• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan front pembela islam tentang kedudukan komplikasi hukum islam pasca undang-undang nomor 12 tahum 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pandangan front pembela islam tentang kedudukan komplikasi hukum islam pasca undang-undang nomor 12 tahum 2011"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

oleh:

MUKHAMMAD ALI SETO ANSYURULLOH

108044100072

KONSENT RAS I PERAD ILAN A GAMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah ‏Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh

MUKHAMMAD ALI SETO ANSYURULLOH

NIM: 108044100072

Pembimbing

Dr. Hj. ISNAWATI RAIS, MA.

NIP. 195710271985032001

KONSENT RAS I PERAD ILAN A GAMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(3)

NOMOR 12 TAHUN 2011” telah diujikan dalam Sidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 07 April 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.Sy) pada Program Studi Hukum Keluarga.

Jakarta, 09 April 2015 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Asep Saepudin Jahar, MA NIP. 196912161996031001

PANITIA UJIAN MUNAQOSYAH

1. Ketua : Kamarusdiana,S.Ag,.MH (...) NIP. 197202241998031003

2. Sekretaris : Sri Hidayati, M. Ag. (...) NIP. 197102151997032002

3. Pembimbing : Dr. Hj. Isnawati Rais, MA (...) NIP. 195710271985032001

4. Penguji I : Dr. JM Muslimin, MA (...) NIP. 196808121999032014

(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 09 April 2015

(5)

Islam Pasca Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

Organsasi masyarakat (Ormas) Front Pembela Islam (FPI) sebagai Organisasi yang berbasiskan agama senantiasa memperjuangkan semua produk Perundangan-undangan yang dilahirkan oleh Negara harus sejalan dengan subtansi nilai-nilai Universal Islam dan sekurang-kurangnya Peraturan Perundang-undangan tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Islam yang diyakini mayoritas masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pandangan FPI tentang kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 perlu untuk di bahas, hal ini mengingat KHI merupakan rujukan para Hakim Peradilan Agama di Indonesia dalam memutuskan berbagai persoalan Keluarga Islam.

Selanjutnya upaya dan strategi yang dilakukan FPI dalam memperjuangkan status hukum KHI mengingat Inpres sudah dihapuskan dari hirarki Peraturan Perundang-undangan (sesuai Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

Metode pendekatan yang dilakukan Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum Normatif, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan, bahwa pandangan FPI terhadap status hukum KHI sebagai berikut; (a). substansi KHI itu sendiri sebenarnya sudah kuat dalam mengatur Hukum Keluarga Islam di Indonesia. (b). alangkah lebih baiknya Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI ini menjadi Undang-Undang agar kuat kedudukannya. (c). Perjuangan khusus terkait kedudukan status hukum KHI terlihat tidak menjadi priotas utama dalam agendanya. (d). upaya dan strategi FPI dalam memperjuangkan syariat Islam secara umum bisa dilihat dari jalur litigasi ataupun non-litigasi.

(6)

Alhamdulillah ‘alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan Rahmat, Taufiq, dan Hidayat-Nya. Shalawat serta Salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing kita menuju Akhlaq yang Mulia sampai saat ini.

Tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis jumpai dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar dalam penyelesaian semua ini tidak sendiri, Penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan sumbangsihnya baik lewat pemikirannya, tenaganya, dan Doa yang selalu dipanjatkan untuk saya sebagai penulis. Sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai yang diharapkan.

Maka dari itu, sudah selayaknya pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

3. Kamarusdiana, S.Ag, MH, selaku Ketua Program Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum, Bapak

(7)

Allah SWT selalu menjaga beliau dimanapun beliau berada,

7. Para Dosen dan staf Fakultas Syariah dan Hukum yang ikut dalam kelancaran penyelesaian karya ilmiah ini.

8. Bapak RM. H. TNI (Purn) Soeparmono dan Ibu Tuminah (alm) yang terhormat dan tercinta, yang selalu memberikan masukan dan sindiran bijak agar tetap fokus kuliah dan segera dalam penyelesaian skripsi ini, semoga Bapak dan Ibu tercinta selalu dalam perlindungan Allah SWT dan diberikan keberkahan di dunia dan di akhirat. Amin

9. Noor Rahmawati kakak saya tercinta dan Ahmad Ghazali, MM kakak ipar saya yang tercinta, terimakasih atas kontribusi dan bimbingannya secara fisik maupun mental selama saya kuliah sampai terselesainya skripsi ini. Semoga kakak dan kakak ipar ku selalu dibimbing oleh Allah SWT serta dilimpahkan keberkahan hidup di dunia dan akhiat. Amin

(8)

narasumber saya dalam skripsi ini, terimakasih saya untuk beliau yang berusaha menyempatkan waktunya untuk saya dapat wawancara dengan beliau. Semoga beliau dimudahkan segala urusannya, disehatkan fisiknya, dipanjangkan umurnya dan selalu dalam perlindungan Allah SWT. amin

12. Sahabat – sahabat seperjuangan, M. Daerobi (sang motivator), IBM, Gaston, Akbar, Depe, Kechot (Aroel), Atho, Gontor, Lutvy, Usman, Mawardi, Musyarofah dan sahabat-sahabat Peradilan Agama angkatan 2008 lainnya yang tidak saya sebutkan tetapi tidak mengurangi rasa hormat dan cinta saya kepada kalian, semoga apa yang kita perjuangkan selama ini dapat memberikan sesuatu yang positif kepada Agama, Bangsa dan Negara. Amin

13. Dinda Ayaa tercinta yang selalu memberikan semangat dan dukungannya pada kesempatan waktunya baik doa, tenaga, pikiran, dalam agenda saya yang menyangkut penyelesaian skripsi ini. Good Luck Ayaaa…

(9)

yang menjadi aturan dalam berbangsa dan bernegara.

Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, dan ketidaksempurnaan hanya milik saya. Oleh karenanya, saya pribadi sangat berlapang dada dan gembira ketika ada kritik dan saran untuk saya dalam melangkah kedepan menjadi lebih baik. Sekiranya cukup sekian yang dapat penulis sampaikan. Atas segala dukungannya saya ucapkan terima kasih.

Ciputat, 09 April 2015

(10)

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR KEASLIAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metodelogi Penelitian ... 8

E. Review Terdahulu ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TEORI HUKUM TENTANG KEDUDUKAN KHI DI INDONESIA ... 15

A. Teori Hirarki Perundang-undangan di Indonesia ... 15

B. Teori Positivisme Hukum ... 18

(11)

BAB III KEDUDUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM ... 28

A. Pengertian KHI... 28

B. Latar Belakang Pembuatan KHI ... 30

C. Status Hukum KHI ... 35

D. Perkembangan KHI ... 39

BAB IV PANDANGAN FRONT PEMBELA ISLAM TENTANG KEDUDUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM PASCA UNDANG- UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 ... 46

A. Profil dan Perjuangan FPI ... 46

B. Pandangan Front Pembela Islam Tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Pasca Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011... 55

C. Upaya dan Strategi FPI Dalam Peningkatan Status Kedudukan KHI ... 65

E. Analisis Penulis ... 69

BAB V PENUTUP ... 73

A. Kesimpulan ... 73

(12)
(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Ada beberapa alasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sampai saat ini penting dipergunakan, setidaknya ada dua hal yang menjadi pertimbangan. Pertama, karena KHI diterima oleh Majelis Ulama Indonesia. Kedua, Karena KHI bisa dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan, baik oleh instansi pemerintah maupun masyarakat yang memerlukannya.1 Di samping itu, KHI sendiri menjadi pedoman bagi para hakim dilingkungan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh masyarakat.

