• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Mineral Yang Berkelanjutan (Studi Kasus Pengelolaan Lingkungan Mod ADA Di Kabupaten Mimika, Papua)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Mineral Yang Berkelanjutan (Studi Kasus Pengelolaan Lingkungan Mod ADA Di Kabupaten Mimika, Papua)"

Copied!
237
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

PERTAMBANGAN MINERAL YANG BERKELANJUTAN

(Studi Kasus: Pengelolaan Lingkungan Mod-ADA

di Kabupaten Mimika, Papua)

BAMBANG WIBISONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Mineral yang Berkelanjutan (Studi Kasus: Pengelolaan Lingkungan Mod-ADA di Kabupaten Mimika, Papua)

adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juni 2008

(3)

ABSTRACT

BAMBANG WIBISONO. Policy Model for Mineral Mining Environmental Management Sustainability (Case Study: Mod-ADA Environmental Management in Mimika Regency, Papua). Under the direction of ERIYATNO, ERLIZA NOOR, FADJAR SOFYAR.

Mineral mining is important sector which contributes significantly to the national and local government’s revenue as well as for local community prosperity. Most mineral mining to the ore process is using flotation process, which produces concentrate with tailing as waste products. Tailing is finely ground natural rock residue from the processing of mineralized ore which amount to approximately 96-97% of the processed ore and only 3-4% concentrate containing copper, gold and silver. Tailing should be managed properly to minimize environmental impact. The objective of this study is to identify the elements of mineral mining environmental management system, to study existing environmental policy and to design sustainable model on the tailing handling. Case study was done in the Modified Ajkwa Deposition Area (Mod-ADA) at the Mimika Regency, Papua.

This research was using soft system methodology (SSM) and policy development was using the total system intervention (TSI) procedure which highlighted environmental care, complementarism and community development. The system modelling techniques used were Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST), Interpretative Structural Modelling (ISM) and Issue Management Technology (IMT) with Face validation by expert survey and FGD. Effective cost parameter and related SME business feasibility were calculated through field survey. The strategic policy model was formulated based on COMHAR sustainable development themes: satisfaction of human needs by the efficient use of resource, respect for ecological integrity and bio diversity, social equity and good decision making.

This study resulted conceptual model which consists of the tailing management model (PETAS) for the physical environmental aspect and the Mod-ADA land rehabilitation (RELAWI) for the biological aspect. The strategic policy model was developed according to environmental management and monitoring procedure (RKPL). The strategy should be strengthened by community empowerment and local environmental forum for stakeholder engagement. Based on the model formulation, the policy implication is carried out through regional control of Informal Mining, community participation in the reclamation of deposition area activities and optimalization of the CSR-fund with CSER guideline. The long-term solution of Mod-ADA environmental management is tailing processing to increase added value such as cement industry. This plan should be supported by integrated environmental impact analysis (EIA) and environmental audit in line with the clean development mechanism (CDM) principles.

(4)

RINGKASAN

BAMBANG WIBISONO. Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Mineral yang Berkelanjutan (Studi Kasus: Pengelolaan Lingkungan Mod-ADA di Kabupaten Mimika, Papua). Dibimbing oleh ERIYATNO, ERLIZA NOOR, FADJAR SOFYAR.

Pertambangan mineral merupakan sektor penting yang memberikan kontribusi signifikan bagi pendapatan nasional dan daerah sebagaimana juga untuk peningkatan kemakmuran masyarakat. Sebagian besar proses pengolahan bijih pada pertambangan mineral dilakukan dengan proses pengapungan yang menghasilkan konsentrat dan tailing (pasir sisa tambang). Pasir sisa tambang merupakan batuan alami yang halus yang tetap tersisa setelah pengambilan mineral (3-4%) yang mengandung tembaga, emas, perak dan mineral lainnya. Pasir sisa tambang tersebut terdiri atas 50 persen fraksi pasir halus dengan diameter 0,075 - 0,4 mm dan 50 persen berupa fraksi lempung dengan diameter kurang dari 0,075 mm. Pasir sisa tambang yang dialirkan melalui sungai harus dikelola secara tepat untuk mengurangi dampak lingkungan. Perubahan lingkungan di sekitar pertambangan dapat terjadi setiap saat, sehingga manajemen pengelolaan limbah yang efektif menjadi indikator keberlanjutan usaha pertambangan mineral.

Penelitian ini bertujuan merumuskan model konseptual kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan dan faktor-faktor pendukung yang terdapat di wilayah pengelolaan pasir sisa tambang Modified Ajkwa Deposition Area (Mod-ADA) di Kabupaten Mimika, Papua. Tujuan khusus untuk mendukung perumusan model adalah: (1) menganalisis situasi sistem pengelolaan limbah tambang mineral di Mod-ADA Kabupaten Mimika, Papua, (2) memunculkan dan mensintesis asumsi dasar yang mendukung model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral di Mod-ADA melalui pendekatan system thinking, dan (3) merumuskan struktur model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral.

Penelitian dilakukan dengan pendekatan sistem melalui soft system methodology (SSM) (Checkland 1981), dimana dalam penyusunan kebijakan digunakan mekanisme total system intervention (TSI) (Jackson 2000) yang mengedepankan kepedulian lingkungan, complementarism dan komitmen terhadap kesadaran lingkungan serta pemberdayaan masyarakat. Teknik pemodelan sistem menggunakan Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST), Interpretative Structural Modeling (ISM) (Saxena et al 1992) dan Issue Management Technology (IMT) serta face validation dengan survai pakar dan focus group discussion (FGD). Analisis biaya efektif dan kelayakan usaha kecil diprediksi berdasarkan survai lapangan. Perumusan model kebijakan strategis pengelolaan pertambangan mineral yang berkelanjutan didasarkan pada konsep COMHAR tentang sustainability development, yaitu: pemenuhan kebutuhan manusia dengan efisiensi sumberdaya, menghargai integritas ekologi dan keanekaragaman hayati serta pengambilan keputusan yang tepat.

(5)

lingkungan fisik secara terpadu daerah pengendapan Mod-ADA dengan pengaturan arah aliran pasir sisa tambang di aliran sungai (river training), pemantapan tanggul dan pembuatan gabion. Pelaksanaannya ditargetkan 63.700 unit dengan anggaran sebesar US$ 12,5 juta, sedangkan target pemeliharaan tanggul barat dan timur sepanjang 20 km diperlukan anggaran sebesar US$ 8-12 juta per tahun dari total panjang tanggul barat 50 km dan tanggul timur sepanjang 54 km. Berdasarkan RKL-RPL tahun 2007 perusahaan pertambangan mengalokasi anggaran sebesar 27,62 persen dari total anggaran untuk kegiatan lingkungan, sedangkan untuk reklamasi dialokasikan sebesar 2,65 persen dari anggaran kegiatan lingkungan.

Berdasarkan hasil ISM diperoleh elemen kunci upaya pengelolaan lingkungan fisik di Mod-ADA meliputi stabilitas tanggul dan pembuatan sistem saluran aliran pasir sisa tambang atau sistem kanalisasi dan pembuatan permeable dikes untuk retensi sedimen agar endapan pasir sisa tambang tidak mencemari lingkungan. Mekanisme prosedur darurat terhadap kerusakan tanggul dilakukan dengan upaya peninggian dan pelebaran tanggul. Elemen kunci upaya pengelolaan lingkungan biologik dilakukan untuk mengurangi kerusakan lahan terhadap tingkat erosi sehingga berbagai jenis tanaman dapat tumbuh lebih luas di lahan pasir sisa tambang. Kendala utama upaya tersebut adalah curah hujan yang tinggi serta kesadaran lingkungan masyarakat dan aktivitas pertambangan informal.

Asumsi strategis yang dirumuskan melalui teknik SAST dalam proses pemodelan sistem kebijakan lingkungan di Mod-ADA adalah perusahaan pertambangan memiliki kegiatan pengelolaan lingkungan yang baku serta suksesi alami merupakan bagian kegiatan reklamasi lahan selama operasional pertambangan. Asumsi strategis lainnya adalah keterbukaan informasi, alokasi dana serta kesadaran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Asumsi-asumsi dengan tingkat kepentingan yang tinggi tetapi memiliki ketidakpastian adalah ketersediaan dana pengelolaan lingkungan dan kondisi infrastruktur daerah, kesiapan dan ketersediaan SDM lokal untuk terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat serta legalitas dan jaminan keamanan dalam pelaksanaan program-program.

(6)

Model kebijakan strategi dikembangkan sebagai upaya evaluasi rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan (RKL-RPL). Kebijakan strategi perlu didukung dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat dan musyawarah lingkungan daerah (MLD) untuk stakeholders engagement. Implikasi kebijakan dilakukan dengan penataan pertambangan informal melalui mekanisme registrasi usaha, partisipasi masyarakat dalam kegiatan reklamasi wilayah pengendapan. Pengembangan arahan pelaksanaan CSR sebagai corporate social and environmental responsibility (CSER) merupakan upaya perwujudan kepedulian lingkungan dari perusahaan.

