• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA HASIL BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DENGAN KONSEP DIRI SISWA KELAS VII DAN VIII SMP MARSUDI LUHUR YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 20132014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA HASIL BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DENGAN KONSEP DIRI SISWA KELAS VII DAN VIII SMP MARSUDI LUHUR YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 20132014"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DENGAN KONSEP DIRI

SISWA KELAS VII DAN VIII SMP MARSUDI LUHUR

YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2013/2014

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Margaretha Keke Mayandeta NIM: 101124027

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

(5)

v

(6)
(7)
(8)

viii

ABSTRAK

Penulisan skripsi dengan judul “HUBUNGAN ANTARA HASIL BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DENGAN KONSEP DIRI SISWA KELAS VII DAN VIII SMP MARSUDI LUHUR YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2013/2014”, dilatarbelakangi oleh keprihatinan akan pentingnya pendampingan orangtua terhadap remaja. Namun, kenyataannya beberapa orangtua kurang mampu mendampingi anaknya pada masa transisi ini. Padahal masa remaja merupakan masa yang strategis untuk pembentukan konsep diri.

Konsep diri memiliki peran yang penting bagi manusia karena pikiran dan perilaku manusia digerakkan olehnya. Individu dengan konsep diri positif cenderung memiliki perilaku dan pikiran positif, begitu pula sebaliknya. Konsep diri talidak muncul begitu saja, melainkan melalui proses yang panjang dan dipengaruhi oleh banyak hal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri antara lain adalah citra fisik, peranan seksual, peranan perilaku orangtua, peranan faktor sosial, dan agama. Bagi siswa yang menempuh pendidikan formal, sekolah menjadi rumah kedua untuk membantu siswa membentuk konsep diri.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal tidak hanya bertanggung jawab terhadap prestasi akademik siswa, tetapi juga non akademik. Guru dan pihak sekolah ikut ambil bagian dalam pendampingan siswa dalam rangka membangun konsep diri positif dalam diri siswa. Begitu pula dengan PAK di sekolah mendesain materi-materinya agar dapat menjangkau aspek pribadi peserta didik. Melalui materi-materi tersebut peserta didik didampingi dalam mengenali pribadinya.

Beberapa ahli yang telah melakukan penelitian, mengungkapkan adanya hubungan antara hasil belajar dengan konsep diri. Para siswa yang memiliki prestasi belajar yang baik cenderung memiliki konsep diri yang baik pula. Hal tersebut selaras dengan hasil penelitian di SMP Marsudi Luhur Yogyakarta, bahwa ada hubungan antara hasil belajar PAK dengan konsep diri dengan nilai korelasi 0,372.

(9)

ix

The background of this thesis “THE RELATIONSHIP BETWEEN THE CATHOLIC RELIGIOUS EDUCATION’S ACHIEVEMENT AND SELF-CONCEPT OF STUDENTS OF CLASS VII AND VIII SMP MARSUDI LUHUR YOGYAKARTA 2013/2014 ACADEMIC YEAR”, is motivated by concerns about the importance of mentoring to teen parents. Nevertheless, the reality is some parents are unable to assist their children during this transition In fact, adolescence is a time that is convenient for the formation of self-concept.

The self-concept has an important role to humans because it is driven by their mind and behavior. People who have a positive self-concept tend to have positive behavior and thoughts, and the otherwise. The self-concept does not appear out of nowhere, but through a long process and influenced by many things. Factors that influence the formation of self-concept include physical images, sexual roles, the roles of parental behavior, the role of social factors, and religion. For students who take a formal education, the school becomes a second home to help them establish their self-concept.

Schools as institutions of formal education are responsible to students’ academic and non-academic achievements. Teachers and the school take part in mentoring students in order to build a positive self-concept in students. Reciprocally, the materials of PAK (Pendidikan Agama Katolik) at school are designed to reach personal aspects of learners. Through these materials students are assisted in recognizing their personal self-concept.

Some experts who have done the research, revealed the existence of a relationship between the self-concept with learning outcomes. The students who have a good learning performance tend to have a good self-concept as well. This is in line with the results of study in SMP Marsudi Luhur Yogyakarta. The writer finds out that there is a relationship between learning outcomes of PAK with the self-concept correlation value 0,372.

(10)

x

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih karunia-Nya, sehingga penulisan skripsi dengan judul “HUBUNGAN ANTARA HASIL BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DENGAN KONSEP DIRI SISWA KELAS VII DAN VIII SMP MARSUDI LUHUR YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2013/2014” ini bisa terselesaikan. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik di Universitas Sanata Dharma.

Penulisan skripsi ini bertolak dari keprihatinan penulis akan masalah yang dialami remaja pada masa transisi ini. Dimana pada masa transisi ini seorang remaja yang membutuhkan mendapat pendampingan lebih dari orangtuanya, namun tidak semua mendapatkan pendampingan yang memadai. Oleh karena itu Pendidikan Agama Katolik di sekolah berupaya untuk mendampingi siswa untuk semakin mengenali dirinya, sehingga peserta mampu mengambil hal positif dalam dirinya untuk bekal perkembangan konsep dirinya.

Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah membantu dan terlibat dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

(11)

xi

IPPAK USD, yang telah memberikan dukungan melalui sapaan-sapaannya. 3. Ibu Dra. Yulia Supriyati, M.Pd. selaku dosen pembimbing utama yang telah

memberikan pengarahan dalam skripsi ini.

4. Romo Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan-dukungan selama ini, baik dalam perkuliahan maupun dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Yoseph Kristianto, SFK, M.Pd., selaku dosen pembimbing ketiga yang telah memberikan dukungan-dukungannya melalui sapaan dan bincang-bincangnya dalam berbagai kesempatan.

6. Ibu Anastasia Rukmi Sapto Hastuti, S.Pd., dan segenap keluarga besar SMP Marsudi Luhur Yogyakarta yang telah memberi ijin untuk melakukan penelitian.

7. Segenap keluarga besar IPPAK-USD yang telah memberikan dukungan selama kuliah dan proses penulisan skripsi ini, lewat sapaan dan canda-tawanya.

8. Untuk keluargaku atas dukungannya dan kebersamaannya yang selalu memberi semangat, karena kalian aku bertahan untuk tetap bisa berjalan meskipun tidak selalu dalam kecepatan yang sama.

9. Untuk siswa SMP Marsudi Luhur Yogyakarta, khususnya kelas VII dan VIII atas kerjasama kalian sehingga penelitian ini menjadi lancar.

(12)
(13)

xiii

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………... ii

HALAMAN PENGESAHAN………... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………... iv

MOTTO……….... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………...…. vii

ABSTRAK……… viii

ABSTRACK………... ix

KATA PENGANTAR………... x

DAFTAR ISI………...…. xiii

DAFTAR TABEL………. xvi

DAFTAR DIAGRAM………... xvii

DAFTAR LAMPIRAN………. xviii

DAFTAR SINGKATAN……….. xix

BAB I. PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang……….... 1

B. Identifikasi Masalah……….... 7

C. Batasan Masalah………. 9

D. Rumusan Masalah………... 10

E. Tujuan Penulisan………. 10

F. Manfaat Penulisan………... 11

G. Metode……… 11

H. Sistematika Penulisan………. 11

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………. 13

A. Pendidikan Agama Katolik……… 13

1. Pengertian……….. 13

(14)

xiv

4. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Katolik………... 16

5. Pendidikan Agama Katolik di Sekolah Menengah Pertama... 17

B. Konsep Diri……….. 21

1. Pengertian………. 21

2. Komponen-komponen Konsep Diri………. 23

3. Dimensi Konsep Diri……… 24

4. Faktor-faktor Pembentuk Konsep Diri………. 27

5. Ciri-ciri Konsep Diri……… 31

6. Karakteristik Konsep Diri Usia SMP……….. 32

C. Penelitian yang Relevan………... 36

D. Kerangka Pikir………. 36

E. Profil SMP Marsudi Luhur Yogyakarta………... 40

F. Definisi Operasional………. 42

G. Variabel……… 42

H. Desain Penelitian……….. 42

I. Hipotesis……… 43

BAB III. METODOLOGI DAN HASIL PENELITIAN………. 44

A. Jenis Penelitian………. 44

B. Metode Penelitian………. 44

C. Tempat dan Waktu Penelitian……….. 45

1. Tempat Penelitian………. 45

2. Waktu Penelitian……….. 45

D. Responden Penelitian………... 45

E. Instrumen……….. 46

F. Variabel………. 47

G. Uji Coba Instrumen……….. 48

1. Validitas……… 48

2. Reliabilitas……… 49

(15)

xv

H. Hasil Penelitian……… 53

I. Pembahasan………... 57

J. Keterbatasan Penelitian……….. 61

BAB IV. UPAYA PENINGKATAN KONSEP DIRI SISWA SMP MARSUDI LUHUR YOGYAKARTA MELALUI PROGRAM KATEKESE UMAT MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS……….. 63

