• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Limbah Pertambangan Mineral

Mineral atau bahan galian merupakan bahan tambang yang ditemukan di alam selain minyak dan gas bumi. Bahan galian dikelompokkan menjadi tiga, yaitu mineral energi (batubara dan gambut), mineral logam (bijih emas, tembaga, perak, dan bijih lainnya) dan mineral industri (kapur, zeolit maupun bentoit). Dengan demikian, definisi mineral adalah senyawa anorganik alam yang memiliki komposisi kimia dan struktur atom tertentu, seperti galena (PbS), sfalerit (ZnS), kasiterit (SnO2) (Husaini 2007). Menurut Salim (2005), dalam Undang-Undang

No.11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan disebutkan bahwa bahan galian adalah unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan termasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan- endapan alam.

Indonesia memiliki berbagai macam mineral dengan potensi endapan yang relatif besar dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Untuk meningkatkan nilai ekonomi bahan mineral tersebut perlu dilakukan pengolahan dengan memanfaatkan perbedaan sifat-sifat fisika atau kimianya. Cara fisika digunakan untuk memisahkan komponen pengotor dari mineral berharganya tanpa terjadi perubahan kimia (struktur kristal). Sifat-sifat fisika yang dimiliki mineral meliputi: ukuran butir, berat jenis, permukaan, kemagnetan, konduktifitas listrik dan sifat optik. Pengolahan mineral cara kimia dilakukan dengan reaksi-reaksi kimia untuk melarutkan komponen pengotor yang terkandung dalam mineral, dapat juga yang dilarutkan justru mineral berharganya. Hal ini sangat tergantung pada jenis dan karakteristik mineral dan tujuan penggunaannya (Husaini 2007).

Pada umumnya pengolahan mineral didahului dengan proses pengecilan ukuran untuk mendapatkan derajat liberasi yang tinggi agar pemisahan komponen pengotor dan mineral berharganya berlangsung dengan baik. Oleh karena itu diperlukan kajian bahan baku (raw material study) sebelum pengolahan mineral lebih lanjut. Kajian bahan bahan baku bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan kimia mineral, antara lain: komposisi mineral, keterkaitan antar mineral, ukuran butir, berat jenis, kerapatan, porositas, luas permukaan dan komposisi kimia. Selama proses pengolahan mineral tetap dilakukan kajian bahan baku karena adanya perubahan kondisi dalam bahan baku yang berpengaruh terhadap kondisi proses pengolahannya (Husaini 2007).

Akibat proses pengecilan ukuran dan pemisahan komponen pengotor dan mineral berharganya dihasilkan konsentrat mineral dan tailing. Tailing atau pasir sisa tambang merupakan batuan alami halus yang tetap tersisa setelah pengambilan mineral berharga yang mengandung tembaga, emas, perak atau jenis lainnya. Pasir sisa tambang tersebut terdiri atas 50 persen fraksi pasir halus dengan diameter sekitar 0,075 - 0,4 mm dan 50 persen lagi terdiri dari fraksi lempung dengan diameter kurang dari 0,075 mm (Lampiran 38). Anonim (1996a) menyebutkan bahwa senyawa-senyawa minerologis utama yang terkandung dalam pasir sisa tambang antara lain felspar, klorit, piroksen, dan aluminosilikat tak aktif (inert), sedangkan beberapa sifat kimia pasir sisa tambang disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Sifat kimia fraksi pasir sisa tambang pada emas dan tembaga

Parameter Kisaran konsentrasi (mg/l)

pH Lab 8,4 - 8,5

Klorida 800 – 2900

Sulfat 140 – 200

Total karbon organik 4,9 - 6,7

Perak <0,01 Aluminum <0,10 Arsen <0,0020 – 0,0037 Kalsium 60 – 170 Kadmium <0,005 Tembaga <0,010 Krom <0,010 Besi <0.030 Merkuri <0,0020 Timbal <0,005 Magnesium 3,6 – 16 Nikel <0,020 Selenium <0,0020 – 0,0031 Seng <0,020 Natrium 45 - 360 Kalium 23 – 48

Sumber : Anonim (1996a)

Selain itu, pasir sisa tambang yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan mineral dapat terjadi proses pembentukan Air Asam Batuan (AAB). Dalam rangka menekan atau mencegah terjadinya pembentukan AAB perusahaan pertambangan secara berkala melakukan pengujian dan pemantauan kandungan logam dalam sedimen pasir sisa tambang yang terdapat dilokasi aliran limbah pasir sisa tambang. Berdasarkan pemantauan kandungan logam dalam sedimen

beberapa muara dan sungai di Kabupaten Mimika (Lampiran 31), menunjukkan bahwa hilir Sungai Ajkwa yang dialiri dengan pasir sisa tambang dan bekas anak Sungai Ajkwa dengan aliran pasir sisa tambang yang sedikit masih memiliki kandungan Ag berturut-turut sebesar 1,94 mg/kg berat kering dan 1,68 mg/kg berat kering. Demikian juga untuk kandungan logam Cu, kedua aliran sungai tersebut relatif besar dibandingkan dengan sungai kontrol hingga mencapai 1.050 mg/kg berat kering (PTFI 2007).

