• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 352010011 BAB VII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 352010011 BAB VII"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VII

DIALEKTIKA ANTARA KESADARAN DAN TINDAKAN PEREMPUAN PEMANDU KARAOKE DALAM PEMILU

Pada bab-bab sebelumnya membahas khusus dalam hal modal seorang perempuan pada umumnya sampai dengan modal pemandu karaoke atau caleg

yang diwakili perempuan. Melalui modal tersebut, habitus seorang PK terbentuk.

Sehingga pada bab sebelumnya juga membahas mengenai kesadaran yang seperti apa yang dilakukan pemandu karaoke maupun caleg perempuan, sehingga bab selanjutnya juga menjelaskan mengenai tindakan kritis yang dilakukan perempuan-perempuan, khususnya perempuan yang bekerja sebagai pemandu karaoke.

Sedangkan pada bab ini akan membahas bagaimana kesadaran PK terbentuk saat pemilu 2014 berlangsung, jika setiap individu khususnya PK memiliki modal yang berbeda dengan modal yang dimiliki caleg perempuan. Sehingga modal tersebut membentuk suatu habitus para PK atau caleg perempuan yang berkaitan dengan cara pandang atau kebiasaan sehari-hari. Kemudian dilanjutkan dengan membahas tindakan yang dilakukan PK saat pemilu berdasarkan habitus yang terbangun disetiap individu PK maupun perempuan yang lainnya.

Dewasa ini, setiap individu menggunakan akalnya untuk mencari pendapatan.Salah satu pendapatan yang menjadi nilai tukar adalah uang.Sehingga setiap individu berlomba-lomba untuk bekerja keras agar dapat memperoleh nilai tukar suatu barang.Saat ini, tidak hanya laki-laki saja yang harus dan mampu untuk mencari pendapatan, tetapi perempuan juga dapat bekerja keras. Seperti sekelompok perempuan yang bekerja menjadi pemandu karaoke di RW 09 Sarirejo kota Salatiga. Perempuan-perempuan ini bersaing untuk bisa mendapatkan pelanggan. Seperti yang dituturkan PK pada hasil wawancara berikut ini:

(2)

“Paling soal saingan mbak.Soalnya disini kerja saingannya banyak.Terus kadang beberapa hari gak dapat pelanggan, jadi gaji saya dipotong.Uang

untuk kebutuhan saya jadi terpotong1”.

Pada dasarnya di setiap lapangan pekerjaan, semua orang ingin mendapatkan posisi tertentu atau mendapatkan pendapatan yang lebih.Sehingga mereka harus bersaing dengan yang lainnya.Di Sarirejo sendiri para perempuan PK juga saling bersaing untuk mendapatkan pelanggan yang lebih banyak.Kemudian hal tersebut oleh Bourdieu dikatakan sebagai ranah.Karenanya, ranah merupakan ranah kekuatan yang secara parsial bersifat otonom dan juga merupakan suatu ranah yang di dalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi.Perjuangan ini dipandang mentransformasi atau mempertahankan ranah kekuatan (Bourdieu, 1983: 312).

Dalam bersaing, setiap individu termasuk perempuan harus memiliki modal yang cukup untuk dapat bertahan di sebuah ranah.Modal yang harus dimiliki setiap individu termasuk perempuan PK atau perempuan-perempuan yang lainnya adalah modal ekonomi, modal sosial, modal simbolik, dan modal budaya.Masing-masing modal memiliki manfaat yang saling berkesinambungan untuk mampu bertahan pada sebuah ranah.Sehingga kemampuan bertahan itulah yang membuat individu mulai terbiasa atau yang sering disebutkan oleh Bourdieu adalah habitus.Sebagai perempuan yang bersaing untuk mendapatkan penghasilan, maka perempuan PK juga mempunyai modal budaya yaitu pengetahuan yang di dapat dari lingkungan sekitar. Dengan adanya media massa baik cetak maupun elektronik, perempuan PK mendapatkan pengetahuan juga seputar pemilu 2014. Berikut hasil wawancara perempuan PK:

“Gak ada sih mbak.Cuman setiap lihat TV pasti yang keluar pak Jokowi.Gak ngerti juga saya.Saya juga gak tau pak Jokowi itu siapa.Iya katanya sih dia mau nyalonin jadi presiden.Iya siapa pun presidennya kalau memang gak bisa merubah keadaan Indonesia ya ngapain juga saya mesti tau.” (Lilis, 20th)

1

Hasil wawancara PK no. 1 di Sarirejo kota Salatiga

(3)

Kemudian karena di Sarirejo para PK yang memiliki pendidikan tinggi hanya sedikit, maka pola berpikir mereka tidak tersistematis.Sehingga mereka merasa kesulitan untuk mendapatkan akses dari instansi-instansi, baik itu pemerintah maupun swasta.Karena tidak ada individu yang dapat mewakili suara mereka agar kebutuhan mereka terpenuhi. Meskipun perempuan PK tidak memiliki pendidikan yang tinggi, mereka masih mampu memikirkan kebutuhan mendasar yang ada pada PK, berikut hasil wawancaranya:

