• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Keberlanjutan Dimensi Hukum

Indeks keberlanjutan dimensi hukum 42,82%, lebih rendah dari indeks keberlanjutan dimensi lainnya dan masuk dalam kategori kurang berkelanjutan (Gambar 27). Leverage of Attributes 0.975 0.590 0.431 0.385 1.446 1.019 1.036 1.015 1.023 0.810 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6

Tingkat penyerapan tenaga kerja Kesehatan masyarakat sekitar tambang Frekuensi konflik kesenjangan Hubungan masyarakat sekitar tambang dengan pelaku industri

pertambangan

Pemberdayaan masyarakat selama kegiayan pertambangan Pengaruh tambang dan pascatambang thdp nilai sosail budaya

masyarakat

Pengaruh thdp peningkatan pendidikan Kesadaran masyarakat utk perbaikan lingkungan Persepsi masyarakat thdp keberadaan tambang Tingkat keseriusan dan kepedulian masyarakat utk menghadapi

masalah sosial akibat keberadaan tambang

At

tr

ib

u

te

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Remove (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 27 Indeks keberlanjutan dimensi hukum

Terdapat 12 atribut dalam penetapan analisis keberlanjutan dimensi hukum sebagaimana berikut ini:

1) Ketersediaan aturan perundangan untuk melestarikan lingkungan

Secara formal sebenarnya aturan tentang perundangan dan aturan tentang perundangan sudah lengkap. Mulai dari keberadaan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ataupun perundangan lainnya yang terkait dan mendukung UU tersebut, termasuk UU No. 4/2009 yang isinya cukup banyak yang menyinggung tentang urgensi lingkungan hidup. Dalam dunia pertambangan sendiri aturan yang mengatur tentang upaya melestarikan lingkungan hidup cukup lengkap, mulai dari kewajiban menyusun AMDAL, PP 78/2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara, termasuk aturan tentang aspek pembinaan dan pengawasan yang harus dilakukan pemerintah. Secara formal, upaya perbaikan dan pelestarian lingkungan dalam pertambangan adalah hal pokok namun dalam implementasinya masih tergantung para pihak untuk secara baik dan benar melaksanakan seluruh kewajiban pelestarian lingkungan.

2) Kepatuhan dalam memenuhi aturan K3 dan lingkungan hidup

Salah satu hal yang pokok dalam pertambangan adalah memenuhi aturan K3 dan lingkungan hidup sebagai suatu cara untuk menyatakan tanggung jawab. Kegiatan pertambangan dan setiap orang yang bekerja di pertambangan memiliki resiko keselamatan dan kesehatan kerja yang lebih tinggi dibanding beberapa kegiatan lainnya seperi pertanian, peternakan, perkebunan. Maka perusahan tambang harus memiliki komitmen untuk memiliki target “zero accident and no fatality” dalam setiap kegiatannya. Bentuk komitmen dan kepatuhan tersebut tercerminkan dari keberadaan seluruh perizinan dan dokumen terkait K3 dan lingkungan hidup, rencana

Indeks Keberlanjutan Dimensi Hukum

    42.68 DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120 O the r D is ti ngi s hi ng Fe a tur e s

pelaksanaannya yang disetujui oleh pemerintah dan tahapan implementasinya yang juga dipantau bersama oleh para pihak.

3) Penyuluhan hukum dan impelementasi tata ruang dan lingkungan

Pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada para pihak yang terkait tentang urgensi dari hukum- hukum yang ada di pertambangan, tata ruang dan lingkungan terkait dengan setiap kegiatan pertambangan. Pada implementasi tata ruang juga perlu ada sinkronisasi antar para pihak termasuk kebutuhan pertambangan, perkebunan, kehutanan, transmigrasi, dll.

