• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kerentanan Sosial

Kerentanan sosial menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya (Bakornas PB, 2007) dan menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan suatu penduduk terhadap keselamatan jiwanya apabila terjadi bahaya (Davidson, 1997 dalam Suganda, 2000). Menurut Soetomo (2010), gejala tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau tidak sesuai dengan nilai, norma dan standar sosial yang berlaku. Hal yang demikian menjadi suatu masalah sosial, yang ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak diinginkan oleh sebagian besar masyarakat dan dapat menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian fisik maupun nonfisik. Kerentanan sosial merupakan suatu kondisi yang dialami oleh seseorang atau masyarakat, sehingga mengakibatkan ketidakmampuan suatu masyarakat menghadapi suatu tekanan yang dapat mengancam kehidupan seseorang atau masyarakat tersebut.

Menurut Hizbaron (2008), kerentanan sosial dapat meningkat seiring dengan meningkatnya laju urbanisasi pada suatu daerah. Dalam kasus tersebut, kota yang menjadi pusat pembangunan infrastruktur, kawasan industri dan pusat perekonomian menjadi tujuan migrasi penduduk pedesaan, dengan harapan mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Penduduk di kota besar sendiri terdiferensiasi berdasarkan daerah asal, agama, status, pendidikan dan pola-pola tingkah laku (Rahardjo, 1999). Penduduk yang heterogen seringkali menjadi penyebab terjadinya konflik antar-etnis, antar-agama, antar-golongan (Marzali et al, 1989), karena seperti diungkapkan Fukuyama (2007), kepercayaan sangat bergantung dengan kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan yang berkembang pada individu dalam masyarakat. Berikut adalah penjelasan hubungan kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan dalam menguatkan trust atau saling percaya dengan orang lain (Fukuyama, 2007):

(2)

1. Kekerabatan, terkait pada hubungan seseorang dengan seseorang yang berasal dari garis keturunan yang sama, terdapat juga dalam hubungan keluarga. Seseorang memiliki kepercayaan yang lebih besar kepada anak, adik, kakak, bapak, ibu yang memiliki hubungan kekerabatan dibandingkan dengan seseorang di luar kerabat.

2. Kolektivitas, terkait dengan nilai kebersamaan yang memiliki rasa solidaritas komunal yang tinggi dalam masyarakat, cenderung memiliki kekuatan ketika dihadapi suatu tekanan.

3. Etnisitas, terkait dengan persebaran etnik tertentu dalam suatu wilayah. Dalam suatu wilayah kelompok etnik mendukung anggotanya untuk mampu menghadapi tekanan.

4. Keterampilan, terkait dengan keahlian yang dikuasai secara mendalam oleh seseorang untuk membuat dan melakukan aktivitas yang tidak semua orang mampu melakukannya. Penguasaan keterampilan oleh seseorang menjadi modal agar dapat dipercaya orang lain untuk mempekerjakannya, sehingga memberikan output penghasilan guna pemenuhan hidupnya.

Kekerabatan dalam hasil penelitian Marzali et al (1989) menjadi modal kepercayaan seseorang dalam mempekerjakan orang lain pada usaha yang dimiliki. Seringkali suatu usaha dikerjakan oleh anggota suatu keluarga yang berhubungan dekat. Hal ini ada kaitannya dengan tradisi saling membantu di antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga seperti bapak, ibu, mertua, kakak, adik, ipar, anak, keponakan dan menantu. Seseorang juga berusaha bukanlah semata-mata untuk keluarga sendiri, tetapi juga untuk orang banyak lainnya. Prioritas pilihan pertama ialah saudara-saudara dekat sendiri, kemudian orang seasal, lalu orang-orang lain dari etnik lain.

Kolektivitas menurut Milgram dan Toch dalam Horton dan Hunt (1999) merupakan suatu perilaku yang lahir secara spontan, relatif tidak terorganisasi dan hampir tidak bisa diduga sebelumnya. Proses kelanjutannya tidak terencana dan hanya tergantung pada stimulasi timbal balik yang muncul di kalangan para pelakunya.

