• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Depresi, Hopelessness, Loneliness, dan Sabar terhadap Ide Bunuh Diri pada Remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Pengaruh Depresi, Hopelessness, Loneliness, dan Sabar terhadap Ide Bunuh Diri pada Remaja"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Depresi, Hopelessness, Loneliness, dan Sabar terhadap Ide Bunuh Diri pada Remaja

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh:

Maulidya Dwi Iswari 11150700000121

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440H / 2019M

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Be a Good People to Make Other People Good”

“Jadikan sabar sebagai variabel dalam hidup”

Persembahan:

“Skripsi ini kupersembahkan untuk Ayah dan Ibu yang selalu mendoakanku, Kakak, juga keluarga dan para sahabat-sahabatku”

(6)

ABSTRAK

A) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta B) Agustus 2019

C) Maulidya Dwi Iswari

D) Pengaruh depresi, hopelessness, loneliness dan sabar terhadap ide bunuh diri pada remaja

E) 116 Halaman + lampiran

F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh depresi, hopelessness, loneliness, sabar, jenis kelamin dan usia terhadap ide bunuh diri pada remaja. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang pernah memiliki ide bunuh diri dengan rentang usia 14 hingga 22 tahun. Sampel yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 323 subjek dengan menggunakan metode non-probability sampling.

Instrumen yang digunakan adalah The Suicide Behaviors Questionnaire-Revised, Beck Depression Inventory, Beck Hopelessness Scale, DeJong Gierveld Loneliness Scale, dan skala sabar. Uji validitas instrumen yang digunakan adalah teknik CFA (Confirmatory Factor Analysis), kemudian pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda.

Berdasarkan hasil uji hipotesis, kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan depresi, hopelessness, loneliness dan sabar terhadap ide bunuh diri, sebesar 43%. Sisanya yakni 57% dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian. Terdapat tiga variabel yang memiliki nilai koefisien regresinya signifikan, yaitu; depresi, hopelessness dan usia. Sementara empat variabel lain tidak signifikan.

Bahan bacaan: 64 (1960-2019) 16 buku + 36 Jurnal + 11 Artikel + 1 Internet

(7)

ABSTRACT

A) Faculty of Psychology Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta

B) August 2019

C) Maulidya Dwi Iswari

D) The Influence of depression, hopelessness, loneliness and patience on suicidal ideation

E) 116 Pages + Attachment

F) This study aim to determine whether there is a difference between depression, hopelessness, loneliness, patience, gender and age for suicidal ideation in adolescents. The population in this study were adolescents ranging in age from 14 to 22 years. The sample in this study amounted to 323 people, sampling using nonprobability sampling method. The instrument used were The Suicide Behaviors Questionnaire-Revised, Beck Depression Inventory, Beck Hopelessness Scale, DeJong Gierveld Loneliness Scale and Patience Scale. Test the validity of measuring instruments used is the technique CFA (Confirmatory Factor Analysis) in Lisrel 8.8. Hyphotesis testing in this study using multiple regression analysis in SPSS 16.0

Based on the results of major hyphotesis testing, the first conslusion obtained from this study is that there is a significant influence of depression, hopelessness, loneliness and patience to suicidal ideation of 43%. The rest of 57% influenced by variables outside the study. Then, based on the results of minor hypothesis test there are three variables whose regression coefficient value is significant, that is;

depression, hopelessness, and age. While four other variables are not significant.

Reading Materials: 64 (1960-2019) 16 books + 36 Journals + 11 Articles + 1 Internet

(8)

Kata Pengantar

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahhirabbil’alamin segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, Allah yang telah memberikan nikmat iman dan Islam kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada baginda Nabi besar Muhammad SAW, keluarganya, dan juga sahabatnya. Semoga kita termasuk golongan yang mendapatkan syafaatnya di hari akhir nanti, Aamiin ya Robbal’alamin.

Terselesaikannya skripsi ini tentunya tidak luput dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesarnya kepada:

1. Ibu Dra. Zahrotun Nihayah M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

2. Ibu Ilmi Amalia M.Psi., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak arahan, bimbingan, motivasi, masukan yang sangat berarti, saran serta ide dalam penyusunan skripsi ini. Penulis banyak mendapatkan pengetahuan serta wawasan yang telah diberikan selama penulis berjuang dikampus tercinta ini. Terimakasih atas waktu dan kesabaran yang telah diberikan.

3. Ibu Zulfa Indira Wahyuni, M.Psi selaku dosen penguji satu, dan Ibu Dr. Natris Idriyani M.Si selaku dosen penguji dua yang sudah memberikan masukan yang membangun demi tersempurnakannya penelitian ini.

4. Kedua orang tua penulis Bapak Suwarto dan Ibu Siti Alfiah beserta kakak tercinta Prio Anugrah Machrestu dan Eka Gona Putri, terimakasih atas semua doa restu, dukungan, motivasi, finansial, dan sumber inspirasi serta semangat luar biasa yang telah kalian berikan kepada penulis untuk selalu meneruskan perjuangan ini sampai akhir dengan hasil terbaik.

5. Responden penelitian yang sudah bersedia mengisi kuesioner penelitian ini.

Terimakasih atas partisipasinya.

(9)

6. Anisa Hasbiya selaku teman sekelas, teman sekosan, teman seperbimbingan, teman seperjuangan yang selalu memberikan semangat, motivasi dan masukan.

Terimakasih untuk semuanya.

7. Cahaya, Safina dan Santi teman seperbimbingan yang saling merangkul satu sama lain dalam menyelesaikan skripsi masing-masing. Layyinah, Besty, dan teman teman seperjuangan angkatan 2015

8. Dea, Sherly, Sendy, Bagas, Ranty, Daffa, Aska, Gabrielle, Ayu dan Hari.

Terimakasih selalu mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi tepat waktu.

Akhir kata, penulis menyadari penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan penelitian ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 5 Agustus 2019

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

Halaman Judul... i

Lembar Persetujuan... ii

Lembar Pengesahan... iii

Lembar Orisinalitas...iv

Motto dan Persembahan...v

Abstrak...vi

Kata Pengantar... viii

Daftar Isi... x

Daftar Tabel... xiii

Daftar Gambar...xiv

Daftar Lampiran... xv

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah...13

1.2.1. Pembatasan Masalah... 13

1.2.2. Rumusah Masalah... 15

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian...16

1.3.1. Tujuan Penelitian...16

1.3.2. Manfaat Penelitian...17

BAB II LANDASAN TEORI... 18

2.1. Bunuh Diri...18

2.1.1. Definisi Bunuh Diri... 18

2.1.2. Macam-macam Bunuh Diri... 19

2.1.3. Dimensi Bunuh Diri... 20

2.1.4. Faktor Bunuh Diri...21

2.1.5. Pengukuran Bunuh Diri...24

2.2. Depresi...26

2.2.1. Definisi Depresi...26

2.2.2. Gejala-gejala Depresi... 24

2.2.3. Pengukuran Depresi...28

2.3. Hopelessness...29

2.3.1. Definisi Hopelessness...29

2.3.2. Dimensi Hopelessness...30

2.3.4. Pengukuran Hopelessness... 31

2.4. Loneliness...32

2.4.1. Definisi Loneliness...32

2.4.2. Dimensi Loneliness... 33

2.4.3. Pengukuran Loneliness...33

2.5. Sabar...35

2.5.1. Definisi Sabar... 35

2.5.2. Dimensi Sabar... 35

2.5.3. Pengukuran Sabar...36

2.6. Kerangka Berpikir... 37

(11)

