Dimensi Ekonomi dan

Sosial

Analisis Sistem Dinamik untuk Pertambangan

21

22 Tinjauan Penyebab Kerusakan Lingkungan dari Pertambangan

Batubara 24 1. Tumpang Tindih Lahan Pertambangan dengan Sektor

Kehutanan 24 2. Perubahan Kewenangan Perizinan Pertambangan dalam

Otonomi Daerah 26

3. Pertambangan Tanpa Izin Batubara (PETI) 28

Pertambangan yang Baik dan Benar 30

1. Tahapan Pertambangan 31

2. “Green mining” dan Reklamasi Pertambangan 34 3. Pengembangan Masyarakat dalam Pertambangan 37 Tinjauan Terhadap Hasil Penelitian Terdahulu 39 1. Penelitian tentang Keberlanjutan Pertambangan 39 2. Penelitian tentang Pengelolaan Lingkungan Pertambangan

Batubara 42 3. Penelitian Penggunaan Sistem Dinamik dalam Pertambangan 45

State of the Art Penelitian 48

METODOLOGI 50

Lokasi dan Waktu Penelitian 50

Jenis dan Sumber Data 51

(14)

1. Analisis Keberlanjutan Kegiatan Pertambangan 55 2. Analisis Valuasi Ekonomi Kegiatan Pertambangan 60 3. Analisis Kondisi Masyarakat Sekitar Tambang (Lingkungan,

Ekonomi, Sosial, Hukum serta Infrastruktur dan teknologi) 63 4. Menyusun Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan yang

Berkelanjutan 63 5. Struktur Tahapan Analisis Penyusunan dan Pembahasan Model

Kebijakan 65

KEADAAN UMUM PERTAMBANGAN BATUBARA DI KOTA

SAMARINDA DAN SEKITARNYA 67

Kondisi Iklim, Demografi dan Ekonomi 67

1. Iklim 67

2. Kondisi Demografi dan Sosial 67

3. Kondisi Ekonomi 68

Sumberdaya dan Cadangan Batubara 69

PKP2B dan IUP di Samarinda dan Sekitarnya 70

Kota Tambang di Indonesia 73

Penataan Ruang Kota Samarinda dan Sekitarnya 73

HASIL DAN PEMBAHASAN 76

Analisis Keberlanjutan Terhadap Lahan Pertambangan 76

1. Keberlanjutan Dimensi Lingkungan 76

2. Keberlanjutan Dimensi Ekonomi 81

3. Keberlanjutan Dimensi Sosial 85

4. Keberlanjutan Dimensi Hukum 89

5. Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi 94 6. Diagram Layang-layang, Keberlanjutan Multidimensi, dan

Faktor Pengungkit 98

7. Penetapan Faktor Kunci untuk Keberlanjutan Pertambangan 100 Valuasi Ekonomi Kegiatan Pertambangan di Wilayah

Samarinda dan Sekitarnya 104

1. Tahapan Kegiatan Penambangan 104

2. Perhitungan Bukaan Lahan Terganggu 105

3. Nilai Deplesi Batubara 107

4. Nilai Manfaat Hutan yang Hilang 114

5. Valuasi Ekonomi Tambang Batubara 120

Dampak Pertambangan Batubara terhadap Lingkungan, Ekonomi,

Sosial, Hukum serta Infrastruktur dan Teknologi 122

1. Dampak Lingkungan 122

2. Dampak Ekonomi 125

3. Dampak Sosial 126

4. Dampak Hukum 129

5. Dampak Infrastruktur dan Teknologi 132

(15)

Model Dinamik Keberlanjutan Tambang Batubara di Samarinda dan

Sekitarnya 136 1. Model Sebab-Akibat Keberlanjutan Tambang Batubara 136 2. Dinamika Cadangan dan Produksi Batubara 137

3. Dinamika Tenaga Kerja Tambang 139

4. Dinamika Dampak Pengangkutan Batubara 141

5. Dinamika Lahan Terbuka dan Cadangan Kayu 143

6. Dinamika Manfaat Finansial Tambang 147

7. Dinamika Valuasi Ekonomi Tambang 149

8. Dinamika Indeks Keberlanjutan 151

a. Dimensi Lingkungan 152

b. Dimensi Ekonomi 152

c. Dimensi Sosial 153

d. Dimensi Hukum 154

e. Dimensi Infrastruktur dan Teknologi 155

f. Indeks Keberlanjutan Multidimensi 155

Pembahasan Arah Kebijakan dan Strategi 157

1. Skenario Kebijakan 157

a. Parameter Skenario Kebijakan 157

b. Perbandingan Luas Lahan Hutan 159

c. Perbandingan Kegiatan Ekonomi pada Kegiatan

Pertambangan 160

d. Perbandingan Valuasi Ekonomi 160

e. Perbandingan Polusi Debu 161

f. Perbandingan Indeks Keberlanjutan 162

2. Kebijakan dan Strategi 165

a. Strategi dan Langkah Kebijakan 165

b. Arah Kebijakan Penataan Kota

c. Kriteria Pembangunan Pertambangan yang Berkelanjutan

169 171

KESIMPULAN DAN SARAN 173

Kesimpulan 173 Saran 174

DAFTAR PUSTAKA 176

LAMPIRAN 182

(16)

2 Rata-rata nilai produk jasa hutan (Rp/ha/thn) 16 3 Nilai ekonomi total hutan Indonesia (US$/ha/thn) 17 4 Kerusakan lingkungan akibat adanya aktivitas pertambangan batubara 19

5 Efek ganda pertambangan 21

6 Kronologis kegiatan PETI di wilayah PT Arutmin Indonesia,

Kalimantan Selatan 30

7 Community development 2010-2014 (miliar Rp) 39

8 Tujuan penelitian dan data yang digunakan 51

9 Jumlah penduduk dan distribusi responden dari tiap desa 54 10 Distribusi sampel responden birokrat, akademisi, praktisi terpilih 55 11 Contoh pertanyaan kuisioner Multidimensional Scaling (MDS) 57 12 Contoh keterkaitan antara atribut indeks keberlanjutan dengan

komponen valuasi ekonomi dampak kegiatan pertambangan batubara 58 13 Ilustrasi pengisian Matrik Reachability Matrix (RM) pada metode

Interpretive Structural Modelling 59

14 Jumlah dan kepadatan penduduk Kota Samarinda tahun 2012 68 15 Produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan 2000 Kota

Samarinda tahun 2012 69

16 Sumberdaya dan cadangan PKP2B Kota Samarinda dan sekitarnya 70 17 Luasan landuse/landcover Kota Samarinda dan sekitarnya tahun 2001

dan 2009 74

18 Indeks keberlanjutan 99

19 Analisis keberlanjutan terhadap parameter statistik 100 20 Faktor sensitif terhadap indeks keberlanjutan 100 21 Bukaan lahan perusahaan tambang di wilayah studi tahun 2012 106

22 Unit rent batubara 109

23 Nilai manfaat batubara dari perusahaan tambang di wilayah studi tahun

2012 109

24 Perbedaan karakteristik Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan

Batubara dan Izin Usaha Pertambangan (studi kasus Kota Samarinda) 111 25 Pelaksanaan reklamasi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan

Batubara dan Izin Usaha Pertambangan (studi kasus Kota Samarinda) 113 26 Kegiatan pengembangan masyarakat perusahaan Perjanjian Karya

Pengusahaan Pertambangan Batubara di Kota Samarinda 114 27 Nilai deplesi kayu pada lahan terbuka di wilayah studi 116 28 Lahan reklamasi tambang dan penurunan emisinya 117 29 Pengeluaran masyarakat untuk penyediaan Air 118 30 Besaran nilai manfaat total hutan (US$/ha/thn) 119 31 Nilai manfaat hutan yang hilang pada bukaan lahan terganggu 120

