• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

1. Dampak Pertambangan Batubara pada Dimensi Lingkungan

Kegiatan pertambangan batubara dengan cara penambangan terbuka, seperti yang banyak dilakukan di Kota Samarinda dan sekitarnya berpotensi menimbulkan gangguan seperti: a. Lubang besar serta kerusakan lahan dan tanah; b. Penurunan muka tanah atau terbentuknya cekungan pada sisa bahan galian yang dikembalikan ke dalam lubang galian; c. Tumpukan bahan galian tambang berpotensi menimbulkan bahaya longsor dan senyawa racun tercuci dan terbawa ke arah hilir; d. Kesulitan revegetasi akibat kurangnya bahan organik atau humus dan unsur hara lainnya yang telahterbawa ke hilir (Barrow, 1991; Sitorus, 2012).

Pertiwi (2011) melakukan penelitian dampak keberadaan perusahaan pertambangan batubara secara ekologi, ekonomi dan lingkungan di Kelurahan Sempaja Utara, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda. Penelitian ini menyimpulkan bahwa 44% responden yang diambil dari penduduk di tempat tersebut sangat setuju dengan pernyataan bahwa keadaan lingkungan hidup menjadi rusak semenjak adanya perusahaan pertambangan, sisanya sebesar 52% menyatakan setuju dengan pernyataan tersebut. Kerusakan lingkungan tersebut mencakup aspek kerusakan jalan, polusi udara dan banjir. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa 84% responden menyatakan bahwa perusahaan tidak pernah memberikan bantuan kepada masyarakat yang terkena dampak pertambangan. Perusahaan pernah memberikan dana kompensasi kepada sebagian kecil masyarakat, akan tetapi pemberian kompensasi tersebut dianggap tidak merata, tidak adil dan tidak cukup untuk mengganti kerugian akibat dampak yang ditimbulkan.

Raden et al. (2010) menyebutkan bahwa pertambangan di wilayah Kutai Kartanegara membawa dampak negatif terhadap lingkungan, yang secara persentase dari masing-masing jenis kerusakan lingkungan seperti ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Kerusakan lingkungan akibat adanya aktivitas pertambangan batubara

No. Kerusakan Lingkungan Persentase (%)

1 Air sungai menjadi keruh 19,20

2 Penyebab terjadinya banjir 13,53

3 Terjadi peningkatan debu 18,99

4 Peningkatan kebisingan 15,36

5 Masuknya limbah tambang ke lahan pertanian 10,70

6 Rusaknya jalan umum 13,53

7 Adanya lubang tambang tanpa ditutup 8,68

Sumber : Raden et al. (2010)

Dari hasil kajian di atas, keruhnya air sungai merupakan dampak dengan persentase tertinggi, diikuti dengan peningkatan debu, peningkatan kebisingan, terjadinya banjir dan rusaknya jalan umum. Dalam dokumen AMDAL yang dimiliki perusahaan ditekankan tentang kewajiban untuk menutup bekas lubang tambang melalui kegiatan reklamasi dan revegetasi, namun Raden et al. (2010) menyatakan bahwa hal tersebut sulit dilakukan 100% karena kekurangan tanah penutup akibat deposit batubara yang terangkut lebih besar dari pada tanah penutupnya, disamping adanya potensi kehilangan zat organik dan zat hara akibat terbawa oleh air hujan ke hilir. Lubang bekas pertambangan tersebut berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, yang berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Lubang bekas tambang yang berisi air tersebut bisa mengandung berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem air tanah dan mencemari air permukaan dan air tanah.

