TESIS
EFEK VITAMIN A TOPIKAL TERHADAP
KEPADATAN SEL GOBLET KONJUNGTIVA PASCA
SMALL INCISION CATARACT SURGERY
ETIKA WIDHIASTUTI
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
i
TESIS
EFEK VITAMIN A TOPIKAL TERHADAP
KEPADATAN SEL GOBLET KONJUNGTIVA PASCA
SMALL INCISION CATARACT SURGERY
ETIKA WIDHIASTUTI NIM 1114128101
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
ii
EFEK VITAMIN A TOPIKAL TERHADAP
KEPADATAN SEL GOBLET KONJUNGTIVA PASCA
SMALL INCISION CATARACT SURGERY
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
ETIKA WIDHIASTUTI NIM 1114128101
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL : 4 April 2016
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. dr. N.K. Niti Susila, SpM(K) dr. Ariesanti Tri Handayani, SpM(K)
NIP. 194506051971062001 NIP. 197604062009122001
iv
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal21 April 2016
Panitia Penguji Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,
No: 1846/UN14.4/HK/2016 Tanggal 21 April 2016
Ketua : Prof. dr. N.K. Niti Susila, SpM(K)
Sekretaris : dr. Ariesanti Tri Handayani, SpM(K)
1. Prof.Dr.dr. I Gede Raka Widiana, SpPD-KGH
2. dr. Made Agus Kusumadjaja, SpM(K)
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada
Allah SWT atas berkah-Nya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Penulis
menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa bantuan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis dengan setulus hati
menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Rektor Universitas
Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas
Kedokteran Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes yang telah
memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan
Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1
Bagian Ilmu Kesehatan Mata di Universitas Udayana.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan
dan fasilitas yang diberikan sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Ketua Program Studi
Ilmu Biomedik, Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK yang telah
memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Program Studi Ilmu
Biomedik kekhususan Combined Degree. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima
kasih kepada Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes
atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menjalani Program
vii
Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada
Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
dr. Putu Budhiastra, Sp.M(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. A.A.A. Sukartini Djelantik,
Sp.M(K) yang telah memberikan kesempatan mengikuti pendidikan spesialisasi
dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi. Ungkapan
terima kasih penulis sampaikan pula kepada Prof. dr. N.K. Niti Susila, Sp.M(K),
selaku pembimbing I dan dr. Ariesanti Tri Handayani, Sp.M(K), selaku
pembimbing II yang telah meluangkan waktu, memberikan petunjuk dan
pengarahan sejak awal penulisan sampai dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. I Gede
Raka Widiana, Sp.PD-KGH, dr. Made Agus Kusumadjaja, Sp.M(K), Dr. dr. A.A.
Mas Putrawati Triningrat, Sp.M(K), selaku penguji yang selalu memberikan
saran, masukan, bimbingan dan koreksi hingga terselesaikannya tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Direktur RS Bali Mandara, dr. Ni Made Yuniti, MM dan dr. I.G.N. Made Sugiana
Sp.M(K) sebagai Kepala SMF Mata RS Bali Mandara, atas kesempatan dan
fasilitas yang diberikan untuk melaksanakan penelitian di RS Bali Mandara
Provinsi Bali. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada dr. Ni Wayan Winarti,
Sp.PA dan dr. Ni Putu Ekawati, M.Repro, Sp.PA serta seluruh petugas
laboratorium Patologi Anatomi RSUP Sanglah atas izin dan kerjasamanya dalam
pemeriksaan spesimen penelitian. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih
viii
serta dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree atas
segala bimbingannya, seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya
selama ini, serta seluruh paramedik di Poliklinik Mata RS Bali Mandara atas
kerjasamanya dalam pengumpulan sampel penelitian.
Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda dan Ibunda penulis Drs. H.
Sumirgo M.Pd, dan Hj. Yurianti S.Pd, yang telah memberikan bekal pendidikan
yang cukup, motivasi dan semangat kepada penulis. Ayahanda dan Ibunda Mertua
H. Odang Erawan, BA dan Hj. Yoyoh Atikah, terima kasih atas dorongannya
selama ini. Akhirnya kepada suami tercinta Predi Tridiansah, ST, M.Si, Ananda
tersayang Narapati Azarael Sahwi atas dorongan semangat dan dukungan selama
penulis menyelesaikan pendidikan dan penelitian ini.
Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi
perkembangan pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan IImu Kesehatan
Mata. Terakhir, semoga Allah SWT, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita
semua.
Denpasar, April 2016
ix
ABSTRAK
EFEK VITAMIN A TOPIKAL TERHADAP KEPADATAN SEL GOBLET KONJUNGTIVA PASCA SMALL INCISION CATARACT SURGERY
Teknik Small Incision Cataract Surgery (SICS) dapat menyebabkan dry
eye. Air mata buatan dengan kandungan vitamin A dapat membantu pertumbuhan
normal sel, diferensiasi, dan memelihara sel goblet konjungtiva. Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan efek vitamin A topikal terhadap kepadatan sel goblet konjungtiva pasca SICS.
Metoda penelitian ini adalah uji klinis Pre dan Post Design dengan
perluasan Randomized, Double Blind Pre and Posttest Control Group Design di
RS Bali Mandara Provinsi Bali periode September 2015-Januari 2016. Sebanyak 38 pasien dibagi menjadi dua kelompok yaitu 19 pasien kelompok perlakuan yang diberikan vitamin A topikal dan 19 pasien kelompok kontrol yang diberikan plasebo. Pengambilan spesimen sitologi impresi dilakukan sebelum SICS, setelah SICS dan 4 minggu setelah intervensi. Pemeriksaan sitologi impresi dikerjakan di laboratorium PA RSUP Sanglah. Rerata sebelum dan sesudah tindakan SICS
dihitung dengan uji-t untuk 2 kelompok berpasangan. Selisih sebelum dan
sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok dihitung dengan uji-t untuk 2 kelompok tidak berpasangan.
Rerata kepadatan sel goblet konjungtiva sebelum SICS sebesar 15,5±13,4 sel/10 HPF dan setelah dilakukan SICS sebesar 15,7±12,7 sel/10 HPF. Rerata selisih kepadatan sel goblet konjungtiva sebelum dan setelah intervensi, pada kelompok perlakuan sebesar 0,2±11,7 sel/10 HPF dan kelompok kontrol sebesar -10,2±8,1 sel/10 HPF. Beda rerata kepadatan sel goblet konjungtiva antara kedua kelompok sebesar 10,4±3,2 sel/10 HPF.