Dalam jangka panjang solusi manajemen lingkungan Mod-ADA dilakukan dengan pengembangan unit pengolahan pasir sisa tambang untuk meningkatkan nilai tambahnya, seperti industri semen. Pendirian industri ini perlu dilakukan AMDAL terintegrasi dan audit lingkungan yang sejalan dengan clean development mechanism (CDM). Perencanaan tindakan lainnya adalah penataan pertambangan informal, optimalisasi program CSR, reklamasi lahan endapan pasir sisa tambang dan penyesuaian Peraturan Daerah dengan manajemen lingkungan Mod-ADA.

(7)

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis atau tinjauan suatu masalah

b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERTAMBANGAN MINERAL YANG BERKELANJUTAN

(Studi Kasus: Pengelolaan Lingkungan Mod-ADA di Kabupaten Mimika, Papua)

BAMBANG WIBISONO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka : 1. Dr. Eko Sugiharto

(10)

Judul Disertasi : Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Mineral yang Berkelanjutan

(Studi Kasus: Pengelolaan Lingkungan Mod-ADA di Kabupaten Mimika, Papua)

Nama : Bambang Wibisono

NIM : P062040384

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE Ketua

Dr. Ir. Erliza Noor Anggota

Dr. Fadjar Sofyar Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, MS

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya dapat menyelesaikan disertasi dengan judul “Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Mineral yang Berkelanjutan (Studi Kasus: Pengelolaan Lingkungan Mod-ADA di Kabupaten Mimika, Papua)” di Institut Pertanian Bogor.

Isu lingkungan pada masa sekarang merupakan hal yang sangat penting, terutama mengenai perkembangan arah kebijakannya. Kompleksitas isu lingkungan dapat diselesaikan dengan system thinking melalui system approach agar dapat mengambil keputusan secara tepat terhadap arah kebijakannya. Sebagai peminat bidang ilmu lingkungan, khususnya bidang kebijakan manajemen lingkungan, maka dari disertasi tersebut penulis mengembangkan menjadi beberapa tulisan ilmiah. Naskah pertama berjudul ”Studi Pengelolaan Lingkungan yang Berkelanjutan di Wilayah Pengendapan” sedang dalam proses penerbitan pada Jurnal Geografi Vol.1, No.2 edisi Oktober 2008. Naskah kedua berjudul ”Penerapan Soft System Methodology (SSM) dalam Permodelan Kebijakan Lingkungan Pertambangan Mineral” yang akan dimuat pada Jurnal Ekologia Vol.8, No.2 edisi Oktober 2008. Kedua tulisan ilmiah tersebut merupakan hasil pengarahan pembimbing untuk memperdalam pemahaman mengenai kebijakan lingkungan dengan penerapan soft system methodology.

Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE., Dr. Ir. Erliza Noor dan Dr. Fadjar Sofyar selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan arahannya dalam menyelesaikan disertasi ini.

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS., selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc selaku Sekretaris Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB, Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS dan Dr. Ir. Etty Riani, MS. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi PSL-IPB serta para dosen di lingkungan PSL dan Sekolah Pascasarjana IPB atas bekal ilmu, arahan dan segala masukan yang diberikan selama penyusunan disertasi ini. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih atas kritik dan saran perbaikan sehingga disertasi ini lebih lengkap kepada Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng selaku penguji ujian pra kualifikasi dan Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng sebagai penguji luar komisi pada saat ujian tertutup. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF atas dukungannya selama menempuh studi di Sekolah Pascasarjana IPB.

(12)

Andrina (PhD candidate UBC) yang telah memberikan masukan dan pemikiran yang sangat bermanfaat dalam penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Green Team (Napoleon Sawai, MSME, Ir. Herman Dasril, Ir. Dyah Taroepratjeka, Leander Auwe, Marthen Raru dan Ricky Seo) serta Team Tailing and River Management Project, TRMP (Ir. Didiek Subagyo, Ir. Yavid, Ir. Ernawati, Victor Papendang, Jhony Suwarno, G. Theedens, Hermawan Isbandi, Sadono S, Elenoa Rumkorem dan Budi Haris).

Terima kasih atas ketulusan doa, pengertian dan kesabaran Istri tercinta Vonny S Wibisono, B.Sc dan ketiga anak kami, Geeta Augustina Wibisono, Priyo Wibisono, SH dan Laksamana Wibisono, SE yang telah memberikan dukungan moril dan spirituil. Tak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh rekan-rekan PSL Angkatan 2004-2005, Dr. Ir. B.S. Kusmuljono, MBA., Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes, Rachman Kurniawan, Teguh Adiorasetya dan Dr. Sjofjan Bakar, M.Sc yang telah memberikan dukungan serta memberikan saran yang berharga sampai penyelesaian disertasi ini. Tak lupa penulis juga sampaikan ucapan terima kasih kepada Albert Rotinsulu, S.Si, MM; Roweyna Wenas, SH, MH; Olivia Hasibuan, S.Si, MM; Yeni Suganda, S.Ak; Monica Zeni, S.Ak; Tamalia Kaisiepo, SE; Tommy Lolowang dan dr. Frans Budiman yang telah memberikan dukungannya selama penyelesaian disertasi ini. Atas kerjasama dan dukungannya penulis sampaikan terima kasih kepada Ir. Sugiyono, M.Si; Ir. Dadan Hermajanda, M.Si, Ir. Nunung Nurhayati dan Udin Saefudin, S.Sos serta Ir. Ririn Sutomo dan Ir. Suliati Suci.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan dukungan dan kontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu, penulis sampaikan terima kasih. Atas segala sesuatu yang terbaik yang telah diberikan kepada penulis, tiada balasan yang dapat disampaikan melainkan lantunan doa yang iklas semoga Allah SWT membalas amal dan kebaikan yang telah diberikan agar senantiasa berada pada tuntunan-Nya.

Tiada kesempurnaan melainkan kesempurnaan-Nya, demikian halnya dengan disertasi ini. Penulis mengharapkan saran dan koreksi yang kiranya dapat menjadi landasan penyempurnaan dan pemahaman ilmu dalam disertasi ini.

Bogor, Juni 2008

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 1 Januari 1946 sebagai putera ketiga dari pasangan alm. Bapak Soemitro Moersid dan alm. Ibu Chafifa Soemitro. Penulis lulus SMA pada tahun 1963 di Bandung dan melanjutkan pendidikan Universitas Padjadjaran (Fakultas Ekonomi). Pada tahun 1967 penulis lulus sebagai Sarjana Muda Jurusan Ekonomi Perusahaan. Setelah lulus sebagai sarjana muda penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran sampai dengan lulus dengan gelar Doctorandus (Drs) bidang ekonomi perusahaan yang setara dengan strata-2 pada tahun 1970. Pada tahun 1970 belum ada pemisahan antara strata-1 dan strata-2. Pendidikan tinggi lainnya ditempuh pada Program Pascasarjana S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui Program Khusus.

Berbagai forum internasional menjadi inspirasi Penulis untuk berperan serta dalam peningkatan sumberdaya manusia. Tahun 1985 sebagai International HR Manager (Indonesia) pada Diamond Shamrock di Dallas-Texas. Pada tahun 2003 menjadi delegasi Indonesia dalam International Organization of Employers (IOE) Asia Pacific di Dhaka, Bangladesh. Selain itu, pada tahun 2004 juga menjadi delegasi dalam International Labour Conference–92 (Bureau International Du Travail 2004 Geneva, Switzerland). Berbekal pengalaman dan wawasan dalam pengembangan sumberdaya manusia, pada tahun 2005 menjadi utusan dalam ILO Tripartite Forum–“The Second South East Asia and the Pacific di Subregional Tripartite Forum”, Melbourne. Penulis juga penuh perhatian dalam pengembangan CSR di Indonesia, seperti yang dipresentasikan dalam NHO and Sister Organizations (China, Vietnam, Indonesia and Norway)–Workshop on Corporate Social Responsibility (CSR) di Bali pada tahun 2008.

Pengalaman kerja penulis diawali pada bidang perbankan sebagai Asisten Manager Bank Persatuan Dagang Indonesia pada tahun 1970-1974 dan sebagai Executive Development Program pada tahun 1974-1975 di Citibank N.A hingga sebagai Vice President Chase Manhattan Bank NA pada tahun 1986-1989. Penulis mendapat kesempatan belajar dan bekerja di Asia Pacific Training Center di Manila, Hongkong dan Singapore. Selain dunia perbankan, penulis juga berpengalaman dalam bidang perindustrian, pada tahun 1982-1986 sebagai Manager perusahaan minyak bumi IIAPCO, tahun 1989-1990 di Indomobil sebagai Direktur, tahun 1990-1999 di PT Bimantara Citra sebagai Deputy Director, tahun 1999-2004 di PT Freeport Indonesia sebagai Vice President, dan sekarang sebagai Chairman Dana Pensiun Freeport Indonesia.

