• Tidak ada hasil yang ditemukan

RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

JENIS RAPAT : RDPU I TANGGAL: 26 JANUARI 2011

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

(2)

BELUM DIKOREKSI

RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Masa Persidangan Tahun Sidang Sifat

Jenis Rapat Hari / Tanggal Waktu Tempat

Ketua Rapat Sekretaris Rapat Acara

Hadir

: : : : : : :

: : :

: III

2010-2011 Terbuka

Rapat Dengar Pendapat Umum dengan para Pakar Rabu, 26 Januari 2011

Pukul 10.27 WIB s.d. 13.15 WIB Ruang Rapat Pansus C

Gedung Nusantara II DPR RI, Lantai 3 Jl. Jend. Gatot Subroto – Jakarta SUTJIPTO, S.H., M.KN.,

ENDANG SURYASTUTI, S.H., M.Si.

Masukan/tanggapan dari Pakar

- Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, SH., MH - Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH

- Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra

terhadap RUU tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan.

A. Pimpinan Pansus RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan :

1. SUTJIPTO, S.H., M.KN./Fraksi Partai Demokrat;

2. DR. H. DEDING ISHAK, S.H., M.H./Fraksi Partai Golkar;

3. RAHADI ZAKARIA/Fraksi Partai PDIP;

B. Anggota Pansus RUU tentang PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Fraksi Partai Demokrat:

4. DIDI IRAWADI SYAMSUDDIN, SH, LLM 5. H. HARRY WITJAKSONO

Fraksi Partai Golongan Karya:

6. NURUL ARIFIN, S.IP, M.Si 7. Drs. TAUFIQ HIDAYAT, M.Si

8. H. ANDI RIO IDRIS PADJALANGI, SH., M.Kn 9. Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA, MM

(3)

Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia:

10. ASDY NARANG

11. EVA KUSUMA SUNDARI 12. ARIF WIBOWO

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera:

13. DRS. AL MUZAMMIL YUSUF 14. BUKHORI YUSUF

Fraksi Partai Amanat Nasional:

15. DRS. H. RUSLI RIDWAN, M.Si 16. H. JAMALUDDIN JAFAR, SH

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan:

17. H. MUHAMMAD ARWANI THOMAFI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa : 18. MUH. HANIF DHAKIRI

Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya:

19. RINDOKO DAHONO WINGIT, SH, M.Hum Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat:

- C. Undangan

- PROF. Dr. I GDE PANTJA ASTAWA, SH., MH - PROF. Dr. B. ARIEF SIDHARTA, SH

- PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA

(4)

Jalannya Rapat:

KETUA RAPAT (SUTJIPTO):

(RAPAT DIBUKA PUKUL 10.27 WIB) Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Salam sejahtera bagi kita semuanya

Yang saya hormati Saudara Pimpinan dan Anggota Pansus,

Yang saya hormati Saudara Prof.Dr. Yusril Ihza Mahendra, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa dan Prof.

Dr. P. Arif Sidharta.

Hadirin yang berbahagia,

Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunianya kepada kita semuanya sehingga kita bisa menghadiri pertemuan rapat dengar pendapat umum pada hari ini dalam keadaan sehat wal’afiat.

Sesuai dengan acara maka pada hari ini Pansus mengundang rapat dengan pendapat umum untuk mendapatkan masukan-masukan dari para narasumber atas RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Untuk itu sebelumnya kami melanjutkan rapat, perkenankanlah kami menyampaikan acara rapat pada hari ini sebagai berikut; (1) pengantar ketua rapat sebagaimana yang telah disampaikan, (2) penjelasan dari narasumber, (3) tanya jawab, penutup.

Rapat ini akan berlangsung sampai dengan pukul 12.00 WIB namun apabila masih ada hal yang belum didiskusikan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan rapat. Apakah acara rapat dan waktu yang kami bacakan tadi dapat disepakati?

(RAPAT: SETUJU) Terima kasih.

Sebelumnya kami sampaikan kepada narasumber bahwa saya kira tidak asing lagi khususnya bagi Prof. Dr. Yuhzril yang juga pernah jadi anggota DPR. Kebetulan memang hari ini memang kegiatan hari Rabu ini ada rapat-rapat Komisi, Baleg, kemudian juga ada Timwas Century sehingga memang anggota tidak bisa sepenuhnya hadir sehingga bisa keluar masuk. Akan tetapi pimpinan kami siap dan juga kami ada tenaga ahli sehingga masukan-masukan dari para narasumber meskipun anggota kita kurang hadir akan tetap kita catat semuanya, kita dengarkan dan menjadi bahan yang sangat berharga dalam rangka kami membahas RUU biasanya kita sebut P3.

Undang-undang 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang memberikan pengetahuan mengenai teknis penyusunan dan kerangka peraturan perundang-undangan sehingga diharapkan dapat mengarahkan dan menjadi pedoman yang menjadikan adanya ketertiban dalam bentuk dan format pembentukan peraturan perundang-undangan baik ditingkat pusat maupun daerah. namun dalam pelaksanaan terhadap kelemahan dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, dengan adanya beberapa kelemahan tersebut maka perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 agar dapat menyeelsaikan permasalahan yang ada. beberapa permasalahan yang ada yang perlu ditanyakan kepada narasumber adalah:

1. Hirarki perundang-undangan

2. Pengesahan perjanjian internasional 3. Penguatan Prolegnas dan Prolegda 4. Pengundangan

5. Perananan instansi vertikal

6. Tenaga perancang perundang-undangan 7. Pembatalan peraturan daerah (Perda) 8. Status ketetapan MPR/MPRS

(5)

Untuk mempersingkat waktu kami persilakan pertama kali kepada Prof.Dr. Yusril Ihza Mahendra untuk menyampaikan saran dan masukannya. Kami persilakan Prof.

PAKAR (PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA):

Terima kasih Saudara Pimpinan.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Saudara Pimpinan, Pak Gde Pantja, Pak Arif Sidharta, Hadirin, hadirat yang saya muliakan

Saya berterima kasih karena hari ini saya diberikan kesempatan untuk menyampaikan pokok- pokok pikiran, masukan dan sumbang saran terhadap rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang sedang dipersiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat revisi atau mengubah ketentuan-ketentuan sebagaimana tertuang di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Saya baru menerima bahan-bahan ini kemarin sehingga saya tidak sempat menelaah dengan mendalam. Dan mungkin masukan saya mengenai hirarki peraturan perundang-undangan, salah satu masalah yang mungkin kita anggap paling krusial didalam pengaturan di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai Peraturan Perundang-undangan.

Saya masih ingat betul waktu menyusun Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 ini dalam keadaan yang tergesa-gesa, waktu yang sangat pendek sehingga meskipun Undang-undang ini selesai dibahas dan kemudian disetujui bersama oleh Presiden dan DPR dan disahkan menjadi Undang-undang namun seperti tadi disampaikan oleh Saudara Ketua bahwa Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu setelah dipraktekan selama enam atau tujuh tahun banyak sekali kekurangan-kekurangannya sehingga memang pantaslah kalau ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu kita adakan perbaikan- perbaikan disana sini, bahkan kalau memang perubahan itu sangat besar mungkin bisa kami ganti dengan satu undang-undang yang baru.

Seperti kita ketahui bersama di dalam sejarah ketatanegaraan kita, sejarah perundang-undangan kita sudah berapa kali kita merumuskan hirarki peraturan perundang-undangan yang ada di negara kita ini.

baik dalam bentuk memorandum DPR-GR pada tahun1967 kemudian dengan ketetapan Majelis Permusyawartan Rakyat, kemudian juga terakhir sekali adalah setelah amandemen Undang-undang Dasar dinyatakan di dalam Undang-undang Dasar kita bahwa hal-hal terkait dengan peraturan perundang- undangan itu akan dituangkan dalam undang-undang dan lahirlah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan yang didalamnya secara eksplisit juga mengatur tentang hirarki peraturan perundang-undangan.

Di dalam term of reference yang disampaikan kepada kami, masalah hirarki peraturan perundang- undangan itu menempati urutan yang pertama kita bahas, kita diskusikan bersama-sama mengingat kelemahan-kelemahan yang ada di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 baik di dalam teori maupun di dalam praktek pelaksanaan selama adanya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu.

Memang Undang-undang Dasar secara terbatas hanya menyebutkan Undang-undang Dasar, Undang-undang Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang dan kemudian Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.

Bagaimanakah status dari berbagai bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan yang pernah ada di dalam sejarah ketatanegaraan kita, mempunyai kita warisi dari jaman kolonial Belanda dahulu yang berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar 1945 peralihan dahulu masih dinyatakan berlaku, belum diadakan perubahan atau penggantian dengan ketentuan-ketentuan yang baru. Kalau kita berpikir secara kaku tentu bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan ialah apa yang ada di dalam Undang-undang Dasar, Undang-undang Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, dan peraturan Pemerintah kita tidak mengenal bentuk-bentuk peraturan perundangan yang lain selain yang disebutkan dalam konstitusi kita. Namun dalam prakteknya kita menemukan lahirnya beberapa bentuk peraturan perundang-undangan yang diterima didalam praktek didasarkan juga atas keutuhan dan memang seharusnyalah demikian karena tidak mungkin negara itu berjalan pemerintahan itu tanpa bekerja secara efektif tanpa lembaga- lembaga pemerintahan itu dapat menjalankan kekuasaan, tugas dan wewenang yang ada pada mereka yang harus didasari dengan suatu peraturan perundang-undangan, ketentuan atau kaidah hukum yang dituangkan didalam peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang ada didalam

(6)

pemerintahan itu maupun lembaga-lembaga lain yang berada diluar eksekutif Pemerintah yang sebenarnya juga memerlukan berbagai ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan yang harus dituangkan dalam suatu bentuk peraturan yang dapat kita katakan sebagai peraturan perundang-undangan atau sebuah peraturan kebijakan misalnya aturan-aturan yang dibuat oleh Bank Indonesia sebagai contoh atau peraturan-peraturan yang dibuat oleh institusi-institusi lain yang berada di luar Pemerintah seperti misalnya peraturan Tata Tertib DPR, DPD, MPR dan sebagainya yang semuanya itu dalam praktek ada didasarkan atas keutuhan untuk melaksanakan tugas dan wewenang tapi menimbulkan pertanyaan dimanakah letak dari bentuk peraturan perundang-undangan itu didalam tata hukum kita khususnya di dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang kita kenal di negara kita ini.