32 Valuasi ekonomi tambang batubara 121

33 Parameter sumberdaya dan cadangan batubara tahun 2012 (ton) 138

34 Parameter dampak pengangkutan batubara 143

35 Parameter lahan dan cadangan kayu 145

(17)

37 Keterkaitan faktor kunci dalam Multidimensional Scaling (MDS) dengan

parameter sistem dinamik 151

38 Parameter skenario kebijakan 158

39 Dimensi kebijakan, strategi dan langkah kebijakan 166 40 Simulasi, analisis model dan kebijakan yang diperlukan 168

41 Kriteria pertambangan yang berkelanjutan 171

 

 

DAFTAR GAMBAR

 

1 Kerangka pemikiran penelitian 9

2 Dampak pertambangan batubara 16

3 Penerimaan negara bukan pajak batubara nasional 22

4 Kerusakan hutan di Indonesia 25

5 Laju kerusakan hutan untuk pulau-pulau di Indonesia 25 6 Paradigma pengelolaan pertambangan batubara yang baik dan benar 31

7 Tahapan kegiatan pertambangan 32

8 Koordinasi dalam mewujudkan pertambangan yang baik dan benar 33 9 Hubungan pemerintah, pengusaha dan masyarakat 38 10 Konsep kerangka dinamik untuk pengelolaan pemanfaatan lahan

berkelanjutan 46

11 State of the art dan posisi penelitian 49

12 Peta dan bagan Kota Samarinda 50

13 Hubungan driver power (DP) dan dependence (D) 59 14 Valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan 61

15 Contoh causal loop sederhana 64

16 Diagram input-output model kebijakan pengelolaan lingkungan

pertambangan batubara yang berkelanjutan 65

17 Struktur tahapan analisis pembahasan model kebijakan 66 18 Grafik curah hujan dan penyinaran matahari selama tahun 2012 67 19 Peta sumberdaya batubara Kota Samarinda dan sekitarnya 70 20 Peta wilayah kerja Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan

Batubara dan Izin Usaha Pertambangan batubara di Kota Samarinda dan sekitarnya 72

21 Indeks keberlanjutan dimensi lingkungan 76

22 Leverage akibat keberlanjutan dimensi lingkungan 80

23 Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi 81

24 Leverage akibat keberlanjutan dimensi ekonomi 85

25 Indeks keberlanjutan dimensi sosial 85

26 Leverage akibat keberlanjutan dimensi sosial 89

27 Indeks keberlanjutan dimensi hukum 90

28 Leverage akibat keberlanjutan dimensi hukum 93

29 Indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi 94 30 Leverage akibat keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi 98

31 Diagram layang-layang indeks keberlanjutan 99

32 Matrik driver power-dependence elemen kebutuhan penetapan faktor

(18)

36 Dana hasil produksi batubara, royalty dan penjualan hasil tambang 110

37 Bagan alir pembagian dana hasil produksi batubara dan royalty 112

38 Penggunaan air di wilayah IBP dan LHI 117

39 Hubungan banjir dan batubara 122

40 Kondisi lingkungan hidup atas keberadaan tambang batubara 123 41 Penanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan 124 42 Pentingnya keberadaan hutan dari aspek ekonomi 125 43 Pengaruh negatif keberadaan tambang terhadap pemanfaatan hasil hutan 126 44 Pengaruh tambang batubara terhadap lapangan kerja 126 45 Pengaruh tambang terhadap kehidupan sosial 127 46 Harapan masyarakat terhadap pertambangan batubara 127

47 Saran pengelolaan bekas lahan tambang 128

48 Harapan mengatasi gangguan kesehatan 128

49 Bantuan sosial yang diharapkan dari perusahaan tambang batubara 129 50 Masalah hukum utama di Samarinda terkait pertambangan 130 51 Penegakan hukum atas permasalahan pertambangan 131

52 Konflik kegiatan tambang dengan penduduk 131

53 Potensi konflik antara penambang dan masyarakat 132 54 Pengaruh tambang atas keberadaan sarana dan prasarana 132

55 Harapan terhadap penggunaan jalan umum 133

56 Tindakan terhadap pelanggar aturan 133

57 Harapan untuk pemerintah 134

58 Harapan untuk perusahaan 134

59 Diagram casual-loop pertambangan batubara yang berkelanjutan 136

60 Dinamika produksi dan cadangan batubara 138

61 Produksi dan cadangan batubara 139

62 Dinamika tenaga kerja 140

63 Pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja tambang 141

64 Dinamika dampak pengangkutan batubara 142

65 Dampak pengangkutan batubara 143

66 Dinamika lahan pertambangan 144

67 Dinamika lahan hutan 144

68 Lahan terbuka dan lahan hutan 146

69 Lahan terbuka, pembukaan lahan dan reklamasi lahan 146 70 Dinamika manfaat finansial tambang batubara 148

71 Penerimaan negara, daerah dan perusahaan 148

72 Dinamika valuasi ekonomi tambang batubara 149

73 Perkembangan valuasi ekonomi 2012-2035 150

74 Dinamika dimensi lingkungan 152

75 Dinamika dimensi ekonomi 153

76 Dinamika dimensi sosial 154

77 Dinamika dimensi hukum 155

78 Dinamika dimensi infrastruktur dan teknologi 155

79 Dinamika keberlanjutan multidimensi 156

(19)

81 Lahan hutan pada berbagai skenario 159 82 Kegiatan ekonomi pascatambang pada berbagai skenario 160

83 Deplesi kayu pada berbagai skenario 161

84 Perbandingan polusi debu batubara 161

85 Dimensi lingkungan pada berbagai skenario 162

86 Dimensi ekonomi pada berbagai skenario 162

87 Dimensi sosial pada berbagai skenario 162

88 Dimensi hukum pada berbagai skenario 164

89 Dimensi infrastruktur dan teknologi pada berbagai skenario 164 90 Indeks keberlanjutan multidimensi pada berbagai skenario 165 91 Keterkaitan pertambangan batubara dengan pengembangan wilayah

perkotaan 170 92 Disain model kebijakan pengelolaan pertambangan batubara yang

berkelanjutan dan berwawasan lingkungan 172

   

DAFTAR LAMPIRAN

 

1 Status Reklamasi IUP di Samarinda 182

2 Sumberdaya, Cadangan dan Produksi Batubara Pada Obyek

Studi 186 3 Kuesioner Survei Kondisi Lingkungan, Ekonomi, Sosial, Hukum

serta Infrastruktur dan Teknologi 188

4 Simbol atau Lambang Powersim yang Digunakan untuk Menggambarkan Stock – Flow Diagram

209

5 Persamaan Sistem Dinamik Model Pertambangan Batubara yang Berkelanjutan

210

6 Hasil (Output) Pemodelan Sistem Dinamik 234

7 Informasi Wilayah Studi 247

DAFTAR ISTILAH

AMDAL adalah suatu kegiatan (studi) yang dilakukan untuk mengidentifikasi, memprediksi, menginterpretasi dan mengkomunikasikan pengaruh/dampak suatu kegiatan (proyek) terhadap lingkungan dengan melibatkan para pemangku kepentingan terkait.

