• Tidak ada hasil yang ditemukan

RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

RISALAH RAPAT PANITIA KERJA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

JENIS RAPAT : PANJA VI TANGGAL: 9 JUNI 2011

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BELUM DIKOREKSI

(2)

RISALAH RAPAT PANITIA KERJA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Masa Persidangan Tahun Sidang Sifat

Jenis Rapat Hari / Tanggal Waktu Tempat Ketua Rapat Sekretaris Rapat Acara

Hadir

: : : : : : : : : :

:

IV 2010-2011 Terbuka

Panja dengan Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia RI

Kamis, 9 Juni 2011

Pukul 20.50 WIB s.d. 23.20 WIB Wisma Griya Sabha Kopo, Bogor DR. H. DEDING ISHAK, S.H., M.H.

ENDANG SURYASTUTI, S.H., M.Si.

Membahas Materi Panja

A. Pimpinan Panja RUU tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan :

1. SUTJIPTO, S.H., M.Kn.

2. Dr. H. DEDING ISHAK, S.H., M.H.

3. H. RAHADI ZAKARIA, S.Ip., M.H.

4. H. T.B. SOENMANDJAJA S.D.

B. Anggota Panja RUU tentang PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Fraksi Partai Demokrat:

5. IGANTIUS MULYONO 6. H. HARRY WITJAKSONO 7. GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.

Fraksi Partai Golongan Karya:

8. NURUL ARIFIN, S.IP., M.Si.

9. Drs. TAUFIQ HIDAYAT, M.Si.

10. H. ANDI RIO IDRIS PADJALANGI, S.H., M.Kn.

Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia:

11. ARIF WIBOWO

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera:

12. BUKHORI YUSUF. Lc., M.A.

Fraksi Partai Amanat Nasional:

13. Drs. RUSLI RIDWAN, M.Si.

(3)

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan:

14. H. MUHAMMAD ARWANI THOMAFI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa : 15. Dra. Hj. IDA FAUZIYAH

Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya:

16. RINDOKO DAHONO WINGIT, S.H., M.Hum.

Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat:

-

C. Undangan

- Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia RI beserta jajaran

JALANNYA RAPAT :

KETUA RAPAT (Dr. H. DEDING ISHAK, S.H., M.H./F-PG):

Assalam’mualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Salam sejahtera bagi kita semua.

Yang terhormat Rekan-rekan Pimpinan dan Anggota Panja,

Yang terhormat Saudara Direktur Jenderal Peraturan Peraturan Perundang-undangan, Hadirin yang berbahagia,

Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kita bisa menghadiri Rapat Panja pada hari ini dalam keadaan sehat wal-afiat.

Sesuai dengan catatan Sekretariat, Rapat malam ini telah dihadiri oleh 8 orang dari 19 Anggota Panja, jadi sudah memenuhi kuorum, Pak Rahadi,tepat waktu, Pak Dirjen hadir, jadi kita bisa memulai.

Oleh karenanya, perkenankan kami membuka Rapat Panja ini dan Rapat dinyatakan tertutup untuk umum.

(RAPAT DIBUKA PUKUL 20.50 WIB )

Kami ucapkan terima kasih kepada Saudara Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM beserta jajarannya, yang telah bersedia memenuhi undangan Konsinyering Rapat Panja RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Untuk itu, sebelum kami lanjutkan rapat, perkenankanlah kami menawarkan agenda rapat pada hari ini sebagai berikut: Pengantar Ketua Rapat telah saya sampaikan. Kemudian melanjutkan pembahasan materi Panja. Ketiga, Penutup.

Rapat hari ini akan berlangsung sampai pukul 23.00 WIB, pukul 23.00 WIB, namun apabila masih ada hal yang perlu didiskusikan, didalami begitu, dapat diperpanjang sesuai kesepakatan rapat. Selamat datang, Pak Rindoko, Alhamdulillahi. Apakah susunan acara Rapat Panja malam ini bisa kita setujui?

(RAPAT:SETUJU)

Rapat Panja sebelumnya, pada tanggal 27 Mei 2011 yang lalu, kita telah membahas 57 DIM. DIM

terakhir yang kita bahas adalah DIM No.169, yaitu Pasal 30 ayat (3) dengan menyepakati usulan dari

pemerintah, substansi kita setujui, sehingga rumusan kita serahkan pada Timus, sehingga karena DIM

(4)

No.169 sudah kita sepakati, maka DIM yang terkait yaitu DIM No.170 sampai dengan No.178, kita drop dan menjadi bagian dari lampiran undang-undang ini, bisa disetujui Pak ya? Setuju Pak Rahadi, kan? Yang menjadi lampiran. Pemerintah, setuju Pak ya?

Silakan.

DIRJEN PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Terima kasih.

Assalam’mualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Selamat malam, salam sejahtera untuk kita semua.

Yang kami hormati, Pimpinan dan Anggota Panja.

Alhamdulillahi, kita dapat melanjutkan Rapat Panja kita yang kita lakukan pada 2 minggu yang lalu dan bersama kami juga jajaran, Pak Wicipto Setiadi, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, yang waktu yang lalu tidak dapat ikut karena sedang Umroh, Insya Allah mabrur. Kemudian yang lain, saya kira serta pada waktu yang lalu juga.

Pada 2 minggu yang lalu, terakhir DIM 169, kemudian akan dirumuskan oleh Timus, dan untuk Naskah Akademik kita sepakati waktu itu, judul bab dan item-item-nya serta lampiran RUU akan kita masukkan didalam lampiran dari Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Saya kira itu kami setuju, Pak Pimpinan.

KETUA RAPAT:

Terima kasih.

Setuju.

(RAPAT:SETUJU)

Lanjut Pak.

Selanjutnya kita membahas DIM No.187. Dalam DIM ini, pemerintah mengusulkan penambahan 1 ayat baru, Pasal 33 ayat (2). Kami persilakan kepada pemerintah untuk menyampaikan penjelasannya, namun sebelum Pak Dirjen menyampaikan penjelasan, saya juga ingin mengucapkan selamat datang, selamat seusai melaksanakan Umroh pada Bapak Kepala Pembinaan Hukum Nasional, lengkap dari pemerintah ini.

Silakan Pak Dirjen.

DIRJEN PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Jadi DIM 187 memang, di Pasal 33 dalam rancangan DPR di ayat (1), Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh Menteri atau Pimpinan Lembaga Non Kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.

Kemudian di ayat (2)nya, Pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan

undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan tanggung

jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Pemerintah dalam tanggapannya mengusulkan

(5)

penambahan 1 ayat baru yang mengatur mengenai pembentukan Panitia antar Kementerian dan atau Non Kementerian dalam menyusun rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, sehingga jika usul penambahan dari DIM ini disetujui, maka urutan tentu menyesuaikan.

Ayat (2) yang diusulkan adalah, Dalam penyusunan rancangan undang-undang, Menteri atau Pimpinan Lembaga Non Kementerian membentuk Panitia Antar Kementerian atau Non Kementerian. Jadi, sebelum ketentuan mengenai pengharmonisasian, itu ada ketentuan bahwa Menteri atau Pimpinan Lembaga Non Kementerian membentuk Panitia Antar Kementerian dan atau Non Kementerian. Ya, ini memang cukup penting, Bapak Pimpinan dan Anggota, karena tidak saja sequence urutannya, tapi ini nanti terkait kewenangan, terkait lintas sektoralnya dan terkait anggarannya.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Baik.

Jadi, tentu pemerintah dengan usul ini telah mencermati sebuah kebutuhan dari sebuah organisasi penyelenggara atau panitia dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan, begitu Pak Dirjen ya?

Kami persilakan kepada Fraksi-fraksi untuk meresponsnya. Dimulai dari, ya siapa saja, barangkali Pak Rusli, silakan.

F-PAN (Drs. H. RUSLI RIDWAN, M.Si):

Baik, terima kasih.

Pada prinsipnya, saya bersepakat dengan pemerintah,karena dalam Pasal 33 ini hanya menyatakan dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan tanggung-jawabnya di bidang peraturan perundangan. Jadi, belum berbicara tentang Panitia. Jadi disini hanya mengkoordinasikan saja. Jadi, sepakat kalau seandainya ini ditambah bahwa disana ada Panitia, karena berkaitan juga nanti dengan kepentingan pertanggungjawaban anggarannya. Saya setuju dengan pemerintah.

KETUA RAPAT:

Selanjutnya, Pak Rindoko atau Pak, ya silakan Pak Rindoko.

F-P GERINDRA (RINDOKO DAHONO WINGIT, S.H., M.Hum.):

Terima kasih Pimpinan.

Untuk Pasal 33 ini kami sependapat, tetapi mungkin lebih dipertegas, jadi karena memang pada kenyataanya memang dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka yang dicetak tebal yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia ini langsung saja disebutkan Menterinya, bidangnya. Ya, 187.

KETUA RAPAT:

Yang usul pemerintah, ayat (2) itu? Ini masih nyangkut kepanitiaan.

F-P GERINDRA (RINDOKO DAHONO WINGIT, S.H., M.Hum.):

Dalam penyusunan rancangan undang-undang Menteri atau Pimpinan Lembaga Non Kementerian

membentuk Panitia Antar Kementerian atau Non Kementerian, kami sependapat, Pak Pimpinan.

(6)

KETUA RAPAT:

Kemudian Pak Rahadi, tadi.

WAKIL KETUA (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP):

Ya, Pimpinan.

Saya kira, usulan ini sebetulnya secara substansi saya kira layak untuk dipertimbangkan dan layak untuk disetujui, namun bagaimana perlu dijadikan dicarikan suatu jalan agar Menteri yang bersangkutan ini juga bisa operasional, jadi tidak hanya kementerian saja, tapi perlu ditambahkan dalam penyusunan, kalau pemerintah ini, kalau diterima kan, Dalam penyusunan rancangan undang-undang, Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian membentuk Panitia Antar Kementerian atau Non Kementerian.

Jadi ini bisa melibatkan banyak Menteri, saya kira ini Pak dan bisa juga tidak melibatkan banyak Menteri.