A. Latar Belakang Usulan Program………... 63

B. Alasan Pemilihan Tema……… 64

C. Rumusan Tema dan Tujuan………... 65

D. Penjabaran Program……….. 67

E. Petujuk Pelaksanaan Program………... 70

F. Contoh Satuan Program Shared Christian Praxis………. 72

BAB V. PENUTUP………... 86

A. Kesimpulan……… 86

B. Saran……….. 87

1. Untuk Siswa Kelas VII dan VIII SMP Marsudi Luhur Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014……….. 87

2. Untuk SMP Marsudi Luhur Yogyakarta……….. 87

3. Untuk Guru Pendidikan Agama Katolik……….. 88

4. Untuk Penelitian Selanjutnya………... 88

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penilaian Jawaban ... 46

Tabel 2. Variabel Penelitian ... 47

Tabel 3. Validitas Instrumen ... 48

Tabel 4. Reliabilitas Instrumen ... 49

Tabel 5. Nilai Normalitas Data ... 50

Tabel 6. Nilai Homoskedastisitas Data ... 51

Tabel 7. Nilai Autokorelasi Data ... 51

Tabel 8. Seleksi Item Instrumen... 52

Tabel 9. Deskripsi Data Penelitian ... 53

Tabel 10. Korelasi Nilai Mata Pelajaran PAK terhadap Konsep Diri ... 54

Tabel 11. Acuan Patokan Skala Huruf ... 55

Tabel 12. Nilai Siswa Dalam Skala Huruf ... 56

Tabel 13. Norma Kategorisasi Konsep Diri ... 56

(17)

xvii

Diagram 1. Nilai PAK dalam Skala Huruf……… 58

Diagram 2. Konsep Diri………... 59

(18)

xviii

Lampiran 1 : Surat Permohonan Ijin Penelitian……….. (1)

Lampiran 2 : Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian………. (2)

Lampiran 3 : Sampel Skala Konsep Diri Responden……….. (3)

Lampiran 4 : Kisi-kisi………. (7)

Lampiran 5 : Instrumen Penelitian……….. (11)

Lampiran 6 : Validitas Instrumen………... (15)

Lampiran 7 : Data Penelitian dalam Huruf………. (17)

Lampiran 8 : Data Penelitian dalam Angka……… (19)

Lampiran 9 : Data Kategorial Nilai PAK dan Konsep Diri………… (21)

(19)

xix

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan

kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departmen Agama Katolik Repubik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965.

C. Singkatan Lain

Art : Artikel

BKKBN : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta

Humas : Hubungan Masyarakat

KWI : Konferensi Wali Gereja Indonesia Menag : Menteri Agama

Mendikbud: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan PAK : Pendidikan Agama Katolik

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik dan psikologi. Rentang waktu untuk masa remaja menurut Stanley Hall sebagaiman dikutip dalam Santrock (2003: 10) adalah antara usia 12 sampai 23 tahun. Pada masa ini seorang individu mengalami pertumbuhan fisik yang sangat pesat, namun kadangkala pertumbuhan fisik tidak berjalan beriringan dengan pertumbuhan psikologinya. Oleh karena itu, tak jarang remaja kurang bisa menerima kondisi dirinya, seringkali remaja memiliki emosi yang kuat dan meledak-ledak, baik sedih, bahagia, kecewa, ataupun marah.

Berkaitan dengan upaya penyesuaian diri ke arah dewasa, para remaja biasanya mengalami kebingungan dalam menemukan konsep dirinya. Hal ini dikarenakan pada usia remaja mereka belum menemukan status dirinya secara utuh. Konsep diri penting dalam diri seseorang karena konsep diri merupakan kerangka acuan seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Konsep diri remaja akan mempengaruhi pola perilaku dirinya. Konsep diri yang positif diprediksi akan menghasilkan perilaku dan penyesuaian secara positif. Sebaliknya, konsep diri yang negatif diprediksi akan menghasilkan perilaku yang negatif.

(21)

masa krisis dalam masa remaja dimana seorang remaja berusaha untuk mencari identitas diri. Identitas diri yang tergambar dalam diri remaja akan sangat mempengaruhi kepribadian dan sikapnya. Identitas diri seorang individu tidaklah muncul begitu saja sejak seorang individu terlahir ke dunia, melainkan dibentuk melalui proses dan pengalaman yang dialami dari kecil. Pernyataan Erikson tersebut diperkuat oleh Kohut sebagaimana dikutip dalam Semiun (2006: 25) yang menyatakan bahwa, konsep diri merupakan pengatur utama perkembangan psikologis, yang membuat proses diri berkembang dari samar-samar sampai kepada suatu perasaan identitas diri yang jelas dan tepat.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan konsep seorang individu. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor eksternal dan internal. Faktor ekternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri individu. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi konsep diri individu antara lain lingkungan tempat tinggal, baik lingkungan fisik maupun sosial. Ada pepatah mengatakan bahwa “Bersih pangkal Sehat”. Dari pepatah tersebut maka orang terkonsep bahwa kalau mau hidup sehat maka harus menciptakan kebersihan. Begitu pula dengan lingkungan yang bersih dan rapi, dapat membuat individu yang tinggal di dalamnya merasa nyaman, sehat dan terjauh dari bibit penyakit. Faktor yang lainnya adalah pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu, dinamika dalam keluarga, pola asuh orang tua, dan bagaimana orang lain memandang dirinya.

(22)

yang artinya adalah kacamata diri. Dari banyak hal baik dan buruk yang dimiliki oleh individu, hal-hal tersebut akan menjadi kekuatan positif untuk membentuk konsep diri positif jika individu tersebut mampu mengolah dan merefleksikannya dengan baik. Oleh karena itu, individu perlu mendapat pendampingan dalam memaknai dan mengolah hal-hal baik dan buruk, pengalaman baik dan buruk yang dimilikinya. Dalam hal ini keluarga khususnya orangtua merupakan pendamping utamanya. Pendampingan dimaksudkan untuk mengarahkan individu untuk menemukan makna-makna positif yang berguna untuk pembentukan konsep diri positif dalam dirinya.

Humas BKKBN (2013: 1) melalui website resmi www.bkkbn.go.id menyatakan berdasarkan sensus penduduk dari BPS pada tahun 2010, jumlah remaja usia 10-24 tahun sekitar 64 juta atau 27.6% dari jumlah penduduk sebanyak 237.6 juta jiwa. Besarnya jumlah kelompok usia remaja ini jelas memerlukan perhatian dan penanganan serius dari seluruh pihak. Perilaku menyimpang seperti penyalahgunaan obat-obat terlarang, mengkonsumsi alkohol, dan kekerasan di kalangan usia muda, juga menjadi ekses atau dampak lanjutan dari akar permasalahan remaja tersebut yang terjadi karena kurangnya perhatian orang tua terhadap anak. Berkaitan dengan hal tersebut, pada peringatan Hari Kependudukan Dunia BKKBN mengadakan seminar dengan tema “Tahu Masalah

Remaja, Peduli Masalah Remaja, dan Stop Galau pada Remaja” pada 11 Juli 2013.

(23)

terhadap anak di DIY sudah tinggi. Dikatakan, Bantul menduduki angka cukup tinggi, seperti kasus nikah usia dini. Dijelaskan hingga Februari tahun 2012 terdapat 135 kasus, disusul kemudian Sleman, Kota dan Kulonprogo jauh di bawah Bantul dan Gunung Kidul ada 145 kasus. Sedangkan data kasus kekerasan yang ditangani Lembaga Perlindungan Anak DIY diawal tahun 2012, di DIY angka tertinggi adalah kekerasan pengasuhan sebanyak 13, disusul kekerasan pencurian sebanyak 11, kekerasan seks sebanyak 10, kekerasan fisik sebanyak 8, kekerasan psikis sebanyak 3 dan narkoba sebanyak 1 kasus. Beberapa kasus bunuh diri di kalangan remaja disebabkan oleh permasalahan yang sepele. Mulai dari putus cinta, masalah akademis, broken home, hingga persoalan dengan teman sebaya.