(20)

Deplesi kayu adalah pengurangan fisik sumberdaya kayu hutan akibat kegiatan penebangan pohon

Desentralisasi kata lain dari otonomi daerah yang diartikan bahwa kewenangan dalam pengaturan urusan pemerintah diserahkan ke daerah sebagai pelaksanaan dari kebijakan otonomi daerah

Good mining practice adalah suatu praktek pertambangan yang telah mengikuti seluruh kaidah pertambangan secara holistik yang meliputi aspek penerapan teknis pertambangan yang tepat meliputi: eksplorasi untuk penetapan cadangan, kajian kelayakan, konstruksi, operasi penambangan, dan penutupan tambang

Indeks keberlanjutan adalah besaran indeks dari dimensi keberlanjutan suatu pelaksanaan pembangunan, dimensi tersebut diantaranya dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan peri kehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain

Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berlandaskan kepada tiga dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Reklamasi adalah suatu perlakuan pada tanah bekas pertambangan yang akan

dipulihkan dan dapat difungsikan kembali sesuai dengan kesepakatan dengan para pemangku kepentingan.

Rekonsiliasi IUP adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, d.h,i Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral c.q. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara untuk melakukan pembinaan kepada Pemerintah Daerah melalui inventarisasi dan penataan izin-izin IUP yang diterbitkan oleh kabupaten / kota / provinsi, yaitu penataan dokumen perizinan dan penyelesaian permasalahan tumpang tindih sesama komoditi, beda komoditi dan lintas kabupaten/kota/provinsi.

Rente ekonomi adalah kelebihan nilai penerimaan atas biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh output dan biaya guna memulihkan kondisi sumber daya alam dan lingkungan, tidak termasuk pajak retribusi dan pungutan-pungutan lainnya oleh pemerintah serta dikurangi dengan hasil investasi normal

(21)

sebab-akibat (causal loop), tidak linier dan ada tenggang waktu (time delay). Secara umum, sistem yang dibentuk dengan Sistem Dinamik mempunyai pola-pola dinamik, horison waktu yang panjang dan batas interdisiplin yang luas

Stakeholder adalah para pengampu kepentingan pada suatu kegiatan, seperti: pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, pengusaha, perguruan tinggi

Valuasi ekonomi adalah metode perhitungan nilai ekonomi untuk sumberdaya alam

Wilayah pertambangan adalah wilayah yang memilki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yagmerupakan bagian dari tata ruang

Willingness to pay adalah kemampuan membayar seseorang atas suatu barang atau komoditi sesuai dengan tingkat kepuasan yang diinginkan

DAFTAR SINGKATAN

AAT : Air Asam Tambang

AHP : Analytical Hierarchical Process

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah AMDAL : Analisa Mengenai Dampak Lingkungan B3 : Bahan Beracun dan Berbahaya

CD : Community Development

CDM : Clean Development Mechanism

CnC : Clear and Clean

CSR : Corporate Social Responsibility

DAS : Daerah Aliran Sungai

DHPB : Dana Hasil Produksi Batubara

DJMB : Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara

FGD : Focus Group Discussion

GMP : Good Mining Practice

HPH : Hak Pengusahaan Hutan

IPPKH : Izin Pinjam Pakai Penggunaan Kawasan Hutan ISM : Intrepretive Structural Modelling

IUP : Izin Usaha Pertambangan

IUPK : Izin Usaha Pertambangan Khusus

IMF : International Monetary Fund

KDB : Koefisien Dasar Bangunan KLH : Kantor Lingkungan Hidup

KLHS : Kajian Lingkungan Hidup Strategis KSK : Kawasan Strategis Kota

KUD : Koperasi Unit Desa

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

(22)

PDB : Produk Domestik Bruto

PDRB : Produk Domestik Regional Bruto PETI : Pertambangan Tanpa Izin

Pemda : Pemerintah Daerah

PHT : Penjualan Hasil Tambang

PP : Peraturan Pemerintah

PPLH : Perlindungan dan Pengeloaan Lingkungan Hidup PKP2B : Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PSL-IPB : Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor P3 : Polluter pay principle

RKAB : Rencana Kerja dan Anggaran Biaya

RKL-RPL : Rencana Pengelolaan Lingkungan Rencana Pemantauan Lingkungan

RKTTL : Rencana Kerja Tahunan Teknik dan Lingkungan RTH : Ruang Terbuka Hijau

RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah

SDA : Sumberdaya Alam

SDM : Sumberdaya Manusia

UKL-UPL : Upaya Pengelolaan Lingkungan Upaya Pemantauan Lingkungan

USLE : Universal Soil Loss Equation

UU : Undang-Undang

WP : Wilayah Pertambangan

WPN : Wilayah Pencadangan Negara

WPR : Wilayah Pertambangan Rakyat

WUP : Wilayah Usaha Pertambangan

(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Batubara merupakan salah satu bentuk energi fosil selain minyak bumi dan gas, yang keberadaannya di muka bumi setelah melalui proses jutaan tahun lamanya dari bentuk tumbuhan atau bekas pepohonan yang terdekomposisi melalui proses biokimia dan geokimia sehingga terbentuk berbagai jenis batubara di seluruh muka bumi, mulai dari batubara muda yang disebut lignit, subbitunimus, bituminus dan antrasit. Jenis batubara tersebut dibedakan dari sisi kandungan kalorinya, dengan yang terendah adalah lignit dengan kalori kebanyakan di bawah 3000 kkal/kg dan antrasit yang memiliki kalori di atas 7000 kkal/kg. World Energy Council (WEC, 2013) menyebutkan Indonesia menduduki peringkat kelima produsen batubara dunia, setelah China, Amerika Serikat, India dan Australia. Namun Indonesia merupakan eksporter kedua dunia setelah Australia, sedangkan kebutuhan domestik Indonesia masih rendah yaitu sekitar 20-25% dari produksi batubaranya. Dari sisi cadangan, cadangan Indonesia tercatat sebesar 3,1% dari cadangan batubara dunia.

Berdasarkan catatan Badan Geologi (2013), terdapat sekitar 161 miliar ton sumberdaya dan 31 miliar ton cadangan batubara yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia, terutama di Kalimantan (46,9%) dan Sumatera (52,5%). Pada 4 perusahaan pertambangan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) di Kota Samarinda dan sekitarnya, yaitu PT Insani Bara Perkasa (IBP), PT Lanna Harita Indonesia (LHI), PT Mahakam Sumber Jaya (MSJ) dan PT Multi Harapan Utama (MHU), Kota Samarinda dan sekitarnya memiliki sekitar 1,9 miliar ton sumberdaya batubara dan 596,22 juta ton cadangan batubara. Kota Samarinda juga telah menerbitkan 62 Kuasa Pertambangan (KP) skala kecil sampai menengah, yang sejak munculnya Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) pada tanggal 12 Januari 2012 istilah ini diubah sebutannya menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP).

(24)

Seluruh tambang batubara di Kota Samarinda dan sekitarnya dilakukan dengan pola tambang terbuka. Pola pertambangan dengan cara ini berpotensi menimbulkan gangguan seperti: a. Lubang besar serta kerusakan lahan dan tanah; b. Penurunan muka tanah atau terbentuknya cekungan pada sisa bahan galian yang dikembalikan ke dalam lubang galian; c. Tumpukan bahan galian tambang berpotensi menimbulkan bahaya longsor dan senyawa racun tercuci dan terbawa ke arah hilir; d. Kesulitan revegetasi akibat kurangnya bahan organik atau humus dan unsur hara lainnya yang telah terbawa ke hilir (Barrow, 1991; Sitorus, 2012).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan (Muchlis, 2008; Sinaga, 2010; Sujiman, 2010) menyebutkan bahwa dari sisi lingkungan, ekonomi dan sosial terdapat potensi ketidakberlanjutan pada operasi tambang terbuka. Potensi ketidakberlanjutan itu semakin besar pada operasi pertambangan tanpa izin (PETI). Qomariah (2003) menyebutkan bahwa PETI memberikan kerugian pada negara karena tidak adanya penerimaan pajak atau non-pajak yang dibayarkan, merugikan masyarakat karena meninggalkan wilayah lubang-lubang bekas tambang yang tidak ditimbun kembali dan tidak dilakukan reklamasi serta memiliki potensi konflik yang besar antara sesama penduduk ataupun antara penambang PETI dengan pemilik tambang berizin (Zulkarnaen et al., 2004).