Rerata kepadatan sel goblet konjungtiva antara sebelum dan sesudah SICS tidak didapatkan perbedaan bermakna. Rerata selisih kepadatan sel goblet konjungtiva antara kedua kelompok intervensi pasca SICS ditemukan perbedaan bermakna secara statistik.
x
ABSTRACT
EFFECTS OF TOPICAL VITAMIN A ON CONJUNCTIVAL GOBLET CELL DENSITY AFTER SMALL INCISION CATARACT SURGERY
Small Incision Cataract Surgery (SICS) can cause dry eye. Artificial tears containing vitamin A may help normal cell growth, differentiation and maintaining of the conjunctival goblet cells. This study described the effects of topical vitamin A on the conjunctival goblet cell density after SICS.
This study is a randomized clinical trial with pre and post design expanded with double blind pre and post-test control group design in Bali Mandara Hospital on September 2015-January 2016. A total of 38 patients were divided into two groups; 19 patients were given topical vitamin A and 19 patients were given placebo. Impression cytology specimen was obtained before SICS, after SICS and 4 weeks after intervention. Impression cytology was examined in Pathological Anatomy laboratorium of Sanglah hospital. Mean density of goblet cells before and after SICS were calculated using paired t-test. The difference before and after intervention in each group were calculated using independent t-test.
Mean density of conjunctival goblet cells before SICS was 15.5±13.4 cells/10 HPF and after SICS was 15.7±12.7 cells/10 HPF. Mean difference in conjunctival goblet cells density before and after SICS in the intervention group was 0.2±11.7 cells/10 HPF and in the control group was -10.2±8.1 cells/10 HPF. The mean difference between the two groups was 10.4±3.2 cells/10 HPF.
Mean conjunctival goblet cells density difference before and after SICS was found to be not statistically significant. The mean difference of conjunctival goblet cells density between two groups after intervention was found to be statistically significant.
xi
2.1.1 Anatomi Permukaan Okular ... 9
2.1.2 Fungsi dan Komposisi Air Mata ... 12
2.2 Tes Sekresi Air Mata ... 14
2.2.1 Tear Meniskus ... 14
2.2.2 Tear Break-up Time ... 14
xii
2.2.4 Sitologi Impresi ... 15
2.3 Small Incision Cataract Surgery (SICS) ... 18
2.4 Air Mata Buatan ... 25
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir ... 28
3.2 Konsep ... 29
3.3 Hipotesis ... 30
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 31
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 31
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 32
4.3.1 Populasi Penelitian... 32
4.4 Variabel Penelitian ... 34
4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel ... 34
4.4.2 Definisi Operasional Variabel ... 35
4.5 Instrumen Penelitian... 38
xiii
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 44
5.2 Perubahan Kepadatan Sel Goblet Konjungtiva Sebelum dan Sesudah Small Incision Cataract Surgery (SICS) ... 46
5.3 Perubahan Kepadatan Sel Goblet Konjungtiva Sebelum dan Sesudah Intervensi ... 47
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subjek Penelitian ... 49
6.2 Perubahan Kepadatan Sel Goblet Konjungtiva Sebelum dan Sesudah Small Incision Cataract Surgery (SICS) ... 52
6.3 Perubahan Kepadatan Sel Goblet Konjungtiva Sebelum dan Sesudah Intervensi ... 57
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 62
7.2 Saran ... 62
DAFTAR PUSTAKA ... 63
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Kriteria Sitologi Impresi Nelson ... 16
Tabel 5.1 Karakteristik dasar subjek penelitian ... 45
Tabel 5.2 Perbedaan Sitologi Impresi sebelum dan sesudah SICS ... 46
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Gambaran lapisan air mata dan interaksi antar lapisan ... 13
Gambar 2.2. Gambaran sitologi impresi ... 17
Gambar 2.3. Gambaran hasil sitologi impresi ... 18
Gambar 2.4. Insisi pada SICS ... 19
Gambar 2.5. Struktur kimia vitamin A ... 26
Gambar 2.6. Struktur Polyvinyl Pyrrolidone ... 27
Gambar 3.1. Bagan Konsep Penelitian ... 30
Gambar 4.1. Rancangan Penelitian ... 31
xvi
MSICS : Manual Small Incision Cataract Surgery
NSAID : Non Steroid Anti Inflammation Drug
SKRT-SURKESNAS : Survei Kesehatan Rumah Tangga-Survei Kesehatan
Nasional
xvii
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SPSS : Stastical Package for The Social Sciences
TBUT : Tear Break-up Time
TGF-ß1 : Transforming Growth Factor Beta 1
TIO : Tekanan Intra Ocular
USG : Ultrasonography
WHO : World Health Organization
µm : mikrometer
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian ... 71
Lampiran 2 Surat Keterangan Kelaikan Etik ... 73
Lampiran 3 Penjelasan Penelitian ... 74
Lampiran 4 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) ... 77
Lampiran 5 Kuisioner Penelitian ... 78
Lampiran 6 Tabel Randomisasi ... 81
Lampiran 7 Tabel Induk Penelitian ... 82
Lampiran 8 Hasil Tabulasi Kepadatan Sel Goblet Konjungtiva ... 84
Lampiran 9 Langkah-langkah Pengecatan Papanicolau ... 86
1.1 Latar Belakang
Small Incision Cataract Surgery (SICS) merupakan teknik operasi katarak
yang paling efisien dan ekonomis untuk negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Insisi di bagian konjungtiva, sklera maupun kornea pada teknik SICS
serta proses operasi dapat menyebabkan kerusakan di area operasi tersebut. Akibat
kerusakan tersebut, sel stem limbal, sel goblet konjungtiva mengurangi sekresi
musin dan akhirnya mengganggu stabilitas lapisan air mata (Ganvit, et al., 2014;
Kavitha, et al., 2012). Integritas permukaan okular sangat dipengaruhi oleh
adanya musin dalam lapisan air mata yang dihasilkan oleh sel goblet konjungtiva.
Musin sangat penting dalam menjaga kesehatan permukaan okular, sehingga
kelainan sekresi musin sel goblet mengakibatkan kerusakan pada kornea dan
konjungtiva (Ganvit, et al., 2014; Zhang S., et al., 2010; Shatos, et al., 2003).
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 50% dari total
kebutaan di dunia disebabkan oleh katarak, dengan mayoritas kebutaan akibat
katarak ditemukan di negara-negara berkembang (Riaz, et al., 2013). Data Survei
Kesehatan Rumah Tangga-Survei Kesehatan Nasional (SKRT-SURKESNAS)
tahun 2001 menunjukkan prevalensi katarak di Indonesia sebesar 4,99%.
