• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

C. Status Hukum KHI

Secara sosiologis, kompilasi yang bersubtansi hukum Islam itu jelas merupakan produk keputusan politik. Instrument hukum politik yang digunakan adalah Inpres no.1 tahun 1991. Selain formulasi hukum Islam dalam tata hukum Indonesia, KHI bisa disebut sebagai representasi dari sebagian substansi hukum material Islam yang dilegislasikan oleh penguasa politik pada zaman orde baru.16

Dengan demikian KHI mempunyai kedudukan yang penting dalam tata hukum Indonesia, karena selain bersifat nisbi, KHI dengan segala bentuknya, kecuali ruh hukum Islamnya, merupakan cerminan kehendak sosial para

15

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo Cet V, 2007), hal. 36-37

16

Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzab Negara, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hal. 144

pembuatnya. Kehadiranya dengan demikian sejalan dengan motif-motif sosial, budaya dan politik tertentu dari pemberi legitimasi, dalam hal ini rezim politik orde baru.

Perkembangan konfigurasi politik senantiasa mempengaruhi perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik tertentu senantiasa melahirkan produk hukum yang memiliki karakter tertentu. Konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsive/populistik, sedangkan konfigurasi politik otoriter senantiasa akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks.17

Pengaruh politik hukum terhadap KHI akan menjadi karakter-karakter politik hukum Islam di Indonesia. Pengaruh tersebut akan membawa konsekuensi untuk memperbincangkan kembali diskursus hukum agama dan hukum Negara di dalam wadah Negara Pancasila. Keberadaan hukum islam harus diselaraskan dengan visi pembangunan hukum yang dicanangkan Negara. Disini lalu terjadi proses filterisasi terhadap materi hukum Islam oleh Negara.

Dengan demikian, secara ideologis KHI berada pada titik tengah antara paradigma agama dan paradigma Negara. Dalam paradigm agama, hukum Islam wajib dilaksanakan oleh Umat Islam secara kaffah, tidak mengenal ruang dan waktu. Penerapannya dalam kehidupan social menjadi misi agama yang suci. Dengan kata lain bahwa hukum Islam berada dalam penguasaan hukum Negara

17

Lihat disertasi Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum, (Ilmu Hukum di Program Pascasarjana UGM: Yogyakarta, 1993).hal. 675

dengan mempertimbangkan pluralitas agama, etnis, ras dan golongan. Hasil interaksi dari dua paradigma yang berbeda itu merupakan wujud nyata politik Negara terhadap hukum islam di Indonesia. Karena itu KHI merupakan satu-satunya hukum materiil Islam yang memperoleh legitimasi politik dan yuridis dari Negara.18

Terpilihnya Instrumen hukum Intruksi Presiden sebagai justifikasi yuridis formal diberlakukannyai Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menunjukan sesuatu yang dilematis; pada satu segi, pengalaman implementasi program legislative nasional memperlihatkan kemampuan Intruksi Presiden berlaku efektif disamping instrument hukum lainnya; dan pada segi lain Intruksi Presiden tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam diktum Inpres Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tersebut, tidak dijelaskan secara tegas mengenai kedudukan Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi Intruksi Presiden tersebut hanya berisi intruksi untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam.

Untuk mengetahui kedudukan KHI dalam peraturan perundangan maka harus diketahui dulu kedudukan Instruksi Presiden dalam peraturan perundang-undangan, karena instrumen hukum yang digunakan KHI adalah Instruksi Presiden No 1/1991. Di sini penulis akan mengkaji dan menganalisis terlebih dahulu Instruksi Presiden No 1/1991 dari sudut pandang norma hukum untuk

18

Lihat http://daway1982.blogspot.com/2011/06/blog-post.html. diakses pada tanggal 2 Oktober 2013 Pukul 02. 30

mengetahui apakah Instruksi Presiden No 1/1991 ini termasuk norma hukum dalam peraturan perundang-undangan atau tidak. Dari kesimpulan yang didapat dari hasil penelusuran bahwa status hukum atau kedudukan KHI sebagai Inpres No. 1 Tahun 1991—dalam hirarki peraturan perundang-undangan Indonesia terdapat 4 bentuk, yaitu:

a) Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 KHI mempunyai kedudukan yang sama atau setingkat dengan Peraturan Menteri.

b) Berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 mulai kehilangan arah pijakan status hukum KHI yang berujung tidak diakuinya kedudukan Instruksi Presiden dalam hirarki peraturan perundang-undangan.

c) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 KHI tidak mempunyai kedudukan dalam hirarki peraturan perundang-undangan.19

d) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 KHI tidak mempunyai kedudukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan pula.