(14)

DAFTAR ISI

2.3. Pembangunan Pertambangan yang Berkelanjutan ... 17

2.4. Permodelan Kebijakan ... 21

2.5. Pendekatan Sistem ... 29

2.6. Pertambangan Informal (PI) ... 41

2.7. Pemberdayaan Masyarakat ... 47

2.8. Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) ... 49

3.5. Pemodelan Sistem dan Teknik Analisis ... 66

3.6. Verifikasi dan Validasi Model ... 73

IV. ANALISIS SITUASIONAL ... 73

4.1. Kegiatan Pertambangan Mineral ... 73

4.2. Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Mod-ADA... 75

4.3. Reklamasi Daerah Pengendapan... 87

4.4. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Lokal ... 91

4.5. Sosial Kemasyarakatan ... 98

4.6. Pelaksanaan Kebijakan Lingkungan Pertambangan ... 100

V. ANALISIS KEBIJAKAN ... 102

5.1. Pendekatan Kebijakan ... 102

5.2. Asumsi Dasar Pengembangan Kebijakan ... 105

5.3. Strukturisasi Elemen Model Pengelolaan Lingkungan Fisik... 107

(15)

VI. MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN ... 133

6.1. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Fisik Wilayah Mod-ADA ... 138

6.2. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Bilogik Wilayah Mod-ADA .... 143

6.3. Kebijakan Strategis Pengelolaan Lingkungan Pertambangan ... 147

6.4. Validasi Model Kebijakan ... 149

6.5. Prioritas Tindakan Solusi Dampak Lingkungan ... 150

6.6. Implikasi Kebijakan ... 156

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 161

7.1. Kesimpulan ... 161

7.2. Saran ... 163

DAFTAR PUSTAKA ... 164

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Elemen penanganan pasir sisa tambang (MAC 1998) ... 17

2. Tiga elemen sistem kebijakan ... 23

3. Siklus kebijakan (Clay & Schaffer, 1984) ... 24

4. Kerangka kerja analisis kebijakan (Thorbecke & Hall, 1982) ... 25

5. Diagram keseimbangan kompleksitas sistem berkelanjutan ... 32

6. Proses pembelajaran soft systems methodology (Checkland, 1981) 34 7. Grafik assumption rating ... 36

8. Pendekatan keterkaitan antar aspek dalam pembangunan berkelanjutan ... 55

9. Kerangka pemikiran pengelolaan pertambangan mineral secara berkelanjutan ... 55

10. Wilayah Kontrak Karya PT Freeport Indonesia ... 59

11. Rencana Detail Tata Ruang DAS KAMM ... 61

12. Tahapan penelitian kebijakan dengan pendekatan sistem ... 62

13. Diagram Teknik ISM (Saxena, 1992) ... 69

14. Penggunaan reagen dalam pengolahan konsentrat ... 74

15. Produksi pasir sisa tambang ... 75

16. Citra satelit daerah Mod-ADA pada September 2007 (PTFI 2007) .. 77

17. pH air sugai aliran pasir sisa tambang ... 79

18. pH air muara pasir sisa tambang ... 80

19. Padatan tersuspensi total dalam air muara sungai pasir sisa tambang ... 81

20. pH air sumur pemasok air minum karyawan ... 82

21. Padatan terlarut total dalam air sumur pemasok air minum karyawan ... 82

22. pH sumber air bagi masyarakat ... 83

23. Padatan terlarut total dalam sumber air bagi masyarakat ... 84

24. pH air sekitar tanggul Mod-ADA ... 84

25. Alokasi dana kegiatan lingkungan (PTFI 2007) ... 85

26. Dana kemitraan perusahaan untuk masyarakat (PTFI 2006) ... 91

27. Perkembangan peserta program pembinaan UKM (1998 -2006) .... 92

28. Pendapatan pengusaha binaan pada tahun 2002-2006 (PTFI 2006) 94 29. Bidang usaha UKM binaan ... 95

(17)

31. Penyerapan tenaga kerja pada UKM binaan ... 99 32. Sistem Manajemen Lingkungan pertambangan mineral

berkelanjutan. ... 103 33. Peta kuadran asumsi ... 107 34. Klasifikasi elemen sasaran berdasarkan Driver Power-Dependence 109 35. Level hirarki dan hubungan elemen sasaran ... 109 36. Klasifikasi elemen kebutuhan berdasarkan Driver

Power-Dependence... 111 37. Level hirarki dan hubungan elemen kebutuhan ... 112 38. Klasifikasi elemen perihal berdasarkan Driver Power-Dependence.. 113 39. Level hirarki dan hubungan elemen perihal ... 114 40. Klasifikasi elemen tolok ukur berdasarkan Driver

Power-Dependence... 115 41. Level hirarki dan hubungan elemen perihal ... 116 42. Klasifikasi elemen aktivitas berdasarkan Driver Power-Dependence 117 43. Level hirarki dan hubungan elemen aktivitas yang diperlukan dalam

program ... 118 44. Klasifikasi elemen aktivitas berdasarkan Driver Power-Dependence 120 45. Level hirarki dan hubungan elemen aktivitas ... 121 46. Klasifikasi elemen kendala berdasarkan Driver Power-Dependence 122 47. Level hirarki dan hubungan elemen kendala ... 123 48. Klasifikasi elemen perihal berdasarkan Driver Power-Dependence.. 125 49. Level hirarki dan hubungan elemen perihal ... 125 50. Klasifikasi elemen komponen masyarakat berdasarkan Driver

Power-Dependence ... 127 51. Level hirarki dan hubungan elemen komponen masyarakat ... 127 52. Klasifikasi elemen lembaga berdasarkan Driver

Power-Dependence... 128 53. Level hirarki dan hubungan elemen lembaga yang terlibat ... 130 54. Klasifikasi elemen tolok ukur berdasarkan Driver

(18)

56. Pemodelan kebijakan berdasarkan konsep keberlanjutan Comhar .. 135 57. Model Pengendalian Endapan Pasir sisa tambang pada Aliran

Sungai (PETAS) ... 141 58. Model Rehabilitasi Lahan Wilayah Mod-ADA (RELAWI) ... 145 59. Model kebijakan strategi rencana pengelolaan dan pemantauan

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Sifat kimia fraksi pasir sisa tambang pada emas dan tembaga ... 12

2. Keterkaitan antar sub-elemen pada teknik ISM ... 37

3. Matrik Perihal ... 40

4. Kategori pertambangan skala kecil dan pertambangan informal ... 46

5. Motif perusahaan dalam menjalankan program CSR ... 52

6. Jenis dan sumber data pendukung ... 64

7. Kategori responden ... 65

8. Partisipan dalam penelitian ... 65

9. Curah hujan dan suhu udara di daerah pertambangan PTFI... 78

10. Analisis biaya pengelolaan lingkungan fisik (rehabilitasi) ... 85

11. Dana reklamasi dan rencana pasca tambang ... 87

12. Analisis biaya pengelolaan lingkungan biologik (revegetasi) ... 88

13. Jumlah bibit hasil pembibitan di pusat reklamasi Maurujaya tahun 2007 ... 88

14. Pencapaian reklamasi lahan pasir sisa tambang di dataran rendah 89

15. Pembelian lokal produk non pertanian ... 90

16. Pembelian lokal produk pertanian ... 90

17. Alokasi anggaran LPMAK tahun 2006-2007 ... 91

18. Pencapaian Program Ekonomi Tahun 2006 ... 92

19. Jumlah KSM Berdasarkan Suku (2003-2006) ... 93

20. Kinerja kelompok RIGA tahun 2006 ... 93

21. Bantuan modal usaha UKM Binaan ... 94

22. Asumsi-asumsi kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral yang berkelanjutan ... 106

23. Hasil ISM VAXO pada elemen sasaran pengelolaan lingkungan fisik ... 108

24. Hasil ISM VAXO pada elemen kebutuhan pengelolaan lingkungan fisik ... 110

25. Hasil ISM VAXO pada elemen perihal yang berubah dan dapat diubah dalam pengelolaan lingkungan fisik ... 112

26. Hasil ISM VAXO pada elemen tolok ukur sasaran pengelolaan lingkungan fisik ... 114

27. Hasil ISM VAXO elemen aktivitas pengelolaan lingkungan fisik ... 117

(20)

