• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

3. Pertambangan Tanpa Izin Batubara (PETI)

PETI adalah contoh kegiatan pertambangan yang tidak bertanggung jawab dan oleh karenya juga sangat tidak berkelanjutan. Kegiatan ini merugikan kepada pemerintah maupun pemerintah daerah karena tidak memberikan masukan penerimaan negara berupa pajak dan non-pajak. Merugikan kepada masyarakat setempat karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah dan ditinggalkan begitu saja. Muchlis (2008) menunjukan bahwa seluruh lahan peti memiliki status tidak berkelanjutan, banyak diantarnya yang masuk kategori sangat kritis dan terlantar. Sekalipun di Samarinda, seluruh IUP memiliki zizn dari pemerintah daerah setempat. Namun sejumlah IUP tidak melakukan kegiatan reklamasi yang diwajibkan.

PETI adalah kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh pelaku tambang yang umumnya pelaku tambang skala kecil yang dilakukan tanpa memiliki izin sehingga dalam prakteknya pelaku PETI amat merugikan dari sisi ekonomi, tidak ada kontribusi pada penerimaan negara atau daerah berupa pajak ataupun non- pajak, dari sisi sosial berpotensi menimbulkan konflik sosial dan amat meng- ganggu terhadap kelestarian lingkungan. Istilah PETI secara resmi terdapat dalam Inpres No. 3 tahun 2000 tentang Koordinasi Penanggulangan masalah PETI. Kegiatan PETI telah berlangsung lama. Khususnya setelah krisis ekonomi tahun1997-1998 semakin marak karena saat itu banyak penduduk yang kehilangan

pekerjaannya lalu sebagian beralih ke kegiatan PETI. PETI batubara terjadi di sejumlah lokasi terutama Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Di Sumatera Barat PETI batubara terjadi di sekitar Kota Sawah Lunto yang dikenal sebagai Kota tambang batubara tertua di Indonesia. Di Kalimantan Selatan, PETI batubara mulai berkembang tahun 1989 ketika KUD Bersama di Binuang dan Kabupaten Tapin menggali PETI pada wilayah tambang ex PT Chung Hua OMD, sebuah PKP2B yang tidak jadi beroperasi dan mengembalikan wilayahnya ke Pemerintah Republik Indonesia (RI) (Zulkarnaen et al., 2004). Perkembangan pada sekitar PETI telah berakumulasi menjadi masalah sosial, ekonomi, lingkungan dan hukum yang cukup komplek. Kerugian Negara dari sisi ekonomi adalah hilangnya potensi penerimaan negara dari batubara. Adapun gambaran kerusakan lingkungan akibat PETI dari waktu ke waktu adalah:

a. Kerusakan fisik tanah akibat kehilangan tanah pucuk penambangan yang tidak memenuhi kaidah yang benar. Semua PETI tidak ada yang melakukan reklamasi bekas lahan.

b. Munculnya bekas-bekas lubang tambang yang tidak ditutup kembali dan

ditinggalkan begitu saja yang berubah menjadi genangan air/danau dengan turbiditas dan keasaman tinggi (AAT).

c. Pada wilayah PETI dekat sungai telah menimbulkan tingginya sedimentasi, hilangnya daerah resapan air, penurunan muka air tanah, dan perubahan aliran air.

d. Rusaknya jalan negara/provinsi karena PETI tidak memiliki fasilitas jalan angkut sendiri dan menggunakan fasilitas jalan umum.

Qomariah (2003) melakukan penelitian di daerah eks PETI batubara di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Penelitian tersebut melihat perbedaan sifat fisik dan kimia tanah di lahan pascatambang dalam periode waktu 1, 4, 7, dan 10 tahun setelah penambangan dan membandingkan dengan sifat fisik dan kimia tanah asli dengan uji Duncan dan analisis regresi. Selain itu, juga menganalisis lahan pertanian/perkebunan yang terpengaruh buangan batubara pada jarak 250 meter (m), 500 m, 750 m, dan 1000 m. Ditemukan bahwa terjadi penurunan kualitas sifat dan kimia tanah di lahan pascatambang ex PETI dan lahan pertanian/perkebunan yang terpengaruh ex PETI berdasarkan jarak. Seiring waktu lahan pascatambang ex PETI tidak berkelanjutan bahkan pada tahun ke-10 semua jenis tanaman berpotensi sama sekali tidak bisa tumbuh, sedangkan pada lahan pertanian/perkebunan dekat dengan wilayah PETI juga terganggu pertumbuhannya.

