• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dalam pasal 1. Yang Maha Esa. Jadi menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dalam pasal 1. Yang Maha Esa. Jadi menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjuan Umum Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan.

Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dalam pasal 1 mendefinisikan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia erat kaitannya dengan keturunan, pemeliharaan dan pendidikan terhadap pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.18

Menurut pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan demikian meskipun Undang- Undang No 1 Tahun 1974 merupakan unifikasi dalam hukum perkawinan.

Tetapi dalam hal sahnya perkawinan masih terdapat pluralisme.19

Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah

18 Komariah, SH., M.Si., M.Hum, 2016, Hukum Perdata, UMM Press, Malang. Hal. 32

19 Ibid. Hal. 32-33

(2)

perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat bertetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Menurut hukum Islam perkawinan adalah ‘akad’ (perikatan) antara wali wanita (calon istri) dengan calon suami perempuan itu, bukan perikatan antara seorang pria dengan eorang wanita saja sebagi dimaksud dalam pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 atau menurut Hukum Kristen, kata ‘wali’

berarti bukan saja ‘bapak’ tetapi juga termasuk ‘datuk’ (embah), saudara- saudara pria, anak-anak pria, saudara bapak yang pria (pamna), anak-anak pria dari paman, kesemuanya menurut garis keturunan pria (patrilinial) yang beragam Islam. Hal tersebut menunjukan bahwa ikatan perkawinan dalam Islam berarti pula perikatan kekerabatan bukan perikatan perseorangan.20

Ketentuan tentang perkawinan menurut Hukum Perdata Barat sangat berbeda dengan Hukum Islam, perkawinan yang dalam Hukum Islam disebut ‘Nikah’ ialah melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan keridhaan kedua belah pihak untuk mewujdukan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayangdan ketentraman dengan cara- cara yang diridhai Allah.21

20 Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia: Menurut Perundangn Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung. Hal. 10-11

21 Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Prenadamedia Group, Jakarta. Hal. 102

(3)

Sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 24 :

Dan dihalalkan (dibolehkan) kepada kamu mengawini perempuan- perempuan selain dari yang tersebut itu, jika kamu menghendaki mereka dengan mas kawin untuk perkawinan dan bukan untuk perbuatan jahat.

Begitupun dengan Kaelany H.D. yang mengatakan bahwa, perkawinan adalah akad antara calon suami istri umtuk memenuhi hajat jenisnya menurut diatur oleh syari’ah. dengan akad kedua calon akan diperbolehkan bergaul sebagai suami istri. Firman allah dalam suart Al- Baqarah ayat 187 disebutkan : “...mereka (para istri) adalah pakaian bagi kamu dan kamu (pun) pakaian bagi mereka...”

Berdasarkan pengertian nikah tersebut diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa :

a. Nikah adalah persetujuan (perjanjian) ataupun suatu akad antara seorang pria dan seorang wali pihak wanita.

b. Untuk ada (terjadinya) nikah harus ada kerelaan dan kesuksesan dari kedua belah pihak yang akan melakukan nikah.

c. Nikah dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama yang terdapat didalam hukum fikih.

Hukum Islam menggambarkan sifat yang luhur bagi ikatan yag dijalin oleh dua orang berbeda jenis yakni ikatan perkawinan.22 Menurut Hukum Kristen Katolik perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari kedua yang tidak dapat ditarik kembali. Jadi menurut Hukum Kristen

22 Ibid, Hal. 102-103

(4)

Katolik adalah perbuatan yang bukan saja merupakan perikatan cinta antara kedua suami istri, tetapi juga harus mencerminkan sifat Allah yang penuh kasih dan kesetiaan yang tidak dapat diceraikan. Perkawinan itu adalah sah apabila kedua mempelai sudah dibaptis23

2. Syarat Perkawinan

Untuk dapat melangsungkan perkawinan, maka harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat-syarat perkawinan dibedakan dalam, antaralain: Syarat-syarat materiil yaitu syarat mengenal orang-orang hendak melangsungkan perkawinan, terutama mengenai persetujuan, ijin dan kewenangan memberikan ijin. Syarat materiil, diatur dalam pasal 6 s/d 11 UU No. 1 Tahun 1974, yang dapat dibedakan lagi dalam syaraat materiil yang absolut atau mutlak dan syarat materiil yang relatif atau nisbi. Syarat materiil yang absolut atau mutlak merupakan syarat-syarat yang berlaku dan tidak membedakan-bedakan dengan siapapun akan melangsungkan perkawinan yang meliputi :

a. Batas umur minimum pria yaitu 19 tahun dan wanita 16 tahun (pasal 7 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974)

b. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian atau persetujuan antara kedua calon mempelai (pasal 6 ayat 1)

c. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan ijin kedua orang tua (pasal 6 ayat 2).

