• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN EFIKASI ALBENDAZOLE 400 mg TIGA HARI BERTURUT-TURUT, DUA HARI BERTURUT-TURUT DAN SATU HARI TERHADAP INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERBANDINGAN EFIKASI ALBENDAZOLE 400 mg TIGA HARI BERTURUT-TURUT, DUA HARI BERTURUT-TURUT DAN SATU HARI TERHADAP INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

SOIL TRANSMITTED HELMINTHS

TESIS

DINA EVALINA GULTOM 147041081 / IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

SOIL TRANSMITTED HELMINTHS

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Ilmu Kesehatan Anak / M.Ked (Ped) pada Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara

DINA EVALINA GULTOM 147041081 / IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(3)
(4)

PERNYATAAN

Perbandingan Efikasi Albendazole 400 mg Tiga Hari Berturut-Turut, Dua Hari Berturut-turut dan Satu Hari terhadap

Infeksi Soil Transmitted Helminths

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Maret 2019

Dina Evalina Gultom

(5)
(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini, yang merupakan salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan magister kedokteran di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya penulisan tesis ini, saya ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum sebagai rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) sebagai dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked (Oph), Sp.M(K) sebagai ketua program studi magister kedokteran klinik Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. dr. Mohd Rhiza Z. Tala, M.Ked (OG), Sp.OG(K) sebagai sekretaris program studi magister kedokteran klinik Universitas Sumatera Utara.

5. dr. Supriatmo, M.Ked(Ped), Sp.A(K) selaku ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

6. dr. Selvi Nafianti, M.Ked(Ped), Sp.A(K) selaku ketua program studi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

(7)

7. Prof. DR. dr. H. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K) sebagai pembimbing pertama dan dr. Muhammad Ali, Sp.A(K) sebagai pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing saya dalam menyelesaikan tesis ini.

8. dr. Endang H. Ganie, DTM&H, Sp.ParK, dr. Yazid Dimyati, M.Ked(Ped), Sp.A(K), dan dr. Bugis Mardina Lubis, M.Ked(Ped), Sp.A(K) selaku penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk memperbaiki tesis ini.

9. dr. Ayodhia Pitaloka Pasaribu, M.Ked(Ped), Sp.A, PhD (ClinTropMed) yang telah memberikan masukan terhadap penelitian saya ini.

10. Seluruh dosen dan staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

11. Bupati Kabupaten Batubara, Kepala Kecamatan Talawi, Kepala Desa Pahang, Kepala Desa Padang Genting, Kepala Desa Labuhan Ruku, Kepala SD Negeri 014740 Pahang, Kepala SD Negeri 010148 Padang Genting, dan Kepala SD Negeri 010147 Labuhan Ruku yang telah mengizinkan saya melakukan penelitian di wilayah dan instansi yang mereka pimpin.

12. Seluruh guru dan siswa SD Negeri 014740 Pahang, SD Negeri 010148 Padang Genting, dan SD Negeri 010147 Labuhan Ruku yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini.

(8)

13. Tim penelitian Talawi yang telah bekerja sama dengan baik dalam menyelesaikan penelitian di lokasi tersebut.

14. Ibunda Rahelta Ketaren dan Ayahanda Alm. Liman Gultom serta mertua saya Partomuan Lumban Tobing, SH, MM dan Ibunda Dra. Esnawati Ambarita yang sangat saya cintai dan hormati yang telah memberikan dukungan moril dan materil yang sangat besar selama pendidikan ini.

Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa.

15. Suami saya Boy Citra Lumban Tobing, SH, M.Kn yang sangat saya cintai yang selalu memberikan dukungan moril dan materil serta perhatian selama saya menempuh pendidikan, juga kepada putra tersayang Grandy Moses Lumban Tobing yang menjadi motivasi dan semangat saya dalam menulis tesis ini.

16. Seluruh teman-teman di bagian Ilmu Kesehatan Anak yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini.

Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki kekurangan, oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaannya. Akhir kata, saya berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi setiap orang yang menggunakannya.

Medan, Maret 2019 Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan Pembimbing ... i

Pernyataan ... ii

Telah Diuji... iii

Ucapan Terima Kasih ... iv

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

Daftar Singkatan ... xi

Abstrak ... xii

Abstract ... xiii

Bab 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.4.1. Tujuan umum ... 4

1.4.2. Tujuan khusus ... 5

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

Bab 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) ... 6

2.2. Etiologi STH ... 6

2.2.1. A. lumbricoides ... 6

2.2.2. T. trichiura ... 7

2.2.3. Cacing tambang (A.duodenale dan N.americanus) ... 8

2.3. Diagnosis Infeksi STH ... 8

2.4. Dampak Infeksi STH ... 9

2.5. Tatalaksana Infeksi STH ... 11

2.5.1. Antelmintik untuk infeksi STH... 12

2.5.1.1. Albendazole ... 12

2.5.1.2. Efikasi albendazole dosis tunggal .... 14

2.5.1.3. Efikasi albendazole dosis berulang.. 14

2.6. Kerangka Konseptual Penelitian ... 17

Bab 3. Metode Penelitian 3.1. Desain Penelitian ... 18

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

(10)

3.2.1. Tempat penelitian ... 18

3.2.2. Waktu penelitian ... 18

3.3. Populasi Penelitian ... 18

3.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel ... 19

3.5. Perkiraan Besar Sampel... 19

3.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 20

3.6.1. Kriteria inklusi ... 20

3.6.2. Kriteria eksklusi ... 20

3.7. Persetujuan Setelah Penjelasan / Informed Consent... 21

3.8. Etika Penelitian ... 21

3.9. Cara Kerja dan Alur Penelitian ... 21

3.9.1. Cara kerja ... 21

3.9.1.1. Alokasi subjek ... 21

3.9.1.2. Pengukuran dan intervensi ... 22

3.9.2. Alur Penelitian ... 24

3.10. Identifikasi Variabel ... 25

3.11. Definisi Operasional ... 25

3.12. Pengolahan dan Analisis Data... 26

Bab 4. Hasil Penelitian 4.1. Data Karakteristik Subyek Penelitian ... 27

4.2. Perbandingan Angka Kesembuhan dan Penurunan Jumlah Telur ... 29

4.3. Perbandingan Jumlah Telur pada Pengamatan Hari ke 7, 14, 21, dan 28 ... 30

Bab 5. Pembahasan ... 32

Bab 6. Kesimpulan dan Saran ... 41

Bab 7. Ringkasan ... 43

Bab 8. Daftar Pustaka ... 44

Lampiran: 1. Personil Penelitian ... 47

2. Biaya Penelitian ... 47

3. Jadwal Penelitian ... 48

4. Lembar Penjelasan kepada Orang Tua ... 49

5. Persetujuan setelah Penjelasan (PSP) ... 52

6. Survei Infeksi STH Formulir Sekolah ... 53

7. Lembar Kuesioner ... 55

8. Surat Persetujuan Komisi Etik Penelitian ... 62

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Intensitas infeksi STH ... 9 Tabel 2.2 Efikasi albendazole dosis tunggal dan berulang

terhadap infeksi STH ... 15 Tabel 4.1 Karakteristik dasar subyek penelitian ... 29 Table 4.2 Perbandingan efikasi diantara ketiga kelompok pada

pengamatan hari ke 28... 30 Tabel 4.3 Perbandingan jumlah telur per gram feses diantara ketiga

kelompok pada pengamatan hari ke 7, 14, 21, dan 28 ... 31

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka konseptual penelitian ... 17 Gambar 3.1 Alur penelitian ... 24 Gambar 4.1 Diagram CONSORT ... 28

(13)

DAFTAR SINGKATAN

STH : Soil Transmitted Helminths A. lumbricoides : Ascaris lumbricoides T. trichiura : Trichuris trichiura

A. duodenale : Ancylostoma duodenale N. americanus : Necator americanus S. stercoralis : Strongyloides stercoralis WHO : World Health Organization

Ditjend P2PL : Direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan

SD : Sekolah dasar

UKS : Usaha kesehatan sekolah

EPG : Egg per gram

SPSS : Statistical Package for Social Sciences for Windows IK : Interval kepercayaan

(14)

ABSTRAK

Latar belakang: Infeksi soil transmitted helminths (STH) endemik di Indonesia.