Karena itu saya berpendapat bahwa meskipun Undang-undang Dasar secara legitatif hanya menyebutkan empat bentuk peraturan perundang-undangan, Undang-undang Dasar kalau kita anggap peraturan perundang-undangan ya, undang-undang, Perpu, dan Peraturan Pemerintah, namun tidak mungkin negara ini dapat berjalan dengan baik dan sempurna kalau kita hanya membatasi peraturan pada empat bentuk peraturan perundang-undangan ini. Karena itu apa yang ada tumbuh di dalam praktek kita pelihara sepanjang itu kita anggap bermanfaat berguna di dalam menjalankan roda pemerintaha negara tapi kita harus menempatkan dimanakah letak bentuk peraturan perundang-undangan di dalam sistem hukum kita dan juga di dalam hirarki peraturan perundang-undangan kita khususnya apabila timbul pertanyaan-pertanyaan dalam penerapan hukum, yang manakah yang harus berlaku sehingga terdapat perbedaan-perbedaan pengaturan atau bahkan pertentangan pengaturan-pengaturan katakanlah dengan peraturan daerah dan peraturan menteri dalam satu peraturan bupati misalnya dengan peraturan gubernur dengan peraturan menteri dalam negeri sementara peraturan-peraturan seperti ini tidak disebutkan dalam Undang-undang Dasar kita.

Karena itu menurut pendapat saya tentu tidak dapat secara legitatif seperti yang dirumuskan juga di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 maupun di dalam rancangan undang-undang sekarang ini tentang hirarki peraturan perundang-undangan seperti yang diatur dalam Bab III Pasal 7 dalam rancangan undang-undang yang kita bahas sekarang ini. Kalau kita mau baca Pasal 7 memang disebutkan Undang- undang Dasar Republik Indonesia, peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, peraturan Pemerintah, peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Sedangkan yang lain-lain seperti yang dikemukakan di dalam term of reference disebutkan misalnya dimana letak dari peraturan presiden, dimanakah letak dari peraturan menteri dan dimanakah letak dari peraturan menteri dan dimanakah hirarkinya dalam kaitan dengan peraturan-peraturan lain seperti peraturan daerah dan provinsi maupun peraturan daerah kabupaten/kota.

Harus kita pikirkan dengan lebih seksama dimanakah kita harus menempatkan peraturan-peraturn ini secara hirarkis, artinya kita tidakbisa juga mengatakan ini tidak perlu ada. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu mencoba untuk lebih moderat menghadapi situasi konkrit yang diwarisi oleh pemerintahan baik oleh pemerintahan Presiden Soeharto maupun pemerintahan Presiden Soekarno sehingga pada waktu itu Pemerintah mengajukan, minta maaf saya sendiri pada waktu itu membedakan secara tegas antara apa yang namanya keputusan presiden, peraturan presiden dan kemudian instruksi presiden.

Di masa Presiden Soekarno itu dulu ada namanya penetapan presiden atau Pepres tapi dimasa Presiden Soeharto tidak dipakai lagi tapi digunakan istilah keputusan presiden. Keputusan presiden pada waktu itu agak rancu, ada keputusan presiden yang sifatnya itu mengangkat seseorang personil, seseorang dalam suatu jabatan tapi ada juga keputusan presiden yang bersifat pengaturan bahkan pengaturan itu baik di perintahkan suatu program atau oleh peraturan Pemerintah atau bahkan memang Presiden Soeharto dulu mengeluarkan suatu keputusan presiden (Kepres) yang isinya kalau kita telaah itu sudah sepantasnya itu diatur dengan sebuah undang-undang. Bahkan di Universitas Indonesia pada waktu itu ada satu distertasi doktor yang sangat kontroversial dari 40 profesor mengenai keputusan presiden yang berdasarkan…yang mengatakan memang presiden itu sebagai penjelmaan, kalau MPR penjelmaan rakyat, rakyat telah memberikan mandat kepada presiden maka presiden itulah sebenarnya dalam prakteknya dia adalah penjelmaan rakyat Indonesia dan karena itu dia bisa mengeluarkan, luar biasa disertasinya, betul-betul kontroversial. Tapi belakangan kita tidak menganut paham seperti itu lagi dan tidak sedikit yang menyebutkan presiden itu punya kewenangan-kewenangan yang bisa mengeluarkan kepres- kepres.

Menyadari kelemahan-kelemahan itu maka ketika kita memasuki era yang baru kita seperti tertuang didalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu disebutkan secara tegas apa yang dimaksud dengan peraturan presiden itu adalah sebuah peraturan yang bersifat normatif, sedangkan keputusan presiden semata-mata bersifat pengangkatan atau bersifat ya jadi bersifat penetapan dan sekali selesai

(7)

walaupun dalam prakteknya masih timbul kerancuan seperti keadaan satgas anti mafia hukum seperti sekarang ini. Itu dibentuk oleh instruksi Presiden tapi mengangkat orang tapi didalamnya berisi tentang pengaturan tugas dan kewenangan dari satgas anti mafiahukum itu karena bentuk peraturannya adalah keputusan presiden dan ketika diuji material ke Mahkamah agung, Mahkamah Agung mengatakan ini keputusan presiden, keputusan presiden itu tidak bisa diuji di Mahkamah Agung karena bukan pengaturan.

Tapi sebenarnya mengangkat orang tapi didalamnya ada pengaturan itupun yang sebenarnya mengangkat orang tapi dalamnya ada perangkat itupun yang sebenarnya adalah bahwa pembentukan lembaga seperti itu mengacu kepada Undang-undang 10 Tahun 2004 dibentuk dengan peraturan Presiden pembentukan lembaganya, institusinya, orang-orangnya Deny Prayana, dan lain-lain itu diangkat dengan keputusan Presiden yang benarnya itu seperti, tapi karena di Mahkamah Agung itu uji materiil, jadi materi Kepres itu mau diuji dengan undang-undang terus ditolak oleh Mahkamah Agung dengan alasan Mahkamah Agung tidak berwenang menguji sebuah keputusan Presiden melainkan menguji sebuah peraturan Presiden, jadi memang agak akal-akalan begitu bentuknya. Tapi lain ceritanya kalau sekiranya mungkin kepada Mahkamah Agung diadakan bukan uji materiil tapi uji formil, apakah kalau begini bentuk pengaturannya bisa tidak dicantumkan dalam sebuah keputusan presiden, barangkali akan lain keputusan mahkamah Agung.

Kemudian bagi kita sekarang ini yang penting didalam ketentuan yang baru Bab III Pasal 7 ini yang sudah menghilangkan Peraturan Presiden dengan alasan tidak disebutkan dalam Undang-undang Dasar, tapi saya tetap menanggap bahwa Peraturan Presiden tetap perlu bahkan juga ada peraturan menteri atau peraturan lembaga-lembaga pemerintahan seperti katakanlah peraturan Kapolri, Peraturan Jaksa Agung misalnya atau juga itu peraturan dari lembaga-lembaga negara yang berada diluar eksekutif yang memang dalam praktek akan tetap ada Cuma kita harus tempatkan dimana posisinya. Posisinya ini apakah kita mengatakan bahwa peraturan pemerintah dan kemudian secara terperinci kita katakan didalam peraturan Pemerintah ini juga termasuk didalam adalah bukan peraturan pemerintah, bukan peraturan presiden juga peraturan dari organ-organ atau lembaga-lembaga……pusat yang lain yag juga sebenarnya melahirkan membentuk suatu bentuk peraturan perundang-undangan. Jadi dengan demikian dapat menghimpun peraturan menteri, peraturan direktur jenderal dan sebagainya yang kalau tidak boleh mengeluarkan peraturan tidak bisa jalan juga tapi kalau boleh lantas tempatnya harus dimana jadi harus ada cantolannya juga dalam ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ini. Itu pertama nanti kalau terjadi tabrakan antara peraturan Menteri dengan Peraturan daerah, saya kira dibidang kehutanan itu banyak sekali tabrakan- tabrakan antara Peraturan Menteri Kehutanan dengan Peraturan dari Perda-perda yang mengatur tentang pemanfaatan hutan di daerah-daerah yang sebenarnya bersumber dari kerancuan yang terjadi pada masa transisi berlakunya Undang-undang 22 Tahun 1999 dahulu tentang Pemerintahan Daerah, dan sampai sekarang konflik peraturan itu masih ada dan masih belun terselesaikan sementara terjadinya konflik pengaturan di bidang kehutanan ini sebagai suatu contoh memang menghambat kegiatan-kegiatan investasi atau kegiatan-kegiatan masyarakat di daerah itu dalam rangka memanfaatkan hutan di daerahnya. Begitu juga sebenarnya dengan ketentuan-ketentuan yang lainnya.