(3)

Etnisitas merupakan fenomena yang muncul dalam interaksi sosial. Etnisitas tergantung pada jenis hubungan yang saling mempengaruhi antara individu dan kelompok, dengan lingkungan sosial mereka. Menurut Barth dalam Suparlan (2003), kategorisasi kelompok etnis ditentukan oleh basisnya, identitas secara umum merupakan praduga oleh latar belakang serta asal usulnya. Dalam hal ini, kelompok etnis dilihat sebagai sebuah kategori sosial yang berfungsi sebagai kumpulan sistem acuan untuk mengidentifikasi etnis tertentu dalam hubungan-hubungan antar etnis.

Menurut Fukuyama (2007), keterampilan yang dimiliki seseorang menjadi modal kepercayaan orang lain untuk mempekerjakannya. Selain itu seseorang yang menguasai keterampilan tertentu mampu bertahan dari suatu tekanan ekonomi karena kemampuannya menciptakan produk yang berdaya jual. Fukuyama juga menekankan, bahwa keterampilan tidak dapat tergantikan oleh mesin produksi. Alasan tersebut menjadikan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap seseorang yang memiliki keterampilan.

Konsep trust menurut Fukuyama (2007) tersebut dapat diadopsi ke dalam konsep kerentanan sosial, yang berarti suatu kondisi seseorang atau masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi tekanan. Jika konsep kerentanan sosial diantitesiskan, muncul konsep kemampuan yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat. Menurut Fukuyama (2007), seseorang atau masyarakat akan mampu menghadapi suatu tekanan bila nilai kepercayaan yang dianut dalam masyarakat tersebut besar (high-trust), sedangkan masyarakat dengan kepercayaan yang rendah (low-trust) cenderung tidak memiliki kemampuan menghadapi tekanan. Untuk kepentingan penelitian ini maka kerentanan sosial mengadopsi antitesis konsep trust oleh Fukuyama (2007) yang dapat diidentifikasikan ke dalam empat indikator, yaitu kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas.

2.1.2 Kemiskinan di Perkotaan

Menurut Suparlan (1984), kemiskinan di perkotaan adalah masalah sosial yang laten dan kompleks yang berimplikasi pada bidang sosial dan kebudayaan. Implikasi tersebut tidak hanya melibatkan dan mewujudkan berbagai masalah

(4)

sosial pada kota dan orang-orang miskin di dalamnya saja, tetapi juga melibatkan masalah yang ada di pedesaan dan di kota-kota lainnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hal ini sesuai dengan Cohen (1972) dalam Suparlan (1984), yang menyatakan bahwa masalah kemiskinan kota dan kedudukan orang miskin dalam masyarakat bukanlah masalah pemerintah kota tersebut semata. Masalah ini merupakan dilema pemerintah terhadap sistem perekonomian yang terpusat pada perkotaan, seperti pada Jakarta. Sistem ekonomi, sistem politik dan administrasi yang terpusat di Jakarta menimbulkan daya tarik bagi masyarakat pedesaan untuk bermigrasi ke sana, dengan harapan mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang lebih layak. Motivasi masyarakat pedesaan untuk bermigrasi ke kota bukan semata-mata tertarik dengan kelengkapan fasilitas yang ada di kota, tetapi juga dikarenakan adanya daya dorong dari pedesaan. Pedesaan sangat minim dengan lapangan pekerjaan (Hizbaron, 2008), sehingga menurut Suparlan (1984), hal itu menjadi daya dorong dari pedesaan sebagai akibat dari adanya tekanan ekonomi dan rasa tidak aman bagi sebagian warga desa. Warga desa tersebut terpaksa mencari tempat yang diduga memberi kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik, yaitu di kota.

Daya tarik dan dorong terhadap masyarakat pedesaan dengan harapan mampu mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang lebih baik daripada di pedesaan, kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Meskipun di perkotaan tersedia alternatif-alternatif pekerjaan yang lebih terbuka dari pada di pedesaan, kemiskinan di sana tetap ada dan atau bersifat laten. Menurut Suparlan (1984), kemiskinan tetap ada di perkotaan karena potensi-potensi yang ada seperti lingkungan fisik dan alam, sistem sosial dan kebudayaan tidak atau belum dapat dimanfaatkan untuk menciptakan alternatif-alternatif baru atau tidak dapat menghasilkan penghasilan yang cukup untuk sebagian besar masyarakat perkotaan. Kebudayaan pada masyarakat perkotaan tersebut tidak mampu mendorong dalam pemanfaatan sumber-sumber daya yang sebenarnya dapat dimanfaatkan dalam peningkatan ekonomi dan sosial pada masyarakat perkotaan.