Albendazole dosis tunggal rutin digunakan untuk mengontrol infeksi STH dan menunjukkan variasi efikasi. Beberapa penelitian mendapatkan efikasi dosis berulang lebih baik.

Tujuan: Membandingkan efikasi albendazole 400 mg tiga hari berturut-turut, dua hari berturut-turut dan satu hari terhadap infeksi STH.

Metode: Uji klinis acak terbuka terhadap anak SD dilakukan pada Juli sampai September 2018 di kabupaten Batubara, provinsi Sumatera Utara. Tinja diperiksa menggunakan metode Kato-katz sebelum terapi, hari ke 7, 14, 21 dan 28 setelah terapi. Kelompok I mendapatkan albendazole 400 mg tiga hari berturut-turut, kelompok II mendapatkan albendazole 400 mg dua hari berturut-turut, dan kelompok III mendapatkan albendazole 400 mg selama satu hari. Uji Kai Kuadrat (P < 0.05) digunakan untuk membandingkan efikasi, dan Kruskal Wallis (P < 0.05) digunakan untuk membandingkan jumlah telur per gram feses (EPG) ketiga kelompok pada hari ke 7, 14, 21, dan 28 setelah mendapat terapi.

Hasil: Terdapat 195 sampel yang dibagi masing-masing 65 anak tiap kelompok.

Prevalensi infeksi didapati 41.1%, 10.8% infeksi ganda dan 3.6% untuk ketiga jenis STH. Angka kesembuhan dan penurunan jumlah telur trikuriasis kelompok tiga hari berturut-turut (79.5% dan 97.4%) dan dua hari berturut-turut (70.3% dan 91.9%) secara statistik lebih tinggi dibandingkan satu hari (32.2% dan 74.6%) dengan P=0.001, namun tidak berbeda bermakna pada askariasis dan infeksi hookworm.

Jumlah EPG T. trichiura didapati berbeda signifikan pada pengamatan hari ke 7, 14, 21 dan 28 setelah terapi diantara ketiga kelompok (P=0.001).

Kesimpulan: Efikasi albendazole 400 mg tiga hari berturut-turut dan dua hari berturut-turut lebih baik dibandingkan satu hari untuk trikuriasis, namun tidak untuk askariasis dan infeksi hookworm. Jumlah EPG T. trichiura berbeda bermakna diantara ketiga kelompok pada pengamatan hari ke 7, 14, 21, dan 28 setelah terapi.

Kata kunci : infeksi STH, albendazole, dosis tunggal, dosis berulang.

(15)

ABSTRACK

Background: Soil transmitted helminths (STH) infections is endemic in Indonesia.

Single dose albendazole is routinely used to control STH infections and showed wide variation of efficacy. Some studies found repeated dose albendazole showed better efficacy.

Aim: To compare the efficacy between 400 mg albendazole three consecutive days, 400 mg albendazole two consecutive days, and 400 mg albendazole single dose against STH infections.

Method: A randomized, open trial was conducted in July and September 2018 among elementary school children at Batubara Municipal, North Sumatera Province. Stool samples were collected before treatment and on day 7, 14, 21, and 28 after treatment using the Kato-Katz method. Group I received 400 mg albendazole three consecutive days, group II received 400 mg albendazole two consecutive days, and Group III received 400 mg albendazole single dose. Cure rate and egg reduction rate were compared using Chi-square tests, and eggs per gram (EPG) feces was compared using Kruskal Wallis test (P < 0.05).

Result: One hudred and ninety five subjects enrolled and divided to 65 children each group. The prevalence of STH infection was 41.1% which 10.8% dual infections, and 3.6% triple infection. Trichuriasis cure rate and egg reduction rate of 400 mg albendazole three consecutive days (79.5% and 97.4%) and 400 mg albendazole two consecutive days (70.3% and 91.9%) were statistically significant higher than 400 mg albendazole single dose (32.2% and 74.6%) which P = 0.001, but not for ascariasis and hookworm infection. EPG T. trichiura was also statistically different among the three groups on day 7, 14, 21 and 28 after treatment (P = 0.001).

Conclusion: 400 mg albendazole three consecutive days and 400 mg albendazole two consecutive days have better efficacy than 400 mg albendazole single dose for trichuriasis, but not for ascariasis and hookworm infection. EPG T. trichiura was statistically different among the three groups on day 7, 14, 21 and 28 after treatment.

Keywords : STH infection, albendazole, single dose, repeated dose.

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Soil transmitted helminths (STH) merupakan sekelompok parasit nematoda yang menyebabkan infeksi pada manusia akibat kontak dengan telur parasit atau larva yang berkembang di dalam tanah yang hangat dan lembab di negara-negara tropis dan subtropis di dunia.1 Jenis cacing STH adalah cacing gelang (A. lumbricoides), cacing cambuk (T. trichiura), cacing tambang (A.

duodenale dan N. americanus), dan cacing benang (S. stercoralis)1,2 Seorang individu terutama anak sering ditemukan terinfeksi cacing gelang, cacing cambuk, dan cacing tambang bersamaan. Diperkirakan lebih kurang sepertiga populasi dunia menderita ketiga jenis cacing ini bersamaan.3

Intensitas infeksi merupakan faktor utama dalam memahami morbiditas STH. Walaupun infeksi ringan sering tanpa gejala, infeksi berat dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik, imunitas, kemampuan belajar dan merupakan penyebab terjadinya defisiensi mikronutrien termasuk anemia defisiensi besi yang dapat menimbulkan performa buruk dan sering tidak hadir di sekolah.1,4,5

World Health Organization (WHO) menyusun strategi global untuk mengendalikan morbiditas infeksi STH dengan kemoterapi modern yaitu memberikan antelmintik pada populasi risiko tinggi khususnya anak usia

(17)

sekolah.6-8 Albendazole merupakan antelmintik yang direkomendasikan oleh WHO dengan dosis tunggal 400 mg per oral untuk dewasa dan anak diatas usia 2 tahun.8

Pada tahun 2012 WHO menyatakan bahwa lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia terinfeksi STH.6 Hasil survei kecacingan tahun 2009 di Indonesia oleh Kementerian Kesehatan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjend P2PL) menyebutkan 31.8%

siswa Sekolah Dasar (SD) menderita kecacingan, sedangkan pada tahun 2015 prevalensi kecacingan di Indonesia hampir sama berkisar 20% sampai 86%, dengan rata-rata 30%.8,9 Tinggi rendahnya penularan penyakit askariasis dan trikuriasis sangat berhubungan erat dengan pencemaran tanah oleh tinja yang mengandung telur cacing.10 Namun, hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang efikasi pemberian albendazole dosis tunggal di Indonesia.

Pemberian albendazole dosis tunggal memiliki angka kesembuhan dan penurunan jumlah telur lebih dari 80% pada infeksi A. lumbricoides dan hookworm namun untuk infeksi berat obat dapat diberikan dua sampai tiga hari, sedangkan untuk infeksi T. trichiura, angka kesembuhan dan penurunan jumlah telur berkisar antara 50% sampai 80%. Trikuriasis juga dapat diobati menggunakan kombinasi antelmintik secara bersama-sama.8

(18)

Studi yang membandingkan efikasi albendazole dosis tunggal dan selama beberapa hari sudah dilakukan di beberapa Negara. Studi di Austria pada tahun 2014 melaporkan bahwa pemberian albendazole 400 mg dosis tunggal terhadap infeksi A. lumbricoides memiliki angka kesembuhan dan penurunan jumlah telur yang adekuat sebesar 85%, sedangkan untuk infeksi hookworm, albendazole 400 mg selama dua hari berturut-turut diperlukan.

Regimen dosis selama tiga hari berturut-turut tidak cukup efektif untuk menyembuhkan infeksi T. trichiura, tetapi dapat menurunkan jumlah telur sampai 90,6%.11

Di kota Medan sudah ada beberapa studi yang membandingkan penggunaan albendazole selama beberapa hari terhadap trikuriasis. Salah satu studi pada tahun 2009 mendapatkan hasil bahwa penggunaan albendazole 400 mg sekali sehari selama satu hari, dua hari dan tiga hari dapat menurunkan intensitas infeksi secara signifikan.12 Namun, hingga saat ini belum ada penelitian yang membandingkan efikasi pengobatan albendazole selama beberapa hari terhadap infeksi STH di Indonesia. Oleh karena itu, kami melakukan penelitian untuk membandingkan efikasi albendazole 400 mg selama tiga hari berturut-turut, dua hari berturut-turut dan satu hari untuk mengatasi infeksi STH.