Jadi keberadaan peraturan-peraturan itu perlu dan saya menyarankan dirumuskan di dalam ketentuan Pasal 7 ini bukan di dalam penjelasannya karena dulu pada waktu kami menyampaikan rancangan Undang-undang 10 Tahun 2004 ini tegas kita katakana bahwa penjelasan itu tidak bisa mengandung sebuah norma. Penjelasan itu hanya menjelaskan dogma yang ada di dalam pasal itu supaya memudahkan kita memahami apa yang tertuang di dalam pasal. Tidak bisa penjelasan itu mengandung satu norma sendiri. In misalnya kita lihat dalam undang-undang 38 atau 34 ya tentang Pajak dan Retribusi Daerah tahun 2009 yang disahkan oleh DPR dan Presiden itu banyak sekali kerancuan-kerancuan karena pasalnya mengandung ini tapi kemudian penjelasannya itu memberikan pengaturan sendiri, mengatur suatu norma. Jadi lebih baik kita pegang saja yang sudah ada di dalam ketentuan Undang-undang 10 Tahun 2004 bahwa yang mengatur norma hanya di dalam pasal, penjelasan tidak boleh mengandung norma apalagi penjelasan itu mengandung norma yang bertentang dengan norma yang ada di dalam pasalnya. Jadi kadang-kadang kita escape begitu, oh kita bikin saja Peraturan Presiden ada disini nanti dalam penjelasan kita sebutkan ada peraturan gubernur, peraaturan menteri, kalau kita konsisten sebenarnya penjelasan tidak boleh mengandung norma apapun maka dia harus dituangkan didalam pasal 7 ini, dimanakah letak peraturan presiden, peratuan menteri, peraturan gubernur, peraturan bupati, walikota dan sebagainya. Jadi dia katakan sebagai satu rumpun aturan kebijakan Pemerintah dalam jajaran eksekutif.

Kemudian hal-hal yang terkait dengan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan saya kira saya sepaham dengan ini dan kelihatannya mengandung jiwa yang sama dengan Undang-

(8)

undang Nomor 10 Tahun 2004 yaitu menempatkan Kementerian Hukum dan HAM sekarang ini secara implisit meskipun ini adalah Kementerian yang mengurusi masalah hukum untuk menjadi koordinator atau menjadi center dalam penyusunan peraturan perundang-undangan pada internal Pemerintah, karena disini memang spesifik dalam menyusun peraturan perundangan-undangan ditingkat undang-undang maupun di tingkat yang lain. Dan itu saya kira itu sudah dimulai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang menempatkan Kementerian Hukum dan HAM menjadi center dalam segala kegiatan perancangan sampai pengundangan dan pendokumentasiannya. Kami pada waktu itulah pertama kali pengudangan itu tidak lagi dilakukan oleh Menteri Sekretaris Negara jadi pengundangannya itu mulai kami alihkan ke Kementerian Hukum dan HAM saya kira tentu di tahun 2004 dan sampai sekarang demikian sehingga peranan dari Sekretariat Negara dalam proses perumusan rancangan peraturan perundang-undangan itu memang dilakukan sedemikian minimalnya, itu pengalaman saya dan kebetulan saya minta maaf saya pernah menjadi Menteri Kehakiman terus jadi Menteri Sekretaris Negara nyambung begitu saya bilang, konsisten pokoknya Setneg jangan terlalu banyak ikut campur urusan materi-materi peraturan perundang-undangan ini. Tugas sekretaris negara hanyalah administratif membaca itu dan menyampaikan kepada presiden, dan… kewenangan kita serahkan seluruhnya kepada Sekretariat Negara walaupun biasalah pada prakteknya orang dikasih kekuasaan sedikit terus dia besar-besarkan kekuasaannya. Itu bisa terjadi tapi saya pikir semangat dari RUU ini bagus artinya Pemerintah itu satu pintu, tidak hanya pada tingkat Undang-undang dan peraturan pemerintah bahkan kalau perlu sebenarnya peraturan-peraturan yang lain itu di bawah koordinasi dan supervisi dari Kementerian Hukum dan HAM. DPR karena memang satu yang lebih mudah tentunya karena seluruh proses perancangan perundang-undangan akan dimulai dan bermuara di Badan Legislasi DPR.

Saya kira itulah pokok-pokok yang saya sampaikan, minta maaf semuanya bisa central, undang- undang, mudah-mudahan tidak sekali ini saja kapan-kapan waktu kita bisa bertemu lagi untuk mendiskusikan hal-hal tentang pembahasan ini. Mungkin nanti Pak Arif dan Pantja akan lebih dalam menyampaikan pokok-pokok pikiran. Terima kasih Saudara Ketua.

KETUA RAPAT:

Terima kasih Prof. Yusril Ihza Mahendra.

Selanjutnya kami persilakan kepada Prof. Dr. Pantja Astawa untuk menyampaikan saran dan masukan-masukannya kepada kita semua. Silakan Prof.

PAKAR (PROF. DR. I GDE PANTJA ASTAWA):

Baik, terima kasih Saudara Ketua.

Anggota Pansus yang saya hormati,

Dan juga Prof. Yusril dan Prof. Arif Sidharta,

Sebetulnya tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan Prof. Yusril tadi berkaitan dengan beberapa tambahan yang ingin saya sampaikan disini. Jadi dari agenda-agenda permasalahan yang diajukan kepada saya juga kepada teman-teman yang lain, saya ingin berbagi kavling saja,tidak seluruhnya saya respon, hanya beberapa yang saya anggap penting.

Yang pertama, tadi dari Profesor menyinggung apakah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 ini direvisi atau, kalau mengacu pada RUU yang ada ini tegas bahwa Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu akan diganti baik dibaca dari konsideran menimbang maupun di dalam jumlah pasal. Banyak sekali perubahan-perubahan pasal disebutkan hampir dua kali lipat saya baca saya bandingkan antara Undang- undang Nomor 10 Tahun 2004 dengan rancangan undang-undang yang ada. persoalannya bukan terletak apakah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 ini direvisi ataukah diganti, barangkali alasan-alasan reasoningnya kenapa Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 ini diganti. Kalau boleh saya katakan didalam bahwa didalam konsideran menimbang tidak mereferensikan alasan-alasan kenapa Undang- undang Nomor 10 Tahun 2004 itu perlu diganti sekurang-kurangnya dari tiga landasan yang sama-sama kita ketahui artinya mencerminkan tiga landasan utama; landasan yuridis, sosiologis dan filosofis. Karena itu saya usulkan silakan nanti dipertimbangkan biar nampak jelas apa revisinya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu diganti. Saya garis bawahi tiga inti mengapa direvisi. Secara tertulis tadi sudah saya sampaikan apakah sudah ada pertanyaan, apakah diijinkan untuk dibacakan Pak Ketua.

(9)

KETUA RAPAT:

Kami persilakan.

PAKAR (PROF. DR. I GDE PANTJA ASTAWA):

Ini hanya saran saya saja.

Dalam konsideran menimbang saya rumuskan demikian:

a. Bahwa ketentuan Pasal 22a Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.

b. Bahwa dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 22a Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan peraturan perundang-undangan yang baik perlu dibuat undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semual lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan.

c. Bahwa Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku selama ini memiliki banyak kekurangan dan tidak dapat menampung perkembangan pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga perlu diganti.

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu membentuk undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Sekali lagi ini hanya saran, silakan saja dipertimbangkan.

Yang kedua, yang ingin saya sampaikan disini adalah berkenaan dengan rumusan atau batasan pengertian peraturan perundang-undangan, ini penting untuk bisa membedakan atau biar tidak menimbulkan kebingungan atau kesalahpahaman antara mana yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan, mana yang seakan-akan peraturan perundang-undangan padahal bukan. Karena dalam praktek seringkali saya jumpai di kalangan aparatur pemerintahan, belum lama juga kawan-kawan yang ada di DPRD-DPRD Kabupaten/kota sulit sekali membedakan mana yang peraturan perundang- undangan dan mana yang bukan. Mana yang dimaksud dengan restorikal dan mana beshiking mereka campur adukan. Mereka betapa pentingnya merumuskan pengertian peraturan perundang-undangan dalam rancangan undang-undang ini agar menjadi clear Pak sehingga tidak menimbulkan kebingungan di sana sini.

Saya mengutip beberapa pendapat para pakar. Memang pendapat para pakar ini satu sama lain berbeda sudut pandang artinya ini membuktikan bahwa betapa tidak mudah merumuskan satu pengertian peraturan perundang-undangan yang clear yang bisa mewakili atau yang representatif menggambarkan apa sebetulnya pengertian peraturan perundang-undangan yang utuh, yang baik. Tapi sekurang- kurangnya dari beberapa pendapat pakar yang saya kutip disini saya temukan beberapa ciri yang nanti pada akhirnya dari ciri-ciri yang ada ini bisa lahir sebuah rumusan, pengertian peraturan perundang- undangan.

Ciri yang dimaksud adalah pertama, peraturan perundang-undangan berupa keputusan atau peraturan tertulis. Jadi dia mempunyai bentuk untuk formatan. Yang kedua, dia dibuat, dibentuk atau ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

yang ketiga, peraturan perundang-undangan tersebut berisi aturan pola tingkah laku. Jadi peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur, tidak bersifat sekali jalan. Tadi Prof. Yuzri menyinggung sebagai internal dengan beshiking atau sifatnya sekali jalan. Yang keempat, peraturan perundang- undangan yang mengikat secara umum karena ditujukan kepada umum, tidak ditujukan kepada seseorang atau individu tertentu.

Dari ciri-ciri ini yang saya sarikan dari pendapat para pakar saya cobakan tawarkan peraturan perundangan-undangan meskipun di dalam rancangan undang-undang itu sudah ada, barangkali bisa dipertimbangkan rumusan pengertian peraturan perundang-undangan yang saya sampaikan berikut ini adalah peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga Negara ataupun siapa yang berwenang menurut prosedur yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan serta mengikat umum. Jadi kalau kata kunci untuk bisa membedakan dengan peraturan yang bukan peraturan perundang-undangan adalah dilihat dari sifat dan kekuatan mengikatnya kepada public. Kata kuncinya ada disini sebetulnya, ini saya tawarkan, silakan nanti dipertimbangkan.