(24)

Pada masa remaja, seorang anak membutuhkan pendidikan baik secara formal, nonformal maupun informal. Pendidikan dalam keluarga sangat diperlukan untuk menemani seorang anak pada masa krisis dalam proses mengenali dirinya. Ia membutuhkan bantuan pada masa perkembangan itu untuk memahami siapa dirinya, apa tujuan hidupnya. Pemahaman terhadap dirinya sendiri merupakan kunci bagi seorang individu dalam membentuk konsep diri. Namun kenyataannya, tidak semua anak mendapat pendampingan yang semestinya dari orangtua. Masih ada pula anak-anak remaja yang tinggal di dalam keluarga yang kurang kondusif untuk masa perkembangannya.

Melihat kenyataan tersebut peran lembaga pendidikan formal bagi seorang remaja menjadi sangat penting. Sekolah ikut bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik secara utuh, baik akademik maupun non-akademik. Masing-masing mata pelajaran dirancang untuk membantu siswa agar berkembang secara utuh sebagai manusia. Pengetahuan dan pembinaan yang ditawarkan dapat membantu seorang anak untuk memiliki pemahaman yang luas dan relasi sosial yang seimbang. Pendidikan diharapkan memberikan pengaruh kuat dalam membentuk konsep diri yang positif seorang remaja. Konsep diri positif sangat penting bagi seorang remaja, karena konsep diri dapat menunjukkan identitas diri serta menjadi dasar aktualisasi diri. Melalui pendidikan seorang remaja diajak untuk berpikir ke depan, mengarahkan diri pada orientasi hidup.

(25)

adalah pendidikan moral dan pembinaan mental. Pendidikan moral yang paling baik terdapat dalam agama karena nilai-nilai moral yang dapat dipatuhi dengan kesadaran sendiri dan penghayatan tinggi tanpa ada unsur paksaan dari luar berasal dari keyakinan beragama.

Melalui pendidikan agama, keyakinan akan kehidupan bermoral dapat dipupuk dan ditanamkan sedari kecil sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari kepribadian anak sampai ia dewasa. Oleh karena itu, pendidikan agama di sekolah mendapat beban dan tanggung jawab yang tidak sedikit apalagi jika dikaitkan dengan upaya pembinaan mental remaja. Pentingnya pendidikan agama juga mengingat bahwa pada usia remaja seorang anak mengalami gejolak kejiwaan yang berimbas pada perkembangan mental dan pemikiran, emosi, kesadaran sosial, pertumbuhan kesadaran moral, sikap dan kecenderungan positif serta keberimanannya.

(26)

PAK merupakan salah satu dari mata pelajaran yang diberikan oleh guru di sekolah. Pada mata pelajaran PAK kelas VII, materi yang diberikan adalah mengenai manusia sebagai citra Allah, kelemahan dan kelebihan, syukur atas hidup, dan hidup sebagai laki-laki atau perempuan. Tema-tema pelajaran PAK tersebut dapat membantu anak didik untuk memahami dirinya secara positif.

Materi PAK pada tingkat menengah pertama dirancang sedemikian rupa untuk membantu siswa mengenali serta memahami dirinya sebagai citra Allah. Kej 1:31 menyatakan bahwa “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” Dengan mengenali dan memahami dirinya sebagai ciptaan Allah yang baik adanya, siswa diharapkan mampu membentuk konsep diri yang positif pula. Di saat seorang anak sadar bahwa dirinya adalah citra Allah ia akan lebih menghargai hidupnya dan melihat dirinya secara lebih positif. PAK memberikan pemahaman pada anak tentang betapa Allah menghargai setiap pribadi sebagai ciptaan yang istimewa karena serupa dan segambar dengan Allah sendiri.

Bertolak dari latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan judul skripsi sebagai berikut “HUBUNGAN ANTARA HASIL BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DENGAN KONSEP DIRI SISWA KELAS VII DAN VIII SMP MARSUDI LUHUR YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2013/2014”

B. Identifikasi Masalah

(27)

remaja. Masa remaja merupakan masa transisi yang berpengaruh terhadap aspek fisik dan psikologi pada remaja. Pada masa ini, remaja biasanya mengalami masa krisis karena ia belum mempunyai konsep diri yang jelas. Perkembangan fisik remaja yang pesat kadangkala menimbulkan gejolak-gejolak pada diri remaja. Di sisi lain, perkembangan psikologi pada remaja tidak secepat perkembangan fisiknya. Oleh karena itu, tak jarang jika di kalangan remaja, perasaan cenderung lebih mendominasi setiap perilaku dan keputusan-keputusan yang mereka ambil. Dengan kondisi yang seperti itu, remaja membutuhkan pendampingan terutama dari orangtuanya. Banyak faktor, baik dari lingkungan sekitar maupun dari dalam diri sendiri yang dapat mempengaruhi pembentukan konsep diri mereka. Jika tidak mendapat pendampingan yang baik dan tepat, dikhawatirkan dapat mengganggu para remaja dalam proses membentuk konsep diri mereka.

(28)

Oleh karena itu, remaja membutuhkan pendidikan baik formal, informal, maupun nonformal untuk keseimbangan perkembangan kepribadiannya. Sekolah menjadi rumah kedua bagi remaja yang bersekolah, untuk menemukan konsep diri dan mengembangkan dirinya. Sekolah hendaknya menciptakan program-program dan situasi yang kondusif, sehingga memungkinkan siswa untuk memiliki pengalaman-pengalaman positif yang berguna untuk perkembangannya. Begitu pula dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, hendaknya juga mencerminkan hal tersebut.

Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik di sekolah memiliki empat aspek materi pembelajaran, salah satunya adalah aspek pribadi peserta didik. Dalam materi Pendidikan Agama Katolik pada kelas VII semester satu, materi dirancang sedemikian rupa untuk membantu siswa mengenali dan memahami dirinya sebagai citra Allah. Dengan mengenali dan memahami dirinya sebagai ciptaan Allah yang baik adanya, siswa diharapkan mampu membentuk konsep diri yang positif. Berdasarkan uraian tersebut, Pendidikan Agama Katolik diharapkan mampu berperan dalam menjawab masa krisis yang dialami oleh siswa dan mampu mengarahkan siswa dalam membentuk konsep diri yang positif.

C. Batasan Masalah

(29)

Agama Katolik dalam lingkup sekolah selama semester pertama pada tahun pertama di SMP Marsudi Luhur Yogyakarta, konsep diri siswa kelas VII dan VIII SMP Marsudi Luhur Yogyakarta tahun ajaran 2013/2014, dan pengaruh mata pelajaran PAK terhadap konsep diri siswa kelas VII dan VIII SMP Marsudi Luhur Yogyakarta tahun ajaran 2013/2014.

D. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah yang dimaksud dengan Pendidikan Agama Katolik dan konsep diri? 2. Bagaimana hasil belajar PAK dan konsep diri siswa kelas VII dan VIII SMP

Marsudi Luhur Yogyakarta tahun ajaran 2013/2014?

3. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan konsep diri siswa kelas VII dan VIII SMP Marsudi Luhur Yogyakarta tahun ajaran 2013/2014?

E. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah:

1. Mengetahui tentang Pendidikan Agama Katolik dan konsep diri.

2. Mengetahui hasil belajar PAK dan konsep diri siswa kelas VII dan VIII SMP Marsudi Luhur Yogyakarta tahun ajaran 2013/2014.

(30)

4. Untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik.

F. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan ini adalah untuk memberikan wawasan bagi guru mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik khususnya tingkat Sekolah Menengah Pertama, bahwa konsep diri khususnya konsep diri positif sangat penting bagi remaja. Hal tersebut dikarenakan konsep diri dapat mempengaruhi seluruh kepribadian dan sikap siswa. Konsep diri positif dapat dibentuk salah satunya melalui materi-materi pada mata pelajaran PAK di kelas VII pada semester I.

G. Metode

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif-analitis. Penulis akan memaparkan teori-teori yang sesuai dengan tema skripsi ini. Kemudian penulis mengumpulkan data-data yang mendukung penulisan skripsi untuk dianalisis dan diolah sehingga dapat menggambarkan jawaban atas permasalahan yang ada.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab. Kelima bab tersebut antara lain sebagi berikut:

(31)

Bab II adalah kajian teori mengenai PAK dan kosep diri. Selain itu, pada bab ini juga dipaparkan mengenai profil SMP Marsudi Luhur Yogyakarta kerangka pikir, hipotesis, desain penelitian, dan variabel penelitian.

Bab III adalah metodologi penelitian. Bab ini memaparkan mengenai jenis penelitian, metode penelitian, tempat dan waktu penelitian, responden penelitian, instrumen yang digunakan dalam penelitian, variabel penelitian, dan hasil uji coba instrumen penelitian. Pada bab ini juga dipaparkan hasil penelitian dan pembahasannya.