30. Hasil ISM VAXO elemen perihal yang berubah dan dapat diubah dalam pengelolaan lingkungan biologik... 124 31. Hasil ISM VAXO elemen komponen masyarakat yang terlibat

dalam pengelolaan lingkungan biologik... 126 32. Hasil ISM VAXO elemen lembaga yang terlibat dalam pengelolaan

lingkungan biologik... 128 33. Hasil ISM VAXO elemen tolok ukur sasaran pengelolaan

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kebijakan lingkungan terkait kegiatan pertambangan mineral

(Emas dan Tembaga) ... 171

2. Analisis biaya penanaman rumput Phragmintes karka ... 178

3. Analisis biaya penanaman rumput vetiver (akar wangi) ... 179

4. Analisis biaya penanaman legume cover crop (LCC) ... 180

5. Analisis biaya penanaman king grass ... 181

6. Analisis biaya penanaman Mangrove ... 182

7. Analisis biaya penanaman sengon ... 183

8. Analisis biaya pembersihan saluran air dan kolam penampungan air ... 184

9. Analisis usaha pengolahan pakan ternak ... 185

10. Analisis usaha pertambangan informal (PI) ... 186

11. Matrik V, A, X dan O sasaran program pengelolaan lingkungan fisik 187 12. Matrik V, A, X dan O kebutuhan program pengelolaan lingkungan fisik ... 187

13. Matrik V, A, X dan O perihal yang berubah dan dapat diubah dalam program pengelolaan lingkungan fisik ... 187

14. Matrik V, A, X dan O tolok ukur sasaran program pengelolaan lingkungan fisik ... 188

15. Matrik V, A, X dan O aktivitas yang diperlukan dalam pelaksanaan program pengelolaan lingkungan fisik ... 188

16. Matrik V, A, X dan O sasaran program pengelolaan lingkungan Biologik ... 189

17. Matrik V, A, X dan O kendala program pengelolaan lingkungan Biologik ... 189

18. Matrik V, A, X dan O perihal yang berubah dan dapat diubah dalam program pengelolaan lingkungan biologik ... 190

19. Matrik V, A, X dan O komponen masyarakat yang terlibat dalam program pengelolaan lingkungan biologik ... 190

20. Matrik V, A, X dan O lembaga yang terkait dalam program pengelolaan lingkungan biologik ... 191

21. Matrik V, A, X dan O tolok ukur pencapaian target program pengelolaan lingkungan biologik ... 191

22. Pendapat pakar terhadap perihal solusi dampak lingkungan dari teknik IMT ... 192

(22)

24. Kualitas sumber air bagi masyarakat ... 194 25. Kualitas air sumur pemasok air minum karyawan ... 195 26. Kualitas air di muara sungai pasir sisa tambang ... 196 27. Kualitas air di muara sungai acuan ... 197 28. Kualitas air di sungai pasir sisa tambang ... 198 29. Kualitas air di sungai acuan ... 199 30. Biaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan ... 200 31. Konsentrasi logam pada sedimen di beberapa sungai dan muara ... 201 32. Ukuran partikel sedimen di beberapa sungai dan muara... 202 33. Lokasi reklamasi wilayah Mod-ADA ... 203 34. Pengendapan pasir sisa tambang di wilayah Mod-ADA ... 204 35. Reklamasi wilayah pengendapan Mod-ADA... 205 36. Kegiatan pembuatan dan pemasangan gabion/bronjong kawat ... 205 37. Kegiatan revegetasi ... 206 38. Pasir sisa tambang (tailing) dari wilayah Mod-ADA ... 207 39. Aktivitas pertambangan informal (PI) ... 208 40. Suasana area pertambangan informal di camp 55 sampai

TSUGIMA mile 72 ... 209 41. Kondisi aliran pasir sisa tambang dan aktivitas pertambangan

(23)

DAFTAR SINGKATAN

AAB : Air Asam Batuan

AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ARD : Acid Rock Drainage (air asam batuan) BEP : Break Even Point

BPS : Badan Pusat Statistik CSP : Critical System Praxis

CSER : Corporate Social and Environmental Responsibility CSR : Corporate Social Responsibility

DAS-KAMM : Daerah Aliran Sungai Kamoro, Ajkwa, Minajerwi dan Mawati DESDM : Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

Digraph : Directional Graph

DOZ : Deep Ore Zone

DPA : Modifikasi Daerah Pengendapan Ajkwa DP-D : Driver Power-Dependence

FGD : Focus Group Discussion HSM : Hard System Methodology IMT : Issue Management Technology IOZ : Intermediate Ore Zone

ISM : Interpretative Structural Modeling K3 : Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kepmen : Keputusan Menteri

Keppres : Keputusan Presiden

KK : Kontrak Karya

KSM : Kelompok Swadaya Masyarakat

LAPI-ITB : Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri – Institut Teknologi Bandung

LCC : Legume Cover Crops LML : Lembaga Masyarakat Lokal

LPEM-UI : Lembaga Penelitian Ekonomi dan Management Universitas Indonesia

LPMAK : Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro

MA : Monitoring Access

MLD : Musyawarah Lingkungan Daerah

(24)

Mod-ADA : Modified Ajkwa Deposition Area

MP : Mile Post

P3MD : Program Pendampingan dan Pengembangan Masyarakat di Lima Desa

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa PBP : Pay Back Period

PDB : Pendapatan Domestik Bruto

PDRB : Pendapatan Domestik Regional Bruto Perda : Peraturan Daerah

PETAS : Pengendalian Endapan Pasir sisa tambang pada Aliran Sungai

PETI : Pertambangan Tanpa Ijin PI : Pertambangan Informal PP : Peraturan Pemerintah PSO : Prosedur Standar Operasi

PTT : Padatan Terlarut Total (total suspended solid) RDTR : Rencana Detail Tata Ruang

RELAWI : Rehabilitasi Lahan Wilayah Mod-ADA RIGA : Rural Income Generation Action

RKPL : Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan RM : Reachability Matrix

RPL : Rencana Pemantauan Lingkungan SAG : Semi Outogenous Grinding

SAST : Strategic Assumption Surfacing and Testing Sirsat : Pasir Sisa Tambang

SK Dirjen : Surat Keputusan Direktorat Jenderal SLD : Social Outreach and Local Development SSIM : Structural Self-Interaction Matrix

SSM : Soft System Methodology

TRMP : Tailing and River Management Project TSDU : Tanggungjawab Sosial Dunia Usaha TSI : Total System Intervention

TSLP : Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan UMK : Usaha Mikro dan Kecil

(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertambangan merupakan salah satu sektor pembangunan yang sangat penting sehingga pengembangannya secara berkelanjutan perlu dilakukan karena berhubungan erat dengan pendapatan nasional dan daerah serta memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar tambang. Sektor pertambangan juga berkontribusi signifikan pada pembangunan daerah. Menurut LPEM-UI pada tahun 2006 PT Freeport Indonesia (PTFI) telah menyumbangkan 2,5% terhadap pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sedangkan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua dan PDRB Mimika untuk tahun yang sama masing-masing mencapai 49,5% dan 94,2%. Selain itu, PTFI juga memberikan kontribusi terhadap realisasi Penerimaan Dalam Negeri APBN 2006 sebesar 2,23% melalui pembayaran Pajak dan pembayaran kepada pemerintah lainnya (Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP) sebesar Rp 14,6 triliun. Kontribusi PTFI terhadap APBD Papua mencapai Rp 313 miliar (10%) sedangkan terhadap APBD Kabupaten Mimika mencapai Rp 533 miliar (65%).

Sampai saat ini, manusia masih memerlukan dukungan hasil sumberdaya pertambangan dan komoditi tambang untuk mempertahankan serta meningkatkan kesejahteraannya, sehingga keberadaan pertambangan secara signifikan merupakan sektor yang strategis dalam kerangka pembangunan umat manusia (Djajadinigrat 2007). Namun, tetap tidak terlepas dari masalah dampaknya terhadap lingkungan seperti pembuangan limbah tambang, pencemaran logam berat (air raksa, arsen), dan lain sebagainya. Keterkaitan ini dituangkan pada ketentuan kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya mineral. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mulai diberlakukan pada awal tahun 2001 merupakan pemacu proses desentralisasi di berbagai sektor pemerintahan termasuk sektor pertambangan. Berbagai isu aktifitas pertambangan dengan kualitas lingkungan perlu diperhatikan untuk menjamin keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dan kelestarian lingkungan serta menjamin iklim investasi yang kondusif bagi investor untuk pertambangan yang berskala besar.

(26)

terjadinya degradasi kualitas lingkungan bio-fisik dan masalah sosial kemasyarakatan, meskipun beberapa kegiatan pertambangan telah berorientasi pada industri bersih yang berwawasan lingkungan. Perubahan lingkungan di sekitar pertambangan dapat terjadi setiap saat, sehingga manajemen pengelolaan limbah yang efektif menjadi indikator keberlanjutan usaha pertambangan mineral.

