• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.2. Obyek Penelitian

3.2.1.Lokasi dan Waktu Penelitian

Studi kasus dilaksanakan Maret 2007 sampai dengan Januari 2008 di wilayah kerja PT Freeport Indonesia (PTFI) di Kabupaten Mimika, Papua. Lokasi kajian difokuskan di wilayah Modified Ajkwa Deposition Area (Mod-ADA) yang merupakan lokasi pengendapan pasir sisa tambang dan dialirkan melalui sungai.

Observasi lapang sistem pengelolaan lingkungan pertambangan dilakukan di Pusat Reklamasi Mod-ADA, Natural Succession Discovery Park, serta lokasi kegiatan revegetasi dan rehabilitasi sekitar area pengendapan. Pemilihan lokasi tersebut ditetapkan secara sengaja (purposive) dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:

(1) PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan salah satu lokasi pertambangan mineral terbesar di Indonesia.

(2) Lokasi kajian difokuskan pada Daerah Pengendapan Ajkwa (DPA) atau Modified Ajkwa Deposition Area (Mod-ADA) yang terletak di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Karena wilayah tersebut terdapat volume limbah (pasir sisa tambang) yang besar dan berpengaruh terhadap lingkungan, khususnya lingkungan biofisik di daerah itu. Ribuan hektar hutan hujan tropis dimanfaatkan sebagai daerah pengendapan pasir sisa tambang di sepanjang aliran Mod-ADA.

(3) Adanya permasalahan implementasi kebijakan lingkungan yang belum efektif dilaksanakan di wilayah Mod-ADA berdasarkan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainable principles).

3.2.2.Gambaran Umum Mod-ADA

Daerah penambangan dan daerah proyek kontrak karya dari PTFI berada di bagian tengah dari Propinsi Papua, tepatnya di Kabupaten Mimika. Letak daerah pertambangan berada pada ketinggian sekitar 4.200 meter di atas permukaan laut dan terletak 100 km dari garis pantai Laut Arafura di selatan. Persetujuan kontrak karya antara Pemerintah dan PTFI yang pertama ditandatangani pada tahun 1967 (Kontrak Karya Generasi Pertama) dan berlaku selama 30 tahun sejak dimulainya masa operasi. Masa operasi dimulai pada tahun 1973, sehingga Kontrak Karya I ini seharusnya berakhir pada tahun 2003.

Pada tahun 1988, PTFI menemukan cadangan Grasberg, yang untuk pengembangannya diperlukan investasi tambahan sekitar US$ 2 miliar berdasarkan nilai tukar uang pada masa tersebut. Mengingat besarnya investasi yang diperlukan dan resiko yang harus ditanggung perusahaan, maka diperlukan masa waktu operasi yang lebih lama untuk menjamin kepastian usaha. Untuk itu, perusahaan mengajukan permohonan perpanjangan Kontrak Karya I, yang kemudian ditolak oleh Pemerintah yang menginginkan persyaratan baru yang

lebih menguntungkan Indonesia berdasarkan standar Kontrak Karya Generasi Kelima. Kewajiban dan hak investor bidang pertambangan yang berusaha di Indonesia oleh Pemerintah dituangkan di dalam satu perjanjian Kontrak Karya, yang dari generasi ke generasi disesuaikan dengan kondisi dan kebijakan pemerintah pada saat penandatanganan, dengan tetap mengacu pada asas- asas perjanjian yang diakui secara internasional di bidang pertambangan umum.

Setelah penolakan Pemerintah tersebut, Freeport mengajukan permohonan baru bersama-sama perusahaan pertambangan lainnya. Proses perundingan antara wakil-wakil pemerintah dan wakil-wakil perusahaan memakan waktu yang cukup lama. Setelah mendapat rekomendasi dari Dewan Perwakilan Rakyat RI dan disetujui oleh Presiden Republik Indonesia, Perjanjian Kontrak Karya ke II antara Pemerintah Republik Indonesia dan PTFI ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 untuk jangka waktu 30 tahun, dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali 10 tahun.

Gambar 9 menunjukkan wilayah yang disepakati dalam Kontrak Karya ke II tahun 1991 memuat ketentuan-ketentuan yang lebih baik dan lebih menguntungkan bagi Indonesia dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan KK-I tahun 1967. Kontrak Karya II juga memuat ketentuan-ketentuan perpajakan dan keuangan yang lebih baik bagi Indonesia dibandingkan dengan ketentuan- ketentuan perpajakan dan keuangan yang berlaku di negara-negara utama penghasil mineral lainnya, seperti Chili, Australia, Kanada, Papua Nugini, dan Peru.

