• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kartanegara. Bahkan PT Multi Harapan Utama seluruh kegiatannya di Kabupaten Kartanegara. Di samping itu terdapat 62 buah perusahaan pertambangan batubara skala kecil pemegang IUP (IUP) yang diterbitkan oleh Pemerintah Kota Samarinda (Gambar 20).

Gambar 20 menunjukkan peta wilayah kerja PKP2B dan sebagian IUP batubara di Kota Samarinda dan sekitarnya. Sekitar 70% dari wilayah administrasi Kota Samarinda tertutup oleh wilayah kerja perusahaan pertambangan batubara.

PT IBP adalah perusahaan pemegang perjanjian PKP2B Generasi ke 3, dengan wilayah kerja di Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara. PT IBP mempunyai tiga lokasi wilayah kerja, yaitu di Simpang Pasir, Tani Bakti, dan KW 99PBO292, dengan total seluas 24,47 ribu ha. PT IBP mempunyai tenaga kerja sebanyak 1683 orang, dengan produksi pada tahun 2012 sebesar 5,7 juta ton.

PT LHI adalah perusahaan pemegang perjanjian PKP2B Generasi ke 3, dengan wilayah kerja di Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara. PT LHI mempunyai dua wilayah kerja dengan luas total 21,27 ribu ha. PT LHI mempunyai tenaga kerja sebanyak 1019 orang, dengan produksi pada tahun 2014 sebesar 3 juta ton batubara.

PT MSJ adalah perusahaan pemegang perjanjian PKP2B Generasi ke 3, dengan wilayah kerja di Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara. PT MSJ mempunyai wilayah kerja seluas 20,38 ribu ha. PT MSJ mempunyai tenaga kerja sebanyak 2452 orang, dengan produksi pada tahun 2014 sebesar 10 juta ton batubara.

PT MHU adalah perusahaan pemegang kontrak PKP2B Generasi ke 1, dengan wilayah kerja di Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara. PT MHU mempunyai wilayah kerja seluas 46 ribu ha. PT MHU mempunyai tenaga kerja sebanyak 1422 orang, dengan produksi pada tahun 2014 sebesar 1,5 juta ton batubara.

Jumlah produksi batubara tahun 2012 dari Kota Samarinda dan sekitarnya 20 juta ton. Kota Samarinda juga menjadi jalur utama pengangkutan batubara dari seluruh pedalaman Kalimantan Timur. Kegiatan pertambangan terbuka yang tidak menjalankan prinsip penambangan yang baik dan benar berpotensi membuat kerusakan lingkungan, baik darat, sungai maupun laut. Dengan manajemen lingkungan yang buruk, kerusakan itu dapat memberikan dampak untuk beberapa puluh tahun ke depan bahkan dapat bersifat permanen. Kota Samarinda dengan banyak pertambangan batubara yang beroperasi diwilayahnya akan selalu berhadapan dengan permasalahan lingkungan, ekonomi dan sosial.

Dalam setiap kegiatan penambangan batubara diwajibkan dilengkapi dengan AMDAL, Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), dan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL); tetapi pada kenyataannya terdapat banyak lubang-lubang bekas tambang batubara yang tidak direklamasi di Kota Samarinda, yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan hidup.

Jumlah perusahaan tambang batubara di Kota Samarinda yang melakukan reklamasi pascatambang diperkirakan hanya sekitar 20% dari IUP yang ada. Perusahaan pemegang PKP2B, pengelolaan lingkungannya umumnya lebih baik.

Sumber: DJMB (2013)

Kota Tambang di Indonesia

Indonesia memiliki sejumlah kota tambang, mulai dari yang tertua Kota Sawahlunto di Sumatera Barat, sampai ke Kota Tembagapura di Kabupaten Timika dan Kota Sangatta di Kalimantan Timur. Kota Sawahlunto berkembang dan pernah mencapai masa kejayaannya pada beberapa dekade sebelumnya. Sejak sekitar dua dekade lalu, seiring dengan menipisnya cadangan batubara di kota tersebut, mulai dipikirkan pola transformasi kota yang berkelanjutan dengan visi “menjadi Kota wisata tambang yang berbudaya”, sejumlah peninggalan tambang, museum, artefak, dan lain lain akan menjadi andalan dalam pengembangannya (Martokusumo, 2007). Kota Tembagapura di Kabupaten Timika tumbuh seiring dengan pengembangan PT Freeport Indonesia, suatu tambang tembaga terbesar di Indonesia. Kota Sangatta yang terutama tumbuh dan menjadi sangat populer karena menjadi Kota terbesar penghasil batu-bara dengan kualitas prima dibawah bendera PT. Kaltim Prima Coal, yang merupakan salah satu tambang batubara terbesar di Indonesia. Sangatta berjarak sekitar 1 jam dari Kota Bontang dan berada di sebelah utara propinsi Kalimantan Timur. Beberapa persyaratan lingkungan yang harus dipenuhi apabila suatu daerah apalagi dekat kota akan ditinggalkan setelah sumberdaya mineral habis ditambang, agar tercapai tujuan dari perencanaan penutupan tambang, adalah kestabilan fisik, kestabilan kimia, dan kestabilan ekologi, termasuk dalamnya adalah perlindungan keanekaragaman hayati.