Ini perlu dijadikan suatu rumusan menurut saya, dalam rangka pembahasan undang-undang yang terkait dengan Menteri yang bersangkutan, enggak tahu bagaimana rumusannya itu. Jadi, supaya lebih fokus lagi, lebih tajam lagi. Jadi kan belum denotatif, kalau ini kementerian ini. Coba Pak, Dalam penyusunan rancangan undang-undang, Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian membentuk Panitia antar Kementerian dan atau Non Kementerian. Jadi masih dalam posisi yang sifatnya, dalam posisi yang belum, bukan belum jelas, belum, masih floating gitu. Jadi, harus tegas nanti supaya lebih, jadi yang terkait, ya oke.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Ya, betul.

Silakan Pak Andi.

Prinsipnya setuju dengan usulan pemerintah, hanya ada catatan.

F-PG (H. ANDI RIO IDRIS PADJALANGI, S.H., M.Kn.) :

Ya, mestinya setuju, tapi saya tadi, usul dari Pak, mempertegas saja, mungkin perlu dipertimbangkan kali, Pak, usul dari Pak Rahadi.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Oke dari Golkar.

Pak Kyai, senior saya.

WAKIL KETUA (H. T.B. SOENMANDJAJA S./F-PKS):

Terima kasih Pak Ketua.

Berkaitan dengan DIM 187, kami bisa memahami atas usul dari pemerintah ini. Pertama,

pertanyaannya, Pak, selama ini sesuai konvensinya atau tradisinya seperti apa selama ini. Jadi, mohon

diterangkan dahulu itu kepada kami sehingga paling tidak saya punya gambaran, konvensi-konvensi atau

tradisi-tradisi selama ini. Sebab begini Pak, saya tidak menyebutkan nama RUU-nya. Ada RUU dari

pemerintah dikirim melalui Surpres, ya, dan ketika kami menyelenggarakan, Pansus menjelang

menyelenggarakan Raker, maaf, dalam penyelenggaraan Raker, menjelang menyusun jadwal ternyata ada

(7)

beberapa kementerian atau dulu departemen kementerian yang meminta hearing, begitu Pak, karena di RUU yang akan dibahas ini, ada beberapa hal yang menurut kementeriannya itu perlu didiskusikan, perlu didalami. Ada yang mengatakan, ada yang tercecer begitu, kira-kira seperti itu. Jadi sangat penting, jadi usul yang disampaikan pemerintah itu sangat penting, tetapi atas beberapa peristiwa kiranya dapat diberikan kepada kami konvensinya, tradisinya atau apapun istilahnya lah ya, seperti apa, itu yang pertama.

Yang kedua, kalau kalimatnya seperti ini, saya bacakan, Dalam penyusunan rancangan undang- undang, Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian membentuk Panitia Antar Kementerian dan atau Non Kementerian. Ini imperatif kan, tidak harus begitu. Nah, apakah ini nanti, pertanyaannya, pak, apakah ini tidak menyinggung kewenangan internal pemerintah, Presiden dalam hal ini, begitu. Kalau itu misalnya Presiden memandang perlu melalui kementerian, pada dasarnya kami, substansinya setuju ya, tetapi sekali lagi, apabila Presiden ini merasa kewenangannya terganggu, ini mohon dijelaskan kepada kami.

Dan yang ketiga, saya ingin mendalami, membentuk Panitia. Membentuk Panitia ini, pemerintah sengaja atau tidak ya, itu ada pengambangan, yang kalau Pak Rahadi mengatakan, denotatif, sesungguhnya ini bisa satu bisa juga lebih, tapi kalau misalnya dikatakan satu panitia, atau suatu kepanitia, apapun juga namanya, tapi ada penegasan itu hanya satu-satunya Pak, maksud saya begitu. Apakah seperti itu atau diberi keleluasaan membentuk panitia-panitia terserahlah begitu, nanti dalam implementasinya.

Terima kasih.

Saya kira tiga itu, Pak Ketua, sekali lagi prinsipnya Pak Dirjen, Ibu-Bapak yang terhormat, kami setuju, hanya tinggal mohon itu diberikan kepada kami agar ada wawasanlah begitu, terima kasih.

KETUA RAPAT:

Terima kasih Pak Soenman.

Pak Gede mau, atau masih belum tune-in? 187, Pak ya.

Saya juga ingin menambahkan, jadi mungkin bisa dijelaskan oleh Pak Dirjen. Jadi memang usul ini kita pahami, tetapi tentu saja perlu ada kejelasan, termasuk juga ini barangkali juga yang sekarang faktanya ada masalah ini, ini di kementerian ini Pak, maaf ya, ketika soal Undang-undang BPJS ya. Ini juga problem ini, ya semangatnya,semangatnya disini sudah ada koordinasi oleh Menteri yang memang menangani bidang peraturan perundang-undangan hukum dan HAM, tetapi bagaimana sebetulnya prakteknya, interdep ini, ya, kalau sekarang inter kementerian ini sehingga lebih, ini usul ini sudah positif, tetapi ingin langsung kita menjawab problem yang dihadapi begitu, antisipasi ke depan. Nah, menukik sekaligus juga antisipatif begitu, karena kemungkinan-kemungkinan bisa terjadi dan faktanya memang terjadi selama ini.

Terima kasih.

Oleh karenanya saya persilakan kepada Pak Dirjen untuk merespons apa yang ditanyakan oleh Pimpinan maupun Anggota.

Terima kasih.

DIRJEN PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Baik, terima kasih atas pertanyaan Pak Soenmandjaja dan Pak Ketua langsung, Pak Deding.

Ketentuan ini sebetulnya sudah berjalan dalam praktek dan sebetulnya didalam praktek ini sudah

dituangkan dalam Peraturan Presiden No.68/2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-

Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah

dan Rancangan Peraturan Presiden, yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 18 ayat (3) dan

Pasal 24 UU No.10/2004. Nah, kemudian kami tambahkan pula, ini terkait dengan rancangan undang-

(8)

undang yang diajukan oleh Presiden, jadi beda kalau rancangan undang-undang yang dari DPR kemudian disampaikan kepada Presiden, lalu Presiden akan menunjuk Wakil yang ditunjuk untuk mewakili Presiden dalam pembahasan di DPR. Nah, disini memang belum menunjuk, karena ini tergantung substansinya.

Jadi, Menteri atau Pimpinan ini kalau terkait lingkup tanggung jawabnya kementerian tertentu, misalnya Kementerian Kesehatan, maka Menteri atau Pimpinan Menteri Kesehatan tersebut yang membentuk Panitia Antar Kementerian dan atau Non Kementerian. Nah kami tadi diperingatkan juga, dan ini sangat betul bahwa perlu ada tambahan yang terkait dengan substansi rancangan undang-undang, ditambahkan.

Jadi, memang di Perpresnya demikian, Pak. Ditambahkan yang terkait dengan substansi rancangan undang-undang. Kami setuju.

KETUA RAPAT:

Ya, jadi tadi yang dikait-kait begitu ya. Jadi, ini bisa disetujui penjelasan? Terus yang kedua tadi, silakan Pak.

WAKIL KETUA (H. T.B. SOENMANDJAJA S./F-PKS):

Pak Dirjen,

Tadi, terima kasih atas informasinya. Cuma ini kan ada membentuk panitia. Pertanyaanya apa memang seperti ini saja, atau membentuk satu panitia atau suatu panitia, atau mungkin beberapa panitia begitu Pak, kalimat ini nanti dalam implementasinya. Kami menyadari Pak ya, maaf merasakan, ada Pansus tertentu yang kita RUU dari pemerintah seperti saya katakan tadi, ternyata ada problem bagi kementerian tertentu atas RUU tersebut. Jadi ini sangat penting Pak. Apakah kita akan menetapkan satu saja, atau biarkan seperti ini sehingga fleksibel bisa beberapa kepanitiaan atau bagaimana, terima kasih Pak.

KETUA RAPAT:

Nampaknya perlu ada penjelasan sedikit, sebelum kita, prinsipnya kan sudah bisa dipahami diterima, tetapi ada penekanan barangkali. Mohon ada penjelasan tambahan ya dari Pak Dirjen.

Silakan.

DIRJEN PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Terima kasih.

Jadi, pengertian Panitia tanpa ada kata satu atau suatu, itu selama ini prakteknya satu panitia, Pak. Jadi Panitia Antar Kementerian dan atau Non Kementerian. Memang tidak dieksplisitkan kata satu, atau suatu, cukup disebut Panitia Antar Kementerian dan atau Non Kementerian yang terkait dengan substansi rancangan undang-undang. Demikian Pak.

KETUA RAPAT:

Baik, jadi saya pikir penjelasan dari Pak Dirjen ini setidaknya bisa memberikan gambaran pada

praktek sehingga tidak mengganggu maksud dan tujuan dari usul ini, begitu ya. Kemudian tadi ada

tambahan kalimat begitu, sehingga lebih memperjelas dan itu merespons usul yang disampaikan oleh

Anggota dan Pimpinan, Pak Rahadi dan Pak Andi berkaitan dengan Menteri terkait dengan substansi RUU

begitu. Mungkin ini diserahkan ke Timus ya, ya, kita setujui materinya untuk di, kita amanahi kepada Timus

Pak ya? Baik.

(9)

(RAPAT:SETUJU)

Selanjutnya, ini sebelum kita lanjutkan, selamat datang Pak Taufik dan Ibu Nurul, jadi lengkap sekali, berimbang dengan kelengkapan dari jajaran Kementerian Hukum dan HAM.

Selanjutnya DIM No. 188 ya. Nah Pemerintah juga ada usul ini. DIM No. 189 ini, maaf. DIM No.

188 Timus, DIM No. 189 ini saya kurang kelihatan. Ini ada usul dari Pemerintah menyangkut pengaturan lebih lanjut tentang tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang, RUU DPR diatur dengan PP (Peraturan Pemerintah), namun usulan Pemerintah itu diatur dengan peraturan presiden. Oleh karena kami persilakan untuk memperjelas usulan Pemerintah ini.

