• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan FPI Tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Pasca Terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011

KEDUDUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

B. Pandangan FPI Tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Pasca Terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011

Bahwa substansi dari Kompilasi Hukum Islam itu sendiri yaitu mengatur masalah Perkawinan, Waris dan Wakaf. Sebagai acuan para hakim Pengadilan Agama di Indonesia. Namun kekuatan hukumnya, KHI hanya sebatas Inpres tidak begitu kuat seperti Undang-Undang ataupun Perpu lainya. Karena kedudukan KHI sebagai Inpres, telah bergeser kekuatannya.

Perkembangan peningkatan status KHI pun telah berjalan begitu lama, dari tahun ke tahun. Peningkatan KHI menjadi CLD (couter legal draft) kemudian menjadi RUU HTPA (Hukum Terapan Peradilan Agama), merupakan bukti nyata bahwa substasnsi KHI sangat diperlukan bagi perkembangan hukum meteril Peradilan Agama di Indonesia. Pertentangan demi pertentangan pun datang dari berbagai pihak. Hingga pada akhirnya peningkatan status hukum KHI pun menjadi terlupakan.

Terakhir draft RUU HTPA menjadi Prolegnas (Program Legislasi Nasional) Periode 2004-2009. Namun berakhir periode tersebut, draft resmi RUU HTPA belum terlihat lagi,15 bisa dibilang tidak terdengar lagi hingga

15

Lihat lebih lengkap http://badilag.mahkamahagung.go.id/pengaduan/315-berita-kegiatan/4283-ketua-ma-sambut-positif-ruu-hukum-materiil-pa-bidang-perkawinan.html.

sekarang. Oleh sebab itu perlu upaya non-struktural berupa presure (penekanan) kepada pemerintah yang dilakukan oleh kalangan akademisi, praktisi, maupun Ormas Islam—yang konsen terhadap upaya penerapan Syariat Islam di Indonesia, sangat urgen untuk saat ini.

Ringkasnya, perjalanan KHI menjadi RUU HTPA menjadi tidak jelas arah serta pembahasannya. Hingga ini Peradilan Agama masih tetap menggunakan hukum materil KHI berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991, bukan Kompilasi Hukum Islam yang menjadi Undang-Undang dan bukan pula Kompilasi Hukum Islam yang ditawarkan oleh Tim Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama, yakni Counter Legal Draft KHI (CLD KHI). Namun Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991 Tentang KHI yang dipergunakan saat ini masih berkiblat pada UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Hirarki Peraturan Perundang-undangan yang secara otomatis hal itu tidak mempunyai kedudukan kuat dalam Peradilan Agama. Alhasil peningkatan status KHI sangatlah penting hingga kini, karena tidak saja sebagai basis hukum perdata Islam di Indonesia, namun lebih dari itu.

Kedudukan Status hukum KHI merupakan sesuatu yang problematis sebetulnya bagi penegakkan hukum materil peradilan agama Indonesia. Karena tingkat yuridis kedudukannya tidak sampai pada tingkat undang-undang.16 Disamping KHI sendiri hanya sebatas instruksi presiden terbatas hanya untuk

16

Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. I, hal. 137

memberikan arahan, tuntunan, bimbingan dalam hal suatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan sebuah peraturan di atasnya.17

Memang sebelum lahirnya Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Hirarki Peraturan Perundang-undangan, kedudukan KHI mempunyai legitimasi kuat untuk menjadi sebuah rujukan wajib bagi hakim, karena kala itu KHI sendiri berkiblat pada Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, di mana Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia menyebutkan Inpres disamakan dengan kepres (keputusan presiden) yang memiliki kedudukan teratas dalam hirarki perundang-undangan.18

Namun pasca Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Hirarki Peraturan Perundang-undangan pada pasal 7 menyebutkan bahwa Kepres/Inpres berkedudukan di bawah undang-undang.19 Secara yuridis kedudukan KHI sebagai sumber hukum yang dirasa penting pun menjadi seolah dikerdilkan oleh peraturan hirarki peraturan perundang-undangan. No. 12 Tahun 2011 tentang Hirarki Peraturan Perundang-undangan.