(10)

Sekali lagi ini pentingnya untuk bisa memberikan suatu kepastian sehingga mereka-mereka yang membaca itu bisa memahami, bisa membedakan.

Maka sekali lagi saya perlu sampaikan di dalam praktek sering sekali yang dibikin orang edan di daerah terutama dari kalangan aparatur pemerintah itu dengan terbitnya SE, yang sering saya pelesetkan dengan surat edan. Bahkan barangkali Bapak-bapak pernah mendengar saudara-saudara kita yang jadi wakil rakyat di daerah Sibolga Sumatera Utara didakwa dengan tuduhan melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan SE, begitu. Inikan sudah penegak hukum tidak paham, dia pikir SE itu peraturan perundang- undangan. Itulah sebabnya kenapa saya sering agar di dalam melahirkan nanti rancang undang-undang yang akan digodok akan disetujui, pengertian peraturan perundang-undangan harus clear sehingga ada satu kepastian. Syukur-syukur dia memperoleh suatu gambaran yang utuh sehingga tidak bisa ditafsirkan lain. Itu yang kedua.

Yang ketiga, saya sangat sependapat dengan Prof. Yusril tadi yang berkenaan dengan jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan. Persoalan utama disini menurut saya, nanti silakan Bapak- bapak dan Ibu-ibu yang ada yang duduk di Pansus ini, sepanjang legalitasnya adalah Undang-undang Dasar 1945 maka persoalan utamanya terletak pada apakah macam-macam atau jenis-jenis peraturan perundang-undangan yang akan diatur hanya terbatas apa yang secara eksplisit disebutkan dalam Undang-undang Dasar 1945 atau lebih luas lagi. Kalau membaca rancang undang-undang yang ada terutama Pasal 7 nampaknya di dalam rancang undang-undang ini memahami atau mengartikan jenis dan macam peraturan perundang-undangan itu hanya terbatas pada jenis atau macam peraturan perundang- undangan yang secara eksplisit dinyatakan atau disebut dalam Undang-undang Dasar 1945 sehingga hirarkinya menjadi yang paling atas adalah Undang-undang Dasar 1945, dibawahnya adalah undang- undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu), dibawahnya adalah peraturan pemerintah dan dibawah lagi peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Kalau dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasal 7 disitu ada jenis peraturan yang disebut dengan peraturan presiden menjadi hilang di dalam rancangan undang-undang yang sekarang ini.

Artinya saya simpulkan bahwa di dalam rancangan undang-undang itu hanya menterjemahkan jenis atau macam peraturan perundang-undangan itu hanya terbatas eksplisit disebut. Persoalannya tergantung nanti kesepakatannya disini apakah hanya semata-mata hanya terbatas secara eksplisit ataukah lebih luas dalam arti tidak hanya eksplisit, juga yang implisit. Sekurang-kurangnya untuk memberi legalitas bagi keberadaan peraturan yang diterbitkan oleh presiden sebagai kepala pemerintah. Kenapa? Saya coba sampaikan pandangan atau pendapat dari pendapat pakar yang sebelumnya saya kutip misalnya tadi dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan; “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar.” Ketentuan Pasal 4 ini mengandung makna bahwa Presiden adalah kepala pemerintahan atau chief of government. Pertanyaannya sekarang apa yang dimaksud dengan kekuasaan pemerintahan menurut Pasal 4 ini.

Disini saya kutip pendapat Jellinek yang berpendapat bahwa pemerintah mengandung makna dua segi pemerintah dalam bentuk formal dan materiil. Pemerintah dalam arti formal mengandung kekuasaan mengatur dan kekuasaan memutus. Dan pemerintah dalam arti materiil berisi unsur memerintah dan melaksanakan. Berdasarkan pendapat Jellinek ini maka presiden memegang kekuasaan pemerintah menurut UUD Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 mengandung arti bahwa Presiden bertugas menyelenggarakan pemerintahan termasuk juga pengaturan sehingga di dalam menjalankan pemerintah presiden dapat membentuk peraturan perundang-undangan yang diperlukan. Oleh karena Presiden juga merupakan pemegang kekuasaan pengaturan Negara Indonesia. Fungsi pengaturan ini ini terlihat misalnya dalam pembentukan undang-undang bersama dengan DPR. Pembentukan peraturan pemerintah, pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perpu, disamping juga tentu saja pembentukan terserah nanti apa namanya putusan presiden. Kalau dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 peraturan presiden. Bisa jadi ini membedakan antara peraturan presiden yang sifatnya mengatur atau berisi pengaturan dengan keputusan presiden yang bersifat beshiking atau penetapan. Sehingga dipilihlah karena ini mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan maka dipilihlah penggunaan peraturan presiden, padahal tidak selalu di…kalau mau menggunakan istilah.

Keputusan presiden itu memang kalau dilihat secara dari luarnya kalau kita tidak membaca substansi memang sulit membedakan mana yang bersifat pengaturan, mana yang bersifat pengaturan. Tapi dalam praktek justru banyak sekali kita jumpai keputusan presiden yang bersifat pengaturan atau regeling disamping tentu saja yang bersifat beshiking seperti mengatakan seseorang dalam jabatan menteri dan seterusnya.

(11)

Jadi apapun nanti namanya tetap saya commit agar di dalam rancangan undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan ini mohon dipertimbangkan kembali dimasukan bentuk hukum dari keputusan presiden, apapun namanya nanti apakah peraturan presiden atau keputusan presiden, silakan. Saya masih tetap ingin mempertahankan menggunakan istilah Perpres saya jadi teringat pada masa pemerintahan Soekarno, disamping ada Perpres juga ada PRPS penetapan presiden, yang jelas sekali beda. PRPS atau peraturan presiden sifatnya pengaturan. PSPS penetapan presiden sifatnya beshiking, bisa mudah kita membedakan. Tapi misalnya ketika tetap dipertahankan Perpres dalam kenyataannya ada Kepres. Kepres pun dalam kenyatannya seperti tadi saya kemukakan banyak yang bersifat pengaturan. Jadi bagaimana membedakan antara peraturan presiden dengan keputusan presiden yang bersifat mengatur. Clearnya ini hanya saran dan pendapat dari saya sehingga nanti dipertimbangkan, tapi saya tetap commit bahwa jenis peraturan yang saya kemukakan mohon dipertimbangkan kembali untuk dimasukan karena ini penting nanti.

Yang berikut, saya kembali ke RUU yang ada. Saya memang sudah baca meskipun tidak sampai mendalam mengkajinya. Kita mulai dari bunyi Pasal 2, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum Negara. Pertanyaan saya sederhana, apakah rumusan pasal ini hanya sebuah literature atau sebuah pernyataan saja atau ada maknanya. Sepertinya terputus ini. Kalau hanya rumusan Pasal 2 itu hanya berbunyi Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Kok tidak ada satu keterkaitannya dengan keseluruhan pasal ini, kalau hanya dirumuskannya sebatas ini sehingga pertanyaan saya tadi apakah ini hanya sebuah literature saja, sebuah pernyataan saja padahal makna Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum itu sama-sama kita ketahui begitu dalam. Dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum maksudnya apa, apakah dia dijadikan sebuah acuan setiap kali membentuk atau membuat sebuah peraturan perundang- undangan apapun jenisnya harus tetap mengacu kepada Pansila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Kalau memang itu yang dimaksud kenapa rumusannya seperti ini? Jadi mohon biar ada hubungannya biar ada keterkaitannya dengan keseluruhan pasal yang ada dalam rancangan undang- undang terutama tentu saja berkaitan dengan jenis atau macam perundang-undangan.

Demikian juga dengan Pasal 4, ini agak membingungkan Pasal 4 ini kalau saya kaitkan dengan Pasal 3. Pasal 3 disini berbicara Undang-undang Dasar, ada tiga ayat disini. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 adalah hukum dasar. Mungkin lebih tepat adalah hukum dasar tertulis karena ada hukum dasar tidak tertulis, disini hanya hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan.

Kalau Pancasila tadi adalah sumber dari segala sumber hukum artinya Pancasila itu bukan hukum, ini adalah sumber hukum dalam arti tertulis seperti ini. Ini mohon ditambahkan “tertulis” karena disamping hukum dasar tertulis tertinggi kita jumpai apa yang disebut dengan…hukum ketatanegaraan.

Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia ditempatkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia. Ayat (3) Penempatan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 dalam lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuan. Pasal (4) “Peraturan perundangan-undangan yang diatur dalam undang-undang ini meliputi undang-undang dan peraturan perundang-undangan dibawahnya.” Berarti Undang-undang Dasar 1945 tidak termasuk di dalamnya. Kalau tidak termasuk di dalamnya buat apa dirumuskan Pasal 3, buat apa dia ada di dalam tata urutan, sebab posisinya tertinggi kalau undang-undang ini hanya mengatur peraturan perundang-undangan yang diatur dalam undang-undang ini hanya meliputi undang-undang. Kan jadi berlawan dengan Pasal 7, jadi bertentangan dengan Pasal 3 itu. Ini mohon dipertimbangkan dirumuskan ulang ini, bisa jadi maksudnya mungkin begini, kenapa? Karena pembentuk undang-undang berwenang menentukan atau mengatur tentang undang-undang, persoalannya bukan disitu. Rancang undang-undang ini hanya mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan. Dia harus clear dulu yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan apa, yang tertinggi yang ada didalam rancangan undang-undang Pasal 7, Undang- undang Dasar, sudah benar hanya disebut jenisnya. Jadi jangan sampai berarti menyebut jenis pembentuk undang-undang DPR RI ini mengintervensi masuk ke dalam kewenangan yang berkenaan dengan kewenangan membuat Undang-undang Dasar bukan ini, inikan maksudnya. Kalau boleh saya usulkan Pasal 4 didrop Pak, akan bertabrakan dengan Pasal 7.