Bab IV adalah usulan program. Usulan program merupakan bentuk tindak lanjut dari hasil penelitian yang dipaparkan pada bab III.

(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendidikan Agama Katolik

1. Pengertian

Untuk dapat memahami istilah Pendidikan Agama Katolik, perlu adanya pemahaman mengenai katekese. Pendidikan Agama Katolik merupakan bentuk katekese di sekolah. Kata katekese berasal dari bahasa Yunani yaitu “katechein”, yang berarti menyuarakan dengan keras, menggemakan, mengumumkan (Groome, 2010: 39). Kemudian kata tersebut memiliki perkembangan makna yang akhirnya ditempatkan sebagai kegiatan pengajaran sebagai usaha untuk melakukan Pendidikan Kristen secara lebih luas (Groome, 2010: 40). Dari istilah tersebut dapat disimpulkan, bahwa Pendidikan Agama Katolik merupakan bentuk pengajaran iman Katolik yang dilakukan di sekolah.

Dalam Silabus Pendidikan Agama Katolik Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Komisi Kateketik KWI (2007b: 9) mendefinisikan Pendidikan Agama

Katolik sebagai usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, dengan tetap memperhatikan penghormatan terhadap agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.

(33)

murid, melalui proses berdasar pendekatan tertentu dengan bantuan materi, metode, dan media yang bertitik tolak dari keadaan awal tertentu menuju tujuan tertentu (Dapiyanta, 2008: 1).

2. Hakikat Pendidikan Agama Katolik

Gereja melalui Gravissimum Educationis art. 3, berpandangan bahwa pendidikan bertujuan untuk memperkembangkan dan menyempurnakan hidup manusia di dalam segala aspeknya. Gereja meyakini bahwa pendidikan juga merupakan cara bagi manusia untuk menemukan dan memantabkan identitas atau jati diri seorang individu. Di Indonesia, Pendidikan Agama Katolik sebagai bagian dari pendidikan formal memiliki beberapa ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan.

Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 37 sebagaimana dikutip dalam Dapiyanta (2008: 3) menyebutkan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama. Mendikbud dan Menag RI No. 0198/U/1985 memutuskan bahwa pendidikan agama yang dimaksudkan adalah pendidikan agama Islam, pendidikan agama Kristen Katolik, pendidikan agama Kristen Protestan, pendidikan agama Hindu, dan pendidikan agama Buddha (Dapiyanta, 2008: 3).

(34)

dengan tetap memperhatikan penghormatan terhadap agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.

Di sisi lain, dalam Silabus Pendidikan Agama Katolik Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Komisi Kateketik KWI (2007a: 9) menyatakan bahwa agama

memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama merupakan suatu alat penuntun bagi manusia dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang lebih bermakna, damai dan bermartabat. Oleh karena peran agama yang penting bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi suatu hal yang tidak boleh dilewatkan. Internalisasi agama dapat ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.

Pendidikan agama memiliki tujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spiritual. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan Agama. Peningkatan potensi spiritual meliputi pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual memiliki tujuan akhir untuk mengoptimalkan berbagai potensi yang dimiliki manusia dimana aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.

3. Tujuan Pendidikan Agama Katolik

(35)

Kateketik KWI (2007b: 10) adalah agar peserta didik memiliki kemampuan untuk membangun hidup yang semakin beriman. Membangun hidup beriman Kristiani berarti membangun kesetiaan pada Injil Yesus Kristus, yang memiliki keprihatinan tunggal, yakni Kerajaan Allah. Kerajaan Allah merupakan situasi dan peristiwa penyelamatan, situasi dan perjuangan untuk perdamaian dan keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan, persaudaraan dan kesetiaan, kelestarian lingkungan hidup, yang dirindukan oleh setiap orang dari pelbagai agama dan kepercayaan.

4. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Katolik

Ruang lingkup materi pembelajaran dalam Pendidikan Agama Katolik di sekolah mencakup empat aspek yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Dalam Silabus Pendidikan Agama Katolik Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Komisi Kateketik KWI (2007b: 10) keempat aspek yang dimaksudkan adalah aspek pribadi peserta didik, Yesus Kristus, Gereja, dan kemasyarakatan.

a. Pribadi peserta didik

Aspek ini membahas tentang pemahaman diri sebagai pria dan wanita yang memiliki kemampuan dan keterbatasan, kelebihan dan kekurangan dalam berelasi dengan sesama serta lingkungan sekitarnya. Tujuan akhir dari aspek ini adalah agar peserta didik mampu bersyukur (Komisi Kateketik KWI, 2007b: 10).

b. Yesus Kristus

(36)

mewartakan Allah Bapa dan Kerajaan Allah, sehingga peserta didik mampu meneladani-Nya (Komisi Kateketik KWI, 2007b: 10).

c. Gereja

Aspek ini membahas tentang makna gereja. Gereja merupakan persekutuan murid-murid Yesus yang dipanggil serta diutus untuk menjadi pewarta, saksi, dan pelaksana karya keselamatan Kristus. Oleh karena itu pada aspek ini menekankan pula bagaimana mewujudkan kehidupan menggereja dalam realitas hidup sehari-hari (Komisi Kateketik KWI, 2007b: 10).

d. Kemasyarakatan

Aspek ini membahas secara mendalam tentang hidup bersama dalam masyarakat sesuai dengan firman Allah atau sabda Tuhan, ajaran Yesus dan ajaran agama. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa Kristus hadir di dunia bukan hanya untuk umat Katolik saja, melainkan untuk semua orang (Komisi Kateketik KWI, 2007b: 10).

5. Pendidikan Agama Katolik di Sekolah Menengah Pertama

(37)

Pendidikan Agama Katolik Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Kristianto,

2013: 4) adalah sebagai berikut:

Semester I

Kompetensi Dasar Materi PAK

(38)

Pada materi yang dipaparkan di atas, materi-materi tersebut dirancang untuk membantu siswa mengolah diri, sehingga siswa dapat menerima diri dan sampai pada rasa syukur. Hal tersebut dapat membantu siswa untuk menanamkan pikiran positif akan pribadinya.

SMP Marsudi Luhur Yogyakarta merupakan salah satu sekolah yang menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebagai pedoman kegiatan belajar dan mengajar. Materi pelajaran PAK untuk kelas VII pada semester I yang utama diambil dari buku Persekutuan Murid-murid Yesus-Pendidikan Agama Katolik untuk SMP dengan Tema I yaitu Manusia Makhluk Pribadi dan Sosial. Buku tersebut disusun oleh Komisi Kateketik KWI dan diterbitkan oleh Penerbit Kanisius.

Keprihatinan yang melandasi tema yang pertama ini menurut Komisi Kateketik KWI (2007a: 13) adalah siswa SMP kelas VII yang sedang memasuki masa peralihan. Di dalam masa peralihan tersebut, siswa mengalami banyak perubahan baik dari segi fisik, psikologi, dan segi-segi yang lain. Perubahan-perubahan tersebut dapat menimbulkan kebingungan bagi individu yang mengalami. Mereka mulai mempertanyakan tentang diri mereka. Dengan situasi semacam itu, maka siswa perlu mendapat pendampingan dan pengarahan yang memadai agar siswa mampu memperkembangkan dirinya secara positif.

(39)

pertama ini mempunyai fokus tujuan untuk membantu siswa menemukan kesadaran dan kepercayaan diri sebagai pribadi ciptaan Allah, baik sebagai perempuan dan laki-laki, yang mempunyai martabat luhur dan memiliki kelebihan serta keterbatasan. Kesadaran tersebut diharapkan mampu mendorong siswa untuk dapat menerima diri apa adanya, mensyukurinya, sekaligus mengarahkan pengembangan dirinya secara lebih baik. Ada kompetensi dasar yang diharapkan mampu dicapai oleh siswa dalam bagian pertama ini. Menurut Komisi Kateketik KWI (2007a: 14) kompetensi dasar tersebut adalah siswa memahami dan menyadari bahwa dirinya diciptakan sebagai citra Allah, baik sebagai perempuan maupun laki-laki, yang memiliki kemampuan dan keterbatasan dapat menerima diri apa adanya.

Bagian pertama dari buku Persekutuan Murid-murid Yesus Pendidikan Agama Katolik untuk SMP ini terdiri dari 12 pelajaran. Keduabelas pelajaran itu adalah Martabat Luhur sebagai Citra Allah, Panggilan Manusia sebagai Citra Allah, Aku Memiliki Kemampuan, Kemampuanku Terbatas, Syukur Atas Hidup, Aku Diciptakan Baik Adanya sebagai Perempuan atau Laki-laki, Perempuan dan Laki-laki Sederajat, Seksualitas sebagai Anugerah Allah, Penghayatan Seksualitas yang Benar, Persahabatan, Persahabatan Sejati, dan Pacaran.