2.7.2. Hipotesis Minor...41

BAB III METODE PENELITIAN... 42

3.1. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel Penelitian...42

3.2. Variabel Peneltian...43

3.3. Definisi Operasional Variabel... 43

3.4. Pengumpulan Data...44

3.4.1. Teknik pengumpulan data...44

3.4.2. Instrumen Pengumpulan Data...45

3.5. Uji Validitas Konstruk Alat Ukur...50

3.5.1. Uji Validitas ide Bunuh Diri...52

3.5.2. Uji Validitas Depresi... 53

3.5.3. Uji Validitas Hopelessness... 55

3.5.4. Uji Validitas Emotional Loneliness... 57

3.5.5. Uji Validitas Social Loneliness...58

3.5.6. Uji Validitas Sabar...59

3.6. Metode Analisis Data... 61

3.7. Prosedur Penelitian... 64

BAB IV HASIL PENELITIAN...67

4.1. Deskripsi Umum Subjek Penelitian... 67

4.2. Hasil Analisis Deskriptif...68

4.3. Kategorisasi Skor Variabel Penelitian... 69

4.4. Hasil Uji Hipotesis Penelitian... 71

4.4.1. Pengujian proporsi varian IV...75

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN...79

5.1. Kesimpulan... 79

5.2. Diskusi...79

5.3. Saran...83

5.3.1. Saran Teoritis...83

5.3.2 Saran Praktis...84

DAFTAR PUSTAKA...86

LAMPIRAN...93

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Blue Print Skala The Suicide Behaviors Questionnaire-Revised... 46

Tabel 3.2. Blue Print Skala Beck Depression Inventory...47

Tabel 3.3. Blue Print Skala Beck Hopelessness Scale...48

Tabel 3.4. Blue Print Skala De Jong Gierveld Loneliness Scale...49

Tabel 3.5. Blue Print Skala Sabar...50

Tabel 3.6. Muatan Faktor Item untuk ide Bunuh Diri... 53

Tabel 3.7 Muatan Faktor Item untuk Depresi...54

Tabel 3.8 Muatan Faktor Item untuk Hopelessness...56

Tabel 3.9 Muatan Faktor Item untuk Emotion Loneliness...58

Tabel 3.10 Muatan Faktor Item untuk Social Loneliness... 59

Tabel 3.11 Muatan Faktor Item untuk Sabar... 60

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian...67

Tabel 4.2 Tabel Analisis Deskriptif...69

Tabel 4.3 Norma Skor Variabel...70

Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Variabel... 70

Tabel 4.5 Model Summary Analisis Regresi...72

Tabel 4.6 Anova Pengaruh Keseluruhan IV terhadap DV... 72

Tabel 4.7 Koefisien Regresi...73

Tabel 4.8 Model Summary Proporsi Varians tiap IV terhadap DV... 77

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir...40

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1... 93 Lampiran 2... 108 Lampiran 3... 116

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kematian yang disebabkan oleh bunuh diri meningkat di seluruh dunia. Data WHO tahun 2018 menyatakan bahwa hampir 80.000 orang melakukan bunuh diri setiap tahunnya. Ini berarti terdapat 40 orang melakukan bunuh diri setiap detiknya. Percobaan bunuh diri dilakukan oleh semua rentang usia, namun kasus bunuh diri paling umum dilakukan oleh usia antara 15 sampai 29 tahun. Seperti yang dilansir oleh web Departemen Kesehatan Indonesia (2014), data yang didapatkan oleh WHO pada tahun 2010 menyatakan bahwa angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1.6 hingga 1.8 per 100.000 jiwa. WHO meramalkan bahwa pada tahun 2020 angka bunuh diri di Indonesia akan meningkat secara global menjadi 2.4 per 100.000 jiwa. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh WHO yang menyatakan bahwa pada tahun 2005 lalu, Indonesia masuk dalam kategori negara dengan tingkat bunuh diri yang tinggi. Bahkan peringkat Indonesia nyaris mendekati “negara-negara bunuh diri Asia” layaknya Jepang dan Cina. WHO menyebut bunuh diri sebagai fenomena global. Pada tahun 2016 faktanya, 79% bunuh diri terjadi pada negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Bunuh diri merupakan pembunuh ke-18 di dunia, karna 1.4%

kematian didunia disebabkan oleh bunuh diri. Dan penyebab kematian kedua pada usia 15-29 tahun adalah bunuh diri. (Damarjati, 2019)

(16)

O’Connor dan Nock (2014) mengatakan bahwa bunuh diri mengacu pada pikiran-pikiran dan perilaku yang terkait dengan intensi individual untuk mengakhiri hidup mereka sendiri. Osman, Bagge, Gutierrez, Konick, Kopper &

Barrios (2001) menyatakan bahwa bunuh diri bukanlah proses yang sederhana, melainkan suatu rangkaian proses yang mencangkup pemikiran tentang bunuh diri, pemikiran untuk mencoba melakukan bunuh diri, pemikiran untuk melakukan bunuh diri, sampai ke realisasi percobaan bunuh diri.

Data yang ditemukan di Indonesia menyatakan bahwa bunuh diri menjadi penyebab kedua kematian pada usia produktif dengan rentang usia 15 sampai 29 tahun, dan rata-rata kematian karena bunuh diri di Indonesia adalah satu orang pada setiap satu jam (WAD & MZW, 2016). Bunuh diri menjadi hal yang penting melihat banyaknya perilaku bunuh diri berasal dari usia remaja. Pada penelitian yang dilakukan oleh Evans, Hawton, Rodham, & Deeks (2005) menunjukkan bahwa 29.9% remaja pernah memiliki pemikiran untuk melakukan bunuh diri dalam hidupnya, 19.3% remaja memiliki pemikiran untuk bunuh diri setahun sebelum diadakannya penelitian, 9.7% remaja pernah mencoba untuk melakukan perilaku bunuh diri dalam hidupnya, dan 6.4% melakukan percobaan bunuh diri setahun sebelum penelitian dimulai Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan subjek remaja dengan rentang usia 12 hingga 20 tahun. Penelitian meta-analysis ini melibatkan 128 penelitian dengan 513.188 remaja yang menjadi subjek penelitian tersebut. Melihat hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Utara tersebut, dapat terlihat bahwa bunuh diri pada remaja merupakan hal yang harus

(17)

Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang hidup manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan dewasa (Santrock, 2005). Santrock (2005) menyatakan usia perkembangan remaja atau adolescence berada pada rentang usia 14 hingga 22 tahun (Arnett, 2006). Hall (dalam, Arnett 2006) menjelaskan bahwa remaja merupakan masa “storm and stress”, ini menunjukkan bahwa usia remaja merupakan masa dimana pergolakan emosi dan perilaku tertentu belum stabil dan cenderung masih menyesuaikan keseimbangan diantara keduanya.

Pergolakan tersebutlah yang cenderung memicu pemikiran untuk segera mengakhiri hidup. Tidak sedikit pemikiran bunuh diri tersebut berujung pada perilaku bunuh diri. Pada remaja, percobaan bunuh diri umumnya dilakukan dengan berbagai cara seperti menyayat pergelangan tangan, meminum obat serangga, terjun dari ketinggian, meminum obat dengan dosis berlebihan, gantung diri, dan lain-lain.

Pemikiran bunuh diri pada remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi, baik faktor internal, sosial, psikologis, budaya, serta lingkungan. Penelitian yang dilakukan di Malaysia oleh Ibrahim, Amit & Suen (2014) dengan menggunakan 190 remaja sebagai subjek penelitiannya menemukan bahwa depresi, stress, self-esteem yang rendah, dan kecemasan menjadi faktor yang signifikan terhadap adanya pemikiran bunuh diri. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Pervin dan Ferdowshi (2016) menemukan bahwa prediktor kuat adanya pemikiran bunuh diri adalah depresi, hopelessness dan lonelines. Penelitian tersebut dilakukan di Bangladesh dengan menggunakan 112 mahasiswa sebagai subjek penelitiannya. Faktor lain yang menjadi pencetus

(18)

adanya ide bunuh diri adalah depresi, dukungan sosial yang rendah, affective dysregulation, dan hubungan ayah-anak yang buruk (Arria, O’Grady, Caldeira, Vincent, Wilcox, Wish; 2009)

Franklin, Riberio, Bentley, Huang, Musacchio, Chang, Fox, Kleiman, Jaroszewski & Nock (2017) telah melakukan penelitian meta-analysis selama 50 tahun, penelitian tersebut melibatkan 365 penelitian selama 50 tahun terakhir.