Terdapat beberapa faktor mengapa PETI muncul, di antaranya faktor ekonomi (sulitnya lapangan pekerjaan/pengangguran, kemiskinan, dan lain lain), adanya dukungan oknum pemodal/penyandang dana, serta aspek masih lemahnya penerapan sanksi hukum bagi pelaku PETI. Usaha PETI dilakukan oleh orang- perorang yang bermodal dan mempunyai pengetahuan penambangan terbatas. Namun dalam perkembangannya juga didukung oleh pemodal besar yang memanfaatkan kesempatan. Pelaku PETI terdiri dari: penambang tradisional, penambang musiman dan kelompok (dengan alat mekanis dan produksi cukup besar).

Pada saat ini salah satu wilayah yang terkena dampak serius PETI batubara adalah di sekitar PT Arutmin Indonesia (PT AI). PT AI adalah perusahaan

tambang batubara yang melakukan kegiatan usahanya sejak tahun 1981 berdasarkan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi I No. J2/Ji.DU/45/81 dengan Pemerintah Republik Indonesia. Wilayah PKP2B PT Arutmin Indonesia dan wilayah yang dipertahankan seluas 70.153 ha yang tersebar di 19 lokasi (19 DU) di Kabupaten Kotabaru, Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan (Tabel 6).

Tabel 6 Kronologis Kegiatan PETI di wilayah PT Arutmin Indonesia, Kalimantan Selatan

Tahun Lokasi PETI Keterangan

1998 Tambang Senakin

1999 Tambang Satui, BatuLicin, Bangkalan 2002-2005 Tambang Asam-asam, Serongga,

Bunati, dan Kintap

PETI berhenti Total tahun 2005 selama setahun sejak ada penindakan tegas dari Aparat Kepolisian

2009- 2012

• Kab. Tanah Laut (29 Lokasi) Æ Tambang Asam-Asam (14 Lokasi)

Æ Tambang Kintap (15 Lokasi) • Kab. Tanah Laut & Tanah Bumbu

(26 Lokasi)

Æ Tambang Satui (21 Lokasi) Æ Tambang Batu Licin (5 Lokasi) • Kab. Kota Baru (18 Lokasi)

Æ Tambang Senakin (18 Lokasi)

PETI Mulai Marak kembali tahun 2009

Sumber : DJMB (2012)

Kegiatan PETI batubara di wilayah PT AI di antaranya melakukan penggalian tanah secara mekanis untuk mencari endapan batubara, melakukan penggalian batubara, mengangkut dan mengapalkan. Kegiatan tersebut berlangsung karena adanya kerja sama dengan pemilik lahan, memiliki IUP yang wilayahnya tumpang tindih dengan PT AI, atau PETI batubara yang menambang dengan dukungan tertentu baik dari pemodal luar ataupun dari oknum tertentu. Ada sejumlah model yang bisa digunakan untuk mengurangi kegiatan PETI mulai dari law enforcement sampai program kemitraan. Selain itu, yang dibutuhkan ke- depan adalah kerjasama dari berbagai pihak, seperti mengendalikan sisi supply

ataupun demand, sebab pada prinsipnya suplai PETI tidak akan bisa terjadi bila tidak ada pembeli yang datang mencari produk PETI. Pada dasarnya diperlukan komitmen yang lebih besar dari berbagai pihak terkait untuk menanggulanginya.

Pertambangan yang Baik dan Benar

Berdasarkan uraian sebelumnya telah dipahami tentang dampak lingkungan, ekonomi dan sosial dari kegiatan pertambangan batubara serta beberapa faktor penyebab yang menimbulkan permasalahan lingkungan dalam pelaksanaan kegiatan pertambangan. Dalam pembahasan berikut ini ditinjau tentang aspek kegiatan penambangan yang baik dan benar sehingga dampak negatif

pertambangan dapat dihindarkan atau dikurangi sekecil mungkin. Pertambangan yang baik dan benar atau dikenal dengan good mining practice secara umum dapat diartikan suatu praktek pertambangan yang telah mengikuti seluruh kaidah pertambangan secara holistik yang meliputi aspek penerapan teknis pertambangan yang tepat meliputi: eksplorasi untuk penetapan cadangan, kajian kelayakan, konstruksi, operasi penambangan, dan penutupan tambang (Suyartono, 2003). Selain peduli keselamatan kesehatan kerja (K3) dan lindungan lingkungan, penambangan yang baik dan benar juga harus menerapkan prinsip konservasi dan peningkatan nilai tambah serta mengakomodir keinginan dan partisipasi masyarakat, meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan masyarakat sekitar serta menciptakan pembangunan yang berlanjutan (Gambar 6).

Gambar 6 Paradigma pengelolaan pertambangan yang baik dan benar (Suyartono, 2003)