(40)

menganalisis, serta menginterpretasikan informasi untuk menentukan seberapa jauh seorang siswa atau sekelompok siswa mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, baik aspek pengetahuan, sikap maupun pengetahuan. Kusaeri & Suprananto (2012: 9) mengungkapkan bahwa salah satu tujuan dari penilaian adalah untuk menyimpulkan apakah siswa telah menguasai seluruh kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum atau belum. Maka dari itu, dengan kata lain prestasi atau hasil belajar siswa dalam konteks pendidikan formal atau dalam bidang akademik dilihat dari tinggi atau rendahnya nilai yang dicapai siswa.

B. Konsep Diri

1. Pengertian

Konsep diri dapat diibaratkan seperti prosesor dalam diri kita. Segala pikiran dan tingkah laku seorang individu digerakkan oleh konsep dirinya. Maka dari itu konsep diri menjadi salah satu hal yang sangat penting bagi manusia. Konsep diri bukan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari refleksi individu atas pengalamannya dalam berinteraksi dengan orang lain (Pudjijogyanti, 1985: 8).

(41)

pelakunya.

Seorang ahli psikologi dari Nesbraska, Luthans sebagaimana dikutip dalam Hasballah M. Saad (2003: 39) mengemukakan bahwa konsep diri adalah bagaimana seseorang melihat kepribadiannya dari sudut pandang dalam diri sendiri. Calhoun dan Cocella sebagaimana dikutip dalam Hasballah M. Saad (2003: 40) mengartikan konsep diri secara sederhana yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya dengan caranya masing-masing.

Sebagai tokoh psikologi humanistik, Rogers sebagaimana dikutip dalam Feist & Feist (2011: 9) mengungkapkan bahwa konsep diri bagian sadar dari ruang fenomenal yang disadari dan disimbolisasikan, dimana „aku‟ merupakan pusat referensi setiap pengalaman. Konsep diri merupakan bagian inti dari pengalaman individu yang secara perlahan dibedakan dan disimbolisasikan sebagai bayangan tentang diri yang mengatakan „apa dan siapa aku sebenarnya‟ dan „apa yang harus saya perbuat‟.

Cawagas sebagaimana dikutip dalam Pudjijogyanti (1985: 2) menjelaskan bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kepandaiannya, kegagalannya, dan lain sebagainya. Santrock sebagaimana dikutip dalam Desmita (2009: 163) menggunakan istilah konsep diri untuk mengacu pada evaluasi pada bidang tertentu pada diri sendiri.

(42)

mendefinisikan konsep diri sebagai sistem yang dinamis dan kompleks dari keyakinan yang dimiliki seseorang tentang dirinya, termasuk sikap, perasaan, persepsi, nilai-nilai dan tingkah laku yang unik dari seorang individu.

Berdasarkan pendapat-pendapat tentang konsep diri di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah gambaran yang dimiliki oleh seorang individu mengenai dirinya, dimana gambaran tersebut ia didapatkan dari perpaduan pandangannya sendiri terhadap dirinya serta pandangan orang lain mengenai dirinya.

2. Komponen-komponen Konsep Diri

Konsep diri memili tiga komponen. Komponen-komponen tersebut menurut Hurlock (1898: 22) adalah: komponen persepsi, komponen konseptual, dan komponen sikap.

a. Komponen persepsi (The perceptual component)

(43)

self-concept, yang berarti konsep diri fisik (Hurlock, 1898: 22).

b. Komponen konseptual (The conceptual component)

Komponen konseptual adalah konsepsi seorang individu akan karakter khusus yang dimilikinya. Karakter tersebut meliputi kemampuan dan ketidakmampuannya, dan karakter yang muncul karena latar belakang dan asal-usulnya, serta kemungkinan masa depannya. Komponen ini sering disebut konsep diri psikologis yang terdiri dari kualitas penyesuaian diri, kejujuran, kepercayaan diri, kemandirian, keberanian, tanggung jawab dan kebalikan dari sifat-sifat tersebut (Hurlock, 1898: 22).

c. Komponen sikap (The attitudinal component)

Komponen sikap adalah perasaan yang dimiliki seseorang terhadap dirinya, sikapnya tentang statusnya saat ini dan kemungkinan-kemungkinan masa depan yang ia miliki, perasaan tentang kelayakan, dan sikapnya dalam menghargai dirinya sendiri, merasa bersalah, rasa bangga, dan rasa malu. Bagi orang yang mencapai usia dewasa, komponen sikap meliputi kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, cita-cita, aspirasi, dan komitmen, yang membentuk filosofi hidupnya (Hurlock, 1898: 22).

3. Dimensi Konsep Diri

(44)

a. Pengetahuan (self-image)

Dimensi pertama dari konsep diri adalah pengetahuan. Dalam konteks konsep diri, pengetahuan dimaknai sebagai apa yang diketahui mengenai diri sendiri. Dengan kata lain adalah gambaran mengenai “siapa saya.” Gambaran diri tersebut mencakup pandangan mengenai peran, sikap, kepribadian, kelebihan, kekurangan, dan berbagai karakteristik yang ada dalam diri individu tersebut.

Dimensi pengetahuan memiliki sifat yang subyektif. Persepsi yang dimiliki seorang individu akan gambaran dirinya seringkali kurang sesuai dengan kenyataan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain karena ingin mendapat kesan yang baik dari masyarakat. Oleh karena itu, pandangan seorang individu terhadap dirinya bersifat subyektif karena memandang dari versi diri sendiri.

Dimensi pengetahuan juga bersifat dinamis, karena gambaran diri hari ini bisa jadi berbeda dengan gambaran diri di masa mendatang. Hal itu disebabkan, gambaran diri diperoleh dari perbandingan antara dirinya dengan orang-orang di sekitarnya. Perbedaan situasi dan lingkungan dimana individu berada dapat menjadikan konsep diri berbeda. Oleh karena itu, gambaran diri dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang melingkupi individu tersebut (Desmita, 2009: 166).

b. Harapan (self-ideal)

(45)

tersebut juga mempunyai sejumlah pandangan lain tentang kemungkinan menjadi apa dirinya di masa mendatang. Misalnya, seorang individu yang menyadari dirinya seorang sarjana ekonomi memiliki harapan untuk menjadi manajer di sebuah perusahaan.

Self-ideal dapat meliputi dambaan, aspirasi, harapan, keinginan, dan

keyakinan terhadap diri sendiri akan cita dan harapannya. Self-ideal atau cita-cita diri akan membentuk konsep diri dan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seorang individu, misalnya pantang menyerah. Hal ini disebabkan harapan-harapan tersebut akan membuat individu menjadi terdorong untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, setiap individu perlu memiliki cita-cita diri (self-ideal) yang realistis sesuai dengan kondisi dirinya (Desmita, 2009: 167).

c. Penilaian (self-evaluation)

Dimensi penilaian merupakan dimensi yang ketiga dari konsep diri. Desmita (2009: 168) mendefinisikan penilaian diri sebagai pandangan seorang individu tentang harga diri atau kewajaran dirinya sebagai pribadi. Menurut Calhoun dan Acocella sebagaimana dikutip dalam Desmita (2009: 168) menyatakan ada dua hal yang menjadi penilaian seorang individu terhadap dirinya. Pertama, apakah yang ia lakukan sudah sesuai dengan harapan-harapanya atau belum. Kedua, apakah yang ia kerjakan sudah sesuai dengan standard yang ia tetapkan atau belum. Semakin tinggi standar yang dimiliki seorang individu, maka biasanya semakin tinggi pula harga diri yang dimiliki individu tersebut.

(46)

(self-esteem) yang berarti evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara positif dan negatif. Kemudian hal ini akan mempengaruhi seberapa banggakah seorang individu terhadap dirinya sendiri. Seorang individu yang hidupnya sesuai dengan harapan-harapan dan standar yang sudah ia tetapkan, akan memiliki rasa harga diri yang tinggi. Sebaliknya, seorang individu yang hidupnya tidak sesuai dengan harapan cenderung memiliki rasa harga diri yang rendah (Desmita, 2009: 169).