Silakan, Pak Dirjen.

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Baik, terima kasih.

Ini dulu di Undang-undang No. 10 Tahun 2004 ini diatur di Pasal 18 ayat (3) jadi di sana memang delegasiannya untuk lebih lanjut tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang itu diatur dengan peraturan presiden karena materi muatannya, ini materi muatan peraturan presiden berlaku untuk di kalangan eksekutif saja. Dan yang kami sebutkan Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 itu yang selama ini jadi landasan, jadi pedoman, di dalam tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Maaf, sebelum ini juga saya menemukan kata kunci tadi, Bapak terakhir menyebut bahwa ini untuk kebutuhan di internal Pemerintah, begitu ya, tetapi di sini secara eksplisit tidak dinyatakan, Pak. Ayat satu ya?

Silakan tanggapan dari, ini tanggapan dulu kan. Ya,silakan.

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Bisa kami tambahkan, Pak, sambil jalan?

Jadi melengkapi apa yang sudah kami sampaikan bahwa ini materinya peraturan presiden hanya berlaku lingkungan eksekutif ini ayat ini merupakan lanjutan dari Pasal 33 ayat (1) undang-undang yang diajukan oleh Presiden.

KETUA RAPAT:

Sudah jelas yang saya tanyakan tadi, Pak. Jadi saya sudah cek Pasal 33 ayat (1) rancangan undang-undang yang diajukan oleh presiden disiapkan oleh menteri dan sebagainya, dan seterusnya. Jadi ini mengikuti itu, Pak, ya, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan undang- undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan presiden.

Silakan fraksi-fraksi.

Mulai Pak Gede.

F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.):

Satu kata setuju.

(10)

KETUA RAPAT:

Perubahan Pemerintah?

Oh, ya, perubahan ya.

Silakan yang lainnya.

Ya, Pak Rahadi.

WAKIL KETUA (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP):

Ya, karena sudah semakin jelas jadi sudah sangat denotatif ya karena sudah menujuk pada ayat (1) saya kira tidak ada masalah. Setuju saya, Pak.

KETUA RAPAT :

Kemudian Pak Rusli.

F-PAN (Drs. H. RUSLI RIDWAN, M.Si) :

Satu kata setuju.

KETUA RAPAT:

Pak Bukhori?

Belum tune in, selamat datang, Pak. Oke. Semakin ganteng saja nih.

Silakan. Maksudnya gagah

Pak Rindhoko?

Pak Soenman dulu. Pak Soenman silakan.

WAKIL KETUA (H. T.B. SOENMANDJAJA S./F-PKS):

Terima kasih.

Saya mewakili Pak Bukhori sambil menunggu sambil menunggu kesadarannya utuh ya.

Terima kasih.

Jadi memang ini kalau kita melihat secara hitam putih ya dan kewenangan langsung yang melekat pada Pasal 30 ayat (1), DIM No. 186 rancangan undang-undang yang diajukan oleh presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.

Sebelum memasuki usul perubahan setuju atau tidak setuju, Pak Dirjen, Pemerintah yang terhormat, bagaimana kalau ini juga berkenaan dengan lembaga negara lainnya, misalnya, ya boleh jadi nanti bersentuhan dengan katakanlah misalnya dengan lingkup DPD atau lingkup DPR, misalnya, Pak, ini seandainya, Pak, ya, berarti kalau itu yang dimaksudkan maka dia tidak akan menyentuh sama sekali lembaga negara lainnya kecuali sepenuhnya ada di lingkup eksekutif jajaran kepresidenan begitu. Nah, kalau itu yang dimaksudkan diskusinya adalah bagaimana kalau berkenaan dengan lembaga negara lainnya, bersentuhan begitu.

Demikian, Pak Ketua.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Sebelum Pak Dirjen barangkali ada yang lain.

(11)

Pak Rahadi.

WAKIL KETUA (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP):

Saya tadi menyatakan bahwa karena ini ada jalur komando dengan Pasal 33 ayat (1) saya kurang nyambung, menurut saya sudah denotatif, karena itu internal di lingkungan pemerintahan. Saya kira sudah selesai kalau menurut saya. Sudah pas redaksinya.

KETUA RAPAT :

Pas ya.

Pak Rindhoko?

Pas.

Pak Andi, Ibu Nurul?

Sudah juga.

Jadi tinggal menjawab apa yang ditanyakan oleh Pak Soenman. Silakan Pak Dirjen.

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Ya, ini ketentuan ini belum dan tidak berbicara dengan substansinya tetapi sesuai dengan ketentuan itu ya menyangkut prosedurnya, tata caranya, itu terbatas itu saja.

KETUA RAPAT:

Ada tambahan penjelasan atau cukup, Pak Dirjen?

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Kami persilakan, mohan ada kesempatan tambahan dari Kepala BPHN ini.

KETUA RAPAT:

Silakan, Pak.

BPHN (WITJIPTO):

Terima kasih, Pak Dirjen.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Terkait yang tadi disampaikan oleh Pak Soenman dan ini sudah berjalan dan biasanya apalagi kalau menyangkut misalnya terkait dengan kewenangan Mahkamah Agung, kewenangan lain-lain MK itu biasanya ya Kementerian Hukum dan HAM yang dijadikan tuan rumah, menteri itu tadi. Jadi kalau misalnya ada RUU yang terkait dengan kewenangan lembaga Negara yang bukan lingkup eksekutif biasanya ini menjadi kewenangan Kementerian Hukum dan HAM, misalnya RUU mengenai MK, KY dan sebagainya, itu biasanya akhirnya Menteri Hukum dan HAM yang menjadi penanggung jawab dalam penyusunan rancangan tersebut.

Demikian, Pak.

Terima kasih.

(12)

KETUA RAPAT:

Ini menarik ini. Pendalaman, silakan.

WAKIL KETUA (H. T.B. SOENMANDJAJA S./F-PKS):

Terima kasih, Pemerintah, Kepala BPHN.

Pendalaman, Pak. Ini kita belajar dari kasus RUU BI ya tentang Bank Indonesia dan RUU tentang Badan Pemeriksa Keuangan waktu itu. Kan sekali lagi ini posisi kedua badan yang saya contohkan ini dalam pembahasan undang-undang itu ikut di jajaran Pemerintah kan begitu, Pak ya. Tetapi pengalaman itu ternyata juga membuat sedikit kegaduhan begitu, atau ada manuver-manuver begitu, padahal itu kan kita inginnya selesai dahulu di Pemerintah itu secara utuh. Nah, kalau ini dipayungi oleh peraturan presiden, maksud saya, apakah nanti juga pihak-pihak tersebut merupakan bagian dari panitia Pemerintah, itu yang pertama.

Tetapi kalau ini merupakan lembaga negara ya kita anggap BPK misalnya atau tadi KY, MK, MA, dan sejenisnya, maaf, kalau saya terlalu jauh, kemudian tidak memungkinkan dimasukkan ke dalam DIM Pemerintah berdasarkan peraturan presiden ini, maka kami cenderung dia di peraturan pemerintah, pengaturannya ini, sebab sekali lagi dalam beberapa hal sungguhpun ini ada kesetaraan begitu secara kelembagaan hasil perubahan Undang-undang Dasar, tidak serta merta dalam beberapa mereka juga kemudian terkesan begitu dibawahkan, oleh siapapun juga, Pak. Dan saya diskusinya di situ, karena ini ada panitia yang dibentuk, jangan sampai begitu ada perasaan katakanlah kita lupakan soal kepentingan politik tetapi betapapun juga ini undang-undang produk dari kegiatan politik. Jadi ketika misalnya MK, MA, BPK, KY dirancang undang-undangnya, kemudian payung yang kita sepakati misalnya dengan peraturan presiden, lantas ada panitia dibentuk di sana dan kami tentu saja tidak mengetahui apakah sampai sejauhmana mereka dilibatkan, paling tidak kami tidak tahu. Ini persoalan, Pak. Tetapi kalau dengan peraturan pemerintah maksud kami di situ ada hal yang perlu dipertimbangkan oleh presiden lah dalam hal ini tentang sampai sejauh mana pelibatan bahkan peran serta, bahkan juga keberadaan wakil-wakil lembaga tersebut di dalam forum-forum bahkan kepanitiaan itu.

Itu saja, Pak Pemerintah, mohon pendalaman.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Terima kasih.

WAKIL KETUA (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP):

Ya saya ingin masuk seperti apa yang dikatakan Pak Soenmandjaja, artinya bahwa di Pasal 3 ini memang khusus untuk internal di lingkungan eksekutif, saya kira. Yang di Pasal 3, karena ini sudah merujuk kepada Pasal 33 ayat (1) jadi link komandonya, link komando yuridisnya itu jelas, alurnya jelas.

Nah, saya ingin menguatkan apa yang dikatakan oleh Pak Soenmandjaja, tentu perlu ada satu

klausul satu lagi apakah di Pasal 4 yang mengatur tentang lembaga-lembaga negara yang ada yang

sejajar dengan Presiden. Itu saya kira perlu, Pak, jadi supaya tidak rancu. Kalau ini tentang organ-organ

yang ada di luar Pemerintah ini, saya kira memang perlu diatur, jadi supaya tidak menimbulkan suatu

kerancuan yuridis. Memang dengan Pak Soenman betul, apa iya, ini kan kementerian dan lembaga

pemerintah dan non kementerian membentuk panitia agar kementerian dan/atau non kementerian. Artinya

bahwa lembaga-lembaga negara itu sebenarnya dalam posisinya tidak sejajar dengan lembaga-lembaga

kementerian, agak berbeda. Artinya kesejajaran setelah amandemen itu apakah Presiden, DPR, DPD,

(13)

kemudian MA, KY, BPK itu posisinya, statusnya dalam posisi sejajar. Nah, kalau dalam posisi sejajar apakah mungkin ini diatur oleh peraturan presiden yang menugaskan kementerian. Kalau maksud saya tadi saya sepakat ini untuk internal di lingkungan eksekutif. Tadi muncul pembahasan dari Pak Soenmandjaja menurut saya perlu dicarikan suatu wadah atau ayat tersendiri agar tidak menimbulkan kerancuan. Saya paham bahwa pasal ini maksudnya untuk lebih konsentrasi, lebih fokus di lingkungan pemerintahan. Nah, dengan BPK, dengan KY, dengan MA itu juga menjadi persoalan kalau tidak diatur.