Dipandang dari sisi ekonomi lingkungan, kegiatan operasi produksi dan konsumsi pertambangan batubara selain memberikan manfaat ekonomi pajak dan non pajak dari fungsinya sebagai penyedia bahan baku dan energi, juga akan dapat menimbulkan eksternalitas negatif yang bisa berasal dari sisaan atau limbah dari proses produksi yang berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan (Putri et al., 2010). Dampak positif dan negatif kegiatan pertambangan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Dampak positif dan negatif kegiatan pertambangan

Tahapan Dampak Positif Dampak Negatif

Eksplorasi dan operasi produksi

Penyerapan tenaga kerja Peningkatan/potensi gangguan lalu lintas darat Kontribusi fiskal (royalti,

pajak, bukan pajak)

Peningkatan erosi dan sedimentasi

Timbulnya jasa transportasi, jasa konstruksi, jasa instalasi air, jasa jaringan

telekomunikasi*)

Perubahan

penggunaan/fungsi lahan

Operasi produksi Pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar untuk sektor energi **)

Gangguan lalu lintas, potensi pencemaran udara, air asam tambang Pascatambang/reklamasi Peluang usaha baru Penurunan tenaga kerja

Peningkatan kualitas

lingkungan

Sumber: Juniah dalam KLH (2011c)

Keterangan:

*)

Backward linkages pertambangan batubara

**)Fordward linkages pertambangan batubara

(25)

memenuhi persyaratan yang ada dari aspek administrasi, serta wilayahnya tidak tumpang tindih dengan sesama IUP komoditas batubara lainnya atau beda komoditas dan tidak ada tumpang tindih dengan wilayah kewenangan kabupaten/kota/provinsi lain. Istilah ini hanya digunakan untuk IUP saja dan muncul sejak Mei 2011 ketika Pemerintah c.q. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) pertama kali melakukan rekonsiliasi IUP, atau pendataan, inventarisasi dan penataan perizinan di daerah sebagai bagian dari kebijakan pengawasan dan pembinaan pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertambangan.

Kegiatan penambangan memerlukan pembukaan lahan dan penebangan hutan bila lokasinya di wilayah hutan. Penebangan hutan selain mengakibatkan deplesi cadangan kayu hutan dan sumberdaya alam lainnya, juga menyebabkan terjadinya degradasi tanah, udara, air, serta hilangnya keanekaragaman hayati, selain juga akan terjadi deplesi cadangan batubara itu sendiri. Deplesi sumberdaya alam (hutan dan batubara) dan degradasi lingkungan (tanah, air, udara) yang terjadi merupakan eksternalitas negatif sebagai dampak adanya kegiatan pertambangan batubara yang perlu diteliti untuk memahami pola dan perilaku kegiatan pertambangan. Penelitian tentang ekonomi total dari eksternalitas pertambangan telah dilakukan oleh sejumlah peneliti. Sudirman (2011) menunjukkan bahwa kegiatan usaha pertambangan batubara menghilangkan fungsi ekologis hutan yang menyebabkan deplesi sumberdaya alam (hutan dan batubara) dan hilangnya jasa lingkungan ekosistem hutan, sehingga menimbulkan biaya eksternal lingkungan yang mengakibatkan kerugian bagi lingkungan sekitar 9,5 triliun rupiah untuk penambangan batubara sekitar Kabupaten Kutai Timur. Yunus (2005) menyebutkan bahwa dari kebakaran hutan tahun 1997 di Taman Nasional Bukit Baka serta hutan dan perkebunan di sekitarnya telah menimbulkan total nilai kerugian ekonomi sebesar 53,91 miliar rupiah. Wirakesumah (2003) menyebutkan bahwa hutan memiliki fungsi lingkungan diantaranya sebagai penyedia sumberdaya alam seperti sumberdaya kayu, sumber daya batubara, sumberdaya air, fungsi sebagai serapan karbon, sebagai pengatur tata air, sebagai tempat penyimpanan air (catchment area), sebagai penyedia udara bersih, sebagai fungsi penahan erosi sebagai bagian dari jasa lingkungan (environmental services) dan menjadi penyangga kehidupan (supporting life) bagi kehidupan.

(26)

Atas dasar kondisi di atas, perlu dilakukan penelitian tentang perilaku dan pola kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan yang terjadi di Kota Samarinda dan sekitarnya yang diakibatkan oleh adanya operasi tambang batubara serta bagaimana transformasi pertambangan yang berkelanjutan dapat dilakukan agar secara ekonomi memberikan keuntungan bagi negara, pengusaha dan masyarakat; secara sosial memberikan kemajuan bagi masyarakat melalui peningkatan sumberdaya manusia, kesehatan dan keharmonisan sosial; dan secara lingkungan dapat terjaga dan terkelola dengan baik tidak hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Kunci dan kekuatan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pengelolaan lingkungan akibat tambang batubara menuju konsep pembangunan pertambangan batubara yang berkelanjutan, melalui upaya pemodelan kebijakan pengelolaan lingkungan untuk pertambangan batubara di Kota Samarinda dan sekitarnya.

Perumusan Masalah

Sumberdaya batubara seharusnya dipandang sebagai aset yang perlu dikelola dengan sebaik mungkin sebagai modal pembangunan. Pembangunan tersebut memiliki dimensi lingkungan, ekonomi dan sosial yang juga dikenal sebagai dimensi pembangunan yang berkelanjutan. Pertambangan memiliki kompleksitas terkait tiga dimensi tersebut, karena di samping kontribusinya yang cukup besar bagi penggerak perekonomian daerah dan pusat di sisi lain juga memiliki dampak negatif terhadap lingkungan (eksternalitas negatif). Terdapat dua cara penambangan, yaitu tambang bawah tanah dan tambang terbuka. Besarnya eksternalitas negatif tersebut tergantung juga pada sistem penambangan yang digunakan. Penambangan dengan sistem terbuka memiliki dampak lingkungan yang lebih besar. Sebagian besar penambangan batubara di Indonesia menggunakan sistem penambangan terbuka dan masih terbatas yang menggunakan penambangan bawah tanah. Dengan sistem penambangan terbuka, pada saat dilakukan bukaan lahan untuk kegiatan tambang, akan terjadi perubahan bentang alam, gangguan pada tanah dan lahan, air tanah terganggu, dan vegetasi di permukaan tanah juga dihilangkan. Kerusakan lingkungan merupakan akibat yang timbul sebagai dampak adanya kegiatan produksi batubara dalam rangka memenuhi kebutuhan batubara sebagai salah satu sumber energi untuk keperluan bahan bakar.

(27)

pengendali banjir, pengendali erosi. Kegiatan operasi tambang terbuka pertambangan telah membuka kawasan hutan seluas 135 ribu ha di Indonesia (DJMB, 2010). Apabila merujuk pada rata-rata kemampuan serapan karbon hutan hujan tropis sebesar 24 ton carbon (C)/hectare (ha) (Wasrin, 2005), maka kegiatan operasi tambang terbuka di Indonesia telah mengurangi kemampuan serapan karbon kawasan hutan sebesar 32,4 x 105 ton C. Pemulihan kemampuan karbon terserap melalui luasan kawasan hutan melalui reklamasi seluas 22,8 ribu ha adalah sekitar 5,47 x 105 ton C. Dengan demikian maka kawasan hutan telah kehilangan kemampuan serapan karbon yang diakibatkan kegiatan pembukaan lahan tambang dan reklamasi tambang sebesar 26,92 x 104 ton C dari 22,8 ribu ha. Di sekitar wilayah Kota Samarinda, terdapat 726 ha bukaan lahan terbuka oleh tambang IUP batubara tahun 2012, dari jumlah tersebut hanya sekitar 20% yang melakukan reklamasi.