Agustina (2007), menyebutkan indikator berkelanjutan untuk suatu kota dari sisi aspek ekonomi adalah pengelolaan sektor informal agar mandiri dan sinergis dengan sektor formal, aspek seperti pelestarian nilai-nilai dan budaya, serta khususnya aspek lingkungan. Dalam aspek lingkungan ini adalah konservasi sumberdaya termasuk pengendalian penggunaan sumberdaya alam yang tidak terbaharui serta lebih menggunakan bahan-bahan yang bisa diperbaharui, pencegahan dan penanggulagan emisi akibat pembangunan kota, penyediaan prasarana lingkungan dan pertimbangan lingkungan perumahan. Pemerintah kota dan/atau pemerintah kabupaten yang wilayahnya berbatasan langsung dapat membentuk lembaga bersama untuk mengelola kawasan kota baru. pemerintah daerah perlu mengikutsertakan masyarakat dan pihak swasta sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kota. Upaya yang dilakukan adalah dengan berperan dalam penyediaan prasarana jalan dan utilitas umum (air bersih, listrik, komunikasi, gas, drainase dan sanitasi lingkungan).

Penataan Ruang Kota Samarinda dan Sekitarnya

Berdasarkan Undang-undang Penataan Ruang No. 26 tahun 2007, disebutkan bahwa luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) disuatu wilayah perkotaan sebesar 30% , yang bermakna bahwa lahan yang boleh dibangun (pondasi) adalah sebesar 70%. Hal ini disebut sebagai Koefisien Dasar Bangunan (KDB). Implementasi ketetapan tersebut ternyata banyak mengalami kendala terutama di wilayah perkotaan seperti di Samarinda. Atas dasar itu Waryono (2009) mengusulkan adanya suatu indeks Intensitas Penataan Ruang (IPR) dalam penataan ruang yang ramah lingkungan. Terhadap nilai Indeks IPR di bawah ambang batas KDB, maka implementasi tata ruang bangunan menggunakan

tetapan 70% bangunan dan 30% RTH. Terhadap nilai Indeks IPR setara atau mendekati dengan ambang batas KDB, maka implementasi tata ruang bangunan harus dirancang ke arah vertikal, sedangkan terhadap nilai Indeks IPR di atas ambang batas KDB, maka diperlukan relokasi bangunan dalam arti bangunan harus dipindahkan ke lokasi lain, hingga minimal mendekati tetapan ambang batas aman. Waryono (2009) juga mengusulkan Kota Samarinda seyogianya tetap dipertahankan sebagai Kota tua yang memiliki karakteristik Kota dagang, Kota khatulistiwa dan perairan sungai.

Bangunan spesifik yang melambangkan ciri khas/jati diri, dipertahankan keberadaannya. Pengembangan wilayah akan mengarah ke utara, dan arah barat. Pengembangan ke arah utara dipusatkan di Muara Badak, sebagai Kota baru dan merupakan pusat pemerintahan. Muara Badak saat ini masih menjadi wilayah tambang batubara. Pengembangan ke arah Barat, alokasinya menyusur Mahakam ke arah hulu. Dari kajian terhadap perubahan lahan berdasarkan penginderaan jauh di Kota Samarinda, terdeteksi tentang perubahan alih fungsi lahan antara tahun 2001-2009 (Tabel 17). Tahun 2001 luas tambang batubara PKP2B maupun KP di Samarinda dan sekitarnya adalah 6.256 ha, pada tahun 2009 jumlah ini meningkat menjadi 17.221 ha, atau meningkat sebesar 275%. Pemukiman hanya bertambah dari 19.197 ha menjadi 20.284 ha.

Tabel 17 Luasan landuse/landcover Kota Samarinda dan sekitarnya Tahun 2001 dan 2009*

* Berdasarkan interpretasi Citra landsat Kota Samarinda dan Sekitarnya Sumber: Susantoro (2010)

 

Pada Tabel 14 sebelumnya diketahui luas kota adalah 71.800 ha. Luasan hutan kota Samarinda masih belum memadai dari luas kota tersebut. Berdasarkan SK Walikota Samarinda Nomor 178/HK-KS/2005 luas hutan kota seluruhnya adalah 633,07 Ha atau hanya 0,88% dari luas kota. Dalam PP No 63/2002 tentang Hutan Kota dan Permenhut No 63 tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kota, disebutkan bahwa sedikitnya luas hutan kota adalah 10% dari luas kota. Berdasarkan penelitian sebelumnya (Prabaneni, 2013; Wahyuni dan Samsoedin, 2011) kebijakan hutan kota krusial pada saat ini dan ke depan, di antaranya dengan penerbitan peraturan daerah tentang ruang terbuka hijau dan hutan kota.

