• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Pertambangan Batubara pada Dimensi Ekonomi dan Sosial Pertambangan batubara akan menimbulkan ketersediaan fasilitas sosial dan

TINJAUAN PUSTAKA

2. Dampak Pertambangan Batubara pada Dimensi Ekonomi dan Sosial Pertambangan batubara akan menimbulkan ketersediaan fasilitas sosial dan

umum, kesempatan kerja dan potensi peningkatan pendapatan masyarakat. Raden

et al. (2010) menyebutkan bahwa keberadaan tambang batubara di Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara telah mengubah struktur pendapatan penduduk di sekitar pertambangan. Sebelum adanya tambang batubara penduduk dengan penghasilan Rp 1 juta/bulan s/d Rp 2 juta/bulan adalah mayoritas sebesar 57,14%, diikuti dengan penduduk dengan penghasil Rp 0,5 juta/bulan s/d Rp 1 juta/bulan sebesar 16,07% dan penduduk dengan pengasilan Rp 2 juta/bulan s/d Rp 3 juta/bulan sebesar sebesar 14,28%. Setelah adanya pertambangan struktur pendapatan ini berubah, yaitu penduduk dengan pendapatan Rp 1 juta/bulan s/d Rp 2 juta/bulan sebesar 35,62%, diikuti dengan penduduk dengan pendapatan sebesar Rp 2 juta/bulan s/d Rp 3 juta/bulan sebesar 33,35% dan penduduk dengan pendapatan sebesar Rp 3 juta/bulan s/d Rp 4 juta/bulan sebesar 11,87%. Terjadinya penerimaan pendapatan penduduk ini di antaranya akibat oleh adanya penerimaan tenaga kerja lokal oleh pertambangan batubara tersebut.

Menurut Soelarno (2007) kegiatan pertambangan memberikan dampak positif berupa manfaat ke sebuah negara dalam berbagai bidang kehidupan sosial dan ekonominya, antara lain: sebagai sumber penerimaan negara dan umumnya berupa penghasil devisa; penghasil bahan baku industri; pembangunan prasarana; serta sarana sosio-ekonomi, penyedia lapangan kerja, pendorong tumbuhnya industri penunjang; industri samping dan hulu, motor penggerak pembangunan daerah, pendorong tumbuhnya efek ganda yang bermanfaat bagi masyarakat luas, khususnya masyarakat di sekitar lokasi pertambangan. Hasil penelitian LPEM FEUI (2004) menemukan hal yang sama yaitu adanya efek ganda yang ditimbulkan beberapa pertambangan di Indonesia seperti PT Kaltim Prima Coal di Kabupaten Sangatta-Kalimantan Timur, PT INCO tbk (sekarang menjadi PT Vale Indonesia Tbk, pen) di Kabupaten Sorowako-Sulawesi Tenggara, dan PT Freeport Indonesia di Kabupaten Timika-Papua (Tabel 5).

Tabel 5 Efek ganda pertambangan

Efek Ganda Unit KPC-Kaltim PTFI-Papua PTI-Sulsel

Tenaga kerja orang 6,27 37,5 39

Income Rp juta 1,551 1,6 1,79

Output total Rp miliar 1,878 1,6 1,42

Keterangan: KPC-Kaltim: PT Kaltim Primacoal di Kalimantan Timur; PTFI-Papua: PT Freeport Indonesia di Papua; PTI-Sulsel: PT Inco di Sulawesi Selatan

Sumber LPEM-FEUI (2002)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa setiap tenaga kerja di KPC, PTFI dan PTI sebesar 1 orang akan menimbulkan munculnya tenaga kerja baru sebanyak 6,27 orang di Kalimantan Timur; 37,5 orang di Papua dan 39 orang di Sulawesi Selatan. Setiap RP 1 juta gaji yang diterima oleh satu orang karyawan KPC, PTFI dan PTI akan memicu terciptanya penghasilan penghasilan bagi seluruh pekerja di Kalimantan Timur sebanyak Rp 1,551 juta ; di Papua sebanyak Rp 1,6 juta dan Rp 1,78 juta di Sulawesi Selatan. Setiap nilai ekspor sebesar Rp 1 miliar, akan

berdampak pada pembentukan output perekonomian sebesar Rp 1,878 miliar di Kalimantan Timur, sebesar Rp 1,6 miliar di Papua dan sebesar Rp 1,42 di Sulawesi Selatan.