Penelitian tersebut menyatakan bahwa depresi merupakan faktor yang sangat kuat terjadinya pemikiran bunuh diri dan perilaku bunuh diri. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Garlow, Rosenberg, Moore, Haas, Koestner, Hendin & Nemeroff (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara depresi dengan pemikiran bunuh diri. Andrade, Sesso & Diniz (2014) juga menemukan bahwa depresi, hopelessness dan pemikiran bunuh diri memiliki hubungan yang kuat.

Berbeda dengan penelitian-penelitian yang dijelaskan sebelumnya, hasil yang ditemukan oleh Tamas, Kovacs, & Gentzler (2007) menyatakan bahwa depresi tidak selalu menimbulkan adanya bunuh diri. Penelitian yang menjadikan anak usia sekolah sebagai subjeknya tersebut menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena ketika seseorang dihadapkan dengan situasi tertentu, terdapat beberapa kemungkinan yang membuat individu tersebut menginginkan bunuh diri atau tidak. Ini yang menimbulkan pertanyaan apakah beberapa individu mungkin memiliki kemampuan khusus dalam mengatasi depresinya yang membuat mereka mempertimbangkan bunuh diri tersebut. Pada perbedaan hasil yang didapatkan

(19)

mengetahui apakah pada subjek yang akan digunakan dalam penelitian ini memiliki kemampuan khusus tersebut atau tidak.

Beck (1961) menjelaskan depresi sebagai kondisi abnormal individu yang termanifestasi sebagai tanda-tanda dan gejala depresi pada individu, seperti menurunnya tingkat emosional, kognitif, motivasi dan vegetatif juga fisik pada individu.

Selain depresi, terdapat fakor lain yang dapat memicu ide bunuh diri. Lamis

& Lester (2012) melaporkan bahwa faktor kuat yang mempengaruhi adanya pemikiran bunuh diri adalah depresi, hopelessness, dan beratnya beban dalam hidup yang sedang dihadapi. Penelitian tersebut melibatkan mahasiswa dengan rentang usia 18 hingga 24 tahun sebanyak 358 subjek. Penelitian tersebut hampir serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kwok dan Shek (2010) yang menemukan bahwa hopelessness dan hubungan dalam keluarga terhadap pemikiran bunuh diri memiliki hubungan yang kuat. Penelitian yang dilakukan di Hongkong tersebut menggunakan remaja berusia 11 hingga 18 tahun sebanyak 5.557 remaja. Penelitian lain yang juga meneliti hubungan antara hopelessness dengan ide bunuh diri adalah penelitian yang dilakukan oleh Huen, Ip, Ho & Yip (2015). Huen, et.al (2015) menemukan bahwa individu yang mengalami hopelessness memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap ide bunuh diri. Huen, et.al (2015) juga menjelaskan bahwa individu yang memiliki harapan lebih tinggi, memiliki lebih rendah pemikiran tentang bunuh diri dibandingkan dengan individu yang mengalami hopelessness. Berdasarkan dari hasil penelitian yang

(20)

sudah dijelaskan sebelumnya, dapat diketahui bahwa salah satu faktor yang kuat penyebab bunuh diri adalah hopelessness.

Berbeda dengan penelitian yang dijelaskan sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Beck, Steer, & Trexler (1989) melaporkan bahwa hubungan antara hopelessness dengan pemikiran bunuh diri hingga perilaku bunuh diri terhadap remaja dan anak-anak bukanlah faktor yang kuat. Beck, Steer, & Trexler (1989) mengatakan bahwa faktor hopelessness dalam menimbulkan pemikiran bunuh diri masih belum signifikan, hopelessness tidaklah menjadi penguat adanya ide bunuh diri. Perbedaan hasil yang didapatkan dari penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya disebabkan karena berbedanya alat ukur dan metode penelitian yang digunakan. Hal ini membuat peneliti ingin mengetahui apakah Beck Hopelessness Inventory yang digunakan oleh Beck akan memberikan hasil yang serupa atau mungkin berbeda dengan penelitian Beck sebelumnya dengan keadaan era masa kini.

Beck, Weissman, Lester & Trexler (1974) menjelaskan bahwa hopelessness adalah perasaan hilangnya harapan seseorang terhadap dirinya, hingga menimbulkan perasaan ragu tentang masa depan, hilangnya motivasi, dan ekspektasi tentang masa depan yang buruk.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat banyak penelitian yang melaporkan faktor-faktor pemicu adanya pemikiran bunuh diri, salah satunya depresi dan hopelessness. Namun diantara kedua faktor tersebut, terdapat faktor lain yang juga berkontribusi mempengaruhi adanya pemikiran bunuh diri pada

(21)

remaja. Faktor tersebut adalah kesepian (loneliness). Loneliness kerap menyerang usia remaja, hal ini sesuai dengan data yang didapatkan oleh Schinka, van Dulmen, Mata, Bossarte & Swahn (2013), yang menyatakan bahwa sebagian anak-anak di usia sekolah dasar mengalami kesepian, lalu meningkat mengikuti alur usia hingga usia 15 tahun. Namun terdapat pula sekelompok anak yang melaporkan bahwa masa sekolah dasar merupakan masa dimana mereka mengalami kesepian, dan rasa kesepian tersebut berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Dan terdapat pula sebagian besar anak mengalami loneliness yang cukup parah dimasa kanak-kanak hingga remaja. Kesepian pada usia remaja ini lah yang membuat remaja rentan untuk memiliki pemikiran bunuh diri.

De Jong Girveld (1998) menyatakan bahwa loneliness adalah situasi yang dialami oleh individu yang mana ia mengalami kurangnya hal menyenangkan yang terjadi karena rendahnya hubungan sosial individu dalam beberapa hal penting, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Ini termasuk situasi dimana hubungan yang ada lebih sedikit dari yang diinginkan atau diterima, serta dimana keintiman yang diinginkan belum terealisasi. Jadi, loneliness melibatkan cara di mana individu tersebut merasakan, mengalami, dan mengevaluasi keterasingannya dan kurangnya komunikasi dengan orang lain.

Loneliness kaitannya dengan bunuh diri pada remaja memiliki keterikatan yang cukup kuat. Penelitian yang dilakukan oleh Stravynski & Boyer (2001) menemukan bahwa loneliness sangat berpengaruh terhadap tingkat pemikiran untuk melalukan bunuh diri dan parasuicide. Yang mana pada penelitian tersebut ditemukan juga, bahwa semakin tinggi tingkat individu mengalami loneliness,

(22)

semakin tinggi pula pemikiran individu untuk melakukan bunuh diri. Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chang, Wan, Li, Guo, He, Gu, Wang, Li, Zhang, Sun, et. al. (2017) yang menemukan bahwa loneliness turut memprediksi adanya pemikiran bunuh diri pada individu. Penelitian ini dilakukan di Amerika Serikat dengan menggunakan 228 mahasiswa sebagai subjeknya.

Namun kedua hasil penelitian tersebut berhasil disangkal dengan penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Dewi & Hamidah (2013) yang menyatakan bahwa loneliness tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap pemikiran untuk melakukan bunuh diri pada remaja. Penelitian ini menggunakan 34 remaja dengan orangtua yang bercerai kurang dari lima tahun. Ini menjadi pertanyaan, apakah pemikiran bunuh diri yang difaktori oleh loneliness dipengaruhi oleh budaya? Mengingat budaya di negara barat yang cenderung individualis, dan budaya di Indonesia yang cenderung kolektif menjadi pengaruh faktor loneliness terhadap ide bunuh diri.

Didalam agama Islam, bunuh diri sangat amat dilarang oleh hukum agama.

Pada kasus bunuh diri ini, Allah secara tegas berfirman dalam surat An-Nisa ayat 29. Allah menegaskan bahwa kematian sudah merupakan takdir dan hak prerogatif Allah atas manusia. Ayat tersebut berbunyi :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu, dan janganlah kamu

(23)

membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu.”.

Vandestra (2017) menyatakan bahwa individu yang melakukan bunuh diri adalah individu yang lari dari tanggung jawab kemanusiannya. Dan lebih dari itu, perbuatannya itu menunjukkan kurangnya kepercayaan terhadap kemurahan Tuhannya. Vandestra menambahkan bahwa umumnya bunuh diri disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan penghayatan terhadap agama. Seperti diketahui, agama mengajarkan sabar, tawakal, melarang untuk berputus asa, dan lainnya. Ini membuktikan bahwa individu yang memiliki ide bunuh diri bahkan sampai melakukan bunuh diri disebabkan karena kurangnya rasa sabar.

