• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Pendekatan Sistem

System thinking dalam prakteknya merupakan suatu rangkaian aktivitas yang terbentang dari konseptual sampai dengan teknis. Oleh karena itu, sedikit praktisi system thinking yang ahli di semua kegiatan sepanjang rangkaian dan sedikit aplikasinya yang melibatkan semua aktivitasnya. Untuk menjadi ahli dalam implementasi aktivitasnya yang terpenting adalah mempunyai pengertian yang kuat terhadap suatu perspektif. Istilah system thinking dibangun oleh Jay Forrester dari MIT pada tahun 1940 yang mengacu pada suatu cara berbeda dalam memandang permasalahan. Tujuan bukan sebagai peristiwa yang terisolasi tetapi sebagai komponen struktur yang saling berhubungan.

Pendekatan system thinking sangat berbeda dari pendekatan analisis bentuk yang tradisional. Analisis tradisional memfokuskan pada pemisahan antara bagian-bagian yang berdiri sendiri. Analisis dapat berarti pembagian elemen menjadi lebih kecil, sedangkan system thinking difokuskan pada pemikiran interaksi antar elemen dalam suatu sistem untuk menghasilkan perilaku. Hal ini berarti memisahkan bagian yang lebih kecil dari sistem yang dipelajari. System thinking bekerja dengan mengembangkan sudut pandang agar diperoleh jumlah interaksi yang lebih besar sebagai suatu isu yang dipelajari.

System thinking melihat interkoneksi dan hubungan keseluruhan gambaran sebagai bagian komponen sistem. Pemahaman sistem dengan karakteristiknya memudahkan pemahaman dalam pengelolaan perubahan suatu organisasi. Pendekatan system thinking mengandung pengertian yang mendalam tentang

kunci untuk mengukur kompleksitas. Ada empat tipe dari sistem yang kompleks, yaitu fixed system, periodic system, chaos system dan sistem kompleks yang berada antara periodic system dan chaos system. Dengan pendekatan system thinking dapat berasumsi bahwa sampai taraf tertentu bisa mengatur kompleksitas dan tidak masuk area chaos system (sistem yang kacau) (Aronson 2003)

Sistem didefinisikan sebagai seperangkat elemen atau sekumpulan entiti yang saling berkaitan, yang dirancang dan diorganisir untuk mencapai satu atau beberapa tujuan (Manetsch & Park 1986). Sistem dapat merupakan suatu proses yang sangat rumit yang ditandai oleh sejumlah lintasan sebab akibat, menurut Eriyatno (1999) sistem adalah totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Pada dasarnya ada dua sifat dari sistem, yaitu berkaitan dengan aspek perilaku dan aspek struktur. Perilaku sistem berkaitan dengan input dan output, sedangkan struktur sistem berkaitan dengan susunan dari rangkaian diantara elemen-elemen sistem.

Menurut Marimin (2005), Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Dengan demikian, manajemen sistem dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian kepada berbagai ciri dasar sistem yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu sistem.

Menurut Eriyatno (1999), karena disebabkan pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka pikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem adalah suatu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan melakukan identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Karakteristik pendekatan sistem adalah: 1) kompleks karena interaksi antar elemen cukup rumit, 2) dinamis, ada perubahan faktor menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan 3) probabilistik, diperlukan fungsi peluang dan inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.

Jika diklasifikasikan masalah sistem secara garis besarnya ada tiga, yaitu 1) untuk sistem yang belum ada, strukturnya dirancang untuk merealisasikan rancangan yang memiliki perilaku sesuai dengan yang diharapkan (persoalan sintesis sistem); 2) untuk sistem yang sudah ada (dalam kenyataan atau hanya

sebagai suatu rancangan) dan strukturnya diketahui, maka perilaku ditentukan pada basis dari struktur yang diketahui itu (persoalan analisis sistem); dan 3) untuk sistem yang sudah ada (dalam kenyataan) tetapi tidak mengenalnya serta strukturnya tidak dapat ditentukan secara langsung, maka permasalahannya adalah mengetahui perilaku dari sistem itu serta strukturnya. Dalam ilmu sistem, transformasi ini dikenal dengan pendekatan black box atau kotak hitam (Eriyatno & Sofyar 2007).