Pada sejumlah wilayah selain masalah lingkungan juga telah terjadi peningkatan permasalahan sosial dan ekonomi pada daerah tambang (DBB, 2013). Salah satu penyebabnya, karena cadangan batubara terletak di bawah permukaan tanah. Sesuai dengan aturan perundangan yang ada, pelaku pertambangan hanya bisa melaksanakan pertambangan setelah ada kesepakatan dengan para pemangku kepentingan yang ada di permukan tanah, misalnya para pemilik tanah, para penggarap tanah (perkebunan, kehutanan), termasuk juga untuk memperoleh izin pinjam pakai penggunaan kawasan hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan bila wilayah permukaan tersebut berupa hutan produksi atau hutan lindung. Permasalahan sering muncul manakala belum terjadi kesepakatan, namun pelaku tambang telah melakukan kegiatan pertambangan sehingga akhirnya menimbulkan konflik antara penambang dengan masyarakat.

Pada era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin untuk pertambangan, potensi bukaan tambang semakin besar. Apabila hal ini tidak diawasi, dibina dan dikendalikan dengan baik maka akan terjadi dampak negatif yang tidak terkendali pada dimensi lingkungan dan sosial. Dalam kegiatan rekonsiliasi IUP yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam periode 2011-2012, ditemukan banyak IUP yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah masih bermasalah, baik dari sisi tahapan dan dokumen perizinan maupun dari sisi banyaknya tumpang tindih yang terjadi antar komoditi, beda komoditi dan lintas daerah. Tumpang tindih lintas batas kewenangan memiliki potensi konflik lahan. Sejak dilakukan rekonsiliasi oleh Kementerian ESDM, sampai dengan kuartal 1 tahun 2013 tercatat dari 62 IUP di Kota Samarinda, sebanyak 42 IUP dengan status clear and clean (CnC) dan sisanya masih belum CnC.

(28)

pola dan perilaku sebenarnya, sehingga diharapkan memperoleh hasil penelitian yang dapat memecahkan masalah yang timbul sebagai akibat adanya kegiatan pertambangan batubara secara terbuka tersebut. Secara ringkas sejumlah tambang IUP batubara yang muncul selama era otonomi daerah pada daerah penelitian berpotensi memperluas eksploitasi batubara, di mana baru sebagian yang melaksanakan pertambangan yang baik dan benar, sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan (lahan, vegetasi, deplesi). Terkait dengan indeks keberlanjutan, selain tiga dimensi keberlanjutan yaitu lingkungan, ekonomi dan sosial, juga ditambahkan penghitungan dua dimensi lainnya, yaitu dimensi hukum dan dimensi teknologi dan infrastruktur. Kedua dimensi ini perlu pula diangkat mengingat urgensinya dalam memahami permasalahan keberlanjutan pembangunan di wilayah studi. Dimensi hukum amat terkait dengan keberadaan perangkat peraturan hukum, penegakan hukum terhadap pelanggaran aturan lingkungan hidup, serta konflik yang dapat terjadi antar para pemangku kepentingan. Dimensi infrastruktur dan teknologi amat terkait dengan keberadaan sarana dan prasarana tambang, cara dan praktek penambangan sampai ke aspek kapasitas sumberdaya manusianya.  

Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, sesuai dengan fokus wilayah penelitian yaitu di Kota Samarinda dan sekitarnya, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana status keberlanjutan kegiatan pertambangan batubara di Kota

Samarinda dan sekitarnya?

2. Berapa nilai valuasi ekonomi kegiatan pertambangan batubara terkait dengan nilai kerugian ekonomi lingkungan pada kegiatan pertambangan batubara di Kota Samarinda dan sekitarnya?

3. Bagaimana dampak lingkungan, ekonomi, sosial, hukum serta infrastruktur dan teknologi akibat keberadaan pertambangan batubara di Kota Samarinda dan sekitarnya?

4. Bagaimana model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan yang

berkelanjutan di kawasan pertambangan batubara di sekitar Kota Samarinda?

Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk merumuskan model kebijakan untuk pengelolaan lingkungan pertambangan batubara yang berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menilai status keberlanjutan kegiatan pertambangan batubara di Kota

Samarinda dan sekitarnya.

2. Menganalisis nilai valuasi ekonomi kegiatan pertambangan batubara terkait dengan nilai kerugian ekonomi lingkungan pada kegiatan pertambangan batubara di Kota Samarinda dan sekitarnya.

3. Menganalisis dampak lingkungan, ekonomi, sosial, hukum serta infrastruktur dan teknologi dengan berkembangnya pertambangan batubara di Kota Samarinda dan sekitarnya.

4. Menyusun model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan batubara

(29)

Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat terhadap berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya dalam mentransformasikan paradigma pemanfaatan sumberdaya batubara secara berkelanjutan, yaitu:

1. Bagi akademisi dan peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan dan mendorong penelitian sejenis sehingga dapat memperkaya upaya membangun pengelolaan pertambangan yang lebih baik dan benar secara berkelanjutan;

2. Bagi Pemerintah, sebagai masukan dalam menyusun kebijakan dan strategi pengelolaan pertambangan, khususnya batubara;

3. Bagi masyarakat dan pelaku pertambangan, dapat memahami tentang

pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan pada pertambangan batubara.

Kerangka Pikir Penelitian

Nicholson (2009) mencatat dan meneliti sejumlah konflik lingkungan di era otonomi daerah, di antaranya disebabkan oleh berbagai perbedaan kepentingan para pelaku dalam melakukan suatu kegiatan pembangunan. Pertambangan di Kota Samarinda dan sekitarnya terutama sejak adanya otonomi daerah juga telah memunculkan permasalahan pengelolaan pertambangan pada dimensi lingkungan, ekonomi dan sosial. Permasalahan tersebut dicoba dipahami akar masalahnya dalam kaitan dengan kepentingan para pelaku, hukum penawaran dan permintaan juga kebijakan yang berlaku saat ini, serta solusi atas kasus yang dihadapi.

Beberapa hal yang akan mempengaruhi dalam pengembangan kerangka pemikiran terkait dengan berbagai hal dari kegiatan pertambangan batubara yang menimbulkan dampak positif dan negatif pada tiga dimensi di atas, serta analisis tiga pilar dimensi pembangunan berkelanjutan tersebut, di antaranya adalah untuk membandingkan kondisi sekarang dan yang diinginkan di masa depan serta langkah kebijakan dan perilaku apa yang harus dilakukan oleh para pelaku untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Dengan melihat konteks permasalahan pada dimensi lingkungan, ekonomi dan sosial akibat pertambangan batubara di Kota Samarinda dan sekitarnya, perlu ada solusi kebijakan yang dapat mendorong agar visi pembangunan berkelanjutan dapat tercapai, yaitu secara fungsi ekonomi dapat diterima termasuk untuk mensejahterakan masyarakat, dalam fungsi sosial menimbulkan kedamaian, keserasian dan partisipasi publik, sedangkan secara fungsi lingkungan dapat dikelola dan terjaga untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.