Syarat-syarat formil, yakni syarat-syarat yang merupakan formalitas yang berkaitan dengan upacara nikah. Ijin kawin dalam KUH Perdata ditentukkan dalam pasal 35 s/d 40 yang pada intinya adalah sebagai berikut:

a. Untuk anak anak sah yang belum berumur 21 tahun harus mendapatkan ijin dari orang tua atau walinya, walaupun terdapat

23 Hilman Hadikusuma, Op.cit. Hal. 11-12

(5)

perbedaan pandangan antara kedua orang tuanya. Apabila ayah dan ibunya telah meninggal maka sebagai ganti persetujuan orang tua itu adalah persetujuan dari kakek dan nenek yang bersangkutan. Dalam hal kakek dan nenek tersebut juga sudah meninggal dunia maka persetujuan harus didapatkan dari wali dan wali pengawasnya.

b. Untuk anak-anak luar kawin yang diakui belum berumur 21 tahun, pada pokoknya berlaku ketentuan-ketentuan yang sama dengan anak sah. Namun dalam hal ini ada perbedaan pandangan antara kedua orang tua atau walinya maka dapatlah hal ini dimintakan putusan Pengadilan Negeri. Apabila ayah dan ibunya sudah meninggal maka persetujuan harus didapatkan dari wali dan wali pengawasnya (bukan persetujuan dari kakek dan neneknya).24

3. Tujuan Perkawinan

Dalam pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami istri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungan nya dengan keturunan, dimana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundangan adalah untuk kebahagiaan suami istri guna mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kestaun keluarga yang bersifat parental.25

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa perkawinan:

a. Berlangsung seumur hidup

b. Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir;

24 Komariah, 2016, Hukum Perdata, UMM Press, Malang. Hal. 7-40

25 Hilman Hadikusuma, Op.Cit. Hal. 22-23

(6)

dan

c. Suami istri membantu untuk mengembangkan diri

Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok yaitu kebutuhan jasmaniah dan kebutuhan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah seperti kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan yang termasuk kebutuhan rohaniah seperti seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri.26

Menurut Agama tujuan dari perkawinan adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Sedangkan menurut Imam al Ghozali yang dikutip oleh Abdul Rohman Ghozali, tujuan perkawinan adalah:

a. mendapatkan dan melangsungkan keturunan

b. memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan menumpahkan kasih sayang

c. memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan

d. menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban dan untuk memperoleh harta kekeyaan yang halal

e. membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.27

4. Asas Perkawinan.

Asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menurut UU No 1 Tahun1974 adalah pembentukan keluara bahagia yang kekal. Perkawinan

26 Ibid, hlm 108-109

27 Abdul Rahman Ghozali, 2003, Fiqh Munakahat. Jakarta, Prenada Media Group.Hal. 8

(7)

yang sah menurut masing-masing agamanya, percatatan perkawinan, asas monogami terbuka, prinsip calon suami istri, batas umur perkawinan, perceraian dipersulit, kedudukan suami istri seimbang.28

a. Asas Monogami Terbuka

Menurut pasal 3 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

Dengan demikian UU No 1 Tahun 1974 menganut asas perkawinan yang monogami. Kaidah pasal 3 ayat 1 tersebut dapat dikatakan mirip dengan pasal 27 KUH Perdata. Dalam hal seseorang suami akan beristri lebih dari seseorang dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan didaerah tempat tinggalnya. Pengadilan dimaksud hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan memiliki lebih dari seorang istri apabila beralasan sebagai berikut:

1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

3) Istri tidak apat melahirkan keturunan

Tetapi dengan alasan tersebut belum cukup bagi pemohon untuk dapat diterima oleh pengadilan, oleh karena itu pengadilan masih akan memeriksa sebagai berikut :

1) Ada atau tidaknya pesetujuan, baik peetujuan lisan maupun tertulis.