KHI sendiri bersifat fakultatif, yaitu ketentuan-ketentuan hukum Islam hanya sebatas instruksi presiden (Inpres) dalam Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dari sifat fakultatif tersebut Instruksi Presiden ini tidak secara prioriti mengikat dan memaksa warga Negara Indonesia, khususnya ummat Islam di Indonesia. Dan KHI bersifat anjuran dan alternatif hukum.2

Alasan mengapa KHI itu sendiri tidak memiliki kekuatan hukum mengikat hakim Pengadilan Agama, karena KHI sebagai Inpres pasca diberlakukannya

1

Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. I hal. 145

2

(14)

Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak mengakomodir Inpres sebagai produk hukum yang mengikat. Secara implisit KHI tidak masuk dalam Hirarki Peraturan Perundang-Undangan.

Konsekuensinya sebagai produk fakultatif maka penerapannya pun akan menjadi sangat kurang maksimal. Meskipun dalam prakteknya para hakim Pengadilan Agama menggunakan ketentuan KHI sebagai salah satu dasar hukum dalam putusannya.3 Untuk itu kedudukan serta keberadaan status hukumnya harus diupayakan menjadi sebuah undang-undang yang mengikat hakim menjadi sebuah acuan hukum terapan bidang hukum keluarga di Indonesia.

Dalam perkembangannya, diskursus penaikan status KHI dari Inpres menjadi Undang-Undang telah menjadi isu terhangat,4 hingga saat ini. Hal ini menjadi salah satu faktor kemunculan Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU HTPA) adalah buah upaya untuk mewujudkan hukum materil bidang perkawinan yang nantinya dapat menggantikan kedudukan serta status hukum KHI.5

3

Lihat hasil riset yang dilakukan oleh Yulkarnain H dan Andy Omara, Kompilasi Hukum Islam dalam Perspektif Hukum Perundang-undangan, dalam Jurnal Mimbar Hukum Vol. 22, No.3 Oktober 2010, hal. 628

4

Baca wacana RUU HTPA telah di bahas pada tahun 2004-hingga sekarang. Lihat http://www.tempo.co/read/news/2004/11/09/05550784/Draft-RUU-Hukum-Perkawinan-Islam-Akan-Diajukan-ke-Sekneg. Diakses pada tanggal 23 Agustus 2013 Pukul 05.34 WIB

5

Abdul Ghofur Anshori, Beberapa Catatan terhadap RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan”, Makalah Seminar Nasional Apresiasi Terhadap Draft UU RI Tentang

(15)

Tujuan pembentukan RUU HTPA adalah untuk menciptakan kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait dengan masalah perkawinan dan keluarga. Selain itu juga dimaksudkan untuk melengkapi dan mengisi berbagai kekosongan hukum (rechtvacuum) yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan yang ada. Kehadiran RUU HTPA Bidang Perkawinan merupakan komplementer terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan-Peraturan pelaksanaannya. Tujuan lain adalah untuk memenuhi kebutuhan praktis badan Peradilan Agama yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa perkawinan. RUU HTPA Bidang Perkawinan nantinya akan menjadi pedoman dan mengikat para hakim sebagai dasar pertimbangan hukum dalam memutus sengketa.6

RUU HTPA yang awalnya dari wacana hingga menjadi draft RUU Prolegnas (program legislasi nasional) periode 2004-2009. Namun pasca berakhir periode tersebut, draft resmi RUU HTPA belum terlihat lagi,7 bisa dibilang tidak terdengar lagi hingga sekarang. Oleh sebab itu perlu upaya non-struktural berupa presure (tekanan) oleh masyarakat/organsisasi kepada pemerintah sangat penting, baik dilakukan oleh kalangan akademisi, praktisi, maupun Ormas Islam—yang konsen terhadap upaya penerapan syariat Islam di Indonesia, tak lain tujuannya adalah

6

Habiburrahman, Sosialisasi Publik RUU Hukum Terapan Peradilan Agama, Makalah Seminar Nasional Apresiasi Terhadap Draft UU RI Tentang HTPA Bidang Perkawinan,(Yogyakarta: Hotel Saphir, Kamis 23 Nopember 2006), hal. 3

7

(16)

sebagai pembentuk opini publik dalam penerapan syariat Islam berupa Undang-Undang.

Sebagai negara hukum, Indonesia telah memberikan ruang gerak kepada publik untuk berkontribusi dalam pembuatan naskah akademik dalam sebuah Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini diatur dalam BAB XI mengenai Partisipasi Masyarakat pada Pasal 96 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,8 artinya bahwa siapapun subjeknya (baik perorangan ataupun badan hukum) bisa memungkinkan menjadi partisipan dalam membuat peraturan perundang-undangan yang berdimensikan syariah.

Perjalanan organsisasi masa seperti Muhammadiyah, NU, Persis, FPI dan organisasi lainnya—telah banyak berkontribusi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang bernafaskan syariat Islam. Di antaranya adalah NU dan Muhammadiyyah yang turut andil dalam membuat sebuah draft KHI kala itu.9 Tidak berbeda jauh dengan NU dan Muhammadiyah, FPI juga banyak melakukan presure group dan mengkampanyekan legislasi produk hukum syariat Islam di Indonesia. Salah satunya undang-undang pornografi, peraturan pelarangan

8

Pasal 96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

9

(17)

miras, melakukan judicial riview (uji materil), undang-undang terorisme dan banyak lagi yang lainnya.

Dalam perjalanannya, organsisasi FPI sering dipandang sebelah mata yang bersifat keras dan garang, namun upaya dalam melancarkan kampanye penegakan syariat Islam di Indonesia secara tidak langsung telah berpengaruh terhadap perkembangan hukum nasional saat ini.

Strategi FPI dalam mengkampanyekan syariat di Indonesia sangatlah unik

seperti prinsip “NKRI Bersyariah”.10 Prinsip tersebut melahirkan nilai perjuangan FPI

untuk melancarkan jika perturan perundang-undangan di Indonesia bertentangan dengan semangat syariat Islam di Indonesia, maka meski dilakukan upaya pergerakan amar makruf dengan nahi munkar. Prinsip amar makrufnya—tergambarkan dengan melakukan uji materi (judicial riview) pada kasus pencabutan Perda berasaskan Islam oleh Kemendagri (Kementrian Dalam Negeri), seperti Perda Kota Tangerang No. 7 Tahun 2005, Perda Kab. Indramayu No. 15 Tahun 2006.11

Berbeda dengan nasib kedudukan KHI, perjuangan FPI dalam mengkampanyekan atau menekan untuk meningkatkan status hukumnya seolah tidak terlihat dalam database perjuangannya. Proyeksi perjuangan FPI yang terlihat berbeda dari organisasi lainya untuk memperjuangkan status kedudukan KHI, hal ini yang

10

Habib Rizieq Syihab, Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah, (Jakarta Selatan: Suara Islam Press, 2012), hal. 23

11

(18)

memicu penulis untuk menelusuri sekaligus menelaah lebih lanjut terkait pandangan FPI dalam memperjuangkan kedudukan KHI.