Sabar adalah menahan diri untuk tetap menaati Allah, tidak bermaksiat kepada-Nya, dan tidak membenci takdir-takdir yang ditetapkan-Nya. Atau menahan diri untuk tidak membenci, mengeluh, dan bosan (Muhammad, 2014).

Sedangkan menurut Syaikh Ibnu Utsaimin (dalam Al-Yamani, 2017) menjelaskan sabar sebagai menahan diri, dalam hal ini menahan dalam tiga hal, yaitu; sabar dalam taat kepada Allah; sabar dalam mejauhi larangan-larangan-Nya; serta sabar dalam menghadapi ketentuan Allah yang menyakitkan sekalipun.

Individu yang cenderung melakukan bunuh diri adalah individu yang kerap kurang sabar dalam menghadapi permasalahan dalam kehidupan. Seperti misalnya kurang sabar dalam menghadapi penyakit yang dideritanya, maupun kurang sabar akan ujian yang Allah berikan pada individu tersebut. Hal ini serupa dengan firman Allah SWT pada surat Al-Baqarah ayat 155-156 yang berbunyi :

(24)

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar sehingga bisa hidup bahagia menurut Islam. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun (sesungguhnya kami milik Allah dan hanya kepada-Nya lah kami kembali)””.

Dalam kajian penelitian yang berkaitan tentang pengaruh sabar terhadap ide bunuh diri pada remaja masih sangat sedikit, bahkan cukup sulit untuk ditemukan.

Hal ini lah yang membuat peneliti memilih sabar sebagai variabel bebas terhadap variabel terikat yaitu ide bunuh diri. Peneliti ingin mengetahui apakah sabar merupakan salah satu faktor pencetus adanya ide bunuh diri pada remaja.

Berikutnya, terdapat beberapa faktor demografis yang mempengaruh adanya ide bunuh diri pada remaja. Faktor demografis yang pertama adalah jenis kelamin.

Data yang dilansir dalam nusantaranews.com (oleh Emka, 2017) memaparkan kenaikan jumlah bunuh diri paling tajam diketahui terjadi pada anak perempuan berusia 10 hingga 14 tahun, peningkatan tersebut hampir tiga kali lipat dari tahun 2009 sampai 2015, dimana diketahui sebanyak 110 kasus bunuh diri per 100.000 tindakan di UGD menjadi hampir 318 per 100.000. Pada tahun 2015, bunuh diri pada gadis remaja memiliki jumlah kasus tertinggi dengan jumlah sekitar 633 kasus per 100.000 kunjungan UGD. Emka (2017) turut memaparkan data yang diperoleh dari American Medical Association, yang mana dalam kurun tahun 2001 sampai tahun 2015 kejadian bunuh diri yang terjadi pada usia 10 sampai 24 tahun

(25)

selfharm, sedangan pada kasus yang terjadi pada anak laki-laki hanya pada angka 14.000 selama rentang waktu yang sama. Grafik kasus untuk perempuan diketahui terus meningkat setiap tahunnya sementara bagi laki-laki cenderung stabil.

Berbeda dengan data yang didapatkan oleh IASP (International Association for Suicide Prevention) (2018) yang menyatakan bahwa kasus bunuh diri lebih rentan dilakukan oleh kalangan pria dibandingkan dengan kalangan wanita. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Noonan & Carson (2011) dalam setting forensik, bahwa tahanan laki-laki lebih rentan untuk melakukan bunuh diri selama dalam masa tahanan dibandingkan dengan tahanan perempuan dalam setting yang sama. Data tersebut didapatkan pada rentang tahun 2000 hingga 2009.

Ini menjadi pertimbangan peneliti untuk mengambil variabel ini. Peneliti ingin mengetahui gender manakah yang lebih memiliki kerentanan dalam melakukan bunuh diri.

Faktor berikutnya yang turut mencetuskan ide bunuh diri adalah usia. Remaja menjadi pelaku bunuh diri tertinggi di Indonesia, data ini sesuai dengan data yang dirilis oleh independen.id (2018). Laman berita tersebut menjelaskan bahwa kasus bunuh diri lebih banyak melibatkan usia remaja dibandingkan dengan usia dewasa.

Hal ini disebabkan karena maraknya perilaku bullying pada remaja, juga kemungkinan imitatif pada figur idola. Berbeda dengan kasus bunuh diri yang terjadi pada orang dewasa umumnya, orang dewasa cenderung melakukan bunuh diri karena disebabkan masalah keuangan, asmara, gangguan kepribadian, atau masalah keseharian lainnya.

(26)

Suhartono (2019) melaporkan bahwa usia remaja awal pada rentang usia 10 tahun hingga 14 tahun merupakan usia rentan bunuh diri di Jepang. Data ini ia dapatkan dari data statistik yang dirilis Kementerian Kesehatan Jepang pada tahun 2017. Data tersebut menyebutkan bunuh diri pada usia 10 hingga 14 tahun merupakan penyebab kematian pertama dan diikuti oleh penyakit kanker yang menjadi penyebab kematian kedua. Di Jepang sendiri, usia sekolah yang mana berada pada usia remaja awal dan remaja madya merupakan pelaku bunuh diri terbesar dibandingkan dengan remaja akhir. Hal ini disebabkan karena masalah keluarga, cemas akan masa depan, hingga bullying yang terjadi pada siswa sekolah (Sulaiman, 2018).

Namun berbeda dengan Jepang, Benny (dalam Abdi, 2019) menyatakan bahwa usia remaja akhir yang didominasi oleh mahasiswa merupakan usia yang rentan melakukan perilaku bunuh diri. Benny menyatakan, setidaknya ada 95 mahasiswa di Inggris yang memilih bunuh diri sepanjang tahun 2016 hingga 2017.

Di Indonesia sendiri, sebanyak 34.5% mahasiswa di Jakarta memiliki pemikiran untuk melakukan bunuh diri. Penelitian yang dilakukan dengan 284 responden dari beberapa universitas swasta dan negeri di Jakarta menemukan hasil bahwa satu dari tiga responden berkecenderungan memiliki pemikiran untuk melakukan bunuh diri. Penelitian yang dilakukan oleh Peltzer, Yi dan Pengpid (2016) menunjukkan bahwa 6.9% dari 231 mahasiswa di Jogjakarta memiliki pemikiran untuk melakukan bunuh diri. Beberapa data yang ditemukan memunculkan rasa ingin tahu peneliti apakah tingkat usia pada kategori remaja awal dan remaja akhir

(27)

menjadi salah satu faktor munculnya ide bunuh diri pada remaja. Maka, peneliti menjadikan usia sebagai salah satu faktor demografis dari penelitian ini.

Berdasarkan pemaparan yang sudah dijelaskan diatas, menunjukkan bahwa depresi, hopelessness, loneliness, sabar, jenis kelamin dan usia dapat mempengaruhi adanya ide bunuh diri pada remaja. Namun, hingga kini belum ada penelitian yang melihat kontribusi bersama mengenai variabel tersebut, hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk mengkaji lebih mendalam pada penelitian ini yang diberi judul “Pengaruh Depresi, Hopelessness, Loneliness dan Sabar terhadap Ide Bunuh Diri pada Remaja”.

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, penulis membatasi ruang lingkup masalah penelitian ini pada pengaruh variabel bebas (depresi, hopelessness, loneliness, sabar, usia dan jenis kelamin) terhadap variabel terikat (ide bunuh diri).