(19)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: apakah albendazole 400 mg selama tiga hari berturut-turut dan dua hari berturut-turut memiliki efikasi lebih baik dalam mengatasi infeksi STH pada anak SD dibandingkan dengan albendazole 400 mg selama satu hari?

1.3 Hipotesis

Albendazole 400 mg selama tiga hari berturut-turut dan dua hari berturut-turut memiliki efikasi lebih baik dibandingkan dengan albendazole 400 mg selama satu hari dalam mengatasi infeksi STH pada anak SD.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan efikasi albendazole 400 mg selama tiga hari berturut-turut, dua hari berturut-turut, dan satu hari terhadap infeksi STH pada anak SD.

(20)

1.4.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan jumlah telur STH per gram feses setelah pemberian albendazole 400 mg tiga hari berturut-turut, dua hari berturut-turut, dan satu hari pada pengamatan hari ke 7, 14, 21, dan 28.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Di bidang akademik/ ilmiah: hasil penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan peneliti mengenai efikasi albendazole 400 mg selama tiga hari berturut-turut, dua hari berturut-turut, dan satu hari terhadap penyembuhan dan penurunan jumlah telur pada infeksi STH.

2. Di bidang pelayanan masyarakat: hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada petugas kesehatan tentang efikasi regimen pemberian albendazole yang lebih baik untuk mengatasi infeksi STH demi meningkatkan upaya kesehatan anak dan membantu program Kementerian Kesehatan Republik Indonesia khususnya Ditjen P2PL dalam memberantas penyakit kecacingan.

3. Di bidang pengembangan penelitian: hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi untuk penelitian selanjutnya.

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi STH

Infeksi STH adalah infeksi dari cacing yang ditularkan melalui tanah.8 Jenis cacing penyebab infeksi STH adalah cacing gelang (A. lumbricoides) yang menyebabkan askariasis, cacing cambuk (T. trichiura) yang menyebabkan trikuriasis, cacing tambang (A. duodenale yang menyebabkan ankilostomiasis dan N. americanus yang menyebabkan nekatoriasis), cacing benang (S.

stercoralis) yang menyebabkan strongyloidiasis. Jenis cacing penyebab infeksi STH yang sering ditemukan adalah cacing gelang, cacing cambuk, dan cacing tambang1,2,8

2.2 Etiologi STH 2.2.1 A. lumbricoides

Tempat hidup A. lumbricoides dewasa adalah di dalam usus halus manusia, tetapi kadang-kadang cacing ini dijumpai mengembara di bagian usus lainnya. Umur cacing dewasa A. lumbricoides adalah satu tahun.1 Cacing betina dapat bertelur sebanyak 100 000 sampai 200 000 butir tiap hari, terdiri dari telur yang dibuahi dan tidak dibuahi. Dalam lingkungan tanah yang sesuai (tanah liat, kelembaban tinggi, dan suhu yang berkisar antara 25°C sampai 30°C), telur yang dibuahi berkembang menjadi telur infektif yang

(22)

mengandung larva cacing dalam waktu lebih kurang tiga minggu. Infeksi terjadi secara per oral baik melalui tangan, makanan atau air minum yang terkontaminasi tanah yang di dalamnya terdapat bentuk infektif yaitu telur berembrio. Proses yang terjadi sejak telur tertelan sampai menjadi cacing dewasa memerlukan waktu kurang lebih dua bulan.13,14

2.2.2 T. trichiura

T. trichiura dewasa melekatkan diri pada mukosa usus penderita terutama di daerah sekum dan kolon, dengan membenamkan kepalanya di dalam dinding usus. Kehilangan darah dalam tinja diperkirakan sekitar 0.005 cc darah per hari per cacing T. trichiura. Cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3 000 sampai 10 000 butir. Cara infeksi pada manusia terjadi per oral, tertelan telur infektif melalui tangan, makanan atau air minum yang terkontaminasi. Telur yang keluar bersama tinja matang dalam waktu tiga sampai empat minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30 sampai 90 hari.8,13

(23)

2.2.3 Cacing Tambang (A. duodenale dan N. americanus)

A. duodenale dan N. americanus dewasa hidup di dalam usus halus, terutama di jejenum dan duodenum manusia dengan cara menggigit membran mukosa menggunakan giginya, dan menghisap darah yang keluar dari luka gigitan.14 Cacing tambang menghisap darah sebanyak 0.2 cc per hari.8 Cara infeksi adalah per kutan yaitu terutama N. americanus atau secara per oral terutama A. duodenale dengan tertelan bersama makanan yang terkontaminasi tanah.13

Cacing dewasa A. duodenale mengeluarkan 10 000 sampai 25 000 butir telur setiap hari dan N. americanus mengeluarkan 5 000 sampai 10 000 butir telur setiap hari. A.duodenale dapat bertahan hidup selama satu sampai dua tahun, sedangkan N. americanus selama tiga sampai lima tahun atau lebih.1 Cacing tambang memiliki dua jenis larva yaitu larva rhabditiform dan larva filariform. Diperlukan waktu lima minggu atau lebih dari infeksi larva sampai menjadi cacing dewasa yang menghasilkan telur.1

2.3 Diagnosis Infeksi STH

Diagnosis infeksi STH dilakukan dengan menemukan telur pada sediaan basah tinja langsung. Pengitungan telur per gram tinja dengan teknik kato- katz dipakai sebagai pedoman untuk menentukan berat ringannya infeksi.

Selain itu diagnosis untuk A. lumbricoides dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri melalui mulut, hidung atau anus, sedangkan untuk trikuriasis

(24)

dapat juga dengan menemukan cacing dewasa pada pemeriksaan kolonoskopi, untuk infeksi cacing tambang dapat juga ditemukan larvanya dalam tinja.8 Jumlah telur mempengaruhi berat ringannya infeksi cacing, semakin banyak jumlah telur, semakin banyak jumlah cacing yang menginfeksi penderita tersebut.6 Intensitas infeksi STH terdiri atas intensitas ringan, sedang, dan berat (Tabel 2.1).8

Tabel 2.1 Intensitas infeksi STH 8

Organisme

Intensitas rendah (telur per gram

feses)

Intensitas sedang (telur per gram

feses)

Intensitas berat (telur per gram

feses) A. lumbricoides 1-4 999 5 000-49 999 > 50 000

T. trichura 1-999 1 000-9 999 > 10 000

Hookworm (N. americanus atau A.duodenale)

1-1 999 2 000-3 999 > 4 000

2.4 Dampak Infeksi STH

Dampak infeksi STH terutama dikaitkan dengan masalah kronik dan berbahaya bagi kesehatan dan kualitas hidup anak yang terinfeksi dibandingkan mortalitasnya. Infeksi dengan intensitas berat akan mengganggu pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif, penyebab terjadinya defisiensi mikronutrien termasuk anemia defisiensi zat besi yang dapat menimbulkan performa yang buruk di sekolah dan sering tidak hadir di sekolah.6,15

(25)

Cacing mempengaruhi nutrisi dengan cara mengkonsumsi langsung zat-zat nutrisi dan darah, menyebabkan malabsorbsi, merangsang respon imun terhadap infeksi sehingga terjadi anoreksia dan dapat mengganggu metabolisme dan cadangan nutrisi.15 Kurangnya nutrisi akan mengurangi kemampuan kerja mental dalam memusatkan dan mempertahankan konsentrasi.16 Studi di Indonesia pada tahun 1999 melaporkan bahwa infeksi cacing tambang memberi dampak negatif terhadap daya ingat anak.17 Dampak infeksi cacing tambang terjadi ketika kehilangan darah melebihi cadangan nutrisi pejamu sehingga terjadi anemia defisiensi besi.1

Studi Di Skotlandia pada tahun 2002 melaporkan adanya hubungan antara status nutrisi dengan infeksi cacing. Infeksi A. lumbricoides lebih mempengaruhi status nutrisi anak dan remaja. Askariasis dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan, mengurangi konsumsi makanan, mengganggu absorbsi lemak dan protein, dan menimbulkan kerusakan usus.18