Menurut Eriyatno (1999) dalam transformasi input menjadi output, perlu dibedakan antara elemen (entity) dari suatu sistem dengan sub sistem dari sistem itu sendiri. Sub sistem dikelompokkan dan bagian sistem yang masih berhubungan satu dengan lainnya pada tingkat resolusi yang tertinggi, sedangkan elemen dari sistem adalah pemisahan bagian sistem pada tingkat resolusi yang rendah. Masing-masing sub sistem saling berinteraksi untuk mencapai tujuan sistem. Interaksi antara sub sistem yang disebut interface terjadi karena output dari suatu sistem dapat menjadi input dari sistem lain. Jika interface antar sub sistem terganggu maka proses transformasi pada sistem secara keseluruhan akan terganggu juga sehingga akan menghasilkan bias pada tujuan yang hendak dicapai.

Proses transformasi yang dilakukan oleh suatu elemen dalam sistem dapat berupa fungsi matematik, operasi logic, dan proses operasi yang dalam ilmu sistem dikenal dengan konsep kotak gelap (black box). Kotak gelap adalah sebuah sistem dari rincian tidak berhingga yang mencakup struktur-struktur terkecil paling mikro. Dengan demikian karakter kotak gelap adalah behavioristic (tinjauan sikap). Kotak gelap digunakan untuk mengobservasi apa yang terjadi, bukan mengetahui tentang bagaimana transformasi terjadi. Untuk mengetahui transformasi yang terjadi dalam kotak gelap dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu 1) spesifikasi; 2) analog; kesepadanan dan modifikasi; dan 3) observasi dan percobaan.

Obyek penelitian tentang persoalan yang menyangkut kebijakan yang rumit dan bersifat inter-disiplin, dinamis, dan probalistik, membutuhkan metodologi yang baru. Checkland (1981) menghadapi persoalan (soft problem) yang sangat kompleks telah berupaya dan memperkenalkan Soft System Methodology (SSM). Disusul kemudian dengan munculnya paradigma baru yang disebut ‘Berpikir Sistem’ (Systems Thinking) oleh Jackson (2000) untuk menjawab persoalan

secara holistik yang dibutuhkan terutama untuk persoalan di bidang sosial, politik, kemanusiaan, biologi, teknologi pengendalian dan pengetahuan alam.

Menurut Warfield (2003); Eriyatno & Sofyar (2007), terdapat tiga pola pikir yang menjadi acuan dalam merumuskan berbagai solusi yang terkait dengan sistem, yaitu: 1) Sibernetik, 2) Holistik, serta 3) Efektif.

Sibernatik (goal oriented) merupakan konsep berpikir sistem yang berorientasi pada tujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Konsep ini lebih menekankan pada perumusan alternatif solusi atas permasalahan dan bukan menganilisis atau mengidentifikasi permasalahan saja.

Holistik (kompleks), telaah permasalahan sebagai suatu kesatuan permasalahan yang kompleks dengan keterkaitan antar aspek/dimensi lainnya. Permasalahan sebagai suatu input tidak dipandang berdiri sendiri tetapi saling terkait dan saling melengkapi dengan permasalahan lainnya. Dalam kaitan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, kompleksitas permasalahan dapat dilihat dari tiga aspek/dimensi, yaitu aspek ekologi (lingkungan), aspek ekonomi dan aspek sosial kemasyarakatan. Untuk mencapai solusi yang berkelanjutan ketiga aspek tersebut dapat mewakili kompleksitas pemasalahan dunia nyata (real world). Ketiganya diarahkan pada suatu keseimbangan satu dengan yang lainnya seperti digambarkan melalui diagram Venn berikut ini.

Gambar 5. Diagram keseimbangan kompleksitas sistem berkelanjutan

Efektif, suatu rumusan alternatif solusi dari suatu sistem dapat dilaksanakan dengan pilihan tindakan yang lebih terarah kepada suatu solusi permasalahan dan dapat mengubah sistem secara efektif.