Terima kasih.

F-PAN (Drs. H. RUSLI RIDWAN, M.Si) :

Ya, sedikit, Pimpinan.

KETUA RAPAT:

Ya, silakan.

F-PAN (Drs. H. RUSLI RIDWAN, M.Si) :

Ini memang ini ingin memahami lah keinginan Pemerintah dan juga saya memahami juga keinginan dari Pak Soenman tadi. Jadi memang tadi sudah disampaikan oleh Pak Rahadi bahwa yang diajukan oleh Pemerintah ini menunjuk sebetulnya kepada Pasal 33 ayat (1), rancangan itu yang berasal dari Presiden, yang diajukan oleh Presiden, bagaimana tadi yang dari luar, apakah ini tepat, begitu, diatur oleh peraturan presiden, sehingga ada pintu masuk bagaimana kalau di lembaga-lembaga lain.

Saya ingin menegaskan saja, Pimpinan.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Di pasal berapa itu?

Ada yang lain bisa disampaikan. Silakan sebelum Pak Dirjen supaya lengkap, silakan.

F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) :

Jadi di sini kan kita lihat konsistensi juga antara usulan dari rancangan undang-undang dari Presiden, dari DPD, maupun dari DPR, artinya kalau logika yang disampaikan tadi bagaimana dengan lembaga lain, saya kira sama juga, kondisi psikologis itu akan terjadi juga apabila dia usulannya ada di DPR karena juga sama-sama lembaga tinggi negara dia, begitu juga kalau dari DPD. Saya kira konsepnya di sana. Tetapi kalau di sini kan dia tidak masuk di dalam konteks substansi tetapi hanya mekanisme kalau saya lihat di sini kan tentang mempersiapkannya saja, prosesnya mempersiapkan saja, jadi karena pertimbangan itulah saya bisa memahami apabila memang cukup di peraturan presiden saja, karena kalau kita lihat ini kan untuk mengacu di Pasal 33 yang diajukan oleh Presiden, kemudian yang diajukan oleh DPD mengacu di Pasal 34, kemudian yang di Pasal 35 mengacu pada RUU yang disiapkan oleh DPR, jadi sama-sama posisinya, memang lembaga yang lain kan tidak ada di dalam itu, tetapi kalau logika ewehpakewoh saya kira sama juga jangan terjadi di tempat yang lain.

Itu saja mungkin pertimbangannya. Terima kasih.

(14)

KETUA RAPAT:

Ya, ini sebelum Pak Rahadi, ini ada Pak Soenman, ada Pak Rahadi atau ada Pak Taufiq, barangkali yang belum?

Jadi sebetulnya ini menarik ya, Pak, ya. Jadi memang mohon maaf kita belum mengambil keputusan karena di sini ada dua pemahaman yang harus disatukan, pertama ada kebutuhan internal di lingkungan pemerintahan, nah itu bisa kita pahami. Tetapi sesungguhnya barangkali kita tidak boleh lupa bahwa perlunya sebuah tata cara dalam penyusunan sebuah undang-undang, ini yang mengatur secara keseluruhan, apapun inisiatif ini datang dari mana, begitu kan? Kita seperti itu. Dan oleh karenanya yang lebih tepat adalah peraturan pemerintah, kira-kira begitu, ada pemikiran ke sana.

Untuk ini silakan, Pak Soenman.

WAKIL KETUA (H. T.B. SOENMANDJAJA S./F-PKS):

Terima kasih, Pak Ketua.

Pemerintah yang terhormat,

Jadi kembali, Pak, pendalaman, Pak, ya, seperti kita mulai bersama bahwa Undang-undang Dasar kita itu menegaskan bahwa yang berhak mengajukan rancangan undang-undang itu kan hanya tiga, pertama Presiden, yang kedua anggota DPR dan yang ketiga DPD melalui DPR, kan begitu. Sementara lembaga negara lain apakah itu BPK, MA, MK, KY, itu sama sekali tidak punya kewenangan itu. Nah, ketika Presiden mempunyai inisiatif untuk melakukan sesuatu terhadap lembagan negara tersebut ya dan sekali lagi tanpa melibatkan mereka itu karena payung hukumnya tidak bisa menembus kepada, peraturan presiden, itu sekali lagi Presiden dengan sangat leluasa mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Mahkamah Agung kepada DPR, tanpa melibatkan Mahkamah Agung, kan begitu, Pak, karena ini peraturan presiden. Tetapi sekali lagi mekanime ini memang diperlukan begitu, diperlukan sekali, hanya saja ketika ini menyangkut dengan pengaturan antar lembaga negara itu dalam upaya kita atau dalam konteks penyusunan rancangan undang-undang kami memandang perlu ada satu wibawa dan satu posisi, satu status yang bisa menempatkan lembaga negara lainnya secara sehadap atau duduk bersama-sama begitu. Demikian. Dan sekali lagi saya secara pribadi kami tidak ada prasangka apapun juga, tetapi ini kita berkunjung kepada hari esok agar tertiblah dalam penyusunan rancangan ini. Dan kami tidak main-main, Bapak sekalian yang terhormat, ada pengalaman itu ya, dan terakhir ini kita rasakan saya sampaikan saja, Pak Dirjen, itu Rancangan Undang-undang tentang Pengadaan Tanah itu clear kita melihat langsung itu bagaimana terjadi hal-hal yang ternyata belum beres di internal Pemerintah, faktanya hampir semua kementerian minta diundang berbicara dengan Pansus. Demikian. Ada yang tersisa, ada yang tertinggal istilahnya, apapun namanya. Kalau ini sudah ada, diharapkan ini tidak terjadi dengan Panitia tadi itu. Nah, problemnya adalah ketika DIM tadi itu menyangkut ayat (1) itu kami, saya, Pak, itu setuju, Pak, seratus persen, tetapi karena pihak yang boleh menginisiasi satu RUU ayat (3) saja utamanya Presiden dan DPR, nah betapa dengan lembaga negara lainnya yang tiba-tiba misalnya oleh DPR begitu atau oleh Presiden didemikiankan tanpa sama sekali mendengar bagaimana pengalaman mereka, bagaimana praktis mereka dan apa juga aspirasi mereka yang sesungguhnya begitu. Jadi hal seperti ini sesungguhnya yang kami ingin dalami, Pak, sekali lagi.

Jadi in prinsip kami setuju tetapi mari kita bangun mana-mana yang memang levelnya di peraturan presiden kami setuju, tetapi mohon dipertimbangkan juga ketika ada lembaga negara lainya berkenaan dengan inisiatif penyusunan satu RUU.

Demikian, Pak Ketua.

Terima kasih.

(15)

KETUA RAPAT:

Silakan. Terima kasih, Pak Soenman.

Pak Rahadi.

WAKIL KETUA (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP):

Jadi seperti yang saya sampaikan tadi, Pak, jadi memang Pasal 33 ayat (1) itu tentunya ini berimbas ke Pasal 33 ayat (3) ini sudah jalur komandonya jelas. Ini untuk internal pemerintahan. Nah, saya menafsirkan ini non kementerian itu misalnya adalah lembaga-lembaga non kementerian, misalnya BPN atau misalnya badan-badan lain atau yang lain sebagainya, yang saya maksudkan seperti itu. Nah, sekarang ada lembaga-lembaga negara yang saya ingin mengulangi yang sejajar dengan Presiden, yang sejajar dengan DPR, ya tentunya tidak mungkin ini di bawah link command peraturan presiden, nah, saya mengusulkan tadi karena ini ada kebutuhan untuk internal Pemerintah, nah untuk yang di luar itu saya kira menurut saya mengusulkan dibuka satu ayat lagi yang mengatur soal itu, begitu loh, jadi tidak merusak tatanan yang ada di bawah, tidak, ini jalan keluarnya seperti itu, jadi supaya tidak bias, supaya tidak ada ketersinggungan lembaga-lembaga yang sejajar dengan Presiden, kemudian diatur oleh peraturan presiden. Peraturan presiden itu bentuknya bisa bermacam-macam, bisa bersifat regeling, bisa bersifat beschikking. Ini harus jelas di situ, Pak. Artinya kalau kita melihat lapis-lapis perundang-undangan yang ada adalah seperti itu saya kira perlu ada apakah ini dimunculkan menjadi ayat (4) atau sebelumnya dimunculkan menjadi ayat (1) kemudian ayat (1)-nya bergeser ke bawah. Ini usulan dari saya, jalan keluarnya seperti itu kira-kira ada wadah yang tentu supaya kekhawatiran Pak Soenman. Kalau saya menyetujui tadi seperti itu bukan konteks situ Pak Soenman, tetapi dalam konteks kebutuhan Pemerintah supaya terkoordinasi dengan baik.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Sudah mulai ada solusi ya, jadi memang usulan Pemerintah ini juga me-refer pada Pasal 33 ayat (1) sebagai kebutuhan internal di lingkungan pemerintahan, tetapi ada soal problem hukum antar lembaga, lembaga negara ini, tentu ini perlu diwadahi, diatur di situ.

Jadi bagaimana tanggapan Pemerintah ini tehadap usul terakhir ini dari teman-teman.

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Baik, terima kasih, Pak Pimpinan dan anggota.

