• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2. Perubahan Kewenangan Perizinan dalam Otonomi Daerah

Kebijakan otonomi daerah sejak awal tahun 2000-an telah membawa perluasan eskalasi perizinan pertambangan sehingga saat ini jumlah perizinan pertambangan di seluruh wilayah Indonesia yang tercatat dan diinventarisasi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah melebihi 10.000 IUP. Kondisi ini dimulai ketika tahun 1997-1998 terjadi krisis moneter di Asia yang dimulai dengan hancurnya nilai tukar Bath di Thailand yang imbasnya secara luar biasa melanda sebagian besar kawasan Asia Tenggara dan Timur. Saat itu nilai tukar rupiah sempat merosot sampai Rp. 15.000 per US$. Untuk mengatasi krisis

itu, Pemerintah Indonesia sempat meminta bantuan dana dari International

Monetery Fund (IMF), dan pada tanggal 15 Januari 1998 Presiden Soeharto bersama Michel Camdessus, Direktur Pelaksana IMF, menandatangani Nota

Kesepakatan (Letter of Intent), walaupun banyak persyaratan yang diajukan oleh

IMF memberatkan Indonesia.

Peristiwa tersebut yang juga didorong dengan tantangan perubahan

demokratisasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup telah membawa

perubahan yang mendasar dalam tatanan hubungan pemerintahan, yaitu dengan bergesernya pola pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Hal ini di antaranya ditandai dengan lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah yang sudah diamandemen menjadi UU No 32 tahun 2004, dan UU No 25

tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang telah di amandemen menjadi UU No 33 tahun 2004, disebutkan daerah memiliki kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya alam di

wilayahnya termasuk pemberian perizinan. Hal yang menjadi soal adalah bahwa

ketika kewenangan pada daerah ini sudah diturunkan, tidak segera diikuti oleh sejumlah legislasi dan regulasi pendukungnya, di antaranya UU No 11/1967 tentang pertambangan. Dengan adanya kedua UU tentang Pemerintahan Daerah

ini otomatis UU Pertambangan menjadi tidak bisa dilaksanakan, karena nuansa UU 11/1967 adalah sentralistik, namun di sisi lain UU pertambangan baru belum muncul. Dengan demikian muncul sejumlah masalah sebagai konsekuensi dari hal ini, di antaranya adalah faktor sumber daya manusia daerah yang amat terbatas, kelembagaan dan regulasi yang memadai. Di sisi lain daerah telah memiliki wewenang untuk memberikan perizinan dalam pengelolaan sumberdaya alam.

UU Minerba yang terdiri dari 26 bab dan 175 pasal diterbitkan tanggal 12 Januari 2009, memberikan nuansa baru bagi pelaksanaan kegiatan pertambangan. Di antaranya pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat memberikan rumusan bersama tentang Kebijakan Nasional Pertambangan dengan memperhatikan norma, prosedur, standar dan kriteria. Selain itu, terdapat 4 peraturan pemerintah yang telah disusun pemerintah sebagai amanat Undang-Undang ini, yaitu PP Nomor 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan, PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, PP Nomor 55 tahun 2010 tentang Pembinaan dan PP Nomor 78 tahun 2010 tentang Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Reklamasi dan Pascatambang. Sejumlah peraturan Menteri ESDM juga dipersiapkan untuk menghadapi era baru pertambangan, seperti peraturan tentang usaha jasa pertambangan, kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik mineral dan batubara, pengaturan harga mineral dan batubara, dan lain lain.

UU Minerba dan PP Nomor 23 tahun 2010 mewajibkan dilakukannya konversi KP/SIPD/SIPR. Untuk itu pemerintah pusat melakukan kegiatan inventarisasi data serta rekonsiliasi IUP yang dilakukan pada bulan Mei 2011 dan September sampai Oktober 2012. Sampai bulan Desember 2012 sudah tercatat 10.689 IUP yang tercatat di pemerintah pusat sebagai hasil inventarisasi dan rekonsiliasi IUP dari seluruh wilayah di Indonesia. Dari jumlah tersebut terdapat

5.124 IUP yang dikategorikan Clear and Clean (CnC), sedangkan sisanya

sejumlah 5.565 masih belum CnC. Clear artinya IUP tersebut secara administrasi telah sesuai aturan yang ada, sedangkan clean artinya tidak ada tumpang tindih pada IUP tersebut. Pengertian tumpang tindih adalah tumpang tindih kewenangan dan tumpang tindih dengan IUP lain, baik sama komoditi maupun beda komoditi.

Dapat disimpulkan bahwa UU Minerba menjadi instrumen yang amat penting dalam kebijakan pertambangan ke depan. Berkenaan dengan hal tersebut beberapa fokus kebijakan pertambangan mineral dan batubara yang amat diperlukan ke depan adalah:

a. melaksanakan prioritas pemenuhan mineral dan batubara untuk kebutuhan dalam negeri;

b. memberikan kepastian dan transparansi dalam kegiatan pertambangan

(regulasi pendukung UU minerba, sanksi pelanggaran ketentuan, dan lain lain);

c. melaksanakan peningkatan pengawasan dan pembinaan; d. mendorong peningkatan investasi dan penerimaan Negara;

e. mendorong pengembangan nilai tambah produk komoditi hasil tambang (a.l. pengolahan, pemurnian, local content, local expenditure, tenaga kerja dan CSR);

Dalam era otonomi daerah sering pula terjadi permasalahan dengan tumpang-tindih IUP akibat tumpang-tindih kewenangan yang terjadi akibat pemekaran wilayah. Sebelum tahun 1999, Indonesia memiliki 27 propinsi. Pada tahun 1999, Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia dan berada di bawah pengawasan PBB hingga merdeka penuh tahun 2002, dan Indonesia memiliki 26 Propinsi dengan sekitar 200-an kabupaten. Pada era reformasi terdapat tuntutan

pemekaran sejumlah propinsi di Indonesia. Pemekaran wilayah atau

pembentukan daerah otonom baru semakin marak sejak disahkannya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 tahun 2004. Hingga Desember 2008, telah terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 propinsi, 173 kabupaten dan 35 Kota, sehingga jumlah keseluruhan mencapai 524 daerah otonom yang terdiri dari 33 propinsi, 398 kabupaten dan 93 Kota. Dalam rangka untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), salah satu yang digunakan adalah melalui investasi pertambangan, yaitu IUP, sehingga dalam waktu singkat jumlah IUP telah mencapi ribuan selama periode 2000-2008.

Setelah terbitnya UU Minerba, daerah diminta menghentikan penerbitan IUP, karena dalam UU Minerba menyebutkan bahwa IUP hanya bisa diterbitkan dalam Wilayah Pertambangan (WP) yang terdiri dari Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) Wilayah Pencadangan Nasional (WPN) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Berdasarkan pasal 9 UU Minerba, WP bisa diterbitkan dengan keputusan pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR-RI. Sampai akhir 2012 belum dikeluarkan persetujuan dari Dewan Perwakiman Rakyat (DPR) sehingga belum ada penetapan WP. Akibatnya IUP juga tidak boleh diterbitkan. UU Minerba juga menyebutkan bahwa IUP batubara dan mineral logam hanya bisa diberikan melalui proses lelang terbuka yang mempertimbangkan aspek administrasi, teknis dan finansial.