Kemiskinan di perkotaan sering dialami oleh masyarakat pedesaan yang bermigrasi ke perkotaan. Menurut Suparlan (1984), jumlah gelandangan yang berasal dari daerah pedesaan di lingkar DKI Jakarta dan juga dari luar Pulau Jawa

(5)

lebih besar dibandingkan dengan masyarakat asli sendiri. Gelandangan sering diartikan sebagai seseorang yang selalu berkeliaran atau tidak pernah memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap. Gelandangan sering distereotipkan sebagai orang yang pemalas, kotor dan tidak dapat dipercaya. Pandangan tersebut keliru, bahkan gelandangan itu adalah pekerja keras dalam upaya mencari nafkah untuk dapat menyambung hidupnya. Beberapa jenis gelandangan memiliki pekerjaan yang dapat dikatakan tetap, yaitu sebagai tukang loak, pedagang kaki lima, penyapu jalan, tukang becak, penjaga malam, pemulung, penjual makanan kecil dan tukang kerajinan tangan. Gelandangan sering dianggap tidak memiliki tempat kediaman yang tetap, namun ternyata memiliki tempat bermalam yang relatif tetap, meskipun di tempat-tempat tersembunyi dan kosong yang ada di tepi jalan dan gang, di depan pertokoan, gerbong kereta, gerobak penjual makan dan di kolong jembatan. Gelandangan lazimnya termasuk dalam golongan sosial terendah di desa asalnya, karena dalam aspek ekonomi mereka tergolong orang-orang yang paling miskin, tidak dihormati oleh anggota masyarakat lain, tidak memiliki kekuasaan politik lokal, dan tidak memiliki tanah.

Menurut Cohen (1972) dalam Suparlan (1984), orang miskin di perkotaan bukan hanya gelandangan tetapi yang menjadi ukuran kemiskinan adalah penghasilannya yang rendah. Melalui argumentasi ini dimungkinkan orang miskin juga memiliki tempat tinggal yang berbeda dari gelandangan, yaitu berbentuk gubuk-gubuk liar. Gubuk-gubuk liar tersebut seringkali didirikan di atas tanah milik pemerintah tanpa izin, seperti di tanah-tanah kosong milik PT KAI (Kereta Api Indonesia), di sepanjang jalur kereta api, dan tanah sepanjang sungai. Jika suatu saat pemerintah membutuhkan tanah-tanah tersebut, maka para pemiliknya akan kehilangan rumah-rumah itu tanpa mendapatkan ganti rugi.

Hasil penelitian Cohen (1972) dalam Suparlan (1984) menunjukkan, bahwa golongan-golongan berpenghasilan rendah memiliki partisipasi yang tinggi pada gotong royong untuk memperbaiki keadaan mereka. Baginya gotong royong dipandang sebagai kegiatan untuk mempertahankan suatu taraf hidup tertentu. Gotong royong jarang dianggap sebagai salah satu cara untuk mendatangkan perbaikan-perbaikan besar. Selain itu golongan miskin tersebut cenderung untuk mengikuti instruksi-instruksi dari pada berpartisipasi dalam pengambilan

(6)

keputusan. Mereka juga mudah sekali mengikuti anggota masyarakat lain yang mempunyai status dan wewenang lebih tinggi tanpa berpikir lebih lanjut dan tanpa kritik. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan sikap tersebut, yaitu perasaan tidak pasti dan tidak berdaya, pandangan bahwa hidup ini ditentukan oleh nasib, dan pandangan bahwa keputusan-keputusan hanya untuk orang-orang kaya dan terpelajar.