Studi di Malaysia pada tahun 2012 menunjukkan bahwa infeksi T.

trichiura atau A. lumbricoides dengan intensitas sedang hingga berat merupakan prediktor bermakna terjadinya stunting.19 Dampak nutrisi dari trikuriasis berhubungan dengan penurunan pertumbuhan anak, ambilan glukosa, defisiensi besi, dan kehilangan protein dari saluran cerna.18

(26)

2.5 Tatalaksana Infeksi STH

World Health Organization menyusun strategi global dalam mengendalikan infeksi STH dengan kemoterapi modern. Strategi tersebut bertujuan untuk mengendalikan morbiditas yang disebabkan oleh infeksi STH dengan memberikan antelmintik untuk mengeliminasi infeksi intensitas sedang dan tinggi. Antelmintik diberikan pada populasi dengan risiko tinggi, yaitu:2,8

a. Anak yang belum sekolah (usia satu sampai empat tahun) b. Anak usia sekolah (usia lima sampai 14 tahun)

c. Wanita usia reproduktif

d. Kelompok usia dewasa yang rentan terpapar dengan infeksi STH

Sesuai rekomendasi WHO, penanggulangan infeksi cacing dilakukan dengan pengobatan, pencegahan, dan promotif. Promotif dilakukan melalui penyuluhan kesehatan kepada anak-anak sekolah melalui program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), dan untuk masyarakat luas dapat dilakukan melalui posyandu, media cetak maupun media elekronik dan penyuluhan langsung. Pencegahan dilakukan dengan pengendalian faktor risiko, yang meliputi kebersihan lingkungan, kebersihan perorangan dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, penyediaan air bersih yang cukup, seminisasi lantai rumah, pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai, menjaga kebersihan makanan, untuk anak sekolah melalui pendidikan kesehatan di sekolah baik untuk guru maupun murid. Pengobatan dilakukan

(27)

dengan menggunakan obat yang aman dan berspektrum luas, efektif, tersedia dan terjangkau harganya, serta dapat membunuh cacing dewasa, larva dan telur.8

2.5.1 Antelmintik untuk infeksi STH

Antelmintik adalah obat yang digunakan untuk mengobati infeksi cacing parasit termasuk STH. Antelmintik yang paling sering digunakan untuk mengobati infeksi STH adalah mebendazol dan albendazole dengan pirantel pamoat sebagai obat alternatif.2,20

Studi ulasan sistematik di Swiss pada tahun 2010 mengevaluasi beberapa kombinasi obat yang berbeda dan manfaatnya terhadap infeksi STH. Dari studi didapatkan kombinasi mebendazol-pirantel pamoat dan mebendazol-levamisol merupakan kombinasi yang baik sebagai alternatif apabila albendazole tidak tersedia.20

2.5.1.1 Albendazole

Albendazole merupakan obat cacing berspektrum luas. Obat bekerja dengan cara mengikat tubulin β cacing dan menghambat polimerisasi mikrotubulus parasit. Kekurangan energi yang terjadi inilah yang selanjutnya akan membunuh cacing.1 Albendazole juga memiliki efek larvasida terhadap A.

lumbricoides dan hookworm serta memiliki efek ovisida terhadap A.

lumbricoides, hookworm (A. duodenale) dan T. trichiura.8,21 Setelah

(28)

pemberian oral, albendazole akan segera mengalami metabolisme lintas pertama di hati menjadi metabolit aktif albendazole-sulfoksida. Absorbsi obat akan meningkat bila diberikan bersama makanan berlemak. Waktu paruh albendazole adalah 8 sampai 12 jam dengan kadar puncak plasma dicapai dalam 3 jam.8

Albendazole disediakan dalam berbagai bentuk dan nama dagang, antara lain Helben (PT. MECOSIN INDONESIA), kaplet 400 mg dan suspensi 200 mg per 5 ml, Albendazole (INDOFARMA), kaplet mengandung 400 mg.12

Pada pasien dewasa dan anak usia dua tahun keatas albendazole diberikan dengan dosis tunggal 400 mg per oral. World Health Organization merekomendasikan dosis 200 mg untuk anak usia antara 12 sampai 24 bulan. Untuk askariasis berat obat dapat diberikan selama dua sampai tiga hari, sedangkan untuk infeksi hookworm berat obat diberikan tiga sampai empat hari.8

Penggunaan albendazole yang tidak lebih dari tiga hari hampir bebas dari efek samping. Efek samping biasanya ringan dan berlangsung sementara berupa rasa tidak nyaman di lambung, mual, muntah, diare, nyeri kepala, pusing, sulit tidur dan lesu. Albendazole tidak boleh diberikan pada penderita yang memiliki riwayat hipersensitivitas terhadap obat golongan benzimidazol dan penderita sirosis.8,21

(29)

2.5.1.2 Efikasi albendazole dosis tunggal

Albendazole dosis tunggal memiliki efikasi yang tinggi terhadap askariasis dan albendazole superior terhadap mebendazol dalam mengatasi infeksi hookworm, sedangkan mebendazol sedikit lebih unggul daripada albendazole dalam mengobati trikuriasis. Untuk mendapatkan angka kesembuhan yang tinggi melawan infeksi hookworm dan trikuriasis regimen dosis selama tiga hari dapat dipertimbangkan.7

Untuk pengobatan askariasis digunakan albendazole dosis tunggal 400 mg, namun pada infeksi berat dapat digunakan albendazole selama dua sampai tiga hari.13 Untuk memberantas trikuriasis sebaiknya diberikan kombinasi dua jenis obat cacing secara bersama–sama atau jika hanya diberikan satu jenis obat maka dianjurkan diberikan selama tiga hari karena cacing dewasa T. trichiura membenamkan kepalanya di dalam dinding usus besar.14

2.5.1.3 Efikasi albendazole dosis berulang

Beberapa studi telah dilakukan untuk menilai efikasi albendazole selama beberapa hari. Dari studi-studi tersebut didapatkan hasil bahwa untuk askariasis efikasi albendazole dosis tunggal cukup baik dengan angka kesembuhan 85% sampai 96% dan penurunan jumlah telur sebesar 87%

sampai 100%. Albendazole dosis berulang dapat meningkatkan angka kesembuhan askariasis.11,20

(30)

Untuk mengatasi trikuriasis, pemberian dosis tunggal albendazole tidak efektif dengan angka kesembuhan hanya 28% sampai 40% dan penurunan jumlah telur 0% sampai 90%. Angka kesembuhan meningkat hingga 83% dengan pemberian dosis berulang albendazole.11,20 Untuk mengatasi infeksi hookworm, albendazole dosis tunggal memiliki angka kesembuhan berkisar 54% sampai 72% dengan jumlah penurunan telur sebanyak 54% sampai 100%.11,20 Angka kesembuhan meningkat menjadi 92% hingga 93% dengan pemberian dosis berulang albendazole (tabel 2.2).7,11

Tabel 2.2. Efikasi albendazole dosis tunggal dan berulang terhadap infeksi STH Infeksi

STH

Dosis Angka

kesembuhan

Penurunan jumlah telur

Studi Askariasis 400 mg dosis tunggal 88% 87%-100% Swiss 201020

400 mg dosis tunggal 96% 100% China 20117 400 mg dosis tunggal 85% 94% Austria 201411 400 mg selama 2 hari 91% 87% Austria 201411 400 mg selama 3 hari 92% 99% Austria 201411 400 mg selama 3 hari 96.8% 100% China 20117 Trikuriasis 400 mg dosis tunggal 28% 0%-90% Swiss 201020

400 mg dosis tunggal 33.8% 76.7% China 20117 400 mg dosis tunggal 40% 7% Austria 201411 400 mg selama 2 hari 67% 58% Austria 201411 Infeksi 400 mg selama 3 hari 83% 91% Austria 201411 hookworm 400 mg selama 3 hari 53% 81-100% Swiss 201020

400 mg selama 3 hari 56.2% 94% China 20117 400 mg dosis tunggal 72% 64%-100% Swiss 201020

400 mg dosis tunggal 69% 97% China 20117

400 mg dosis tunggal 54% 54% Austria 201411 400 mg selama 3 hari 92% 92% Austria 201411 400 mg selama 3 hari 93% 93% Austria 201411 400 mg selama 3 hari 92% 99.7% China 20117

(31)

Studi di kota Medan pada tahun 2007 melaporkan hasil pemakaian albendazole dosis 400 mg sehari selama satu hari, dua hari, dan tiga hari terhadap trikuriasis dapat menurunkan intensitas infeksi secara signifikan, dengan angka kesembuhan pada kelompok pengobatan satu hari untuk intensitas ringan 84%, intensitas sedang 29.41%, dan intensitas berat 0%.