Adanya permasalahan tersebut, penulis merasa perlu untuk membahas kedudukan KHI pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011, dilihat dari Organisasi FPI di Indonesia. Oleh karena itu penulis ingin melakukan penelitian dengan judul: “Pandangan Front Pembela Islam Tentang Kompilasi Hukum Islam Pasca Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar terhindar dari kesalahpahaman serta ketidakjelasan masalah yang diambil penulis, maka penulis batasi terkait Pandangan FPI Tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Pasca Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Di mana pasca diaturnya urutan perundang-undangan di dalam pasal tersebut, kedudukan KHI tidak mengikat, artinya secara tidak langsung KHI sudah dikerdilkan dalam statusnya.

Sebagai ormas Islam yang bergerak dalam memperjuangankan syariat Islam, pandangan FPI dalam status dan keudukan KHI sangatlah penting.12 Karena dari pandangan tersebut bisa dilihat paradigma perjuangan FPI sebagai presure group dan kampanye syariat Islam di Indonesia. Sesuai AD/ART Pasal 6

12

(19)

tentang Visi dan Misi Front Pembela Islam dalam penerapan Syariat Islam secara Kaffah.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian diatas, permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana profil dan perjuangan Front Pembela Islam dalam menegakkan syariat Islam?

b. Bagaimana pandangan Front Pembela Islam terkait kedudukan Kompilasi Hukum Islam Pasca terbitnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011?

c. Upaya dan strategi apa saja yang akan dilakukan Front Pembela Islam dalam memperjuangkan status hukum KHI?

d. Sejauhmana perjuangan Front Pembela Islam dalam mengupayakan syariat Islam relevansinya terhadap kedudukan Kompilasi Hukum Islam?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam skripsi ini tak lain, yaitu:

a. Mengetahui profil dan perjuangan Front Pembela Islam dalam menegakkan syariat Islam

(20)

c. Mengetahui Upaya dan strategi apa saja yang akan dilakukan Front Pembela Islam dalam memperjuangkan status hukum KHI

d. Mengetahui sejauhmana perjuangan Front Pembela Islam dalam mengupayakan syariat Islam relevansinya terhadap kedudukan Kompilasi Hukum Islam

2. Manfaat Penelitian

a) Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum Islam, terutama pembahasan pandangan FPI terhadap penerapan syariat Islam di Indonesia.

b) Praktis

Penelitian ini bermanfaat bagi akademisi, legal drafter, hakim, mahasiswa, dan khususnya para penggiat kajian keilmuan politik hukum Islam. Sebagai acuan dalam memahami politik hukum Islam dan sebagai sumbangan pikiran dari peneliti bagi kerangka pembangunan hukum Islam yang berkarakter Indonesia yang berkembang sesuai dengan zaman dan tempat (relevan).

D. Metode Penelitian

(21)

a. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji, menganalisa buku-buku, literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini menggunakan: Pendekatan konseptual13 (conseptual approach) Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandang dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu politik hukum. Dengan mempelajari pandangan dan dokrtin politik hukum Islam, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian umum terkait perjuangan FPI, konsep dan strategi politik hukum yang digunakan oleh FPI ketika melihat beberapa hukum Islam belum dipositifisasi (diundangkan), dalam hal ini bagaimana FPI memandang kedudukan KHI.

b. Sumber Data

Sumber Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bahan hukum primer yaitu bahan-bahan mengikat yakni, buku-buku tentang FPI, seperti karya Habib Rizieq Syihab, Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah, (Jakarta Selatan: Suara Islam Press, 2012). Kemudian buku Habib Rizieq

tentang “Hancurkan Liberalisme tegakan Syariat Islam, (Jakarta Selatan: Islam

Press, 2013). Dan terkahir Syahrul Efendi dan Yudi Pramuko, Habib-FPI

13

(22)

Gempur Playboy?, (Tt: Yudi Pramuko Publisher, 2006 M/1427 H). Selain dari Data Primer juga dapat diperoleh dari hasil wawancara kepada para pihak yang terkait dengan FPI. Adapun sumber data sekunder lainnya yaitu bahan-bahan hukum/politik hukum lainnya yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer yang terdiri dari atas buku-buku yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, maupun ahli politik hukum Islam, jurnal-jurnal politik hukum, pendapat para sarjana,14 Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti webset resmi FPI yaitu http://fpi.or.id, encyclopedia, dan lain-lain.15

c. Teknik Pengumpulan Sumber Hukum

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode sebagai berikut:

1. Metode Interview

Wawancara atau interview merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara lansung. Dalam proses interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak berfungsi sebagai pencari informasi atau interviewer sedangkan pihak lain baerfungsi sebagai

14

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13.

15

(23)

pemberi informasi atau informan (responden).16 Proses wawancara ini akan diajukan kepada pihak yang terkait dalam skripsi ini, dalam hal ini Sekertaris Umum FPI yaitu Ust. Ja’far Shidiq, S.E, untuk dimintai pandangan serta pendapatnya dalam memaknai perjuangan syariat Islam yang korelasinya dengan KHI (kompilasi Hukum Islam), serta pandangan status hukum KHI.

2. Metode Dokumentasi

Metode Dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.17

d. Teknik Analisis Data

Adapun analisis terkait judul skripsi merupakan langkah-langkah yang berkaitan dengan pengelolahan terhadap bahan-bahan yang telah dikumpulkan untuk menjawab isu yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

Pada penelitian ini, pengelolahan bahan studi analisis hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan yang telah ada. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi amupun hipotesa.

Analisis terkait skripsi ini dengan mempergunakan antara lain:

16

Soemitro Romy H. Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), h. 71. 17

(24)

a) Mengumpulkan hasil wawancara beserta analisis buku-buku mengenai FPI terhadap Penerapan Syariat Islam di Indonesia.

b) Adapun yang terakhir merupakan hasil analisis penulis terkait Pandangan FPI Tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Pasca Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011.

e. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.

E. Review Terdahulu

Mengenai studi riview terdahulu yang penulis dapati dari beberapa judul yang bersangkutan dengan skripsi penulis adalah:

Eva Nailufar, FPI Sebagai Gerakan Sosial Keagamaan di Indonesia, Jakarta: Fakultas Ushuluddin-UIN Syarif Hidayatullah, 2006. Dalam skripsi ini membahas mengenai FPI sebagai gerakan sosial keagamaan yang mempunyai andil dalam perjuangan syariat Islam di Indoensia, skripsi ini pula dibahas mengenai FPI sebagai

gerakan agama yang mana dalam melancarkan konsep amar ma’ruf nahi munkar

(25)

(rezim orde baru). Secara spesifik, skripsi ini membahas mengenai bentuk-bentuk gerak sosial keagamaan yang diusung oleh FPI untuk menjaga serta menegakan

nilai-nilai amar ma’ruf nahi munkar dalam ruang masyakat berdimensi pluralis. Secara

metodelogis skripsi ini pula menggunakan metode kualitatif yaitu dengan menggunakan penelusuran variable yang ditelusuri yaitu gerak social keagamaan FPI, dan yang kedua menggunakan teknik wawancara (interview) kepada pihak yang dianggap berwenang serta mengetahui persoalan. Adapun tempat penelitian yang ditelusuri yaitu bertempat di Mabes DPP FPI. Kesimpulannya yaitu terdapat perbedaan penelusuran yang penulis teliti dengan judul skripsi ini.

(26)

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.

Bab I membahas Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review Terdahulu dan terakhir Sistematika Penulisan.