Hasil penelitian Lewis (1988) menunjukkan, bahwa kelompok miskin memiliki efektivitas partisipasi yang rendah dan integrasinya dalam lembaga-lembaga utama masyarakat. Hal tersebut diakibatkan oleh faktor langkanya sumber-sumber daya ekonomi, diskriminasi, rasa takut dan curiga, rendahnya pendapatan, minimnya harta milik berharga dan terbatasnya uang tunai. Semua kondisi tersebut tidak memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dengan efektif ke dalam sistem ekonomi terlebih, untuk urusan bantuan sosial. Pada individu yang miskin terdapat ciri-ciri utama yaitu kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan, rendah diri, perasaan tidak berguna dan pasrah. Akan tetapi mereka mempunyai sikap yang kritis terhadap peraturan yang mendasar yang didominasi oleh kaum yang kaya dan berkuasa, benci kepada polisi, tidak percaya kepada pemerintah dan bahkan bersikap sinis terhadap keagamaan. Kaum miskin ini mempunyai tingkat melek huruf dan pendidikan yang rendah, memiliki akses yang rendah pada rumah sakit dan bank. Mereka seringkali sulit memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan. Hal tersebut dikarenakan jumlah tanggungan keluarga yang sangat banyak. Bahkan dalam satu rumah ditempati hingga sembilan orang yang menjadikan rumah penuh dan sesak, sehingga mereka seringkali berhutang kepada tetangga atau kerabat yang kebetulan juga bertetangga dengannya. Strategi nafkah mereka ialah menjalankan pekerjaan sambilan dengan menangkap sejumlah peluang yang mampu menghasilkan uang.

Menurut Musyarofah (2006), terdapat sembilan strategi nafkah yang dilakukan oleh komunitas-komunitas miskin di perkotaan. Strategi-strategi nafkah tersebut antara lain:

1. Pola nafkah ganda, yaitu dalam satu keluarga terdapat dua atau lebih pekerjaan yang dilakukan, baik oleh satu orang atau terbagi pada seluruh anggota keluarga.

(7)

2. Pemanfaatan kelembagaan ekonomi, seperti dengan memanfaatkan kelembagaan arisan, sistem kredit dan bank keliling.

3. Pemanfaatan jaringan sosial, dapat berupa jejaring kemitraan bisnis atau berupa ikatan pertetanggaan dan ikatan persaudaraan. Ikatan ketetanggaan dan persaudaraan ini dimaksudkan untuk memberikan akses bagi rumah tangga miskin untuk mendapatkan bantuan ketika membutuhkan sesuatu.

4. Basis perdagangan, seperti berjualan nasi uduk untuk memperoleh pendapatan yang akan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari atau dengan membuka warung kecil untuk membiayai sekolah anak-anaknya. 5. Mengganti jenis makanan, dilakukan ketika rumah tangga miskin berada

dalam kondisi sulit. Strategi ini bagian dari proses penekanan pengeluaran. Mereka mengganti menu makan menjadi makanan yang lebih sederhana. 6. Basis rumah kontrakan, dilakukan dengan memanfaatkan modal mereka

untuk membangun rumah kontrakan.

7. Basis peluang kerja di sektor industri, terkait dengan keberadaan sektor industri di lingkungan mereka yang menimbulkan strategi nafkah berupa peluang kerja di sektor industri.

8. Berhutang, dilakukan ketika kondisi rumah tangga komunitas miskin berada pada kondisi krisis dengan meminjam uang kepada tetangga yang berhubungan baik sehingga menimbulkan sikap saling percaya.

9. Mencairkan aset rumah tangga, dilakukan dengan menjual aset rumah tangga yang dimiliki seperti menjual barang elektronik. Strategi ini dilakukan ketika mereka dalam kondisi krisis.

Permasalahan yang dihadapi oleh komunitas-komunitas miskin di perkotaaan antara lain timbul akibat rendahnya kualitas sumber daya yang mereka miliki dan keterampilan yang kurang memadai dari mereka untuk mencari pekerjaan dan bersosialisasi dengan masyarakat lainnya di kota. Jayanti (2007) merumuskan pemaknaan kemiskinan bagi komunitas miskin di perkotaan yang juga dapat dirumuskan sebagai permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh mereka. Permasalahan-permasalahan tersebut meliputi:

(8)

1. Rendahnya pendapatan, terkait dengan jenis pekerjaan yang dijalani masyarakat kelurahan Lemahputra Kecamatan Sidoarjo pada tahun 2007, yaitu mayoritas bekerja pada sektor informal yang hanya berpenghasilan antara Rp 300.000,00 sampai Rp 550.000,00 per bulan atau kurang lebih sebesar sepuluh ribu rupiah per hari.

2. Pemenuhan kebutuhan pokok yang rendah, terkait dengan ketidakmampuan komunitas miskin kota untuk memenuhi pangannya dengan baik. Mayoritas mereka hanya mampu makan dua kali per hari bahkan terkadang orang tua harus merelakan jatah makan mereka untuk anaknya. Mereka hanya mampu membeli pakaian satu tahun sekali dengan menggunakan kredit. Bahkan rumah mereka biasanya terbuat dari bambu yang hanya dibatasi oleh sekat dan menggunakan lantai terbuat dari tanah.