Adapun batasan konsep masing-masing variabel adalah:

1.Ide bunuh diri yang dimaksud dalam penelitian ini mencangkup pemikiran tentang bunuh diri, pemikiran untuk mencoba melakukan bunuh diri, pemikiran untuk melakukan bunuh diri, sampai ke percobaan bunuh diri. (Osman, Bagge, Gutierrez, Konick, Kopper & Barrios; 2001)

2.Depresi yang dimaksud adalah kondisi abnormal yang termanifestasi sebagai tanda-tanda dan gejala depresi pada individu, seperti menurunnya tingkat

(28)

emosional, kognitif, motivasi dan vegetatif juga fisik pada individu. (Beck, Ward, Mendelson, Mock & Erbaugh; 1961)

3.Hopelessness yang dimaksud adalah hilangnya harapan seseorang terhadap dirinya, hingga menimbulkan perasaan ragu tentang masa depan, hilangnya motivasi, dan ekspektasi tentang masa depan yang buruk (Beck, Weissman, Lester & Trexler 1974)

4.Loneliness adalah situasi yang dialami oleh individu yang mana ia mengalami kurangnya hal menyenangkan yang terjadi ketika kurangnya hubungan sosial individu dalam beberapa hal penting, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Ini termasuk situasi dimana hubungan yang ada lebih sedikit dari yang diinginkan atau diterima, serta dimana keintiman yang diinginkan belum terealisasi (De Jong Girveld, 1998)

5.Sabar adalah menahan diri, dalam hal ini menahan dalam tiga hal, yaitu; sabar dalam taat kepada Allah; sabar dalam menjauhi larangan-larangan-Nya; dan sabar dalam menghadapi ketentuan Allah yang menyakitkan sekalipun (Syaikh Ibnu Utsaimin, dalam Al-Yamani 2017)

6.Subjek penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan yang berusia 14 hingga 22 tahun dan pernah memiliki ide bunuh diri.

(29)

1.2.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang muncul terkait dengan penelitian yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara depresi, hopelessness, loneliness, sabar, jenis kelamin dan usia terhadap ide bunuh diri?

2. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara depresi terhadap ide bunuh diri?

3. Apakah ada pengaruh yang siginifikan antara hopelessness terhadap ide bunuh diri?

4. Apakah ada pengaruh yang siginifikan antara emotional loneliness pada variabel loneliness terhadap ide bunuh diri?

5. Apakah ada pengaruh yang siginifikan antar social loneliness pada variabel loneliness terhadap ide diri?

6. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara sabar terhadap ide bunuh diri?

7. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin terhadap ide bunuh diri?

8. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara usia terhadap ide bunuh diri?

(30)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah:

1. Mengetahui pengaruh depresi, hopelessness, loneliness, sabar, jenis kelamin dan usia terhadap ide bunuh diri secara signifikan pada remaja.

2. Mengetahui pengaruh depresi terhadap ide bunuh diri secara signifikan pada remaja.

3. Mengetahui pengaruh hopelessness terhadap ide bunuh diri secara signifikan pada remaja.

4. Mengetahui pengaruh emotional loneliness terhadap ide bunuh diri secara signifikan pada remaja.

5. Mengetahui pengaruh social loneliness terhadap ide bunuh diri secara signifikan pada remaja.

6. Mengetahui pengaruh sabar terhadap ide bunuh diri secara signifikan pada remaja.

7. Mengetahui pengaruh jenis kelamin terhadap ide bunuh diri secara signifikan pada remaja.

8. Mengetahui pengaruh usia terhadap ide bunuh diri secara signifikan pada remaja.

(31)

1.3.2. Manfaat Penelitian

Memberikan tambahan informasi terkait faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi ide bunuh diri pada usia remaja. Ini diharapkan agar masyarakat, keluarga dan remaja dapat memperkaya informasi berkaitan dengan kasus bunuh diri ini, lalu kedepannya dapat mencegah bunuh diri pada remaja di masa depan.

(32)

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori-teori terkait dengan variabel pada penelitian ini, antara lain bunuh diri, depresi, hopelessness, loneliness, dan sabar.

Selanjutnya akan dijelaskan pula kerangka berpikir dan hipotesis pada penelitian ini.

2.1. Bunuh Diri

2.1.1. Definisi Bunuh Diri

Bunuh diri dalam bahasa Inggris dinamakan suicide, dimana Colman (2015) dalam kamus Psikologi Oxford mengartikan suicide sebagai tindakan membunuh diri sendiri dengan sengaja. Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia, bunuh diri diartikan dengan mematikan diri sendiri. Hal ini berkaitan dengan perilaku menghilangkan nyawa diri sendiri dengan sengaja.

Davison dan Neale (2013) mendefinisikan ide bunuh diri sebagai proses awal dari bunuh diri atau sebuah cara yang digunakan tanpa melakukan tindakan, namun pada tahap ini individu akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan.

Sedangkan Fortinash & Worret (2012) menjelaskan ide bunuh diri meliputi pemikiran langsung maupun tidak langsung untuk melakukan bunuh diri atau melukai diri sendiri yang diekspresikan secara verbal, tulisan, atau secara seni lainnya dengan maksud tertentu maupun memperlihatkan pemikiran bunuh diri itu sendiri. O’Connor dan Nock (2014) mengatakan bahwa bunuh diri mengacu pada pikiran-pikiran dan perilaku yang terkait dengan intensi individual untuk mengakhiri hidup mereka sendiri.

(33)

Osman (2001) menyatakan bunuh diri sebagai rangkaian proses yang mencangkup pemikiran tentang bunuh diri, pemikiran untuk mencoba melakukan bunuh diri, pemikiran untuk melakukan bunuh diri, hingga ke realisasi percobaan bunuh diri.

2.1.2. Macam-macam Bunuh Diri

Durkheim (dalam Oltmanns, 2013) mengidentifikasi bunuh diri menjadi empat tipe, yang dibedakan oleh keadaan sosial di mana individu tersebut hidup:

1. Egoistic suicide

Pada tipe ini, bunuh diri terjadi ketika individu menjadi relatif terlepas dari masyarakatnya dan merasa bahwa keberadaan mereka tidak berarti. Pelaku bunuh diri ini umumnya terjadi pada kelompok-kelompok yang mengalami perceraian dan para penderita gangguan mental.

2. Altruistic suicide

Bunuh diri pada tipe ini terjadi ketika aturan kelompok sosial mengharuskan individu tersebut untuk mengorbankan hidupnya sendiri demi orang lain. Salah satu contohnya adalah praktik di masa lalu pada suku Amerika asli yang mengharuskan para lansia dengan sukarela membunuh dirinya sendiri setelah merasa dirinya menjadi beban bagi orang lain.

3. Anomic suicide

Tipe ini terjadi setelah ambruknya tatanan sosial secara tiba-tiba atau disrupsi pada norma yang mengatur perilaku. Pelaku dari perilaku bunuh diri ini umumnya terjadi ketika krisis ekonomi atau politik di kalangan orang yang sedang

(34)

menyesuaikan diri dengan hilangnya peran sosial atau okupasional yang terjadi di luar dugaan.

4. Fatalistic suicide

Terjadi ketika keadaan menjadi tidak tertanggungkan bagi hidup seseorang.

Contohnya, seorang budak yang memilih melakukan bunuh diri untuk lari dari keberadaannya yang mengerikan.

2.1.3. Dimensi Bunuh Diri

Osman, Bagge, Gutierrez, Konick, Kopper & Barrios (2001) menjelaskan empat dimensi dalam bunuh diri.

1. Lamanya masa pemikiran bunuh diri dan/atau percobaan bunuh diri.

Individu dengan kecenderungan bunuh diri setidaknya memiliki pemikiran tentang hal-hal yang berkaitan dengan bunuh diri dan pemikiran untuk mencoba bunuh diri paling sedikit satu kali pemikiran pada dua belas bulan atau satu tahun kebelakang.

2. Frekuensi dari seringnya pemikiran tentang bunuh diri selama 12 bulan ke belakang.

Frekuensi seseorang dalam memikirkan bunuh diri dan keinginan untuk mencoba bunuh diri menjadi dimensi seseorang memiliki keinginan bunuh diri.

Semakin tinggi frekuensi seseorang memikirkan keinginan untuk bunuh diri atau melakukan percobaan untuk bunuh diri, semakin rentan pula seseorang mengalami perilaku bunuh diri.

(35)

3. Hal yang pernah dilakukan dalam percobaan bunuh diri.

Individu yang memiliki ide bunuh diri akan melakukan percobaan-percobaan untuk bunuh diri. Percobaan ini dapat berbentuk memberitahukan keinginan bunuh dirinya pada orang terdekat, melakukan self-harm, self-injury, dan lain sebagainya.

