• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian tentang Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Batubara Li et al (2008) memberikan suatu ilustrasi tentang valuasi ekonomi pada

TINJAUAN PUSTAKA

2. Penelitian tentang Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Batubara Li et al (2008) memberikan suatu ilustrasi tentang valuasi ekonomi pada

distrik Mentagau, Beijing, China. Akibat tingginya urbanisasi dan industrialisasi, mengakibatkan eksploitasi sumberdaya batubara yang amat luar biasa sehingga membawa sejumlah dampak lingkungan kepada sekitarnya, seperti dampak terhadap kerusakan lingkungan, ekologi dan jasa-jasa lainnya. Dari hasil perhitungan yang dilakukan diperkirakan bahwa nilai manfaat langsung dari penambangan batubara di distrik Mentougau tersebut sekitar 0,8 miliar US$, sedangkan nilai kehilangan manfaat lingkungan yang diakibatkan oleh tambang batubara sebesar 2 miliar US$ termasuk biaya lahan yang dikuasai oleh limbah batubara, reklamasi, air dan tanah dalam 50 tahun terakhir. Studi ini menunjukkan bahwa sekalipun tambang tersebut memberikan nilai ekonomi, namun dampak yang ditimbulkannya ternyata lebih besar dari manfaatnya.

Degradasi lahan dan sumberdaya hutan di Indonesia sering pula terjadi sebagai akibat kebakaran hutan. Yunus (2005) melakukan penilaian ekonomi terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kebakaran hutan yang sering terjadi setiap tahun di Indonesia. Disebutkan bahwa salah satu penyebabnya adalah intervensi manusia dengan lingkungannya seperti konversi hutan dan lahan untuk perkebunan, perladangan, pertanian, pengusahaan hutan dan lain-lain. Kegiatan tersebut bersifat eksploitatif dan umumnya kurang memperhitungkan dampak kerugiannya terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Peneliti mengambil kasus kebakaran hutan yang terjadi di Kabupaten Sintang, Kalimantan Tengah. Peneliti memulai penelitian dengan melakukan identifikasi dan inventarisasi areal yang terbakar, pengukuran vegetasi dan pendugaan populasi satwa, serta melakukan survei terhadap responden penguna sumber daya.

Pada dasarnya peneliti ingin mengetahui hilangnya manfaat langsung dan tidak langsung dari hutan serta dampaknya terhadap penduduk maupun terhadap hubungan kerjasama dengan bangsa lain yang ikut terkena dampak. Jumlah kerugian ekonomi dihitung berdasarkan 4 kategori, yaitu:

1. Kerusakan sumberdaya hutan,

2. Kebakaran lahan tanaman perkebunan,

3. Biaya mitigasi pengendalian hutan dan lahan, 4. Pengaruh asap dari kebakaran tersebut.

Analisisnya dilakukan penilaian dari keempat kategori ini menurut komponennya. Secara taksonomi analisis data total nilai ekonomi kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan dibagi dalam beberapa bagian, yaitu:

1. Penilaian kerugian hilangnya manfaat sumberdaya hutan dan lahan yang

meliputi analisis nilai-kayu, kayu bakar, kayu pulp/log,

2. Penilaian kerugian sumberdaya hutan non-kayu yang meliputi analisis nilai kerugian flora dan fauna,

3. Metode penilaian manfaat hutan dan lahan sebagai pengendali erosi yang dimulai dengan menentukan laju erosi aktual sebelum dan setelah kebakaran hutan dan lahan, menghitung tingkat erosi per tahun, menghitung selisih kehilangan hara sebelum dan setelah kebakaran hutan dan lahan,

4. Metode penilaian kerugian hilangnya fungsi pengendali banjir dan penyedia air asumsi yang digunakan berdasarkan pendekatan aliran permukaan bahwa hilangnya vegetasi sebagai penutup tanah akan mengurangi kemampuan infiltrasi air kedalam tanah sehingga mengurangi fungsi hutan sebagai penyedia air dan pengendali banjir,

5. Metode penilaian kerugian akibat pelepasan karbon ke udara, yaitu dengan pendekatan jumlah kandungan karbon yang hilang akibat hilangnya tegakan pohon akibat kebakaran,

6. Metode penilaian kerugian keanekaragaman hayati dan habitat yang

dikategorikan sebagai hilangnya manfaat non-use value dan intangible,

digunakan metode nilai manfaat pilihan, warisan dan keberadaan keanekaragaman hayati dengan pendekatan kesedian membayar masyarakat

atau willingness to pay (WTP), biaya pengendalian kebakaran hutan

berdasarkan jumlah dana yang dikeluarkan perhektar,

8. Penilaian kerusakan tanaman perkebunan dan pertanian dengan pendekatan pasar dan biaya pengusahaan tanaman,

9. Penilaian dampak kerugian akibat asap termasuk dalam hal ini adalah dampak kepada kesehatan masyarakat, dampak penduduk yang tidak masuk bekerja, gangguan transportasi umum pada masyarakat, penurunan kunjungan wisatawan dan penghuni hotel, penilaian penurunan produktivitas tanaman pangan.

Irawan (2011) melakukan analisis atas hutan rakyat dan menyebutkan bahwa hutan rakyat memiliki jasa lingkungan, seperti: pengendali erosi tanah, pengatur siklus hidrologi, penyerapan emisi karbon, dll. Jasa tersebut selama ini dianggap sebagai barang publik dan gratis, sehingga sering tidak mendapat perhatian dampak eksternalitasnya. Berdasarkan dari data survei pada 117 petani di desa Temperejo, Kabupaten Wonosobo, Irawan menyatakan bahwa dengan analisis

WTA (willingness to pay) nilai penyerapan karbon hutan rakyat adalah

Rp.3.039,80 /batang/bulan, sehingga disimpulan bahwa proyek pembangunan hutan rakyat tidak menarik bila nilai kompensasinya kurang dari Rp. 2.500 /batang/bulan.

Sudirman (2011) melakukan penelitian untuk menentukan besarnya biaya kompensasi optimum atas dampak yang timbul dari kegiatan pertambangan batubara dihutan lindung. Berkurangnya ketersediaan SDA dan jasa lingkungan tersebut di alam akan terkait dengan nilai rente ekonomi (economic rent) atau unit rent dari SDA tersebut. Pendekatan rente ekonomi digunakan untuk menilai barang sumberdaya alam. Rente ekonomi adalah kelebihan nilai penerimaan atas

biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh output dan biaya guna memulihkan kondisi sumber daya alam dan lingkungan, tidak termasuk pajak retribusi dan pungutan-pungutan lainnya oleh pemerintah serta dikurangi dengan hasil investasi normal.

Sudirman (2011) mengelompokkan variabel penelitian ke dalam beberapa kelompok, yaitu:

a. Variabel nilai deplesi yang terdiri dari nilai deplesi batubara dan nilai deplesi hutan;

b. Variabel valuasi ekonomi hutan lindung yang terdiri dari:

(b) nilai guna untuk kegiatan ekstraksi hutan baik langsung berupa hasil kayu maupun tidak langsung berupa fungsi hutan untk keanekaragaman hayati, serapan karbon, penyedia air, pencegah banjir, pencegah erosi, dan lain lain,

(c) nilai pilihan yaitu opsi penggunaan fungsi hutan menjadi fungsi non-hutan, (d) nilai non guna yaitu nilai warisan pada generasi mendatang,

(e) nilai keberadaan yaitu fungsi untuk mahluk hidup yang lain termasuk potensi untuk kegiatan penelitian;

c. Valuasi ekonomi daerah aliran sungai (DAS) dari pesisir yaitu identifikasi jenis tutupan lahan DAS dan sumberdaya pesisir yang terkena dampak; d. Variabel ekonomi nilai ekonomi total berdasarkan nilai ekonomi manfaat

tambang dan nilai ekonomi total kawasan hutan lindung;

e. Variabel potensi cadangan batubara yaitu jenis cadangan yang bisa ditambang, tingkat produksi dan penurunan produksi per satuan waktu.

Valuasi ekonomi kegiatan pertambangan batubara dalam penelitian di atas dilakukan dengan asumsi pertambangan dilakukan dengan sistem pertambangan terbuka yang dapat memberikan dampak negatif pada hutan khususnya pada wilayah perusahaan yang diasumsikan mulai bekerja tahun 2009 sampai dengan 2020. Nilai ekonomi produksi batubara didapat dengan mengalikan jumlah produksi batubara dengan harga batubara. Nilai kerugian batubara dilakukan terhadap penghitungan deplesi batubara, deplesi kayu, hilangnya tutupan hutan lindung dan dampak kegiatan pertambangan pada batas ekologis. Nilai deplesi batubara dihitung dengan menentukan rente ekonomi. Nilai rente tersebut secara teori didapat dari pengurangan harga pasar dengan biaya produksi per unit sehingga didapat laba kotor, laba kotor dikurangi dengan nilai laba per unit yang layak diterima perusahaan, yaitu setinggi tingkat bunga yang berlaku. Dalam hal ini Sudirman (2011) menggunakan nilai unit rent sebesar 23,73% dari harga pasar batubara sesuai dengan hasil dari Biro Pusat Statistik tahun 2001 untuk laporan sistem terintegrasi neraca ekonomi dan lingkungan.

Sudirman (2011) berasumsi bahwa pertumbuhan tanaman revegetasi akan membutuhkan waktu 35 tahun untuk menjadi hutan kembali untuk hutan lindung, maka penghitungan yang dilakukan adalah dengan asumsi tersebut sehingga diperoleh kerugian neto hutan akibat penambangan sebesar Rp. 321,9 miliyar pada kawasan seluas 2692 ha di kawasan lindung. Kerugian ini terus naik dari tahun 2009 sampai 2018, lalu menurun sampai tahun 2057 karena nilai ekonomi revegetasi sudah mulai muncul sejak tahun 2018 dan tahun 2057 hutan sudah pulih kembali. Nilai manfaat fungsi hutan sebagai pengendali banjir telah dilakukan oleh Torras (1997) terhadap hutan Amazon di Brazil. Fungsi hutan

sebagai pengendali erosi di hutan Amazon Brasil dilakukan dengan cara mengalikan luasan hutan yang dibuka dengan fungsi penahan banjir.

Hasil penelitian Sudirman (2011) tentang optimasi biaya kompensasi kerusakan lingkungan pertambangan batubara khususnya di hutan lindung, menunjukkan bahwa kekurangan pembangunan ekonomi adalah kurang memperhatikan nilai manfaat intrinsik sumberdaya alam maupun beban masyarakat akibat eksploitasi sumberdaya alam. Padahal eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari eksploitasi tersebut sering menjadi tanggungan masyarakat sendiri tanpa adanya kompensasi. Pada gilirannya di masa yang akan datang terjadi penurunan kualitas kehidupandan lingkungan yang menunjukkan suatu titik ketidak berhasilan pembangunan yang berkelanjutan. Berdasarkan hal ini peneliti ingin mengetahui biaya eksternalitas negatif sebagai dasar kompensasi optimum yang bisa dikenakan dalam kegiatan eksploitasi pertambangan batubara. Penelitian dilakukan khususnya di wilayah PT Indominco Mandiri sebagai pelaku PKP2B generasi pertama.