Prevalensi katarak di Jawa-Bali sebesar 5,48% lebih tinggi dibandingkan dengan
daerah Indonesia lainnya. Prevalensi katarak di daerah pedesaan 6,29% lebih
Small Incision Cataract Surgery (SICS) yaitu teknik operasi katarak
dengan membuat insisi tunnel kornea-sklera. Desain insisi tunnel sklera bervariasi
antara dokter bedah, namun langkah umum teknik ini melibatkan pembuatan flap
konjungtiva sebelum dilakukan permodelan tunnel. Prosedur pembuatan flap
konjungtiva menyebabkan pemutusan ikatan konjungtiva-limbal dan pembebasan
jaringan tenon yang dapat mengakibatkan kerusakan arsitektur limbal terutama
ketika peritomi limbal luas diperlukan untuk katarak dengan nukleus besar (Yang,
et al., 2014). Inflamasi pasca operasi, edema jaringan, penyembuhan luka,
astigmatisme, anestesi topikal dengan pengawet seperti benzalkonium chloride
(BAK) dan zat toksik lainnya menyebabkan musin kurang hidrofilik sehingga
stabilitas lapisan air mata menurun dan muncul kondisi dry eye (Zhang S., et al.,
2010).
Sel goblet berstruktur besar, oval atau bulat menyerupai sel lemak dan
memiliki inti datar, dapat ditemukan di seluruh bagian konjungtiva. Musin yang
dihasilkan oleh sel goblet berkontribusi untuk imunitas lokal, sebagai media untuk
perlekatan imunoglobulin (IgA) dan lisozim. Musin juga membantu menjaga
kebersihan mata. Rangkaian jaring-jaring musin menjadi perangkap sisa-sisa sel,
benda asing dan bakteri. Musin juga berperan dalam respon inflamasi (Gillan,
2008; Peters dan Colby, 2008).
Kepadatan sel goblet konjungtiva yang menurun dan adanya perubahan
morfologi sel epitel konjungtiva sering dijumpai pada kondisi dry eye (Bhargava,
et al., 2014). Gangguan permukaan okular menyebabkan epitel normal baik
keratin non sekresi yang disebut metaplasia skuamosa. Penurunan kepadatan sel
goblet juga terjadi penurunan musin sehingga lapisan air mata tidak stabil dan
akibatnya mata menjadi kering. Sel-sel inti kromatin berbentuk ‘snake-like’ dan
perubahan lainnya juga terjadi pada sel konjungtiva non sekresi pada pasien
dengan dry eye. Perubahan-perubahan inti sel juga tampak pada orang normal
pengguna lensa kontak. Pemakaian lensa kontak lunak selama beberapa tahun
menyebabkan kepadatan sel goblet menurun. Defisiensi komponen akuous terlihat
pada keratokonjungtivitis sicca, dimana defisiensi komponen musin terjadi pada
kondisi yang menyebabkan hilangnya sel goblet, misalnya disebabkan oleh
trauma kimia, Stevens-Johnson syndrome, hipovitaminosis A, ocular pemphigoid,
Sjogren’s syndrome (Peters dan Colby, 2008; Gillan, 2008). Pengobatan dengan
beta-bloker topikal juga menyebabkan penurunan sel goblet. Kepadatan sel goblet
konjungtiva dapat menjadi indikator untuk integritas permukaan okular terutama
menentukan keparahan keratokonjungtivitis sicca (Peters dan Colby, 2008).
Li X.M. et al. (2007) melaporkan bahwa gejala dry eye meningkat pada
pasien setelah fakoemulsifikasi, skor tear meniskus yang rendah, penurunan tear
break-up time (TBUT), penurunan tes Schirmer 1 dan metaplasia skuamosa yang
terdeteksi melalui sitologi impresi. Liu et al. (2002) melaporkan bahwa terjadi
perburukan pada pola lapisan air mata yang signifikan, tear meniskus, TBUT, tes
Schirmer 1 dan pewarnaan fluoresein kornea setelah fakoemulsifikasi. Dilaporkan
oleh Kavitha et al. (2012) bahwa 66,2% pasien mengalami dry eye setelah SICS.
Keadaan dry eye yang dijumpai adalah derajat ringan sebanyak 53,32%, derajat
Golongan fluorokuinolon telah lama digunakan untuk mencegah infeksi
pasca operasi karena efek spektrum luas. Pemilihan antibiotika yang tepat, penting
untuk mencegah endoftalmitis, yaitu salah satu komplikasi paling merugikan
pasca operasi katarak. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa fluorokuinolon
topikal memiliki efek toksisitas pada sel-sel kornea. Toksisitas kuinolon terhadap
epitel kornea dan konjungtiva berbeda tiap jenisnya (Han, et al., 2014; Watanabe,
et al., 2010).
Sejumlah penelitian eksperimental dan klinis telah membandingkan
toksisitas beberapa antibiotik golongan kuinolon yang berbeda, namun hasilnya
tidak konsisten (Han, et al., 2014). Kim S. et al. (2007) melaporkan bahwa
levofloxacin (Cravit®) adalah kurang toksik dibandingkan moxifloxacin
(Vigamox®) saat diberikan pada kultur epitel kornea manusia lebih dari 2 jam.
Tsai T. et al. (2010) menginkubasi sel epitel kornea manusia dengan
fluorokuinolon yang berbeda (norfloxacin, ciprofloxacin, ofloxacin, levofloxacin,
moxifloxacin dan gatifloxacin), dengan menggunakan obat mata komersial dan
melaporkan bahwa levofloxacin dan ofloxacin menunjukkan toksisitas yang lebih
rendah. Beberapa peneliti menganggap toksisitas fluorokuinolon adalah akibat
dari pengawet dan bukan dari fluorokuinolon itu sendiri (Han, et al., 2014).
Watanabe et al. (2010) membandingkan moxifloxacin dan levofloxacin tanpa
pengawet pada mata sehat yang diberikan tiga kali per hari dan melaporkan tidak
terdapat perbedaan pada TBUTdan tampilan morfologi dari epitel kornea, stroma
Perhatian utama dokter mata setelah ekstraksi katarak selain inflamasi
adalah resiko infeksi mata. Infeksi luka operasi dan endoftalmitis pasca operasi
relatif jarang, tetapi merupakan peristiwa yang sangat merusak, dan oleh karena
itu dibutuhkan antibiotik profilaksis pada operasi katarak (Russo, et al., 2005).
Kombinasi neomisin, polimiksin dan deksametason telah dibuktikan sejak tahun
1964 untuk mengatasi inflamasi karena efek spektrum luas dan murah.
Kortikosteroid topikal masih menjadi andalan manajemen pasca ekstraksi katarak.
Kortikosteroid topikal mempunyai efek samping menghambat penyembuhan luka
(Singer, et al., 2012).
Sitologi impresi konjungtiva merupakan teknik non invasif pengambilan
sampel epitel konjungtiva dan kornea yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas
tinggi, dapat mendeteksi perubahan awal yang tidak terdeteksi oleh tes fungsi air
mata rutin, banyak peneliti mengatakan bahwa sitologi impresi dapat menjadi
pemeriksaan lini pertama untuk diagnosis dry eye (Bhargava, et al., 2014).