Kami respons dari Pimpinan dan anggota, ada empat hal yang nampaknya harus kita pilah,

pertama pembentuk undang-undang, bagaimana Pasal 20 Undang-undang Dasar adalah DPR dan

Presiden, pembentuknya. Kedua, untuk kewenangan pengajuan rancangan undang-undang dari eksekutif

itu adalah Presiden, dan ini Pasal 5 Undang-undang Dasar kita, Pasal 5 ayat (1). Kemudian pemrakarsa itu

adalah menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian yang bukan menteri atau lembaga

non kementerian pemrakarsanya selama ini diwakili oleh menteri yang terkait, jadi misalnya Polri,

Kejaksaan itu oleh Kemenkumham. Nah, untuk keterlibatan substansi itu tadi di ayat (2) tadi bahwa untuk

keterlibatan substansi membentuk panitia antar kementerian dan/atau non kementerian, untuk yang

lembaga tadi yang disebut sejajar dengan Presiden, itu selama ini yang dilibatkan memang tidak

pimpinannya tetapi Kesekjenannya, itu yang di dalam praktek yang sudah berjalan selama ini. Jadi

memang kita bedakan pemrakarsanya itu adalah menteri, dan pimpinan lembaga pemerintah non

kementerian, kemudian untuk keterlibatan substansinya itu di ayat (2) tadi membentuk panitia antar

kementerian untuk lembaga yang disebut sejajar tadi dengan Presiden, itu yang dilibatkan bukan

(16)

pimpinannya memang tetapi adalah Kesekjenannya, karena itu yang eksekutifnya. Ini yang di dalam praktek dan yang diatur di dalam Perpres No. 68 yang sudah berjalan.

KETUA RAPAT:

Jadi, Pak Dirjen, umpamanya saya mencoba ada ilustrasi soal pembahasan KY ya. KY ini kan ini pintu masuknya perubahan itu antara lain ketika dengan Pemerintah itu DPR membahas Undang-undang KY dihadirkan di situ pihak terkaitlah katakan ya, di situ ada Sekjen KY ya, kemudian juga ada yang berkaitan dengan kepentingan pengawasan, maksudnya objek pengawasannya adalah MA itu dihadirkan tidak dalam posisi Pak Abdul Ghani ini sebagai Hakim Agung ya tetapi dia sebagai pengurus IHI ya (Ikatan Hakim Indonesia), jadi prakteknya itu barangkali, dan itu cukup diatur dengan peraturan presiden begitu ya.

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Dan selama ini, Pak Pimpinan dan anggota, berjalan dan tidak ada masalah yang demikian.

KETUA RAPAT:

Jadi ini kan begini, Pak, kita sudah melewati berapa fase, jadi soal inisiatif DPR, di DPR ini sudah dibahas, Pak, ya. Sudah selesai. Nah, sekarang kita bicara dalam konteks pembahasan usul ini dari Presiden, dari Pemerintah, kan begitu. Itu tataran diatur melalui Perpres karena kebutuhan internal Pemerintah, tetapi undang-undang ini kan juga bisa secara substantif menyangkut lembaga negara, begitu kira-kira, meskipun ini kita secara eksplisit tidak mencantumkan perlu diatur oleh di atas Perpres, begitulah sebutlah, katakanlah PP, tetapi tentu ada semacam wadah bahwa kita ini saling …(tidak dilanjutkan)…

antar lembaga ini, Pak. Nah, kira-kira apakah memang masih ada kebutuhan hayat yang mengatur dalam konteks koordinasi antar lembaga ini. Itu yang barangkali dimaksud Pak Rahadi atau secara eksplisit memang harus diatur oleh mungkin pasal sendiri, ayat sendiri, ayat lah, jadi bagaimana ini, kita serahkan kepada ini, kita sepakati dengan catatan bahwa ada tambahan ayat yang akan dirumuskan berikutnya begitu.

Silakan Pak Rahadi.

WAKIL KETUA (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP):

Jadi konotasi atau penafsiran saya dari Pasal 33, kemudian ke Pasal 2, kemudian Pasal 3, ini nampaknya memang menjadi satu kesatuan dari sebuah jalur, Pak, karena kalau kita telaah, kita teliti, karena di sini ada rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden. Kan itu sebenarnya, Pak, kata- kata Presidennya itu sebenarnya yang saya cukup mengganggu. Kemudian turunannya ya otomatis ya harus link komandonya ke Presiden atau ke peraturan presiden. Nah, kemudian kalau ada persoalan seperti yang tadi disampaikan oleh para Pimpinan dan anggota Panja ini, ini perlu dicarikan suatu solusinya agar tidak menimbulkan kesalahkaprahan yang terus menerus berkembang, karena di Pasal 33 itu jelas, Bapak, menyebut nomenklatur Presiden, nah tentunya kan ini sangat tidak logis kalau Presiden kemudian yang sejajar dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang ada yang hasil amandemen itu kan, tidak lazim begitu loh, Pak, link komandonya adalah Pak Soenamdjaja, Pak Soenmandjaja punya kuasa ini, turun ke pasal berikutnya, turun ke Pasal 3 untuk kebutuhan internal, kemudian Pak Soenmandjaja mau mengatur saya, ini kan persoalan, ini contoh analoginya seperti itu, Pak Soenman, ini sebagai contoh, Pak, bukan berarti saya tidak mau diatur Pak Soenmandjaja tetapi contoh saja. Itulah kira-kira, Pak, contohnya, Pak, gambarannya begitu, analoginya.

Terima kasih.

(17)

KETUA RAPAT:

Terima kasih Pak Rahadi.

Pak Taufiq.

F-PG (Drs. TAUFIQ HIDAYAT, M.Si) :

Terima kasih.

Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh Salam sejahtera untuk kita semua,

Mudah-mudahan tidak berbeda sama Pimpinan ini, berapa kali saya ngomong berbeda terus, saya jadi tidak enak ini.

Wewenang untuk mengajukan undang-undang itu kan perintah konstitusi artinya itu komando tertinggilah di dalam sebuah konstruksi negara dan tidak ada yang lebih tinggi dari konstitusi. Nah, oleh karena itu sebenarnya menyangkut hubungan pengaturan di dalam sebuah undang-undang terhadap institusi yang juga punya kedudukan sederajat dengan Presiden, sebenarnya, menurut hemat saya itu tidak terjadi suatu kerancuan apabila itu masuk dalam lingkup peraturan presiden untuk mengatur mengenai pengajuan sebuah undang-undang, karena perintah terhadap pengajuan undang-undang itu adalah spesifik, Pak, ini tidak melebihi dari ketentuan atau perintah yang ada di konstitusi itu. Tidak menyangkut misalnya fungsi dari kelembagaan institusi yang sejajar dengan Presiden itu. Nah, malah kalau perintah konstitusi itu dijelaskan untuk pengajuan undang-undang itu oleh Presiden bisa dilakukan dan ini menurut hemat saya kalau ini harus dilakukan dengan tadi mempertimbangkan eksistensi kelembagaan yang lain dengan cara seperti itu menurut saya itu justru akan mengurangi posisi dan kewenangan yang sedemikian jelas dalam konstitusi itu. Jadi khusus untuk pembuatan undang-undang hal itu bisa dilakukan, di luar itu memang terbatas kekuasaan Presiden itu.

Maka menurut hemat saya peraturan presiden itu sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan, kira-kira begitu, Ketua. Atau sama juga dengan Pemerintah saya kira ini ya secara tidak sadar.

KETUA RAPAT:

Saya rasa apa yang disampaikan oleh Pak Taufiq dengan teman-teman sama ya, jadi kita sudah focus karena memang kita bicara dalam konteks Pasal 33 ayat (1) menyangkut RUU yang diinisiasi oleh Pemerintah, Presiden, itu memang diatur oleh Presiden, tetapi implikasinya memang terkait nanti dengan lembaga tinggi kalau dulu, kalau sekarang tidak ada istilah tinggi dan tertinggi kan, tidak ada, lembaganya semua tinggi sejajar, lembaga Negara, sejajar. Nah, bagaimana solusinya ini, karena ini tidak mungkin diatur di sini, Pak, tetapi kita amanah ini dari catatan apa yang berkembang ini pada saat Pemerintah membuat peraturan presiden, begitu, nah soal ini harus betul-betul dicermati. Kira-kira begitu, Pak Taufiq ya. Jadi dalam peraturan salah satu mungkin menyangkut hubungan kelembagaan antar lembaga negara ini karena penyesuaian ini diatur secara khusus, pasti diatur, kan umpamanya tadi prakteknya itu Sekjennya, misalkan Sekjan MK, Sekjen KY, kemudian organisasi dan sebagainya. Mungkin apa yang menjadi kekhawatiran dari kita semua dalam kerangka sinergitas hubungan antar lembaga Negara, kemudian koordinasi yang lebih baik lagi tentu ini menjadi catatan yang kita berikan renungan kepada Pemerintah dalam menyusun Perpres sebagai Perpres yang mengatur tentang tata cara pengaturan peraturan perundang-undangan. Saya rasa itu.

Jadi kita bisa sepakati usul Pemerintah ya?

(18)

WAKIL KETUA (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP):

Baik, jadi begini, Pak Dirjen, Bapak BPHN, artinya kalau tadi disebut Kesekjenan itu sifatnya hanya dari satu lembaga itu hanya sifatnya adalah dukungan administratif, Kesekjenan, misalnya Kesekjenan di beberapa lembaga-lembaga ini, itu memang dari Pemerintah sifatnya hanya administratif di dalam lembaga tersebut. Tetapi kalau kelembaga tersebut itu ada itu sifatnya bukan administratif tetapi sudah mempunyai nilai politis, yuridis dan sebagainya, jadi di situ kalau saya melihatnya di situ. Jadi tidak serta merta suatu lembaga misalnya BPK, kemudian secara otomatis di dalam persoalan yuridis ini perundang-undangan itu mendelegasikan ke Kesekjenan, kesekretariatan, ini sangat berbeda sekali pemahaman saya dari sisi tata Negara, sangat beda. Nah, ini yang menurut saya yang saya sampaikan tadi perlu mencari suatu jalan keluar berbeda, Pak, misalnya BPK, itu BPK-nya bukan Kesekjenan BPK, tetapi lembaga politik BPK-nya, MA, itu MA-nya bukan Kesekjenannya. Nah, ini saya kira agak berbeda bahwa perlibatan Kesekjenan itu satu pihak dengan kelembagaan itu, karena ini adalah sifatnya dukungan yang bersifat administratif yang diberikan kepada Pemerintah kepada lembaga tersebut, sifatnya perbantuan di sini, Pak. Jadi precedence saya seperti itu, jadi perlu dicarikan suatu klausul atau pasal tersendiri, jadi beda, Pak Soenman, kalau menurut saya kalau kita mau membedah dari teori HTN seperti itu.