17

Perbedaan Kepres dan Inpres, lebih lengkap baca: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50cf39774d2ec/perbedaan-keputusan-presiden-dengan-instruksi-presiden. Diakses pada tanggal 31 Maret 2015 pukul 21:00

18

Lihat hasil penelitian Nurzamin, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia, (Malang: UIN Malang., 2009), hal. 60. Dan bandingkan tulisan Hierarki Peraturan Perundang-undangan, lebih lengkap: http://fatwarohman.blogspot.com/2014/10/hierarki-peraturan-perundang-undangan.html. Diakses pada tanggal 31 Maret 2015 pukul 21:00

19

Lihat Pasal 7 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Hirarki Peraturan Perundang-undangan

Di samping pengkerdilan kedudukan stasu KHI dalam perundangan-undanga sekarang, namun secara bersamaan dalam UU No. 12 Tahun 2012 pun memberikan ruang gerak pada masyarakat/organsiasi massa untuk memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.20 Hal inilah yang digunakan oleh FPI dalam memperjuangkan syariat Islam melalui beberapa cara.

Dari 1998-hingga sekarang, praktik perjuangan FPI dalam penegakkan syariat Islam yang memiliki nilai eksklusifitas dan varian tataran elemen perjuangan. Selain konsep Nahi Munkar yang menjadi motto pergerakan, FPI juga memiliki strategi politik hukum yang baru, yaitu NKRI bersyariah. Namun apa yang menjadi motivasi perjuangan FPI dalam menegakan syariat Islam di Indonesia? Sebelum menjawab persoalan tersebut sangat penting ditelaah makna syariat Islam itu sendiri. Karena dari sinilah kita akan bisa memetakan beberapa perbedaan dasar mengenai perjuangan FPI dengan organisasi Islam lainnya.

Tidak di ragukan lagi, fokus utama perjuangan FPI adalah penegakan syariat Islam. Hampir dapat dipastikan seluruh aktivitas gerakannya diarahkan kepada upaya penegakan dan pemberlakuan syar’at Islam. Habib Riziieq Syihab menyatakan dalam bukunya,’’…penegakan Syariat Islam bagi umat islam khususnya, sebagai mayoritas penduduk Indonesia, menjadi keharusan yang

20

Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Lihat Pasal 96 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

tidak bisa ditawar, demi terwujudnya amar ma’ruf nahi munkar secara kaffah

(sempurna dan menyeluruh).”21

Lebih lanjut, dari hasil wawancara penulis dengan KH. Ja’far Shidiq, S.E

selaku Sekum DPP FPI, bahwa syariat Islam itu adalah ketentuan yang ditentukan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW, untuk diselamatkan akhlak manusia itu sendiri. Aturan yang ditetapkan oleh Allah atau Hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulnya. Bukan hukum yang dibuat oleh hawa nafsu manusia. Makanya bagi kami hukum Allah itu adalah harga mati. Dari mana sumbernya, yaitu al-Qur’an dan As-sunnah ditambah ijma’ dan qiyas.22

Untuk sekedar memotret tingkat keseriusan FPI dalam agenda kampanye pemberlakuan atau penegakan syariat Islam bisa dilihat dari aksi demonstrasi, membangun kekuatan shaff (aliansi), melakukan sosialisasi sya’riat Islam secara

terus menerus lewat ruang dakwah ceramah di majlis-majlis ta’lim, masjid-masjid, mushalah-mushalah, panggung-panggung tabligh, juga menyebar striker-striker berisi pesan-pesan penegakan sya’riat Islam.

Dalam pandangan FPI, proses legislasi atau penerapan syariat Islam di Indonesia sangatlah penting, fakta berikut bisa terekam dari beberapa perjuangan FPI sebagai basis front atau garda terdepan untuk menolaknya jika ada salah satu peraturan perundangan-undangan yang menyalahi aturan secara syariat ataupun

21

Syahrul Efendi dan Yudi Pramuko, Habib-FPI Gempur Playboy?, (Tt: Yudi Pramuko Publisher, 2006 M/1427 H), hal. 153

22Hasil wawancara KH. Ja’far Shidiq, S.E (Sekum DPP FPI) pada tanggal 07 Januari 2015 Pukul 17.00, Petamburan – Jakarta Pusat

ada pemerintah merubahnya. Salah satunya adalah ketika pencabutan Perda berbau penerapan syariat Islam oleh kemendagri yaitu Perda Kota Tangerang No. 7 Tahun 2005, Perda Kab. Indramayu No. 15 Tahun 2006.23 Dan tak segan-segan FPI melakukan aksi nyatanya melalui dua cara, yaitu melalui litigasi, dengan melalukan judicial riview ke MK atas pencabutan perda tersebut dan aksi non litigasi yaitu melakukan aksi ke kemendagri, untuk membuat opini publik agar kemendagri tertekan.