Ketika kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi mulai dijalankan, salah satunya dalam pelimpahan kewenangan telah menimbulkan perbedaan persepsi yang tajam antara pusat dan daerah (Sudradjat, 2003). Pemerintah daerah melihat adanya kesempatan baru untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui izin-izin baru yang dapat dikeluarkan oleh Pemda sebagai kewenangan baru. Di sisi lain kesiapan kelembagaan, regulasi dan sumberdaya manusia masih sering terabaikan sehingga menimbulkan permasalahan dalam impelementasinya.

Sebagai turunan dari UU No. 22 tahun 1999 yang telah di amandemen menjadi

(30)

Pemerintah (PP) No. 75 Tahun 2001 tentang PP No. 32 Tahun 1969 yang mengatur sebagian besar kewenangan pemberian izin pertambangan, di mana saat PP ini diterbitkan sejumlah kabupaten/Kota belum memiliki perangkat yang memadai untuk menjalankan kebijakan pertambangan.

Kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi kewenangan dari pusat ke daerah termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam oleh daerah sebenarnya memiliki tujuan dan manfaat yang baik. Agustino (2011) menyebutkan paling

tidak ada 4 manfaat penting desentralisasi. Pertama, akuntabilitas dan

responsivitas, sebagai upaya mendorong kemampuan daerah untuk dapat merespon kebutuhan masyarakat secara optimal. Kedua, pengembangan warga masyarakat, yaitu untuk mendorong kemampuan dan partisipasi masyarakat dalam

pembangunan daerah. Ketiga, check and balance (pengawasan dan

penyeimbangan), yang terkait dengan kemampuan lokal untuk secara mandiri mengawal desentralisasi dan menjauhkan dari praktek otokratik. Keempat, pemantapan legitimasi politik lokal.

Di sisi lain, terdapat pula beberapa elemen negatif yang dapat muncul dari

praktek desentralisasi. Pertama, keputradaerahan tanpa mempedulikan

kemampuan dan keahliannya. Kedua, pemborosan keuangan daerah karena

munculnya posisi dan birokrasi baru. Ketiga, duplikasi pekerjaan dengan

pemerintah pusat. Keempat munculnya kekuatan otoriter baru di kalangan

masyarakat lokal, seperti politik dinasti, kelompok, dan lain lain. Kelima, semakin besarnya kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumberdaya alam. Elemen kelima ini yang coba untuk dielaborasi dalam penelitian disertasi ini yang akan mengkhususkan pada dampak lingkungan pertambangan batubara di Kota Samarinda dan sekitarnya.

Salah satu potensi yang perlu digali adalah peran pertambangan dalam perkembangan wilayah kota di masa depan. Rancangan pascatambang dari kegiatan pertambangan di wilayah kota perlu diselaraskan dengan rencana pengembangan wilayah perkotaan. Dalam pelaksanaan kebijakan pertambangan batubara di daerah, perlu untuk dipahami dampak kegiatan pertambangan, baik dampak positif maupun dampak negatif. Prinsipnya adalah bagaimana dampak negatif harus dihilangkan atau diminimalisir sedangkan dampak positif harus diperbesar. Dampak negatif kegiatan pertambangan di Kota Samarinda dan sekitarnya selain adanya dampak fisik, kimia dan biologi pada lahan dan sumberdaya air, juga termasuk tumpang-tindih pemanfaatan lahan, sehingga adalah amat penting untuk mencapai kesepakatan antar pelaku sebelum, selama dan sesudah suatu tambang batubara tersebut dioperasikan dengan berprinsip pada tiga pilar keberlanjutan lingkungan, ekonomi dan sosial. Berdasarkan pada pertimbangan di atas, disusun kerangka pemikiran penelitian yang secara garis besar tertera terdiri dari 6 bagian (Gambar 1).

Pertama, adanya potensi batubara Kota Samarinda, ditambah dengan

kewenangan pemberian IUP yang sejalan dengan otonomi daerah telah memberi ruang lebih besar dan berpotensi meluasnya eksploitasi sumberdaya batubara.

(31)

antaranya deplesi kayu, deplesi batubara, deplesi air, dan degradasi fungsi lingkungan seperti penurunan kemampuan serapan karbon, kemampuan untuk menahan erosi, kapasitas cadangan air (catchment area) serta berpotensi untuk timbul konflik. Secara legal, seharusnya penambangan hanya bisa dilakukan setelah melewati tahap eksplorasi 3-5 tahun, lalu penyusunan studi kelayakan dan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) selama 1-2 tahun untuk mengindentifikasi dampak negatif dan positifnya, dilanjutkan dengan operasi penambangan sesuai dengan umur tambang. Setelah operasi penambangan selesai yang tergantung dari volume cadangan dan produksi batubaranya, harus dilakukan

pascatambang yang melibatkan para stakeholder (pengampu kepentingan),

[image:31.612.107.509.302.667.2]

seperti: pemerintah daerah (pemda), pemerintah pusat, masyarakat, pengusaha dan konsumen. Selain itu dari sisi dimensi pembangunan yang berkelanjutan termasuk dimensi lingkungan, ekonomi, sosial, hukum serta infrastuktur dan teknologi perlu juga dipahami tentang status keberlanjutannya, serta berbagai kebijakan yang diperlukan agar kondisi yang tidak atau kurang berkelanjutan bisa diperbaiki menjadi lebih berkelanjutan.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Kebijakan Pembangunan Pertambangan Batubara yang Berkelanjutan

Pembangunan daerah Otonomi Daerah

Potensi sumberdaya batubara di daerah

Penambangan/eksploitasi batubara

Ilegal Legal

Degradasi LH/Deplesi  SDA:Deplesi  batubaraDeplesi hutanKerugian hilangnya 

fungsi hutan

Pengendalian dan pemulihan Lingkungan tambang

Model Kebijakan Pengelolaan Dan pemulihan Lingkungan akibat Pertambangan Batubara

berkelanjutan Manfaat Kontribusi fiskalTenaga kerjaKesempatan usaha

Manfaat Vs kerusakan

Transformasi manfaat secara berkelanjutan Nilai Kerusakan

(32)

Ketiga, tambang batubara secara finansial memberikan manfaat bagi Negara dalam bentuk kontribusi fiskal seperti pajak dan bukan pajak bagi Negara dan daerah, serta memberi dampak positif kepada masyarakat seperti tersedianya lapangan pekerjaan, terciptanya peluang usaha baru, pengembangan infrastruktur daerah, pengembangan wilayah, dan lain-lain. Manfaat yang timbul tersebut merupakan eksternalitas positif adanya pertambangan batubara. Namun dampak positif tersebut belum memperhitungkan nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan dari tambang batubara, seperti nilai kerusakan hutan, degradasi lingkungan, dan lain-lain. Perhitungan nilai kerusakan lingkungan yang timbul tersebut secara valuasi ekonomi kegiatan lalu dibandingkan dengan manfaat ekonomi pertambangan.

Keempat, upaya pengendalian terhadap kerusakan lingkungan diperlukan selama umur tambang (kegiatan operasi pertambangan berlangsung), serta pengembalian kondisi lingkungan setelah penambangan. Pengendalian dampak negatif tersebut, di antaranya mencakup kegiatan rehabilitasi yang mencakup aspek reklamasi atau restorasi. Restorasi adalah upaya untuk mengembalikan kondisi lahan pertambangan seperti semula sebelum adanya pertambangan. Reklamasi adalah suatu perlakuan pada tanah bekas pertambangan yang akan dipulihkan dan dapat difungsikan kembali sesuai dengan kesepakatan dengan para pemangku kepentingan. Pentingnya hal ini adalah agar nantinya pemanfaatan kembali lahan bekas tambang sesuai dengan aspirasi dan akhirnya memiliki manfaat, ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Reklamasi menjadi salah satu faktor kunci dalam efisiensi penggunaan lahan selama dan sesudah penambangan.