Terima kasih.

F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) :

Pimpinan.

KETUA RAPAT:

Silakan Pak Gede.

F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) :

Sedikit, jadi penjelasan dari Golkar, Pak Taufiq dan sebagainya, saya kira cara memandangnya mungkin saya kembalikan kepada di sini di RUU ini ada tiga, pertama dia dari Presiden, kedua DPD yang nanti akan lewat DPR, kemudian yang satu lagi dari DPR. Semuanya ini adalah sama-sama sejajar.

Kemudian juga ada lembaga-lembaga negara lain, ada BPK, MA, MK, KY, macam-macam semua yang kemungkinan besar akan dibuat di dalam undang-undang, nah kalau analogi itu dipakai berarti ini harus sama, DPR pun ketika mengusulkan undang-undang harus sama, karena dia juga sejajar dengan lembaga lain, karena tidak bisa diinterpensi, tetapi kan domain di sini domain kewenangan untuk mengusulkan. Nah, kalau saya lihat di UUD 1945 memang domain mengusulkannya itu memang keterlibatannya adalah Pemerintah, Presiden dengan DPR, memang itu domainnya, karena di sini domain untuk legislasinya, mereka memang tidak masuk secara teknis di sini begitu loh, substansi masuk, tetapi ini kan tata cara tentang teknisnya begitu loh.

Jadi saya kira memang sudah pas dia itu untuk urusan Presiden dia Perpres, perlu DPD dia diatur

oleh DPD, di DPR dia di DPR itu sendiri. Kalau memang alur berpikir itu dipakai untuk Presiden berarti alur

yang sama harus dipakai juga ketika usulan itu dari DPR, begitu loh, logikanya kan jadi begitu dia, jangan

sampai di Presiden kita bebankan untuk usulan Presiden, kalau memang itu dari usulan tentang MA, KY

dan sebagainya, dia harus sejajar melibatkan KY itu menyatu untuk usulannya, tetapi dari DPR kita sendiri,

kan tidak imbang secara ininya nanti, karena ini antara Pasal 33, 34, dan 35 ini linear ya proses

pengajuannya dia.

(19)

Begitu, Pimpinan.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Ya betul ya. Jadi, Bapak-bapak dan Pak Dirjen, saya pikir apa yang berkembang pada diskusi yang cukup menarik sekaligus juga memakan waktu yang cukup lama, tetapi intinya sebetulnya ada sebuah komitmen bersama untuk tentunya kejelasan lah, adanya kejelasan tadi soal kewenangan, kemudian soal bagaimana dukungan teknis begitu, tetapi mungkin ada juga teman-teman yang tadi kita diskusikan adalah soal materi atau substansi materi dari lembaga-lembaga lain, itu kira-kira. Oleh karenanya sebetulnya, pertama kalau memang disetujui usul Pemerintah ini karena berkaitan dengan Pasal 33 ayat (1) yang domain pada Pemerintah, Presiden, jadi kita bisa sepakati, dengan catatan apa yang berkembang ini, itu bisa masuk dalam materi pengaturan peraturan presiden menyangkut tata cara pembentukan perundang-undangan. Kan seperti itu persiapan pembentukan perundang-undangan. Begitu Papk Rahadi. Atau DIM ini kita pending sampai besok ya. Sebetulnya secara intinya semua itu bisa disepakati kan Pasal 33, jadi kita bisa setujui begitu. Ya setuju ya?

WAKIL KETUA (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP):

Saya setuju tetapi untuk lembaga-lembaga yang berkaitan dengan lembaga-lembaga yang sejajar itu.

KETUA RAPAT:

Setuju dengan catatan itu masuk. Bapak, usul konkritnya masuk dalam ayat di sini dalam hal ini?

WAKIL KETUA (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP):

Jadi begini, Pak, jadi kalau ini kan yang namanya undang-undang, hukum itu harus konsisten, konkordan ke bawah, yang saya sampaikan tadi ketika bicara ya mungkin misalnya tafsir ya yang non kementerian, yang non kementerian itu saya kira yang ada di lingkup Pemerintah. Di lingkup Pemerintah itu artinya bukan, itu beda loh, Pak, ini lembaga-lembaga tadi bukan di lingkup itu loh, bukan masuk itu loh kalau kita melihat konstitusi yang benar ya, kalau melihat hukum tata Negara yang benar, jadi dia adalah sejajar dan otonom sebetulnya, nah ini yang menjadi masalah, itu reasoning saya seperti itu, perlu dibuka ayat tersendiri yang mengatur soal itu. Karena kalau kita mau jujur konsideran Pasal 33 itu kan hasil rembetannya ke bawah kalau dari sisi undang-undang, konstitusi kan 33, 33 otomatis turunannya ke Pasal 2 kemudian ke Pasal 3 sudah benar, untuk kewenangannya seperti itu menurut saya, tetapi yang jadi masalah ketika kita diganggu oleh Pak Soenmandjaja tadi. Itu. Jadi diingatkan oleh Pak Soenmandjaja tadi, ya itu karena Pak Soenmandjaja ini kan salah seorang Pimpinan sosialisasi MPR, jadi kan paham benar, Pak. Saya hampir lupa tadi itu kalau Pak Seonmandjaja tidak ganggu. Itu kira-kira seperti itu, Pak. Jadi perlu ini ada suatu, menurut saya, Pak, tetap kita akan orang menafsirkan bahwa ini adalah yang di bawah sub koordinasi Presiden, suka atau tidak suka, apalagi bentuknya seperti ini kalau kita cermati.

Terima kasih.

F-PAN (Drs. H. RUSLI RIDWAN, M.Si) :

Pimpinan, sedikit barangkali.

(20)

KETUA RAPAT :

Silakan Pak Rusli.

F-PAN (Drs. H. RUSLI RIDWAN, M.Si) :

Saya mohon penjelasan dari Pemerintah saja ini, jadi pintu masuk untuk menyampaikan RUU itu ada dua hal ini, dari DPR, satu lagi pintunya lewat Presiden. Pertanyaannya kebiasaan yang sudah-sudah dulu, itu bagaimana kalau dari Bank Indonesia, dari Mahkamah Agung dan sebagainya tadi yang disebutkan oleh para ahli, mau mengajukan, itu pintu masuknya kan harus lewat Presiden, nah Presiden itu apakah ke Presiden atau nanti menunjuk menteri-menteri maksudnya itu, ke mana masuknya itu dari MA, dari BI? Itu kan harus ke menteri juga sebetulnya kan? Menteri juga. Nah, jadi menurut saya sudah pas ajuan, menurut saya begitu, itu usul Pemerintah sudah tepat, karena di sini dalam peraturan pemerintah inilah yang mengatur bagaimana mekanisme kalau dari MA, dari BI. Itu kan masuknya bukan kepada kementerian, kepada non kementerian, kan begitu, jadi peraturan pemerintah inilah yang mengatur tentang bagaimana tata cara masuknya RUU yang datangnya dari Mahkamah Agung, dari BI, dari KY dan sebagainya.

Itu barangkali, Pak.

Terima kasih.

F-PKS (BUKHORI YUSUF) :

Pimpinan.

KETUA RAPAT:

Ya, silakan, Pak.

F-PKS (BUKHORI YUSUF) :

Terima kasih, Pimpinan.

Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Mengawali pembicaraan pada malam hari ini, sudah cukup larut malam, saya kira perdebatan atau diskusi kita yang cukup panjang ini memang sudah seharunya kita ambil satu kesepakatan, saya melihat memang apa yang dikhawatirkan Pak Soenman tadi itu sah-sah saja terjadi, tetapi kemudian kalau kita mengacu kepada konstitusi kita ya bahasanya Pak Rahadi itu suka tidak suka memang hanya krannya dua itu, DPD pun kemudian diblekoto harus mengikuti melalui pintu DPR begitu ya, lalu kemudian yang lain- lainnya juga harus mengikuti Presiden. Cuma saya sangat setuju tadi ditekankan oleh Pimpinan bahwa kita sepakati dengan usul Pemerintah dengan sangat memperhatikan catatan yang berkembang dalam diskusi tadi terutama apa yang dikhawatirkan oleh Pak Soenmandjaja khususnya ini kan namanya lembaga Negara, sama-sama lembaga Negara, yang secara kedudukannya sama meskipun protokolnya agak berbeda-beda sedikit, jadi kalau bicara lembaga negara kan di situ ada Presiden, ada DPR, ada BPK, ada MA, ada MK, ada KY, ini kan, ini lembaga itu mesti harus secara nuansa kebatinnnya harus juga ditangkap yang kemudian bisa didistribusikan secara baik dalam Kepres atau peraturan presiden yang akan datang.

Saya kira kesepakatannya seperti itu, menjadi mudah-mudahan bisa mengakhiri atau menyepakati terhadap Pansus.

Terima kasih, Pimpinan.

(21)

KETUA RAPAT:

Saya rasa Pak Dirjen beserta Pak Kepala BPHN bisa memahami apa yang disampaikan oleh teman-teman termasuk terakhir oleh Pak Bukhori, jadi intinya sebetulnya kita sangat bisa memahami dan itu dalam ranah eksekutif untuk Pasal 33 ayat (1) ini.

Ada pertanyaan tadi kepada Pak Dirjen, ini supaya tegas ya, Pak Rahadi, ya, yang dimaksud Pasal 33 ini kan begini bunyinya, Pak, Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh Menteri atau pimpinan lembaga non kementerian, nah ini yang dimaksud ini lembaga non kementerian ini apakah seperti LPND itu, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Non Kementerian yang sekarang ini ya, atau juga lembaga yang bukan lembaga Negara, itu kan bukan non LPND kan kalau Mahkamah Agung, KY, itu bukan LPND, yang sekarang Lembaga Pemerintah Non Kementerian itu kan. Nah, ini tolong dijelaskan ditegaskan, Pak, yang dimaksud itu.

