• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

D. Analisis Penulis

Mengamati pola dan perkembangan gerakan FPI yang sudah berjalan sekitar 16 tahun lebih ini (1998-2015) adalah cukup menarik bagi penulis untuk melihat karakteristik perjuangan FPI. Dalam konteks Indonesia, tidak berlebihan jika penulis sampai mengatakan, baru kali ini ada gerakan Islam yang mempumyai watak seperti yang ditunjukkan FPI dalam medan dan bentuk perjuangannya yang spesifik. Hampir seratus tahun gerakan Islam modern di Indonesia– mulai dari Syarekat Dagang Islam (SDI) (1905), Syarekat Islam (SI)

36

Habib Rizieq Syihab, Hancurkan Liberalisme Tegakan Syariat Islam, (Jakarta Selatan: Suara Islam Press, 2013), hal. 190

(1926), Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (NU) (1926), dll—tidak ada yang mengkhususkan diri dalam perjuangannya terhadap isu pemberantas kemaksiatan dan isu-isu lainnya.

Namun bagaimanakah dengan pandangan serta perjuangan FPI untuk meningkatkan status kedudukan KHI yang secara implisit hanya bersifat anjuran dan arahan bagi seluruh hakim pengadilan agama. Di tambah KHI hanya sebatas Instruksi Presiden (Inpres), berbeda dengan Undang-undang yang bisa memaksa.

Dalam perjalannya, upaya peningkatan status KHI menjadi sebuah undang-undang merupakan sebuah keharusan. Faktanya bisa dilihat dalam pernjalanan Counter Legal Draft (CLD) hingga RUU HTPA dari tahun ke tahun. Berdasrkan database Prolegnas (program legislasi nasional) dari tahun 2004-2014, bahwa hukum materil peradilan agama atau substansi pembahasan KHI telah menjadi prioritas pembahasan untuk dijadikan undang-undang, baik yang diajukan oleh Pemerintah, DPR, ataupun keduanya.37 Namun hingga kini hukum materil khusus peradilan agama masalah perkawinan dalam KHI masih belum juga menjadi undang-undang. Alhasil upaya baik pemerintah atau DPR untuk meningkatkan menjadi undang-undang dirasa nihil. Untuk itu perlu penguatan di wilayah suprastruktur politik (baca: masyarakat, LSM, Ormas) untuk menekan upaya legislasi dari pemerintah ataupun DPR. Seperti halnya proses legislasi

37

Lihat lampiran daftar prolegnas Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-undang (Jakarta: Tp, 2010), hal. 176, 177, 178 dan 184

undang-undang pornografi, terorisme, perda miras dan lain-lain yang didukung penuh agar menjadi sebuah peraturan yang mengikat (undang-undang).

Dilain pihak, urgensitas sebuah peraturan perundang-undang ketika dipositivisasi (diundangkan) maka kedudukannya pun akan menjadi kuat dan bersifat memaksa, karena beberapa pasal dalam KHI sendiri mengatur terkait masalah aturan perkawinan, kewarisan, pengangkatan anak, pidana perwakafan dan lain-lain. tetapi disisi lain bahwa menurut beberapa bahwa Inpres tidak saja mengatur terkait sebuah aturan, tetapi hanya bersifat arahan serta rujukan instruksi saja dari presiden.38

Di samping itu, ketika KHI menjadi sebuah undang-undang, secara tidak langsung telah memberikan jawaban atas aspek kepastian hukum. Ini tentu menghindari adanya disparitas putusan hakim khusunya di pengadilan agama, dalam memandang sebuah aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Disadari atau tidak, karena Indonesia menganut prinsip positvistik sekaligus rechviding (penemuan hukum).

Upaya positivistik terhadap aturan KHI-HTPA dirasa perlu, hal itu tidak saja datangnya dari pihak stakeholder (pihak berkepentingan) seperti DPR maupun Pemerintah, tetapi juga dari masyarakat, karena mau tidak mau kelompok penekan (presure gruop) seperti LSM, Ormas—akan memberikan

38

Lihat pendapat Jimly Asshiddiqie, dalam Hukum Online, Perbedaan Keputusan

Presiden dengan Instruksi Presiden, lebih lengkap:

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50cf39774d2ec/perbedaan-keputusan-presiden-dengan-instruksi-presiden. diakses pada tanggal 08 Maret 2015 Pukul 06:00

bergain (kekuatan) kepada pemerintah untuk memaksa mereka pengupayakan KHI-HTPA menjadi sebuah undang-undang.

Partisipasi ormas Islam seperti FPI sudah seharusnya berkontribusi dalam memberikan opini publik atau saran dan rekomendasi atas RUU HTPA karena hal ini juga akan memberikan bargain (kekuatan) citra tersendiri, agar FPI tidak dinilai sebelah mata dalam perjuangannya. Seharusnya FPI tidak saja hanya konsen terhadap kampanye isu-isu yang melulu condong terhadap isu-isu lama. Namun lebih dari itu, hal itu juga seharusnya menjadi prinsip utama dalam pergerakan FPI, karena sesuai dengan AD/ART Pasal 6 tentang Visi dan Misi FPI sebagai pejuang atau formalisasi Syariat Islam.

Disamping itu upaya untuk melancarkan penegakan syariat Islam di Indonesia sangatlah jelas dipengaruhi oleh konsistensi dan kedudukan sebuah perundang-undangan yang mengikat, jika tidak, maka perjuangan FPI hanya sebatas pada problem kasuistik semata. Hal itu akan memunculkan tambal sulamnya upaya perjuangan FPI dalam penegakan syariat Islam.