Ekologi Ekonomi Sosial Kemasyarakatan Keseimbangan antar aspek

Pengembangan sistem untuk mengetahui suatu persoalan yang terjadi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu hard system methodology (HSM) dan soft system methodology (SSM). Dalam HSM, karakteristik dari perihal yang dikaji telah terdefinisi dengan baik sedangkan pada SSM hal tersebut sulit untuk dilaksanakan (ill-structural) karena berkaitan dengan aspek sosial budaya, politik dan organisasi (Couprie et al. 1997; Wang & Ahmed 2002).

SSM yang pertama kali diperkenalkan oleh Checkland pada tahun 1981 dalam “Systems Thinking, Systems Practice” merupakan metode yang sangat berbeda dengan model-model keputusan konvensional seperti halnya didalam riset operasi. Metode pendekatan ini oleh Checkland (1981) dalam Jackson (2000) disebut sebagai suatu sistem aktivitas manusia (human activity system) yang memilki 7 (tujuh) langkah atau tahapan proses (Gambar 5). Tahapan proses tersebut meliputi:

1) Permasalahan yang tidak terstruktur, pada tahap awal peneliti harus mendalami situasi dari persoalan yang dihadapi (problem situation) serta menetapkan beberapa hal, antara lain: lingkup penugasan, pendekatan yang akan diambil, dan para pakar dari beberapa bidang ilmu yang akan dilibatkan.

2) Permasalahan yang terungkap, yaitu peneliti menentukan perihal yang belum terungkap dan masih bisa diperbaiki, ditingkatkan atau dipecahkan. 3) Mencari sumber yang relevan untuk sistem yang dibangun, yaitu pada tahap

ini peneliti harus secara cermat memilih sistem, metode dan teknik yang akan digunakan dalam pendekatan SSM sesuai tujuan penelitiannya. 4) Model konseptual, yaitu dengan adanya langkah ketiga diatas maka model

konseptual sudah dapat disusun dengan cara berpikir sistem. Pada tahap ini diperbandingkan dan digunakan perbandingan dari model yang telah ada dengan model yang disusun secara inovatif.

5) Perbandingan model dengan dunia nyata, yaitu tahap ini untuk membawa pendekatan kepada kenyataan. Model yang telah disusun diperbandingkan dengan yang terjadi di dunia nyata.

6) Pembahasan untuk perubahan yang diinginkan, yaitu model yang telah disusun dan diperbandingkan dengan dunia nyata didiskusikan untuk menentukan langkah perbaikan yang realistis dan dibutuhkan.

Gambar 6. Proses pembelajaran soft systems methodology (Checkland 1981)

2.5.1. Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST)

Metode SAST digunakan untuk mengedepankan asumsi-asumsi dalam perumusan kebijakan. Landasan sistem lunak (soft system) dikembangkan sebagai dasar pengujian/test. Metode ini sangat membantu dalam mengungkap asumsi kritis yang melandasi kebijakan, rencana atau strategi (Mason & Mitroff 1981).

Metode SAST dirancang untuk menganalisis sistem atau masalah kompleks sehingga ditemukan ketergantungan yang rumit antar komponennya. Pola pengujian dalam teknik ini mencakup ”perumusan dan penyusunan struktur masalah”, dengan asumsi ada kepentingan yang lebih besar bobotnya dibanding dengan sekedar memakai pendekatan model pemecahan masalah menggunakan teknik-teknik konvensional. Dalam melakukan upaya ”mengedepankan asumsi” (assumption surfacing) dilakukan identifikasi komponen stakeholders yang terkena dengan kebijakan, yang tertarik maupun berada dalam posisi mempengaruhi penerapan kebijakan tersebut, atau yang akan menolak serta memberikan pandangannya (Mason & Mitroff 1981). Dalam

1. Permasalahan yang tidak terstruktur

2. Permasalahan yang terungkap

Temuan

3. Mencari sumber yang relevan untuk sistem yang

dibangun Konsep sistem formal 4. Model Konseptual Pemikiran sistem lainnya Pendekatan sistem 5. Perbandingan model dengan dunia nyata 6. Pembahasan untuk perubahan yang diinginkan

7. Aksi untuk perbaikan

Dunia Nyata Pemikiran sistem tentang dunia nyata Tindakan

upaya mengangkat asumsi digunakan cara dengan memberikan pertanyaan terbalik yang optimal, contohnya ”dengan diberlakukannya kebijakan yang dirumuskan, apakah yang harus diasumsikan tentang sikap stakeholders sehingga asumsi yang ada tersebut secara logis dapat mengoptimalkan penerapan kebijakan yang dimaksud”.