Dewasa ini, pembangunan dan pengembangan pertambangan yang tidak terkendali dapat meningkatkan pencemaran udara dan perairan, khususnya air sungai oleh logam-logam berat, yaitu Cd, Hg, Cr, Pb, Ni, Cu, Zn, dan Fe. Beberapa dari logam berat juga merupakan unsur mikro, yaitu Cu, Zn, dan Fe. Selain pencemaran udara, logam berat juga dapat mencemari tanah melalui gaya gravitasi dan terbawa air hujan. Penelitian dampak pencemaran logam berat terhadap tanaman memang belum seintensif bahan organik dan unsur hara (makro dan mikro). Akan tetapi, pencemaran logam berat dapat mengakibatkan terakumulasinya logam berat di dalam tanah yang berbahaya bagi makhluk hidup.

Pencemaran logam berat tersebut perlu diupayakan pengendaliannya agar tidak terjadi akumulasi yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman atau masuk ke dalam air tanah. Pengendalian dapat dilakukan dengan menciptakan kondisi tanah, yang menyebabkan logam berat tidak mobil (immobile) atau menjadi tidak mudah larut. Hal ini dapat dicapai dengan penambahan kapur dan bahan organik ke dalam tanah yang dapat meningkatkan reaksi (pH) tanah dan koloid-koloid tanah. Reaksi tanah yang alkalis dapat menurunkan kelarutan logam berat, sedangkan koloid-koloid tanah akan menyerap logam berat sehingga mobilitasnya berkurang.

Dengan demikian, akumulasi logam berat dalam larutan tanah dapat ditekan atau dikurangi dan sekaligus juga mencegah dampak negatifnya terhadap makhluk hidup, termasuk manusia. Apabila konsentrasi logam berat melebihi ambang batas yang dapat ditolerir oleh tanaman, maka logam berat menjadi racun bagi tanaman dan mengganggu proses metabolismenya. Gejala tanaman atau tumbuhan yang keracunan logam berat, antara lain terjadi klorosis pada daun, fungsi akar terganggu, daun menjadi layu atau kering dan pertumbuhan terhambat (menjadi kerdil).

Kegiatan pengolahan bahan tambang mineral mencakup kegiatan pemisahan bahan tambang dari tanah dan penyimpanannya. Dari dua kegiatan tersebut, kegiatan yang paling banyak mempengaruhi lingkungan perairan adalah kegiatan pemisahan bahan tambang dari tanah. Dalam pemisahan tersebut dilakukan proses pemecahan, pencucian dan pemisahan. Proses pemecahan dilakukan terhadap batuan besar yang mengandung bahan tambang menjadi bongkahan-bongkahan kecil. Tahap selanjutnya dilakukan pencucian dengan menggunakan air dan dilakukan pemisahan bahan tambang dari batuan atau tanah (Darmono 2001; Achmad 2004).

Hal tersebut berakibat buangan hasil cucian bahan tambang dan batuan/tanah hasil pemisahan bahan tambang masuk dalam lingkungan perairan (sungai). Pasir sisa tambang tersebut harus disimpan (dibuang) ke tempat tertentu dengan terkendali. Pembuangan di tempat yang tidak tepat dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan perairan. Jika pembuangan pasir sisa tambang dilakukan di tempat terbuka dan mempunyai kemiringan yang curam sangat berbahaya. Jika terjadi hujan lapisan pasir sisa tambang tersebut dapat terbawa masuk ke perairan laut. Di dalam air, selain akan meningkatkan nilai kekeruhan dan muatan padatan tersuspensi, juga dapat mempengaruhi kualitas kimia laut yang bersangkutan. Hal ini disebabkan adanya senyawa logam berbahaya di dalam pasir sisa tambang tersebut. Akibat lanjutannya, terjadi penurunan kualitas air dan gangguan biota air (Soehoed 2002).