Pada kelompok pengobatan dua hari didapatkan angka kesembuhan untuk intensitas ringan 70.73% dan intensitas sedang 8,3%. Pada kelompok pengobatan tiga hari didapatkan angka kesembuhan untuk intensitas ringan sebesar 95.65%, intensitas sedang 27.78%, dan intensitas berat 33.3%.12

Studi di kabupaten Langkat pada tahun 2009 melaporkan albendazole 400 mg selama lima hari dan tujuh hari menunjukkan efikasi yang sama tinggi terhadap trikuriasis. Pemberian regimen albendazole 400 mg selama tujuh hari lebih efektif daripada albendazole 400 mg selama lima hari dalam penurunan jumlah telur.22

Studi di kabupaten Karo pada tahun 2010 menunjukkan hasil bahwa pemberian albendazole 400 mg tiga hari berturut dan satu hari memiliki efikasi yang tinggi terhadap trikuriasis, dan perbedaan intensitas infeksi dapat mempengaruhi efikasi. Pada trikuriasis intensitas sedang, efikasi albendazole 400 mg selama tiga hari berturut lebih baik daripada satu hari, akan tetapi tidak ada perbedaan efikasi untuk trikuriasis intensitas ringan.23

(32)

2.6 Kerangka Konseptual Penelitian

Gambar 2.1 Kerangka konseptual penelitian

: Variabel yang diteliti Albendazol

1 hari

Anak SD dengan infeksi STH

Angka kesembuhan

& penurunan telur 1 hari

Angka kesembuhan

& penurunan telur 2 hari

Angka kesembuhan

& penurunan telur 3 hari Albendazol

2 hari

Albendazol 3 hari

Behaviour:

Pengetahuan Sikap

Tindakan

Higiene/ sanitasi lingkungan:

Rumah tinggal sekolah

(33)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan uji klinis terbuka yang membandingkan efikasi antara albendazole 400 mg selama tiga hari berturut-turut, dua hari berturut- turut, dan satu hari untuk mengetahui kesembuhan dan penurunan jumlah telur STH.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat penelitian

Lokasi penelitian sampel dilakukan di SD Negeri 014740 Pahang, SD Negeri 010148 Padang Genting dan SD Negeri 010147 Labuhan Ruku di kecamatan Talawi kabupaten Batubara, provinsi Sumatera Utara.

3.2.2 Waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2018.

3.3 Populasi Penelitian

Populasi target adalah anak SD yang mengalami infeksi STH. Populasi terjangkau adalah anak SD yang mengalami infeksi STH di kecamatan Talawi, kabupaten Batubara, provinsi Sumatera Utara.

(34)

3.4 Sampel dan Cara Pemilihan Sampel

Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel dipilih dengan cara randomisasi sederhana dengan menggunakan tabel angka random.

3.5 Perkiraan Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis beda proporsi data independen:24

n1 : jumlah subjek pada kelompok albendazole 400 mg selama satu hari n2 : jumlah subjek pada kelompok albendazole 400 mg selama dua hari

berturut-turut

n3 : jumlah subjek pada kelompok dengan albendazole 400 mg selama tiga hari berturut-turut

zα : tingkat kemaknaan, ditetapkan 95%. Nilai dalam rumus 1.96 zβ : kekuatan penelitian, ditetapkan 80%. Nilai dalam rumus 0.842 p1 : perkiraan proporsi tingkat kesembuhan pada dosis tiga hari = 89%.

Nilai dalam rumus 0.89

p2 : proporsi tingkat kesembuhan pada dosis satu hari pada literatur 69.1%. Nilai dalam rumus 0.69.7

(35)

p1-p2 :Perkiraan selisih proporsi tingkat kesembuhan antara yang diharapkan dengan proporsi tingkat kesembuhan pada dosis satu hari yang dianggap signifikan = 20%. Nilai dalam rumus 0.2

Berdasarkan rumus tersebut dijumpai besar sampel minimal untuk masing- masing kelompok adalah 63 anak.

3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.6.1 Kriteria inklusi

1) Anak berusia 6 sampai 12 tahun

2) Dari hasil pemeriksaan kato-katz didapati salah satu atau kombinasi dari telur STH yaitu A. lumbricoides, T. trichiura ataupun cacing tambang

3) Anak yang tinggal di daerah yang sama

4) Selama periode penelitian tidak mengkonsumsi antelmintik ≤ satu bulan sebelum dan selama penelitian.

3.6.2 Kriteria eksklusi

1) Tidak mengikuti prosedur penelitian seperti pengumpulan sampel feses atau menolak meminum obat

(36)

3.7 Persetujuan Setelah Penjelasan/ Informed Consent

Semua subjek penelitian telah diberi persetujuan dari orang tua atau wali setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu

3.8 Etika Penellitian

Persetujuan penelitian telah disetujui oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.9 Cara Kerja dan Alur Penelitian 3.9.1 Cara kerja

3.9.1.1 Alokasi subjek

1) Mengumpulkan anak SD kelas I sampai VI bersama orang tua/wali di kecamatan Talawi, kabupaten Batubara, provinsi Sumatera Utara

2) Menjelaskan mengenai penelitian yang dilakukan dan meminta persetujuan setelah penjelasan/ informed consent dari orang tua/

wali

3) Mengumpulkan data karakteristik subjek melalui kuesioner yang diisikan oleh orang tua/ wali

4) Pot tinja yang sudah diberi nomor dibagikan pada anak SD di kecamatan Talawi, kabupaten Batubara, provinsi Sumatera Utara

(37)

5) Tinja yang telah dikumpul diperiksa dengan menggunakan metode kato-katz

6) Dari hasil pemeriksaan tinja yang dijumpai telur STH dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan dipilih sampel dan dirandomisasi sederhana dengan menggunakan tabel angka random.

3.9.1.2 Pengukuran dan intervensi

Pemeriksaan tinja dilakukan dengan metode Kato-Katz :

a. Sarung tangan dipakai untuk mengurangi kemungkinan infeksi b. Nomor kode ditulis pada gelas obyek dengan spidol sesuai

dengan yang tertulis di pot tinja

c. Kertas koran ukuran 10 x 10 cm diletakkan di atas meja dan tinja sebesar ruas jari ditaruh di atas kertas minyak

d. Tinja disaring menggunakan kawat saring

e. Karton yang berlubang diletakkan di atas slide kemudian tinja yang sudah di saring dimasukkan pada lubang tersebut

f. Karton berlubang tersebut diangkat dengan perlahan dan tinja ditutup dengan selofan yang sudah direndam dalam larutan kato g. Ratakan dengan tutup botol karet hingga merata. Diamkan

kurang lebih sediaan selama 15-20 menit

h. Baca di dibawah mikroskop dengan pembesaran 10x dan 40x

(38)

i. Baca seluruh lapangan pandang, tentukan spesiesnya, hitung jumlah telur untuk setiap spesies yang ditemukan

j. Hasil pemeriksaan sampel tinja dinyatakan dengan kualitatif yaitu positif dan negatif, dan secara kuantitatif yaitu menyatakan jumlah telur per gram tinja (Egg Per Gram / EPG)

Cara menghitung telur cacing

Intensitas cacing gelang= jumlah telur cacing gelang x 1000 Berat tinja (mg)

Intensitas cacing tambang= jumlah telur cacing tambang x 1000 Berat tinja (mg)

Intensitas cacing cambuk= jumlah telur cacing cambuk x 1000 Berat tinja (mg)

1) Albendazole 400 mg selama satu hari, dua hari berturut-turut dan tiga hari berturut-turut diberikan kepada subjek berdasarkan pembagian kelompok I, II dan III

2) Mencatat efek samping obat yang timbul saat penelitian

3) Tinja kelompok I, II dan III setelah selesai pemberian obat 3 hari akan diperiksa pada hari ke-7, 14, 21 dan 28 hari setelah

pemberian obat terakhir.