Menurut Sinha et al. (2014) sitologi impresi setelah operasi katarak baik
fakoemulsifikasi maupun SICS menunjukkan adanya kehilangan sel goblet yang
bermakna.
Air mata buatan saat ini merupakan terapi andalan dry eye syndrome dan
merupakan terapi lini pertama yang disukai karena non invasif serta riwayat efek
samping rendah. Tujuan utama penggunaan air mata buatan adalah untuk
melumasi permukaan mata sehingga keadaan dry eye dapat terkontrol,
mengurangi keluhan, meningkatkan kualitas hidup, meminimalkan faktor resiko
kandungan vitamin A diketahui memiliki peran penting dalam meregulasi
proliferasi dan diferensiasi sel epitel kornea, membantu pertumbuhan normal sel,
diferensiasi, dan memelihara sel goblet konjungtiva (Kim E.C., et al., 2009;
Moshirfar, et al., 2014; Vibhute, et al., 2010).
Penelitian terdahulu menggambarkan bahwa salep mata all-trans retinoic
acid efektif dalam mengobati empat kasus penyakit permukaan okular seperti
keratokonjungtivitis sicca, Steven-Johnson syndrome, pseudopemfigoid karena
obat dan dry eye yang disebabkan karena operasi. Analisis sitologi impresi,
keluhan dry eye, visus, keratopati, dan tes Schirmer membaik setelah penggunaan
salep mata all-trans retinoic acid (Kim E.C., et al., 2009). Kobayashi, et al. (1997)
menggambarkan adanya peningkatan sel goblet, penurunan sel keratinisasi, dan
peningkatan sel-sel non keratinisasi pada analisis sitologi setelah pengobatan
dengan retinol palmitat untuk dry eye nselama empat minggu, namun tidak
terdapat perbedaan jumlah sel-sel inflamasi dari sebelum pengobatan.
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, penelitian ini dilakukan untuk
menggambarkan efek vitamin A yaitu retinol palmitat topikal terhadap kepadatan
sel goblet konjungtiva dengan teknik sitologi impresi pada pasien pasca SICS.
1.2 Masalah
Masalah yang ingin diketahui pada penelitian ini sebagai berikut
a. Apakah terdapat perubahan kepadatan sel goblet konjungtiva sebelum
b. Apakah terdapat perubahan kepadatan sel goblet konjungtiva sebelum
dan sesudah diberikan vitamin A topikal pada pasien pasca SICS?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin diketahui pada penelitian ini sebagai berikut
a. Mengetahui perubahan kepadatan sel goblet konjungtiva sebelum dan
sesudah SICS.
b. Mengetahui perubahan kepadatan sel goblet konjugtiva sebelum dan
sesudah diberikan vitamin A topikal pada pasien pasca SICS.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dalam penelitian ini sebagai berikut
a. Menambah wawasan dan pemahaman mengenai sitologi impresi
untuk pemeriksaan kepadatan sel goblet.
b. Menambah pengetahuan mengenai pengaruh vitamin A terhadap
kepadatan sel goblet konjungtiva.
c. Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini sebagai berikut
a. Memberikan informasi perubahan kepadatan sel goblet konjungtiva
b. Memberikan informasi perubahan kepadatan sel goblet konjungtiva
sebelum dan sesudah diberikan vitamin A topikal pada pasien pasca
SICS.
c. Sebagai bahan pertimbangan pemilihan terapi tambahan pasca operasi
9
2.1 Permukaan Okular
2.1.1 Anatomi Permukaan Okular
Permukaan mata termasuk kornea, konjungtiva dan lapisan air mata
membentuk unit fungsional. Kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel, lapisan
bowman, stroma, membran descemet dan endotelium. Transparansi kornea
disebabkan struktur yang sama, avaskular dan daya hidrasi. Sel stem epitel kornea
berada di zona limbal lapisan basal perifer kornea. Sel stem memiliki kapasitas
proliferasi paling baik dibandingkan dengan sel-sel epitel kornea sentral, karena
itu berpotensi untuk memelihara dan memperbaiki epitel kornea yang rusak (Knop
E. dan Knop N., 2007; Laqua, 2004).
Konjungtiva adalah lapisan tipis, membran mukosa transparan yang
menutup sklera. Konjungtiva dibentuk dari epitel nonkeratin skuamosa berlapis
dan lamina propria. Ketebalan epitel bervariasi dari margo palpebra sampai
limbus. Konjungtiva dibagi menjadi tiga bagian yaitu palpebral, forniks dan
bulbar dan secara histologi terdiri dari epitel dan stroma. Banyak jenis sel lain
yang berada dalam lapisan epitelial selain sel epitel, seperti sel goblet, melanosit,
sel langerhans, dan limfosit (Gillan, 2008; Knop E. dan Knop N., 2007; Laqua,
2004).
Integritas permukaan okular sangat dipengaruhi oleh adanya musin dalam
utama musin. Sel goblet yang terletak di permukaan apikal konjungtiva,
diantaranya diselingi beberapa lapisan epitel berlapis. Sel-sel goblet konjungtiva
manusia terdapat secara tunggal atau dapat berjumlah banyak, seperti di lipatan
epitel dan tampak lebih bulat dibandingkan pada jaringan lain maupun pada
spesies lain. Sel goblet berfungsi mensintesis, menyimpan dan mengeluarkan
musin dan gel pembentuk musin (MUC5AC). Volume produksi musin oleh sel
goblet konjungtiva adalah 2-3 µL/hari, sedangkan produksi akuous sekitar 2-3
mL/hari. Musin memiliki kemampuan sebagai pelembab dan sebagai gel,
sehingga konjungtiva tetap lembab. Musin berfungsi melindungi permukaan
okular dari berbagai patogen, bahan kimia dan toksin. Musin sangat penting dalam
menjaga kesehatan permukaan okular, sehingga kelainan sekresi musin sel goblet
mengakibatkan kerusakan pada kornea dan konjungtiva. (AAO, 2011-2012b;
Gillan, 2008; Shatos, et al., 2003).