Buangan pasir sisa tambang ke perairan (laut) juga dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas air laut, diantaranya peningkatan nilai kekeruhan, kandungan muatan padatan tersuspensi, serta peningkatan kandungan senyawa kimia berbahaya. Contoh kasus yang terjadi dari pengaruh pasir sisa tambang tambang terhadap ekosistem laut adalah pertambangan emas di Pulau Misima Papua Nugini. Selama 15 tahun, telah dihasilkan 200.000 m3 sedimen yang masuk ke dalam laut, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan kekeruhan dan pendangkalan di laut.

Dampak lanjutan yang timbul dari penurunan kualitas air laut adalah berupa gangguan terhadap biota laut. Dengan meningkatnya parameter kekeruhan dan padatan tersuspensi, dapat mengakibatkan gangguan langsung terhadap biota dan juga dapat menurunkan penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom perairan laut. Gangguan langsung terhadap biota laut terutama terjadi pada biota bentik (benthos), yaitu biota yang berhabitat di dasar perairan. Buangan pasir sisa

tambang akan mengubur habitat benthos sehingga dapat mengakibatkan kematian masal. Selain itu, peningkatan nilai kekeruhan dan padatan tersuspensi dapat menyebabkan tertutupnya organ makan benthos sehingga dapat terjadi kematian. Akibat lanjutan dari terganggunya biota benthos juga dapat mengenai kehidupan ikan pengkonsumsi benthos. Dengan hilangnya makanan utamanya (benthos) ikan-ikan tersebut akan mati atau migrasi ke tempat lain. Jika hal tersebut terjadi, dapat mengakibatkan penurunan produksi perikanan, terutama perikanan demersal (ikan dasar). Gangguan tidak langsung juga dapat mengenai habitat penting, seperti terumbu karang. Partikel tersuspensi akan mengendap dan menutupi hewan-hewan karang serta menyebabkan kematian.

Gangguan lanjutan lainnya dari peningkatan kekeruhan air adalah penurunan penetrasi cahaya matahari ke kolom air. Apabila penetrasi cahaya matahari terganggu, akan terjadi gangguan keseimbangan berbagai proses kimiawi dan biologis perairan laut. Cahaya matahari sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup nabati untuk proses fotosintesa. Gangguan proses fotosintesa menyebabkan produktivitas fitoplankton berkurang, sehingga akan mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah oksigen terlarut dalam laut. Hal tersebut akan mengakibatkan gangguan yang berkepanjangan. Seperti diketahui, bahwa kehadiran oksigen sangat diperlukan oleh biota air, baik untuk respirasi maupun untuk berbagai proses kimiawi air lainnya.

Penurunan kualitas air akibat pembuangan pasir sisa tambang yang selanjutnya akan mengakibatkan pula gangguan terhadap berbagai jenis biota yang ada di dalam laut akan mengakibatkan dampak lanjutan terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.

Perubahan sifat kimia laut akan pembuangan pasir sisa tambang akan mengakibatkan kematian organisme laut seperti ikan, kerang-kerangan dan sebagainya. Peningkatan nilai kekeruhan dan muatan padatan tersuspensi dalam perairan laut juga dapat mengakibatkan tersumbatnya alat pernapasan biota laut (insang ikan), sehingga ikan tersebut dapat mati lemas (asphyxia). Pada tingkat kekeruhan yang tinggi, partikel sedimen juga dapat menimbulkan kerusakan habitat (permukaan) ikan dan kerusakan ikan.

Selain dampak berupa terjadinya kekeruhan, pembuangan pasir sisa tambang juga dapat mengakibatkan peningkatan bahan-bahan pencemar lainnya seperti FeS2, H2SO4 dan sebagainya. Peningkatan bahan-bahan pencemar

akan mempengaruhi kesehatan manusia. Sebagai contoh kegiatan penambangan batubara terutama yang ditambang di bawah tanah, akan dihasilkan limbah cair yang sangat asam. Tingginya kandungan asam disebabkan oleh proses oksidasi pirit (FeS2) menjadi asam sulfat (H2SO4), besi

sulfat (FeSO4 dan Fe2SO4). Cairan dan lumpur yang sangat asam tersebut

memiliki nilai pH antara 2-3. Pada kondisi perairan dan limbah bernilai pH rendah, berbagai senyawa logam berbahaya mudah larut dalam air. Begitu pula dengan daya racun amoniak yang akan meningkat jika dalam kondisi keasaman rendah. Jika hal tersebut terjadi, akan sangat membahayakan kehidupan biota dan manusia pengguna air laut tersebut. Rendahnya nilai pH limbah tersebut, selain dapat meningkatkan daya racun berbagai zat dan senyawa toksik di perairan, juga dapat secara langsung mematikan biota laut (Soehoed 2002).