3. Akses dalam pendidikan, kesehatan dan permodalan yang rendah, dapat dilihat melalui rendahnya kemampuan komunitas miskin dalam menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi dari SMP, rendahnya akses kesehatan karena mahalnya biaya berobat ke lembaga kesehatan.

4. Partisipasi yang rendah dalam institusi sosial, timbul karena orang miskin cenderung menutup diri terhadap orang lain dan cenderung tidak berminat ikut dalam kegiatan sosial. Hal tersebut dilakukan karena merasa orang lain lebih baik dan lebih pantas untuk melakukan kegiatan sosial dan mereka takut kalau nantinya mereka mengeluarkan uang untuk kegiatan sosial tersebut.

Menurut Handayani (2009), komunitas miskin memiliki situasi tawar yang rendah dalam proses pengambilan keputusan di arena publik. Situasi tawar yang rendah tersebut terjadi pada golongan keluarga yang benar-benar miskin, yang dikarenakan kurangnya waktu yang dimiliki oleh keluarga tersebut untuk terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut. Hal ini berakibat pada munculnya dominasi dalam pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan kepentingan kelompok elite, karena kelompok tersebut mampu menggunakan akses dan kekuasaan yang dimilikinya untuk terlibat di arena publik. Di sisi lain komunitas miskin kota memiliki partisipasi yang cukup baik dalam melakukan kegiatan

(9)

sosial. Hal ini terjadi karena persamaan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Hasil penelitian Marzali et al (1989) mengungkapkan, bahwa sesama warga dengan kondisi ekonomi yang rendah memiliki partisipasi yang baik dalam berbagai aktivitas seperti siskamling dan kerja bakti dibandingkan dengan warga yang secara ekonomi mampu meskipun berasal dari etnik yang sama. Untuk kepentingan penelitian ini maka kehidupan komunitas miskin kota dapat diidentifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu kondisi ekonomi, aksesibilitas kebutuhan dasar dan partisipasi.

2.2 Kerangka Pemikiran

Masyarakat pedesaan, karena desakan ekonomi berupa rendahnya lapangan kerja, bermigrasi ke kota dengan harapan mendapatkan taraf hidup dan pekerjaan yang lebih tinggi. Konsekuensinya, penduduk di kota terdiferensiasi berdasarkan atas daerah asal, agama, status, pendidikan dan pola-pola tingkah laku. Penduduk di daerah kota menjadi heterogen dan mengakibatkan tingginya tingkat kerentanan sosial pada suatu kelompok miskin di kota.

Kerentanan sosial menurut Bakornas PB (2007) diartikan sebagai ketidakmampuan individu atau masyarakat dalam menghadapi suatu tekanan. Kerentanan sosial tersebut diukur dari ketiadaan salah satu modal sosial yang dimiliki dalam setiap individu pada kelompok miskin di kota yaitu kepercayaan (trust). Trust ini merupakan modal sosial dalam suatu komunitas untuk dapat bertahan terhadap suatu tekanan. Trust teridentifikasi ke dalam empat indikator yaitu kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan (Fukuyama, 2007). Keempat indikator tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam faktor internal, yaitu modal kepercayaan yang berasal dari individu yaitu kekerabatan dan keterampilan. Kategori kedua adalah faktor eksternal dimana modal kepercayaan berasal dari luar individu seperti kolektivitas dan etnisitas.

Taraf hidup kelompok miskin kota diadopsi dari konsep kemiskinan di perkotaan oleh Suparlan (1984) yang diidentifikasi ke dalam tiga kategori, yaitu kondisi ekonomi, aksesibilitas kebutuhan dasar dan partisipasi. Masalah kemiskinan di perkotaan merupakan masalah yang kompleks yang tidak hanya melibatkan permasalah sosial yang ada di kota dan orang-orang di dalamnya,

(10)

tetapi juga melibatkan masalah-masalah sosial yang ada di pedesaan. Kondisi ekonomi kelompok miskin perkotaan dapat diukur melalui tingkat pendapatan, tanggungan keluarga, dan pemenuhan kebutuhan pokok. Aksesibilitas kebutuhan dasar kelompok miskin perkotaan dapat diukur pada pendidikan, kesehatan dan modal. Partisipasi kelompok miskin kota dapat diukur pada kehadiran, sumbangsih pemikiran, kritik dan saran dalam pertemuan yang mereka ikuti. Ketiga kategori tersebut merupakan wujud dari adaptasi terhadap kondisi kemiskinan yang dihadapi, dan juga menggambarkan kondisi kemiskinan yang dialami kelompok miskin perkotaan itu sendiri. Menurut Suparlan (1984), kondisi kelompok miskin perkotaan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya diperparah oleh tidak adanya keluarga dan kerabat di kota, sehingga mereka sulit untuk memperoleh bantuan.