Sistem pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan diharapkan dapat mencegah dampak pencemaran terhadap daya dukung lingkungan, perubahan perilaku sosial kemasyarakatan serta pertumbuhan sektor ekonomi informal yang tidak terkendali. Untuk itu seyogyanya pengelolaan lingkungan pertambangan mineral dituangkan dalam suatu kebijakan yang sistematis dan terarah secara berkelanjutan (Weimar & Vining 1989). Perubahan paradigma pertambangan Indonesia menuju pertambangan yang berkelanjutan dengan tiga aspek yaitu: ekonomi, lingkungan dan sosial. Aspek sosial merupakan bagian dari lingkungan non-fisik yang lebih ditekankan pada community development (Irwandy 2007). Menurut Silalahi (2003) masalah hak berdaulat dan menguasai sumberdaya alam, hak membangun dan tanggungjawab negara dalam pengelolaan lingkungan, terkait dengan pencemaran, prinsip bertetangga yang baik, prinsip kehati-hatian dan hak asasi manusia atas sumberdaya alam, merupakan perkembangan penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kebijakan pembangunan berkelanjutan Indonesia.

Salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan berkelanjutan adalah kondisi ekonomi dalam menghadapi trade-off antara pemenuhan kebutuhan pembangunan di satu sisi dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan di sisi lain. Pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan, karena pada dasarnya sumberdaya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan kapasitas sumber daya alam dan lingkungan akan menyebabkan tidak berlanjutnya pembangunan tersebut.

(27)

menserasikan kegiatan pembangunan dan lingkungan hidup agar berjalan serasi. Menurut Soemarwoto (2004), konsep eco-development di Indonesia kemudian dikenal sebagai pembangunan berwawasan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan mempunyai arti bahwa pembangunan itu serasi dengan lingkungan hidup sehingga tidak menganggu fungsi ekologinya.

Konsep pembangunan berkelanjutan juga mulai dikenal secara luas sejak tahun 1987 melalui laporan Brundtland. Laporan tersebut merupakan laporan Komisi Sedunia tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development) (WCED 1987). Soemarwoto (2004) mengemukakan bahwa laporan itu memberi sumbangan yang besar pada pengertian tentang hubungan antara pembangunan dan lingkungan hidup. Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) didefinisikan sebagai ”pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka”. Pembangunan berkelanjutan mengusahakan agar hasil pembangunan terbagi merata dengan adil pada berbagai kelompok dan lapisan masyarakat serta antar-generasi. Syarat untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan berwawasan lingkungan.

Demikian pula halnya dengan kegiatan pembangunan melalui usaha pertambangan mineral membutuhkan seperangkat kondisi yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Usaha pertambangan mineral tidak hanya sekedar pemenuhan keuntungan (aspek ekonomi) dari pengelolaan sumber daya mineral, tetapi juga harus memperhatikan kebutuhan sosial dan lingkungan. Menurut Todaro (1994), sistem ekonomi perlu dianalisis dan didudukkan pada konteks sistem sosial secara keseluruhan dari suatu negara dan tentu saja, dalam konteks global atau internasional. Sistem sosial disini adalah hubungan-hubungan yang saling terkait antara faktor-faktor ekonomi dan faktor-faktor non-ekonomi. Dikemukakan juga bahwa pertimbangan lingkungan menjadi subsistem yang dimasukkan dalam pembangunan ekonomi dan pengembangan sumber daya manusia. Asumsinya jika pembangunan tidak memperhatikan kualitas lingkungan hidup, maka depresiasi sumber daya alam akan semakin nyata.

(28)

dirasakan sebagai sumberdaya terbatas dan tidak terbarukan, kecenderungan produksi emas jangka panjang termasuk penurunan mutu bijih dan peningkatan limbah padat (tailing, limbah batuan) dan pertambangan terbuka. Kontek pembangunan berkelanjutan pada pertambangan khususnya masih sama, yaitu keseimbangan potensi lingkungan dan resiko sosial dengan resiko ekonomi (Mudd 2007).

Pertambangan selalu dikaitkan dengan degradasi lingkungan. Jika aktivitas pertambangan besar didukung dengan manajemen lingkungan secara tepat, pertambangan skala kecil khususnya pertambangan tanpa ijin tidak melakukan pengendalian lingkungan. Beberapa dampak lingkungan yang serius yang telah ditelusuri termasuk degradasi lahan, ketidakstabilan lahan, kerusakan habitan flora dan fauna, kotaminasi air (sungai dan air tanah) dan penurunan kesehatan (Manaf 1999).

Berdasarkan hal tersebut, maka pengelolaan sumber daya mineral perlu diselenggarakan dengan memperhatikan keterpaduan aspek sosial, ekonomi, dan masyarakat. Secara umum, pengelolaan sumberdaya mineral di Indonesia baik yang dilakukan oleh perusahaan modal asing maupun dalam negeri telah memberikan manfaat terhadap perekonomian negara. Penerimaan negara yang berasal dari sektor pertambangan mineral dan batubara pada tahun 2004 adalah sekitar Rp 7,97 triliun, dimana penerimaan tersebut berasal dari penerimaan pajak dan bukan pajak. Perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut melakukan operasi di wilayah Indonesia melalui suatu kontrak karya pertambangan (DESDM 2007).

Sumberdaya alam berupa bahan mineral memiliki nilai yang sangat tinggi dan oleh manusia digunakan secara luas untuk berbagai keperluan. Sebagai contoh, tembaga paling banyak digunakan untuk keperluan kelistrikan dan aplikasi elektronik. Selain itu, tembaga banyak digunakan untuk sistem elektrik kendaraan bermotor, motor listrik, pestisida, pupuk, pigmen, bahan atap, ornamen, perabot rumah tangga, dan barang-barang perhiasan. Kuningan adalah logam campuran tembaga dengan seng, yang digunakan sebagai bahan untuk keperluan hiasan, kran air, perabot rumah tangga, alat musik, dan lain sebagainya. Sedangkan perunggu yang merupakan campuran tembaga dengan timah, banyak digunakan untuk pembuatan berbagai jenis mesin.

(29)

cenderung memberikan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak tersebut berupa terjadinya perubahan pada ekosistem di sekitar lokasi penambangan. Perubahan tersebut terutama terjadi akibat dari perubahan bentang alam, kualitas tanah, air dan udara (Soehoed 2002). Berkaitan dengan potensi dampak terhadap lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan maka pemerintah berusaha mengeluarkan berbagai kebijakan pengendalian dan pengelolaan limbah yang baik guna menjamin limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan tersebut memiliki dampak minimal pada ekosistem yang ada. Hal tersebut diwujudkan dengan diterbitkannya berbagai peraturan melalui Undang-Undang, Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri (Kepmen), Surat Keputusan Direktorat Jenderal (SK Dirjen), dan Peraturan Daerah (Perda) (Siahaan 2004).

Menurut WALHI (2006) dampak operasi dan kerusakan lingkungan di sekitar lokasi pertambangan PT Freeport Indonesia hingga saat ini sulit sekali bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jelas dan menyeluruh mengenai dampak kegiatan pertambangan skala besar di Indonesia. Ketidak jelasan informasi tersebut akhirnya berbuah kepada konflik, yang sering berujung pada kekerasan, pelanggaran HAM dan korbannya kebanyakan adalah masyarakat sekitar tambang. Negara gagal memberikan perlindungan dan menjamin hak atas lingkungan yang baik bagi masyarakat, namun dilain pihak memberikan dukungan penuh kepada PT Freeport Indonesia, yang dibuktikan dengan pengerahan personil militer dan pembiaran kerusakan lingkungan.

Kerawanan lingkungan hidup yang rusak oleh proses pertambangan yang tidak terkendali menjadi salah satu perhatian dalam pembangunan pertambangan mineral secara berkelanjutan. Apabila dilihat dari prosesnya, untuk menambang bijih pada penambangan terbuka, terlebih dahulu harus disingkirkan batuan yang menutup batuan bijih. Batuan yang menutupi batuan bijih dan tidak mengandung cukup mineral berharga untuk diolah disebut batuan penutup (overburden). Batuan pentutup diangkut dari dalam tambang terbuka dan ditimbun di daerah sekitarnya. Sebelum ditambang, batuan penutup tidak mempunyai kontak oksigen dan air karena terletak di bawah permukaan tanah sehingga tetap stabil.