Pola SAST dibangun karena hampir semua organisasi sulit melepaskan dirinya dari kebiasaan lama untuk selalu memakai model pemecahan masalah yang sebelumnya pernah sukses membantu memecahkan masalah yang ada. SAST juga bertujuan untuk meyakinkan bahwa kebijakan dan prosedur alternatif harus selalu tetap dipertimbangkan dalam proses pemecahan masalah. Proses itu akan mendorong berkembangnya organisasi melalui proses pembelajaran, karena asumsi yang digunakan selalu akan dihadapkan pada perihal baru.

Dengan demikian, SAST akan memunculkan konflik ke permukaan dan kemudian menyelesaikannya melalui cara menampilkan jawaban dalam peta, yang disusun berdasarkan asumsi yang terbobot ”penting” atau ”pasti”. Penilaian diperoleh dengan cara menetapkan peringkat relatif atas bobot dari masing- masing komponen jawabannya (Mason & Mitroff 1981). Komponen itu diperoleh dengan memakai sintesis yang prosesnya dilakukan secara totalitas. Dalam hal ini, Bloncard dan Fabrycky (1981) menggunakan falsafah SAST dengan beberapa sifat seperti:

1) Berlawanan, dengan keyakinan bahwa upaya penilaian masalah yang tidak terstruktur dengan baik, kemudian dapat dibuat dengan sebaik- baiknya setelah mempertimbangkan perspektif yang bertentangan;

2) Partisipatif, sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan beragam melalui pelibatan berbagai individu atau kelompok yang terkait atau organisasi yang berbeda untuk memecahkan masalah yang kompleks dan kemudian mendistribusikan pelaksanaan hasil pemecahan masalah pada berbagai pihak;

3) Integratif, berdasarkan asumsi perlu dilakukan satu sintesis dari berbagai sudut pandang untuk dapat merumuskan rencana tindak yang dapat dipraktekan;

4) Mendukung gagasan manajerial, dimana orang yakin bahwa dengan melibatkan para manajer yang selalu dihadapkan pada berbagai asumsi yang membuatnya memahami lebih mendalam organisasi, kebijakan maupun masalah-masalah yang dihadapinya.

Hasil analisis menggunakan metode SAST disajikan dalam bentuk grafik assumption rating. Gambar 7 berikut menunjukkan kuadran rencana yang pasti mendukung keberhasilan kebijakan serta kuadran rencana masalah.

Paling yakin

Paling tidak pasti

P a lin g t id a k p e n ti n g P a lin g p e n tin g Kuadran Rencana yang pasti Kuadran Rencana yang bermasalah

Gambar 7. Grafik assumption rating

2.5.2. Interpretative Structural Modeling (ISM)

Teknik ISM merupakan suatu proses pengkajian kelompok dimana model- model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafik serta kalimat. Teknik ISM terutama ditujukan untuk pengkajian suatu tim atau bisa juga dipakai oleh seorang peneliti (Eriyatno 1999).

Prinsip dasarnya adalah identifikasi dan struktur di dalam suatu sistem akan memberikan nilai manfaat yang tinggi guna merancang sistem secara efektif dan pengambilan keputusan yang lebih tinggi. Dalam teknik ISM, program yang ditelaah perjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen di mana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah sub-elemen. Studi dalam perencanaan program yang terkait memberikan pengertian mendalam terhadap berbagai elemen dan peranan kelembagaan guna mencapai solusi yang lebih baik dan mudah diterima. Teknik ISM memberikan basis analisa dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta

perencanaan strategis. Menurut Saxena (1992) dalam Eriyatno (1999), program dapat dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu :

1) sektor masyarakat yang terpengaruh, 2) kebutuhan dari program,

3) kendala utama,

4) perubahan yang dimungkinkan, 5) tujuan dari program,

6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan,

7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan,

8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas,

9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program.