(39)

3.9.2 Alur penelitian

Gambar 3.1 Alur Penelitian Randomisasi

Infeksi

Soil Transmitted Helminths Anak SD kelas I sampai VI

Pemeriksaan tinja pada hari ke 7, 14, 21 dan 28 setelah

pengobatan dengan metode kato-katz Albendazol 400 mg

selama dua hari

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Pengobatan dengan albendazol

Pemeriksaan tinja metode kato-katz

Keberhasilan pengobatan (telur cacing dalam tinja)

Albendazol 400 mg selama tiga hari Albendazol 400 mg

selama satu hari

(40)

3.10 Identifikasi Variabel

Variabel bebas skala

Durasi pengobatan albendazole nominal

Variabel tergantung skala

Kesembuhan nominal dikotomi

Penurunan jumlah telur nominal dikotomi

3.11 Definisi Operasional

1) Soil Transmitted Helminths merupakan sekelompok parasit nematoda yang menyebabkan infeksi pada manusia akibat kontak dengan telur parasit atau larva yang berkembang di dalam tanah, yaitu cacing gelang (A. lumbricoides), cacing cambuk (T. trichiura), dan cacing tambang (A. duodenale dan N. americanus)

2) Antelmintik adalah obat yang digunakan untuk mengobati infeksi cacing parasit termasuk STH

3) Efikasi obat dilihat dari :

 Kesembuhan yaitu apabila pada pemeriksaan tinja setelah pengobatan tidak ditemukan lagi telur cacing

 Penurunan jumlah telur yaitu apabila dijumpai jumlah telur dari awal pemeriksaan jumlahnya berkurang

(41)

4) Metode kato-katz adalah metode yang digunakan untuk pemeriksaan jumlah telur cacing secara kuantitatif.

3.12 Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan prinsip intention to treat. Efikasi ketiga jenis regimen albendazole dinilai dengan menggunakan angka kesembuhan dan penurunan jumlah telur sebelum dan sesudah pemberian masing-masing regimen albendazole. Uji kai kuadrat digunakan untuk melihat hubungan lama pemberian albendazole yang diberikan dengan angka kesembuhan dan penurunan jumlah telur. Uji Kruskal Wallis digunakan untuk melihat perbedaan jumlah telur diantara ketiga kelompok pada pengamatan hari ke 7, 14, 21, dan 28 setelah dilakukan intervensi. Pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak Statistical Package for Social Sciences for Windows (SPSS) versi 24, 2016 dengan tingkat kemaknaan P < 0.05 dan interval kepercayaan (IK) 95%.

(42)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Data Karakteristik Subyek Penelitian

Penelitian dilaksanakan di tiga SD di kecamatan Talawi kabupaten Batubara, provinsi Sumatera Utara selama bulan Juli sampai September 2018. Di ketiga lokasi tersebut, diperiksa 752 anak dan 278 anak tidak mengembalikan pot serta sisanya 474 anak diperiksa terhadap adanya infeksi STH. Dari hasil pemeriksaan tinja didapati 195 anak yang menderita infeksi STH, yang kemudian dibagi secara random sederhana dengan tabel angka random menjadi tiga kelompok yaitu 65 anak yang mendapatkan pengobatan albendazole 400 mg selama satu hari, 65 anak yang mendapat pengobatan albendazole 400 mg selama dua hari berturut-turut, dan 65 anak yang mendapat pengobatan albendazole 400 mg selama tiga hari berturut-turut (Gambar 4.1).

Prevalensi kecacingan STH kecamatan Talawi di kabupaten Batubara didapatkan sebesar 41.1%, dengan prevalensi infeksi A. lumbricoides 43.6%, infeksi T. trichiura 69.2%, dan infeksi hookworm 5.1%.

(43)

Gambar 4.1 Diagram CONSORT

Data karakteristik dasar subyek penelitian pada ketiga kelompok sebelum intervensi tidak berbeda, dengan rerata usia 8.7 tahun dan status gizi baik dengan berat badan menurut tinggi badan adalah 92%. Pada hasil pengamatan jumlah telur per gram feses masing-masing STH juga didapati tidak berbeda diantara ketiga kelompok. Diantara subyek penelitian, infeksi campuran STH terjadi pada 14.4% anak, dengan 10.8% mengalami infeksi ganda STH dan 3.6% menderita infeksi A. lumbricoides, T. trichiura, dan hookworm (tabel 4.1).

Anak positif infeksi STH dirandomisasi (n=195) Diperiksa feses dengan metode kato-katz (n=474) Dikumpulkan Anak SD kelas I-VI

(n=752)

Diberikan albendazol 400 mg selama dua

hari (n= 65)

Dieksklusikan (n=278)

- Tidak mengembalikan pot (n=258) - Menolak berpartisipasi (n=20)

Diberikan albendazol 400 mg selama tiga

hari (n= 65) Diberikan albendazol

400 mg selama satu hari (n= 65)

Dianalisis (n=65) Dianalisis (n=65) Dianalisis (n=65)

(44)

Tabel 4.1. Karakteristik dasar subyek penelitian

Karakteristik

Lama pemberian albendazole 1 hari

(n=65)

2 hari (n=65)

3 hari (n=65) Umur (tahun), mean (SD) 9.2 (1.87) 8.9 (1.70) 8.2 (1.69) Berat badan (kg), mean (SD) 22.1 (4.79) 22.6 (5.47) 22.2 (5.67) Tinggi badan (cm), mean (SD) 121.7 (9.75) 124.2 (10.39) 123.4 (9.50)

BB/TB (%) 94.5 91.0 90.4

Jenis kelamin, n (%) a. Laki-laki b. Perempuan

39 (60.0) 26 (40.0)

44 (67.7) 21 (32.3)

33 (50.8) 32 (49.2) Infeksi STH, n (%)

a. A. lumbricoides b. T. trichiura c. Hookworm

19 (29.2) 59 (90.8) 4 (6.2)

35 (53.8) 37 (56.9) 3 (4.6)

31 (47.7) 39 (60.0) 3 (4.6) Jumlah telur/gram feses

median (range) a. A. lumbricoides b. T. trichiura c. Hookworm

1344 (120-39880) 216 (48-6624) 756 (120-2016)

1228 (48-21168) 216 (24-1032) 216 (120-1368)

1264 (72-21384) 120 (48-1968) 432 (120-1272) Infeksi campuran, n (%)

a. Infeksi ganda b. Triple infection

13 (20.0) 2 (3.1)

4 (6.2) 3 (4.6)

4 (6.2) 2 (3.1)

4.2 Perbandingan Angka Kesembuhan dan Penurunan Jumlah Telur Angka kesembuhan dan penurunan jumlah telur STH tergantung terhadap lama pemberian albendazole dan jenis cacing STH. Dari tabel 4.2 diketahui bahwa ketiga regimen memberikan angka kesembuhan dan penurunan jumlah telur yang berbeda secara bermakna pada trikuriasis dengan nilai P <

0.05. Efikasi tertinggi dijumpai pada kelompok yang mendapat albendazole 400 mg selama tiga hari berturut-turut. Pada infeksi hookworm didapati

(45)

peningkatan angka kesembuhan dengan penambahan lama pemberian albendazole meskipun tidak berbeda bermakna. Untuk askariasis tidak didapati perbedaan bermakna angka kesembuhan dan penurunan jumlah telur diantara ketiga kelompok (tabel 4.2).

Tabel 4.2 Perbandingan efikasi diantara ketiga kelompok pada pengamatan hari ke 28

Efikasi (%)

Lama pemberian albendazole 1 hari

(n=65)

2 hari (n=65)

3 hari (n=65) Angka kesembuhan

A. Lumbricoides 94.7 88.6 90.3 0.402

T. trichiura 32.2 70.3 79.5 0.001

Hookworm 50.0 66.7 100.0 0.362

Penurunan jumlah telur

A. Lumbricoides 100.0 97.2 96.8 0.058 T. trichiura 74.6 91.9 97.4 0.001

Hookworm 100.0 100.0 100.0 0.900

Uji kai kuadrat

4.3 Perbandingan Jumlah Telur pada Pengamatan Hari ke 7, 14, 21, dan 28

Setelah pemberian terapi dan dilakukan pengamatan pada hari ke 7, 14, 21, dan 28 dijumpai perbedaan yang bermakna jumlah telur per gram feses T.

trichiura diantara ketiga kelompok pada pengamatan hari ke 7, 14, 21 dan 28 dengan P < 0.05. Namun, tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada jumlah telur per gram feses A. lumbricoides maupun hookworm (tabel 4.3).