(30)

mencegah dan menetralkan air asam batuan digunakan gamping dan bubur kapur. Pengumpulan air asam batuan dilakukan melalui jalur pipa dan terowongan bawah tanah menuju fasilitas penetralan di kompleks pabrik pengolahan bijih. Hanya sekitar 3% dari total bijih yang diolah di pabrik berubah menjadi konsentrat. Pasir yang tersisa dari proses pengolahan bijih dinamakan tailing atau pasir sisa tambang (PTFI 2006b).

Alternatif pembuangan limbah berupa pasir sisa tambang yang diterapkan oleh salah satu perusahaan pertambangan mineral tembaga di Papua adalah daerah penampungan pasir sisa tambang berupa dataran dimana untuk pengamanan terhadap luberan pasir sisa tambang dilengkapi oleh dua buah tanggul yaitu tanggul timur dan tanggul barat. Masing-masing tanggul memiliki panjang 35 Km dan 40 Km, dan memiliki lebar antara 3,0 dan 3,5 Km. Daerah ini disebut Modifikasi Daerah Pengendapan Ajkwa (DPA) atau Modified Ajkwa Deposition Area (ADA). Daerah penampungan pasir sisa tambang Mod-ADA seluas 230 km2 menimbulkan pengaruh yang besar pada lingkungan, khususnya lingkungan biofisik di daerah itu. Ribuan hektar hutan hujan tropis dimanfaatkan sebagai daerah pengendapan pasir sisa tambang di sepanjang aliran Mod-ADA (Soehoed 2002).

Besarnya volume pasir sisa tambang yang dialirkan dan diendapkan di Mod-ADA tersebut memunculkan beberapa persoalan yang berkaitan dengan dampak terhadap lingkungan hidup, diantaranya: (i) Karena sebagian lokasi pembuangan (pengendapan) pasir sisa tambang relatif tidak jauh dari wilayah estuaria, maka diperlukan upaya peningkatan kemampuan area pengendapan pasir sisa tambang agar pengendapan pasir sisa tambang terjadi di dataran, (ii) suksesi alami dapat terjadi di area pengendapan pasir sisa tambang sehingga menjamin berlangsungnya aktivitas biota, (iii) peluang pemanfaatan area pengendapan pasir sisa tambang untuk kegiatan-kegiatan produktif, baik oleh masyarakat maupun pemerintah daerah setempat pada saat ini maupun di masa yang akan datang, (iv) resiko lingkungan dengan adanya pengelolaan area pengendapan.

(31)

disebabkan oleh adanya bias dalam pengelolaan pasir sisa tambang di lokasi pertambangan yang disebabkan oleh tidak adanya kepastian peraturan pemerintah yang khusus mengatur tata cara pengelolaan pasir sisa tambang.

Bertolak dari kenyataan-kenyataan di atas maka untuk dapat menjamin adanya keberlanjutan pembangunan sistem sarana dimana terkait dengan dampak limbah pertambangan, baik keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, maupun keberlanjutan lingkungan maka diperlukan suatu model kebijakan yang terpadu. Pendekatan yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas adalah dengan menggunakan pendekatan sistem. Pertimbangannya, permasalahan pengelolaan limbah dan lingkungan di wilayah pertambangan mineral tembaga merupakan persoalan yang kompleks dan tidak dapat dijawab dan diselesaikan secara parsial. Permodelan sistem juga dapat menjelaskan bagaimana keterkaitan atau hubungan antarsistem yang dibangun dalam mewujudkan keberlanjutan pertambangan mineral. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penelitian ini dilaksanakan untuk menemukenali dan merumuskan sebuah alternatif model konseptual tentang kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral secara berkelanjutan.

1.2. Pokok Permasalahan

Kebijakan yang tepat dan terpadu merupakan salah satu kunci dalam menjaga konsistensi dan jaminan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam. Demikian pula halnya dengan pengelolaan potensi sumberdaya mineral melalui kegiatan kegiatan pertambangan membutuhkan seperangkat kebijakan yang mendukung pencapaian manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan secara serasi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan pemahaman yang kuat terhadap faktor-faktor yang mendukung kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral secara berkelanjutan. Bagian dari faktor-faktor tersebut merupakan subsistem yang akan dibangun dalam sebuah sistem melalui model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral yang berkelanjutan.

(32)

Mod-ADA merupakan opsi pengelolaan lingkungan yang paling tepat untuk kondisi iklim dan topografi. Mekanisme pembuangan limbah tersebut jauh lebih efektif terhadap resiko dan dampak lingkungan dibandingkan dengan membangun jalur pipa untuk mengalirkan pasir sisa tambang dari dataran tinggi menuju dataran rendah, bendungan pasir sisa tambang dan sarana pembuangan di dataran tinggi, atau opsi-opsi lainnya yang sudah dievaluasi

Namun demikian dalam pengelolaan limbah pertambangan mineral masih terdapat banyak kerawanan terhadap lingkungan. Hal tersebut antara lain terlihat dari besarnya volume pasir sisa tambang yang dialirkan dan diendapkan di Mod-ADA yang dapat memunculkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Selain itu juga merebaknya pelaku Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) melahirkan persoalan baru terhadap kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan karena belum ada mekanisme pengendalian terhadap upaya penambangan yang dilakukan oleh kelompok PETI di wilayah Mod-ADA, Kabupaten Mimika. Penurunan kualitas air permukaan pada tingkat yang tidak terkendali dalam usaha kegiatan pertambangan mineral dapat mengancam peruntukannya bagi berbagai kepentingan, bahkan lebih jauh dari itu akan mengganggu fungsi kelestarian sumberdaya air tersebut.

Kegiatan penambangan mineral yang dilakukan oleh Kelompok PETI di wilayah Mod-ADA secara umum menimbulkan terjadinya erosi dan pendangkalan atau sedimentasi. Kondisi demikian selain merusak ekologis sungai, juga dapat menyebabkan penurunan kualitas air yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat pengguna air Sungai Ajkwa di wilayah Mod-ADA. Proses penambangan yang dilakukan oleh PETI di wilayah Mod-ADA secara umum sangat sederhana, tetapi akibat dari kesederhanaan tersebut dan minimnya pengetahuan dan ketidakpedulian terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat dapat membawa akibat buruk bagi kelangsungan hidup dan kelestarian lingkungan Sungai Ajkwa.

(33)

(1) Kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral, khususnya di wilayah Mod-ADA belum berjalan secara efektif dan terpadu sehingga menyebabkan terjadinya kerawanan lingkungan dan kelestarian sumber daya alam di wilayah tersebut.

(2) Sintesa berbagai faktor yang mendukung kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral di wilayah Mod-ADA belum ditemukenali sehingga dapat menimbulkan persoalan dalam perumusan model kebijakan pengelolaan lingkungan yang tepat dan terpadu.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan model konseptual kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan dan faktor-faktor pendukung yang terdapat di wilayah pengelolaan limbah Mod-ADA di Kabupaten Mimika, Papua. Tujuan khusus untuk mendukung perumusan model adalah:

(1) Menganalisis situasi sistem pengelolaan limbah tambang mineral di wilayah Mod-ADA Kabupaten Mimika, Papua.

(2) Memunculkan dan mensintesis asumsi dasar yang mendukung model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral di wilayah Mod-ADA melalui pendekatan system thinking.

(3) Merumuskan struktur model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral dengan pemodelan sistem.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara praktis bagi Pemerintah, Perusahaan (swasta) dan masyarakat setempat maupun secara teoritis sebagai berikut:

(34)

meningkatkan kelestariaan pemanfaatan sumber daya mineral dan pengelolaan lingkungan hidup berbasis masyarakat.

(2) Manfaat Teoritis. Sebagai kajian ilmu sistem dalam pengembangan model konseptual kebijakan publik dalam operasionalisasi pertambangan mineral secara berkelanjutan, khususnya terkait dengan penanganan limbah dan upaya pemberdayaan masyarakat.

1.5. Novelty

Kebaruan dari penelitian pemodelan kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral adalah:

(1) Rumusan model pengelolaan lingkungan untuk pengendalian dampak limbah pertambangan mineral melalui integrasi model pengelolaan lingkungan fisik dan model pengelolaan lingkungan biologik yang didukung dengan upaya pemberdayaan masyarakat.

(2) Rumusan mekanisme arahan kebijakan CSR dalam pengembangan corporate social and environmental responsibility (CSER) perusahaan pertambangan terhadap kepedulian lingkungan melalui manajemen konsensus para pemangku kepentingan dengan evaluasi periodik Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL).

(35)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Limbah Pertambangan Mineral

Mineral atau bahan galian merupakan bahan tambang yang ditemukan di alam selain minyak dan gas bumi. Bahan galian dikelompokkan menjadi tiga, yaitu mineral energi (batubara dan gambut), mineral logam (bijih emas, tembaga, perak, dan bijih lainnya) dan mineral industri (kapur, zeolit maupun bentoit). Dengan demikian, definisi mineral adalah senyawa anorganik alam yang memiliki komposisi kimia dan struktur atom tertentu, seperti galena (PbS), sfalerit (ZnS), kasiterit (SnO2) (Husaini 2007). Menurut Salim (2005), dalam Undang-Undang

No.11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan disebutkan bahwa bahan galian adalah unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan termasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan-endapan alam.