Jadi KHI sebagai instruksi presiden hanya terbatas untuk memberikan arahan, menuntun, membimbing dalam hal suatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan. Sedangkan keputusan presiden, ada yang bersifat mengatur (regeling)

19

Lihat hasil penelitian Nurzamin, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia, (Malang: UIN Malang., 2009), hal. 60

(yang dipersamakan dengan peraturan presiden) dan ada yang bersifatnya menetapkan (beschikking).20

D. Perkembangan KHI

Pada awal terbitnya KHI yang rencananya akan dijadikan Undang-Undang, akan tetapi rencana itu belum terwujud karena situasi politik waktu itu belum memungkinkan. Baru, setelah tiga tahun kemudian, keluarlah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang isinya memerintahkan Menteri Agama untuk menyosialisasikan KHI agar sedapat mungkin digunakan oleh masyarakat yang memerlukan

Seperti yang telah diketahui bahwa Kompilasi Hukum Islam dijadikan rujukan oleh para hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara. Akan tetapi dalam pelaksanaannya para hakim tersebut ada yang memakai KHI, ada juga yang tidak. Ini dikarenakan hakim tidak terikat pada KHI itu. Inilah menurut Direktur Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama Wahyu Widiana yang melatar belakangi mengapa diperlukan hukum terapan peradilan agama.21

Meski landasan hukumnya tidak kuat untuk dijadikan pedoman (karena bersifat fakultatif, tidak imperatif), tetapi dalam kenyataan di lapangan KHI

20

Perbedaan Kepres dan Inpres, lebih lengkap baca: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50cf39774d2ec/perbedaan-keputusan-presiden-dengan-instruksi-presiden. diakses pada tanggal 31 Maret 2015 pukul 21:00

21 Kompas, “RUU Terapan Peradilan Agama Digodok”,

http://www2.kompas.com/kompascetak/0310/01/utama/596638.htm, (diakses pada 21 April 2009)

tampak sangat efektif digunakan oleh para hakim agama, pejabat KUA, dan sebagian umat Islam. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama pada tahun 2001, hampir 100% secara implisit dan 71% secara eksplisit hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama menjadikan KHI sebagai sumber dan landasan hukum dalam keputusan-keputusannya.22

Efektifitas ini bisa dipahami karena KHI disusun dengan bahasa Indonesia yang jelas dan pasti untuk sebuah keputusan hukum. Karena efektivitas ini dan atas tuntutan UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas 2000-2004, Departemen Agama melalui Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama sejak tahun 2002 berupaya menjadikan KHI menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan dan Perwakafan. RUU ini merupakan upaya pemerintah untuk menaikkan status KHI dari Inpres menjadi UU.

Pada tahun 2004, pemerintah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan dan Perwakafan100 tersebut yang didalamnya diatur segala aspek dari perkawinan, mulai dari peminangan, perkawinan, poligami, perceraian, sampai pengingkaran

22

Eko Bambang S, "Pokja Pengarusutamaan Gender Depag Keluarkan Counter Legal Draft KHI",http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=berita%7C-178%7CN, (diakses pada 21 April 2009)

terhadap anak.23 Draf rancangan undang-undang (RUU) ini, menurut Direktur Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama Wahyu Widiana, disusun oleh Badan Pembinaan dan Pengkajian Hukum Islam (BPPHI) Departemen Agama. Sebuah tim yang diketuai Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Islam dan Urusan Haji (BIUH) Taufik Kamil dengan dua wakil, yakni Mochtar Zarkasyi

dan Rifyal Ka’bah, bekerja dengan bantuan dewan pakar. Dewan pakar itu terdiri

atas mantan hakim agung Bustanul Arifin, ahli tata negara Ismail Sunny, Dirjen Perundang-undangan Departemen Kehakiman Abdul Gani, dosen dan mantan Direktur Peradilan Agama Ichtianto, dan mantan hakim agung Taufik.24

Pada akhir tahun 2004, tepatnya setelah lebaran menurut Wahyu Widiana, Departemen Agama akan mengajukan draft RUU Hukum Terapan Tentang Perkawinan Islam ke Sekratriat Negara. Akan tetapi perkembangan selanjutnya tidak ada kejelasan apakah Rancangan Undang-Undang tersebut sudah dibahas atau belum oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang jelas faktanya sampai saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak pernah mengeluarkan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama tentang Perkawinan Islam .

Karena perkembangan di masyarakat serta adanya keinginan menjadikan KHI sebagai hukum positif dengan mengundangkannya segera, maka Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama yang dipimpin Dr

23Kompas, “RUU Terapan Peradilan Agama Digodok”,

http://www2.kompas.com/kompascetak/0310/01/utama/596638.htm, (diakses pada 21 April 2009)

24Kompas, “RUU Terapan Peradilan Agama Digodok”,

http://www2.kompas.com/kompascetak/0310/01/utama/596638.htm, (diakses pada 21 April 2009)

Siti Musdah Mulia, MA, sebagai staf ahli Menteri Agama bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional sejak masa Said Agil Husein al-Munawwar, diserahi tugas oleh Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI untuk melakukan pengkajian, penelitian, dan perumusan ulang terhadap materi hukum KHI dan menyusun draft pembaruan (revisi) atau counter legal draft terhadap Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991.