(46)

Tabel 4.3 Perbandingan jumlah telur per gram feses diantara ketiga kelompok pada pengamatan hari ke 7, 14, 21 dan 28

Jumlah telur per gram feses, median (range)

Lama pemberian albendazole 1 hari P

(n=65)

2 hari (n=65)

3 hari (n=65) Setelah terapi

A. lumbricoides

Hari ke 7 0 (0-3384) 0 (0-17048) 0 (0-6312) 0.770 Hari ke 14 0 (0-840) 0 (0-1278) 0 (0-6528) 0.367 Hari ke 21 0 (0-628) 0 (0-1196) 0 (0-10344) 0.607 Hari ke 28 0 (0-504) 0 (0-1728) 0 (0-11616) 0.675 T. trichiura

Hari ke 7 212 (0-5568) 48 (0-1004) 48 (0-1368) 0.001 Hari ke 14 120 (0-3216) 0 (0-932) 0 (0-264) 0.001 Hari ke 21 120 (0-2016) 0 (0-2064) 0 (0-120) 0.001 Hari ke 28 72 (0-1040) 0 (0-2496) 0 (0-72) 0.001 Hookworm

Hari ke 7 480 (0-840) 128 (0-840) 0 (0) 0.178 Hari ke 14 216 (0-648) 0 (0-264) 0 (0) 0.340 Hari ke 21 216 (0-648) 0 (0-216) 0 (0) 0.340 Hari ke 28 216 (0-648) 0 (0-216) 0 (0) 0.340 Uji Kruskal Wallis

Pada penelitian kami tidak didapati efek samping pemberian obat, baik di kelompok albendazole 400 mg selama satu hari, dua hari berturut-turut, atau tiga hari berturut-turut.

(47)

BAB 5 PEMBAHASAN

Penelitian kami mendapatkan prevalensi infeksi A. lumbricoides sebesar 43.6%, T. trichiura 69.2%, dan hookworm 5.1%. Hasil serupa didapatkan pada studi di kota Medan pada tahun 2007 dengan prevalensi A.

lumbricoides 46.52% dan T. trichiura 63.37%, namun untuk infeksi hookworm lebih rendah (0.53%).12

A. lumbricoides dan T. trichiura mempunyai cara infeksi dan temperatur optimal perkembangbiakan yang hampir sama sehingga sering terjadi infeksi yang bersamaan pada penderita dan prevalensi yang hampir sama.12 Dari penelitian kami dijumpai prevalensi T. trichiura yang lebih tinggi dari A. lumbricoides. Hal ini mungkin disebabkan adanya program pemerintah memberikan obat cacing secara berkala pada murid SD dengan menggunakan albendazole 400 mg selama satu hari. Albendazole dosis tunggal tidak efektif pada kebanyakan kasus trikuriasis.1 Efikasi albendazole dosis tunggal didapati buruk dalam melawan T. trichiura.25

Infeksi hookworm yang dijumpai pada penelitian kami lebih tinggi (5.1%). Hal ini dimungkinkan karena lingkungan tempat tinggal, sekolah, dan tempat bermain anak yang sebagian besar terdiri dari tanah berpasir dan gembur yang sesuai untuk perkembangbiakan larva hookworm.26 Demikian juga halnya dengan perilaku murid dalam kehidupan sehari-hari yaitu

(48)

terdapat peraturan beberapa sekolah tidak memakai alas kaki saat berada di lingkungan sekolah yang dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi hookworm melalui kulit.13

Infeksi STH dapat mengganggu tumbuh kembang anak dengan timbulnya malnutrisi, gangguan pada proses belajar, dan kehadiran di sekolah. Salah satu mekanisme adalah dengan mengganggu absorbsi dan pencernaan sehingga terjadi malnutrisi dan malabsorbsi serta terjadinya respon inflamasi yang mengganggu selera makan.15 Kejadian malnutrisi biasanya terjadi pada infeksi STH derajat sedang atau berat.27 Beban cacing merupakan indikator utama timbulnya morbiditas infeksi STH. Faktor lain yang berpengaruh adalah durasi infeksi cacing yang terjadi, akan tetapi parameter ini sulit diketahui.15 Penelitian kami mendapatkan status gizi baik untuk ketiga kelompok subyek yang diteliti. Studi di kabupaten Karo pada tahun 2010 juga mendapatkan status gizi baik pada sebagian besar sampel yang diteliti.23

World Health Organization menyusun strategi global dalam mengendalikan infeksi STH dengan kemoterapi modern menggunakan albendazole dosis tunggal 400 mg untuk anak usia diatas dua tahun dan dewasa.2,8 Reevaluasi terapi terhadap efikasi dan keamanan sebagai bukti ilmiah diperlukan untuk melanjutkan intervensi tersebut.11

(49)

Albendazole dosis tunggal sangat efektif terhadap infeksi A.

lumbricoides dengan angka kesembuhan > 90%.28 Hal ini sejalan dengan penelitian kami yang mendapatkan hasil pada kelompok albendazole 400 mg selama satu hari sudah menunjukkan efikasi (angka kesembuhan 94.7% dan penurunan jumlah telur 100%) yang tinggi terhadap askariasis dan tidak didapatkan perbedaan efikasi antara regimen tiga hari, dua hari dan satu hari.

Studi ulasan sistematik dan metanalisis di Swiss pada tahun 2017 juga mendapatkan hasil yang sama yaitu angka kesembuhan 95.7% dan penurunan jumlah telur 98.5% untuk askariasis setelah pemberian albendazole selama satu hari, begitu juga studi uji klinis di China pada tahun 2011 dan studi di Austria pada tahun 2014 yang mendapatkan angka kesembuhan dan penurunan jumlah telur > 85% untuk askariasis.7,11,29

Albendazole dosis tunggal dikatakan tidak efektif pada sebagian besar kasus trikuriasis.1,26 Dosis berulang sering diperlukan untuk mencapai kesembuhan parasitologi penuh pada sebagian kasus.27 Studi ulasan sistematik di Boston pada tahun 2007 masih merekomendasikan pemberian albendazole dosis tunggal untuk penanganan semua jenis infeksi STH.30 Albendazole dosis tunggal dilaporkan WHO masih memberikan angka penurunan jumlah telur yang cukup baik sebesar 80%.31 Pada trikuriasis intensitas ringan, albendazole 400 mg dosis tunggal secara umum masih efektif. Angka kesembuhan trikuriasis akan semakin meningkat jika infeksi cacing yang dihadapi semakin ringan.32

(50)

Ketiga regimen memberikan efikasi yang berbeda secara signifikan untuk trikuriasis. Efikasi tertinggi didapatkan pada kelompok albendazole tiga hari (angka kesembuhan 79.5% dan penurunan jumlah telur 97.4%), namun efikasi tidak berbeda jauh dibandingkan regimen dua hari (angka kesembuhan 70.3% dan penurunan jumlah telur 91.9%). Hal ini memberikan gambaran efikasi yang hampir sama antara regimen dua hari dan tiga hari terhadap trikuriasis, sehingga regimen dua hari berturut-turut dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi pada trikuriasis intensitas ringan dan sedang. Bertambah lamanya regimen terapi, kepatuhan minum obat pasien cenderung menjadi lebih buruk dan frekuensi serta keparahan efek samping dapat meningkat.22

Hasil penelitian kami berbeda dari studi di kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2013 yang mendapatkan efikasi albendazole 400 mg selama tiga hari berturut (angka kesembuhan 96.8%) lebih baik dibandingkan dua hari (angka kesembuhan 70%) untuk trikuriasis intensitas sedang dan berat. Hal ini mungkin disebabkan adanya perbedaan derajat intensitas dalam penelitian kami. Trikuriasis pada penelitian kami didapatkan intensitas ringan dan sedang. Efikasi terapi juga bergantung kepada intensitas infeksi. Manfaat dosis berulang tiga hari, lima hari atau tujuh hari berturut-turut lebih sering terjadi pada trikuriasis intensitas berat daripada intensitas ringan.22,33

(51)

Perbedaan efikasi juga didapatkan pada studi di Austria pada tahun 2014. Studi ini mendapatkan albendazole tiga hari memiliki efikasi paling baik dibandingkan dua hari dan satu hari. Efikasi didapatkan semakin meningkat dengan semakin lama pemberian albendazole.11,22 Hasil yang berbeda didapatkan pada studi di kota Medan pada tahun 2007 dengan angka kesembuhan trikuriasis intensitas ringan tertinggi didapatkan pada pengobatan albendazole selama tiga hari (95.65%), kemudian satu hari (84%%) dan dua hari (70.73%). Pada trikuriasis intensitas sedang dan berat menunjukkan angka kesembuhan rendah baik pada kelompok pemberian albendazole satu hari (29.41%), dua hari (8.3%), dan tiga hari (27.78%).