Berdasarkan wilayah eksploitasi, wilayah kontrak karya PTFI seluas 212.950 ha dapat dibagi menjadi dua bagian, menjadi:

1) Wilayah eksplorasi baru yang sesuai dengan ketentuan Kontrak Karya wajib untuk diciutkan dan dikembalikan secara berkala kepada pemerintah. Wilayah eksplorasi PTFI pada tahun 1991 adalah seluas 2.6 juta ha. Setelah mengalami beberapa kali penciutan dan dikembalikan kepada pemerintah, wilayah explorasi PTFI baru saat ini hanya tinggal 202.950 ha atau 8% dari luas semula.

2) Wilayah eksploitasi dan produksi seluas 10.000 ha yang merupakan pengalihan dari Kontrak Karya pertama. Sampai pada saat ini seluruh produksi PTFI dihasilkan dari wilayah ini.

Gambar 10. Wilayah Kontrak Karya PT Freeport Indonesia

Berdasarkan ketinggian tempat, wilayah kontrak karya tersebut dapat dibagi kedalam tiga daerah, sebagai berikut: (1) Dataran Rendah, letaknya 1 sampai 100 meter di atas permukaan laut, memanjang dari timur ke barat mengikuti kaki-kaki gunung dan melebar ke arah selatan sampai Laut Arafura. Pada umumnya sungai-sungai di daerah ini mengalir berliku-liku dan membentuk beberapa anak sungai, rawa-rawa dataran rendah dan muara-muara ketika

sungai-sungai tersebut sampai di laut. Komponen material yang dominan di daerah ini adalah pasir, lempung, dan tanah organik; (2) Dataran Tengah (Plateau Alluvial), yang memanjang dari barat ke timur dengan ketinggian 100 sampai 700 meter di atas permukaan laut dengan landaian tanah pada umumnya kurang dari 4 derajat. Sungai-sungai yang mengalir di daerah ini lebih lurus alurnya dengan pola sub-paralel. Batuan yang dibawah adalah endapan (conglomerate), serpihan berpasir dan tanah yang terdiri dari pasir dan lempung; dan (3) Daerah Pegunungan, berada di bagian utara dengan ketinggian antara 700 sampai 4200 meter di atas permukaan laut. Pegunungan ini terdiri dari batu- batu cadas yang oleh kegiatan ekologis berbentuk berlipat-lipat.

Saat ini PTFI menggunakan dua metode penambangan yaitu: (a) penambangan terbuka, dengan menggunakan alat penggali dan pengangkut material pada tambang Grasberg, serta (b) penambangan bawah tanah, yang menggunakan teknik block caving pada cadangan bawah tanah, yang dikenal dengan Intermediate Ore Zone (IOZ) dan Deep Ore Zone (DOZ).

Proses pengolahan bijih menggunakan berbagai teknik pengolahan fisik termasuk penghancuran, penggilingan dan pengapungan (flotasi). Selain itu digunakan pula gabungan berbagai teknik penghancuran, termasuk pabrik penggilingan (mill) Semi Autogenous Grinding (SAG), serta pabrik penggilingan yang menggunakan bola-bola besi untuk menggiling bijih yang digali menjadi pasir halus. Kedua proses tesebut selanjutnya diikuti oleh proses pengapungan dengan menggunakan reagen (berbasis alkohol dan gamping) terhadap konsentrat untuk memisahkan mineral tembaga, emas serta perak dari batuan induknya. Mineral tersebut mengapung ke permukaan dan disisihkan menjadi bagian yang kaya mineral, yang disebut konsentrat. Sisa bahan batuan yang relatif tidak memilki nilai ekonomis mengendap ke dasar dan menjadi pasir sisa tambang (tailing), yang dilepas melalui aliran sungai Ajkwa menuju daerah pengendapan di dataran rendah.

Bubur konsentrat kemudian disalurkan dari pabrik pengolahan tersebut menuju sebuah pabrik pengeringan di pelabuhan Amamapare melalui sebuah pipa sepanjang 109 kilometer. Selanjutnya konsentrat tersebut dikeringkan dan disimpan di pelabuhan Amamapare sebelum diangkut ke kapal dan dikirim menuju pabrik-pabrik peleburan serta pemurnian di berbagai negara lain.

Sementara itu, untuk penataan Kawasan Kontrak Karya, Pemerintah Kabupaten Mimika telah menetapkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). RDTR tersebut mencakup kawasan DAS KAMM (Daerah Aliran Sungai Kamoro, Ajkwa, Minajerwi dan Mawati) yang di dalamnya termasuk wilayah Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia telah disetujui oleh Pemerintah Daerah Tk. I Irian Jaya pada 3 Mei 1997. Peta rencana umum tata ruang DAS KAMM, ditunjukkan pada Gambar 11.