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Ya, baik, Pak.

Jadi memang selama ini yang dimaksud Pimpinan Lembaga Non Kementerian itu termasuk yang Lembaga Negara itu, dan juga selama ini dalam prakteknya misalnya dari Kepolisian itu juga mereka menyiapkan rancangan undang-undang yang terkait dengan tugas pokoknya, Kejaksaan juga begitu dan ini kemudian didalam kepanitiaan, ini dengan Panitia Antar Kementeriannya. Jadi, praktek selama ini yang rancangan undang-undang yang diajukan oleh...itu disiapkan oleh Menteri atau Pimpinan Lembaga Non Kementerian yang selama ini sudah berjalan. Ya, begitu, Pak.

KETUA RAPAT:

Ya, saya rasa bisa disetujui, dengan catatan tadi, nanti rumusannya pemerintah akan solusinya ya.

F-PG (Drs. TAUFIQ HIDAYAT, M.Si):

Catatannya apa, Pak?

KETUA RAPAT:

Ya, catatannya apa yang menjadi kekhawatiran yang sebetulnya juga kekhawatiran tadi sudah terjawab, tetapi tidak secara eksplisit apakah itu nanti bisa diatur. Tolong kepada Pak Dirjen, apakah apa yang disampaikan teman-teman sebagai kekhawatiran tadi, hubungan antar, terutama antar lembaga negara itu bisa diakomodasi dimana gitu. Apakah pada Peraturan Presiden yang mengatur tentang tata cara itu, supaya lebih jelas begitu.

Silakan Pak, ini kira-kira.

DIRJEN PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Memang akan menjadi catatan kita, artinya didalam prakteknya keterlibatan dan didalam

pembahasan lembaga-lembaga yang disebutkan tadi ada yang sering merasa kurang maksimal dilibatkan

itu nanti akan dalam prakteknya. Memang biasanya, Bapak Pimpinan dan Anggota, apabila ada pihak yang

(22)

terlewatkan itu biasanya akan menyusul dan dilibatkan berikutnya. Ya,contoh misalnya tadi putusnya misalnya, ketika Presiden menunjuk Wakil ke DPR, RUU BPJS yang tadinya hanya 4 Kementerian,lalu ternyata dalam pembahasan wah ini banyak melibatkan lagi sampai 8 Kementerian misalnya. Begitu juga waktu penyusunan rancangan undang-undang itu, ketika melibatkan beberapa Menteri dan Lembaga Kementerian, ada yang ternyata kita lihat terkait ketika pembahasan berikutnya itu juga dilibatkan dan praktek-praktek seperti itu ya, muncul kadang-kadang setelah kita lihat atau juga dirasakan oleh Kementerian yang tidak dilibatkan sebelumnya, lalu mengajukan diri dan itu tidak ada masalah ke kita, Pak.Saya kira itu akan menjadi perhatian kita didalam prakteknya nanti, Pak.

KETUA RAPAT:

Ya.

F-PKS (BUKHORI YUSUF) :

Sedikit, Pimpinan.

Ya, saya tidak akan menanyakan masalah Pasal yang ayat (3) saya kira itu sudah clear, tapi justru Pasal 33 ayat (1) saya ingin tanya berikutnya. Jadi, yang saya baca didalam Wikipedia, Pak, tentang Lembaga Non Kementerian itu didefinisikan begini, lembaga pemerintah non kementerian yang dahulu disebut lembaga pemerintah non departemen disingkat LPND adalah lembaga negara di Indonesia yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari Presiden. Kepala LPND berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui Menteri atau Pejabat setingkat Menteri yang mengkoordinasikan. Mungkin kalau kita bicara Kepolisian ini masih masuk didalamnya, atau kalau saya bicara Kejaksaan Agung, ya, tetapi kalau BPK, MA dan kemudian MK, saya kira tidak bisa terjawab dengan non kementerian disini. Kalau memang kita sepakati, bahwa ini merupakan suatu sumber ilmiah yang kita percaya begitu, ini, tapi kalau tidak ya tentunya kita akan mengacu tafsir dari Pak Dirjen, terima kasih.

KETUA RAPAT:

Pak Dirjen,

Tadi saya juga sudah menanyakan tentang, definisi ini kan Nomenklatur LPND ini, ini memang disini sebetulnya menunjuk pada lembaga non kementerian sekarang, dulu non departemen, yang ini sejajar dengan yang kementerian, kabinet, gitu ya, dibawah Presiden, Eksekutif, jadi tidak masuk lembaga- lembaga negara disini. Nah, sementara ada kebutuhan tadi, nah berarti disini, meskipun kan kita sepakat pintu masuknya melalui, oke, kalimat ini belum memasukkan soal lembaga negara tadi itu, meskipun untuk DPR dan DPD sudah masuk didalamnya, ini kira-kira itu, termasuk juga usul dari kita juga ini, dari DPR juga ya, karena masih ini LPND. Jadi ini mohon penjelasan Pak Dirjen ya.

Ada tambahan dari Pak Soenman?

WAKIL KETUA (H. T.B. SOENMANDJAJA S./F-PKS):

Terima kasih Pak Ketua.

Jadi, Pimpinan, pada prinsipnya seperti saya sampaikan tadi ya Pak ya, kita, kami setuju Pak dengan lingkup konstruksi berpikir yang Bapak ilustrasikan tadi itu, itu pertama.

Kedua, ketika yang terhormat Kepala BPHN memberikan penjelasan, apabila ada suatu rancangan

undang-undang yang tidak berkaitan dengan teknis kementerian, tapi dengan lembaga negara, itu

ditangani oleh Menteri Hukum dan HAM, kan begitu Pak, ini poinnya. Jadi, harus selesai dalam undang-

undang ini amanatnya. Jadi, Presiden itu siklusnya 5 tahunan jabatannya, beda dengan pemerintah begitu

(23)

kan, Pak, tidak berkesudahan itu, kontinyu, begitu kira-kira-kira. Tentu dalam pendekatan ini, kita memandang sekali lagi, menyangkut masalah RUU teknis dan atau dalam lingkup ke Presiden, sepenuhnya kami setuju, Pak Taufiq, Pak, kami juga setuju amanat konstitusi seperti yang saya bacakan tadi juga seperti itu, tapi kan faktanya, lembaga-lembaga negara ini diatur oleh undang-undang. Nah, ketika dicontohkan tadi, Sekjennya yang diundang, ini bukan masalah administrasi dan struktur atau skema lingkup pekerjaan di organisasi itu ya, tapi masalah substansi, masalah kewenangan, tugas pokok dan sebagainya, ini supaya clear lah kira-kira begitu, Pak, sehingga DPR juga tidak menyalahi nanti didalam menyusun RUU sudah ada patokan undang-undang ini. Demikian juga Presiden, ketika punya usulan tentang Komisi Yudisial, usulan tentang RUU tentang MA, BPK dan sebagainya itu sudah saya kira sudah selesai di lingkup itu, itu saja Pak sebetulnya. Jadi, kita juga bisa menjawab ketika ada pertanyaan ya dari pihak-pihak tertentu khususnya lembaga itu dalam konteks ini. Itu, Pak Ketua, terima kasih.

F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.):

Pimpinan, tambah sedikit,

Ya, jadi saya kira kita sampai jam 11, Pak ya. Memang ini belum betul 100 persen seperti yang diharapkan. Jadi, mungkin sekitar 80 persenanlah. Masih ada ruang kosong yang harus diisi,sehingga jangan sampai ada polemik, tapi ada juga logika berpikir dalam konsep ketatanegaraan kita, konsep Trias Politika itu. Jadi, dalam sistem presidensial memang, legislatif memang dia membuat undang-undang, Eksekutif diberikan juga ruang untuk itu, karena konsepnya Presidensial itu, Yudikatif memang dia tidak boleh masuk disitu karena dia yang akan menggunakan, sehingga check and balancing-nya itu berjalan.

Mungkin dalam posisi MA, mungkin Pengadilan dan sebagainya kebawah, itu memang ranahnya berbeda dia memang tidak boleh masuk didalam membuat undang-undang, kalau dia boleh membuat undang- undang, sangat riskan, sama riskannya dengan kalau Eksekutif boleh masuk ke Yudikatif kan begitu.

Mungkin dalam konteks berpikir disitu mungkin agak masuk ruang kosong itu untuk dicarikan jalan tengahnya.

Terima kasih Pimpinan.

F-PG (Drs. TAUFIQ HIDAYAT, M.Si):

Ketua,

Sedikit saja.

Sebenarnya menurut hemat saya, enggak ada persoalan dengan itu dan ini kan sudah berjalan

juga, seperti itu adanya, lembaga-lembaga yang setingkat dengan Presiden, dan DPR, dalam fungsi itu

tetap berdiri sejajar, tetapi dalam pengaturan melalui sebuah undang-undang, seperti diamanatkan oleh

Konstitusi, Inisiator dalam pembuatan undang-undang itu ada dua,yaitu DPR dan Presiden, maka kembali

kepada posisi di konstitusi itu. Jadi, lembaga-lembaga itu akan tunduk dengan sebuah undang-undang

yang diinisiasi baik oleh Presiden maupun oleh DPR. Apabila undang-undang itu mengurangi kewenangan,

dari lembaga-lembaga negara yang dijamin oleh konstitusi itu, maka undang-undang itu yang dianggap

bertentangan dengan konstitusi. Artinya, tidak perlu ada suatu kekhawatiran sub ordinasi lembaga

terhadap Presiden maupun DPR. Kedudukannya tetap dijamin. Nah, dalam kaitan secara operasional

penyiapan undang-undang yang diinisiasi oleh pemerintah melalui Presiden berkaitan dengan lembaga-

lembaga itu, secara administratif bisa-bisa saja melalui Sekretariat Jenderal atau Sekretariat apa namanya

kalau misalnya jabatan kayak di BPK itu, Sestama, Sestama. Ya, secara internal mereka tetap akan

meminta suatu keputusan dari Anggota, karena ini menyangkut suatu undang-undang, tapi proses

penyiapan misalnya, siapa orang yang ditugaskan untuk melakukan penyiapan draft awal lalu sejauh mana

perjalanan draft ini, itu kan ada proses internal mereka yang selalu report dari staf kepada Anggota, dan

(24)

saya pikir kita tidak perlu didalam undang-undang ini terlampau jauh teknis mengatur hal itu, karena hal demikian itu secara praktek sudah dilakukan. Sama sekali saya tidak melihat suatu kekhawatiran bahwa ada fenomena sub ordinasi disini, karena memang itu semua kedudukannya sudah diatur sedemikian rupa berdasarkan kedudukan masing-masing melalui konstitusi dan undang-undang yang ada. Oleh karena itu sebenarnya, Pak Ketua, hampir jam 11 ini, kalau itu bisa disepakati, sepakati saja terus bergeser yang lain.