Bab II disini judulnya asas pembentukan dan materi muatan peraturan perundang-undangan.

Bandingkan dengan Bab III judulnya, jenis, hirarki dan muatan sama, judulnya sama-sama materi muatan juga. begitu saya baca di Bab II kok ini asas semua, tidak ada urusannya dengan materi muatan. Materi muatan itu ada di Bab III. Jadi kalau bandingkan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 sudah benar di Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, judulnya asas pembentukan peraturan perundang-

(12)

undangan. Karena pasal-pasal yang ada di Bab II ini sepenuhnya bicara tentang asas. Barulah materi muatan itu ada di pasal-pasal Bab III, bicara tentang materi antaralain misalnya tentang materi muatan.

Jadi itupun didalam Bab III, jadi saya ulangi Bab II ini sebaiknya judulnya tidak demikian langsung saja asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Yang kalimat dan materi muatan dihilangkan saja. Bab III, jenis hirarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan. Sebaiknya saya usulkan sebaiknya sebagaimana lazimnya dalam penyusunan dari aspek legislatif drafting, sesudah bab, bagian, ini kok lupa kawan-kawan ini lupa. Bagian kesatu jenis dan hirarki, baru Pasal 7. Saya usulkan.

Bagian kedua, materi muatan, Pasal 8. Ini nampak sistematis, dari bab ke bagian. Mohon maaf saya terpaksa masuk ke hal yang teknis. Mumpung saya ingat daripada terlewat nanti karena saya bandingkan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Maaf coba silakan dilihat Pasal 7 ayat (4) dan (5) dalam rancangan undang-undang, ini pertanyaan saya apa hubungannya rancang undang-undang ini berbicara tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dengan ayat (4) dalam hal suatu undang- undang diduga bertentangan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, buat apa tetapkan klausul ini wong sudah jelas kok dalam Undang- undang Mahkamah Konstitusi sudah ada soal pengujian, sudah ada, buat apa masukan.

Ayat (5) juga dalam hal suatu peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang diduga bertentangan dengan undang-undang pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung, sudah ada dalam Undang-undang Mahkamah Agung. Ini salah satu kewenangan Mahkamah Agung. Saya usulkan ini sebaiknya dihilangkan dua ayat ini tidak ada urusannya, itu domainnya beda. Pasal 8 materi muatan, dipertimbangkan kembali disini hanya sebatas a, b, c sampai e, padahal banyak sekali hal-hal yang bisa menjadi bagian dari materi muatan dari sebuah undang-undang. Banyak, tapi prinsip bukan banyak asal banyak saja, banyak tapi prinsip. Tidak ada yang berkenaan dengan kedaulatan, tidak ada yang berkenaan dengan wilayah, tidak ada yang berkenaan misalnya yang sedang ramai sekarang pemekaran wilayah, pemekaran daerah, itu juga melalui undang-undang. Menurut saya ini hal yang prinsip, masih perlu ditambahkan di Pasal 8, Pasal 9 ini mohon hati-hati di Pasal 9 karena ini bicara materi muatan Perpu. Ini muatan peraturan Pemerintah pengganti undang-undang mencakup materi muatan undang-undang sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 meskipun dibelakangnya dalam hal terjadi kegentingan. Apa iya materi muatan Perpu itu sama dengan materi muatan undang-undang. Dari sifat keadaannya juga berbeda, dari penamaan bentuk hukumnya juga berbeda. Dari pemegang kekuasaan untuk menerbitkan sebuah undang-undang maupun sebuah perpu juga berbeda. Jadi di folder batas kita itu sudah mensecond sedemikian rupa dalam hal kondisi normal hal-hal yang bersifat prinsip diatur melalui undang-undang atau dengan undang-undang.

Dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintah juga selalu kondisinya normal. Inikan situasi- situasi tidak normal yang menurut……diistilahkan dengan hal ikhwal kegentingan yang memaksa, berarti ada kondisi khusus. Jangan dipahami bahwa Pasal 22a ini, hak ikhwal kegentingan yang memaksa itu identik dengan perang, identik dengan riot, identik dengan bencana alam, tidak selalu demikian. Situasi khusus itu bisa saja diterjemahkan hanya situasi yang mendesak, keadaannya yang mendesak. Ketika keadaanya mendesak sepenuhnya ada di tangan presiden. Dia bisa membuat atau menerbitkan perpu yang melampaui undang-undang. Ada suatu situasi khusus yang tidak bisa di predict sebelumnya, ketika itu terjadi direspon oleh presiden. Karena itu makanya di dalam Undang-undang Dasar ketika masih ada bunyi penjelasan disebut nooth ferdenence recht. Jadi hak presiden untuk menerbitkan atau membuat suatu peraturan khusus yang kita kenali dengan Perpu, dalam konstitusi sebelumnya konstitusi RIS maupun Undang-undang sementara disebut dengan undang-undang darurat.

Sekali lagi situasinya berbeda, kewenangan untuk menerbitkan juga berbeda, penamaan bentuk hukumnya juga berbeda. Lantas bagaimana logikanya materi muatan muatannya dibilang sama. Mohon dipertimbangkan. Pasal 9 Pak. dulu saya ketika saya itu Pasal 9. Ini Pasal 10 pernah saya diundang juga oleh Banles itu ada kawan pengen tetap peraturan presiden hilang saja katanya, karena jelas bedanya dengan peraturan pemerintah katanya. Ya beda atuh, kalau bahasa sundanya beda atuh.

Ini kembali nanti tergantung kalau misalnya usulan atau pendapat saya diterima tentu saja peraturan pemerintah sekali lagi apapun namanya apakah peraturan presiden apakah keputusan presiden itu berbeda dengan peraturan pemerintah meskipun yang menandatangani itu sama, presiden.

Saya masuk Pasal 13 di bawah Bab IV dengan judul Perencanaan Peraturan Perundang- undangan. Ini bicara prolegnas. Ini klausul yang tidak ada dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 khususnya rencana peraturan Pemerintah dilakukan oleh yang progam penyusunan peraturan pemerintah.

Ini bagus ini, suatu kemajuan ini. Saya appreciate, karena acapkali prakteknya itu antara undang-undang yang diterbitkan dengan PP yang diperintahkan untuk terbit lama sekali. Yang terakhir saya ambil contoh

(13)

yang terakhir, Undang-undang 27/2009 tentang MD3 itu. Banyak sekali diperintahkan untuk diterbitkan PP bahkan kawan-kawan kita yang menjadi wakil rakyat di DPRD Provinsi, kabupaten/kota kelabakan dia bagaimana harus membuat peraturan tata tertib katanya, padahal itu diperintahkan dalam bentuk PP disini belum terbit, bagaimana kami harus bekerja, jadi menunggu mereka. Bagaimana kami bisa membentuk alat-alat kelengkapan dewan katanya wong PPnya belum ada katanya. Padahal alat kelengkapan dewan yaitu dalam peraturan tata tertib, mau membuat peraturan tata tertib harus berpedoman kepada PP yang akan terbit entah kapan pada saat itu. Saya bilang kalau begini kapan negara bisa maju. Saya bilang sudah jalan saja jangan nunggu ini, tapi nanti salah. Itulah kebiasaan kita, siapa yang menyalahkan saya bilang begitu. Kalau misalnya nanti tertib PPnya, ternyata bertentangan ya ganti saja, kok begitu saja repot, yang penting jangan menunggu ambil inisiatif buat saja. Lagipula buat apa kepala daerah diberi otonomi kalau hanya mengurus, mengatur, membuat peraturan tata tertib harus menunggu terbitnya PP, bingung saya.

Tapi bagus sekali lagi ini, bila perlu satu paket dia. Apalagi ada klausul saya lupa di pasal mana itu, dikunci dengan batas waktu dia, bagus itu. Sehingga pengajuan sebuah rancang undang-undang itu juga dibarengi atau dilengkapi dengan pengajuan rancangan atau di penyiapan rancangan peraturan pemerintah. Siapkan saja rancangannya, begitu undang-undang ini sudah disetujui oleh dewan, diundangkan oleh lembaga negara ya sudah siap, tidak perlu menunggu terlalu lama. Bagus Pak, saya appreciate ini Pasal 13 ini.

Logikanya begini kalau Pasal 13 ayat (2) perencana penyusunan peraturan pemerintah dilakukan dalam satu program penyusunan peraturan pemerintah. Inikan nasional tingkat pusat, bagaimana dengan tingkat daerah? Kita tahu di tingkat nasional PP ini adalah melaksanakan ketentuan yang ada dalam undang-undang, Perdapun harus dilaksanakan melalui... Satu instrumen hukum yang namanya peraturan kepala daerah sehingga logika saya perlu tidak disini dimasukan? Biar satu paket juga dengan Perda begitu. Kalau PP ini satu paket dengan undang-undang di daerah Perda itu satu paket dengan peraturan kepala daerah. Seperti yang dimohonkan di dalam perundangan yang berkenaan dengan prolegnas dan prolegda. Sekali lagi ini usul, silakan dipertimbangkan.

Pasal 16 dalam rancang undang-undang. Atau saya bacakan dulu Pasal 16, “dalam penyusunan prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) penyusunan daftar rancang undang-undang didasarkan atas;

a. Perintah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 b. Perintah ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Saya tidak banyak komen, silakan Bapak pertimbangkan, perlu dimasukan yang b ini, silakan baca konsitusi kita. Silakan baca TAP yang menghendaki peninjauan materi yang ada dalam TAP MPRS maupun TAP yang pernah keluar dalam bentuk TAP MPR. Yang saran saya untuk yang huruf b.

