• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

6.6. Implikasi Kebijakan

Berdasarkan hasil verifikasi dengan in-depth interview terhadap rekomendasi model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral yang berkelanjutan perlu segera ditindaklanjuti oleh pemerintah, lembaga legislatif serta perusahaan pertambangan terutama dalam hal:

1) Pemerintah mengkaji ulang pelaksanaan undang-undang yang memuat ketentuan CSR bagi dunia usaha terutama usaha-usaha yang berbasis pada pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbarui.

2) Rencana perusahaan pertambangan dan Pemerintah Propinsi untuk membangun industri pengolahan pasir sisa tambang sebagai bahan baku semen perlu dilakukan AMDAL yang terintegrasi dan audit lingkungan yang sejalan dengan prinsip clean development mechanism (CDM). Dengan pertimbangan bahwa secara teknis pasir sisa tambang telah terbukti dapat dimanfaatkan sebagai material beton dan memiliki nilai tambah yang besar. Untuk itu, penetapan kewenangan pembangunan proyek tersebut ada ditangan pemerintah propinsi tetapi perusahaan pertambangan dapat membantu tenaga ahli, investasi dan sumberdaya.

3) Pemerintah Daerah mengupayakan adanya penegakan hukum untuk mendorong perusahaan pertambangan melaksanakan pengembangan masyarakat (community development) yang sesuai keunikan wilayah, Mengupayakan usaha pertambangan yang berpihak pada masyarakat dan ramah lingkungan. Mengupayakan adanya keterpaduan usaha kegiatan pertambangan dengan aktivitas pertambangan informal melalui kemitraan yang saling menguntungkan. Kemitraan dilakukan dalam upaya

pemberdayaan masyarakat untuk pengelolaan lingkungan dan optimalisasi dana lingkungan melalui pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro untuk Usaha Mikro–Lingkungan (bibit, tanaman, konstruksi, dsb). Untuk itu pertambangan informal perlu dilakukan mekanisme registrasi usaha dan pembinaan penggunaan teknologi tepat guna dalam pertambangan rakyat.

4) Penyempurnaan sistem CSR melalui mekanisme arahan berdasarkan penerapan corporate social and environmental responsibility (CSER) dalam praktek bisnis usaha yang diarahkan pada kepentingan masyarakat (quality of life) dan kehidupan alam sekitar (natural sustainability). Sistem tersebut diwujudkan dalam proses perumusan dan penetapan dokumen RKL-RPL di daerah. Proses perumusan evaluasi periodik RKL-RPL didasarkan pada konsensus forum Musyawarah Lingkungan Daerah (MLD) yang mengakomodasi para stakeholder yang terdiri atas Pemerintah Daerah, Organisasi Massa (LSM), Perusahaan pertambangan dan Pakar lingkungan untuk stakeholders engagement. Berdasarkan indepth interview dengan pakar kebijakan publik dan praktisi kelembagaan masyarakat lokal, diperoleh konsensus bahwa MLD dapat disusun dari kelembagaan yang saat ini sudah ada seperti LPMAK. Namun perlu dirumuskan mekanisme dan tanggung jawab lembaga terhadap kepedulian pengelolaan lingkungan dalam kaitan evaluasi RKL-RPL.

Dengan adanya dua model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan yang melibatkan peranserta masyarakat diperlukan pengembangan CSER. Mekanisme pengembangan CSER atau Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TSLP) diarahkan untuk pelaksanaan CSR lingkungan hidup yang berkelanjutan. CSR sebagai instrumen ekonomi merupakan kebijakan sepenuhnya dari perusahaan yang memiliki kesadaran lingkungan. Namun CSR juga dapat berfungsi sebagai command and control (CAC) yang merupakan kebijakan pemerintah sepenuhnya dalam bentuk pajak lingkungan (environmental tax) atau denda limbah (penalty). Pelaksanaan CSR sebagai CAC saat ini belum teruji dan masih dalam tahapan konsepsi, sehingga pemerintah dan dunia usaha belum dapat menerapkan sebagai kebijakan dalam bentuk pajak.

Elemen kunci implikasi kebijakan pengembangan CSER terhadap pertambangan mineral adalah terdapat limbah dalam skala dan jenis tertentu

dapat membahayakan. Keberadaan limbah yang tidak terkendali secara signifikan dan atau melebihi nilai ambang batas baku mutu lingkungan serta terbukti empiris dapat menyebabkan degradasi kualitas lingkungan hidup dan mengancam keanekaragaman hayati (bio-diversity). Oleh karena itu, kebijakan CSER diarahkan bagi perusahaan pertambangan memiliki kesadaran lingkungan (environment conscius). Dalam pelaksanaan CSR oleh perusahaan pertambangan dan pengawasan oleh pemerintah terdapat kelemahan yang harus diatasi, yaitu: rendahnya kesadaran perusahaan menyebabkan CSR menjadi kurang bermanfaat atau salah sasaran, serta adanya beban operasional perusahaan yang menyebabkan disinsentif terhadap PMA atau PMDN. Substansial kurangnya kesadaran perusahaan dalam penerapan CSR karena masih minimnya infrastruktuktur pendukung aktifitas CSR di Indonesia. Padahal dana dan peran strategis yang dimiliki perusahaan sangat besar dalam pembangunan.