Dalam studi juga dijelaskan perbedaan hasil yang didapatkan mungkin disebabkan adanya kesalahan tehnis di lapangan, seperti adanya beberapa murid sarapan dirumah sebelum minum obat di sekolah.12

Intensitas infeksi yang mempengaruhi efikasi terhadap trikuriasis juga terlihat pada studi di kabupaten Karo pada tahun 2010 dengan hasil albendazole 400 mg tiga hari berturut (angka kesembuhan 98.3% dan penurunan jumlah telur 99.8%) dan satu hari (angka kesembuhan 93.7% dan penurunan jumlah telur 98.7%) menunjukkan efikasi yang sama tinggi terhadap intensitas ringan. Pada trikuriasis intensitas sedang, efikasi albendazole selama tiga hari lebih baik daripada satu hari.23

Tempat hidup T. trichiura di sekum menjadikan cacing ini lebih resisten terhadap antelmintik yang diberikan.14 Dosis berulang dapat memperlama

(52)

waktu kontak obat dengan parasit sehingga meningkatkan efikasi.3,32 Efikasi masih dikatakan baik bila angka penurunan jumlah telur tinggi tanpa disertai angka kesembuhan yang tinggi. Angka penurunan jumlah telur dianggap cukup karena menunjukkan penurunan beban cacing sehingga transmisi menjadi lebih jarang.25

Albendazole selama tiga hari dapat dipertimbangkan untuk mengatasi infeksi hookworm.7 Hasil studi di Austria pada tahun 2014 mendapatkan adanya perbedaan bermakna efikasi albendazole regimen tiga hari, dua hari dan satu hari terhadap infeksi hookworm. Regimen tiga hari memiliki angka kesembuhan paling tinggi, begitu juga studi di China pada tahun 2011 dengan hasil efikasi regimen tiga hari lebih tinggi daripada satu hari.7,11

Pada penelitian kami didapatkan tidak ada perbedaan bermakna efikasi antara ketiga regimen untuk infeksi hookworm. Namun, angka kesembuhan didapatkan semakin meningkat dengan semakin lama pemberian albendazole. Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan prevalensi infeksi hookworm yang rendah pada penelitian kami dibandingkan studi-studi yang lain.

Albendazole memiliki efek vermisida, ovisida dan larvasida dengan mengikat tubulin ektraseluler, khususnya mempengaruhi parasit dan menghambat fungsi absorbsi yang penting pada parasit tersebut.21 Dua indikator yang menentukan efikasi antelmintik pada pengobatan manusia adalah angka kesembuhan dan penurunan jumlah telur.31

(53)

Pada pengamatan hari ke 7 dan 14 setelah terapi didapatkan penurunan jumlah telur pada trikuriasis, diikuti peningkatan kembali pada hari ke 21 dan 28. Penurunan jumlah telur yang terjadi adalah karena efek dari pengobatan. Hasil penelitian kami hampir sama dengan studi di Uganda pada tahun 2011 yaitu efek pengobatan albendazole 400 mg selama satu hari dan tiga hari didapatkan pada pengamatan hari ke 7, dan terjadi peningkatan jumlah telur kembali pada hari ke 14, 21, dan 28 setelah terapi.3

World Health Organization menganjurkan waktu pengamatan setelah pemberian antelmintik yang ideal adalah 10 sampai 14 hari. Interval pengamatan yang lebih lama akan memberikan angka efikasi yang lebih rendah karena terjadi maturasi dari cacing-cacing yang masih berada di stadium immature.31 Peningkatan kembali jumlah telur yang diamati ini juga mengindikasikan albendazole mungkin bisa menghambat produksi telur T.

trichiura. Akan tetapi inhibisi ini hanya bersifat sementara dan hilang dalam dua minggu.34,35 Studi di Bangladesh pada tahun 1991 mendapatkan jumlah telur T. trichiura kembali meningkat pada pengamatan hari ke 10 setelah pemberian albendazole dosis berulang selama tiga hari atau lima hari.34

Studi di Switzerland pada tahun 2007 mendapatkan hasil waktu optimal pemantauan setelah terapi untuk infeksi hookworm adalah pada minggu ke dua sampai tiga, begitu juga studi di Kenya pada tahun 2017 yang mengamati A. lumbricoides. Hal ini dikarenakan beberapa telur cacing masih dihasilkan dari cacing-cacing A. lumbricoides yang sekarat pada pengamatan

(54)

hari ke 7 setelah terapi.36,37 Hal ini mendukung hasil penelitian kami untuk melakukan pengamatan jumlah telur pada hari ke 7, 14 atau 21, dan 28 setelah pemberian obat.

Pada penelitian kami tidak didapati efek samping pemberian obat, baik di kelompok albendazole 400 mg tiga hari berturut-turut, dua hari berturut- turut, maupun satu hari. Hal ini sejalan dengan studi di kabupaten Karo pada tahun 2010 dengan penggunaan albendazole selama tiga hari.23 Penggunaan albendazole yang tidak lebih dari 3 hari hampir bebas dari efek samping.Efek samping yang terjadi biasanya bersifat ringan dan berlangsung sementara berupa rasa tidak nyaman di lambung, mual, muntah, diare, nyeri kepala, pusing, sulit tidur dan lesu.8,21

Studi di kota Medan pada tahun 2007 mendapatkan kejadian efek samping berupa sakit kepala sebanyak 0.73% pada kelompok albendazole selama tiga hari dan dikatakan hilang dalam satu hari tanpa pengobatan.12 Studi di Thailand pada tahun 2003 juga mendapatkan kejadian efek samping 2.4% pada penggunaan albendazole 400 mg hingga tujuh hari berupa sakit kepala, pusing, dan insomnia.33 Begitu juga studi di kabupaten Langkat pada tahun 2009, dengan penggunaan albendazole selama lima hari dan tujuh hari didapati efek samping berupa nausea, pusing, mulut kering, dan diare.22

Penelitian kami bermanfaat sebagai evaluasi terhadap program pemerintah untuk pemberian obat cacing albendazole 400 mg selama satu hari terhadap ketiga jenis STH di Indonesia. Ini adalah penelitian pertama

(55)

yang membandingkan efikasi antara albendazole 400 mg selama tiga hari berturut-turut, dua hari berturut-turut dan satu hari terhadap ketiga jenis STH di Indonesia sehingga dapat menambah pengetahuan terhadap regimen albendazole yang lebih baik untuk meningkatkan upaya kesehatan anak.

Penelitian kami juga dapat menjadi sumber informasi untuk penelitian selanjutnya.

Pada penelitian kami masih dijumpai beberapa kekurangan antara lain tidak dilakukannya blinding untuk pemberian obat sehingga ada kemungkinan bias dalam pengukuran dan interpretasi hasil penelitian. Diagnosis infeksi STH juga hanya melalui pemeriksaan kato-katz tunggal. Akurasi pemeriksaan kato-katz dalam mendeteksi infeksi STH sangat dipengaruhi variasi ekskresi telur cacing dari hari ke hari berikutnya dan telur cacing yang tersebar tidak merata di tinja. Beberapa peneliti menyarankan pemeriksaan beberapa spesimen untuk meningkatkan akurasi.38

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka konseptual penelitian
Gambar 3.1 Alur Penelitian Randomisasi
Gambar 4.1 Diagram CONSORT

Referensi

Dokumen terkait