WAKIL KETUA (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP):

Pimpinan,

Bukan, bukan, saya bukan apa sih, supaya bab undang-undang ini supaya menjadi kuat, tidak nanti terus menjadi persoalan di Yudicial Review, itu saja yang saya takutkan.

Jadi begini, pertama, bahwa undang-undang atau konstitusi itu selalu berkembang dan itu ada namanya Teori Pertumbuhan Konstitusi itu. Terus yang kedua, bahwa kebiasaan-kebiasaan yang sekarang pada malam ini kita bicarakan, ini adalah suatu temuan, kebiasaan-kebiasaan itu menjadi temuan untuk kita dudukkan secara benar.

Kemudian menyangkut bicara soal Trias Politika. Kita tidak menganut Trias Politika secara benar, kalau mau jujur, Pak. Ketika Republik ini didirikan, Trias Politika kita itu mengadop Trias Politika dari Belanda. Ini supaya jelas ini Pak, posisi, konstruksi hukum ini supaya jelas. Didalam Trias Politika itu yang namanya BPK itu tidak berdiri sendiri, mestinya masuk unsur Yudikatif. Nah, karena kita masih mengadop Belanda, makanya dimunculkanlah yang namanya Badan Pemeriksa Keuangan, dimunculkan juga yang namanya Dewan Pertimbangan Agung dan lain sebagainya. Jadi itu, supaya ini jelas duduk persoalannya.

Malam ini, kebiasaan-kebiasaan baik yang disampaikan Pak Taufiq Hidayat, Pak TH, ada TK, ada TH, TE, ada Taufiq Hidayat, Taufiq Kiemas, juga Taufiq Effendy. Nah, ini tiga ini saya nobatkan, saya panggil menjadi Pak TH. Itu adalah temuan. Ini temuan yang saya kira perlu ditindaklanjuti, saya masih tetap memiliki suatu kekhawatiran,karena nanti kalau ada Akademisi-akademisi melakukan kajian ini, karena yang saya katakan tadi adalah konstitusi tumbuh peraturan dan sebagainya, kita malam ini sedang mencoba melakukan pertumbuhan konstitusi undang-undang maksud saya. Nah, ini saya kira yang Pak Pimpinan, bukan berarti ini given terus selesai, karena kalau menurut dari Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) ini jelas sekali urutan komandonya jelas sekali, untuk kepentingan internal di Pemerintahan. Karena Presiden mengeluarkan peraturan yang untuk mengatur, misalnya dalam disini, mengatur lembaga-lembaga yang dalam posisi sejajar ini kan persoalan juga. Ini terima kasih ke Pak Soenman, diingatkan kita, kalau toh ini memang mau dipending, pending dulu, untuk yang lain kita mencari rumusan-rumusannya lebih konkrit agar tidak menimbulkan kesalahpahaman yang berkepanjangan di negara kita, terima kasih.

KETUA RAPAT:

Ya, jadi sebelum pending saya rasa bagaimana kalau pemerintah juga merespons usulan terakhir.

Kita sepakat dengan DIM 189, karena ini merujuk ke Pasal 33, Pak dan sudah, semuanya sudah sepakat dengan catatan tadi dan catatan ini kita rumuskan, apakah ini harus secara eksplisit kan begitu, masuk, jadi yang dipending itu Pak, yang dipending itu rumusannya, rumusan masukan, kalau disetujui oleh pemerintah itu, apakah disini atau nanti dalam Perpresnya, kalau saya mengusulkan dalam Perpres saja begitu, tidak disini, karena ini memang ranah Eksekutif yang akan diatur oleh Perpres. Nah,diingatkanlah substansi tadi, katakanlah kalau memang substansi hal penting dalam, saya rasa begitu, Pak.

Nah, bagaimana pemerintah?

(25)

F-PG (Drs. TAUFIQ HIDAYAT, M.Si):

Sebelum pemerintah, mungkin saya tanya, Ketua. Itu kalau inisiasi dari DPR terhadap lembaga- lembaga tinggi negara itu ada problem yang sama enggak dengan itu? Ya, misalnya DPR punya inisiatif mau merubah UU BPK dan itu menjadi hak konstitusional kita. Ya, artinya itu bisa kita lakukan misalnya sebagaimana praktek yang ada, ya okelah masukan dari BPK kita undang sebagai pihak yang kita dengar bla,bla,bla, tapi kan BPK tidak ikut mengatur bagaimana draft undang-undang itu, tidak kan. Nah, hal yang demikian kan harusnya berlaku pada Presiden juga, ada kesetaraan, lalu untuk apa kita membatas-batasi itutadi?

F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.):

Pimpinan,

Jadi langsung biar enggak terpotong. Menguatkan penjelasan Pak Taufiq tadi. Jadi, memang disana alurnya kenapa tadi saya mengatakan, 33,34,dan 35 ini enggak bisa dipisahkan logikanya, karena kalau sekarang Presiden diharuskan memperhatikan semuanya itu, DPR juga harus punya komitmen yang sama juga membuat sebuah ketentuan disini juga dia harus terikat dengan semua itu, sementara okelah Trias Politika dan pemisahan kekuasaan enggak ada, ini kan dalam konsep pembagian kekuasaan memang ada. Ketika kita ngomong soal BI, BI itu punya tugas yang tidak bisa diintervensi oleh kita, ketika dia melaksanakan tugasnya, tapi dia juga tidak bisa mengintervensi kita ketika kita membuat undang- undangnya, ini kan dalam rangka check and balances itu biar imbang. Apa jadinya kalau misalnya mereka terlibat begitu aktif dalam proses pembuatan aturan, maka dia akan membuat dirinya sekuat mungkin, itu yang dikhawatirkan dalam sistem ketatanegaraan. Makanya dibagi. Nah, dalam posisi ini saya kira berimbang dia, kalau yang dari Presiden disini kan jelas, mengenai tata cara mempersiapkan RUU. Jadi, saya enggak mau, jadi tata cara mempersiapkan RUU-nya. Jadi, memang wajar tingkat Perpres saja sudah cukup. Nah, nanti di DPR ya cukup dengan aturan yang ada di kita saja, itu baru mempersiapkan tata cara saja, ketika dia sudah masuk substansi , nah disitulah ada berbagai mekanisme yang dilakukan, mengundang Pakar macam-macam dan sebagainya, baru dia menjadi sebuah produk, saya kira itu, Pimpinan, menguatkan.

KETUA RAPAT:

Jadi, sama ya. Sudah Pak ya?

WAKIL KETUA (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP):

Jadi saya, supaya lebih jelas, supaya tidak terjadi kesalahpahaman, saya takut sekali, karena saya harus bertanggung jawab sebagai seorang Pimpinan Pansus dan Pimpinan Panja.jadi, kalau nanti bisa dilibat-libatkan. Antara Presiden dengan pemerintah itu beda, beda lembaganya, Pak. Presiden dengan pemerintah beda. Kita harus jelas ini, harus jelas, kalau saya berkeinginan, bahwa yang tadi itu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Saya sepakat, yang ini sudah sepakat, tapi untuk yang dari Pak Soenmandjaja itu harus ada peraturan berbeda, pemerintah dengan Presiden beda. Itu lembaga yang betul-betul sangat berbeda. Jadi itu saja, supaya ini supaya dipahami bersama, jadi jangan sampai, saya bukan berarti ingin mengurangi peran Presiden, tapi yang jelas sangat berbeda antara Presiden dengan pemerintah itu yang harus dibedakan saya kira. Jadi, supaya ini tidak terjadi kesalahpahaman,ini saya kira saya sepakat dengan yang ini, tapi untuk yang itu perlu mencarikan suatu rumusan, begitu Pak, tetap.

Artinya, satu itu.

Referensi

Dokumen terkait

Kalau kami, Pak, ya rasanya kalau yang diberikan di ayat (2)-nya ini, itu sebetulnya sudah tidak merupakan suatu, ini sudah normatif ini, pasti menindaklanjuti putusan

Ini saya juga jadi bingung, kita kan permasalah di Panja ini, kemasalah kelembagaan, kita juga sudah berdebat kenapa perlu ada "lembaga", sampai

(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan

Pasal 12 Ayat (2), yang kemarin sore juga kita bicarakan, kita kaitkan dengan Pasal 14 Ayat (2), yaitu yang mengandung usulan mengenai tambahan kata-kata yang

53 F-PAN, Drs. Rusli Ridwan, M.Si, Risalah Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang- undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Jenis Rapat Raker IV Tanggal 2 Maret

Silakan tetapi nanti pada saat panja saya minta nanti hadir Iagi Pak. Sebetulnya apa bila ketentuan ini ditambah atas keputusannya yang ternyata tidak sesuai dengan yang

mempunyai peran yang besar artinya dalam pembangunan pengembangan budaya bangsa dan pembangunan nasional. Kami melihat formulasi ini cukup padat, jelas dan kelihatan

Justru Negara hukum kita selama ini j ustru tidak menegakkan HAM karena memang eksl usif adanya penegakan HAM sehingga seperti yang dikatakan kami tadi bahwa jelas