Mekanisme arahan kebijakan CSR dalam pengembangan CSER merupakan sistem tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan (TSLP) yang diarahkan pada kepentingan masyarakat (quality of life) dan kehidupan alam sekitar (natural sustainability). Kebijakan TSLP diwujudkan adalah dalam proses perumusan dan penetapan dokumen RKL-RPL di daerah (Gambar 61). Proses perumusan evaluasi periodik RKL-RPL didasarkan pada konsensus Musyawarah Lingkungan Daerah (MLD) yang mengakomodasi para stakeholder yang terdiri atas Pemerintah Daerah, Organisasi Massa (LSM), Perusahaan pertambangan dan Pakar lingkungan. Berdasarkan indepth interview dengan pakar kebijakan publik dan praktisi kelembagaan masyarakat lokal, diperoleh konsensus bahwa MLD dapat disusun dari kelembagaan yang saat ini sudah ada seperti LPMAK. Namun perlu dirumuskan mekanisme dan tanggung jawab lembaga tersebut untuk membahas program pengelolaan lingkungan dalam kaitan evaluasi RKL-RPL.

Kebijakan Pemerintah Daerah dan regulasi perusahaan pertambangan mengenai pengelolaan lingkungan pertambangan mineral diselaraskan dengan peranserta masyarakat dan pakar lingkungan. Perumusan tersebut diperoleh umpan balik informasi sebagai upaya pengambilan kebijakan perusahaan (corporate policy) mengenai dana CSR dengan arahannya dalam bentuk penetapan target, sedangkan konsensus pemerintah daerah dalam pelaksanaan RKL-RPL diwujudkan sebagai dana APBD.

Pengembangan TSLP melalui pembentukan musyawarah lingkungan daerah (MLD) sebagai stakeholders engagement harus memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu:

1) Manajemen konsensus para stakeholders, yaitu prinsip pengambilan keputusan didasarkan pada kesepakatan antar pihak dalam pencapaian tujuan bersama;

2) Wadah kemitraan, yaitu kerjasama yang saling memperkuat, saling menguntungkan dan saling menghidupi sebagaimana dinyatakan dalam PP No.44 Tahun 1997. Konsep kemitraan menurut UU No.9 Tahun 1995 adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. MLD yang terdiri atas pemerintah, organisasi massa atau LSM, perusahaan serta pakar menjalin kerjasama sebagai mitra dalam pengelolaan lingkungan.

3) Informasi yang simetris, yaitu dalam menghadapi persoalan lingkungan pertambangan mineral yang kompleks transparansi informasi diperlukan sebagai masukan. Sumber informasi tidak terbatas pada satu sisi atau persepsi stakeholders melainkan mengakomodasi keseluruhan informasi yang terkait dengan pencapaian tujuan, meskipun penyediaannya sangat sulit karena tingginya kompleksitas faktor yang berinteraksi satu sama lainnya.

4) Transparansi untuk pembelajaran dampak lingkungan, keterbukaan sebagai kunci utama pencapaian konsensus atau kesepakatan dengan menyampaikan fakta secara tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. 5) Adanya pendapat ahli (expert judgement), terutama menyangkut

penetapan nilai ambang batas dalam baku mutu lingkungan dan teknis pelestarian SDA seperti suksesi, reboisasi, kanalisasi dan lainnya.

Musyawarah Lingkungan Daerah (MLD) Evaluasi Periodik RKL-RPL Perusahaan Pertambangan Pemerintah Daerah Pakar Lingkungan Organisasi Massa (LSM) Dana APBD Penetapan Target/sasaran Dana CSR Penetapan Target K o n s e n s u s U m p a n b a lik i n fo rm a s i U m p a n b a lik i n fo rm a s i

Gambar 61. Arahan pengembangan CSER dalam MLD

Agar efektif arahan pengembangan CSER dalam pelaksanaan CSR diperlukan peranserta masyarakat civil society yang aktif melalui upaya-upaya antara lain: kampanye melawan korporasi yang melakukan praktik bisnis yang tidak sejalan dengan prinsip CSR lewat berbagai aktivitas lobby dan advokasi serta musyawarah antar stakeholders, mengembangkan kompetensi untuk meningkatkan kapasitas dan membangun institusi yang terkait dengan CSR, serta mengembangkan inisiatif multi-stakeholder yang melibatkan berbagai elemen dari civil society, korporasi dan pemerintah untuk mempromosikan dan meningkatkan kualitas penerapan CSR.