4. Faktor-faktor Pembentuk Konsep Diri

Konsep diri tidaklah terbentuk dengan sendirinya ketika seorang individu terlahir ke dunia, melainkan melalu proses yang panjang serta dipengaruhi oleh beberapa hal. Beberapa hal yang dapat membentuk konsep diri seseorang menurut Pudjijogyanti, yaitu citra fisik, peran seksual, peranan perilaku orangtua, peranan faktor sosial, dan agama.

a. Citra fisik

Keadaan fisik seorang individu dapat mempengaruhi kepribadian individu tersebut. Dari keadaan fisik, seseorang bisa merasa percaya diri, rendah diri, kecewa, atau puas. Burns sebagaimana dikutip dalam Pudjijogyanti (1985: 10) menyatakan bahwa penilaian positif terhadap kondisi fisik seseorang akan membantu individu tersebut untuk berpikir positif. Seorang individu yang mendapat penilaian fisik yang baik akan merasa puas dan lebih mudah menerima kondisi dirinya. Rasa puas merupakan awal dari sikap positif terhadap dirinya.

(47)

berdasarkan dimensi tubuh yang ideal. Dimana pandangan tubuh yang ideal mengacu pada pandangan ukuran tubuh ideal dalam masyarakat. Oleh karena itu, agar memiliki citra fisik yang baik, seorang individu mengarahkan dirinya pada bentuk tubuh ideal menurut pandangan masyarakat (Pudjijogyanti 1985: 10).

b. Peran seksual

Berawal dari perbedaan kondisi biologis antara laki-laki dan perempuan, hal tersebut berdampak pula pada perbedaan peran dan tugas antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran tersebut berdampak terhadap perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut akhirnya juga membentuk pandangan masyarakat mengenai perempuan dan laki-laki. Stigma yang sering muncul di dalam masyarakat kita adalah laki itu dianggap kuat. Hal ini disebabkan laki-laki cenderung memiliki struktur tubuh dan otot-otot yang kekar. Perempuan dengan tubuh yang gemulai dan kelemah lembutannya dipandang sebagai makhluk yang lemah. Stigma-stigma yang ada dalam masyarakat tersebut dapat pula mempengaruhi pemikiran dan penerimaan diri seorang individu sebagai seorang laki-laki atau perempuan (Pudjijogyanti, 1985: 12).

c. Peranan perilaku orangtua

(48)

yang memiliki relasi dekat dengan anak (Pudjijogyanti, 1985: 16).

Pola seorang anak dalam berinteraksi dengan keluarga menentukan pola anak dalam berinteraksi dengan orang lain. Coopersmith sebagaimana dikutip dalam Pudjijogyanti (1985: 17) pernah membuat penelitian mengenai peranan kondisi keluarga tehadap konsep diri anak. Dari penelitian tersebut diperoleh suatu kesimpulan, bahwa kondisi keluarga yang buruk dapat menyebabkan konsep diri yang rendah pada anak. Yang dimaksud dengan kondisi keluarga yang buruk adalah kurangnya pengertian antara orangtua dengan anak, hubungan antara ayah-ibu yang kurang serasi, kurangnya sikap penerimaan orangtua terhadap kondisi anaknya, dan tuntutan-tuntutan dari orangtua yang kurang sesuai dengan kondisi anak.

Desmita (2009: 223) menyatakan keterikatan orangtua dengan anak di masa remaja, merupakan faktor penting dalam menentukan arah perkembangan anak di masa remaja. Ketika menginjak masa remaja, seorang anak punya kecenderungan untuk mempertanyakan dan menentang orangtua dan lebih dekat dengan teman sebayanya. Mereka mulai memasuki tahap membangun relasi sosial. Dalam hal ini, keterikatan remaja dengan orangtua menyangga remaja dari perasaan-perasaan depresi dan kecemasan. Perasaan-perasaan tersebut muncul karena anak menghadapi masa transisi dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan di luar lingkungan keluarga, misalnya kehidupan di sekolah.

d. Peranan faktor sosial

(49)

lain, maka seorang individu dapat mengetahui persepsi orang lain akan dirinya. Semakin banyak interaksi sosial yang dibangun oleh individu baik di lingkungan masyarakat, sekolah, maupun komunitasnya, maka seorang individu akan mendapat persepsi yang semakin beragam. Gabriel Marcel sebagaimana dikutp dalam Pudjijogyanti (1985: 16) menyatakan bahwa “the fact is that we can understand ourselves by starting from the other, or from others, and only by

starting from them.” Disadari atau tidak disadari, orang lain ikut berperan dalam proses memahami diri. Kemudian, bagaimana persepsi orang lain tentang seorang individu biasanya dipengaruhi oleh status sosial, suku, kondisi ekonomi, serta sikap dan perilaku seorang individu yang dilihatnya. Kualitas pergaulan dan interaksi yang dimiliki individu dalam lingkungannya juga dapat mempengaruhi persepsi, pengetahuan, dan sikap individu (Pudjijogyanti, 1985: 16).

e. Agama

(50)

menakjubkan bagi pembentukan konsep diri manusia. Paradigma kasih Allah merupakan landasan bagi manusia untuk menyadari dirinya makhluk yang berharga di hadapan Allah.

5. Ciri-ciri Konsep Diri

Menurut Burns sebagaimana dikutip dalam Galuh Sekardita Buana Candra Murti (2013: 19), berdasarkan ciri-cirinya konsep diri dibagi menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Masing-masing keduanya memiliki kriteria yang berbanding terbalik.

a. Konsep diri positif

Seorang individu yang memiliki konsep diri positif mempunyai karakteristik sebagai berikut (Sekardita Buana Candra Murti, 2013: 19):

 Merasa dirinya berharga, memiliki kemampuan, kompeten, dan memiliki rasa percaya diri. Tidak merasa rendah diri dan tidak lari dari masalahan, melainkan ia justru mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

 Mampu memodifikasi prinsip-prinsip dan nilai-nilai hidup sesuai dengan pengalaman baru yang dihadapi, sehingga hidupnya selalu diperkaya melalui pengalaman-pengalamannya.

 Tidak khawatir akan masa lalu dan masa yang akan datang, lebih memfokuskan diri dengan apa yang dihadapinya dalam masa sekarang.

(51)

yang ia hadapi dan pantang menyerah meskipun pernah gagal.  Memiliki kepekaan terhadap kebutuhan orang lain.

b. Konsep diri negatif

Seorang individu yang memiliki konsep diri negatif mempunyai karakteristik sebagai berikut (Sekardita Buana Candra Murti, 2013: 20):

 Merasa diri tidak berharga, tidak memiliki kemampuan, merasa dirinya tidak dalam kondisi yang aman.

 Merasa inferior sehingga menjadi peka terhadap kritik dan menganggapnya sebagai bukti dari inferioritasnya.

 Memiliki sifat yang hiperkritis sebagai cara untuk mempertahankan citra diri dan mengalihkan kekurangan yang dimilikinya kepada orang lain.

 Lebih suka mengasingkan diri dari orang lain, kurang menyukai persaingan, pesimis dan bersikap malu-malu.

 Jika mengalami kegagalan cenderung menyalahkan orang lain, serta merasa sulit untuk mengakui kekurangan dan kelemahannya ketika mengalami kegagalan.

6. Karakteristik Konsep Diri Usia SMP

(52)

fluctuating self, real and ideal, true and false selves, social comparison,

self-conscious, self-protective, unself-conscious, dan self-integration.

a. Absract and idealistic

Para remaja pada umumnya menggambarkan dirinya dengan kata-kata yang abstrak. Gambaran diri yang abstrak tersebut misalnya, saya adalah seorang manusia, saya tidak tahu siapa diri saya. Selain itu para remaja pada umumnya juga menggambarkan diri mereka secara idealistik. Gambaran diri yang idealistik dapat dilihat dari pernyataan berikut, misalnya “saya orang yang sensitif, yang sangat peduli terhadap perasaan orang lain, saya juga cukup cantik” (Desmita, 2009: 177).

b. Differentiated

Dibandingkan dengan anak yang lebih muda, remaja lebih memungkinkan untuk dapat menggambarkan dirinya sesuai dengan konteks atau situasi tertentu. Para remaja umumnya lebih memahami siapa dirinya dalam suatu peran atau konteks tertentu. Misalnya, hubungannya dalam keluarga, pertemanan, dan relasi dengan lawan jenis (Desmita, 2009: 177).

c. Contradiction within the self

(53)

Misalnya, jelek dan menarik, mudah bosan dan ingin tahu. Hal ini merupakan dampak dari kemampuan remaja yang bisa mendeferensiasikan dirinya ke dalam beberapa peran.

d. The fluctuating self

Sifat kontradiktif dalam diri remaja dapat memunculkan fluktuasi atau ketidakstabilan dalam diri remaja. Ketidakstabilan merupakan salah satu ciri yang melekat pada individu pada masa remaja. Para remaja biasanya mengalami fluktuasi diri dalam berbagai situasi. Fluktuasi diri ini akan terus dialami remaja sampai ia menemukan teori tentang dirinya secara utuh (Desmita, 2009:178).