Indonesia memiliki berbagai macam mineral dengan potensi endapan yang relatif besar dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Untuk meningkatkan nilai ekonomi bahan mineral tersebut perlu dilakukan pengolahan dengan memanfaatkan perbedaan sifat-sifat fisika atau kimianya. Cara fisika digunakan untuk memisahkan komponen pengotor dari mineral berharganya tanpa terjadi perubahan kimia (struktur kristal). Sifat-sifat fisika yang dimiliki mineral meliputi: ukuran butir, berat jenis, permukaan, kemagnetan, konduktifitas listrik dan sifat optik. Pengolahan mineral cara kimia dilakukan dengan reaksi-reaksi kimia untuk melarutkan komponen pengotor yang terkandung dalam mineral, dapat juga yang dilarutkan justru mineral berharganya. Hal ini sangat tergantung pada jenis dan karakteristik mineral dan tujuan penggunaannya (Husaini 2007).

(36)

Akibat proses pengecilan ukuran dan pemisahan komponen pengotor dan mineral berharganya dihasilkan konsentrat mineral dan tailing. Tailing atau pasir sisa tambang merupakan batuan alami halus yang tetap tersisa setelah pengambilan mineral berharga yang mengandung tembaga, emas, perak atau jenis lainnya. Pasir sisa tambang tersebut terdiri atas 50 persen fraksi pasir halus dengan diameter sekitar 0,075 - 0,4 mm dan 50 persen lagi terdiri dari fraksi lempung dengan diameter kurang dari 0,075 mm (Lampiran 38). Anonim (1996a) menyebutkan bahwa senyawa-senyawa minerologis utama yang terkandung dalam pasir sisa tambang antara lain felspar, klorit, piroksen, dan aluminosilikat tak aktif (inert), sedangkan beberapa sifat kimia pasir sisa tambang disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Sifat kimia fraksi pasir sisa tambang pada emas dan tembaga

Parameter Kisaran konsentrasi (mg/l)

(37)

beberapa muara dan sungai di Kabupaten Mimika (Lampiran 31), menunjukkan bahwa hilir Sungai Ajkwa yang dialiri dengan pasir sisa tambang dan bekas anak Sungai Ajkwa dengan aliran pasir sisa tambang yang sedikit masih memiliki kandungan Ag berturut-turut sebesar 1,94 mg/kg berat kering dan 1,68 mg/kg berat kering. Demikian juga untuk kandungan logam Cu, kedua aliran sungai tersebut relatif besar dibandingkan dengan sungai kontrol hingga mencapai 1.050 mg/kg berat kering (PTFI 2007).

Dewasa ini, pembangunan dan pengembangan pertambangan yang tidak terkendali dapat meningkatkan pencemaran udara dan perairan, khususnya air sungai oleh logam-logam berat, yaitu Cd, Hg, Cr, Pb, Ni, Cu, Zn, dan Fe. Beberapa dari logam berat juga merupakan unsur mikro, yaitu Cu, Zn, dan Fe. Selain pencemaran udara, logam berat juga dapat mencemari tanah melalui gaya gravitasi dan terbawa air hujan. Penelitian dampak pencemaran logam berat terhadap tanaman memang belum seintensif bahan organik dan unsur hara (makro dan mikro). Akan tetapi, pencemaran logam berat dapat mengakibatkan terakumulasinya logam berat di dalam tanah yang berbahaya bagi makhluk hidup.

Pencemaran logam berat tersebut perlu diupayakan pengendaliannya agar tidak terjadi akumulasi yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman atau masuk ke dalam air tanah. Pengendalian dapat dilakukan dengan menciptakan kondisi tanah, yang menyebabkan logam berat tidak mobil (immobile) atau menjadi tidak mudah larut. Hal ini dapat dicapai dengan penambahan kapur dan bahan organik ke dalam tanah yang dapat meningkatkan reaksi (pH) tanah dan koloid-koloid tanah. Reaksi tanah yang alkalis dapat menurunkan kelarutan logam berat, sedangkan koloid-koloid tanah akan menyerap logam berat sehingga mobilitasnya berkurang.

(38)

Kegiatan pengolahan bahan tambang mineral mencakup kegiatan pemisahan bahan tambang dari tanah dan penyimpanannya. Dari dua kegiatan tersebut, kegiatan yang paling banyak mempengaruhi lingkungan perairan adalah kegiatan pemisahan bahan tambang dari tanah. Dalam pemisahan tersebut dilakukan proses pemecahan, pencucian dan pemisahan. Proses pemecahan dilakukan terhadap batuan besar yang mengandung bahan tambang menjadi bongkahan-bongkahan kecil. Tahap selanjutnya dilakukan pencucian dengan menggunakan air dan dilakukan pemisahan bahan tambang dari batuan atau tanah (Darmono 2001; Achmad 2004).

Hal tersebut berakibat buangan hasil cucian bahan tambang dan batuan/tanah hasil pemisahan bahan tambang masuk dalam lingkungan perairan (sungai). Pasir sisa tambang tersebut harus disimpan (dibuang) ke tempat tertentu dengan terkendali. Pembuangan di tempat yang tidak tepat dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan perairan. Jika pembuangan pasir sisa tambang dilakukan di tempat terbuka dan mempunyai kemiringan yang curam sangat berbahaya. Jika terjadi hujan lapisan pasir sisa tambang tersebut dapat terbawa masuk ke perairan laut. Di dalam air, selain akan meningkatkan nilai kekeruhan dan muatan padatan tersuspensi, juga dapat mempengaruhi kualitas kimia laut yang bersangkutan. Hal ini disebabkan adanya senyawa logam berbahaya di dalam pasir sisa tambang tersebut. Akibat lanjutannya, terjadi penurunan kualitas air dan gangguan biota air (Soehoed 2002).

Buangan pasir sisa tambang ke perairan (laut) juga dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas air laut, diantaranya peningkatan nilai kekeruhan, kandungan muatan padatan tersuspensi, serta peningkatan kandungan senyawa kimia berbahaya. Contoh kasus yang terjadi dari pengaruh pasir sisa tambang tambang terhadap ekosistem laut adalah pertambangan emas di Pulau Misima Papua Nugini. Selama 15 tahun, telah dihasilkan 200.000 m3 sedimen yang masuk ke dalam laut, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan kekeruhan dan pendangkalan di laut.

(39)

tambang akan mengubur habitat benthos sehingga dapat mengakibatkan kematian masal. Selain itu, peningkatan nilai kekeruhan dan padatan tersuspensi dapat menyebabkan tertutupnya organ makan benthos sehingga dapat terjadi kematian. Akibat lanjutan dari terganggunya biota benthos juga dapat mengenai kehidupan ikan pengkonsumsi benthos. Dengan hilangnya makanan utamanya (benthos) ikan-ikan tersebut akan mati atau migrasi ke tempat lain. Jika hal tersebut terjadi, dapat mengakibatkan penurunan produksi perikanan, terutama perikanan demersal (ikan dasar). Gangguan tidak langsung juga dapat mengenai habitat penting, seperti terumbu karang. Partikel tersuspensi akan mengendap dan menutupi hewan-hewan karang serta menyebabkan kematian.

Gangguan lanjutan lainnya dari peningkatan kekeruhan air adalah penurunan penetrasi cahaya matahari ke kolom air. Apabila penetrasi cahaya matahari terganggu, akan terjadi gangguan keseimbangan berbagai proses kimiawi dan biologis perairan laut. Cahaya matahari sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup nabati untuk proses fotosintesa. Gangguan proses fotosintesa menyebabkan produktivitas fitoplankton berkurang, sehingga akan mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah oksigen terlarut dalam laut. Hal tersebut akan mengakibatkan gangguan yang berkepanjangan. Seperti diketahui, bahwa kehadiran oksigen sangat diperlukan oleh biota air, baik untuk respirasi maupun untuk berbagai proses kimiawi air lainnya.

Penurunan kualitas air akibat pembuangan pasir sisa tambang yang selanjutnya akan mengakibatkan pula gangguan terhadap berbagai jenis biota yang ada di dalam laut akan mengakibatkan dampak lanjutan terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.

Perubahan sifat kimia laut akan pembuangan pasir sisa tambang akan mengakibatkan kematian organisme laut seperti ikan, kerang-kerangan dan sebagainya. Peningkatan nilai kekeruhan dan muatan padatan tersuspensi dalam perairan laut juga dapat mengakibatkan tersumbatnya alat pernapasan biota laut (insang ikan), sehingga ikan tersebut dapat mati lemas (asphyxia). Pada tingkat kekeruhan yang tinggi, partikel sedimen juga dapat menimbulkan kerusakan habitat (permukaan) ikan dan kerusakan ikan.