4. Kemungkinan untuk melakukan bunuh diri di masa yang akan datang.

Setelah memiliki frekuensi pemikiran tentang bunuh diri yang tinggi dan percobaan bunuh diri yang cukup sering, seseorang akan mencoba untuk melakukan bunuh diri dimasa yang akan datang.

2.1.4. Faktor Bunuh Diri

Oltmanns (2013) menjelaskan faktor-faktor yang berkontribusi pada bunuh diri.

Faktor-faktor ini didapatkan berdasarkan beberapa penelitian kontemporer tentang faktor-faktor sosial yang berkaitan dengan bunuh diri.

1. Faktor Psikologis

Peristiwa yang terjadi dalam pikiran seseorang akan secara langsung bertanggung jawab untuk menentukan apakah seorang individu tertentu akan berusaha mengakhiri hidupnya atau tidak. Yang menonjol dalam faktor psikologis adalah distress emosional dan hopelessness. Kepedihan psikologis dihasilkan oleh frustrasi yang berkepanjangan akibat tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis.

Bagi sebagian individu, bunuh diri tampaknya menjadi solusi atau cara untuk mengakhiri stress yang tidak dapat tertanggungkan.

(36)

Faktor psikologis pada kognitif juga dipengaruhi oleh depresi, yang mana oleh Beck (1963) dijelaskan bahwa seseorang dengan kecenderungan depresi memiliki negative cognitive triad. Negative cognitive triad ini berkaitan tentang pola kognitif negatif yang membuat individu memandang dirinya, dunianya dan masa depannya secara negatif. Dimana pemikiran negatif ini dapat memicu keinginan untuk bunuh diri. Kecemasan dan buruknya dalam meregulasi emosi juga mempengaruhi seseorang untuk memilih melakukan bunuh diri.

Keinginan untuk mati erat kaitannya dengan isolasi sosial dan keyakinan bahwa dirinya telah menjadi beban bagi orang lain. Akan tetapi, kebanyakan individu yang mengalami ini tidak kemudian mencoba untuk bunuh diri. Karena manusia pada hakikatnya memiliki perasaan takut mati, yang mana perasaan takut mati tersebut merupakan salah satu emosi terkuat manusia. Maka, percobaan bunuh diri sering kali melakukannya secara bertahap. Proses bertahap tersebut mungkin melibatkan perilaku pencederaan diri non-bunuh diri berulang-ulang, sampai ketahap persiapan usaha bunuh diri yang mematikan.

2. Faktor Biologis

Oquendo, Currier & Mann (2006) menjelaskan studi tentang keterkaitan antara neurotransmitter dan bunuh diri telah difokuskan pada berkurangnya kadar serotonin, yang mungkin berkaitan dengan pengontrolan impuls yang buruk maupun meningkatnya tingkat perilaku kekerasan dan agresif. Penelitian telah ditemukan bahwa disfungsi serotonin menyebabkan meningkatnya agresi dan ketidakmampuan untuk menghambat respon-respon yang sebelumnya. Kesulitan dalam meregulasi sistem serotonin kerap ditemukan pada pelaku usaha bunuh diri.

(37)

Pada studi kembar menunjukkan gen-gen yang berkaitan dengan berbagai sistem neurotransmitter khususnya serotonin, memengaruhi perkembangan karakteristik kepribadian impulsif, dan bunuh diri tampaknya merupakan salah satu hal yang sangat mungkin jika seseorang mewarisi predisposisi untuk psikopatologi dan perilaku impulsif atau agresif. Brezo, Klempan, & Turecki (2008) menyatakan bahwa faktor genetik memperantarai dampak faktor lingkungan, seperti peristiwa kehidupan yang stressful dan penganiayaan masa kanak-kanak, pada perilaku bunuh diri.

3. Faktor Sosial

Stockard & O’Brien (2002) menyatakan bahwa struktur sosial mempresentasikan salah satu pertimbangan penting dalam kaitannya dengan bunuh diri. Kebijakan sosial yang memperbolehkan kepemilikan senjata api merupakan salah satu efek timbulnya bunuh diri. Liputan televisi dan surat kabar yang meliput tentang kematian akibat bunuh diri secara berlebihan khususnya yang terjadi pada public figur, dapat memiliki konsekuensi mendorong orang lain untuk memunculkan ide bunuh diri. Hal ini sangat rentan terjadi pada remaja, efek yang terjadi pada remaja ini kerap disebut dengan contagious suicide (bunuh diri menular). Hal ini menjadikan inspirasi bagi remaja karena perhatian melalui peliputan media yang meningkat. Selain itu, individu yang mengalami loneliness dalam hidupnya juga rentan mencetuskan adanya ide bunuh diri. Ini dikarenakan kurangnya dukungan sosial, tidak adanya orang terdekat di sisinya, dan perasaan lelah karena merasa menanggung semua beban hidupnya sendiri. Kurangnya dukungan sosial juga membuat individu cenderung memilih untuk melakukan bunuh diri.

(38)

Selain beberapa faktor yang dijelaskan diatas, Vandestra (2018) juga menjelaskan faktor lain penyebab timbulnya ide bunuh diri. Faktor tersebut adalah kurangnya rasa percaya terhadap tuhan, sehingga individu lebih memilih untuk lari dari tanggung jawab kemanusiaannya. Individu yang merasa kurang percaya akan tuhan tidak memiliki sifat kesabaran dalam dirinya. Ia tidak dapat sabar menerima ujian yang diberikan oleh tuhannya, dan timbul perasaan benci terhadap takdir-takdir yang ditetapkan oleh Tuhannya. Maka, perasaan sabar terhadap ujian dan takdir-takdir yang diberikan Tuhan harus dimiliki untuk menghindari kemungkinan bunuh diri.

2.1.5. Pengukuran Bunuh Diri

Pengukuran bunuh diri dapat dilakukan dengan menggunakan alat ukur Suicidal Behaviors Questionnaire-Revised (SBQ-R; Osman,Bagge, Gutierrez, Konick, Kopper

& Barrios; 2001). Alat ukur ini terdiri dari empat item yang berisi dimensi-dimensi bunuh diri. Dimensi pertama yang juga merupakan item pertama mengukur lama masa pemikiran bunuh diri dan/atau percobaan bunuh diri, pada item kedua mengukur frekuensi dari seringnya pemikiran tentang bunuh diri selama 12 bulan ke belakang, pada item ketiga mengukur hal yang pernah dilakukan dalam percobaan bunuh diri, dan pada item terakhir mengukur kemungkinan untuk melakukan bunuh diri di masa yang akan datang. Alat ukur ini menggunakan skala thurstone dengan poin yang berbeda pada setiap item.

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur bunuh diri lainnya adalah The Columbia Suicide Severity Rating Scale (C-SSRS; Center for Deployment Psychology, 2016). Alat ukur ini dikembangkan oleh Columbia University Medical

(39)

pilihan (ya/tidak) untuk menunjukkan ada atau tidaknya perilaku bunuh diri. Sepuluh kategori tersebut adalah sebagai berikut; (1) keinginan untuk mati; (2) Pemikiran untuk bunuh diri secara aktif non-spesifik; (3) Pemikiran untuk bunuh diri secara aktif dengan metode apapun; (4) Ide bunuh diri secara aktif dengan niat untuk mati, tanpa rencana khusus; (5) ide bunuh diri secara aktif dengan rencana dan niat khusus;

(6) persiapan untuk melakukan bunuh diri; (7) penggagalan percobaan; (8) percobaan yang ditunda-tunda; (9) percobaan sebenarnya; (10) perilaku bunuh diri seutuhnya.

Hasil dari C-SSRS adalah skor numerik yang berikutnya akan dikategorikan berdasarkan pemikiran bunuh diri, perilaku bunuh diri, dan pemikiran juga perilaku bunuh diri.

Alat ukur berikutnya yang juga dapat mengukur ide bunuh diri adalah Scale for Suicide Ideation (SSI; Beck & Kovacs, 1979). Alat ukur ini digunakan untuk mengevaluasi ide bunuh diri. Skala ini berisi 19 item untuk pemikiran bunuh diri. SSI digunakan untuk menilai intensitas sikap, perilaku, dan rencana spesifik melakukan bunuh diri.