(33)

adanya pertambangan batubara di lokasi tersebut. Keenam, penelitian ini untuk menghasilkan model kebijakan pengelolaan lingkungan akibat pertambangan batubara dengan mengambil studi kasus di Kota Samarinda dan sekitarnya.

Kebaruan (Novelty) Penelitian

Kebaruan dalam penelitian ini adalah menghasilkan model kebijakan pertambangan yang berkelanjutan yang lebih komprehensif dan dinamis dengan mensinergikan metode untuk pendugaan keberlanjutan suatu kegiatan. Penggabungan ini adalah metode Multidimensional scalling (MDS), Interpretive Structural Modelling (ISM) untuk menduga status keberlanjutan pada kondisi dan saat tertentu, serta metode valuasi ekonomi pada wilayah lahan yang terganggu untuk mendapatkan nilai manfaat yang sesungguhnya setelah manfaat bruto dikurangi kerugian keseluruhan. Faktor kunci yang diperoleh dari perhitungan dengan metode MDS dan nilai manfaat dan biaya yang dihasilkan dari perhitungan valuasi ekonomi menjadi parameter kunci yang digunakan dalam pengembangan model dinamik pengelolaan pertambangan yang berkelanjutan.

Model dinamis yang terbangun dapat mengillustrasikan perilaku kegiatan pertambangan pemulihan hutan dan lahan, pengangkutan batubara, ketenagakerjaan, manfaat finansial dan valuasi ekonomi, serta dinamika indeks keberlanjutan pada kegiatan pertambangan pada dimensi lingkungan, ekonomi, sosial, hukum serta infrastruktur dan teknologi.

Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah:

1. Penelitian dilakukan pada lima dimensi keberlanjutan pembangunan, yaitu dimensi lingkungan, ekonomi, sosial, hukum, serta infrastruktur dan teknologi, yaitu:

a. Dimensi lingkungan memiliki 12 atribut keberlanjutan, yaitu: kondisi degradasi tanah permukaan, tingkat kesuburan tanah di wilayah tambang, pertumbuhan vegetasi pascatambang, ketersediaan dan kualitas air, tingkat gangguan kegiatan pertambangan terhadap ekosistem, frekuensi kejadian banjir, program konservasi dan penataan lahan terganggu, pencemaran terhadap air, pencemaran terhadap tanah, dampak terhadap manusia dan satwa, pelaksanaan reklamasi dan rehabilitasi lahan, dan jaminan reklamasi dan pascatambang.

b. Dimensi ekonomi menggunakan 10 atribut keberlanjutan, yaitu:

(34)

c. Dimensi sosial terdiri dari 10 atribut keberlanjutan, yaitu: tingkat penyerapan tenaga kerja, kesehatan masyarakat sekitar tambang, hubungan masyarakat sekitar tambang dengan pelaku industri pertambangan, pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pertambangan batubara, pengaruh tambang dan pascatambang terhadap nilai sosial-budaya masyarakat, frekuensi konflik kesenjangan, pengaruh terhadap peningkatan pendidikan, kesadaran masyarakat untuk perbaikan lingkungan, persepsi masyarakat terhadap keberadaan tambang, dan tingkat keseriusan dan kepedulian untuk menghadapai masalah sosial akibat keberadaan tambang. Penyerapan tenaga kerja merupakan dampak yang timbul pada aspek sosial yang berimplikasi pada aspek ekonomi yaitu terciptanya pendapatan di masyarakat melalui gaji karyawan.

d. Dimensi hukum terdiri dari dari 12 atribut keberlanjutan, yaitu:

ketersediaan aturan perundangan untuk melestarikan lingkungan, kepatuhan dalam memenuhi aturan K3 dan lingkungan hidup, penyuluhan hukum dan implementasi tata ruang dan lingkungan, penegakan hukum terhadap pelanggaran aspek lingkungan, konflik dengan pemegang izin usaha lainnya (kehutanan, perkebunan, dll), konflik dengan pemegang izin tambang lainnya, sinkronisasi kebijakan dan pembinaan pusat dan daerah, kerjasama lintas sektoral dalam pengembangan pertambangan berwawasan lingkungan, permasalahan ganti rugi lahan, kepastian hukum dalam menjalankan bisnis pertambangan, persepsi terhadap IUP yang CnC, penegakan hukum terhadap gangguan operasi pertambangan.

e. Dimensi infrastruktur dan teknologi memiliki 11 atribut keberlanjutan, yaitu: pemahaman tentang teknik pertambangan yang baik dan benar, teknik rehabilitasi lahan pascatambang, teknik pembibitan dan penanaman vegetasi, teknik pengendalian pencemaran air, keberadaan sarana dan prasarana pendukung penambangan (jalan angkut, pelabuhan dll), teknik pemilihan jenis tanaman dan jenis tanah, teknik penutupan tambang yang baik, pengawasan rutin oleh pemerintah terhadap kegiatan operasi penambangan, keberadaan sumber daya manusia (SDM) pengawas/inspektur pertambangan, keberadaan program pengembangan teknik konservasi dan teknik penghitungan sumberdaya dan cadangan.

2. Penelitian ini dibatasi pada wilayah Kota Samarinda dan sekitarnya.

Pengertian sekitarnya adalah sekitar perusahaan pertambangan batubara yang akan diteliti dengan beberapa di antaranya memiliki wilayah pertambangan yang berdekatan atau masuk wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara yang secara geografis letaknya mengelilingi Kota Samarinda. Terdapat 2 PKP2B dan 6 IUP di Kota Samarinda yang menjadi obyek studi.

(35)

TINJAUAN PUSTAKA

Paradigma Pertambangan yang Berkelanjutan

Menjelang berakhirnya abad ke-20, mulai muncul paradigma dalam penilaian keberhasilan suatu pembangunan, faktor ekonomi tidak lagi dipercaya sebagai satu-satunya pilar untuk meningkatkan taraf hidup manusia, tetapi ada dua pilar lain yang harus dibangun secara simultan dan seimbang, yaitu sosial dan lingkungan. Pembangunan sosial dapat lebih jauh diterjemahkan sebagai tingkatan kontribusi pembangunan terhadap taraf hidup masyarakat seperti pendidikan, pendapatan, kesejahteraan, dan kesehatan. Pembangunan di bidang lingkungan mewujudkan pemanfaatan optimal dan bijak terhadap sumberdaya alam tak terbarukan, serta kesinambungan ketersediaannya terhadap sumberdaya alam yang terbarukan.

Pembangunan berkelanjutan menitik beratkan pada keseimbangan antara dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup yang diwujudkan secara bersamaan. Ketiga dimensi tersebut harus dipahami secara seimbang dan bersinergi sebagai bentuk pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa membahayakan generasi mendatang, tetapi juga pembangunan yang meningkatkan mutu kehidupan dalam batas daya dukung ekosistem (Kusmana, 2011). Sebagai Negara berkembang yang memiliki sumberdaya kekayaan alam yang relatif melimpah, Indonesia juga memiliki ketergantungan yang relatif tinggi terhadap sumber dana pembangunan. Usaha pertambangan yang menghasilkan bahan tambang mineral dan batubara merupakan salah satu upaya untuk memanfaatkan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia. Namun dalam implementasinya seringkali Negara dihadapkan pada pilihan yang dilematis antara pemanfaatan secara maksimal dan kerusakan lingkungan dan sosial.

(36)

Terjaganya harmonisasi antara kawasan hutan sebagai lingkungan alam, industri pertambangan sebagai lingkungan binaan, dan masyarakat di sekitar tambang sebagai lingkungan sosial, serta penerapan prinsip-prinsip di atas dalam kegiatan pertambangan akan berkontribusi untuk keberlanjutan lingkungan pertambangan batubara.