Tingkat kerentanan sosial memiliki pengaruh terhadap taraf hidup kelompok miskin kota. Secara lebih ringkas, penjelasan ini disajikan dalam bentuk kerangka pemikiran pada Gambar 1.

(11)

Kerentanan Sosial

Kondisi Ekonomi 1. Pendapatan 2. Tanggungan 3. Pemenuhan kebutuhan pokok Aksesibilitas Kebutuhan Dasar 1. Pendidikan 2. Kesehatan 3. Modal Faktor Internal Kekerabatan 1. Hubungan dengan

generasi orang tua 2, Hubungan dengan generasi setara 3. Hubungan dengan generasi anak Keterampilan 1. Kemampuan komunikasi 2. Teknis Faktor Eksternal Etnisitas 1. Bahasa 2. Asal daerah 3. Perilaku Kolektivitas 1. Sikap terhadap kepentingan bersama 2. Perilaku terhadap kepentingan bersama

Taraf Hidup Kelompok

Miskin Kota

Keterangan:

= mempengaruhi = ruang lingkup

Gambar 1 Kerangka Analisis Pengaruh Tingkat Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Partisipasi

1. Kehadiran 2. Sumbangsih

pemikiran 3. Kritik dan saran

(12)

2.3 Hipotesis Uji

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis uji, yaitu; Kerentanan sosial berpengaruh terhadap taraf hidup kelompok miskin kota. Hipotesis ini dapat didetilkan sebagai berikut:

1. Kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas berpengaruh terhadap kondisi ekonomi orang miskin dalam kelompoknya.

2. Kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas berpengaruh terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar orang miskin dalam kelompoknya. 3. Kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas berpengaruh

terhadap partisipasi orang miskin dalam kelompoknya.

2.4 Definisi Operasional

A. Kerentanan sosial, adalah kondisi individu yang mengakibatkan ketidakmampuan menghadapi suatu tekanan. Variabel yang diteliti antara lain: A.1 Faktor Internal adalah faktor yang berasal dari dalam individu.

A.1.1 Kekerabatan

a.Hubungan generasi orang tua adalah sebaik apakah hubungan responden kepada ayah, ibu, paman, bibi dan mertua. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Baik 0 5

Baik 0,15 4

Cukup Baik 0,5 3

Kurang Baik 0,85 2

Tidak Baik 1 1

b.Hubungan generasi setara adalah sebaik apakah hubungan responden kepada kakak, adik, sepupu dan ipar. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Baik 0 5

Baik 0,15 4

Cukup Baik 0,5 3

Kurang Baik 0,85 2

(13)

c.Hubungan generasi anak adalah sebaik apakah hubungan responden kepada anak, menantu dan keponakan. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Baik 0 5

Baik 0,15 4

Cukup Baik 0,5 3

Kurang Baik 0,85 2

Tidak Baik 1 1

Penilaian terhadap kekerabatan yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari hubungan responden dengan generasi orang tua, setara dan bawah. Kekerabatan dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks

Sangat Tinggi < 0,45 Tinggi 0,45 ≤ X < 1,5 Cukup 1,5 Rendah 1,5 < X ≤ 2,55 Sangat Rendah > 2,55 A.1.2 Keterampilan

a.Kemampuan komunikasi adalah seberapa besar kemampuan komunikasi responden dapat diterima oleh orang lain. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Mampu 0 5 Mampu 0,15 4 Cukup Mampu 0,5 3 Kurang Mampu 0,85 2 Tidak Mampu 1 1

(14)

b.Teknis adalah kemampuan responden dalam mengolah hasil memulung menjadi barang yang dapat dijual. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Mampu 0 5

Mampu 0,15 4

Cukup Mampu 0,5 3

Kurang Mampu 0,85 2

Tidak Mampu 1 1

Penilaian terhadap keterampilan yaitu dengan mengakumulasi indeks dari kemampuan berkomunikasi dan teknis responden. Keterampilan dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks

Sangat Tinggi < 0,3

Tinggi 0,3 ≤ X < 1

Cukup 1

Rendah 1 < X ≤ 1,7

Sangat Rendah > 1,7

Penilaian terhadap faktor internal yaitu dengan mengakumulasi jumlah indeks dari kekerabatan dan keterampilan. Faktor internal dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks

Sangat Tinggi < 0,75

Tinggi 0,75 ≤ X < 2,5

Cukup 2,5

Rendah 2,5 < X ≤ 4,25

(15)

A.2 Faktor Eksternal

Faktor yang berasal dari luar individu. A.2.1 Etnisitas

a.Bahasa adalah seberapa sering responden berkomunikasi dengan bahasa daerah asalnya. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Sering 0 5

Sering 0,15 4

Cukup Sering 0,5 3

Jarang 0,85 2

Tidak Pernah 1 1

b.Asal daerah adalah seberapa sering responden berkumpul dengan sedaerah dengannya. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Sering 0 5

Sering 0,15 4

Cukup Sering 0,5 3

Jarang 0,85 2

Tidak Pernah 1 1

c.Perilaku adalah seberapa besar pola perilaku yang menunjukkan kebersamaan responden dengan orang sesama daerahnya. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Sesuai 0 5

Sesuai 0,15 4

Cukup Sesuai 0,5 3

Kurang Sesuai 0,85 2

(16)

Penilaian terhadap etnisitas yaitu dengan mengakumulasi indeks dari bahasa, asal daerah dan perilaku responden. Etnisitas dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks

Sangat Tinggi < 0,45 Tinggi 0,45 ≤ X < 1,5 Cukup 1,5 Rendah 1,5 < X ≤ 2,55 Sangat Rendah > 2,55 A.2.2 Kolektivitas

a.Sikap terhadap kepentingan bersama adalah sebesar apa responden setuju dengan kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Setuju 0 5

Setuju 0,15 4

Cukup Setuju 0,5 3

Kurang Setuju 0,85 2

Tidak Setuju 1 1

b.Perilaku terhadap kepentingan bersama adalah sesering apa responden terlibat dalam kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Sering 0 5

Sering 0,15 4

Cukup Sering 0,5 3

Jarang 0,85 2

(17)

Penilaian terhadap kolektivitas yaitu dengan mengakumulasi indeks dari sikap dan perilaku responden terhadap kegiatan kepentingan bersama. Kolektivitas dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks

Sangat Tinggi < 0,3

Tinggi 0,3 ≤ X < 1

Cukup 1

Rendah 1 < X ≤ 1,7

Sangat Rendah > 1,7

Penilaian terhadap faktor eksternal yaitu dengan mengakumulasi jumlah indeks dari etnisitas dan kolektivitas. Faktor eksternal dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks

Sangat Tinggi < 0,75

Tinggi 0,75 ≤ X < 2,5

Cukup 2,5

Rendah 2,5 < X ≤ 4,25

Sangat Rendah > 4,25

B. Taraf hidup kelompok miskin kota adalah kondisi atau keadaan yang dialami oleh kelompok miskin kota. Variabel yang diteliti antara lain:

B.1 Kondisi Ekonomi

a.Pendapatan adalah sejumlah uang yang didapat dari hasil bekerja selama satu hari oleh responden. Hal ini dapat diukur dengan indikator yang mengacu dari UMR kota Jakarta sebesar Rp 1.290.000 per bulan: 1. Sangat tinggi = 5 (> Rp 60.000)

2. Tinggi = 4 (Rp 43.000 < P ≤ Rp 60.000) 3. Cukup = 3 (Rp 43.000)

4. Rendah = 2 (Rp 20.000 ≤ P < Rp 43.000) 5. Sangat rendah = 1 (< Rp 20.000)

(18)

b.Tanggungan adalah jumlah orang yang dibiayai responden. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Tidak ada = 5 (0 orang) 2. Sedikit = 4 (1-2 orang) 3. Cukup = 3 (3 orang) 4. Banyak = 2 (4-5 orang) 5. Sangat banyak = 1 (> 5 orang)

c.Pemenuhan kebutuhan pokok adalah kemampuan responden untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Hal ini dapat diukur dengan indikator: 1. Sangat mampu = 5 2. Mampu = 4 3. Cukup = 3 4. Kurang mampu = 2 5. Tidak mampu = 1