Produksi musin ditentukan dengan jumlah sel goblet yang fungsional pada
konjungtiva dan tingkat kemampuan sel goblet untuk mensintesis musin. Bagian
konjungtiva dengan densitas sel goblet tertinggi yaitu inferonasal konjungtiva
bulbi, konjungtiva palpebra, bagian temporal konjungtiva bulbi, sedangkan bagian
sel goblet sedikit atau bahkan absen adalah permukaan okular yang terekspos dan
korneosklera junction. Masing-masing sel goblet berukuran 25µx25µ. Sel goblet
tersusun dari paket mukosa dan ikatan membran dengan nukleus berbentuk rata
dan eksentris berada di dekat dasar sel. Kepadatan sel goblet konjungtiva antara
1000-56.000 sel/mm2 (Foster, et al., 2003; Shatos, et al., 2003). Kepadatan sel
pada orang dewasa usia di atas 37 tahun. Jumlah sel goblet dapat berubah oleh
faktor-faktor eksternal pada usia berapa pun. Kepadatan sel goblet menurun secara
perlahan pada masa kanak-kanak setelah periode perkembangan awal pada tahun
pertama kehidupan dan mencapai tingkat yang cukup konstan (30-70 per 0,1 mm2
permukaan mukosa). Tingkat hidrasi konjungtiva merupakan faktor eksogen yang
signifikan meskipun sedikit yang diketahui tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kepadatan dan distribusi sel goblet konjungtiva normal. Beberapa
ahli percaya bahwa aliran akuous ke sakus konjungtiva bawah, pembentukan
genangan lakrimal dan akumulasi air mata pada kantus medial mengakibatkan
hidrasi maksimal forniks inferonasal dan konjungtiva palpebra inferior sehingga
kepadatan sel goblet adalah maksimal. Jumlah sel goblet pada pasien dengan
keratokonjungtivitis sicca lebih rendah dibandingkan orang normal. Kepadatan sel
goblet tidak terpengaruh jenis kelamin. Penurunan kepadatan sel goblet pada
keratokonjungtivitis sicca mungkin karena berkurangnya vaskularisasi
konjungtiva akibat jaringan parut dan sebagai akibat hambatan suplai vitamin A
(Peters dan Colby, 2008).
Gangguan permukaan okular menyebabkan epitel normal baik sekresi dan
non sekresi dimodifikasi dan menjadi epitel keratin non sekresi yang disebut
metaplasia skuamosa. Penurunan kepadatan sel goblet dikaitkan dengan
penurunan musin sehingga lapisan air mata tidak stabil dan menyebabkan dry eye.
Sel-sel inti kromatin berbentuk ‘snake-like’ dan perubahan lainnya juga terjadi
pada sel konjungtiva non sekesi pada pasien dengan keadaan dry eye.
Pemakaian lensa kontak lunak selama beberapa tahun menyebabkan kepadatan sel
goblet menurun. Defisiensi komponen akuous terlihat pada keratokonjungtivitis
sicca, yaitu defisiensi komponen musin. Kondisi yang menyebabkan hilangnya sel
goblet, misalnya terjadi pada trauma kimia, Stevens-Johnson syndrome,
hipovitaminosis A, ocular pemphigoid, Sjogren’s syndrome. Pengobatan dengan
beta-bloker topikal juga menyebabkan penurunan sel goblet. Kepadatan sel goblet
konjungtiva dapat menjadi indikator integritas permukaan okular terutama dalam
menentukan keparahan keratokonjungtivitis sicca (Peters dan Colby, 2008).
Lapisan air mata terdiri dari protein, enzim, lipid, akuous, musin dan
elektrolit berfungsi memelihara lapisan air mata agar dapat menjalankan
fungsinya (Kari, et al., 2011).
2.1.2 Fungsi dan Komposisi Air Mata
Produksi dan jumlah air mata sangat penting untuk menjaga kesehatan
permukaan okular. Air mata berfungsi membersihkan, melumasi dan memelihara
permukaan okular serta memberikan perlindungan fisik dan kekebalan tubuh
terhadap infeksi dan trauma mekanik. Lebih dari 98% total lapisan air mata adalah
air. Ketebalan lapisan air mata bervariasi antara 4,0–9,0 µm. Permukaan kornea
dan bola mata yang terekspos dilindungi oleh lapisan air mata yang terdiri dari
tiga lapisan. Lapisan lipid superfisial setebal 0,1 µm diproduksi terutama oleh
kelenjar meibom dan memiliki kontribusi penting untuk mencegah penguapan air
mata. Lapisan tengah yaitu air atau akuous dengan tebal 6–7 µm diproduksi oleh
kelenjar lakrimal dan aksesori, bertanggung jawab untuk membawa faktor
racun dan benda asing. Musin di bagian dalam setebal 0,02–005 µm berasal dari
sel-sel goblet konjungtiva juga sel-sel epitel konjungtiva dan kornea. Musin
berperan dalam menyebarkan air mata (AAO, 2011-2012b; Laqua, 2004; Lemp,
2008).
Gambar 2.1 Gambaran lapisan air mata dan interaksi antar lapisan (Kari, et al.,
2011)
Lapisan air mata juga mengandung elektrolit, protein, faktor pertumbuhan,
vitamin, asam amino dan glukosa, selain air, musin dan lipid. Komposisi air mata
menyerupai serum. Air mata mengandung jumlah elektrolit yang sama dengan
plasma darah tetapi dengan perbedaan level kalium lebih tinggi dan level natrium
yang lebih rendah. Lisozim, protein utama dalam air mata memiliki kadar yang
jauh lebih tinggi dibandingkan serum. Imunoglobulin A adalah imunoglobulin
utama dalam air mata dan bertanggung jawab untuk pertahanan terhadap infeksi
pada permukaan okular. Konsentrasi faktor pertumbuhan antara air mata dan
serum adalah sama, kecuali TGF-ß1 dengan kadar jauh lebih rendah dalam air
mata dibandingkan serum. Air mata mengandung kadar vitamin A yang rendah
juga mengandung berbagai sel termasuk sel skuamosa dari kornea dan epitel
konjungtiva, limfosit dan sel plasma dari kapiler dan sistem limfoid konjungtiva
(Laqua, 2004).
2.2 Tes Sekresi Air Mata 2.2.1 Tear Meniscus
Lapisan air mata secara kasar membentuk meniskus segitiga atau
genangan di margo palpebra inferior. Ukuran meniskus 0,3 mm atau kurang
mengindikasikan adanya defisiensi air mata. Meniskus yang lebih tinggi dari
normal (1,0 mm) terjadi pada kondisi lakrimasi atau epifora (Wilson, et al., 2005;
AAO, 2011-2012a).
2.2.2 Tear Break-Up Time
Lapisan air mata dapat hancur antara kedipan. Stabilitas lapisan air mata
dapat diukur secara non invasif, meskipun yang paling umum dalam praktek klinis
dengan cara invasif menggunakan fluoresein. Lapisan air mata diamati dengan
menggunakan lampu celah dan filter cobalt blue (Wilson, et al., 2005).
Tear Break-Up Time (TBUT) adalah penampakan pertama titik berwarna
gelap dan bagian yang kering setelah kedipan sempurna dan diukur dalam detik.
Waktu kurang dari 10 detik umumnya dianggap abnormal dan menunjukkan
lapisan air mata yang tidak stabil. Defisiensi musin menyebabkan TBUT yang
cepat tetapi kelainan permukaan okular juga dapat menyebabkan ketidakstabilan
lapisan air mata dan dapat mengakibatkan TBUT yang cepat (Henderson, et al.,
2.2.3 Tes Schirmer
Tes Schirmer dilakukan dengan menempatkan strip tipis kertas filter pada
forniks inferior. Pemeriksaan bertujuan untuk menentukan kuantitas produksi air
mata. Tes sekresi dasar dilakukan setelah pemberian anestesi topikal, diikuti
dengan pengeringan ringan sisa air mata dari forniks inferior. Kertas filter tipis
ditempatkan pada pertemuan antara tengah dan sepertiga lateral kelopak mata
inferior untuk mengurangi iritasi kornea selama dilakukan tes. Tes dapat
dilakukan dengan mata terbuka atau tertutup, walaupun beberapa ahli
merekomendasikan dengan mata tertutup untuk membatasi efek berkedip (AAO,
2011-2012a; Dry eye workshop, 2007).
Tes Schirmer I hampir sama dengan tes sekresi dasar tetapi tanpa
penggunaan anestesi topikal. Hasil pengukuran kurang dari 10 mm selama
pemeriksaan 5 menit dapat didiagnosa sebagai ATD. Level sensitivitas tes
Schirmer I adalah rendah walaupun relatif spesifik (AAO, 2011-2012a).
Tes Schirmer II mengukur refleks sekresi, dilakukan serupa yaitu tanpa
anestesi topikal. Setelah kertas saring diletakkan pada forniks inferior, kapas
aplikator dipakai untuk mengiritasi mukosa nasal. Apabila kertas saring basah
kurang dari 15 mm setelah 5 menit menyatakan adanya defek refleks sekresi
(AAO, 2011-2012a; Dry eye workshop, 2007).
2.2.4 Sitologi Impresi
Prosedur sitologi impresi pertama kali dikenalkan oleh Larmande dan
Timsit untuk mendiagnosis neoplasia skuamosa permukaan okular pada tahun
memeriksa gangguan permukaan okular dan kepadatan sel goblet (Schober, et al.,
2006; Singh, et al., 2005).
Sistem penilaian pertama kali diterbitkan oleh Nelson berdasarkan
penampakan morfologi epitel konjungtiva dan sel goblet. Penilaian sistem
memiliki skala 0-3 berdasarkan morfologi sel epitel, perilaku pewarnaan, rasio
nukleoplasmik, serta kepadatan dan pewarnaan PAS sel goblet (Schober, et al.,
2006; Shrestha, et al., 2011; Sood, 2006).
Tabel 2.1
Kriteria Sitologi Impresi Nelson (Singh, et al., 2005)
Derajat Gambaran
0 >500 sel goblet/mm2
Sel epitel kecil, bulat dengan nukleus besar
1 350-500 sel goblet/mm2
Sel epitel sedikit besar, bentuk lebih poligonal dengan nukleus kecil
2 100-350 sel goblet/mm2
Sel epitel besar dan poligonal, multinucleated, dengan
variasi pewarnaan sitoplasma, nukleus kecil
3 <100 sel goblet/mm2
Gambar 2.2 Gambaran sitologi impresi. A) Sitologi impresi permukaan kornea
normal. B) Sitologi impresi zona transisi normal dari kornea ke limbus (Singh, et
al., 2005)
Metode sitologi impresi memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi
(78%-87%), dapat mendeteksi perubahan awal yang tidak terdeteksi oleh tes fungsi air
mata rutin. Kelemahan terutama terdapat pada hilangnya detail morfologi dan
hasil sel yang buruk dalam kasus keratinisasi (Bhargava, et al., 2014; Kane,
2007). Sitologi impresi memberikan alternatif terhadap diagnostik eksisi biopsi
atau smears konjungtiva yang terbuat dari usapan yang diambil dengan spatula
tumpul. Usapan konjungtiva menghancurkan banyak informasi morfologi dan
sebagai perbandingan, biopsi konjungtiva menyediakan informasi dari sampel
yang relatif kecil dari epitel permukaan. Sitologi impresi oleh karena itu
merupakan teknik pilihan pengambilan sampel epitel permukaan sebagai jaringan
target dan bukan epitel basal atau membran basement (Shresta, et al., 2011).
Teknik sitologi impresi menggunakan sepotong kertas saring Millipore
yang ditekan secara ringan pada area tertentu dari permukaan konjungtiva (atau
dalam kasus yang jarang terjadi, kornea) untuk mengangkat 1-3 lapis sel-sel epitel
permukaan, selanjutnya lakukan fiksasi dan pewarnaan dengan H&E atau PAS
Millipore memiliki keuntungan metode menjadi cepat, mudah diterapkan dan
mudah ditransportasikan dengan alat mekanis yang stabil. Perlekatan sel epitel
yang baik juga terjamin, spesimen yang memadai dapat diperoleh dari kasus.
Setiap spesimen diperiksa di bawah mikroskop dengan 10 x high power field
(HPF). Setidaknya pembacaan dengan 10 HPF digunakan untuk sel goblet dan sel
epitel. Hasil sitologi impresi biasanya berhubungan dengan tes fungsi sekresi air
mata seperti TBUT, pewarnaan kornea, Schirmer tanpa anestesi, dan rose bengal
(AAO, 2011-2012a; Shrestha, et al., 2011; Kumar, et al., 2014; Singh, et al.,
2005).
Gambar 2.3 Gambaran hasil sitologi impresi (pewarnaan PAS dan hematoksilin,
pembesaran 100x) pada pasien dengan dry eye syndrome. A) Derajat 0, normal. B)
Derajat 1, kehilangan sel goblet awal. C) Derajat 2, kehilangan sel goblet total. D)
Derajat 3, keratinisasi awal. E) Derajat 4, keratinisasi sedang. F) Derajat 5,
keratinisasi berat (Kim E.C., et al., 2009)
2.3 Small Incision Cataract Surgery (SICS)
Small Incision Cataract Surgery (SICS) dikembangkan di Amerika
Serikat dan Israel, kemudian menjadi populer di India dengan banyaknya operasi
A B C
yang dilakukan. Small Incision Cataract Surgery (SICS) menampilkan ekstraksi
ekstra kapsular. Nukleus dimunculkan dan dikeluarkan melalui tunnel sklera dan
dilakukan aspirasi sisa korteks (Health Care, 2011; Gogate, 2010).