Seperti yang kita ketahui bahwa kedudukan Kompilasi Hukum Islam belum menjadi undang-undang, dan secara otomatis yang kurang memaksa. Meskipun aturan yang terkandung dalam isi KHI itu sempurna tetapi kedudukannya tidak mengikat ataupun memaksa, maka akan menimbulkan berbagai persoalan atau perdebatan dalam peradilan agama untuk memutuskan perkara di masyarakat.

62

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian penulis menyimpulkan pada Pandangan Front Pembela Islam Tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Pasca Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, adalah sebagai berikut:

1. Lahirnya FPI sendiri dilatarbelakangi oleh berbagai faktor dan kondisi yang serba carut-marut pada tahun 1998, seperti a) krisis ekonomi sebaga lanjutan dari krisis ekonomi di tahun 1997 yang mengakibatkan ambruknya perekonomian negara, b) krisis politik yang mengakibatkan runtuhnya struktur rezim orde baru, c) stabilitas politik menurut akibat tekanan dari berbagai macam elemen, d) eskalasi konflik social dan agama di daerah meningkat tajam, e) ledakan partisipasi masyarakat karena tercabutnya penyumbat aspires, f) kebebasan pers dan ekspresi meningkat, g) perubahan sosial politik yang sangat cepat.Secara konseptual nilai perjuangan FPI sendiri adalah untuk menegakkanatau formalisasi syariat Islam di Indoensia, namun objeknya utamanya yaitu pemberantas kemaksiyatan, dan hal itu sangat bermanfaat bagi

akselerasi pemberlakuan sya’riat Islam di Indonesia.

2. Menurut FPI pasca di undangkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 terkait upaya pengesampingan kedudukan hukum KHI, sebetulnya substansi KHI itu sendiri sudah kuat dalam mengatur hukum keluarga Islam di

Indonesia khususnya hukum materil Peradilan Agama. Namun alangkah lebih baiknya Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI ini ditingkatkan statusnya menjadi Undang-undang, hal ini agar kuat kedudukannya. Adapun isi dari materinya telah memuat atau bernafaskan Syariat Islam itu sendiri. Dalam perjuangannya, jika FPI melihat produk hukum di Indonesia seperti Undang-undang, Perpu, dan Peraturan di bawahnya—belum berbau syariat maka perlu diperjuangkan. Memang, perjuangan khusus terkait kedudukan status hukum KHI terlihat tidak menjadi priotas utama dalam agendanya. Karena bagi mereka sudah berjalan sesuai dengan syariat Islam meskipun hanya sebatas Inpres. Perjuangan kasuistik bagi FPI sebetulnya sangatlah wajar, karena hingga saat ini pergolakan atau pengkerdilan KHI tidak dirasakan langsung pergolakannya oleh masyarakat. Di samping itu KHI sendiri sudah berjalan semestinya di tiap-tiap pengadilan agama di Indonesia.

3. Perjuangan khusus terkait kedudukan status hukum KHI terlihat tidak menjadi priotas utama dalam agendanya. Meski begitu pembentukan opini publik atau saran dan rekomendasi isi sub pembahasan telah dibahas dan dikampanyekan sub pembahasan tentang perkawinan oleh FPI. Seharusnya FPI memperjuangkan secara ksusus dalam meningkatkan kedudukan KHI menjadi sebuah undang-undang dengan upaya dan strategi seperti pada pengawalan peraturan pornografi, terorisme, anti miras, dan lain-lain. Karena hal itu akan memberikan bargain (kekuatan) citra tersendiri, agar FPI tidak dinilai sebelah mata dalam nilai perjuangannya.

4. Dari pengamatan penulis, upaya dan strategi FPI dalam memperjuangkan syariat Islam secara umum bisa dilihat dari jalur litigasi ataupun non-litigasi, seperti mengajukan legal drafting kepada stake holders, membuat opini,

dakwah, ta’lim, aksi dan lainya. Prinsip utamanya adalah mana-mana bagian Syariat Islam yang sudah bisa ditegakkan, dengan atau tanpa perundang-undangan negara, maka wajib untuk segera kita laksanakan, begitu juga dengan KHI. Seharusnya FPI tidak saja hanya konsen terhadap kampanye isu-isu yang melulu condong terhadap isu-isu-isu-isu lama. Namun lebih dari itu, hal itu juga seharusnya menjadi prinsip utama dalam pergerakan FPI, karena sesuai dengan AD/ART Pasal 6 tentang Visi dan Misi FPI sebagai pejuang atau formalisasi syariat Islam.

B. Saran

Dari pengamatan yang penulis dapatkan, ada beberapa point saran yang kurang lebih menjadi penting di sini, yaitu:

1. Terlepas dari pro dan kontra atas kehadiran FPI di Indonesia, secara tidak langsung telah menggeser paradigma formalisasi syariat Islam di Indonesia. Perlu kiranya perjuangan khusus terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang kurang lebih secara politik kedudukannya telah digeser oleh pihak berkepentingan (stake holders). Dalam hal ini peningkatan kedudukan KHI menjadi sebuah undang-undang.

2. Dibalik sisi tegas dan keras FPI dalam membasmi kemunkaran, penulis mengharapkan FPI sebagai organisasi Islam di Indonesia yang secara langsung dapat berperan penting dalam memperjuangkan syariat Islam khususnya dalam hal ini mengenai Kompilasi Hukum Islam, yang dimana FPI adalah Ormas Islam yang besar dan sering kali membuahkan hasil positif sebagai basis penekan (pressure group) kepada pemerintah. Dan perlu kiranya agenda perjuangan FPI memperluas tingkat kajian akademik-ilmiah dalam melakukan perjuangan formalisasi syariat Islam, karena disadari atau tidak, hal itu penting ketika berhadapan para stake holders.

77