Bab II membahas tentang Teori Hukum Tentang Kedudukan KHI di Indonesia terdiri dari sub Teori Hirarki Perundang-undangan di Indonesia, Teori Positivisme Hukum, Teori Penemuan Hukum dan Teori Kedudukan KHI dalam Hirarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

Bab III membahas tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam, di mana sub pembahasannya yaitu Pengertian KHI, Latar Belakang Pembuatan KHI, Status Hukum KHI dan Perkembangan KHI.

Bab IV, pada bab ini penulis Profil dan Perjuangan FPI, Pandangan Front Pembela Islam Tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Pasca Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Upaya dan Strategi FPI Dalam Peningkatan Status Kedudukan KHI dan terakhir Analisis Penulis.

(27)

15

BAB II

TEORI HUKUM TENTANG KEDUDUKAN KHI DI INDONESIA

A. Teori Hierarki Perundang-Undangan

Dalam tataran pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori jenjang hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).1

Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed.2

Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga

1

Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-undang (Jakarta: Tp, 2010), hal. 27

2

(28)

menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila Norma Dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya.3

Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang.

Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar antara lain:

1. Kelompok I : Staatsfundamentalnorm(Norma Fundamental Negara); 2. Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara); 3. Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang / Formal);

3

(29)

4. Kelompok IV :Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana/Aturan otonom).4

Menurut Hans Nawiasky, isi staats fundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu Staats-fundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.5 Selanjutnya Hans Nawiasky mengatakan norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staats grundnorm melainkan staats fundamental norm atau norma fundamental negara.

Untuk lebih jelasnya hirarki hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini menggunakan Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurut Pasal 7 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:6

1. UUD 1945, merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

4

Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-undang (Jakarta: Tp, 2010), hal. 28

5

Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal. 46

6

(30)

2. Ketetapan MPR

3. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

4. Peraturan Pemerintah (PP) 5. Peraturan Presiden (Perpres)

6. Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam, serta Perdasus dan Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.

B. Teori Posivisme Hukum

(31)

dominan, termasuk kategori “legisme”nya Schuyt. Hal ini dikarenakan “legisme”

melihat dunia hukum dari teleskop perundang-undangan belaka untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi.7

Munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan.

Menurut para pakar, positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam masyarakat. Pemikir positivisme hukum yang terkemuka adalah John Austin (1790-1859) yang berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri menurut Austin terletak pada unsur “perintah” (command).8

Menurut Austin hukum adalah peraturan-peraturan yang berisi perintah, yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan dibuat oleh makhluk yang

7

Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Cet. Ke-4, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005), hal. 60

8

(32)

berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka itu. Jadi, landasan dari hukum adalah “kekuasaan dari penguasa”. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), dimana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan nilai-nilai yang baik atau buruk.

Karakteristik hukum yang terpenting menurut Austin terletak pada karakter imperatifnya. Hukum dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa. Akan tetapi tidak semua perintah oleh Austin dianggap sebagai sebagai hukum, menurut pandangannya hanya oleh perintah-perintah umum yang mengharuskan seseorang atau orang-orang untuk bertindak untuk menaati hukum tersebut.

(33)

Jika mengacu pada apa yang dikatakan oleh Austin maka menurut Huijbers ada dua hal yang patut dicatat, yaitu sebagai berikut:

a) Bidang yuridis mendapat tempat yang terbatas, yaitu menjadi unsur negara. Wilayah hukum bertepatan dengan wilayah suatu negara.

b) Hukum mengandung arti kemajemukan sebab terdapat beberapa bidang hukum di samping negara, walaupun bidang-bidang itu tidak mempunyai arti hukum dalam arti yang penuh. Hukum dalam arti yang sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari negara dan yang dikukuhkan oleh negara. Hukum-hukum lain dapat disebut hukum, tetapi tidak memiliki arti yuridis yang sesungguhnya.

Dapat disimpulkan bahwa positivisme hukum hadir memberikan jawaban atas aspek kepastian hukum. Ini tentumenghindari adanya disparitas atas memandang sebuah kejahatan sertastandar nilai yang sama untuk menjawab sebuah persoalan. Hans Kelsen dalampandangan hukumnya berhasil

“mematematiskan” rumusan sebuah aturan hukumdalam bentuk, subjek hukum

ditambah bentuk kesalahan yang menghasilkan adanyahukuman. Meskipun, sampai saat ini, ini merupakan sebuah cara yang jelas sangatberguna yang dapat digunakan oleh para praktisi atau analis hukum untukmengidentifikasi pokok persoalan dari penyelidikannya tetapi ia mengarahkanmenjauh dari gagasan bahwahukum itu terdiri dari proses-proses yang terkaitdengan manusia.9

9

(34)

Dalam paradigma postivistik sistem hukum tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan sekedar melindungi kemerdekaan individu (person). Kemerdekaan individu tersebut senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivistik berpandangan demi kepastian, maka keadilan dan kemanfaatan boleh diabaikan. Pandangan positivistik juga telah mereduksi hukum dalam kenyataannya sebagai pranata pengaturan yang kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik dan deterministik. Hukum tidak lagi dilihat sebagai pranata manusia, melainkan hanya sekedar media profesi. Akan tetapi karena sifatnya yang deterministik, aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi. Artinya masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan hukum demi tertib masyarakat merupakan suatu keharusan dalam positivisme hukum.

C. Teori Penemuan Hukum

(35)

dan jenisnya. Disamping itu kepentingan manusia akan terus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya.

Dengan demikian, pada hakekatnya semua perkara membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang diidam-idamkan, yaitu yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Menurut Sudikno Mertokusumo, berpendapat bahwa penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristwa-peristiwa hukum yang konkret. Dengan kata lain,merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu. Yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukum untuk peristiwa kongkret.10

Sistem Penemuan Hukum, pada dasarnya penemuan hukum tetap harus mendasarkan pada sistem hukum yang ada. Penemun hukum yang semata-mata mendasarkan pada undang-undang saja yang disebut sistem oriented. Penemuan hukum pada dasarnya harus sistem oriented, tetapi apabila sistem tidak

10

(36)

memberikan solusi maka sistem harus ditinggalkan dan menuju problem oriented. Latar belakang timbulnya problem oriented yaitu adanya kecenderungan masyarakat pada umumnya yang membuat undang-undang lebih umum, sehingga dengan sifat umum itu hakim mendapat kebebasan lebih.

Adapun Sumber-sumber penemuan hukum itu sendiri dalam secara hierarkhi dimulai dari:11

a. Peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) b. Hukum tidak tertulis (kebiasaan)

c. Yurisprudensi

d. Perjanjian internasional

e. Doctrine (pendapat para ahli hukum) f. Putusan desa

g. Perilaku manusia

Jadi ada hierarkhi atau tingkatan-tingkatan dari atas kebawah dalam memposisikan sumber hukum. Hierarkhi ini juga menentukan sumber hukum utama yang digunakan antara sumber hukum satu dengan yang lainnya.

11

(37)

D. Teori Kedudukan KHI dalam Hirarki Peraturan Perundang-undangan di

Indonesia

Untuk mengetahui kedudukan KHI dalam peraturan perundangan maka harus diketahui status Instruksi Presiden dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, karena instrumen hukum yang digunakan KHI adalah Instruksi Presiden No 1/1991. Di sini penulis akan mengkaji dan menganalisis terlebih dahulu Instruksi Presiden No 1/1991 dari sudut pandang norma hukum untuk mengetahui apakah Instruksi Presiden No 1/1991 ini termasuk norma hukum dalam peraturan perundang-undangan atau tidak.