Konsep pertambangan harus benar-benar mengarah pada pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup dan sosial. Pendekatan yang harus dilakukan antara lain:

a. Kegiatan usaha sumber daya mineral harus menjadi bagian dari pembangunan daerah dan mengikuti prinsip-prinsip tata ruang.

b. Harus sejalan dengan pembangunan infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan kegiatan penunjang lainnya yang dapat memberikan efek ganda

c. Pertambangan yang baik dan benar juga mengacu kepada teknologi tepat guna yang efektif dan aman, pinsip konservasi dan melestarikan fungsi-fungsi lingkungan hidup

d. Optimalisasi peningkatan nilai tambah dengan mengantisipasi kebutuhan masa depan.

Pengertian azas berkelanjutan sesuai dengan pemahaman dalam UU minerba, yaitu pada penjelasan pasal 2, yang menyebutkan bahwa kegiatan pertambangan yang berkelanjutan adalah yang secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan yang mencakup aspek kepentingan masa kini dan masa mendatang. Dalam butir 6 penjelasan UU Minerba, kegiatan usaha pertambangan batubara harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara memiliki kedudukan yang sama dengan pemanfaatan sumber daya alam lainnya secara berkelanjutan dalam tata ruang, sehingga harus dikelola secara bijaksana untuk memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional dan harus dapat dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Salah satu faktor penting untuk pertambangan yang berkelanjutan adalah keberhasilan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk mendorong munculnya kegiatan-kegiatan dan peran sosial ekonomi masyarakat disekitar tambang dalam rangka peningkatan kemandirian masyarakat sekitar kegiatan perusahaan tambang pemegang PKP2B maupun IUP/IUPK, sehingga jika deposit tambang sudah habis ekonomi masyarakat masih tetap berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa program ini seharusnya mampu menciptakan kemandirian masyarakat lepas dari ketergantungan, sebagai prasyarat tercapainya pembangunan berkelanjutan benar-benar dapat dicapai dan dapat memberikan kontribusi optimal terhadap perekonomian Indonesia secara keseluruhan dan daerah khususnya.

Ekonomi Lingkungan untuk Pertambangan

(37)

berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan (Putri et al., 2010). Kegiatan ekonomi yang dalam hal ini berupa kegiatan pertambangan batubara menimbulkan eksternalitas atau dampak/efek samping. Eksternalitas bisa positif bisa juga negatif. Adanya eksternalitas menyebabkan tidak bisa mencapai Pareto optimal. Pada kenyaataannya kebijakan pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi hanya akan menghasilkan pertumbuhan yang semu. Apalagi bila pembangunan tersebut bertumpu pada eksploitasi sumberdaya alam. Metode valuasi ekonomi sudah banyak dimanfaatkan dalam menghitung dampak lingkungan yang terjadi pada pertumbuhan ekonomi yang terjadi (Patunru, 2004). Valuasi ekonomi terhadap sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati dapat didefinisikan sebagai “as an attempt to put monetary values to environmental goods and services or natural resources” (IUCN, 2006), atau sebuah upaya untuk meletakan nilai moneter terhadap barang dan jasa lingkungan atau sumberdaya alam. Hal yang menjadi dasar pemikiran adalah bahwasanya konsekuensi biaya untuk lingkungan adalah sesuatu yang harus diperhitungkan secara komprehensif dalam suatu pertumbuhan.Valuasi ekonomi akan memberikan gambaran nilai ekonomi yang dimiliki suatu sumberdaya alam tertentu. Fakta ini menjadi salah satu dasar dalam pertimbangan pengelolaan sumberdaya alam secara arif. Pendekatan ini amat penting bila dikaitkan dengan hal-hal terkait seperti hak milik, ataupun jasa lingkungan (Suparmoko, 2006). 

Dalam konteks industri pertambangan, misalnya dengan memberikan kesempatan berusaha dan mengembangkan usaha bagi masyarakat kecil melalui pemberian pinjaman modal (peningkatan sumberdaya kapital), maupun penyediaan berbagai fasilitas yang mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Keberpihakan terhadap kelompok masyarakat miskin, masyarakat di pedesaan, wanita dan anak-anak, ataupun kelompok masyarakat lain yang selama ini diabaikan, perlu dilakukan sehingga tujuan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sekaligus pemerataan dan pengentasan kemiskinan dapat terealisasi. Intinya adalah bahwa pemberdayaan masyarakat adalah hal yang sangat penting untuk dilaksanakan dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

Kegiatan penambangan memerlukan pembukaan lahan dan penebangan hutan. Penebangan hutan selain mengakibatkan berkurangnya cadangan kayu hutan dan sumberdaya alam lainnya, juga menyebabkan terjadinya degradasi tanah, udara, air, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Di sisi lain juga akan terjadi deplesi cadangan batubara itu sendiri. Gambar 2 menunjukkan dampak tambang batubara ditengah upaya keberlanjutan lingkungan.

Pada bagian kiri dari Gambar 2 ditunjukkan kontribusi produksi batubara yang dikuantifikasikan dalam nilai jual (pendapatan) dan merupakan kontribusi langsung dalam keberlanjutan ekonomi. Bagian tengah menunjukkan aspek sosial, salah satu kontribusi langsungnya adalah pada peningkatan tenaga kerja. Namun demikian pilar berikutnya adalah aspek lingkungan. Dalam hal ini harus dikuantifikasikan dampak penting yang ditimbulkannya kepada lingkungan akibat kegiatan pertambangan tersebut, seperti: potensi banjir, potensi hilangnya kesempatan penyerapan gas rumah kaca akibat berkurangnya hutan oleh kegiatan pertambangan batubara, dan lain lain.

(38)
[image:38.612.136.438.80.309.2]

Gambar 2 Dampak pertambangan batubara (KLH, 2011a)

Dalam valuasi ekonomi yang juga diperhitungkan adalah bahwa dalam rata-rata nilai jasa hutan yang dihasilkan nilai ekonomi total merupakan jumlah dari nilai penggunaan langsung dan tidak langsung. Nilai penggunaan langsung adalah penggunaan kayu, kayu bakar, produk hutan non-kayu dan konsumsi air. Nilai penggunaan tidak langsung di antaranya adalah konservasi air dan tanah, penyerap karbon, pencegah karbon, pencegah banjir, transportasi air, keanekaragaman hayati, dan lain lain (Tabel 2).

Tabel 2 Rata-rata nilai produk jasa hutan (Rp/ha/thn)

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 2  Rata-rata nilai produk jasa hutan (Rp/ha/thn)
Tabel 3  Nilai ekonomi total hutan Indonesia (US$/ha/Tahun)
Tabel 4  Kerusakan lingkungan akibat adanya aktivitas pertambangan batubara
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Pemerintah mengkaji ulang pelaksanaan undang-undang yang memuat ketentuan CSR bagi dunia usaha terutama usaha-usaha yang berbasis pada pemanfaatan sumberdaya

Kebaruan dari penelitian ini terletak pada pengintegrasian berbagai komponen usahatani dan dimensi keberlanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya lokal yang digunakan

Analisis Rap-SIPPDAS DAS Citarum bagian hulu, tengah, dan hilir pada setiap dimensi (ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, dan hukum dan kelembagaan)

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan terdiri dari sepuluh atribut, yaitu: (1) frekuensi

Hal ini menunjukkan bahwa dimensi kelembagaan pada pengelolaan Situ Kedaung termasuk kategori kurang keberlanjutan, dan berdasarkan hasil analisis laverage dengan