2001 % 2009 % 1 Hutan 253.800,05 67,48 244.535,59 65,02 -9.264.46 2 Hutan rawa 7.327,65 1,95 20.772,91 5,52 13.445,26 3 Kebun/ladang 39.513,44 10,51 26.092,81 6,94 -13.420,63 4 Perkebunan 7.599,58 2,02 24.549,88 6,53 16.950,30 5 Pemukiman 19.197,88 5,10 20.284,79 5,39 1.086,92 6 Rawa 9.077,21 2,41 789,93 0,21 -8.293,28 7 Sawah 2.579,06 0,69 1.508,37 0,40 -1.070,68 8 Semak belukar 18.127,43 4,82 7.913,36 2,10 -10.214,07 9 Sungai 8.237,68 2,19 8.237,68 2,19 0 10 Tambang batubara 6.256,82 1,66 17.221,68 4,58 10.964,86 11 Tanah terbuka 3.833,62 1,02 3.137,32 0,83 -696,3 12 Tubuh air 524,69 0,14 888,78 0,24 364,09 13 Airport 13,35 0,00 13,35 0,00 0 14 Fasilitas olahraga - 147,99 0,04 147,99 Luas Keseluruhan 376.088,44 100,00 376.088,44 100,00 -

No. Landuse/Landcover Luas (ha) Perubahan Luas

Prioritas utama dalam perencanaan tata ruang adalah melindungi ekosistem dan ekologi dalam rangka memenuhi kebutuhan publik.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Samarinda Tahun 2014-2034, Kawasan peruntukan pertambangan adalah kawasan yang diperuntukan bagi pertambangan, baik wilayah yang sedang maupun yang akan segera dilakukan kegiatan pertambangan. Pada pasal 47 butir 5b, kawasan pertambangan kelompok batubara yang dikelompokkan menjadi:

a. batubara yang ijinnya dikeluarkan oleh Kementerian ESDM terletak di

Kecamatan Sambutan, Kecamatan Sungai Pinang, Kecamatan Samarinda Utara, Kecamatan Samarinda Ulu, Kecamatan Sungai Kunjang, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kecamatan Samarinda Seberang, Kecamatan Palaran dan Kecamatan Samarinda Ilir; dan

b. batu bara yang ijinnya dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Samarinda.

Untuk masa mendatang, perlu ada program terkait dengan aspek lokasi maupun pembinaan dan pengawasan yang diindikasikan dengan program perwujudan kawasan peruntukan pertambangan di Kota Samarinda seperti paada pasal 57 butir 10, meliputi:

a. program peremajaan/revitalisasi lokasi pertambangan yang telah dilakukan; b. program peningkatan koordinasi pengawasan dan pengendalian pertambangan

di sekitar DAS Mahakam, pada lahan-lahan kritis dan/atau kawasan rawan bencana.

Pasal 79 terdapat ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 huruf i, meliputi:

a. pengawasan dan pengendalian secara ketat pada kegiatan pengusahaan

pertambangan agar tidak mengganggu fungsi lindung dan fungsi-fungsi kawasan lainnya dengan memperhatikan prinsip-prinsip teknik penambangan, kapasitas yang diperkenankan, kelestarian lingkungan, keselamatan dan keberlanjutan;

b. pemberian prioritas bagi penambang lokal yang menggunakan peralatan

manual;

c. pemantauan peningkatan pendidikan, kesejahteraan dan taraf hidup

masyarakat sekitar kawasan pertambangan;

d. pengawasan, pembatasan dan pengendalian pertambangan di sekitar DAS

Mahakam dan sungai-sungai lainnya; dan

e. pengembalian pada fungsi semula/fungsi lain yang telah ditetapkan pada kawasan bekas pertambangan dengan segera.

Prioritas pengembangan kota adalah yang termasuk peruntukan kawasan strategis yaitu suatu kawasan yang memiliki pengaruh sangat penting dalam lingkup kota terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. Kawasan strategis kota (KSK) tersebut, disebutkan pada pasal 49. Beberapa KSK adalah: kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi, di Kecamatan Palaran, Samarinda dan Sambutan; kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya, di Kecamatan Samarinda Utara dan Samarinda Seberang; kawasan strategis dari sudut kepentingan lingkungan, di Kecamatan Samarinda Utara dan sepanjang sungai Kota Samarinda.