Alasan lain kenapa hingga kini FPI masih memperjuangkan syariat Islam yaitu karena legitimasi sejarah Indonesia telah mengukir peradaban syariat kala itu. Yang mana beberapa kerajaan Islam kala itu telah mempraktekan syariat Islam.24 Di samping itu juga pemahaman sejarah terhadap detik-detik kemerdekaan menurut FPI sebagai awal cikal bakal penegakan syariat Islam secara konstitusional. Yang mana, pada tanggal. 22 Juni 1945, dalam rangka persiapan dan penyambutan kemerdekaan Indonesia, para Founding Father bangsa dan negara Indonesia telah menyepakati sebuah Konsensus Nasional bernama Piagam Jakarta, yang secara eksplisit menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'. Inilah sebenarnya Pancasila Asli yang paling autentik, yaitu Pancasila yang berintikan Tauhid dan Syariah.

23

Habib Rizieq Syihab, Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah, (Jakarta Selatan: Suara Islam Press, 2012), hal. 23

24

Lihat Habib Rizieq Syihab, Hancurkan Liberalisme Tegakan Syariat Islam, (Jakarta Selatan: Suara Islam Press, 2013), hal. 187

Menurut FPI, Perjuangan syariat Islam secara konstitusional sudah final dan tidak perlu diperdebatkan lagi, karena konstitusi kita telah mengandung semangat dari nafas konstitusi Piagam Jakarta dulu. Untuk itu peraturan yang berbau syariat Islam aqidah, hukum maupun akhlak,25 yang belum berbau syariat perlu mendapat perjuangannya, untuk memformalisasikan ke dalam bentuk perundang-undangan di Indonesia, seperti Undang-undang, Perpru, Perda, dan sebagainya. Bagi FPI, peraturan yang belum bernafaskan syariat Islam itu harus diluruskan atau dirubah menjadi sebuah undang-undang itu, misalnya; minuman berkohol itu haram dalam al-Qur’an maupun Sunnah, sedangkan dalam Keppres

(keputusan presiden) membolehkan dalam kadar alkohol sekian persen, hal itu harus melakukan perlawanan terhadap Keppres tersebut, baik melalui gugatan atau judicial review serta diikuti dengan aksi. Dan bagi FPI hal itu akan mendorong kepada pemerintah pusat atau daerah untuk membentuk perda-perda anti minuman keras, itu salah satu contohnya.26 Hal ini merupakan prinsip perjuangan amar makruf nahi munkar FPI yaitu memperjuangkan syariat Islam.

Jadi dapat disimpulkan yaitu jika ada salah satu peraturan yang bertentangan serta belum menjadi peraturan, bagi FPI itu adalah sebuah perjuangan, dan harus diperjuangkan, baik melalui jalur konstitusional (litigasi) maupun aksi, tabligh, ta’lim dan membuat opini publik. Perjuangan syariat Islam

25

Habib Rezieq, Hancurkan Liberalisme tegakan Syariat Islam, (Jakarta Selatan: Islam Press, 2013), hal.185-186

26 Hasil wawancara KH. Ja’far Shidiq, S.E (Sekum DPP FPI) pada tanggal 07 Januari 2015 Pukul 17.00, Petamburan – Jakarta Pusat

di Indonesia bagi peraturan yang belum di undangkan (dipositivisasi) hingga kini merupakan sebuah kewajiban. Meskipun begitu, dibalik sisi tegas dan keras FPI, sebagai organisasi Islam di Indonesia secara langsung berperan penting dalam meperjuangkan syariat Islam dalam kancah suprastruktur politik Indonesia sebagai basis penekan (pressure group).

Bagi FPI, substansi KHI itu sendiri sebenarnya sudah kuat dalam mengatur hukum keluarga Islam di Indonesia khususnya hukum materil Peradilan Agama, namun alangkah lebih baiknya Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI ini menjadi undang-undang agar kuat kedudukannya.27 Karena KHI merupakan hukum Islam yang mengatur masyarakat muslim di Indonesia yang mesti diperjuangkan tingkatannya. Karena secara substansial isi dari materinya telah memuat atau bernafaskan syariat Islam itu sendiri. Ia tidak saja mengatur terkait hukum keluarga di Indonesia, tetapi lebih dari itu. Lebih lanjut, menurut FPI, peraturan tentang perkawinan (KHI) sebenarnya sudah diamanatkan dalam undang-undang bahwa setiap pemeluk agama berhak menjalankan Syariatnya masing-masing. Hal demikian menjadi intisari acuan umat Islam yang harus mengikuti aturan Islam salah satuya pernikahan.28

Berdasarkan hasil wawancara penulis terkait pandangan FPI melihat status kendudukan KHI dalam perundang-undangan di Indonesia sebagai berikut.

27Hasil wawancara KH. Ja’far Shidiq, S.E (Sekum DPP FPI) pada tanggal 07 Januari 2015 Pukul 17.00, Petamburan – Jakarta Pusat

28 Hasil wawancara KH. Ja’far Shidiq, S.E (Sekum DPP FPI) pada tanggal 07 Januari 2015 Pukul 17.00, Petamburan – Jakarta Pusat.

a) KHI atau Inpres No. 1 Tahun 1991 merupakan bagian dari Syariat Islam itu sendiri.

b) KHI atau Inpres No. 1 Tahun 1991 KHI harus diperjuangkan status hukumnya menjadi sebuah undang-undang atau lebih tinggi kedudukannya.29

Dari pandangan ini juga, secara tidak langsung memberikan intisari bahwa hukum materil peradilan agama seperti KHI atau RUU terapan peradilan agama amatlah dibutuhkan, karena ia bukan saja hukum tertulis (Hukum Positif) tetapi sekaligus bernafaskan Syariat Islam. Berbeda sekali dari pandangan pada umumnya, FPI yang dinilai ganas serta keras dibalik perjuangannya itu banyak sekali pembentukan opini publik yang sangat positif dan kontributif, khususnya perkembangan hukum Islam di Indonesia.

Formalisasi Syariat Islam bagi FPI khususnya terkait hukum perdata seperti KHI seharusnya menjadi proiritas utama dalam perjuangan umat muslim. Baik pergerakannya secara tradisionalis – modernis, kajian-kajian dan terapan hidup dalam perundang-undangan. Serta tidak sebatas aksi dalam perjuangannya, tetapi juga membuka dialog dan mengajukan pengusulan-pengusulan draft kepada pihak terkait dalam hal ini ke DPR. Jika perundang-undangan ada yang tidak sesuai dengan aturan Allah maka kita berusaha merubah, kalau belum ada kita berusaha mengajukan undang-undang di parlemen. Karena FPI sebagai gerakan extra parlementer, jadi pergerakannya pun dilakukan seperti organisasi

29 Kesimpulan dari Hasil wawancara KH. Ja’far Shidiq, S.E (Sekum DPP FPI) pada tanggal 07 Januari 2015 Pukul 17.00, Petamburan – Jakarta Pusat.

massa pada umumnya.30 Lebih lanjut, bagi FPI, dorongan peningkatan status hukum Kompilasi Hukum Islam sudah selayaknya diberlakukan oleh pemerintah ataupun DPR.

Jika ditelisik lebih lanjut, perjuangan status hukum (peningkatan status hukum) KHI merupakan buah hasil pemahaman dari dalil-dalil normatif dalam al-Qur’an, As-Sunnah, ijma maupun qiyas. Dalam pemahamannya terhadap dalil normatif tersebut yaitu upaya menegakkan Syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan karena demikianlah yang diperintahkan Allah kepada setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan. Allah berfirman:















































31



Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain), tentang urusan mereka...”

Demikian pula Rasulullah Saw jauh hari telah mengingatkan kita akan wajibnya berhukum hanya kepada apa yang beliau bawa sebagaimana sabdanya:

30 Hasil wawancara KH. Ja’far Shidiq, S.E (Sekum DPP FPI) pada tanggal 07 Januari 2015 Pukul 17.00, Petamburan – Jakarta Pusat

31

“Salah seorang diantara kamu tidak beriman sebelum hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”.32

Di sini sangat jelas bahwa iman seseorang tidak sempurna kecuali jika beriman kepada Allah, rela kepada keputusannya dalam masalah kecil maupun besar, berhukum kepada syariat-Nya dalam segala masalah, baik yang berkaitan jiwa, harta, dan kehormatan.33 Selain ayat-ayat, hadis dan keterangan ulama, masih banyak ayat lain yang memerintahkan umat Islam agar menjalankan Syariat Islam dan menegakkannya di muka bumi ini dan menjadikannya sebagai sumber hukum.