e. Real and ideal, true and false selves

Kemampuan remaja dalam membentuk diri ideal di samping diri yang sebenarnya, dapat memicu kebingungan dalam diri remaja. Namun, remaja mampu membedakannya. Ia cenderung menunjukkan diri ideal jika di lingkungan umum. Hal ini dilakukan agar orang lain mengaguminya. Tetapi ketika sedang bersama dengan teman dekat, mereka cenderung menunjukkan diri mereka yang asli (Desmita, 2009: 178).

f. Social comparison

(54)

g. Self-conscious

Remaja mulai mampu menyadari atau memahami dirinya. Dalam situasi normal, remaja akan cenderung instropektif. Hal ini merupakan bagian dari kesadaran diri dan eksplorasi diri mereka. Remaja akan meminta opini dari teman-temannya mengenai gambaran diri yang baru muncul (Desmita, 2009: 180).

h. Self-protective

Para remaja juga mempunyai ciri khas dalam mempertahankan diri ketika menghadapi konflik yang muncul. Hal ini merupakan usaha-usaha instropektif yang mereka lakukan untuk memahami diri. Remaja cenderung menolak karakteristik negatif dalam dirinya. Mereka lebih menonjolkan karakteristik positif yang dimiliki. Para remaja akan menggambarkan diri mereka secara idealistik (Desmita, 2009: 180).

i. Unconscious

Remaja mulai menyadari akan adanya pengalaman-pengalaman yang berada dalam alam bawah sadar mereka. Pengalaman-pengalaman bawah sadar tersebut merupakan bagian dari peristiwa masa lalu. Mereka juga mengakui bahwa hal tersebut merupakan bagian dari diri mereka (Desmita, 2009: 180).

j. Self-integration

(55)

C. Penelitian yang Relevan

Penulis tidak menemukan penelitian yang relevan secara spesifik mengenai pengaruh mata pelajaran PAK terhadap konsep diri. Oleh karena itu, dalam bagian ini peneliti memaparkan penelitian yang relevan secara umum.

Beberapa ahli psikologi dan pendidikan mempercayai adanya hubungan antara konsep diri dengan prestasi belajar. Fink sebagaimana dikutip dalam Desmita (2009: 171) mengemukakan hasil penelitiannya mengenai keterkaitan antara tingkat prestasi belajar dengan konsep diri. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa siswa yang memiliki prestasi belajar lebih menunjukkan adanya konsep diri yang lebih positif dibandingkan siswa yang memiliki prestasi belajar lebih rendah.

Desmita (2009: 171) juga memaparkan hasil penelitian Walsh yang menyatakan bahwa, siswa-siswa yang masuk dalam kelompok underachiever memiliki konsep diri yang negatif. Konsep diri negatif tersebut terlihat dalam karakteristik kepribadian siswa. Siswa mempunyai perasaan dikritik, ditolak, dan diisolir. Siswa cenderung menghindar dan menentang sebagai bagian dari mekanisme pertahanan diri. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara prestasi belajar dengan konsep diri. Penelitian oleh Galuh Sekardita Buana Candra Murti (2013: 41) dalam skripsinya menyatakan bahwa konsep diri dan kematangan beragama memiliki korelasi yang kuat, yang ditunjukkan dengan angka koefisien korelasi sebesar 0,728.

D. Kerangka Pikir

(56)

belajar. Bagaimana seseorang memandang dirinya dapat tercermin dari perilakunya. Menurut Felker sebagaimana dikutip dalam Desmita (2009: 169) konsep diri memiliki tiga peranan penting dalam menentukan perilaku seseorang, yaitu: konsep diri berperan dalam mempertahankan keselarasan batin seseorang (self-concept as maintainer of inner consistency), berperan dalam bagaimana seseorang menafsirkan suatu peristiwa (self-concept as an interpretation of experience), dan berperan sebagai penentu harapan individu (self-concept as set of

expectations).

Beberapa ahli psikologi meyakini bahwa konsep diri juga dapat mempengaruhi prestasi belajar seorang individu. Nylor sebagaimana dikutip dalam Desmita (2009: 171) menemukan bahwa siswa yang mempunyai konsep diri positif menunjukkan prestasi yang baik dan memiliki penilaian diri yang tinggi. Fink sebagaimana dikutip dalam Desmita (2009: 171) setelah melakukan serangkaian penelitian terhadap sejumlah siswa dengan menggolongkannya berdasarkan prestasi belajar, mengungkapkan bahwa siswa yang tergolong berprestasi lebih (overachievers) menunjukkan konsep diri yang lebih positif. Di sisi lain, Walsh sebagaimana dikutip dalama Desmita (2009: 171) menyatakan bahwa siswa yang prestasinya kurang (underachievers) cenderung memiliki konsep diri yang negatif.

(57)

belum ia terima pada masa kanak-kanak karena mereka tidak dianggap anak kecil lagi. Kondisi seperti ini dapat memicu konflik dan ketegangan dalam diri para remaja. Para remaja berusaha menemukan konsep dirinya dan mencoba hal-hal yang baru.

Banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya konsep diri seseorang, antara lain adalah citra fisik, peran seksual, perilaku orang tua, interaksi sosial, dan agama. Sekolah merupakan salah satu faktor sosial yang berperan dalam pembentukan konsep diri seorang individu atau siswa. Sekolah merupakan suatu lembaga yang diharapkan dapat melaksanakan dua fungsi, yaitu sebagai pemelihara-pewujud (maintenance-actualization) dan pelatih keterampilan-pengalih kebudayaan (skills training-cultural transmission). Sekolah sebagai pemelihara-pewujud, dimaksudkan sebagai tempat dimana seorang siswa dapat memperoleh, meningkatkan, dan mempertahan kemampuan yang dimiliki siswa tersebut. Sekolah sebagai pelatih keterampilan-pengalih kebudayaan, dimaksudkan sebagai tempat bagi siswa untuk memperoleh keterampilan, pengetahuan dan nilai-nilai budaya, seni, berhitung, agama, dan sebagainya. Kedua fungsi tersebut menekankan sekolah menjadi tempat untuk mewujudkan kemampuan siswa secara optimal serta memberi pengalaman baru yang dapat membentuk konsep diri yang positif dalam diri siswa (Pudjijogyanti, 1985: 26).

(58)

sumber-sumber yang menakjubkan untuk membangun konsep diri yang positif. Berbicara tentang manusia di dalam alkitab sangat erat kaitannya dengan pribadi manusia di hadapan Allah. Allah yang menciptakan manusia sesuai dengan citra-Nya yang memiliki keunikannya masing-masing. Oleh karena itu, Allah sungguh mengasihi manusia sehingga Ia pun rela menjadi manusia untuk menebus dosa-dosa manusia. Karya Allah yang sedemikian rupa tersebut menggambarkan betapa Allah mengasihi manusia dan betapa manusia sangat berharga di hadapan Allah.

Dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah, siswa dihadapkan pada pelajaran agama. SMP Marsudi Luhur Yogyakarta sebagai sekolah menengah yang berada di bawah naungan yayasan katolik, maka siswa pun mendapat Pendidikan Agama Katolik. Ruang lingkup materi PAK dalam silabus PAK (Komisi Kateketik KWI, 2007a: 10) di sekolah meliputi empat aspek, yaitu pribadi peserta didik, Yesus Kristus, Gereja, dan Kemasyarakatan. Pada kelas VII semester I, materi pelajaran PAK memiliki fokus pada aspek pribadi peserta didik. Aspek pribadi peserta didik ini membahas tentang pemahaman diri siswa sebagai pria dan wanita yang memiliki kemampuan dan keterbatasan, kelebihan dan kekurangan dalam berelasi dengan sesama serta lingkungan sekitarnya. Dalam materi-materi yang diberikan kepada siswa, guru membantu siswa untuk lebih mengenali keadaan dirinya dengan secara obyektif. Konsep diri akan terbentuk dari bagaimana seorang individu itu mengenali dirinya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pengalaman-pengalamannya baik yang menyenangkan maupun mengecewakan.

(59)

membantunya mengolah diri dan pengalaman-pengalamannya. Hal ini bertujuan agar mereka dapat memaknai secara positif dan mengambil pelajaran dari hal-hal itu, sehingga mampu menghargai dan memandang dirinya secara positif.

E. Profil SMP Marsudi Luhur Yogyakarta

Berawal dari kajian teori yang sudah dipaparkan sebelumnya, selanjutnya akan dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan hasil belajar PAK dengan konsep diri siswa kelas VII dan VIII SMP Marsudi Luhur Yogyakarta. Oleh karena itu, perlu kiranya bagi penulis untuk memaparkan profil SMP Marsudi Luhur Yogyakarta sebagai lingkungan yang akan digunakan untuk melakukan penelitian.