Dari ketiga alat ukur yang sudah dipaparkan diatas, peneliti memilih untuk menggunakan alat ukur yang pertama, yaitu Suicidal Behaviors Questionnaire-Revised yang dikembangkan oleh Osman (2001). Alat ukur ini dipilih karena dirasa lebih tepat digunakan dan lebih sesuai dengan definisi yang dipilih oleh peneliti. Yang mana ide bunuh diri disini mencangkup pemikiran tentang bunuh diri, pemikiran untuk mencoba bunuh diri, percobaan bunuh diri, sampai ke keinginan untuk melakukan bunuh diri dimasa yang akan datang

(40)

2.2. Depresi

2.2.1. Definisi Depresi

Depresi dalam kamus psikologi karya Chaplin (1968) menjelaskan bahwa depresi merupakan keadaan kemurungan (kesedihan, patah semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan, dan pesimisme menghadapi masa yang akan datang. Salman (1997) menjelaskan bahwa depresi adalah perasaan yang menurun dan suasana hati yang rendah serta keengganan terhadap aktivitas yang dapat mempengaruhi pikiran, perilaku, perasaan, dan kesejahteraan fisik seseorang.

Depresi adalah perasaan berat yang terus membanjiri dan mencekik. Perasaan tersebut meliputi perasan hambar, membosankan, lemah, juga termasuk perasaan kekecewaan dan keputusasaan (Oltmanns & Emery, 2013)

Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder V (2013) menjelaskan depresi sebagai gangguan psikologis yang ditandai dengan munculnya kesedihan, perasaan hampa, perasaan sensitif, disertai dengan gejala somatif dan kognitif. Gejala-gejala tersebut dapat mempengaruhi fungsi dan kemampuan individu dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

Sedangkan, Beck (1961) menjelaskan depresi sebagai kondisi abnormal individu yang termanifestasi sebagai tanda-tanda dan gejala depresi pada individu seperti menurunnya tingkat emosional, kognitif, motivasi dan vegetatif juga fisik pada individu.

(41)

2.2.2. Gejala-gejala Depresi

Beck, Ward, Mendelson, Mock & Erbaugh (1961) menjelaskan gejala-gejala depresi yang masing-masing mengambarkan manifestasi yang spesifik dari intensitas gejala depresi. Gejala-gejala tersebut dikelompokkan menjadi empat manifestasi, yaitu:

1. Manifestasi Emosional

Pada manifestasi emosional yaitu, adanya gejala seperti keadaan sedih, menangis, mudah tersinggung, adanya perasaan pesimis, merasa tidak puas dan memiliki perasaan bersalah.

2. Manifestasi Kognitif

Manifestasi kognitif dari depresi yaitu adanya perasaan gagal, bencian pada diri sendiri dan adanya penyimpangan citra pada tubuhnya sendiri.

3. Manifestasi Motivasional

Pada manifestasi ini, individu memiliki keinginan untuk bunuh diri, menarik diri dari lingkungan sosial, tidak mampu untuk mengambil keputusan, dan kemunduran dalam pekerjaan.

4. Manifestasi Vegetatif dan Fisik

Individu akan memiliki gangguan pada pola tidur, merasa selalu lelah, kehilangan selera makan, menurunnya berat badan, gejala psikosomatis dan kehilangan libido.

(42)

2.2.3. Pengukuran Depresi

Dalam mengukur depresi dapat menggunakan alat ukur Beck Depression Inventory (BDI). BDI merupakan alat ukur yang dibuat oleh Aaron T. Beck pada tahun 1961.

Alat ukur ini berisi 21 pertanyaan self-report dengan beberapa pilihan jawaban. 21 item pertanyaan tersebut mencangkup 21 kategori dari sikap dan tanda-tanda depresi.

Setiap kategori menjelaskan manifestasi perilaku yang spesifik yang ditimbulkan oleh depresi. Setiap gejala dirangking dan nilainya ditambahkan untuk memberi total nilai dari 0-63, nilai yang tinggi mewakili depresi yang lebih berat.

Alat ukur lain yang mengukur tingkat depresi adalah The Hamilton Depression Rating Scale (HDRS) yang dikembangkan oleh Hamilton pada akhir tahun 1950-an.

HDRS (Hamilton, 1960) merupakan skala standar untuk mengukur keparahan gejala depresi. HDRS umumnya digunakan untuk pemilihan pasien dan ditindaklanjuti dalam studi penelitian pengobatan untuk depresi. Total item pada alat ukur ini berjumlah 17 item. Skala pengukuran yang digunakan dengan menggunakan poin berkisar satu sampai empat pada setiap item, skor dapat berkisar dari 0 hingga 54.

Pengukuran pada variabel depresi dalam penelitian ini peneliti lebih memilih untuk menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Beck, yaitu Beck Depression Inventory. Karna dirasa lebih sesuai dengan definisi yang digunakan dalam penelitian ini.

(43)

2.3. Hopelessness

2.3.1. Definisi Hopelessness

Hopelessness diterjemahkan sebagai keputusasaan diri yang menyebabkan ketidakberdayaan dan hilangnya harapan juga cita-cita. Davison (2013) menjelaskan keadaan hopelessness adalah keadaan yang menyebabkan ketertekanan dan ketidaksanggupan seorang individu dalam memikirkan masa depannya, melakukan suatu yang berarti dalam hidupnya serta memberdayakan dirinya sendiri.

Nietzel, Speltz, McCauley, & Bernstein (1998) menekankan bahwa hopelessness merupakan ketiadaan harapan seorang individu untuk mengubah pola kesengsaraan hidupnya di masa mendatang. Individu yang merasakan hopelessness menganggap bahwa peristiwa hidup yang negatif sebagai suatu hal yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari, sementara peristiwa hidup positif dipandang sebagai suatu hal yang tidak akan terjadi. Melinda & Khusumadewi (2017) menjelaskan hopelessness dalam penelitiannya sebagai keadaan seseorang dengan kondisi lelah secara kognitif dan merasa putus asa.

Hopelessness adalah skema kognitif yang mengukur harapan negatif tentang masa depan dan dikonseptualisasikan sebagai pengalaman perseptual dari antisipasi situasi yang tidak diinginkan atau konsekuensi yang sebagian besar berada di luar kendali individu. (Beck,Weissman, Lester & Trexler; 1974).

(44)

2.3.2. Dimensi Hopelessness

Menurut Beck, Weissman, Lester & Trexler (1974) dimensi-dimensi seseorang mengalami hopelessness yaitu;

1. Perasaan tentang masa depan

Individu yang terindikasikan hopelessness cenderung meragukan masa depannya. Ia menganggap masa depannya tidak lagi ada harapan baginya. Semua yang akan terjadi di masa depan merupakan suatu kesia-siaan dan kegagalan.

Individu dengan hopelessness memandang masa depan baginya tidak ada lagi harapan dan melewati masa depan tanpa keantusiasan,

2. Hilangnya motivasi

Individu yang merasakan hopelessness tidak lagi memiliki keoptimisan dalam dirinya. Ia tidak ingin melakukan hal apapun karena dirasa hal tersebut hanya memberikan hasil yang buruk baginya. Maka individu dengan hopelessness cenderung tidak memiliki motivasi untuk mau mencoba melakukan hal baru.

3. Ekspektasi tentang masa depan

Individu dengan hopelessness tidak dapat membayangkan dirinya di masa depan. Ia tidak banyak mengharapkan sesuatu yang baik akan terjadi pada dirinya di masa yang akan datang. Karena sesuatu yang ia pikirkan adalah ia akan memiliki kehidupan yang buruk di masa yang akan datang

(45)

2.3.4. Pengukuran Hopelessness

Hopelessness dapat diukur dengan alat ukur yang dikembangkan oleh Beck, Weissman, Lester & Trexler yang bernama Beck Hopelessness Scale (BHS), yang mana alat ukur ini dikembangkan pada tahun 1974. Alat ukur ini berisi 20 item dengan jawaban benar-salah. Lima item mengukur perasaan tentang masa depan, sembilan item mengukur motivasi, dan enam item mengukur ekspektasi tentang masa depan.