Apabila persetujuan tersebut persetujuan lisan maka persetujuan tersebut harus diucapkan dimuka persidangan

2) Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjami keperluan istri dan anak dengan memperhatikan urat-surat keterangan mengenai penghasilan suami yang di tanda tangani oleh bendahara tempat bekerja atau surat keterangan hasil pajak atau surat keterangan lain

28 Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia: Menurut Perundangn Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung. Hal. 33

(8)

yang dapat diterima oleh pengadilan

3) Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil kepada suami akan berlaku adil terhadap istri-stri dan anak- anak dengan pernyataaan atau janji suami yang dibut untuk ditetapkan sebagai perjanjian tersebut.29

B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Siri.

1. Pengertian Perkawinan Siri.

Secara etimologi pernikahan siri adalah berasal dari kata bahasa Arab yaitu siri yang artinya adalah rahasia. Namun apabila digabungkan antara kata nikah dan kata siri maka dapat diartikan secara bahasa dengan nikah diam-diam yang dirahasiakan yakni tidak ditampakkan.30 Dalam Kamus Besar Bahasa Indones mendefinisikan “nikah siri” adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama, melainkan hanya menurut agama Islam sudah sah.31

Dengan demikian secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pernikahan siri adalah perkawinan yang dilangsungkan dengan cara rahasia dan tidak dilakukan menurut hukum yang berlaku yakni tidak dicatatkan oleh pegawai pencatatan nikah.

2. Akibat Hukum Pernikahan Siri Dalam Hukum Positif.

a. Sahnya Perkawinan Siri Dalam Prespektif Hukum Postif.

Berbicara tentang syahnya perkawinan siri dalam prespektif hukum positif tentunya sangat berpatokan dengan undang-undang nomor 1 tahun

29 Ibid,. Hal. 33-35

30 Mahmud Hadi, 2016, Nikah Siri Apa Sih Hukumnya, Pengadilan Agama Sorong, Sorong. Hal.

3,yang dirilis dalam https://pa-soreang.go.id/ yang diakses tangga 18 September 2021

31 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Nikah Siri, dalam https://kbbi.kata.web.id/nikah-siri/, yang diakses tangga 18 September 2021

(9)

1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, serta Kompilasi Hukum Islam.

Pada prinsipnya mengacu pada ketentuan Undang-Undang Perkawinan, bahwa pernikahan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya dari kedua mempelai baik laki- laki maupun perempuan.32 Agama dan kepercayaanyalah yang menjadi dasar dan rujukan bagi setiap orang untuk melaksanakan perkawinan, baik dari segi syarat-syarat maupun dari segi pelaksanaanya.

Berdasarkan ketentuan diatas, dapat dipahami bahwa sebuah perkawinan itu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu. Dengan demikian apabila perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah telah dipenuhi bagi orang Islam, atau pendeta dan atau pastur bagi yang Bergama non Islam, maka perkawinan tersebut adalah sah dalam prespektif agama dan kepercayaan masyarakat.33

Dalam ketentuan undang-undang yang sama, diatur mengenai Syarat-syarat dalam perkawinan yang salah satunya :

1) Perkawinan harus didasrkan atas persetujuan kedua calon mempelai.34 Syarat usia, yakni perkawinan dapat dilakukan apabila seorang laki-laki telah berusia 19 tahun dan perempuan 16 tahun,35 kecuali adanya penyimpangan terhadapat ketentuan tersebut dapat diajukan disepensasi

32 Lihat Pasal 2 ayat 1 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

33 Latifa Ratnawaty, Kedudukan Hukum Nikah Siri Menurut Hukum Positif Indonesia,Jurnal Yustisi No. 2 Voume 2, September 2015, ISSN: 1907-5251, Hal. 21

34 Lihat Pasal 6 ayat 1 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

35 Lihat Pasal 7 ayat 1 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

(10)

kawin kepada pengadilan agama setempat.36

Akan tetapi untuk menentukan bahwa perkawinan tersebut benar-benar dapat dikategorikan sebagai perkawinan yang sah menurut hukum, undang-undang perkawinan mengatur lebih lanjut yakni perkawinan tidak hanya dilaksanakan sesuai ketentuan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, melainkan perkawinan tersebut harus dicatat menurut ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, sebagaimana bunyinya ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.37 Pencatatan perkawinan bagi mereka yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah melalui Instansi Kantor Urusan Agama (KUA),38 sedangkan bagi mereka yang beragama selain Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah melalui instansi Kantor Catatan Sipil.39

Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama di luar agama Islam melibatkan 2 (dua) lembaga yang berbeda yaitu lembaga agama (yang berwenang menikahkan) dan lembaga

36 Lihat Pasal 7 ayat 2 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

37 Lihat Pasal 2 ayat 2 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

38 Lihat Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang- undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

39 Lihat Pasal 2 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang- undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

(11)

pencatatan sipil (yang akan mencatat perkawinan yang telah dilaksanakan di hadapan pemuka agama). Dari pencatatan tersebut kemudian dikeluarkan kutipan akta perkawinan (Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).

Perkawinan dicatatkan kepada pejabat pencatat yang ditunjuk negara (pemerintah). Pemerintah berkewajiban mencatat, dan sebagai alat bukti sah ikatan perkawinan diberikan akta perkawinan. Akta perkawinan tersebut bertujuan mengatur hubungan hukum masing- masing menjadi suami isteri yang sah. Dengan demikian, hukum perkawinan dan akta perkawinan merupakan peristiwa hukum yang dilindungi oleh hukum serta mempunyai akibat hukum yang sah.

Dari suatu perkawinan itu mempunyai akibat hukum tidak hanya terhadap pribadi yang melangsungkan pernikahan, hak dan kewajiban yang mengikat pribadi suami istri, tetapi lebih dari itu mempunyai akibat hukum pula terhadap harta suami istri tersebut. Hubungan hukum kekeluargaan dan hubungan hukum kekayaannya terjalin sedemikian eratnya, sehingga keduanya memang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Seluruh peristiwa penting yang terjadi dalam keluarga (yang memiliki aspek hukum), perlu didaftarkan dan dibukukan, sehingga baik yang bersangkutan maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai bukti yang outentik tentang peristiwaperistiwa tersebut, dengan demikian maka kedudukan hukum seseorang menjadi tegas dan jelas.40Ada yang mengatakan bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan

40 Latifa Ratnawaty, Kedudukan Hukum Nikah Siri Menurut Hukum Positif Indonesia, Jurnal Yustisi No. 2 Voume 2, September 2015. Hal. 24

(12)

itu memiliki akibat hukum sebagaimana perkawinan yang sah sepanjang telah memenuhi ketentuan Hukum Islam, namun pendapat lain mengatakan sebaliknya, meskipun perkawinan itu tidak dicatatkan maka ia tidak dapat memiliki akibat hukum seperti yang diuraikan di atas.

Sebab menurut hukum positif Indonesia, nikah di bawah tangan itu tidak diakui sama sekali. Adanya ikatan perkawinan diakui secara hukum hanya jika dicatat oleh petugas yang ditunjuk.

Suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum apabila dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku secara positif, sehingga apabila suatu perkawinan tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku perkawinana itu dianggap tidak sah. Perkawinan seperti ini sering disebut dengan perkawinan di bawah tangan (nikah siri).41

Dapat disimpulkan bahwa perkawinan siri apabila dikaitkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan termasuk sebagai perkawinan yang tidak sah atau dianggap tidak pernah ada perkawinan, karena tidak dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku atau melanggar hukum dalam perkawinan.

b. Status Kedudukan Anak Dalam Hukum Islam dan Positif.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara yang berdasarkan atas Pancasila, bukan Negara Islam. Sistem hukum yang berlaku di Indonesia sebenarnya tidak mengenal istilah kawin siri atau nikah siri, apalagi mengatur secara khusus kawin siri didalam

41 Ibid.

(13)

sebuah peraturan perundang-undangan.

Menurut hukum Islam anak sebagai hasil perkawina merupakan bagian yang sangat penting kedudukanya dalam suatu keluarga. Sebagai amanah Allah, maka setiap orang tua mempunyai tangungjawab untuk mengasuh, mendidik, dan memenuhi kebutuhan anak sampai dewasa.