Kaitannya dengan Instruksi presiden dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam (KHI), bahwa instruksi presiden tidak masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia seperti yang telah dijelaskan di atas pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Namun dalam pasal 8 ayat (2) dikatakan:

Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.12

Permasalahnya adalah dalam pasal 15 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dikatakan bahwa: Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya

12

(38)

dapat dimuat dalam: a) Undang-Undang; b. Peraturan Daerah

Provinsi; atauc. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.13

Sedangkan dalam KHI sendiri (inpres) muatan isinya terdapat berupa aturan yang memaksa dan berisikan tentang pidana terkait perkawinan, kewarisan dan perwakafan.14 Artinya KHI telah melanggar substansi UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Perundang-undangan.

Menurut beberapa ahli, antara Inpres (instruksi presiden) dan Kepres (keputusan Presiden) memiliki perbedaan. Jika keputusan presiden (Keppres) yang sifatnya mengatur harus dimaknai sebagai peraturan. Ini berarti bahwa keputusan presiden yang sifatnya mengatur dipersamakan dengan peraturan presiden (Perpres), yang mana peraturan presiden itu sendiri masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan.15

Jimly Asshiddiqie di dalam bukunya yang berjudul Perihal Undang-Undang, mengatakan bahwa jika subjek hukum yang terkena akibat keputusan itu bersifat konkret dan individual, maka dikatakan bahwa norma atau kaedah hukum yang terkandung di dalam keputusan itu merupakan norma hukum yang bersifat individual-konkret. Tetapi, apabila subjek hukum yang terkait itu bersifat

13

Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

14

Lihat Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

15

(39)

umum dan abstrak atau belum tertentu secara konkret, maka norma hukum yang terkandung di dalam keputusan itu disebut sebagai norma hukum yang bersifat abstrak dan umum. Keputusan-keputusan yang bersifat umum dan abstrak itu biasanya bersifat mengatur (regeling), sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking) ataupun keputusan yang berupa vonis hakim yang lazimnya disebut dengan istilah putusan.16

Berdasarkan uraian di atas, dapat kita lihat bahwa instruksi presiden hanya terbatas untuk memberikan arahan, menuntun, membimbing dalam hal suatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan. Sedangkan keputusan presiden, ada yang bersifat mengatur (regeling) yang dipersamakan dengan peraturan presiden) dan ada yang bersifatnya menetapkan (beschikking).

16

(40)

28

BAB III

KEDUDUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Pengertian KHI

Sebelum membahas lebih jauh mengenai Kompilasi Hukum Islam (KHI), penulis akan menjelaskan terlebih dahulu tentang pengertian KHI, yang merupakan terdiri dari tiga susunan kata benda yaitu Kompilasi, Hukum dan Islam. Melihat tiga suku kata tersebut diperlukan penjelasan lebih lanjut.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Depdikbud RI, Kompilasi berarti kumpulan yang tersusun secara teratur.1 Menurut para ahli seperti Abdurrahman, yang dimaksud dengan kompilasi menurut bahasa adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai suatu persoalan tertentu. Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu, sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan dengan mudah.2

Sedangkan kata Hukum menurut Muhammad Daud Ali terambil dari bahasa arab, yang artinya kaidah atau norma atau pedoman penilaian terhadap

1

Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesi, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 453

2

(41)

suatu perbuatan manusia dan benda.3 Adapun kata Islam sering digandengkan dengan kata Hukum, jadi bisa dipastikan bahwa kata Islam dari ketiga suku kata di atas merupakan sebuah kata sifat dari hukum. Bila digandengkan antara hukum dan Islam sering dimaknai dengan pengertin fiqh, bisa disimpulkan bahwa Hukum Islam adalah satu perangkat berupa peraturan, tuntutan, pilihan ataupun penetapan dari Allah SWT (sebagai mutsbit/penetap) dan Rasul-Nya (sebagai mukhaarij/pemuncul) yang diambil dari nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan ghairu nash (hasil ijtihad) demi kemaslahan umat manusia.4

Adapun KHI yang telah ditetapkan dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tidak menyebutkan secara tegas pengertian Kompilasi Hukum Islam yang dimaksud, Akan tetapi KHI diartikan sebagai himpunan atau kumpulan tentang hukum Islam yang diambil dari berbagai buku-buku hukum Islam (fiqh) yang dibuat oleh ulama dan para pakar hukum Islam yang berbeda yang tersusun secara teratur dan sistematis.5

Sedangkan menurut H. Busthanul Arifin seperti yang dikutip Marzuki Wahid dan Rumadi memberikan pengertian KHI adalah dengan cara mengumpulkan pendapat-pendapat dalam masalah fiqh yang selama ini dianut

3

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 39

4

Lihat Skripsi Muhamad Daerobi, Kesaksian Perempuan Menurut Perspektif Hukum Islam, (Fakultas Syariah UIN Jakarta: Jakarta, 2013), hal. 22

5

(42)

oleh umat Islam Indonesia. Hasil akhir dari upaya pengumpulan ini diwujudkan dengan bentuk kitab hukum dengan bahsa undang-undang. Kitab inilah yang nanti menjadi dasar bagi seiap putusan peradilan agama.6

B. Latar Belakang Pembuatan KHI

Dalam catatan sejarah, upaya untuk kodifikasi, kompilasi maupun unifikasi hukum Islam menjadi hukum positif Negara sebenarnya telah ada dan menjadi pemikiran para ahli fikih sejak perkembangan awal hukum Islam.7 Tercatat beberapa Negara yang notabene-nya beragama Islam menggunakan asas maupun dasar perundang-undangannya berupa positipisasi pendapat fiqh yang terambil dari beragam mazhab. Begitu pula dengan Indonesia, KHI Lahir merupakan bentuk ijtihad ulama Indonesia yang sebelumnya—acuan dalam memutuskan sebuah perkara di beberapa pengadilan terjadi ketidakseragaman putusan para hakim kala itu. Oleh karena itu, pembuatan KHI adalah adanya ketidakseragaman pendapat ulama ataupun hakim. Maka diperlukan penyatuan pendapat dalam bentuk sebuah compendium atau berbentuk kompilasi.

Seperti yang dijelaskan di atas, keinginan masyarakat muslim untuk membentuk hukum Islam secara tertulis sudah ada sejak lama, yakni sejak terbentuknya peradilan agama yang mempunyai kewenangan untuk

6

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Hukum Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, Cet I, 2001), 142.

7

(43)

menyelesaikan masalah-masalah hukum keluarga. Pada waktu itu kitab-kitab hukum yang digunakan rujukan oleh para hakim untuk pengambilan putusan sangat banyak dan beragam yang mengakibatkan putusannya pun menjadi beragam pula. Sehingga tidak tercapai suatu kepastian hukum.8

Pada zaman VOC kedudukan hukum Islam dalam bidang kekeluargaan diakui bahkan dikumpulkan dalam sebuah kumpulan peraturan yang dinamakan Compendium Freyer. Dan ketika itu telah pula dibuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar.9

Dalam perjalanan sejarahnya sekalipun pada tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kewarisan dari kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan Madura, hukum Islam secara de facto tetap menjadi pilihan umat Islam di Jawa dan Madura dalam menyelesaikan masalah kewarisannya melalui Pengadilan Agama.