Teknik ISM pada dasarnya merupakan analisa kumpulan pendapat dari para pakar yang dinyatakan dengan hubungan kontekstual (Kanungo & Bhatnagar 2002; Anantatmula & Kanungo 2005). Berdasarkan hubungan kontekstual tersebut maka disusunlah Structural Self-Interaction Matrix (SSIM) dengan menggunakan simbol V, A, X dan 0, di mana:

V adalah en = 1 dan en = 0;

A adalah eij = 0 dan eij = 1;

X adalah eij = 1 dan eij = 1;

O adalah eij = 0 dan eij = 0

Tabel 2. Keterkaitan antar sub-elemen pada teknik ISM

No. Jenis Interpretasi

1. Pembandingan (comparative) A lebih penting/besar/indah daripada B

2. Pernyataan (definitive) A atribut B

A termasuk didalam B A mengartikan B

3. Pengaruh (influence) A menyebabkan B

A sebagian penyebab B A mengembangkan B A menggerakkan B A meningkatkan B

4. Keruangan (space) A adalah Selatan atau Utara B

A diatas B A sebelah kiri B 5. Kewaktuan (temporal time scale) A mendahului B A mengikuti B A prioritas lebih dari B Sumber: Eriyatno (1999)

Dengan pengertian bahwa simbol 1 adalah terdapat atau ada hubungan kontekstual, sedangkan simbol 0 adalah tidak terdapat atau tidak ada hubungan

kontekstual antara elemen i dan j serta sebaliknya. Setelah SSIM dibentuk, kemudian dibuat tabel Reachability Matrix (RM) dengan mengganti V, A. X, O menjadi bilangan 1 dan 0. Kemudian dilakukan pengkajian menurut Aturan Transvity dengan melakukan koreksi terhadap SSIM sampai terjadi matriks yang tertutup. Pengolahan lebih lanjut dari RM yang telah memenuhi aturan transvity adalah penetapan pilihan jenjang (level partition). Pengolahan bersifat tabulatif dengan pengisian format. Hasil akhir teknik ISM adalah elemen kunci, diagram struktur, dan matriks DP-D (Driver Power-Dependence) yang menggambarkan klasifikasi sub-elemen, yaitu :

1) Weak driver-weak dependent variables (Autonomous), umumnya sub elemen tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa sa|a kuat (Sektor I). 2) Weak driver-strongly dependent variables (Dependent), peubah tidak

bebas dan akan terpengaruh oleh adanya program sebagai akibat tindakan terhadap sektor lain (Sektor II).

3) Strong driver-strongly dependent variables (Linkage), peubah harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak (Sektor III).

4) Strong drive-weak dependent variables (Independent), peubah mempunyai kekuatan penggerak yang besar terhadap keberhasilan program tetapi punya sedikit ketergantungan terhadap program (Sektor IV).

Dalam konteks penelitian ini, teknik ISM diterapkan dalam perumusan kebijakan perencanaan program. Perencanaan program disusun berdasarkan elemen-elemen pendukungnya baik dalam aspek perencanaan sosial, perencanaan ekonomi maupun perencanaan lingkungan. Setiap keluaran suatu elemen (subsistem) merupakan input buat elemen (subsistem) lainnya. Data dan informasi yang dikumpulkan diperoleh dari pendapat para pakar tentang berbagai elemen yang mendukung model kebijakan.

2.5.3. Issue Management Technology (IMT)

Dalam merumuskan model konseptual dari suatu kebijakan publik, maka pada proses pengembangan dapat menggunakan:

1) Skenario kebijakan yang kemudian diuji melalui expert judgment dengan memperhitungkan inconsistency index.

2) Teknik IMT (Issue Management Technology) untuk memplot pada matrik kebijakan.