4) Penegakan hukum terhadap pelanggaran aspek lingkungan

Setiap pemegang ijin telah memiliki kewajiban untuk melakukan pemeliharaan dan perlindungan lingkungan pada wilayah kerja pertambangannya. Kewajiban tersebut meliputi pemeliharaan lingkungan sebelum, selama, dan sesudah penambangan selesai dilakukan sesuai prinsip pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam prakteknya pelanggaran oleh pemegang ijin masih sering terjadi, khususnya oleh para pemegang ijin skala kecil dan tambang liar. Dalam hal ini penegakan hukum telah menjadi kewenangan aparat penegak hukum untuk dilakukan tindakan sesuai aturan yang berlaku.

5) Konflik dengan pemegang izin lainnya (kehutanan, perkebunan)

Setiap ada konflik terkait dengan implementasi tata ruang perlu ada solusi dan pemecahan para pihak yang sejalan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pada dasarnya posisi potensi kekayaan mineral dan batubara yang berada di bawah tanah berpotensi untuk terjadi tumpang tindih dengan jenis peruntukan penggunaan ruang di permukaan. Dalam hal tumpang tindih dengan kehutanan, telah terdapat mekanisme yang jelas. Perusahan tambang perlu memiliki IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) dalam operasi penambangannya apabila operasinya dilakukan di wilayah hutan produksi atau hutan lindung. Sedangkan pada hutan konservasi adalah wilayah yang dilarang dilakukan pertambangan. Untuk kegiatan pertambangan yang tumpang tindih dengan pemilik perkebunan, pertanian dan lain sebagianya perlu ada kesepakatan antara para pihak yang terkait. Konflik dapat terjadi apabila pertambangan dilakukan tanpa mengindahkan hal-hal tersebut.

6) Konflik dengan pemegang ijin tambang lainnya

Salah satu hal yang mengemuka ketika otonomi daerah diterapkan adalah besarnya minat untuk menerbitkan ijin pertambangan di daerah. Di sisi lain masih terdapat sejumlah kelemahan seperti kelembagaan, aturan teknis pelaksanaan serta sumber daya manusia. Akibatnya terdapat sejumlah kasus tumpang tindih wilayah ijin pertambangan baik sama komoditas maupun berbeda komoditas. Kondisi ini dapat diselesaikan dengan cara damai antar pemilik izin dan apabila tidak dicapai kesepakatan bisa berakibat kepada permasalahan legal untuk mendapatkan kepastian hukum melalui proses pengadilan.

7) Sinkronisasi kebijakan dan pembinaan antar pusat dan daerah

Ketika otonomi daerah mulai diberlakukan pada awal tahun 2000 an sejalan dengan terbitnya UU No. 22 th 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang di amandemen dengan UU No. 32 th 2004 telah terjadi pelimpahan kewenangan pemberian ijin pertambangan kepada pemerintah daerah. Selama periode 2000 s/d 2009 telah muncul lebih dari 10.000 ijin pertambangan dari seluruh Indonesia. Salah satu amanat UU No. 4 th 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah untuk menata dan mengelola pertambangan sesuai dengan kaidah pembangunan yang berkelanjutan. Caranya adalah dengan mengembangkan sinkronisasi kebijakan dan pembinaan pusat dan daerah. Ijin-ijin pertambangan yang dikeluarkan daerah dilakukan sinkronisasi dari sisi aspek perijinan, tumpang tindih perijinan, teknik lingkungan dan finansial.

8) Kerjasama lintas sektoral dalam pengembangan pertambangan

berwawasan lingkungan

Kementerian Lingkungan Hidup memiliki peran untuk mengkoordinasikan setiap kegiatan yang memiliki dampak lingkungan dapat dikendalikan, dipantau dan dikelola dengan baik, meliputi sektor lingkungan hidup, pertambangan, kehutanan, pertanian, perkebunan, penataan ruang, transportasi, perdagangan, transmigrasi, perindustrian, dll. Tahap selanjutnya adalah kerjasama antar para pihak (pengusaha, pemerintah masyarakat) termasuk institusi penanggung jawab tersebut agar setiap instrumen perlindungan dan pengelolan lingkungan dapat terlaksana dengan baik dan mencipatakan wilayah pengembangan pertambangan yang berwawasan lingkungan.

9) Permasalahan ganti rugi lahan

UU No. 4 tahun 2009 tentang Penambangan Mineral dan Batubara pasal 135 Bahwa pemegang ijin pertambangan hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Pasal 136 menyebutkan Bahwa sebelum melakukan kegiatan operasi produksi pemegang ijin wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam prakteknya masih sering terjadi konflik antara pemilik ijin dengan pemegang hak atas tanah yang bersumberkan dari ganti rugi lahan.

10) Kepastian hukum dalam menjalankan bisnis pertambangan

Kepastian hukum menjadi satu prasyarat bagi tumbuhnya industri yang sehat dan bermanfaat. Dalam prakteknya hal ini seringkali masih menjadi persoalan karena adanya kompleksitas di lapangan. Pengusaha umumnya mengeluhkan adanya sejumlah perizinan yang pengurusannya sulit mulai dari izin lingkungan, IPPKH, dll. Dalam survei tentang bisnis pertambangan yang dilakukan oleh Frazer Institute tahun 2013, Indonesia diakui sebagai negara yang memiliki potensi pertambangan yang besar, namun memiliki tingkat kebijakan dan kepastian hukum yang rendah bahkan terendah dari 96 negara yang disurvei. Hal ini menujukkan potret pertambangan dilihat oleh pihak investor asing.

11) Persepsi terhadap IUP yang CnC

Sejak tahun 2011, berdasarkan pada UU 4/2009 serta peraturan pemerintah turunannya, pemerintah pusat melakukan penataan pertambangan di daerah dengan melakukan rekonsiliasi dan penataan izin-izin yang diterbitkan oleh daerah. Dalam periode ini muncul istilah CnC suatu istilah yang belum

dikenal sebelumnya yang mengandung arti tertatanya aspek perizinan

termasuk dokumen yang diperlukan dan tidak adanya tumpang tindih dengan sesama izin pertambangan lainnya. Persepsi sebagian masyarakat saat ini sudah secara positif menyatakan pentingnya aspek ini sebagai bagian dari penataan tambang di daerah. Namun demikian faktanya sampai pertengahan 2014 masih terdapat 4000-an IUP yang masih dinyatakan Non CnC dari seluruh Indonesia.

12) Penegakan hukum terhadap gangguan operasi pertambangan

Banyak izin pertambangan yang legal terganggu oleh adanya PETI. Padahal PETI tersebut sangat merugikan, karena tidak memberikan kontribusi pada penerimaan negara, serta meninggalkan kerusakan lingkungan yang serius. Maka penegakan hukum terhadap PETI yang merupakan gangguan serius atas operasi penambangan resmi perlu dilakukan secara tegas.

Dari hasil analisis indeks keberlanjutan, serta analisis leverage seperti tertera pada Gambar 28 di bawah, terdapat 2 atribut yang secara jelas sensitif terhadap indeks keberlanjutan dimensi hukum, yaitu:

1. Penegakan hukum terhadap pelanggaran aspek lingkungan, leverage 2,57. 2. Permasalahan ganti rugi lahan, leverage 2,1.

Gambar 28 Leverage atribut keberlanjutan dimensi hukum

Leverage of Attributes 0.50 0.78 1.34 2.57 0.01 1.50 1.54 0.05 2.83 0.14 0.46 0.01 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

Ketersediaan aturan perundangan utk melestarikan lingkungan

Kepatuhan dlm memenuhi aturan K3 dan LH Penyuluhan hukum, dan implementasi tata ruang

dan lingkungan

Penegakan hukum thdp pelanggaran aspek lingkungan

Konflik dengan pemegang izin lainnya (kehutanan, perkebunan)

Konflik dengan pemegang izin tambang lainnya Sinkronisasi kebijakan dan pembinaan pusat dan

daerah

Kerjasama lintas sektoral dlm pengembangan pertambangan yang berwawasan lingkungan

Permasalahan ganti rugi lahan Kepastian hukum dalam menjalankan bisnis

pertambangan

persepsi thdp IUP CnC Penegakan hukum tdhp gangguan operasi

penambangaan A tt ri but e

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)