Pasal Bab VII, tadi juga sempat disinggung oleh Prof. Yusril, ini berkaitan dengan Prolegda.

Hukum dan HAM di daerah di level daerah, selama ini mereka bingung. Yang penting kalau kita punya aparat di biro hukum di provinsi itu cakap. Acapkali mereka juga bingung padahal ada partner atau mitranya bisa saja digandengkan dengan Kanwil, itu yang dipertanyakan masukan, bisa tidak dibebankan mereka. Instansi vertical yang ada di daerah, mereka justru menunggu dilibatkan meskipun kalau dilihat dari asasnya, satu asas itu sentralisasi otonomi, satu asasnya dikonsentrasi ke atas dia, tapi bisa saja kerjasama melibatkan mereka Kanwil. Karena itu tolong dirumuskan disini bagaimana melibatkan kantor wilayah instansi vertical yang ada dibawah ini terutama yang berkenaan penyusunan prolegda di lingkungan Pemerintah daerah, entah siapanya yang akan bertindak sebagai coordinator dilibatkan saja mereka. Jadi bisa masuk disini instansi vertical yang ada di daerah. Karena selebihnya ini banyak berbicara secara teknis saya tidak ada catatan dan ini memang banyak sekali pasal-pasal yang baru dibandingkan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Dengan kata lain, tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan saya atas apa yang sudah dibuat dalam rancangan undang-undang ini saya hanya menyampaikan beberapa catatan saja silakan dipertimbangkan.

Sekian dari saya, terima kasih Pak Ketua.

KETUA RAPAT:

Terima kasih Profesor Dr. I Gde Pantja Astawa.

Selanjutnya kami persilakan Prof. Dr. Arif Sidharta untuk menyampaikan saran dan masukannya.

PAKAR (PROF. DR. ARIEF SIDHARTA):

(14)

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

Bapak Pimpinan dan bapak-bapak yang saya hormati,

Pertama-tama saya ingin menyampaikan terima kasih atas penghargaan diundang hadir dalam pertemuan ini dan dimintakan pendapatnya. Saya juga seperti Prof. Yusril tadi, saya tidak mendapat kesempatan cukup waktu untuk mempelajarinya secara mendalam karena memang baru kemarin dan saya juga baru pulang dari Pontianak tiga hari di sana untuk kuliah berturut-turut tiga hari, setiap harinya sekitar 6 jam. Saya langsung pulang ke Bandung, pipi saya seperti kalau baal tapi saya kira sekarang sudah sempat tidur semalam lalu sudah hilang baalnya jadi saya bisa hadir pada hari ini.

Tapi saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof. Yusril untuk uraian tadi yang bagi saya sangat sistematik, logis, konsisten dan jelas sekali apa yang ingin disampaikan oleh Prof. Yusril itu.

Kemudian apa yang disampaikan oleh Prof. Gde itu sudah sangat mendetail dan saya tidak akan masuk ke situ dan saya akan membatasi diri pada bidang kajian saja yaitu pendekatan berarti pada tataran yang lebih sempit, artinya yang lebih filosofis, lebih general. Untuk itu saya akan langsung saja masuk bahan tertulisnya sudah saya sampaikan, nanti bisa dipelajari.

Saya kira keberadaan kaidah-kaidah hukum positif itu kan beda dengan keberadaan benda-benda yang lain. Keberadaan hukum positif itu mempunyai keberadaan yang khas. Syarat keberadaan hukum yang khas itu biasanya disebut keberlakuan atau keabsahan. Syarat keberadaan yang khas ini mencakup berbagai aspek paling tidak ada tiga yang terlibat didalam keberadaan sebuah hukum itu. Ketiga aspek itu pertama keberlakuan factual, biasa disebut juga keberlakuan social atau keberlakuan sosiologis, atau keberlakuan empirical. Terus yang kedua, keberlakuan yuridik yang juga disebut keberlakuan formal, keberlakuan normative. Dan yang ketiga adalah keberlakuan moral yang disebut juga keberlakuan filosofical atau keberlakuan evaluasi atau keberlakuan materiil atau keberlakuan substansial. Sebuah undang-undang itu akan baik atau bisa efektif jika memenuhi ketiga keberlakuan itu, harus memiliki keberlakuan factual, yuridik maupun keberlakuan formal.

Yang dimaksud keberlakuan faktual itu adalah bahwa kaidah hukum itu memiliki keberlakuan faktual jika kaidah itu dalam pernyataan sungguh-sungguh di dalam masyarakat nyata-nyata dipatuhi oleh warga masyarakat dan oleh para pejabat yang berwenang untuk itu jadi sungguh itu ditegakan, diterapkan dan dipertahankan. Misalnya saya sebagai contoh saja peraturan perundang-undangan kita di bidang lalu lintas kebanyakan itu nampaknya tidak memiliki keberlakuan faktual, tidak memiliki keberlakukan sosiologis, itu buktinya saya bisa lihat di depan kampus saya itu ada dipasang rambu-rambu jalan dilarang parkir disitu, disitulah para mahasiswa parkir. Polisi juga setiap hari lewat disitu tidak pernah bertindak terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh mahasiswa, begitu juga dosen yang ke kampusnya parkirnya juga disitu, dosen hukum itu. Juga polisi yang memampiri ada urusan ke….parkirnya juga disitu karena di dalam kampus juga penuh kira-kira begitu. Jadi ini menunjukan pasal tersebut kecenderungan tersebut memiliki keberlakuan faktual sampai rektor bertindaknya bukan menertibi yang salah-salah parkir itu tapi memundurkan parkirnya 5 meter ternyata efektif. Memundurkan itu sehingga tercipta selain lahan baru untuk parkir juga diberi lalu lintas jalan untuk angkot untuk menurunkan dan menaikan mahasiswa, lalu sekarang efektif sekali, persis itu tidak ada lagi mahasiswa parkir dibawah larangan parkir, ini saya kira rupanya menegakan peraturan itu bisa dilakukan dengan berbagai cara tidak hanya sekedar menggunakan sanksi saja tapi juga dengan tindakan sosial yang tepat, sebuah peraturan yang tadinya tidak efektif menjadi amat sangat efektif, ini sebagai contoh.

Kemudian jenis yang kedua, keberlakuan yuridik yang dimaksud adalah peraturan itu dibentuk sesuai dengan prosedur yang berlaku untuk itu oleh lembaga yang berwenang untuk itu dan juga dan juga substansinya juga tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang lain jadi tidak tabrakan dengan peraturan lain terutama dengan peraturan yang statusnya lebih tinggi. Itu peraturan yuridik dan saya yakin sebagian besar dari peraturan-peraturan perundang-undangan kita pada saat sekarang ini memenuhi aspek keberlakuan yuridik ini.

Kemudian yang ketiga, keberlakuan moral yaitu isinya secara moral disini oleh masyarakat isinya secara filosofis bisa dibenarkan artinya isinya itu adil dan oleh karena itu di…..oleh masyarakat secara umum. Inilah ketiga aspek ini, ketiga keberlakuan itu perlu dipenuhi. Apakah ketiga aspek itu akan dipenuhi atau tidak akan tergantung pada proses pembentukannya. Oleh karena itu berikut yang ingin saya sampaikan proses pembentukan perundang-undangan yang bisa diharapkan akan memenuhi ketiga aspek keberlakuan tersebut.

(15)

Agar undang-undang yang dibuat itu memperoleh keberlakuan faktual maka pembentukan undang-undang itu harus bertolak dari aspirasi masyarakat dan kebutuhan riil masyarakat pada peraturan yang bersangkutan. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu memerlukan artikulasi politik dan ini tugas para cendikiawan, para pakar terkait, para politisi, para media massa dan sebagainya untuk mengartikulasi aspirasi dan kebutuhan dari masyarakat sehingga apa menjadi kepentingan politik dan ini akan dapat mendorong para anggota parlemen, para anggota DPR untuk memperjuangkannya menjadi sebuah undang-undang. Mungkin bahwa sebuah undang-undang itu harus berdasarkan pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat, saya bisa berikan contoh sebuah aturan yang sebetulnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat, aturan yang menentukan bahwa barangsiapa ini undang-undang lalu lintas lagi, barangsiapa naik mobil duduk di bagian depan dari mobil harus mengenakan sabuk pengaman. Apa gunanya mengenakan sabuk pengaman, kenapa itu harus diancam dengan hukuman pidana.

Dulu pada waktu pertama kali diberlakukan ancaman pidananya itu maksimum 200 juta, sedangkan kalau orang mengenai mobil sembarangan membahayakan orang lain hukumannya hanya 100 juta. Kok peraturan yang membahayakan diri sendiri hukumannya lebih besar dari membahayakan oranglain. Inikan aneh, dan itu mendapat reaksi yang keras dari masyarakat. Sekarang memang saya kira sudah diubah sanksinya tapi masih tetap berlaku, tapi sebetulnya kan hak menggunakan sabut pengaman atau tidak, tidak ada kaitannya dengan ketertiban lalu lintas. Apalagi di kota-kota besar yang padat dan besar seperti Jakarta dan Bandung orang naik kendaraannya juga susah untuk bisa ngebut maka peraturan seperti itu tidak dibutuhkan. Tapi di Bandung dan di Jakarta itu ditegakan dengan keras oleh polisi. Jadi kalau ke Bandung kita naik mobil duduk di depan tidak pakai seat belt pasti akan berurusan dengan polisi kalau kebetulan polisinya “ngeh”. Tapi di beberapa kota yang lain tidak dilaksanakan peraturan itu toh lalu lintasnya tetap tertib juga. ini artinya bahwa sebetulnya keharusan mengenakan sabuk pengaman itu tidak relevan bagi ketertiban dan sebetulnya juga tidak dibutuhkan oleh masyarakat karena jelas di beberapa kota yang cukup besar yang tidak menegakan pasal itu ketertibannya tetap baik dan bagus malah lebih tertib dari Bandung. Kalau Bandung itu bukan tidak tertib, itu sudah kacau balau.