Secara nasional batubara memberikan kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi yang berkaitan dengan penerimaan negara, investasi, peningkatan nilai tambah, neraca perdagangan, ketenagakerjaan dan pemberdayaan masyarakat. Dalam 10 tahun terakhir, produksi naik 3 kali dari 130 juta ton tahun 2004 menjadi 421 juta ton tahun 2013. Penerimaan negara pajak dan bukan pajak dari mineral dan batubara naik 15 kali, dari Rp. 8.97 triliun tahun 2004 menjadi Rp 140,4 triliun tahun 2013 (Gambar 3). Dari jumlah tersebut kontribusi batubara umumnya adalah sekitar 85% dari keseluruhan (DJMB, 2014).

Gambar 3 Penerimaan negara bukan pajak batubara nasional Dampak positif yang ditunjukkan oleh bidang ekonomi di atas, berbanding terbalik dengan dampak pada bidang sosial. Di Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, sebelum ada tambang batubara tidak pernah terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan, setelah adanya pertambangan terjadi peningkatan konflik menjadi 2-5 kali setahun.

Analisis Sistem Dinamik untuk Pertambangan

Tahun 1972 diterbitkan laporan Limits to Growth oleh Dennis Meadows

sebagai bagian dari Club of Rome. Laporan tersebut menjelaskan tentang model sumberdaya alam yang terbatas dabn dapat diketahui pada saat itu. Berdasarkan model pada laporan tersebut, sistem global akan runtuh dalam jangka waktu 100 tahun ke depan akibat dari peningkatan kebutuhan pangan, energi dan pertumbuhan manusia. Satu hal penting dalam konsep model Meadows adalah

kehadiran konsep kilas balis (feedback). Konsep ini dikembangkan dengan

menggunakan sistem dinamik yang pertama kali dikembangkan oleh J Forrester

pada akhir tahun 1950. Model dinamik dalam Limit to Growth menunjukkan

pertumbuhan ekonomi global yang dengan parameter eksploitasi berlebihan dapat berdampak pada lingkungan dan eksistensi sumberdaya alam (Dacko, 2010).

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 PNBP (triliun Rp) 2,57 4,84 6,66 8,69 12,5 15,32 18,77 24,24 24 28,48 Pajak (triliun Rp) 6,4 12,8 23,2 29,3 35,4 36,1 48,3 83 97,1 112 Total (triliun Rp) 8,97 17,64 29,86 37,99 47,9 51,42 67,07 107,2 121,1 140,4 Produksi (juta ton) 130 152 193 217 240 254 275 353 407 421

0 75 150 225 300 375 450 0 30 60 90 120 150 180 T r il iu n R upi a h J u ta ton

Beck et al. (1996) mengatakan bahwa kompleksitas yang dihadapi dalam persoalan lingkungan membutuhkan solusi dalam cara analisisnya. Pendekatan pemodelan menggunakan sistem komputer amat membantu memecahkan masalah yang komplek tersebut, termasuk dalam model perubahan dalam sistem lingkungan. Pemodelan merupakan langkah pendekatan atau replikasi dari suatu desain besarnya. Tantangan terbesar dalam pemodelan perubahan dalam sistem lingkungan adalah bahwa mekanisme yang akan mendominasi perilaku sesuatu di masa depan adalah terletak pada kekuatan tidak hanya model itu sendiri tetapi hasil observasi lapangan yang digunakan. Terdapat tiga sasaran dalam pembentukan suatu model, yaitu:

a. Meramalkan perilaku masa depan dalam berbagai bentuk tindakan , seperti dalam suatu upaya membentuk sebuah keputusan

b. Mengindentifikasi mekanisme perilaku konstituen yang penting pada suatu generasi yang memberikan bentuk perilaku generasi mendatang tetapi tidak cukup aman dengan cara teoritis atau basis empirik, seperti mendisain pengumpulan sejumlah observasi

c. Rekonsiliasi dari perilaku masa lalu melalui sejumlah konsep yang melekat pada model, seperti modifikasi teori dan menjelaskan mengapa suatu input

gangguan tertentu bisa meningkatkan respon pada output tertentu.