Setelah Indonesia merdeka, kenyataan yang ada adalah hukum Islam yang berlaku itu berserakan diberbagai kitab fikih dengan pendapat yang beragam. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 dan UU. Nomor 32 Tahun 1954 dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak akan adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam pencatatan nikah, talak, dan rujuk umat Islam.

Menindaklanjuti keadaan tersebut, pada tahun 1958 dikeluarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 tentang

8

Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. I hal. 116

9

(44)

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah diluar Jawa dan Madura. Dalam Surat Edaran tersebut, pada huruf b ditegaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka kepada hakim Pengadilan Agama dianjurkan menggunakan 13 kitab hukum Islam, yakni Al Bajuri, Fathul Mu’in, Syarqawi Alal Tahrier, Qalyubi/Mahalli, Fathul Wahab

dengan Syarahnya, Tuhfah, Targhibul Musytaq, Qawaninus Syariah Lis Sayid Usman bin Yahya, Qawanin Syar’iyah Lis Sayid Sadaqah Dakhlan, Syamsuri Fil Faraidl, Bughyatul Musytarsyidin, Al Fiqhul Ala Madzahibil Arba’ah, Mughnil Muhtaj.10

Adapun proses penyusunan KHI ini di laksanakan oleh sebuah Tim Pelaksana Proyek yang ditunjuk berdasarkan SKB ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam Melalui Yuriprudensi dan di dukung oleh Keputusan Presiden No. 191/1985 Tanggal 10 Desember 1985. Di dalam SKB tersebut ditentukan Tim Pelaksana Proyek, jangka waktu, tata kerja, dan biaya yang digunakan.11

Dalam tata kerja Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi dijelaskan bahwa tugas pokok proyek adalah melaksanakan usaha

10

Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, , 2006), Cet. I hal. 117

11

(45)

Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi dengan jalan Kompilasi Hukum Islam. Sasarannya mengkaji kitab-kitab yang digunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia untuk menuju hukum nasional. Untuk menyenggarakan tugas pokok tersebut, maka Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi dilakukan dengan cara:

a. Pelaksana Bidang Kitab/Yurisprudensi:

 Pengumpulan dan sistematisasi dari dalil-dalil dan kitab-kitab kuning

 Ktab-kitab kuning dikumpulkan langsung dari imam-imam mazhab

dan syarah-syarahnya yang mempunyai otoritas, terutama di Indonesia.

 Menyusun kaidah-kaidah hukum dari imam mazhab

tersebutdisesuaikan degan bidang-bidang hukum menurut ilmu hukum umum.12

b. Pelaksana Bidang Wawancara:

Melakukan wawancara terhadap beberapa antara lain:

 Took-tokoh ulama yang dipilih

 Ulama yang dipilih adalah yang benar-benar diperkirakan

berpengalaman cukup dan berwibawa. Juga diperhitungkan kelengkapan geografis dari jangkauan wibawanya; dan

12

(46)

 Wawancara dilaksanakan berdasarkan pokok-pokok penelitian yang

disiapkan TIM INTI.13

c. Pelaksana Bidang Pengumpulan dan Pengolahan Data

 Mengelola dan menganalisis lebih lanjut hahsil dari pengolahan

kitab-kitab dan wawancara;

 Menyusun dalam buku pedoman yang dapat dpakai bagi para hakim

dalam melaksanakan tugas;

 Untuk memantapkan pedoman tersebut terlebih dahulu dikaji dengan

melalui lokakarya.14 d. Studi perbandingan

Untuk memperoleh sistem/kaidah-kaidah hukum/seminar-seminar satu sama lain dengan jalan memperbandingkan dari negara-negara islam lainnya.

Sejalan dengan apa yang di kemukakan diatas, maka pelaksanaan penyusunan kompilasi ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:

1) Tahap I: tahap persiapan

2) Tahap II: tahap pengumpulan data, melalui:

 jalur ulama

13

Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, , 2006), Cet. I hal. 116

14

(47)

 jalur kitab-kitab fiqh

 jalur yurisprudensi peradilan Agama

 jalur studi perbandingan di negara-negara lain khususnya di

negara-negara Timur Tengah.

3) Tahap III: tahap penyusunan rancangan Kompilasi Hukum Islam dari data-data tersebut.

4) Tahap IV: tahap penyempurnaan dengan mengumpulkan masukan-masukan akhir dari para ulama/cendikiawan muslim seluruh indonesia yang di tunjuk melalui loka karya.15

C. Status Hukum KHI

Secara sosiologis, kompilasi yang bersubtansi hukum Islam itu jelas merupakan produk keputusan politik. Instrument hukum politik yang digunakan adalah Inpres no.1 tahun 1991. Selain formulasi hukum Islam dalam tata hukum Indonesia, KHI bisa disebut sebagai representasi dari sebagian substansi hukum material Islam yang dilegislasikan oleh penguasa politik pada zaman orde baru.16

Dengan demikian KHI mempunyai kedudukan yang penting dalam tata hukum Indonesia, karena selain bersifat nisbi, KHI dengan segala bentuknya, kecuali ruh hukum Islamnya, merupakan cerminan kehendak sosial para

15

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo Cet V, 2007), hal. 36-37

16

(48)

pembuatnya. Kehadiranya dengan demikian sejalan dengan motif-motif sosial, budaya dan politik tertentu dari pemberi legitimasi, dalam hal ini rezim politik orde baru.

Perkembangan konfigurasi politik senantiasa mempengaruhi perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik tertentu senantiasa melahirkan produk hukum yang memiliki karakter tertentu. Konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsive/populistik, sedangkan konfigurasi politik otoriter senantiasa akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks.17

Pengaruh politik hukum terhadap KHI akan menjadi karakter-karakter politik hukum Islam di Indonesia. Pengaruh tersebut akan membawa konsekuensi untuk memperbincangkan kembali diskursus hukum agama dan hukum Negara di dalam wadah Negara Pancasila. Keberadaan hukum islam harus diselaraskan dengan visi pembangunan hukum yang dicanangkan Negara. Disini lalu terjadi proses filterisasi terhadap materi hukum Islam oleh Negara.

Dengan demikian, secara ideologis KHI berada pada titik tengah antara paradigma agama dan paradigma Negara. Dalam paradigm agama, hukum Islam wajib dilaksanakan oleh Umat Islam secara kaffah, tidak mengenal ruang dan waktu. Penerapannya dalam kehidupan social menjadi misi agama yang suci. Dengan kata lain bahwa hukum Islam berada dalam penguasaan hukum Negara

17

(49)

dengan mempertimbangkan pluralitas agama, etnis, ras dan golongan. Hasil interaksi dari dua paradigma yang berbeda itu merupakan wujud nyata politik Negara terhadap hukum islam di Indonesia. Karena itu KHI merupakan satu-satunya hukum materiil Islam yang memperoleh legitimasi politik dan yuridis dari Negara.18

Terpilihnya Instrumen hukum Intruksi Presiden sebagai justifikasi yuridis formal diberlakukannyai Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menunjukan sesuatu yang dilematis; pada satu segi, pengalaman implementasi program legislative nasional memperlihatkan kemampuan Intruksi Presiden berlaku efektif disamping instrument hukum lainnya; dan pada segi lain Intruksi Presiden tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam diktum Inpres Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tersebut, tidak dijelaskan secara tegas mengenai kedudukan Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi Intruksi Presiden tersebut hanya berisi intruksi untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam.