Namun tidak semua anak lahir dari perkawinan yang sah, melaikan lahir sebagai akibat perbuatan zina. Anak mempunyai kedudukan dalam perkawinan, istilah kedudukan adalah “keadaan dimana seseorang itu hidup menunjkan kepada suatu hubungan kekeluargaan tertentu.42

Dalam Islam istilah kedudukan dimaknai sebagai nasab, sedangkan nasab akan menunjuk pada suatu hubungan keluarga yang sangat dekat, yakni hubungan antara anak dengan orang tua terutama orang tua laki-laki.43 Penentuan nasab dalam Islam sangat penting, karena dengan nasab tersebut anak dapat diketahui hubungan kekeluargaanya dengan ayahnya. Dalam fiqih, seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya apabila telahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang telahir diluar perkawinan yang sah, dapat disebut anak hasil zina atau anak yang lahir diluar perkawinan yang sah.44

Akan tetapi dalam Islam tidak mengenal istilah anak zina, melainkan dengan istilah anak luar kawin sebagaimana dalam kententuan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam. Bagi anak yang lahir

42 Volmar, 1982, Pengantar Studi Hukum Perdata, Penerbit Balai Pustaka. Jakarta. Hal.1310.

43 Muhamad Jawad, 1996, Fikih Lima Mazhab, Penerbit Lentara. Jakarta. Hal.383

44 Ibid.

(14)

diluar perkawinan yang sah hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya.45

Perkawinan siri meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum. Oleh karena itu, perempuan yang dikawin siri oleh seorang laki-laki tidak mungkin memperoleh kutipan akta nikah dari KUA. Dianggap tidak sah, kawin siri pada umumnya sangat banyak merugikan bagi para isteri dan perempuan pada umumnya, termasuk anak-anak yang diperoleh dari perkawinan secarasiri tersebut.

Dalam prespektif hukum positif, terutama dalam pengaturan undang-undang perkawinan mengenai kedudukan anak diatur dalam ketentuan Pasal 42 sampai dengan Pasal 44. Secara hukum anak dapat disebut sebagai anak yang sah menurut hukum adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan46yang sah atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah yang dilakukan dengan menurut agama dan kepercayaan serta dicatatkan oleh pegawai pencatatan perkawinan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut ketetntuan Pasal 43 ayat (1) menyatakan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) Kedudukan anak

45 Pasal 100 Kompilasai Hukum Islam

46 Sebagaimana bunyi Pasal 42 yakni “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

(15)

tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”.47

Sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan siri menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan, yakni: Pertama, status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Artinya anak tidak mempunyai hubungan terhadap ayahnya (pasal 42 dan 43 UU Perkawinan) dan Pasal 100 KHI. Di dalam akta kelahirannya statusnya dianggap sebagai anak luar kawin, dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar kawin dan tidak tercantumnya nama ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi anak dan ibunya. Kedua, ketidak jelasan status anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut bukan anak kandungnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa status anak dalam hukum Islam pada prinsipnya sama sebagaimana diatur dalam KHI demikian pula dalam Undang-Undang Perkawinan. Akan tetapi pasca adanya putusan Mahkamah Konstiusi nomor perkara 46/PUU- VIII/2010 yang mengabulkan uji materi pasal 43 ayat (1) Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menjadi landasan utama dalam menyikapi perlakuan diskriminatif pada anak-anak yang

47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(16)

dilahirkan di luar perkawinan yang sah, dan memberikan kepastian hukum dalam melindungi anak.

Sebagaimana dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi nomor perkara 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan:

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.48

Dengan demikian, secara hukum seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ayahnya ibunya, akan tetapi juga mempunyai hubungan perdata ayah dan keluarga ayahnya yang mampu dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan alat bukti lain. Makna hubungan perdata seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan dengan ibu dan ayah keluarganya keluarganya dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara orang perorang atau antara kedua belah pihak atau lebih, dalam hal ini hubungan timbal balik antara orang tua dengan anaknya dan antara anak dengan orang tuanya. Adanya hubungan keperdataan dapat menimbulkan

48 Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 46/PUU-VIII/2010

(17)

adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, dan antara anak dengan orang tuanya.

c. Pembagian Harta Kekayaan Dalam Perkawian Siri.

Dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 35 telah membedakan harta perkawinan atas; ”harta bersama”, “harta bawaan“

dan “harta perolehan”.