Penilaian terhadap kondisi ekonomi pada taraf hidup kelompok miskin kota yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari pendapatan, tanggungan dan pemenuhan kebutuhan pokok. Kondisi ekonomi pada taraf hidup kelompok miskin kota dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Skor

Sangat Tinggi > 12

Tinggi 9 < X ≤ 12

Cukup 6 < X ≤ 9

Rendah 3 < X < 6

Sangat Rendah < 3

B.2 Aksesibilitas Kebutuhan Dasar

a.Pendidikan adalah kemampuan responden untuk menyekolahkan anaknya. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Sangat mampu = 5 2. Mampu = 4 3. Cukup = 3 4. Kurang mampu = 2 5. Tidak mampu = 1

(19)

b.Kesehatan adalah kemampuan responden untuk berobat ke lembaga kesehatan. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Sangat mampu = 5 2. Mampu = 4 3. Cukup = 3 4. Kurang mampu = 2 5. Tidak mampu = 1

c.Modal adalah responden untuk mendapatkan bantuan modal dari orang lain. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Sangat mampu = 5 2. Mampu = 4 3. Cukup = 3 4. Kurang mampu = 2 5. Tidak mampu = 1

Penilaian terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar pada taraf hidup kelompok miskin kota yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari pendidikan, kesehatan dan modal. Aksesibilitas kebutuhan dasar pada taraf hidup kelompok miskin kota dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Skor

Sangat Tinggi > 12 Tinggi 9 < X ≤ 12 Cukup 6 < X ≤ 9 Rendah 3 < X < 6 Sangat Rendah < 3 B.3 Partisipasi

a.Kehadiran adalah keikutsertaan responden dalam kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Selalu ikut = 5 2. Sering ikut = 4 3. Kadang-kadang ikut = 3 4. Jarang ikut = 2 5. Tidak ikut = 1

(20)

b.Sumbangsih pemikiran adalah keterlibatan responden dalam menyumbangkan pemikirannya dalam pengambilan keputusan kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Selalu terlibat = 5 2. Sering terlibat = 4 3. Kadang-kadang terlibat = 3 4. Jarang terlibat = 2 5. Tidak terlibat = 1

c.Kritik dan saran adalah aktivitas kritik, saran atau argumen responden pada kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Selalu terlibat = 5 2. Sering terlibat = 4 3. Kadang-kadang terlibat = 3 4. Jarang terlibat = 2 5. Tidak terlibat = 1

Penilaian terhadap partisipasi pada taraf hidup kelompok miskin kota yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari kehadiran, sumbangsih pemikiran, kritik dan saran. Partisipasi pada taraf hidup kelompok miskin kota dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Skor

Sangat Tinggi > 12 Tinggi 9 < X ≤ 12 Cukup 6 < X ≤ 9 Rendah 3 < X < 6 Sangat Rendah < 3

Gambar

Gambar 1 Kerangka Analisis Pengaruh Tingkat Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup  Kelompok Miskin Kota

Referensi

Dokumen terkait

Modal sosial yang dimiliki setiap individu seperti adanya nilai kepercayaan, jaringan sosial, dan norma sosial membantu terciptanya kerjasama yang efektif

PNPM-MP merupakan salah satu cara pemberdayaan yang dilakukan pada klaster ini, dimana masyarakat miskin dibentuk menjadi modal sosial atau kelompok masyarakat

Putnam (1993:167) menyatakan komponen modal sosial terdiri dari kepercayaan (trust), aturan-aturan (norms) dan jaringan-jaringan kerja (networks) yang dapat memperbaiki

Hubungan Dukungan Sosial Dengan Kepercayaan Diri Kepercayaan diri atau percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis seseorang dimana individu dapat mengevaluasi keseluruhan

Selain itu berdasarkan hasil penelitian Juariyah (1994), yang mempengaruhi motivasi individu untuk menonton adalah faktor dari dalam diri individu tersebut anatara

Status dan peran (pembagian kerja) antara laki-laki dan perempuan yang akan diukur dengan akses dan beban kerja dilihat dari tiga kegiatan yaitu kegiatan produktif,

Faktor internal dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu, seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan pendapatan, status

Program Keluarga Harapan (PKH) adalah suatu program yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), jika mereka memenuhi persyaratan yang