Untuk mengetahui kedudukan KHI dalam peraturan perundangan maka harus diketahui dulu kedudukan Instruksi Presiden dalam peraturan perundang-undangan, karena instrumen hukum yang digunakan KHI adalah Instruksi Presiden No 1/1991. Di sini penulis akan mengkaji dan menganalisis terlebih dahulu Instruksi Presiden No 1/1991 dari sudut pandang norma hukum untuk

18

(50)

mengetahui apakah Instruksi Presiden No 1/1991 ini termasuk norma hukum dalam peraturan perundang-undangan atau tidak. Dari kesimpulan yang didapat dari hasil penelusuran bahwa status hukum atau kedudukan KHI sebagai Inpres No. 1 Tahun 1991—dalam hirarki peraturan perundang-undangan Indonesia terdapat 4 bentuk, yaitu:

a) Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 KHI mempunyai kedudukan yang sama atau setingkat dengan Peraturan Menteri.

b) Berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 mulai kehilangan arah pijakan status hukum KHI yang berujung tidak diakuinya kedudukan Instruksi Presiden dalam hirarki peraturan perundang-undangan.

c) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 KHI tidak mempunyai kedudukan dalam hirarki peraturan perundang-undangan.19

d) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 KHI tidak mempunyai kedudukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan pula.

Jadi KHI sebagai instruksi presiden hanya terbatas untuk memberikan arahan, menuntun, membimbing dalam hal suatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan. Sedangkan keputusan presiden, ada yang bersifat mengatur (regeling)

19

Lihat hasil penelitian Nurzamin, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia, (Malang: UIN Malang., 2009), hal. 60

(51)

(yang dipersamakan dengan peraturan presiden) dan ada yang bersifatnya menetapkan (beschikking).20

D. Perkembangan KHI

Pada awal terbitnya KHI yang rencananya akan dijadikan Undang-Undang, akan tetapi rencana itu belum terwujud karena situasi politik waktu itu belum memungkinkan. Baru, setelah tiga tahun kemudian, keluarlah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang isinya memerintahkan Menteri Agama untuk menyosialisasikan KHI agar sedapat mungkin digunakan oleh masyarakat yang memerlukan

Seperti yang telah diketahui bahwa Kompilasi Hukum Islam dijadikan rujukan oleh para hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara. Akan tetapi dalam pelaksanaannya para hakim tersebut ada yang memakai KHI, ada juga yang tidak. Ini dikarenakan hakim tidak terikat pada KHI itu. Inilah menurut Direktur Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama Wahyu Widiana yang melatar belakangi mengapa diperlukan hukum terapan peradilan agama.21

Meski landasan hukumnya tidak kuat untuk dijadikan pedoman (karena bersifat fakultatif, tidak imperatif), tetapi dalam kenyataan di lapangan KHI

20

Perbedaan Kepres dan Inpres, lebih lengkap baca: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50cf39774d2ec/perbedaan-keputusan-presiden-dengan-instruksi-presiden. diakses pada tanggal 31 Maret 2015 pukul 21:00

21 Kompas, “RUU Terapan Peradilan Agama Digodok”,

(52)

tampak sangat efektif digunakan oleh para hakim agama, pejabat KUA, dan sebagian umat Islam. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama pada tahun 2001, hampir 100% secara implisit dan 71% secara eksplisit hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama menjadikan KHI sebagai sumber dan landasan hukum dalam keputusan-keputusannya.22

Efektifitas ini bisa dipahami karena KHI disusun dengan bahasa Indonesia yang jelas dan pasti untuk sebuah keputusan hukum. Karena efektivitas ini dan atas tuntutan UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas 2000-2004, Departemen Agama melalui Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama sejak tahun 2002 berupaya menjadikan KHI menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan dan Perwakafan. RUU ini merupakan upaya pemerintah untuk menaikkan status KHI dari Inpres menjadi UU.

Pada tahun 2004, pemerintah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan dan Perwakafan100 tersebut yang didalamnya diatur segala aspek dari perkawinan, mulai dari peminangan, perkawinan, poligami, perceraian, sampai pengingkaran

22

(53)

terhadap anak.23 Draf rancangan undang-undang (RUU) ini, menurut Direktur Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama Wahyu Widiana, disusun oleh Badan Pembinaan dan Pengkajian Hukum Islam (BPPHI) Departemen Agama. Sebuah tim yang diketuai Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Islam dan Urusan Haji (BIUH) Taufik Kamil dengan dua wakil, yakni Mochtar Zarkasyi

dan Rifyal Ka’bah, bekerja dengan bantuan dewan pakar. Dewan pakar itu terdiri

atas mantan hakim agung Bustanul Arifin, ahli tata negara Ismail Sunny, Dirjen Perundang-undangan Departemen Kehakiman Abdul Gani, dosen dan mantan Direktur Peradilan Agama Ichtianto, dan mantan hakim agung Taufik.24

Pada akhir tahun 2004, tepatnya setelah lebaran menurut Wahyu Widiana, Departemen Agama akan mengajukan draft RUU Hukum Terapan Tentang Perkawinan Islam ke Sekratriat Negara. Akan tetapi perkembangan selanjutnya tidak ada kejelasan apakah Rancangan Undang-Undang tersebut sudah dibahas atau belum oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang jelas faktanya sampai saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak pernah mengeluarkan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama tentang Perkawinan Islam .

Karena perkembangan di masyarakat serta adanya keinginan menjadikan KHI sebagai hukum positif dengan mengundangkannya segera, maka Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama yang dipimpin Dr

23Kompas, “RUU Terapan Peradilan Agama Digodok”,

http://www2.kompas.com/kompascetak/0310/01/utama/596638.htm, (diakses pada 21 April 2009)

24Kompas, “RUU Terapan Peradilan Agama Digodok”,

(54)

Siti Musdah Mulia, MA, sebagai staf ahli Menteri Agama bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional sejak masa Said Agil Husein al-Munawwar, diserahi tugas oleh Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI untuk melakukan pengkajian, penelitian, dan perumusan ulang terhadap materi hukum KHI dan menyusun draft pembaruan (revisi) atau counter legal draft terhadap Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991.

PUG sendiri dibentuk berdasarkan Inpres No. 9 tahun 2001, yang di dalamnya tertuang pernyataan bahwa seluruh program kegiatan pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan kebijakan yang berperspektif gender Dalam Pengkajiannya, Tim Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama menggunakan empat perspektif utama, yaitu gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi. Perspektif ini niscaya dilakukan untuk mengantarkan hukum Islam menjadi hukum publik yang dapat diterima oleh semua kalangan, kompatibel dengan kehidupan demokrasi modern, dan dapat hidup dalam masyarakat yang plural, sebagai bagian dari cita-cita kita untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan demokratis.25

Setelah melakukan pengkajian dan penelitian terhadap KHI selama dua tahun, akhirnya Tim Pokja PUG menghasilkan sebuah Draft revisi KHI atau

25

(55)

Counter Legal Draft KHI yang terdiri dari tiga bagian yaitu Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, dan Buku III tentang Perwakafan. Dan masing-masingnya memuat RUU tentang Hukum Perkawinan Islam, RUU tentang Kewarisan Islam, dan RUU tentang Hukum Perwakafan Islam1. Counter Legal Draft terhadap KHI ini mengundang kontroversi yang hebat di masyarakat.