Harta bersama (harta gono gini) yakni harta yang diperoleh selama perkawinan baik oleh suami maupun istri yang penguasaannya berada di dalam kekuasaan suami dan istri secara bersama-sama, sehingga penggunaannya harus dilakukan dengan persetujuan kedua pihak. Harta bawaan adalah harta yang di bawa masing-masing suami atau istri sebelum terjadinya perkawinan, harta bawaan tersebut berada di bawah penguasaan masing-masing suami dan istri. Harta perolehan adalah harta yang diperoleh suami atau istri selama masa perkawinan yang berupa hadiah atau hibah atau waris, masing-masing suami dan istri memiliki hak sepenuhnya terhadap harta yang diperolehnya dari hadiah, warisan maupun hibah.49

Sebuah perceraian menimbulkan akibat terhadap harta kekayaan dalam perkawinan, baik terhadap harta bawaan, harta bersama maupun harta perolehan berdasarkan hukumnya masing-masing. Secara umum, apabila tidak ada perjanjian perkawinan terhadap harta perkawinan maka sebuah perceraian akan mengakibatkan : Terhadap harta bersama di bagi dua sama rata diantara suami dan istri (gono-gini) Terhadap harta

49 Hendarawan, 2012, Hak Gono Gini Untuk Istri Siri, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Penyuluhan Hukum dan Bantuan Hukum, Jakarta. Hal. 4

(18)

bawaan; menjadi hak masing-masing istri dan suami yang membawanya kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan Terhadap harta perolehan; menjadi hak masing-masing istri dan suami yang memperolehnya kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.50

Penjelasan harta di atas adalah apabila pernikahan yang dicatatkan tetapi apabila pernikahannya tidak dicatatkan pada negara atau pernikahan siri maka secara hukum tidak berdampak terhadap harta dalam pernikahan siri tersebut termasuk harta gono-gini artinya secara hukum di dalam pernikahan siri tidak ada harta gono-gini dan tidak ada pembagian harta gono-gini.

3. Upaya Untuk Menjadikan Pernikahan Siri Menjadi Perkawinan yang Sah.

Dalam praktik pernikahan siri, mengingat status perkawinannya yang dianggap tidak pernah ada dimata hukum negara. Sehingga berdampak pada hak suami dan istri dalam hukum waris dan atau pembagian harta apabila terjadi perpisahan atau perceraian. Dalam praktik untuk dapat menjadikan perkawinan siri tersebut menjadi sah dimata hukum pada dasarnya dapat dilakukan dua upaya hukum yakni Pertama, melakukan perkawinan ulang dengan proses ijab dan kabul sesuai ketentuan yang berlaku dan kemudian dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah untuk diterbitkan Surat atau Buku Nikah sebagai legalitas adanya perkawinan. Kedua, mengajukan permohonan isbat nikah sebagaimana diatur dalam Rumusan Kamar Agama, melalu Surat Edara Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 yang mengatur bahwa prinsipnya nikah siri dapat diisbatkan sepanjang tidak melanggar undang-undang. Ketentuan hukum penetapan isbat

50 Ibid.

(19)

nikah sama dengan kekuatan hukum akta nikah (Pasal 7 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam).51

51 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012

Referensi

Dokumen terkait

Kehidupan manusia dalam masyarakat tidak terlepas akan adanya interaksi sosial antar sesamanya. Pada dasarnya manusia sesuai dengan fitrhnya merupakan makhluk sosial

Kepercayaan bahwa orang lain akan maupun orang lain; keyakinan diri yang tinggi.. memberikan kritik jika tidak mencapai 2. perfeksionisme pada remaja gifted

Apakah informasi yang Bapak/Ibu peroleh dan tersedia dalam lingkup tugas dan wewenang Bapak/Ibu tersebut, bebas dari perilaku tertentu baik mengandung aspek ekonomi,

3 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota Medan Pasal 159 dan 160 dan Peraturan Walikota Medan Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rincian Tugas Pokok

Beberapa keunggulan utama dari kamera termal antara lain; (a)Perangkat tidak bersentuhan dengan objek sehingga dapat digunakan untuk mengukur suhu benda

Rencana Kerja yang disingkat Renja mempunyai fungsi penting dalam sistem perencanaan daerah, hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004

Karena itu, HTI memainkan dua sayap dalam setiap aktivitas dan gerakannya yakni sayap dakwah dan sayap politik.Artinya semua aktivitas dakwah mempunyai unsur

Dalam rangka mencapai sasaran pengobatan yang baik, maka diperlukan insulin dengan karakteristik insulin menyerupai orang sehat(insulin fisiologis), yaitu kadar insulin