Dalam proses artikulasi politik inilah maka saya sarankan seyogyanya PPHN yang sudah lama dibentukan dilibatkan lagi. Pada jaman Prof. Mochtar menjadi menteri kehakiman PPHNnya itu diaktifikan betulan dalam proses pembentukan undang-undang, paling tidak dalam mempersiapkan draft akademik.

Juga tentu saja bisa dilibatkan dari dunia perguruan tinggi sebagai perguruan tinggi, bukan perorangan seperti sekarang ini lebih banyak perorangan.

Proses artikulasi politik atau moment politik ini harus diinteraksikan dan dikaji artinya disaring dengan moment normatif tadi. jadi ketika lewat moment politik itu sudah dilewati, sudah bisa dicapai kesepakatan tentang substansi yang mau dijadikan undang-undang maka tahap berikutnya adalah moment yuridik, moment untuk memperoleh landasan keberlakuan yuridik yaitu apa hak yang dihasilkan oleh moment politik itu dikaji, diuji, disaring dengan moment yuridik itu dinilai dan dikaji dengan citra hukum yang dianut didalam masyarakat, Undang-undang Dasar tentu saja, nilai-nilai, asas-asas, kaidah-kaidah dan peralatan-peralatan hukum yang sudah ada termasuk juga Sekdas memberitahu bahwa hukum itu ada sehingga tidak menabrak peraturan-peraturan lain yang sudah ada.

Penyaringan oleh pada moment normatif akan menjadi penting agar produknya tidak bertentangan dengan kaidah hukum lainnya terutama yang kedudukannya lebih tinggi dan tidak bertentangan dengan kesadaran hukum yang hidup di dalam masyarakat dan dengan demikian substansi undang-undang yang baru dibentuk itu akan tertempatkan didalam keseluruhan sistem hukum yang sudah ada, yang sudah berlaku. Dengan begitu aturan tersebut akan, undang-undang yang akan dihasilkan akan memperoleh keberlakuan yuridik atau keberlakuan formal. Hanya saja ketika melakukan pengujian itu seyogyanya memperhitungkan juga moment filosofisnya yaitu memperhitungkan bahwa setiap pasal dari undang- undang yang ada terutama pasal-pasal dari konstitusi perlu dipahami diinterprestasi berdasarkan filsafat hukum yang dianut berdasarkan pandangan hidup yang dianut misalnya Pancasila, keyakinan keagamaan yang hidup di masyarakat itu semuanya harus digunakan untuk menyaring substansinya jangan sampai nanti dihasilkan undang-undang yang bertabrakan dengan keyakinan agama dan pandangan hidup yang dianut misalnya Pancasila.

Pancasila itu kan sudah jelas diterima sebagai landasan kemusyawaratan didalam kehidupan bernegara dan berpolitik di Indonesia. Kalau kita amati sejauh yang saya pahami, Pancasila itu kalau diterapkan dalam bidang ekonomi kan mustinya ekonomi yang berdasarkan Pancasila itukan bukan ekonomi kapitalis karena ekonomi kapitalisme itu landasannya adalah individualisme. Ekonomi yang dikehendaki oleh Pancasila itu adalah ekonomi kekeluargaan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 itu.Tapi belakangan ini saya melihat banyak undang-undang yang

(16)

nampaknya tidak dikaji dilandaskan pada Pancasila sehingga memunculkan perundang-undangan yang akhirnya itu tujuannya itu mengkomoditifikasikan bidang-bidang kehidupan yang seharusnya tidak dikomoditifikasikan. Saya akan mencoba memberikan sebuah contoh yaitu Undang-undang tentang Rumah Sakit yang sudah berlaku.

Di dalam Undang-undang tentang Rumah Sakit itukan dibedakan ada rumah sakit komersial dan rumah sakit non komersial. Rumah sakit publik yang non komersial dan rumah sakit swasta atau private yang komersial. Yang rumah sakit komersial itu badan hukumnya harus membentuk perseroan terbatas.

Kalau perseroan terbatas komersial jadi bisa mencari keuntungan. Sedangkan badan hukum untuk rumah sakit yang sifatnya publik, yang tidak bersifat komersial itu bisa diadakan oleh Pemerintah, bisa juga diadakan oleh swasta. Saya kira sampai disini tidak ada masalah, tapi yang menjadi masalah sekarang di dalam undang-undang itu juga diatur bahwa badan hukum yang menyelenggarakan rumah sakit jadi badan hukum swasta yang menyelenggarakan rumah sakit hanya boleh menyelenggarakan rumah sakit saja, tidak boleh menyelenggarakan kegiatan lain yang bukan pelayanan kesehatan termasuk pendidikan.

Padahal semua rumah sakit selalu membutuhkan perawat-perawat, karena itu dulu sejarahnya kalau ada rumah sakit dibentuk hampir selalu akan mendirikan kursus perawat supaya bisa menggunakan perawat yang dibutuhkan, terdidik dan terlatih.

Kursus-kursus ini semakin lama semakin berkembang akhirnya menjadi sekolah berbentuk sekolah formal lama-lama menjadi mencapai bahkan tingkat akademik sampai sekarang sudah mencapai tingkatan sekolah tinggi keperawatan. Hasilnya bisa mulai banyak. Ini tidak boleh lagi ditangani oleh badan hukum yang menyelenggarakan rumah sakit karena badan pendidikan ini harus dibawah kementerian pendidikan dan badan hukumnya itu yayasan. Pada dasarnya yayasan itukan tidak boleh mencari keuntungan, akibatnya karena sekolah-sekolah yang menyelenggarakan keperawatan itu hampir selalu mengalami kesulitan, saya sendiri kebetulan lama 40 tahun menjadi anggota sebuah badan hukum yang menyelenggarakan rumah sakit juga menyelenggarakan lembaga pendidikan dan keperawatan itu, lembaga pendidikan dan keperawatan itu walaupun sekarang sudah seperti sekolah tinggi dia menerima mahasiswa yang bebas dan dia membayar, uang yang bisa dibayarkan oleh para mahasiswa itu tidak akan pernah cukup terlalu sedikit untuk bisa mengelola sebuah sekolah tinggi keperawatan. Dari mana biaya untuk menutupi biaya sekolah tinggi ini, jadi apa yang dihasilkan oleh rumah sakitnya. Tapi kalau rumah sakitnya juga berbentuk yayasan atau perkumpulan dia tidak boleh mempunyai keuntungan. Kalau sekarang dia di rumah sakit itu hasil lebihnya diberikan kepada sekolah keperawatan itu akan dibaca sebagai sebuah keuntungan maka tidak bisa lagi.

Ini akibatnya rumah sakit-rumah sakit yang non komersial pun akhirnya akan membeli bentuk perseroan terbatas supaya hasil lebih hasil usahanya pada akhir tahun bisa digunakan, diserahkan ke yayasan yang menyelenggarakan sekolah keperawatan itu akibatnya lama-lama semua rumah sakit yang bukan Pemerintah pasti akan menjadi rumah sakit komersial. Ini akibatnya maka kesehatan manusia akan menjadi komoditas yang ujung-ujungnya juga manusianya juga akhirnya akan menjadi komoditas.

Menurut saya ini bisa terjadi karena ketika membentuk undang-undang ini aspek Pancasila, aspek ekonomi Pancasila tidak dilibatkan dalam proses pembentukan perumusan pasal-pasal yang bersangkutan sehingga bisa menimbulkan implikasi di kemudian harinya yang bisa cukup jauh. Sekarang belum karena memang baru mengikat kalau tidak salah setahun atau dua tahun lagi. Kalau itu sudah diterapkan, tidak perlu terpaksa begitu. tapi yang banyak rumah sakit yang tadinya berbentuk yayasan akan berubah menjadi perseroan terbatas supaya bisa membiayai keperawatan yang diselenggarakannya, ini implikasi dari lebih ke jobnya ini.

Itulah beberapa hal yang ingin saya sampaikan, jadi kalau membentuk undang-undang perlu memperhitungkan, mengupayakan aspek keberlakuan faktual yang harus selalu berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, harus memperhitungkan aspek keberlakuan formal yaitu memperhitungkan peraturan-peraturan yang sudah ada mulai dari konstitusi sampai dengan peraturan lainnya yang dibawah yang sudah ada dan juga harus memperhitungkan pandangan hidup yang dianut masyarakat kira-kira keyakinan keagamaan yang hidup di dalam masyarakat yang bersangkutan. Dan inilah beberapa yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini.

Lalu yang lain-lainnya saya bermaksud nanti kemudian hari akan mempelajari lebih jauh, malah kalau boleh saya meminta ijin ingin menyelenggarakan diskusi tertutup di kalangan para dosen di kampus saya sendiri yang nanti barangkali hasilnya bisa disampaikan disini. Terima kasih.

KETUA RAPAT:

(17)

Terima kasih banyak.

Yang saya hormati para narasumber yang telah memberikan masukan dan syarat-syaratnya yang sangat berharga bagi kita semuanya. Selanjutnya saya ingin menawarkan dulu kepada para narasumber dan para anggota karena kita tadi mulainya agak terlambat, sedangkan belum ada tanggapan atau pertanyaan dari para anggota, apakah setuju kita perpanjang setengah jam, 30 menit?

PAKAR (PROF. DR.YUZRIL IHZA MAHENDRA):

Sebelum kita tadi ingin saya ada kekurangan yang saya sampaikan.

KETUA RAPAT:

Silakan.

Tapi perpanjangan 30 menit sudah disetujui?

(RAPAT: SETUJU) Iya, terima kasih.