Menurut Dr. Rifyal Ka’bah, MA hal-hal mendasar yang menimbulkan

kontroversi adalah bahwa pembaruan KHI yang diajukan oleh yang diajukan oleh Tim Pokja PUG bukanlah dalam konteks tajdid (pemurnian) atau ishlah (perbaikan terhadap yang rusak/fasad), namun masuk dalam pengertian bid’ah (penyimpangan) dan taghyir (perubahan) dari hukum Islam yang asli.26

Seperti yang telah dijelaskan diatas Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) ini rupanya mengundang kontroversi yang hebat di masyarakat, sehingga Menteri Agama saat itu, Prof. DR. H. Said Agiel al-Munawar, menyampaikan teguran keras kepada tim penulis Pembaruan Hukum Islam, melalui suratnya tanggal 12 Oktober 2004, No.: MA/271/2004, untuk tidak mengulangi lagi mengadakan seminar atau kegiatan serupa dengan melibatkan serta mengatasnamakan team Departemen Agama, dan semua draf

26

(56)

atau naskah asli Counter Legal Draft atas Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) agar diserahkan kepada Menteri Agama RI.27

Pasca setelah itu, perkembangan terkait rancangan Undang-Undang Kompilasi Hukum Islam menjadi hukum terapan Peradilan Agama atau yang biasa disebut dengan HTPA. Draft tersebut menjadi prioritas di Prolegnas (program legislasi nasional) periode 2004-2009. Namun berakhir periode tersebut, draft resmi RUU HTPA belum terlihat lagi,28 bisa dibilang tidak terdengar lagi hingga sekarang. Oleh sebab itu perlu upaya non-struktural berupa presure (penekanan) kepada pemerintah yang dilakukan oleh kalangan akademisi, praktisi, maupun Ormas Islam—yang konsen terhadap upaya penerapan syariat Islam di Indonesia, sangat urgen untuk saat ini.

Ringkasnya, perjalanan KHI menjadi RUU HTPA menjadi tidak jelas arah serta pembahasannya. Hingga ini Peradilan Agama masih tetap menggunakan hukum materil KHI berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991, bukan Kompilasi Hukum Islam yang menjadi Undang-Undang dan bukan pula Kompilasi Hukum Islam yang ditawarkan oleh Tim Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama, yakni Counter Legal Draft KHI (CLD KHI). Namun Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI yang dipergunakan saat ini masih berkiblat pada UU No. 12 Tahun 2011

27

Skripsi Nuryamin, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam Dalam Peraturan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia, (Malang: UIN Malang, 2009), hal. 70

28

(57)
(58)

46

A. Profi dan Perjuangan FPI

Disadari atau tidak, kelahiran FPI tidak terlepas pada kondisi rezim Orde baru yang sedang goyah. Ketika situasi sosial, politik, ekonomi dan agama pada akhir rezim orde baru mulai carut marut, Indonesia mengalami masa transisi menuju reformasi yang begitu tak terkira. Gambaran tersebut bisa dilihat dengan beragam kondisi yang serba carut-marut pada tahun 1998, seperti a) krisis ekonomi sebaga lanjutan dari krisis ekonomi di tahun 1997 yang mengakibatkan ambruknya perekonomian negara, b) krisis politik yang mengakibatkan runtuhnya struktur rezim orde baru, c) stabilitas politik menurut akibat tekanan dari berbagai macam elemen, d) eskalasi konflik social dan agama di daerah meningkat tajam, e) ledakan partisipasi masyarakat karena tercabutnya penyumbat aspires, f) kebebasan pers dan ekspresi meningkat, g) perubahan sosial politik yang sangat cepat.1 Dalam kondisi seperti inilah lahirlah Front Pembela Islam atau yang disingkat dengan FPI.

Selain kondisi di atas, ada beberapa alasan lain yang menjadi titik awal mula berdirinya FPI, secara garis besar penulis ringkas yaitu:

1

(59)

a) Respon terhadap realitas sosial, moral dan akhlak yang rusak.

Hal ini yang menjadi cikal bakal berdirinya FPI dalam memperjuangkan konsep nahi munkar. Sebelum FPI lahir, ketika itu aksi-aksi maksiat merajalela, perjudian serta dekadensi krisis moral di mana-mana, hal tersebut menjadi kekhawatiran ulama serta para habaib atas realitas sosial, moral dan akhlak yang rusak ditengah-tengah umat Islam di Indonesia. Indikasi kerusakan akhlak itu terbaca dengan meningkatnya volume dan intensitas kemaksiyatan yang terjadi di masyarakat, seperti prostitusi (perzinaan), perampokan, narkotika, dan tindak-tindak kriminal yang melanggar syariah.2 Bagi FPI alasan ini disebut alasan dharuriyyah.

b) Lemahnya Penegak Hukum di Indonesia

Ketika krisis sosial politik menjadi hal yang tak terelakan, sistem hukum serta penegak hukum yang lambat pun menjadi motivasi berdirinya FPI. Seperti pihak aparat penegak hukum (POLRI), tidak dapat diharapkan secara memuaskan menyelesaikan problem-problem sosial, sehingga inisiatif para Ulama dan Habaib yang bersatu dalam Front Pembela Islam (FPI) menjadi sesuatu yang dibutuhkan. Ditambah lagi dengan tingkat kepercayaan

2

(60)

masyarakat terhadap POLRI yang sudah lama terasa menurun, membuat reputasi FPI memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat.3

c) Upaya counter attack atas pemojokan politik sosial umat Islam.

d) Sebagai pressure group (Kelompok Penekan) dalam pengupayaan formalisasi Syariat Islam kepada stake holders (pihak terkait).

e) Alasan normatif. Alasan ini tidak lain dimaknai sebagai landasan dasar motivasi perjuangan FPI yaitu berawal dari pemaknaan beberapa norma dalam ak-Qur;an dan as-Sunnah yang kurang lebih perlunya penega

Gambar

Tabel 1 : Struktur Organisasi FPI

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan penelitian ini, untuk melihat dampak kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi, dan estimasi kematian akibat gempabumi dengan pendekatan empiris di

Kota Makassar mempunyai tiga akses utama yang diklasifikasikan sebagai jaringan jalan primer, yaitu: (1) Jalan Perintis Kemerdekaan (arteri primer), yang menghubungkan akses

Setelah dilakukan pengujian terhadap fungsionalitas sistem, akan dilakukan evaluasi terhadap sistem yang telah dibangun apakah telah sesuai dengan kebutuhan awal

Fraksi etil asetat memiliki kandungan total fenolik dan aktivitas penangkal radikal bebas lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi butanol, etanol 70% dan n-heksan selain itu

Oleh karena itu penulis tertarik untuk merancang sistem informasi dengan judul “ Pengembangan Sistem Informasi Rekam Medis Pada Puskesmas Gisting Berbasis Web ”

Kusumastuti et.al (2007) berpendapat bahwa dewan direksi yang memiliki latar belakang pendidikan dibidang bisnis dan ekonomi dapat mengelola perusahaan dan

Perlakuan pemupukan dengan 400 kg/ha pupuk majemuk Phonska + 152 kg/ha urea mengakibatkan tanaman padi sawah kultivar IR 64 di Jatinangor Sumedang mempunyai rata-rata jumlah

Penerapan community based tourism dalam pengelolaan Desa Wisata Gubugklakah dapat dilihat melalui beberapa hal seperti memastikan keikutsertaan anggota dalam setiap