Teknik ini merupakan salah satu teknik manajemen kritis yang ditujukan untuk membantu para pengambil keputusan dalam menetapkan prioritas tindakan pada satu situasi yang abnormal/krisis (Eriyatno 1998). Teknik ini lebih merupakan satu prosedur yang dihadapkan dalam satu “perihal”. Perihal adalah segala sesuatu yang mempengaruhi atau akan mempengaruhi kinerja lembaga atau bagian dari lembaga saat ini atau selama jangka waktu tertentu di masa depan.

Manfaat IMT bagi para pengambil keputusan mampu memusatkan perhatian keputusan pada saat yang dibutuhkan, serta mampu mengalokasikan sumberdaya dengan tepat. IMT secara efektif dapat bertindak sebagai jembatan antara titik dimana satu lembaga itu berada dan kemana dia seharusnya berada dalam ketidakmenentuan lingkungan. Untuk menerapkan IMT secara efektif, syarat utama yang diperlukan adalah para pengambil keputusan harus menanggung beban pertanggungjawaban terhadap penerapan IMT dan bukan mendelegasikan ke bagian lain yang tidak berhubungan. IMT juga memberikan solusi yang baik terhadap teka-teki yang timbul karena pemisahan formulasi dan implementasi strategi.

Langkah paling penting dalam prosedur IMT adalah penyusunan analisa perihal yang dilakukan dengan cara: (1) tim inti menyarankan segala perihal yang cocok dengan definisi yang merekomendasikan, melalui proses diskusi terbuka dan, (2) dilakukan tabulasi prioritas perihal melalui matrik 2 dimensi, dimana setiap perihal diprioritaskan atas dasar dampaknya terhadap realisasi tujuan dan tingkat kepentingan untuk ditanggulangi. Matrik perihal disajikan pada tabel berikut:

Tabel 3. Matrik Perihal

Dampak Kepentingan

Rendah Cukup Tinggi

Rendah Masukan baru Telaah periodik Pemantauan kontinyu

Ada Telaah periodik Pemantauan

terinci

Perencanaan atau Tindakan yang tertunda

Mendesak Pemantauan Perencanaan atau Tindakan yang tertunda

Tindakan segera

2.5.3. Verifikasi dan Validasi Model

Menurut Sargent (1998) tiga dasar pendekatan yang digunakan dalam menguji keabsahan suatu model simulasi. Setiap pendekatan memerlukan tim pengembangan model untuk melakukan verifikasi dan validasi sebagai bagian proses pengembangan model. Pendekatan yang paling biasa digunakan oleh tim pengembangan untuk membuat keputusan suatu model yang valid.

Pendekatan yang sering disebut independent verification and validation (IV and V), yaitu pendekatan menggunakan pihak ketiga (independent) untuk memutuskan suatu model valid. Pihak ketiga tidak tergantung (independent) dari tim pengembangan model dan pengguna model. Setelah model dikembangkan, pihak ketiga melakukan evaluasi untuk menentukan keabsahannya.

Pendekatan ketiga untuk menentukan keabsahan suatu model adalah menggunakan suatu model scoring. Skor atau bobot ditentukan secara subyektif ketika melakukan proses validasi berbagai aspek dan kemudian dikombinasikan untuk menentukan kategori skor dan total skor model simulasi. Suatu model simulasi valid jika kategori dan total skornya lebih besar daripada beberapa skor yang terlewati.

Menurut McIntyre (2004), verifikasi model kebijakan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu verifikasi proses perumusan model dan verifikasi output. Verifikasi proses dilakukan dengan membandingkan proses perumusan model kebijakan yang dilakukan dengan proses perumusan kebijakan lainnya yang setaraf melalui studi pustaka yang relevan. Verifikasi output dilakukan melalui studi komparatif untuk membandingkan model output dengan aplikasi kebijakan pada suatu lokasi terntentu.

Menurut Sargent (1998) terdapat 16 teknik untuk melakukan validasi model, yaitu: (1) animation, (2) comparison to the other models, (3) degeneration

test, (4) event validity, (5) test extreme condition, (6) face validity, (7) faxed values, (8) historical data validation, (9) historical method, (10) internal validity, (11) multistage validity, (12) operational graphic, (13) parameter variability- sensitivity analysis, (14) predictive validation, (15) traces and (16) turing test.