Silakan Prof. Yusril ada yang mau disampaikan lagi.

PAKAR (PROF. DR.YUZRIL IHZA MAHENDRA):

Baik, minta maaf saya mau tambahkan sedikit.

Dari apa yang diuraikan oleh Pak Gde Pantja maupun oleh Pak Arif Sidharta memang ada yang perlu disempurnakan dalam rancangan undang-undang ini khususnya mengenai ketentuan Bab I ini, ketentuan umum biasanya hanya mengatur defenisi-defenisi, pengertian-pengertian. Tapi disini di dalam Bab I ketentuan umum membicarakan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, UUD 1945 yang saya kira tidak semestinya itu ditempatkan di dalam ketentuan umum. mungkin sesudah ketentuan umum itu ada yang lebih dalam sebelum asas pembentukan materi muatan di dalam Bab II membahas tentang landasan penyusunan peraturan perundang-undangan dimanakah letak pancasila termasuk frasa kata-kata Ketuhanan Yang Maha Esa yang ada pada setiap undang-undang itu justru sesudah undang- undang nomor sekian tentang ini tentang rahmat Tuhan Yang Maha Esa, tidak kita jelaskan apa artinya dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, ada disitu sekonyong-konyong dia muncul di dalam lampiran. Ada frasa ketuhanan yang maha esa, artinya implikasinya apa tidak kita jelaskan disini. Seyogyanya lah Ketua kita menempatkan Pancasila ini sebagai apa landasan filosofis dalam peraturan perundang-undangan, implikasinya apakah setiap undang-undang itu dengan frasa jadi kita mengerti bahwa disini sekonyong- konyong ketentuan umum lalu mengatur tentang pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Saya hanya ingin memberikan catatan mengenai Pasal 2 ini. Pada tahun 1967 itu ada satu sikap resmi dari majelis agung wali gereja Indonesia yang keberatan dengan rumusan pancasila itu sebagai sumber segala sumber hukum sehingga yang keberatan dengan rumusan Pancasila itu adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum karena di dalam iman Katolik katanya sumber dari segala sumber hukum itu adalah Yesus Kristus Tuhan kita, jadi bukan itu, jadi tolong diingat-ingat. Kalau orang Islam katakan wah ini bisa jadi syirik, khususnya PKS. Mengacu kepada apa yang dikatakan oleh, saya tidak bilang Islam tapi keputusan dari Majelis Agung Wali Gereja Indonesia itu penting sebab katanya iman katolik sumber dari segala sumber hukum adalah Yesus Kristus. Jadi rumusan yang lebih bisa diterima oleh agama-agama lah seperti yang disampaikan tadi.

Kedua, harapan saya nanti setelah undang-undang ini jadi tidak terjadi tabrakan dengan hal-hal lain undang-undang lain termasuk hal-hal yang sudah dalam pengalaman-pengalaman kami yang lalu sangat susah payah kami menyelesaikannya yaini ketentuan-ketentuan di Pasal 12 tentang materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang, peraturan daerah provinsi, peraturan daerah kabupaten. Kemudian ketentuan pidana ini huruf c ancaman pidana kurung 6 (enam) bulan dan seterusnya saya berharap ini hati-hati karena bisa menabrak mulai dari undang-undang tentang Aceh Darussalam sebagai daerah otonomi sampai dengan undang-undang Pemerintahan Aceh. Karena di dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh itu tegas dikatakan bahwa syariat itu berlaku di Aceh dituangkan di dalam kanon artinya peraturan-peraturan daerah Aceh dan juga kita sudah mengamandemen undang-undang tentang pengadilan agama. Memperluas kewenangan pengadilan

(18)

agama di Aceh menjadi Mahkamah Syariah dengan kewenangan untuk mengadili perkara-perkara pidana yang diatur didalam kanon daerah Pemerintahan Aceh. Karena kanon tentang amar, kanon tentang meisir, kanon tentang zina di Aceh itu nanti bisa teranulir dengan ketentuan-ketentuan ini, Pasal12 dari undang- undang ini. Jadi ini akan menimbulkan persoalan baru di Aceh.

Jadi tolong nanti agak hati-hati dalam merumuskan ini supaya tidak menabrak hal yang susah payah kita selesaikan di Aceh dan juga hal yang sama juga susah payah kita merumuskan tentang berlakunya kaidah-kaidah hukum adat masyarakat Papua dalam undang-undang tentang Otonomi Papua.

Jadi saya masih ingat betul pada waktu deadlock membahas RUU Papua di DPR ini saya dan Prof. Abdul Gani Abdullah pada waktu itu dirjen peraturan perundang-undangan deadlock karena orang Papua tidak ingin konflik antar suku diselesaikan berdasarkan undang-undang nasional. Jadi bagaimana, tidak mau pakai KUHP, jadi itu justru diselesaikan dengan merujuk pada hukum syariat islam bahwa tentang pihak, jadi kalau suku A membunuh suku B maka tidak bisa pakai KUHP tapi berdasarkan fiat dalam hukum islam bahwa ganti rugi jadi kalau kalau laki-laki A membunuh laki-laki suku B maka ganti ruginya itu wajib menikahi perempuan dari suku B itu sampai dapat anak laki-laki pengganti yang dibunuh tadi. jadi syariat islam dipakai untuk menyelesaikan krisis deadlock undang-undang Papua pada waktu itu. Selesai, kita ketawa-tawa sama Pak Gani.

Lucu memang, jadi pengalaman-pengalaman kita yang lalu tapi saya pikir kebijaksaan bagi kita yang tolong supaya undang-undang ini tidak nanti nabrak Aceh maupun Papua. Ini yang sudah saya ketahui dulu jangan di bongkar-bongkar lagi. Tambahan saya Pak Ketua, terima kasih.

KETUA RAPAT:

Terima kasih Prof. Yusril.

Perlu kami sampaikan bahwa sesuai dengan Tatib DPR memang untuk pembahasan itu ada dua masa persidangan tapi kemarin kita sepakati. Oleh karena itu RUU ini juga dianggap sangat penting sebagai semacam undang-undang induk. Sedangkan pada waktu masa persidangan kedua sangat pendek, memang kita ingin menyelesaikan RUU ini mungkin tiga masa persidangan. Oleh karena itu segala masukan tadi yang sudah disampaikan oleh Prof. Arif tentu kita akan terima, demikian juga narasumber lain kalau masih nanti ada masukan karena kita masih punya waktu. Tapi sebelum saya serahkan kepada anggota mungkin Profesor mohon diteliti apakah yang disampaikan terakhir tadi belum cukup yang ada di rumusan ayat (2) di Pasal 12 karena disini juga ada ketentuan pidana Perda boleh semacam itu memang sesuai peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya kami persilakan para anggota untuk silakan sekalian memperkenalkan karena tadi belum perkenalan, silakan pendapat atau pertanyaannya.

ANGGOTA F-PKS (BUKHORI YUSUF):

Terima kasih Pimpinan.

Terima kasih kepada para narasumber, para profesor yang saya hormati.

Nama saya Bukhori dari Fraksi PKS daerah pemilihan Sumatera Selatan II Pak.

Pertama saya ucapkan kepada Prof. Yusril yang telah menyampaikan banyak masukan. Saya hanya ingin mendapatkan kejelasan mungkin tadi saya tidak begitu memperhatikan atau ada yang terlewat terkait dengan perlunya Perpres dimasukan dalam jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan khususnya tadi terkait dengan Pasal 7 tetapi belum dimasukan dan belum diberikan alternatif posisinya dimana, nampaknya masih lepaskan mengambang, bagaimana pandangan Prof dalam hirarkinya apakah dia sesuai dengan pasal yang ada di Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang sudah ada ataukah pada posisi yang lain? Ini pertanyaan saya kepada Prof. Yusril.

Yang kedua kepada Prof. Gde Pantja Astawa ini, ini menarik sekali banyak hal yang disampaikan.

Saya mencatat banyak hal dan terutama beliau menyinggung terhadap suatu defenisi yang itu memang saya sangat mendasar. Saya kira memang defenisi yang disampaikan tadi juga berusaha memberikan pembatasan yang jelas sehingga mana yang disebut peraturan perundang-undangan dan mana kemudian yang sebenarnya bukan peraturan perundang-undangan tetapi dianggap peraturan perundang-undangan.

Tadi saya kira sangat berterima kasih sekali.

Tapi Prof. ada beberapa yang ingin saya sampaikan atau saya tanyakan, tadi terkait dengan masalah peraturan presiden mengacu kepada filosofi pembagian kekuasaan dalam demokrasi dimana di

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan

Jadi di sini kan kita lihat konsistensi juga antara usulan dari rancangan undang-undang dari Presiden, dari DPD, maupun dari DPR, artinya kalau logika yang disampaikan tadi

Pasal 12 Ayat (2), yang kemarin sore juga kita bicarakan, kita kaitkan dengan Pasal 14 Ayat (2), yaitu yang mengandung usulan mengenai tambahan kata-kata yang

Berdasarkan uji statistik, diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan dari variabel pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terhadap yield

BOGOLJUB MARKOVIĆ PREDUZETNIK, MENJAČNICA COD BEOGRAD (NOVI BEOGRAD) Београд-Нови Београд, Булевар Михаила Пупина број

53 F-PAN, Drs. Rusli Ridwan, M.Si, Risalah Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang- undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Jenis Rapat Raker IV Tanggal 2 Maret

IFS dapat dide#enisikan sebagai suatu departemen atau unit atau bagian dirumah sakit di ba&ah pimpinan seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang

Kalau kami, Pak, ya rasanya kalau yang diberikan di ayat (2)-nya ini, itu sebetulnya sudah tidak merupakan suatu, ini sudah normatif ini, pasti menindaklanjuti putusan