PUG sendiri dibentuk berdasarkan Inpres No. 9 tahun 2001, yang di dalamnya tertuang pernyataan bahwa seluruh program kegiatan pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan kebijakan yang berperspektif gender Dalam Pengkajiannya, Tim Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama menggunakan empat perspektif utama, yaitu gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi. Perspektif ini niscaya dilakukan untuk mengantarkan hukum Islam menjadi hukum publik yang dapat diterima oleh semua kalangan, kompatibel dengan kehidupan demokrasi modern, dan dapat hidup dalam masyarakat yang plural, sebagai bagian dari cita-cita kita untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan demokratis.25

Setelah melakukan pengkajian dan penelitian terhadap KHI selama dua tahun, akhirnya Tim Pokja PUG menghasilkan sebuah Draft revisi KHI atau

25

Eko Bambang S, "Pokja Pengarusutamaan Gender Depag Keluarkan Counter Legal Draft KHI", http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=berita%7C-178%7CN, (diakses pada 21 April 2009)

Counter Legal Draft KHI yang terdiri dari tiga bagian yaitu Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, dan Buku III tentang Perwakafan. Dan masing-masingnya memuat RUU tentang Hukum Perkawinan Islam, RUU tentang Kewarisan Islam, dan RUU tentang Hukum Perwakafan Islam1. Counter Legal Draft terhadap KHI ini mengundang kontroversi yang hebat di masyarakat.

Menurut Dr. Rifyal Ka’bah, MA hal-hal mendasar yang menimbulkan

kontroversi adalah bahwa pembaruan KHI yang diajukan oleh yang diajukan oleh Tim Pokja PUG bukanlah dalam konteks tajdid (pemurnian) atau ishlah (perbaikan terhadap yang rusak/fasad), namun masuk dalam pengertian bid’ah (penyimpangan) dan taghyir (perubahan) dari hukum Islam yang asli.26

Seperti yang telah dijelaskan diatas Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) ini rupanya mengundang kontroversi yang hebat di masyarakat, sehingga Menteri Agama saat itu, Prof. DR. H. Said Agiel al-Munawar, menyampaikan teguran keras kepada tim penulis Pembaruan Hukum Islam, melalui suratnya tanggal 12 Oktober 2004, No.: MA/271/2004, untuk tidak mengulangi lagi mengadakan seminar atau kegiatan serupa dengan melibatkan serta mengatasnamakan team Departemen Agama, dan semua draf

26

Skripsi Nuryamin, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam Dalam Peraturan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia, (Malang: UIN Malang, 2009), hal. 62

atau naskah asli Counter Legal Draft atas Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) agar diserahkan kepada Menteri Agama RI.27

Pasca setelah itu, perkembangan terkait rancangan Undang-Undang Kompilasi Hukum Islam menjadi hukum terapan Peradilan Agama atau yang biasa disebut dengan HTPA. Draft tersebut menjadi prioritas di Prolegnas (program legislasi nasional) periode 2004-2009. Namun berakhir periode tersebut, draft resmi RUU HTPA belum terlihat lagi,28 bisa dibilang tidak terdengar lagi hingga sekarang. Oleh sebab itu perlu upaya non-struktural berupa presure (penekanan) kepada pemerintah yang dilakukan oleh kalangan akademisi, praktisi, maupun Ormas Islam—yang konsen terhadap upaya penerapan syariat Islam di Indonesia, sangat urgen untuk saat ini.

Ringkasnya, perjalanan KHI menjadi RUU HTPA menjadi tidak jelas arah serta pembahasannya. Hingga ini Peradilan Agama masih tetap menggunakan hukum materil KHI berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991, bukan Kompilasi Hukum Islam yang menjadi Undang-Undang dan bukan pula Kompilasi Hukum Islam yang ditawarkan oleh Tim Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama, yakni Counter Legal Draft KHI (CLD KHI). Namun Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI yang dipergunakan saat ini masih berkiblat pada UU No. 12 Tahun 2011

27

Skripsi Nuryamin, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam Dalam Peraturan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia, (Malang: UIN Malang, 2009), hal. 70

28

Lihat lebih lengkap http://badilag.mahkamahagung.go.id/pengaduan/315-berita-kegiatan/4283-ketua-ma-sambut-positif-ruu-hukum-materiil-pa-bidang-perkawinan.html. Dikakses pada tanggal 23 Agustus 2013 Pukul 06.13 WIB

tentang Hirarki Peraturan Perundang-Undangan yang secara otomatis hal itu tidak mempunyai kedudukan kuat dalam Peradilan Agama.

46