SMP Marsudi Luhur terletak di Jalan Bintaran Kidul no. 2 Yogyakarta, telepon 0274-378769. Sekolah ini masuk dalam wilayah kota Yogyakarta dan berdiri di tengah lingkungan yang padat penduduk. Lokasi SMP Marsudi Luhur berdampingan dengan SMA Marsudi Luhur dan SMK Marsudi Luhur, selain itu juga berseberangan dengan Gereja Santo Yusup Bintaran. Jarak yang dekat antara sekolah dan gereja sangat mempermudah dan mendukung kegiatan-kegiatan keagamaan, misalnya misa ataupun pengakuan dosa.

(60)

dosa, Ekaristi, rekoleksi, dan kegiatan kerohanian lainnya.

SMP Marsudi Luhur Yogyakarta memiliki daya tampung tiga kelas, kelas VII ada satu kelas, kelas VIII ada satu kelas, begitu pula dengan kelas IX. Para siswa di SMP Marsudi Luhur mempunyai latar belakang yang sangat beragam. Baik dari segi ekonomi maupun dari segi kehidupan sosial serta situasi keluarga. Perbedaan-perbedaan tersebut menjadikan mereka sebagai pribadi-pribadi yang unik. Ada siswa yang sangat menonjol dan dominan, ada pula yang sebaliknya. Seperti halnya, remaja-remaja lainnya, ada pula para siswa yang membentuk peergroup.

Begitu pula dengan siswa kelas VII dan VIII, mereka juga berasal dari latar belakang yang berbeda. Baik dari asal daerah, situasi keluarga, tingakat ekonomi, maupun agama. Ada yang berasal dari Indonesia bagian timur maupun luar kota seperti Jakarta, Purwokerto. Mengenai agama, siswa kelas VII dan VIII mayoritas beragama Katolik. Selain itu ada pula yang beragama Kristen dan Islam. Perbedaan-perbedaan tersebut menjadikan siswa yang satu dan yang lainnya memiliki keunikan atau keistimewaan yang berbeda-beda pula dalam menapaki masa remajanya.

(61)

F. Definisi Operasional

1. Hasil Belajar PAK adalah nilai mata pelajaran PAK oleh guru kepada siswa, sebagai bentuk apresiasi terhadap siswa mengenai sejauh mana siswa menguasai kompetensi mata pelajaran PAK.

2. Konsep diri adalah pandangan siswa kelas VII dan VIII SMP Marsudi Luhur Yogyakarta mengenai dirinya yang berasal dari gabungan pandangannya sendiri terhadap dirinya, pandangan orang lain mengenai dirinya, harapan-harapannya terhadap dirinya sendiri yang diolah dengan bimbingan guru melalui mata pelajaran PAK di sekolah, sehingga individu tersebut dapat menarik kesimpulan tentang bagaimana ia menggambarkan dirinya.

G. Variabel

Menurut Sugiyono (2012: 61), variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel X dan variabel Y. Variabel X adalah nilai mata pelajaran PAK, dimana ia merupakan variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah variabel Y, yaitu konsep diri siswa SMP Marsudi Luhur Yogyakarta. Variabel dependen merupakan variabel yang mendapat pengaruh dari variabel independen.

H. Desain Penelitian

(62)

X adalah nilai mata pelajaran PAK Y adalah konsep diri

I. Hipotesis

Sugiyono (2012: 96) mendefinisikan hipotesis sebagai jawaban sementara tentang sesuatu hal yang mana kebenarannya belum diketahui. Berdasarkan teori-teori yang sudah dipaparkan, penulis membuat hipotesis atau jawaban sementara sebagai berikut:

Ho: Tidak ada hubungan antara hasil belajar PAK dengan konsep diri siswa SMP Marsudi Luhur Yogyakarta.

(63)

BAB III

METODOLOGI DAN HASIL PENELITIAN

Pada bab III ini akan dipaparkan mengenai metodologi penelitian. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh mata pelajaran PAK terhadap konsep diri siswa SMP Marsudi Luhur Yogyakarta. Adapun metodologi penelitiannya adalah sebagai berikut:

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian ini adalah ex-post facto yang berarti setelah kejadian. Menurut Gay sebagaimana dikutip dalam Sevilla & Consuello (1992: 148), penelitian jenis ini digunakan untuk menemukan sebab yang terjadi di masa lampau atas suatu akibat. Sedangkan, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Menurut Sugiyono (2012: 14), pendekatan kuantitatif merupakan pendekatan yang digunakan untuk meneliti populasi atau sampel dengan cara mengumpulkan data dengan suatu instrumen dan menganalisisnya secara kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey atau observasi. Nan Lin sebagaimana dikutip dalam Gulo (2000: 117) mendefinisikan metode survey sebagai berikut, “the survey is data-collection method in which an

(64)

dalam metode menggunakan instrumen untuk mengumpulkan data, maka penelitian ini menggunakan skala Likert untuk mengungkap variabel konsep diri, sedangkan untuk variabel mata pelajaran peneliti menggunakan wawancara terhadap guru yang terkait untuk memperoleh data nilai mata pelajaran PAK siswa.

C. Tempat dan Waktu Penelitian

Adapun tempat dan waktu dilaksanakannya penelitian adalah sebagai berikut:

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMP Marsudi Luhur Yogyakarta dengan alamat Jalan Bintaran Kidul no. 2 Yogyakarta, telepon 0274-378769.

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 12 Juli 2014 sampai tanggal 6 Agustus 2014.

D. Responden Penelitian

(65)

penelitian ini adalah 35 siswa. Terdiri dari siswa kelas VII yang berjumlah 20 orang, dan siswa kelas VIII yang berjumlah 15 orang.

E. Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert. Dalam penelitian ini, skala Likert digunakan untuk mengungkap variabel konsep diri. Sugiyono (2012: 134) menguraikan bahwa skala Likert dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi subyek penelitian tentang fenomena yang diangkat oleh peneliti.

Pembuatan butir-butir pernyataan dalam skala Likert untuk variabel konsep diri, mengacu pada aspek-aspek konsep diri yang telah dipaparkan dalam bab II. Aspek-aspek tersebut adalah komponen konsep diri, dimensi konsep diri, faktor pembentuk konsep diri.

Dalam skala Likert, ada dua macam pernyataan yang diberikan untuk mengungkap konsep diri responden yaitu pernyataan favorable dan pernyataan unfavorable. Ada empat pilihan jawaban yang diberikan untuk menanggapi

pernyataan, yaitu Sangat Setuju, Setuju, Tidak Setuju, Sangat Tidak Setuju.

Tabel 1. Penilaian Jawaban

Jawab Item

Sangat setuju (SS)

Setuju (S) Tidak setuju (TS)

Sangat tidak setuju (STS)

Favorable 4 3 2 1

(66)

F. Variabel Penelitian

Gambar

Tabel 1.  Penilaian Jawaban
Tabel 2. Variabel Penelitian
Tabel 3. Daftar Instrumen yang Valid dan Tidak Valid
Tabel 4. Reliabilitas Instrumen
+7

Referensi

Dokumen terkait

Inspektorat Jenderal adalah Unit Eselon I dari Kementerian Perhubungan yang berkewajiban menyelenggarakan akuntansi dan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan

Dari penjelasan diatas daya tarik merupakan produk dari suatu daerah tujuan wisata, yang bersifat nyata (barang) maupun tidak nyata (jasa) yang dapat memberikan kenikmatan

Radio Frequency Identification (RFID) adalah sebuah istilah generik yang digunakan untuk menggambarkan suatu sistem yang memancarkan dalam bentuk identitas ( khas ) nomor urut

(6) Apabila kewajiban membayar pajak terutang dalam SKPDKB dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b Pasal ini tidak atau kurang atau terlambat dibayar dalam

Ekonometrika sebagai suatu hasil dari suatu hasil tnjauan tertentu tentang peran ilmu ekonomi, mencakup aplikasi statistic matematik atas data

adalah suatu analisis yang bertujuan untuk menemukan satu titik dalam unit atau rupiah, yang menunjukkan biaya sama dengan pendapatan. Sedangkan menurut Herjanto

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Asas Hukum Transnational Organized Crimes dan Bentuk- bentuk Kejahatan Transnasional dan bagaimana

Pengangkatan tenaga tersebut menunjukan bahwa pemahaman Kepala Puskesmas terkait dengan menejemen pengangatan tenaga pada Puskesmas masih kurang selain itu juga tidak