“Jadi kita ini kalau sakit mau periksa ke dokter saja bayarnya mahal banget, belum lagi obatnya.Pokoknya apa-apa sekarang itu tambah mahal

mbak.” (Ami, 25th)

“Masalahnya disini itu orang susah cari kerja mbak.Saingan disini juga banyak.Jadi mesti pintar-pintar cari kerja.Terus kalau kerja disini itu mesti sabar mbak.Soalnya ada saja pelanggan yang mintanya macem-mace.Kadang ada yang minta berhubungan tapi kita dipukul dulu, atau kita

cuman nemenin nyanyi aja, tapi minta berhubungan juga.” (Nia, 20th)

Namun, karena perempuan-perempuan PK ini harus bertahan pada ranah yang sudah ada untuk mendapatkan penghasilan, maka perempuan PK harus mulai membiasakan diri dengan keadaan di ranahnya sekarang.Sedangkan pada suatu ranah, posisi-posisi ditentukan oleh pembagian modal khusus untuk para aktor yang beralokasi di dalam ranah tersebut. Ketika posisi-posisi dicapai, mereka dapat berinteraksi dengan habitus, untuk menghasilkan postur-postur (sikap – badan, ‘prises de position’) berbeda yang memiliki suatu efek tersendiri pada

ekonomi ‘pengambilan posisi’ di dalam ranah tersebut2. Sehingga

perempuan-perempuan yang menjadi caleg juga bertindak sama dengan ranahnya.

Perempuan pada umumnya mencoba untuk bertahan pada sistem yang sudah terbangun sejak lama.Kesadaran tersebut sebenarnya sudah dirasakan oleh

2

Mahar Cheleen, 2009, “(HabitusxModal)+Ranah=Praktik”, Yogyakarta: Jalasutra, hlm.10

(4)

perempuan caleg.Tetapi mereka merasa tidak berdaya sehingga tidak dapat berbuat lebih. Para PK di Sarirejo juga sudah mulai sadar, akan sistem yang terbentuk di pikirannya. Bahwa perempuan PK hanyalah perempuan yang tidak pantas mendapatkan perlakuan sama dengan perempuan kelas atas, berikut pernyataan perempuan PK berkaitan dengan pendidikan politik saat pemilu 2014 berlangsung:

“Walah, gak ikut mbak saya. Wong itu biasane sing ikut cuman pemilik karaoke aja. Yang Pknya gak wajib.Lagian saya juga malas ikut komunitas

atau paguyuban gitu.” (Yuni, 19th)

“Gak ik mbak.Pernah kayaknya tapi dari mahasiswa-mahasiswa yang pas ramai-ramai itu.Tapi itu katanyaa pemilik karaoke saja yanga diundang.Walah mbak, mana sempat kita dikasih tau hal kayak gituan.” (Nia, 20th)

Dengan adanya sistem yang sudah terbentuk cukup lama ini, maka menjadi habitus perempuan PK. Bahwa mereka tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk bersuara. Habitus ini menurut Bourdieu juga dapat dipandang bekerja pada tingkat bawah sadar:

Skema-skema (schemes) habitus, bentuk-bentuk klasifikasi primer,

memperoleh efektivitas khususnya berkat fakta bahwa mereka berfungsi di bawah lapisan kesadaran dan bahasa, di luar jangkauan pemeriksaan introspektif yang cermat atau pengendalian kehendak. Dengan mengorientasikan praktik-praktik secara praktis, skema-skema tersebut menanamkan sesuatu – yang secara keliru disebut sebagian orang sebagai

nilai-nilai – ke dalam gerakan tubuh (gestures) yang paling otomatis atau

ke dalam berbagai keterampilan tubuh yang kelihatannya remeh – cara-cara berjalan atau membuang ingus, cara-cara-cara-cara makan atau bicara-cara – dan mengikutsertakan prinsip-prinsip konstruksi dan evaluasi dunia sosial yang

(5)

paling fundamental, yakni prinsip-prinsip yang secara langsung mengungkapkan pembagian tenaga-kerja....atau pembagian kerja dalam memperoleh dominasi.

(Bourdieu, 1984: 466)

Kemudian dengan terbentuknya habitus tersebut, maka akan muncul kesadaran. Sebelumnya ditingkat bawah sadar perempuan PK, mereka merasa kecewa karena tidak di ikut sertakan dalam proses pemilu 2014.