Dalam konsep dasar sistem dinamis, terdapat empat bagian yang penting, yaitu:

1. Sistem dan pendekatan sistem; 2. Struktur dan perilaku sistem; 3. Perilaku dinamis dan pola dasar;

4. Simulasi sistem dan memahami perilaku model.

Bagian Pertama, Marimin dan Maghfiroh (2010) menyatakan bahwa

sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan secara teratur dan berusaha mencapai tujuan dalam lingkungan yang kompleks. Pengertian tersebut mencakup beberapa hal, terutama mencerminkan adanya hubungan dari tiap bagian atau sub-bagian, saling hubungan tersebut bekerjasama secara teratur untuk mencapai tujuan. Pendekatan sistem digunakan dalam pemecahan masalah dengan titik tolak ciri-ciri sistem. Melalui pendekatan sistem dapat diketahui perilaku sesuatu yang sedang diamati sehingga pada akhirnya diharapkan adanya pemahaman yang utuh terhadap persoalan yang sedang dihadapi dan akhirnya dapat dicari cara penyelesaian persoalan dengan pendekatan sistem tersebut. Berdasarkan pemahaman pendekatan sistem tersebut terdapat lima langkah dalam membangun model yang bersifat sistemik, yaitu: 1. Identifikasi proses menghasilkan kejadian nyata;

2. Identifikasi kejadian yang diinginkan;

3. Identifikasi kesenjangan antara kenyataan dan keinginan; 4. Identifikasi dinamika menutup kesenjangan;

5. Analisis kebijakan (Muhammadi et al., 2001).

Bagian Kedua, dalam struktur dan pemahaman mengenai perilaku sistem, struktur memberi bentuk dan ciri yang mempengaruhi sistem. Pada struktur sistem dinamis terdapat pola simpal umpan balik. Struktur adalah untuk menyederhanakan mekanisme sistem yang rumit sehingga bisa dipahami masukan, proses, keluaran dan umpan baliknya.

Bagian Ketiga, penyederhanaan kompleksitas melalui struktur dikembangkan dengan pola struktur dinamis. Pola struktur dinamis tersebut masing-masing memiliki perbedaan pola perilaku. Pola inilah yang menjadi titik awal dalam membangun struktur dinamis yang lebih rinci.

Bagian Keempat, dalam simulasi model dimaksudkan sebagai peniruan

perilaku suatu gejala atau proses. Tujuannya untuk memahami gejala tersebut serta membuat suatu analisis dan peramalan perilaku di masa depan. Adapun tahapan untuk simulasi model adalah:

a. Penyusunan konsep, yaitu untuk memahami gejala yang perlu ditiru dalam model dengan menentukan unsur-unsur yang berperan;

b. Pembuatan model, yaitu model dirumuskan dalam uraian, gambar atau rumus sebagai tiruan dari gejala atau prosesnya dan dapat dikelompokkan menjadi model kualitatif dan ikonik;

c. Simulasi,yaitu menggunakan model yang disusun dengan memasukan data

atau informasi yang dikumpulkan;

d. Validasi hasil simulasi, yaitu untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses nyata yang ditirukannya. Model yang baik adalah yang tingkat kesalahannya cukup kecil atau dalam batas yang bisa ditoleransi. Berdasarkan simulasi inilah dipelajari kecenderungan yang akan terjadi di masa depan.

Tinjauan Penyebab Kerusakan Lingkungan dari Pertambangan Batubara

Pertambangan batubara dengan pola tambang terbuka menimbulkan beberapa potensi permasalahan lingkungan, seperti: kerusakan lahan dan tanah, kesulitan revegetasi akibat kurangnya bahan organik, pencemaran air sungai dan pencemaran udara akibat emisi debu. Pada dasarnya terdapat sejumlah penyebab dari sisi praktek kebijakan dan penambangan yang berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan pertambangan (Sitorus, 2012), yaitu: