• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN TAHUN 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN TAHUN 2013"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN BAYI

BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH

BANJARMASIN TAHUN 2013

Rahmawati*, Muhsinin**, Sukamto***

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Banjarmasin Program Studi S.1 Keperawatan

Email: umy_k@ymail.com

Abstrak

BBLR hingga saat ini masih merupakan masalah di seluruh dunia karena merupakan penyebab

kesakitan dan kematian pada masa bayi baru lahir. Prevalensi bayi berat lahir rendah menurut

World Health

Organization

(WHO) diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan

batasan 3,3% - 3,8% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang. Faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi BBLR diantaranya jenis kelamin bayi, tingkat pendidikan, umur ibu saat

persalinan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan

kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin

tahun 2013

Metode penelitian ini menggunakan

analitik

dengan pendekatan

kasus kontrol (

case control study

),

dengan populasi adalah adalah seluruh ibu yang melahirkan di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh

Banjarmasin dari bulan Januari – Juni 2013 sebanyak 1107 orang dengan sampel baik kriteria kasus

dan kontrol masing-masing 106 orang. Analisis data menggunakan uji statistik

Chi-square

.

Hasil penelitian didapatkan tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian BBLR dan ada

hubungan antara tingkat pendidikan, usia dan jenis kelamin dengan kejadian BBLR.

RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh disarankan untuk meningkatkan informasi misalnya dengan cara

menambah atau menempelkan poster-poster mengenai BBLR di ruang pelayanan pemeriksaan

kehamilan

Kata Kunci: Pekerjaan, Tingkat Pendidikan, Usia, Jenis Kelamin Bayi dan Kejadian BBLR

1.

Pendahuluan

Permasalahan pokok yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masalah kesehatan yang terjadi

pada kelompok ibu dan anak, yang ditandai masih tingginya angka kematian ibu (AKI) dan

angka kematian bayi (AKB). Kematian pada maternal dan bayi yang tinggi mencerminkan

kemampuan negara dalam memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat belum baik

(Widiastuti, 2011).

Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan salah satu faktor risiko yang mempunyai kontribusi

terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal. Selain itu bayi BBLR dapat mengalami

gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh kembang selanjutnya sehingga membutuhkan

biaya perawatan yang tinggi. BBLR hingga saat ini masih merupakan masalah di seluruh dunia

(2)

2

karena merupakan penyebab kesakitan dan kematian pada masa bayi baru lahir (Proverawati &

Ismawati, 2010).

BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500. BBLR merupakan salah

satu faktor utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan neonatal. Bayi yang

dilahirkan berisiko meninggal dunia sebelum berumur satu tahun 17 kali lebih besar dari bayi

yang dilahirkan dengan berat badan normal (Depkes RI, 2005).

Prevalensi bayi berat lahir rendah menurut

World Health

Organization

(WHO) diperkirakan

15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 3,3% - 38% dan lebih sering terjadi di

negara-negara berkembang atau sosio-ekonomi rendah. Secara statistik menunjukkan 90%

BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding

pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram (Pantiawati, 2010).

Angka kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain yaitu

berkisar antara 9%-30%, hasil studi di 7 daerah

multicenter

diperoleh angka BBLR dengan

rentang 2,1%-17,2%. Secara nasional berdasarkan analisa lanujt SDKI, angka BBLR sekitar

7,5%. BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas dan disabilitas

neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupan masa

depan (Pantiawati, 2010).

Menurut Turhayati (2006) dalam Subkhan (2009) berbagai faktor yang mempengaruhi BBLR

antara lain meliputi jenis kelamin bayi, ras, keadaan plasenta, umur ibu, aktivitas ibu, kebiasaan

merokok, paritas, jarak dan usia kehamilan, tinggi badan dan berat badan ibu sebelum

kehamilan, keadaan sosial ekonomi, gizi, pemanfaatan pelayanan kesehatan dan pertambahan

berat badan ibu selama kehamilan. Pekerjaan terkait pada aktifitas fisik ibu hamil, dengan

bekerja cenderung cepat lelah sebab aktifitas fisiknya meningkat karena memiliki tambahan

pekerjaan/kegiatan diluar rumah (Depkes RI, 2003).

Tingkat pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap

kejadian BBLR namun bisa dijelaskan secara sederhana bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang maka semakin banyak pula informasi yang bisa dia dapatkan mengenai

BBLR sehingga secara otomatis semakin banyak pula pengetahuannya mengenai

langkah-langkah pencegahan BBLR (Mulyawan, 2009).

(3)

3

Hasil beberapa penelitian ditemukan bahwa jenis kelamin bayi berpengaruh terhadap kejadian

BBLR. Proporsi kejadian bayi BBLR bayi laki-laki adalah lebih sedikit (46,44%) dibandingkan

dengan bayi BBLR perempuan (53,56%) dan risiko melahirkan bayi laki-laki dengan BBLR

ialah 0,82 kali lebih kecil dibandingkan dengan melahirkan bayi perempuan BBLR (Mulyawan,

2009).

Menurut Fajriah (2008) dalam Mulyawan (2009) secara umum ibu yang umurnya lebih muda

akan mempunyai bayi yang lebih kecil dibandingkan dengan ibu yang lebih tua. Penelitian ini

menunjukkan angka kematian dan kesakitan ibu akan tinggi bila melahirkan terlalu muda atau

terlalu tua, yaitu usia dan dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun.

Angka kematian bayi akibat BBLR di Kalimantan Selatan tahun 2009 mengalami peningkatan

yaitu dari 521 bayi yang meninggal tercatat 124 bayi (23,8%) adalah BBLR sedangkan pada

tahun 2010 dari 343 bayi yang meninggal tercatat 199 bayi (32%) adalah BBLR, pada tahun

2011 dari 322 bayi yang meninggal tercatat 248 bayi (77%) adalah BBLR dan pada tahun 2012

daru 245 bayi yang meninggal tercatat 203 bayi (82,9%) adalah BBLR (Dinkes Provinsi

Kalimantan Selatan, 2012).

Berdasarkan data di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin dari 236 kelahiran bayi

berat lahir rendah (BBLR) sebanyak 18 bayi (7,6%) meninggal, tahun 2010 dari 211 kelahiran

BBLR sebanyak 30 bayi (14,2%) meninggal. Pada tahun 2011 dari 135 kelahiran BBLR

sebanyak 31 bayi meninggal (16,6%) dan pada tahun 2012 dari 221 kasus persalinan BBLR

sebanyak 46 bayi (20,8%) meninggal. Hasil studi pendahuluan kepada 10 orang bayi berat lahir

rendah tahun 2013 didapatkan sebanyak 6 orang bayi dengan ibu yang memiliki pekerjaan

diluar rumah sedangkan 4 orang bayi dengan ibu yang hanya sebagai ibu rumah tangga.

Menurut tingkat pendidikan sebanyak 4 orang bayi dengan ibu yang tingkat pendidikan SD, 3

orang bayi dengan ibu yang tingkat pendidikan SLTP, 2 orang bayi dengan ibu yang tingkat

pendidikan SLTA dan 1 orang bayi dengan ibu yang tingkat pendidikan Diploma. Berdasarkan

jenis kelamin sebanyak 7 orang bayi adalah berjenis kelamin perempuan dan 3 orang bayi

adalah berjenis kelamin laki-laki. Menurut usia kehamilan sebanyak 4 orang bayi dengan usia

kehamilan <37 minggu dan 6 orang bayi lahir dengan usia kehamilan >37 minggu.

Menurut uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul

“Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Dr. H.

Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013”

(4)

4

2.

Metode Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah analitik melalui pendekatan kasus kontrol (

case control

study

). Populasi seluruh adalah seluruh ibu yang melahirkan di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh

Banjarmasin dari bulan Januari – Juni 2013 sebanyak 1107 orang dengan sampel baik kriteria

kasus dan kontrol masing-masing 106 orang. Analisis data menggunakan uji statistik

Chi-square

dengan tingkat kepercayaan 95%.

.

3.

Hasil Penelitian 3.1 Analisis univariat

a.

Distribusi frekuensi pekerjaan ibu bersalin

Tabel 3.1 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Ibu Bersalin dengan BBLR di RSUD Dr. H.

Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013

No.

Pekerjaan

Frekuensi (n)

Persentase (%)

1

Bekerja

12

11,3

2

Tidak bekerja

94

88,7

Jumlah

106

100

Tabel 3.1 menunjukkan bahwa ibu bersalin dengan BBLR di RSUD Dr. H. Moch. Ansari

Saleh Banjarmasin tahun 2013 sebagian besar tidak bekerja dengan kata lain hanya

sebagai ibu rumah tangga yaitu berjumlah 94 orang (88,7%).

Tabel 3.2 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Ibu Bersalin dengan Bayi Normal di RSUD Dr.

H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013

No.

Pekerjaan

Frekuensi (n)

Persentase (%)

1

Bekerja

11

10,4

2

Tidak bekerja

95

89,6

Jumlah

106

100

Tabel 3.2 menunjukkan bahwa ibu bersalin yang melahirkan berat badan normal di

RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin tahun 2013 sebagian besar tidak bekerja

yaitu berjumlah 95 orang (89,6%).

b.

Distribusi frekuensi tingkat pendidikan ibu bersalin

Tabel 3.3 Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Ibu Bersalin dengan BBLR di RSUD

Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013

No.

Tingkat Pendidikan

Frekuensi (n)

Persentase (%)

1

Dasar - Menengah

99

93,4

2

Perguruan Tinggi

7

(5)

5

Tabel 3.3 menunjukkan bahwa ibu bersalin di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh

Banjarmasin tahun 2013 sebagian besar memiliki tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) –

menengah (SLTA) yaitu berjumlah 99 orang (57,1%).

Tabel 3.4 Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Ibu Bersalin dengan Bayi Berat Badan

Normal di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013

No.

Tingkat Pendidikan

Frekuensi (n)

Persentase (%)

1

Dasar - Menengah

90

84,9

2

Perguruan Tinggi

16

15,1

Jumlah

106

100

Tabel 3.4 menunjukkan bahwa ibu bersalin dengan bayi berat badan normal di RSUD Dr.

H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin tahun 2013 sebagian besar memiliki tingkat

pendidikan dasar (SD-SMP) – menengah (SLTA) yaitu berjumlah 90 orang (84,9%).

c.

Distribusi frekuensi jenis kelamin bayi

Tabel 3.5 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Bayi dengan Berat Lahir Rendah di RSUD

Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013

No.

Jenis Kelamin

Frekuensi (n)

Persentase (%)

1

Perempuan

43

40,6

2

Laki-laki

63

59,4

Jumlah

106

100

Tabel 3.5 menunjukkan bayi yang dilahirkan dengan berat badan rendah di RSUD Dr. H.

Moch. Ansari Saleh Banjarmasin tahun 2013 sebagian besar memiliki jenis kelamin

laki-laki yaitu berjumlah 63 orang (59,4%).

Tabel 3.6 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Bayi dengan Berat Badan Normal di RSUD

Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013

No.

Jenis Kelamin

Frekuensi (n)

Persentase (%)

1

Perempuan

29

27,4

2

Laki-laki

77

72,6

Jumlah

106

100

Tabel 4.7 menunjukkan bayi yang dilahirkan dengan berat badan normal di RSUD Dr.

H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin tahun 2013 sebagian besar memiliki jenis kelamin

laki-laki yaitu berjumlah 77 orang (72,6%).

d.

Distribusi frekuensi usia ibu bersalin

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Usia Ibu Bersalin dengan BBLR di RSUD Dr. H.

Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013

No.

Usia Ibu Bersalin

Frekuensi (n)

Persentase (%)

1

Berisiko (<20 tahun atau

63

59,4

(6)

6

>35 tahun)

2

Tidak berisiko (20-35

tahun)

43

40,6

Jumlah

106

100

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa ibu bersalin dengan bayi berat lahir rendah sebagian

besar memiliki usia yang berisiko untuk hamil (<20 tahun atau >35 tahun) yaitu

berjumlah 63 orang (59,4%).

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Usia Ibu Bersalin dari Bayi dengan Berat Lahir Normal

di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013

No.

Usia Ibu Bersalin

Frekuensi (n)

Persentase (%)

1

Berisiko (<20 tahun atau

>35 tahun)

78

73,6

2

Tidak berisiko (20-35

tahun)

28

26,4

Jumlah

106

100

Tabel 4.9 menunjukkan bahwa ibu bersalin dari bayi dengan berat normal dengan

sebagian besar memiliki usia yang berisiko untuk hamil (<20 tahun atau >35 tahun)

yaitu berjumlah 78 orang (73,6%).

e.

Distribusi frekuensi kejadian BBLR

Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Kejadian BBLR di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh

Banjarmasin Tahun 2013

No.

Kejadian BBLR

Frekuensi (n)

Persentase (%)

1

BBLR

106

9,6

2

Tidak

1001

90,4

Jumlah

1107

100

Tabel 4.10 menunjukkan bahwa bayi baru lahir dengan berat badan rendah (BBLR)

berjumlah 106 orang (9,6%) dari jumlah seluruh persalinan.

4.1.1

Analisis bivariat

a.

Hubungan pekerjaan ibu dengan kejadian BBLR

Tabel 4.11 Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Kejadian BBLR di RSUD Dr. H. Moch.

Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013

No. Pekerjaan

Kejadian BBLR

Σ

%

BBLR

%

Tidak

%

1

Bekerja

12

52,2

11

47,8

23

100

2

Tidak

94

49,7

95

50,3

189

100

Jumlah

106

50

106

50

212

100

Hasil analisis uji

chi-square

= 0,825

(7)

7

Tabel 4.11 menunjukkan bahwa ibu yang bekerja lebih banyak yang memiliki BBLR

yaitu berjumlah 12 orang (52,2%) sedangkan pada ibu yang tidak bekerja lebih banyak

yang tidak memiliki BBLR yaitu berumlah 95 orang (50,3%).

Hasil analisis dengan menggunakan uji statistik

Chi-square

menunjukkan p value

sebesar 0,825, nilai tersebut secara statistik bermakna (p > 0,05) hal ini menunjukkan

bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian BBLR di RSUD Dr.

H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin tahun 2013. Sedangkan dari hasil perhitungan

Odds Ratio

(OR), menunjukkan besarnya OR adalah 1.103 artinya pekerjaan bukan

merupakan faktor resiko BBLR

b.

Hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian BBLR

Tabel 4.12 Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dengan Kejadian BBLR di RSUD Dr.

H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013

No.

Tingkat

Pendidikan

Kejadian BBLR

Σ

%

BBLR

%

Tidak

%

1

Dasar- menengah

99

52,4

90

47,6 189 100

3

Perguruan tinggi

7

30,4

16

69,6

23

100

Jumlah

106

50

106

50

212 100

Hasil analisis uji

chi-square

= 0,047

Ods Ratio

= 2.514

Tabel 4.12 menunjukkan bahwa ibu bersalin dengan tingkat pendidikan dasar -

menegah cenderung memiliki BBLR yaitu berjumlah 99 orang (52,4%) dan ibu

bersalin dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung tidak memiliki BBLR yaitu

berjumlah 16 orang (69,6%).

Hasil analisis dengan menggunakan uji statistik

Chi-square

menunjukkan p value

sebesar 0,047, nilai tersebut secara statistik bermakna (p < 0,05) hal ini menunjukkan

bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian BBLR di RSUD

Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin tahun 2013. Sedangkan dari hasil perhitungan

Odds Ratio

(OR), menunjukkan besarnya OR adalah 2.514 artinya ibu dengan tingkat

pendidikan rendah (SD-SMA) mempunyai risiko 2.514 kali mengalami BBLR

dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan tinggi.

c.

Hubungan jenis kelamin bayi dengan kejadian BBLR

Tabel 4.13 Hubungan Jenis Kelamin Bayi dengan Kejadian BBLR di RSUD Dr. H.

Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013

(8)

8 No. Jenis Kelamin Kejadian BBLR Σ % BBLR % Tidak % 1 Perempuan 43 59,7 29 40,3 72 100 2 Laki-laki 63 45 77 55 140 100 Jumlah 106 50 106 50 212 100

Hasil analisis uji chi-square = 0,042 Ods Ratio = 1.812

Tabel 4.13 menunjukkan bahwa bayi perempuan lebih banyak memiliki status BBLR

yaitu berjumlah 43 orang (59,7%) sedangkan bayi laki-laki lebih banyak tidak

memiliki status BBLR yaitu berjumlah 77 orang (55%).

Hasil analisis dengan menggunakan uji statistik

Chi-square

menunjukkan p value

sebesar 0,042, nilai tersebut secara statistik bermakna (p < 0,05) hal ini menunjukkan

bahwa ada hubungan antara jenis kelamin bayi dengan kejadian BBLR di RSUD Dr.

H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin tahun 2013. Sedangkan dari hasil perhitungan

Odds Ratio

(OR), menunjukkan besarnya OR adalah 1.937 artinya jenis kelami bayi

laki-laki mempunyai risiko 1.812 kali mengalami BBLR dibandingkan bayi dengan

jenis kelamin perempuan.

d.

Hubungan usia ibu dengan kejadian BBLR

Tabel 4.14 Hubungan Usia Ibu Saat Bersalin dengan Kejadian BBLR di RSUD Dr. H.

Moch. Ansari Saleh Banjarmasin

No. Usia Kejadian BBLR Σ %

BBLR % Tidak %

1 Berisiko 63 44,7 78 55,3 141 100

2 Tidak 43 60,6 28 39,4 71 100

Jumlah 106 50 106 50 212 100

Hasil analisis uji chi-square = 0,029 Ods Ratio = 1.964

Tabel 4.14 menunjukkan bahwa ibu bersalin yang memiliki usia berisiko (<20 tahun

atau >35 tahun) sebagian besar melahirkan bayi dengan status BBLR yaitu berjumlah

40 orang (61,5%) sedangkan ibu bersalin yang memiliki usia tidak berisiko (20-35

tahun) sebagian besar melahirkan bayi dengan berat badan normal yaitu berjumlah 81

orang (55,1%).

Hasil analisis dengan menggunakan uji statistik

Chi-square

menunjukkan p value

sebesar 0,025, nilai tersebut secara statistik bermakna (p < 0,05) hal ini menunjukkan

bahwa ada hubungan antara usia ibu saat bersalin dengan kejadian BBLR di RSUD Dr.

H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin tahun 2013. Sedangkan dari hasil perhitungan

Odds Ratio

(OR), menunjukkan besarnya OR adalah 1.964 artinya usia ibu yang

berisiko mempunyai kemungkinan 1.964 kali mengalami BBLR.

Tabel 3.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang Imunisasi Hepatitis B di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013

No. Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)

(9)

9

2 Cukup 39 58,2

3 Kurang 0 0

Jumlah 67 100

Tabel 3.1 menunjukkan sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang cukup mengenai imunisasi hepatitis B yaitu berjumlah 39 orang (58,2%).

a.

Sikap responden terhadap imunisasi hepatitis B

Tabel 3.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap terhadap Imunisasi Hepatitis B di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013

No. Sikap Frekuensi Persentase (%)

1 Positif 39 58,2

2 Negatif 28 41,8

Jumlah 67 100

Tabel 3.2 menunjukkan sebagian besar responden memiliki sikap yang positif terhadap imunisasi hepatitis B yaitu berjumlah 39 orang (58,2%).

b.

Tingkat pendidikan responden

Tabel 3.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013

No. Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase (%)

1 Tinggi 7 10,4

2 Sedang 15 22,4

3 Rendah 45 67,2

Jumlah 67 100

Tabel 3.3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu berjumlah 45 orang (67,2%).

c.

Pekerjaan responden

Tabel 3.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013

No. Pekerjaan Frekuensi Persentase (%)

1 Tidak bekerja 57 85,1

2 Bekerja 10 14,9

Jumlah 67 100

Tabel 3.4 menunjukkan bahwa responden sebagian besar tidak bekerja dengan kata lain hanya sebagai ibu rumah tangga yaitu berjumlah 57 orang (85,1%).

d.

Sosial budaya mengenai hepatitis B

Tabel 3.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sosial Budaya di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013

No. Sosial Budaya Frekuensi Persentase (%)

1 Mendukung 12 17,9

2 Tidak mendukung 55 82,1

Jumlah 67 100

Tabel 3.5 menunjukkan bahwa responden sebagian besar memiliki sosial budaya yang tidak mendukung terhadap imunisasi hepatitis B yaitu berjumlah 55 orang (82,1%).

(10)

10

e.

Cakupan pemberian imunisasi hepatitis B

Tabel 3.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Cakupan Pemberian Imunisasi Hepatitis B di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013

No. Cakupan Imunisasi Hepatitis B Frekuensi Persentase (%)

1 Tercapai 12 17,9

2 Tidak tercapai 55 82,1

Jumlah 67 100

Tabel 3.6 menunjukkan bahwa cakupan pemberian imunisasi hepatitis B sebagian besar tidak tercapai yaitu berjumlah 55 orang (82,1%).

3.2 Analisis bivariat

a. Hubungan pengetahuan dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B

Tabel 3.7 Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Cakupan Pemberian Imunisasi Hepatits B pada Bayi Umur 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013

No. Pengetahuan Cakupan Imunisasi Hepatitis B ∑ %

Tercapai % Tidak %

1 Baik 9 32,1 19 67,9 28 100

2 Cukup 3 7,7 36 92,3 39 100

Jumlah 12 17,9 55 82,1 67 100

Hasil analisis uji chi-square (x2) = 5.069, p value = 0,024

Tabel 3.7 menunjukkan bahwa pada responden yang memiliki pengetahuan baik cenderung cakupan imunisasinya tidak tercapai yaitu berjumlah 19 orang (67,9%) sedangkan responden yang memiliki pengetahuan yang cukup cenderung cakupan pemberian imunisasi hepatitis B juga tidak tercapai yaitu berjumlah 36 orang (92,3%).

Hasil analisis dengan menggunakan uji statistik didapatkan x2 hitung > x2 tabel (5.069 > 3.841) dan p value sebesar 0,024 nilai tersebut secara statistik bermakna (p < 0,1) hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B Bayi Umur 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013.

b. Hubungan sikap dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B

Tabel 3.8 Hubungan Sikap Ibu dengan Cakupan Pemberian Imunisasi Hepatits B pada Bayi Umur 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013

No. Sikap Cakupan Imunisasi Hepatitis B ∑ %

Tercapai % Tidak %

1 Positif 11 28,2 28 71,8 39 100

2 Negatif 1 3,6 27 96,4 28 100

Jumlah 12 17,9 55 82,1 67 100

(11)

11 Tabel 3.8 menunjukkan bahwa responden yang memiliki sikap positif cenderung cakupan imunisasinya tidak tercapai yaitu berjumlah 28 orang (71,8%) dan responden yang memiliki sikap negatif cenderung cakupan pemberian imunisasi hepatitis B juga tidak tercapai yaitu berjumlah 27 orang (96,4%).

Hasil analisis dengan menggunakan uji statistik didapatkan x2 hitung > x2 tabel (5.156 > 3.841) dan p value sebesar 0,023 nilai tersebut secara statistik bermakna (p < 0,1) hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara sikap dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B bayi umur 0-7 hari di wilayah kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013.

c. Hubungan tingkat pendidikan dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B

Tabel 3.9 Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dengan Cakupan Pemberian Imunisasi Hepatits B pada Bayi Umur 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013

No. Tingkat Pendidikan

Cakupan Imunisasi Hepatitis B

∑ % Tercapai % Tidak % 1 Tinggi 6 85,7 1 14,3 7 100 2 Sedang 6 40 9 12,3 15 100 3 Rendah 0 0 45 100 45 100 Jumlah 12 17,9 55 82,1 67 100

Hasil analisis uji Spearman Rank = 0,000 Correlation coefficient = 0,604

Tabel 3.9 menunjukkan bahwa responden yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung cakupan imunisasinya tercapai yaitu berjumlah 6 orang (85,7%), responden yang memiliki tingkat pendidikan sedang cenderung cakupan imuniasinya tidak tercapai sedangkan responden yang memiliki tingkat pendidikan rendah seluruhnya cenderung cakupan imunisasinya tidak tercapai yaitu berjumlah 45 orang (100%).

Hasil analisis dengan menggunakan uji statistik Spearman Rank menunjukkan p value sebesar 0,000 nilai tersebut secara statistik bermakna (p < 0,1) hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B bayi umur 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013. Nilai korelasi Spearman sebesar 0,604 menunjukkan bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang kuat, dapat diartikan apabila pendidikan semakin meningkat maka akan dikuti dengan peningkatan pencapaian imunisisi hepatitis B pada bayi 0-7 hari.

d. Hubungan pekerjaan dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B

Tabel 3.10 Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Cakupan Pemberian Imunisasi Hepatits B pada Bayi Umur 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013

No. Pekerjaan Cakupan Imunisasi Hepatitis B ∑ %

Tercapai % Tidak %

1 Tidak bekerja 8 14 49 86 57 100

2 Bekerja 4 40 6 60 10 100

Jumlah 12 17,9 55 82,1 67 100

Hasil analisis uji Chi-Square (x2) = 2.335, p value = 0,127

Tabel 3.10 menunjukkan bahwa ibu yang tidak bekerja cenderung cakupan imunisasinya tidak tercapai yaitu berjumlah 49 orang (86%) sedangkan ibu yang memiliki pekerjaan cenderung cakupan imunisasi tidak tercapai yaitu berjumlah 6 orang (60%).

(12)

12 Hasil analisis dengan menggunakan uji statistik didapatkan x2 hitung < x2 tabel (2.335 < 3.841) dan p value sebesar 0,127 nilai tersebut secara statistik bermakna (p > 0,1) hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B bayi umur 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013.

e. Hubungan sosial budaya dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B

Tabel 3.11 Hubungan Sosial Budaya dengan Cakupan Pemberian Imunisasi Hepatits B pada Bayi Umur 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013

No Sosial Budaya Cakupan Imunisasi Hepatitis B ∑ %

Tercapai % Tidak %

1 Mendukung 10 83,3 2 16,7 12 100

2 Tidak mendukung 2 3,6 53 96,4 55 100

Jumlah 12 17,9 55 82,1 67 100

Hasil analisis uji Fisher p value = 0,000

Tabel 3.11 menunjukkan bahwa responden dengan sosial budaya yang mendukung cenderung cakupan pemberian imunisasi hepatitis B tercapai yaitu berjumlah 10 orang (83,3%) sedangkan responden dengan sosial budaya yang tidak mendukung cenderung cakupan pemberian imunisasinya tidak tercapai yaitu berjumlah 53 orang (96,4%).

Hasil analisis dengan menggunakan uji statistik Fisher menunjukkan p value sebesar 0,000 nilai tersebut secara statistik bermakna (p < 0,05) hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara sosial budaya dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B Bayi Umur 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013.

4 Pembahasan

4.1 Pembahasan analisis univariat

a. Pengetahuan ibu tentang imunisasi hepatitis B

Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang cukup mengenai imunisasi hepatitis B yaitu berjumlah 39 orang (58,2%). Pengetahuan yang dimaksud disini adalah merupakan sejumlah informasi atau berita tentang imunisasi hepatitis B yang diketahui seseorang, dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan berbagai informasi yang dihasilkan oleh pemahaman dan pengalaman yang kemudian diingat dalam memori ibu sebagai bentuk ingatan atas pengetahuan tersebut.

Pengetahuan ibu tentang penyakit hepatitis semestinya harus ditingkatkan melalui upaya penyuluhan maupun pembagian selebaran. Petugas kesehatan hendaknya memberikan penyuluhan tidak hanya dilakukan sesuai jadwal yang telah ditentukan tetapi baiknya pada setiap ibu ketika kunjungan ke Puskesmas, Posyandu maupun sarana kesehatan lainnya.

b. Sikap ibu terhadap imunisasi hepatitis B

Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden memiliki sikap yang positif terhadap imunisasi hepatitis B yaitu berjumlah 39 orang (58,2%). Sikap seseorang biasanya terwujud dalam perilaku nyata. Sikap yang positif terdapat kecenderungan untuk mendekati, menyenangi, mengharapkan imunisasi sedangkan sikap negatif terdapat kecenderungan menjauhi, menghindari, membenci atau tidak melakukan imunisasi.

Pada ibu yang memiliki sikap yang negatif terhadap imunisasi hepatitis B perlu dilakukan pendekatan baik langsung pada ibu maupun keluarga, pada ibu tersebut perlu dijelaskan tentang pentingnya imunisasi hepatitis B pada bayi usia 0-7 hari untuk menghindari penyakit hepatitis,

(13)

13 petugas kesehatan agar lebih aktif menyikapi dan menjelaskan tentang imunisasi hepatitis B. Diharapkan dengan sebagian besar ibu sudah bersikap positif mampu menciptakan suatu perilaku yang baik pula. Sikap terhadap imunisasi hepatitis B merupakan faktor yang menentukan seseorang untuk bersedia atau kesiapan untuk melakukan imunisasi hepatitis B pada bayi.

c. Tingkat pendidikan responden

Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan rendah (SD-SLTP) yaitu berjumlah 45 orang (67,2%). Minimnya responden dengan pendidikan tinggi salah satunya disebabkan masih adanya budaya masyarakat yang menekankan bahwa tugas wanita utama hanyalah mengurus rumah tangga tanpa harus memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Penyebab lain adalah status ekonomi, mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah, meskipun demikian perhatian harus tetap dilakukan untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM), karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi atau memadai, hal tersebut akan memberikan pengaruh yang positif dalam proses penyerapan informasi dan tingkat keterampilan.

Ibu yang berpendidikan rendah lebih sulit memahami pentingnya imunisasi hepatitis B, oleh karena itu disarankan kepada petigas kesehatan lebih memberikan perhatian yang ekstra agar mampu melakukan pendampingan pada keluarga khususnya kepada ibu yang memiliki bayi 0-7 hari khususnya pada ibu hamil sehingga setelah melahirkan mereka dapat memberikan imunisasi.

d. Pekerjaan responden

Berdasarkan hasil penelitian responden sebagian besar tidak bekerja dengan kata lain hanya sebagai ibu rumah tangga yaitu berjumlah 57 orang (85,1%). Ibu rumah tangga yang tidak bekerja biasanya banyak menghabiskan waktu untuk mengurus rumah tangganya dan hanya bergaul dengan teman sejawat satu lingkungan sehingga dapat mempengaruhi akses informasi yang didapat. Lingkup dunia rumah tangga jauh lebih sempit dibandingkan lingkup dunia profesional. Di dunia kerja, seseorang dimungkinkan untuk berinteraksi dengan begitu banyak orang dengan beragam latar belakang. Sementara dunia rumah tangga tidaklah demikian, ibu umumnya hanya berinteraksi dengan anak atau tetangga.

Menurut William dalam Mufida (2008) perempuan termotivasi untuk bekerja karena tiga alasan yaitu:

1) Kebutuhan ekonomi, seringkali kebutuhan rumah tangga yang begitu besar dan mendesak, membuat para ibu harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.

2) Adanya aspek-aspek tertentu dari peran dalam keluarga yang memotivasi mereka untuk mencari alternatif kegiatan selain berada dirumah (seperti kebosanan)

3) Memenuhi kebutuhan psikologis seperti kontak sosial, merealisasikan potensi dan keinginan untuk bermanfaat bagi lingkungan.

e. Sosial budaya responden mengenai imunisasi hepatitis B

Berdasarkan hasil penelitian responden sebagian besar memiliki sosial budaya yang tidak mendukung terhadap imunisasi hepatitis B yaitu berjumlah 55 orang (82,1%). Hasil jawaban responden yang memiliki nilai tertinggi adalah pada pertanyaan nomor 1 dan 4 yaitu pertanyaan yang mengenai apakah menurut kebiasaan/tradisi masyarakat bayi yang belum berumur 40 hari boleh diimunisasi dan jawaban terendah adalah pada pertanyaan nomor 3 yaitu orang tua anda menyarankan anda dan suami agar tidak membawa bayi keluar rumah sebelum usia 40 hari. Penduduk Kalimantan Selatan pada umumnya dan penduduk wilayah kerja Puskesmas Tambarangan pada khususnya memiliki kebiasaan dan kepercayaan bahwa bayi yang belum genap berumur 40 hari belum boleh dibawa keluar rumah, hal tersebut belum dapat dipastikan alasannya. Sosial budaya yang ada dalam suatu masyarakat terjadi karena adanya keinginan dari

(14)

14 masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial budaya tidak bisa saja langsung terjadi tanpa adanya keinginan dan kemauan yang dimiliki masyarakat tersebut yang ingin berubah.

Menurut Syafrudin (2009) terdapat adat istiadat di dalam masyarakat melakukan pantangan atau pembatasan bagi ibu yang setelah melahirkan untuk tidak boleh keluar rumah sebelum melewati 40 hari. Adat istiadat ini harus diikuti oleh semua masyarakat dan bila dilanggar ia akan dijauhi oleh masyarakat dan ia akan menerima kesialan/malapetaka. Selain itu, di dalam masyarakat juga dijumpai bayi baru lahir diberikan makanan selain ASI seperti madu dan belum boleh untuk dibawa ke luar rumah termasuk ke rumah sakit apalagi untuk disuntik karena merasa takut karena bila disuntik bayi akan demam dan dapat mengakibatkan munculnya penyakit lain yang berbahaya.

f. Cakupan pemberian imunisasi hepatitis B

Berdasarkan hasil penelitian cakupan pemberian imunisasi hepatitis B sebagian besar tidak tercapai yaitu berjumlah 55 orang (82,1%). Imunisasi hepatitis B merupakan salah satu imunisasi dasar yang diberikan pada bayi yang memiliki usia 0-7 hari. Keberhasilan implementasi program imunisasi Hepatitis B digambarkan melalui persentase cakupan Imunisasi Hepatitis B, yaitu jumlah bayi yang diberi imunisasi dibandingkan dengan jumlah sasaran bayi. Cakupan pemberian imunisasi ini dipengaruhi berbagai faktor diantaranya pengetahuan, sikap dan karakteristik dari ibu seperti usia, tingkat pendidikan dan pekerjaan serta jarak rumah dengan sarana kesehatan tempat pemberian imunisasi tersebut.

Rendahnya cakupan pemberian imunisasi hepatitis B tersebut dapat ditingkatkan melalui sosialisasi tentang imunisasi Hepatitis B oleh petugas kesehatan khususnya bidan desa selama ini hanya pada kelompok sasaran langsung yaitu ibu hamil dan keluarga pada waktu periksa. Dalam rangka mempercepat penyebarluasan informasi program imunisasi hepatitis B kepada masyarakat, perlu adanya kerjasama dengan sasaran antara yang terdiri dari: Kepala Desa, Tokoh masyarakat, Tokoh agama, PKK, Kader, dan Dukun bayi. Sosialisasi program yang sudah dilakukan masih memerlukan upaya pemantapan agar tercapai tujuan program imunisasi hepatitis B. Forum – forum yang sudah ada seperti pengajian setiap minggu, pertemuan PKK desa setiap bulan seharusnya dapat dimanfaatkan lebih optimal oleh petugas kesehatan untuk menjelaskan tujuan program imunisasi.

4.2 Pembahasan analisis bivariat

a. Hubungan pengetahuan dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi 0-7 hari Berdasarkan hasil penelitian dari 12 orang yang cakupan pemberian imunisasi hepatitis B tercapai adalah cenderung pada ibu yang memiliki pengetahuan baik yaitu berjumlah 9 orang. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan cakupan imunisasi hepatitis B bayi umur 0-7 hari di wilayah kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013. Pengetahuan ibu tentang imunisasi hepatitis B akan berpengaruh terhadap kesadaran responden untuk membawa bayinya imunisasi. Ibu yang bersedia mengimunisasikan bayinya dapat disebabkan karena belum memahami secara benar dan mendalam mengenani imunisasi hepatitis B. Pengaruh pengetahuan masyarakat tentang imunisasi hepatitis B yang minim terlihat pada tingkat pengetahuan masyarakat yang sebagian besar cukup yaitu berjumlah 39 orang (58,2%). Pengetahuan yang minim membuat kesadaran masyarakat untuk ikut program imunisasi juga minim.

Pengetahuan merupakan tahap awal di mana responden mulai mengenal ide baru serta belajar memahami yang pada akhirnya dapat mengubah perilaku. Semakin baik pengetahuan ibu tentang pemberian imunisasi Hepatitis B maka akan memberikan respons yang positif yaitu meningkatkan kemauan ibu untuk memberikan imunisasi Hepatitis B 0-7 hari pada bayinya.

Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Simbolon (2010) yang menyatakan bahwa ada pengaruh antara pengetahuan tentang imunisasi hepatitis B terhadap pemberian imunisasi hepatitis B pada Bayi 0-7 Hari di Kelurahan Aek Muara Pinang Kecamatan Sibolga Selatan Kota Sibolga (p = 0,029).

(15)

15 b. Hubungan sikap dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi 0-7 hari

Berdasarkan hasil penelitian dari 12 orang yang cakupan pemberian imunisasi hepatitis B tercapai adalah cenderung pada ibu yang memiliki sikap positif terhadap imunisasi hepatitis B yaitu berjumlah 11 orang. hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan antara sikap dengan cakupan imunisasi hepatitis B bayi umur 0-7 hari di wilayah kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013. Sikap seseorang biasanya terwujud dalam perilaku nyata. Sikap yang positif terdapat kecenderungan untuk mendekati, menyenangi, mengharapkan imunisasi hepatitis B sedangkan sikap negatif terdapat kecenderungan menjauhi, menghindari atau tidak memberikan imunisasi hepatitis B pada bayi usia 0-7 hari.

Secara teori perubahan perilaku atau seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui 3 tahap (Notoatmodjo, 2007) yaitu pengetahuan, sikap dan praktik. Orang akan melakukan pencegahan Hepatitis B dalam hal ini melalui imunisasi pada bayi 0-7 hari, apabila ia tahu apa tujuan dan manfaatnya bila tidak melakukan pencegahan hepatitis B. Setelah seseorang mengetahui pencegahan hepatitis B, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap pencegahan hepatitis B tersebut. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek pencegahan hepatitis B, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melakukan atau mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktik (practice) pencegahan hepatitis B, atau dapat juga dikatakan perilaku pencegahan hepatitis B dalam hal ini pemberian imunisasi hepatis B pada bayi.

c. Hubungan tingkat pendidikan dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi usia 0-7 hari

Berdasarkan hasil penelitian responden yang memiliki tingkat pendidikan tinggi sebagian besar cakupan imunisasi hepatitis B dengan kategori tercapai yaitu berjumlah 6 orang (85,7%), responden yang memiliki tingkat pendidikan sedang sebagian besar cakupan imuniasi hepatitis B dengan kategori tidak tercapai sedangkan responden yang memiliki tingkat pendidikan rendah seluruhnya cakupan imunisasi hepatitis B dengan kategori tidak tercapai yaitu berjumlah 45 orang (100%). Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan cakupan imunisasi hepatitis B Bayi Umur 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013.

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah untuk menerima informasi sehingga semakin banyak pula pemahaman yang dimiliki, sebaliknya pendidikan yang rendah akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai yang baru dikenal karena pendidikan formal yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi pengetahuan dan kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu. Pendidikan menjadi dasar yang penting bagi seseorang karena kemajuan pengetahuan dan teknologi, dan tingkat pendidikan ibu hamil yang tinggi akan meningkatkan kemampuan ibu untuk menerima cara-cara pencegahan risiko dalam pencegahan penyakit pada anaknya salah satu diantaranya adalah dengan memberikan imunisasi.

Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Simbolon (2010) yang menyatakan bahwa ada pengaruh antara tingkat pendidikan terhadap pemberian imunisasi hepatitis B pada Bayi 0-7 Hari di Kelurahan Aek Muara Pinang Kecamatan Sibolga Selatan Kota Sibolga (p = 0,014 < 0,05).

d. Hubungan pekerjaan dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B

Berdasarkan hasil penelitian ibu yang memiliki pekerjaan hanya sebagai ibu rumah tangga sebagian besar tidak tercapai cakupan imunisasi hepatitis B yaitu berjumlah 49 orang (86%) sedangkan ibu yang memiliki pekerjaan sebagian besar cakupan imunisasi hepatitis B juga tidak tercapai yaitu berjumlah 6 orang (60%). Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan cakupan imunisasi hepatitis B Bayi Umur 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013.

Tidak adanya hubungan antara pekerjaan dengan cakupan imunisasi hepatitis B pada penelitian ini disebabkan karena responden yang cakupan pemberian hepatitis B dengan kategori tercapai

(16)

16 terdapat pada ibu yang bekerja maupun tidak bekerja. Ibu yang bekerja berarti sebagian dari waktunya akan tersita sehingga perannya dalam hal membawa anaknya untuk imunisasi bisa saja dilakukan oleh orang lain.

Menurut Sarwono (2007) keputusan seorang ibu membawa anaknya untuk dilakukan imunisasi tidak hanya tergantung dari kedudukannya dalam komunitas itu (bekerja dan tidak bekerja), melainkan berdasarkan norma atau aturan yang berada di masyarakat. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Simbolon (2010) yang menyatakan bahwa ada pengaruh antara pekerjaan terhadap pemberian imunisasi hepatitis B pada Bayi 0-7 Hari di Kelurahan Aek Muara Pinang Kecamatan Sibolga Selatan Kota Sibolga (p = 0,458 > 0,05).

e. Hubungan sosial budaya dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi usia 0-7 hari

Berdasarkan hasil penelitian responden dengan sosial budaya yang mendukung sebagian besar memiliki cakupan imunisasi hepatitis B dengan kategori tercapai yaitu berjumlah 10 orang (83,3%) sedangkan responden dengan sosial budaya yang tidak mendukung sebagian besar memiliki cakupan imunisasi hepatitis dengan kategori tidak tercapai yaitu berjumlah 53 orang (96,4%). Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan antara sosial budaya dengan cakupan imunisasi hepatitis B Bayi Umur 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013.

Sosial budaya yang negatif dapat berdampak pada kesediaan ibu untuk melakukan imunisasi hepatitis pada bayi 0-7 hari. Seseorang memperoleh suatu kebudayaan dalam hubungannya dengan orang lain, karena hubungan ini seseorang mengalami proses belajar dan memperoleh suatu pengetahuan. Sosial budaya yang negatif tersebut timbul karena seringkali setelah diimunisasi bayinya sering sakit, makanya masyarakat banyak yang tidak percaya terhadap imunisasi, selain itu tingkat kepercayaan masyarakat terhadap petugas kesehatan, masih rendah. Mereka masih percaya kepada dukun karena kharismatik dukun tersebut yang sedemikian tinggi, sehingga mereka lebih senang berobat dan meminta tolong kepada ibu dukun.

Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling bergantung kehidupannya satu sama lain, karena manusia tidak bisa hidup sendiri dan selalu membutuhkan pertolongan orang lain. Di samping itu, manusia juga adalah makhluk berbudaya karena dikaruniai akal oleh Tuhan untuk memecahkan masalah kesehatan yang dihadapinya. Menurut Blum dalam Notoatmodjo (2005) salah satu faktor yang memengaruhi status kesehatan yaitu lingkungan sosial budaya.

Menurut Loedin (1985) dalam Simbolon (2010) lingkungan sosial budaya adalah lingkungan yang terdiri atas sesama manusia baik masyarakat maupun keluarga. Di mana faktor yang memegang peran adalah budaya, agama, kepercayaan dan sebagainya. Di dalam lingkungan ini hidup manusia dengan akal, pendidikan dan pengalaman yang mengatur hidupnya menurut suatu sistem nilai budaya tradisional, sistem adat istiadat, falsafah hidup tertentu, religi dan keyakinan-keyakinan yang terjaring erat di dalam sistem sosial dari masyarakat yang bersangkutan.

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi usia 0-7 di wilayah kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin tahun 2013 dapat disimpulkan sebagai berikut:

5.1 Responden sebagian besar memiliki pengetahuan yang cukup mengenai imunisasi hepatitis B yaitu berjumlah 39 orang (58,2%).

5.2 Responden sebagian besar memiliki sikap yang positif terhadap imunisasi hepatitis B yaitu berjumlah 39 orang (58,2%).

5.3 Responden sebagian besar memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu berjumlah 45 orang (67,2%). 5.4 Responden sebagian besar adalah ibu rumah tangga yaitu berjumlah 57 orang (85,1%).

5.5 Responden sebagian besar memiliki sosial budaya yang tidak mendukung terhadap imunisasi hepatitis B yaitu berjumlah 55 orang (82,1%).

(17)

17 5.6 Cakupan pemberian imunisasi hepatitis B sebagian besar tidak tercapai yaitu berjumlah 55 orang

(82,1%).

5.7 Ada hubungan antara pengetahuan dengan cakupan imunisasi hepatitis B Bayi Umur 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013 (p = 0,024 < 0,1)

5.8 Ada hubungan antara sikap dengan cakupan imunisasi hepatitis B Bayi Umur 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013 (p = 0,0023 < 0,1)

5.9 Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan cakupan imunisasi hepatitis B Bayi Umur 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013 (p = 0,000 < 0,1) 5.10 Tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan cakupan imunisasi hepatitis B Bayi Umur 0-7 hari di

Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013 (p = 0,127 > 0,1)

5.11 Ada hubungan antara sosial budaya dengan cakupan imunisasi hepatitis B Bayi Umur 0-7 hari di Wilayah Kerja Puskesmas Tambarangan Kabupaten Tapin Tahun 2013. (p = 0,000 < 0,1)

6. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini diantaranya: 5.1.1 Bagi Puskesmas

5.1.1.1 Diharapkan dapat melaksanakan penyuluhan maupun membagikan selebaran mengenai imunisasi hepatitis pada bayi usia 0-7 hari, cara tersebut dapat bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan khususnya pada ibu yang memiliki pendidikan rendah sehingga mereka mau melakukan pemberian imunisasi.

5.1.1.2 Puskesmas diharapkan dapat melakukan kerjasama dengan tokoh masyarakat seperti dukun kampung, tokoh agama, ketua RT agar mereka dapat memotivasi sikap dan sosial budaya masyarakat setempat.

5.1.2 Bagi peneliti selanjutnya

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor lainnya yang berhubungan dengan cakupan pemberian imunisasi hepatitis B misalnya jarak rumah dengan sarana kesehatan.

Daftar Rujukan

Hartono.S, (2003). Faktor Persalinan (Penolong,Tempat), Perilaku Ibu Bayi yang Berhubungan dengan Ketepatan Waktu Pemberian Imunisasi Hb (Uniject) pada Bayi Umur 0-7 hari, http://www.fkm-undip.or.id/data/index.php?action=4&idx=268, diakses tanggal 3 Mei 2013

Herawati. (2007). Pentingnya Imunisasi, www.surya.co.id/web/index2.php? diakses tanggal 16 Juni 2013

IGN, Ranuh,(2008) Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi ketiga Tahun 2008.

Mahdalena, (2004). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Kelengkapan Imunisasi Hepatitis B Pada Anak di Puskesmas Lanjar Kabupaten Barito Utara. Jurnal Kedokteran Yarsi, Vol.12. No.2 Lembaga Penelitian Universitas Yarsi Jakarta

Notoatmodjo, S.(2005). Dasar – Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta

---.(2007). Ilmu dan Seni Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta

Sarwono. (2007). Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta

Simbolon, A.M. A. (2010). Pengaruh Karakteristik Ibu dan Lingkungan Sosial Budaya Terhadap Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi 0-7 Hari di Kelurahan Aek Muara Pinang Kecamatan Sibolga Selatan Kota Sibolga Tahun 2010 http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/22569, diakses tangga 18 Agustus 2013

Syafrudin. (2009). Sosial Budaya Dasar untuk Mahasiswa Kebidanan. Trans Info Media. Jakarta

(18)

18 **Muhsinin, Ns, M.Kep, Kep.An. Dosen STIKES Muhammadiyah Banjarmasin

Gambar

Tabel  3.1  Distribusi  Frekuensi  Pekerjaan  Ibu  Bersalin  dengan  BBLR  di  RSUD  Dr
Tabel  4.8  menunjukkan  bahwa  ibu  bersalin  dengan  bayi  berat  lahir  rendah  sebagian  besar  memiliki  usia  yang  berisiko  untuk  hamil    (&lt;20  tahun  atau  &gt;35  tahun)  yaitu  berjumlah 63 orang (59,4%)
Tabel  4.12  Hubungan  Tingkat  Pendidikan  Ibu  dengan  Kejadian  BBLR  di  RSUD  Dr
Tabel 4.13 menunjukkan bahwa bayi perempuan lebih banyak memiliki status BBLR  yaitu  berjumlah  43  orang  (59,7%)  sedangkan  bayi  laki-laki  lebih  banyak  tidak  memiliki status BBLR yaitu berjumlah 77 orang (55%)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana Allah mau berbicara kepada pribadinya kalau mereka sendiri tidak pernah menelaah (menyelidiki) Alkitab padahal mereka adalah anak-anak Tuhan yang harus diberi

Hasil ini mengindikasikan bahwa formula yang diformulasi berdasarkan analisis senyawa volatil luka myasis mempunyai respon yang sama dengan pemikat standar

Diagram Alir Sistem Autotracking Stasiun Pengirim.. Diagram Alir Sistem Autotracking

menggunakan model konvensional penulis menggunakan pembelajaran biasa saat ini ternyata hasilnya kurang memuaskan, karena kekeliruan dalam memandang proses

Explosif kekuatan adalah kemampuan sebuah otot atau untuk mengatasi beban dengan kecepatan yang tinggi dalam suatu gerakan.. Kekuatan endurance adalah kemampuan daya

Jadi tujuan pembuatan use case diagram ini adalah untuk menjelaskan siapa aktor yang akan menggunakan sistem dan apa yang dikerjakan dengan sistem.. Berikut adalah tahap- tahap

Dengan demikian, serbuk ZrB2 memenuhi syarat sebagai bahan pelapis penyerap dapat bakar dari bahan bakar nuklir untuk reaktor daya tipe PWR.. Hal ini berarti

feeding behaviour Imago diamati selama dua jam dengan menghitung frekuensi mengunjungi nektar pada waktu tersebut dengan cara mencari bukit yang tertinggi hingga