Dalam penelitian Raden et al. (2010) tersebut juga ditemukan bahwa aktivitas pertambangan batubara berdampak pada laju erosi tanah dan sedimentasi pada sempadan dan muara-muara sungai. Erosi pada pertambangan batubara terjadi dari aktivitas pembersihan lahan dan pembangunan fasilitas tambang seperti untuk sarana dan prasarana penunjang kegiatan pertambangan, termasuk perkantoran, gudang, dan lain lain. Dengan menggunakan persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation), yaitu:

A= R.K.L.S.C.P keterangan:

A : nilai duga besarnya erosi tanah yang terjadi (ton/ha/tahun) R : faktor erosivitas curah hujan (mm/ha/hr/tahun)

K : faktor erodibilitas tanah (ton ha hr/mm/ha)

LS : faktor panjang lereng dan kemiringan lereng (dimensionless) C : faktor penutupan lahan oleh vegetasi (dimensionless)

Maka diperoleh besarnya erosi tanah yang terjadi sebesar 750,69 ton/ha/tahun, jauh melebihi tingkat bahaya erosi sebesar 12-15 ton/ha/tahun. Erosi tanah ini terjadi pada lahan yang dalam keadaan terbuka tanpa adanya penutup tanah berupa tumbuhan atau pepohohan. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kegiatan reklamasi yang dilakukan dengan pembuatan teras yang tepat dan baik dan ditanami dengan semak belukar, rumput dan tanaman lainnya dapat mengurangi erosi tanah menjadi 9,01 ton/ha/tahun.

Secara garis besar kerusakan lahan akibat pertambangan meliputi perubahan vegetasi penutup, perubahan topografi, perubahan pola hidrologi dan kerusakan tubuh tanah (Zulkarnaen et al., 2010). Pertama, perubahan vegetasi penutup terjadi saat proses land clearing pada saat awal dimulainya operasi penambangan yang secara signifikan bisa mengakibatkan hilangnya vegetasi alami. Hilangnya vegetasi alami berpotensi memberikan dampak pada iklim mikro, keanekaragaman hayati dan berkurangnya habitat satwa hutan.

Kedua, perubahan tanah penutup terjadi saat pengupasan tanah pucuk di daerah operasi penambangan. Perubahan topografi terjadi akibat bukaan lahan untuk lubang tambang, tumpukan overburden dan infrastruktur. Permasalahan sering muncul pada tambang dengan lahan terbatas (tambang kecil). Hilangnya vegetasi, bentukan topografi yang tidak teratur atau membentuk lereng memperbesar laju permukaan dan potensi erosi tanah. Pengendalian perubahan bentang alam mini sering membutuhkan waktu lama dan biaya besar.

Ketiga, perubahan pola hidrologi terjadi akibat hilangnya vegetasi yang mengganggu siklus hidrologi. Pemompaan air tanah yang sering terjadi untuk membantu operasi penambangan juga dapat mengganggu pola dan muka air tanah serta potensi tercemarnya badan air oleh unsur sulfida yang terjadi dari singkapan batuan.

Keempat, kerusakan tubuh tanah dapat terjadi akibat pengupasan dan penimbunan tanah kembali untuk reklamasi, dalam hal ini topsoil dan subsoil

dapat tercampur secara tidak merata sehingga mengganggu kesuburan fisika, kimia dan biologi tanah. Membongkar dan memindahkan batuan yang mengandung sulfida mengakibatkan terbukanya mineral sulfida terhadap udara bebas dapat mengakibatkan terjadinya oksidasi. Bila mineral sulfida ini terlarut dalam air permukaan bisa membentuk aliran air asam tambang (AAT) yang berpotensi mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3) serta dapat menurunkan kualitas lingkungan.

Fatah (2008) menyebutkan bahwa batubara merupakan bisnis yang menguntungkan dan dapat menciptakan banyak lapangan kerja kepada masyarakat setempat. Namun eksternalitas negatif yangg ditimbulkannya perlu diperhatikan, terutama dampaknya terhadap kondisi lingkungan sekitar. Dari hasil analisis

menggunakan Social Accounting Matrix (SAX), Fatah mengungkapkan bahwa

perusahaan batubara dengan skala besar dapat memperoleh hasil yang lebih besar, disebabkan oleh skala produksinya yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan skala kecil. Dampak lingkungan perusahaan skala besar juga besar namun dengan penerimaan perusahaan yang lebih besar, mereka umumnya lebih mampu untuk dapat melakukan perbaikan lingkungan. Fatah mengusulkan suatu mekanisme fiskal dengan pengenaan tambahan pajak untuk mengurangi laju pertumbuhan kegiatan pertambangan batubara.

2. Dampak Pertambangan Batubara pada Dimensi Ekonomi dan Sosial