Venkatesh et al. (2010) melaporkan bahwa tunnel sklera dibuat di bagian
superior sekitar 2 mm dari limbus dengan ukuran 6,5-7,0 mm. Injeksi trypan blue
untuk membantu kapsuloreksis dan nukleus dimunculkan dari kantung lensa
dengan Sinskey hook atau dengan hidrodiseksi, diikuti ekstraksi nukleus dengan
menggunakan vectis. Intra Ocular Lens (IOL) keras (polymethyl methacrylate)
dengan ukuran optik 6,0 mm dimasukkan ke dalam kantung lensa dan kamera
okuli anterior ditekan. Tunnel dapat sembuh sendiri dan luka insisi tidak
memerlukan penjahitan pada kebanyakan kasus.
Gambar 2.4 Insisi pada SICS (Garg, et al., 2009)
Prosedur SICS menawarkan keuntungan rehabilitasi yang lebih cepat,
Small Incision Cataract Surgery (SICS) bermanfaat lebih luas dan dapat
diterapkan di daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang sebagian besar
menderita katarak. Prosedur SICS membutuhkan peralatan operasi katarak standar
medis yang minimal dibandingkan dengan fakoemulsifikasi. Fakoemulsifikasi
membutuhkan instrumen mahal dan lebih sering tidak tersedia di beberapa daerah.
Prosedur SICS memerlukan waktu belajar yang lebih pendek dan lebih aman
dibandingkan dengan fakoemulsifikasi. Prosedur SICS lebih ekonomis karena
menuntut modal lebih sedikit sedangkan fakoemulsifikasi menuntut investasi
modal lebih banyak (National Cataract Coalition, 2012).
Prosedur SICS memiliki beberapa kelemahan. Kongesti konjungtiva dapat
bertahan di lokasi flap konjungtiva selama 5-7 hari dan mungkin terdapat nyeri
ringan akibat insisi. Hifema pasca operasi dapat terjadi dan kemungkinan
astigmatisme akibat operasi lebih tinggi. Small Incision Cataract Surgery (SICS)
membuat insisi yang lebih besar dibandingkan fakoemulsifikasi (National
Cataract Coalition, 2012).
Pemilihan antibiotika yang tepat, penting untuk mencegah endoftalmitis,
yaitu salah satu komplikasi paling merugikan pasca operasi katarak. Golongan
fluorokuinolon telah lama digunakan sebagai profilaksis untuk mencegah infeksi
pasca operasi. Fluorokuinolon dikenal karena aktivitas anti bakteri dengan
spektrum luas. Efek bakterisid dikerahkan dengan menghambat sintesis DNA
melalui gangguan pada enzim DNA gyrase (topoisomerase II) dan topoisomerase
IV (Han, et al., 2014; Watanabe, et al., 2010). Studi dengan hewan coba in vivo
memiliki efek sitotoksik pada sel kornea, namun mekanisme yang tepat mengenai
toksisitas fluorokuinolon masih belum diketahui. Ciprofloxacin pernah dilaporkan
dalam suatu penelitian bahwa mengakibatkan hambatan dalam penyembuhan luka
kornea. Ciprofloxacin hydrochloride 0,3% digambarkan memiliki kecenderungan
mempercepat deposit kristal kornea, terutama akibat interaksinya dengan PH
kelarutan formula tetes mata (Tsai T., et al., 2010).
Kortikosteroid topikal dan obat anti inflamasi non steroid topikal
digunakan untuk mengendalikan peradangan pasca operasi. Kedua golongan
memiliki sifat dan mekanisme yang berbeda dalam mengurangi peradangan.
Steroid menghambat kaskade inflamasi pada tahap awal. Jalur asam arakidonat
diaktifkan oleh kerusakan jaringan. Steroid untuk menjadi efektif harus melewati
membran sel dan masuk ke inti, yang terbatas karena sifat lipofobianya. Efek
samping steroid adalah peningkatan tekanan intraokular (TIO), hambatan
penyembuhan luka, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Kejadian dry
eye syndrome setelah penggunaan steroid topikal pernah dilaporkan dan
merupakan temuan yang bermakna. Bagaimana steroid dapat menyebabkan dry
eye masih belum diketahui, tetapi menjadi layak untuk dilakukan penilaian dasar
sekresi air mata sebelum penggunaan steroid topikal. Obat anti inflamasi non
steroid (NSAID) memblok siklooksigenase (COX-1 dan COX-2), enzim yang
mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin yang langsung
menimbulkan peradangan. Obat anti inflamasi non steroid mudah masuk ke sel
kejadian keratitis epitelial pungtata dan bahkan pencairan kornea (Singer, et al.,
2012).
Kombinasi neomisin, polimiksin dan deksametason telah digunakan untuk
mengatasi inflamasi karena efek spektrum luas dan murah. Kondisi yang sering
menggunakan pemakaian obat kombinasi antibiotika-steroid adalah sebagai terapi
pasca operasi katarak, keratokonjungtivitis, fliktenularis, reaksi akibat pemakaian
lensa kontak. Neomisin efektif melawan bakteri gram positif dan gram negatif.
Polimiksin aktif melawan bakteri gram negatif. Obat kombinasi awalnya
digunakan untuk mencegah infeksi, tapi steroid juga berfungsi untuk mengurangi
inflamasi sebagai respon alami trauma operasi. Deksametason adalah
kortikosteroid sintetik potensial yang merupakan turunan dari hidrokortison
dengan perubahan struktural yang memberikan deksametason berefek anti
inflamasi sekitar enam kali lebih kuat dibandingkan dengan prednison dan
prednisolon. Deksametason dalam berbagai formula (fosfat, alkohol) adalah
paling banyak digunakan untuk mata dan telah terbukti efektif untuk pengobatan
inflamasi (Russo, et al., 2005). Deksametason membantu mengurangi sikatrik dan
reaksi kamera okuli anterior pasca operasi katarak. Anti inflamasi kortikosteroid
yang mengandung deksametason bekerja mengurangi edema. Steroid hanya
mengobati atau mencegah infeksi mata yang disebabkan oleh bakteri. Infeksi yang
disebabkan oleh virus, jamur, mikobakteria tidak dapat diberikan steroid dan
bahkan dapat menambah perburukan (Espiritu, et al., 2011).
Banyak penelitian telah menggambarkan adanya dry eye pada pasien yang
asing, pasti akan muncul pada kebanyakan pasien pasca operasi katarak. Beberapa
faktor berperan dalam menyebabkan dry eye pasca operasi katarak (Cho dan Kim,
et al., 2009; Gharee, et al., 2009; Li X.M., et al., 2007).