“Ada kayaknya mbak (akses pendidikan politik).Kurang tau tapi. Coba tanya yang lain mbak. Gak dikasih tau sih mbak.Apa itu mbak? Saya kalau

soal politik-politik kayak gitu malas mbak. Gak ngerti juga.” (Nia, 20th)

Menurut Bourdieu, memasuki permainan, secara tidak langsung menyatakan sebuah penerimaan sadar atau tak sadar di pihak para pemain atas aturan-aturan eksplisit dan/ atau implisit dari permainan tersebut. Para pemain ini juga mesti memiliki suatu ‘rasa’ terhadap permainan tersebut.Para pemain ini juga mesti memiliki suatu ‘rasa’ terhadap permainan tersebut, secara tidak langsung menyatakan sebuah penguasaan praktis atas logika permainan – yang dinamakan Giddens dengan ‘kesadaran praktis’.Kompetensi semacam ini dimiliki secara tidak merata oleh para pemain dan menentukan kemampuan mereka menguasai permainan sesuai dengan kompetensi mereka.

Modal dan habitus yang ada pada perempuan PK memunculkan kesadaran mereka akan kebutuhan mereka bahwa kebutuhan perempuan pada umumnya dan khususnya kebutuhan sebagai PK adalah sebagai berikut:

“Masalahnya itu uang untuk biaya hidup yang kurang mbak. Hahahaha Paling soal kesehatan sama pendidikan mbak. Di Indonesia kan kalau mau periksa atau mau sekolah kan biayanya mahal banget. Belum lagi seperti saya yang kerja disini. Mungkin untuk menyekolahkan anak saya nanti gak tau cukup apa gak. Iya meskipun kita ini kerja jadi pemandu karaoke tapi

(6)

kan kadang juga melayani tamu buat memuaskan nafsu pelanggan yang kesini. Jadi setiap minggu memang kita harus rutin periksa kesehatan, takutnya ada yang kena penyakit kelamin atau HIV. Makannya kadang ada yang dikasih saleb kayak mbaknya tadi. (sambil menunjuk ke salah satu PK)” (Nia, 25th)

“Terus kalau soal kebutuhan ya kebutuhan kita banyak.Yang pertama kita butuh hidup aman dan nyaman.Terus kita butuh kerjaan yang enak, aman

terus gajinya banyak, biar semua kebutuhan kita tercukupi.” (Nia, 20th)

Pada kenyataannya caleg perempuan yang diharapkan dapat menyampaikan suara perempuan justru tidak mengetahui akar permasalahan dari perempuan khususnya perempuan PK. Fakta ditujukkan dari hasil wawancara dengan caleg perempuan:

“Ya banyak sekali (persoalan yang ada pada perempuan), tapi kenapa saya dikalahkan karena uang, kenapa dia saat pertama-tama menggebu-gebu untuk mendukung saya karena mungkin karakter saya baik ya, tapi karena semua karena uang mungkin dia lupa, saya juga habis 15 jutaan mbak.” (Sri, 2014)

Menurut Wacquant pekerjaan mengkonstruksi antara modal dengan tindakan adalah sebagai berikut:

Proses-proses tersembunyi yang dengannya jenis-jenis modal yang berbeda dipertukarkan sedemikian rupa, sehingga relasi-relasi ketergantungan dan dominasi yang didasari ekonomi dapat disembunyikan dan dilindungi oleh topeng ikatan moral, karisma, atau simbolisme meritokratik (sistem dimana elite intelektual yang memiliki prestasi

akademis memperoleh status tertentu – penerj.) (1984: 9).

(7)

61

Referensi

Dokumen terkait

peran yang lebih dari laki-laki terhadap makhluk hidup yang lain, termasuk perempuan.. Perempuan di dalam setiap masyarakat yang menganut budaya patriarkhi

sosok perempuan lain yang berpengaruh dalam tindakan seorang PK, yaitu

Kegiatan yang di lakukan oleh perempuan dalam mencari nafkah untuk. menopang keberlanjutan hidup rumah tangganya hanya sebatas

Disiplin merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting untuk dimiliki setiap individu siswa, yang harus dipelajari oleh seorang guru. Disiplin dapat didefinisikan

Sebagai perusahaan jasa, Rumah Sakit harus mampu mengantisipasi setiap perubahan lingkungan agar dapat bersaing dan bertahan dalam percaturan bisnis jasa kesehatan,

Kerentanan sosial tersebut diukur dari ketiadaan salah satu modal sosial yang dimiliki dalam setiap individu pada kelompok miskin di kota yaitu kepercayaan (trust).. Trust

Dalam konteks keaksaraan sebagai bentuk modal sosial terlihat pada nilai-nilai uang dimiliki oleh individu yang terlibat dalam setiap kegiatan Keaksaraan Fungsional (KF)

Setiap individu sering melakukan aktivitas pengambilan keputusan usahanya, pengetahuan dasar di dalam usahanya harus dimiliki untuk mengatur sumber daya pada usaha yang di jalankannya