Selain dampak berupa terjadinya kekeruhan, pembuangan pasir sisa tambang juga dapat mengakibatkan peningkatan bahan-bahan pencemar lainnya seperti FeS2, H2SO4 dan sebagainya. Peningkatan bahan-bahan pencemar

(40)

akan mempengaruhi kesehatan manusia. Sebagai contoh kegiatan penambangan batubara terutama yang ditambang di bawah tanah, akan dihasilkan limbah cair yang sangat asam. Tingginya kandungan asam disebabkan oleh proses oksidasi pirit (FeS2) menjadi asam sulfat (H2SO4), besi

sulfat (FeSO4 dan Fe2SO4). Cairan dan lumpur yang sangat asam tersebut

memiliki nilai pH antara 2-3. Pada kondisi perairan dan limbah bernilai pH rendah, berbagai senyawa logam berbahaya mudah larut dalam air. Begitu pula dengan daya racun amoniak yang akan meningkat jika dalam kondisi keasaman rendah. Jika hal tersebut terjadi, akan sangat membahayakan kehidupan biota dan manusia pengguna air laut tersebut. Rendahnya nilai pH limbah tersebut, selain dapat meningkatkan daya racun berbagai zat dan senyawa toksik di perairan, juga dapat secara langsung mematikan biota laut (Soehoed 2002).

2.2. Manajemen Pengelolaan Pasir Sisa Tambang

Petunjuk fasilitas penanganan pasir sisa tambang merupakan suatu petunjuk yang tepat untuk keamanan dan tanggung jawab lingkungan. Petunjuk tersebut berfungsi sebagai informasi keamanan dan tanggung jawab manajemen lingkungan, membantu perusahaan dalam pengembangan sistem penanganan pasir sisa tambang dan memperbaiki konsistensi penerapan prinsip teknik dan fasilitas penanganan pasir sisa tambang. Perbaikan petunjuk prinsip penanganan pasir sisa tambang harus secara kontinyu dilakukan dalam operasional pertambangan, keamanan dan kinerja lingkungan yang didukung oleh evaluasi secara periodik (MAC 1998). Oleh karena itu harus diperhatikan perihal pokok dalam penanganan pasir sisa tambang seperti disajikan pada Gambar 1.

(41)

Gambar 1. Elemen penanganan pasir sisa tambang (MAC 1998)

2.3. Pembangunan Pertambangan yang Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai pembangunan atau perkembangan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan dengan menggunakan sumberdaya alam secara bijaksana sehingga sumberdaya alam terbarukan dapat dilindungi dan pengunaan sumber alam yang dapat habis (tidak terbarukan) pada tingkat dimana kebutuhan generasi mendatang tetap akan terpenuhi.

Kebijakan dan Komitmen Lokasi, rancangan, konstruksi, operasional dan fasilitas dalam

keadaan: Semua struktur stabil

Semua padatan dan air ditangani dalam wilayah tertentu

Semua struktur sesuai standar

(42)

Dalam beberapa tahun ini, kepedulian masyarakat dan dampak lingkungan pada industri pertambangan global telah diarahkan pada beberapa kerangka kerja pertambangan berkelanjutan. Pada pertambangan emas, terdapat beberapa isu fundamental yang berkenaan dengan penilaian keberlanjutan. Biasanya dirasakan sebagai sumberdaya terbatas dan tidak terbarukan, kecenderungan produksi emas jangka panjang termasuk penurunan mutu bijih dan peningkatan limbah padat (tailing, limbah batuan) dan pertambangan terbuka. Kontek pembangunan berkelanjutan pada pertambangan khususnya masih sama, yaitu keseimbangan potensi lingkungan dan resiko sosial dengan resiko ekonomi (Mudd 2007).

Dalam kaitan pembangunan berkelanjutan adanya keseimbangan antar aspek merupakan perihal yang sangat penting. Oleh karena itu, Perman et al., (1996) menyatakan ada tiga alasan utama mengapa pembangunan ekonomi harus berkelanjutan. Pertama, menyangkut alasan moral, generasi kini yang menikmati barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan memiliki kewajiban moral untuk menyisakan layanan sumberdaya alam tersebut untuk generasi mendatang. Kewajiban moral tersebut mencakup tidak mengekstraksi sumberdaya alam yang merusak lingkungan sehingga menghilangkan kesempatan bagi generasi mendatang untuk menikmati layanan yang sama.

Kedua, menyangkut alasan ekologi, keanekaragaman hayati memiliki nilai ekologi yang sangat tinggi sehingga aktivitas ekonomi semestinya tidak diarahkan pada hal yang mengancam fungsi ekologi tersebut. Faktor ketiga yang menjadi alasan perlunya memperhatikan aspek keberlanjutan adalah alasan ekonomi. Alasan dari sisi ekonomi memang masih menjadi perdebatan karena tidak diketahui apakah aktivitas ekonomi selama ini sudah atau belum memenuhi kriteria keberlanjutan. Dimensi ekonomi keberlanjutan sendiri cukup kompleks, sehingga sering aspek keberlanjutan dari sisi ekonomi ini hanya dibatasi pada pengukuran kesejahteraan antara generasi (later generational welfare maximization).

(43)

yang akan terjadi dimasa mendatang, (2) dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumberdaya alam dan lingkungan.

Pezzey (1992) menyatakan keberlanjutan memiliki pengertian statik dan dinamik. Keberlanjutan statik diartikan sebagai pemanfaatan sumberdaya alam terbarukan dengan laju teknologi yang konstan, sementara keberlanjutan dinamik diartikan sebagai pemanfaatan sumberdaya yang tidak terbarukan dengan tingkat teknologi yang terus berubah.

Perman et al, (1996) mengkolaborasi konsep keberlanjutan dengan lima alternatif pengertian:

1) Suatu kondisi dikatakan berkelanjutan (sustainable) jika kegunaan (utilitas) yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun sepanjang waktu (non-declining consumption). 2) Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumberdaya alam dikelola

sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi dimasa mendatang.

3) Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumberdaya alam (natural capital stock) tidak berkurang sepanjang waktu (non-declining).

4) Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumberdaya alam dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumberdaya alam.

5) Keberlanjutan adalah kondisi dimana kondisi minimum keseimbangan dan daya tahan (resilience) ekosistem terpenuhi.

Daly (1990), menyatakan bahwa operasionalisasi pembangunan berkelanjutan untuk sumberdaya alam yang terbarukan diperlukan upaya laju pemanenan harus sama dengan laju regenerasi (produksi lestari), sedangkan untuk masalah lingkungan diperlukan laju pembuangan (limbah) harus setara dengan kapasitas asimilasi lingkungan, serta sumber energi yang tidak terbarukan harus diekploitasi secara quasi-sustainable, yakni mengurangi laju depresi dengan cara menciptakan energi substitusi.

Haris (2000) menyatakan aspek pemahaman konsep keberlanjutan adalah sebagai berikut:

Gambar

Tabel 1. Sifat kimia fraksi pasir sisa tambang pada emas dan tembaga
Gambar 1. Elemen penanganan pasir sisa tambang (MAC 1998)
Gambar 3. Siklus kebijakan (Clay & Schaffer 1984)
Gambar 6. Proses pembelajaran soft systems methodology (Checkland 1981)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengumpulan data dilakukan melalui metode survei, yaitu dengan mengikuti penangkapan ikan, purse seine, gillnet dan pancing tonda di lokasi perairan pemasangan rumpon

Peluang rebound jangka pendek tetap meskipun IHSG masih rentan melanjutkan pelemahan jika support MA50 dan bearish trend tadi break out dimana level pesimis pelemahan

T3 : Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi pita suara asli dan/atau menginvasi area postkrikoid, jaringan pre-epiglotik, ruang paraglotik dan/atau invasi minor kartilago

Pada Rusun Industri Dalam penyalahgunaan ruang publik terjadi dengan persentase yang beragam tergantung jenis ruang publiknya, diantaranya 54.54% luasan yang disalahgunakan pada

Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kepemilikan institusional dalam suatu perusahaan maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Total Quality Management, sistem pengukuran kinerja, dan sistem penghargaan terhadap kinerja manajerial yang diukur

Karya yang diciptakan penulis adalah busana pesta Evening yang terbuat dari bahan kain katun sutra, katun satin dan batik tulis dengan teknik batik tutup celup dengan menerapkan

sebagai Inspirasi dalam Penciptaan Seni Lukis” adalah gebogan sebagai persembahan berupa susunan buah dan jajanan yang dihaturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai bentuk