Desensitisasi kornea adalah yang paling penting dalam mengakibatkan
gejala dry eye. Insisi sklera menyebabkan kerusakan jaringan saraf,
mengakibatkan efek perubahan sensitivitas kornea jangka panjang. Insisi di
daerah temporal menyebabkan kerusakan saraf kornea yang merupakan saraf
besar dari nervus siliaris longus yang masuk ke limbus, terutama di posisi jam 9
dan jam 3. Kornea merupakan salah satu organ dengan banyak saraf yaitu sekitar
44 berkas saraf masuk ke kornea di sekitar limbus secara sentripetal dan berkas
saraf besar yang berjalan dari jam 9 ke arah jam 3 bercabang untuk mencapai
distribusi homogen seluruh kornea (Ganvit, et al., 2014; Zhang S., et al., 2010).
Inflamasi pasca operasi merangsang pelepasan leukosit dan enzim lisosom.
Mediator inflamasi dapat mengubah aksi saraf kornea dan mengurangi sensitivitas
kornea. Gangguan persarafan kornea normal atau umpan balik unit fungsional
lakrimal dapat mengurangi aliran air mata dan frekuensi berkedip sehingga terjadi
ketidakstabilan hiperosmolaritas air mata dan lapisan air mata (Dry Eye
Workshop, 2007; Ganvit, et al., 2014; Zhang S., et al., 2010).
Insisi operasi dan proses operasi dapat menyebabkan kerusakan area
operasi pada sel stem limbal, sel goblet konjungtiva, sehingga sekresi musin
berkurang. Reaksi inflamasi pasca operasi dan edema, dapat mengurangi ikatan
musin. Operasi merubah kurvatura kornea sehingga mengakibatkan penurunan
Penggunaan anestesi topikal dan tetes mata dengan pengawet seperti BAK
dapat mengurangi ikatan musin, menyebabkan ketidakseimbangan lapisan air
mata. Toksisitas dari BAK itu sendiri menyebabkan hiperemi konjungtiva,
hiperplasia folikel, sikatrik konjungtiva, erosi kornea, sehingga mengakibatkan
gangguan stabilitas lapisan air mata. Tetes mata anti inflamasi non steroid
(NSAID) merupakan inhibitor siklooksigenase (COX) non spesifik, sering
digunakan untuk mencegah miosis selama operasi katarak. Anti inflamasi non
steroid dapat mengganggu fungsi normal permukaan mata, kerusakan kornea,
sehingga menyebabkan ketidakstabilan lapisan air mata (Walker, 2004; Zhang S.,
et al., 2010).
Pasien katarak kebanyakan adalah orang tua sehingga sudah terjadi
penurunan elastisitas konjungtiva terutama di forniks inferior, dapat menyebabkan
gangguan stabilitas lapisan air mata, hambatan ekskresi air mata, inflamasi, dry
eye intermiten, mata berair dan lain-lain (Zhang S., et al., 2010).
Penyebab dry eye setelah fakoemulsifikasi dan SICS lainnya adalah
paparan sinar mikroskop, lamanya operasi, irigasi intraoperatif yang kuat,
handling jaringan mata saat operasi, penggunaan obat tetes mata pasca operasi
dan pengawetnya. Irigasi yang kuat terhadap lapisan air mata dan manipulasi
permukaan okular intraoperatif dapat menyebabkan lepasnya sel goblet,
mengakibatkan nilai TBUT yang rendah pasca operasi (Lekhanot, et al., 2006;
2.4 Air Mata Buatan
Pengganti air mata adalah manajemen andalan untuk semua jenis dry eye
syndrome. Fungsinya adalah mengurangi osmolaritas air mata, membersihkan
produk pro inflamasi dan melindungi permukaan mata. Air mata buatan harus
meliputi zat terapi tambahan untuk memperbaiki kerusakan primer dan sekunder
akibat dry eye (Henderson, et al., 2013; Yavuz, et al., 2012).
Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak, tersedia dalam berbagai
bentuk seperti retinol, retinal, dan asam retinoat. Banyak jaringan yang
membutuhkan vitamin A menyimpannya sebagai retinal ester. Retinol palmitat
ditemukan dalam sel kelenjar lakrimal. Retinol ditemukan dalam air mata manusia
dan kelinci. Tetes mata vitamin A efektif untuk pengobatan dry eye. Vitamin A
memiliki peran penting dalam meregulasi proliferasi dan diferensiasi sel epitel
kornea, membantu pertumbuhan normal sel, diferensiasi, dan memelihara sel
goblet konjungtiva. Keberhasilan vitamin A (retinol palmitat) ditunjukkan dalam
studi yang menilai regenerasi sel-sel goblet konjungtiva pada pasien dry eye.
Kobayashi et al. (1997) melaporkan bahwa pengobatan dengan retinol palmitat
untuk dry eye memberikan hasil perbaikan pada analisa sitologi setelah 4 minggu.
Dosis yang diberikan adalah 1 tetes larutan yang mengandung 1000 IU/ml vitamin
A, diberikan empat kali sehari selama empat minggu. Vitamin A topikal yang
digunakan empat kali sehari telah menunjukkan perbaikan keluhan kabur, nilai
Schirmer tanpa anestesi dan analisis sitologi impresi. Salep asam retinoat 0,05%
melibatkan kornea dan konjungtiva (Holland, et al., 2013; Kim E.C., et al., 2009;
Yavuz, et al., 2012).
Gambar 2.5 Struktur kimia vitamin A (Tanumihardjo, 2012)
Polyvinil pyrrolidone (povidone) adalah polimer sintetis yang larut air
dengan berat molekul berkisar antara 40.000 sampai 360.000, bekerja sebagai
surfaktan non ion. Povidone disintesis melalui proses polimerisasi dari vinyl
pyrrolidone dalam air atau isopropanol. Povidone tersedia dalam beberapa kelas
berdasarkan berat molekulnya. Semua kelas povidone dapat digunakan sebagai
polimer hidrofilik yang secara fisik dapat menstabikan suspensi. Fungsi dari
povidone adalah sebagai pengikat, meningkatkan biovailabilitas, melapisi,
melarutkan, memberi rasa, membekukan, menstabilkan, menarik air, melekatkan,
menurunkan toksisitas. Povidone digunakan sebagai tetes mata karena memiliki
sifat stimulasi musin sehingga sering dikombinasikan dengan sediaan musin dan
suplemen akuous. Povidone juga membantu untuk mempertahankan air mata pada
Gambar 2.6 Struktur Polyvinyl Pyrrolidone (Kadajji, et al., 2011)
Sodium hyaluronate telah ditemukan sangat bermanfaat dalam
penyembuhan kornea. Karbomer memberikan peran yang sangat baik sebagai
perekat dan memiliki retensi waktu yang lebih tinggi. Tetes mata yang
mengandung lipid bertujuan membangun kembali lapisan lipid. Pengganti air
mata yang mengandung nutrisi saat ini telah banyak tersedia (Holly, 2004; Laqua,