(46)

2.4. Loneliness

2.4.1. Definisi Loneliness

Peplau & Perlman (1982) menyatakan loneliness sebagai pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan, beberapa menganggap loneliness sebagai tanggapan patologis, namun beberapa ada yang menganggap sebagai perilaku yang positif. Kalemi (2015) menambahkan definisi loneliness dari Donaldson yang menyatakan bahwa loneliness adalah kondisi yang menetap dari keadaan emosi yang muncul ketika seseorang merasa terasing atau ditolak atau tidak memiliki lingkungan sosial yang tepat dengan kegiatan yang diinginkan, terutama kegiatan yang memberikan rasa integrasi sosial dan peluang untuk keintiman sosial.

Kesepian adalah perasaan terasing, tersisihkan juga perasaan terpencil dari orang lain. Orang yang kesepian cenderung merasa berbeda dengan orang lain. Kesepian timbul ketika merasa tersisihkan dari kelompoknya; tidak diperhatikan oleh orang-orang di sekitarnya; terisolasi dari lingkungan; tidak memiliki orang lain untuk berbagi rasa dan pengalaman; juga harus sendiri tanpa ada pilihan (Suardiman, 2010)

De Jong Girveld (1998) Menyatakan bahwa loneliness adalah situasi yang dialami oleh individu yang mana ia mengalami kurangnya hal menyenangkan yang terjadi ketika kurangnya hubungan sosial individu dalam beberapa hal penting, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Ini termasuk situasi dimana hubungan yang ada lebih sedikit dari yang diinginkan atau diterima, serta dimana keintiman yang diinginkan belum terealisasi.

(47)

2.4.2. Dimensi Loneliness

De Jong Gierveld (2006) membagi dimensi loneliness menjadi dua, yaitu;

1. Social Loneliness

Individu yang mengalami perasaan terisolasi dari sosialnya akan merasakan loneliness. Individu yang jauh dan tidak dikelilingi oleh sosial yang tidak mendukungnya akan merasakan kesepian. Individu yang memiliki hubungan pribadi yang intim akan memberikan perasaan saling memiliki dan saling melindungi tidak akan merasakan kesepian. Memiliki hubungan yang beragam, dan mendapatkan hubungan dari orang lain terbukti dapat mengurangi perasaan kesepian.

2. Emotional Loneliness.

Selain merasakan kesepian dalam lingkup sosialnya, individu akan merasakan kesepian secara emosional. Individu yang memiliki orang lain untuk berbagi, dan memiliki figur keterikatan akan mengurangi perasaan kesepian.

2.4.3. Pengukuran Loneliness

Untuk mengetahui seseorang mengalami loneliness atau tidak, dapat menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh De Jong Gierveld yang bernama De Jong Gierveld Loneliness Scale (2006). Alat ukur ini berisi enam item dengan skala tiga poin. Alat ukur ini mengukur social loneliness (SL) yang mana dimensi ini mengukur jaringan sosial individu yang luas. Lalu yang berikutnya adalah emotional loneliness (EL) yang mana hal ini mengukur apakah individu mengalami kehilangan hubungan yang sangat dekat dengan individu lain.

(48)

Selain De Jong Gierveld Loneliness Scale, alat ukur yang mengukur loneliness adalah The Revised UCLA Loneliness Scale (R-UCLA). R-UCLA adalah indeks dari kesepian yang terdiri dari 20 item dengan model skala likert, yang menggambarkan kepuasaan dan ketidakpuasan terhadap kehidupan dan hubungan sosial (Russell, Peplau & Cutrona; 1980)

Dari kedua alat ukur tersebut, peneliti memutuskan untuk memilih alat ukur yang pertama yaitu De Jong Gierveld Loneliness Scale, karena alat ukur tersebut lebih terbaru dibandingkan dengan R-UCLA.

(49)

2.5. Sabar

2.5.1. Definisi Sabar

Dalam bahasa Arab, kata sabar berasal dari kata “Shabara” yang membentuk infinitif (masdar) menjadi “shabran”. Secara bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah (Wiryoutomo, 2009). Menurut Amru bin Usman (dalam Wiryoutomo, 2009) mengatakan bahwa sabar adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang. Menurut Imam Al-Khawas (dalam Wiryoutomo, 2009), mendefinisikan sabar sebagai refleksi keteguhan untuk merealisasikan Al-Quran dan sunah.

Agte & Chiplonkar (2007) mendefinisikan sabar sebagai ketenangan, self-control, dan kemauan atau kemampuan untuk mentolerir penundaan. Menurut Syaikh Ibnu Utsaimin (dalam Al-Yamani, 2017) menjelaskan sabar sebagai menahan diri, dalam hal ini menahan dalam tiga hal, yaitu; taat kepada Allah; menjauhi larangan-larangan-Nya; dan menghadapi ketentuan Allah yang menyakitkan sekalipun.

2.5.2. Dimensi Sabar

Syaikh Ibnu Utsaimin (Dalam Al-Yamani, 2017) menjelaskan dimensi-dimensi seseorang mengalami sabar.

1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah.

Seseorang harus sabar untuk tetap menaati Allah, sebab taat kepada-Nya sangat berat dan sulit bagi diri dan jiwa seseorang, bahkan mungkin berat juga bagi fisiknya. Karena fisik manusia sering merasa kelelahan dan letih, juga kadang ia

(50)

2. Sabar dalam menjauhi larangan-larangan Allah yang telah diharamkan-Nya.

Seseorang dituntut untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan Allah atasnya. Jiwa itu penuh amarah dan angkara murka yang selalu menjerumuskannya ke dalam keburukan. Oleh sebab itu, seseorang dituntut menyabarkan dirinya untuk tidak melakukan hal-hal seperti itu.

3. Sabar dalam menghadapi ketentuan dan putusan Allah.

Ketentuan yang sesuai harus disyukuri, dan syukur adalah suatu bentuk ketaatan, sementara sabar untuk tetap taat merupakan jenis pertama dari kesabaran itu sendiri. Adapun ketentuan yang menyakitkan atau yang tidak sesuai dengan kehendak dan kemampuan manusia misalnya adalah ketika seseorang diuji fisik, dan hartanya, atau diuji keluarga dan masyarakatnya.

2.5.3. Pengukuran Sabar

Dalam membuat alat ukur sabar dapat menggunakan dimensi dari Syaikh Ibnu Utsaimin (dalam Al-Yamani, 2017) sebagai acuan. Yang mana dimensi tersebut akan dikembangkan dengan membuat indikator hingga sampai membuat item.

(51)

2.6. Kerangka Berpikir

Ide bunuh diri merupakan pemikiran tentang keinginan untuk melakukan bunuh diri. Ide bunuh diri tersebut dapat memicu adanya perilaku bunuh diri. Ide bunuh diri mencangkup pemikiran tentang bunuh diri, pemikiran untuk melakukan bunuh diri, perancanaan bunuh diri, hingga sampai ke perilaku bunuh diri. Perilaku bunuh diri merupakan perilaku yang dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan nyawa diri sendiri. Bunuh diri ini sangat rentan terjadi pada usia remaja, karena usia remaja merupakan usia transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Terdapat banyak pergolakan yang terjadi pada masa ini yang mana akan memicu timbulnya ide bunuh diri pada remaja. Di Indonesia kasus bunuh diri ini cukup marak, sehingga kajian tentang bunuh diri sangat perlu untuk diperhatikan.

Timbulnya ide bunuh diri disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah depresi, individu yang memiliki ide bunuh diri umumnya mengalami depresi.

Depresi merupakan salah satu faktor terkuat penyebab adanya ide bunuh diri. Beck (1963) menjelaskan bahwa ndividu yang mengalami depresi akan memiliki pemikiran negatif tentang dirinya, dunianya dan masa depannya. Pemikiran negatif tersebut lah yang kemudian menimbulkan keinginan pelaku untuk melakukan bunuh diri dibandingkan untuk melanjutkan hidupnya. Seperti yang didapatkan oleh hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Garlow, Rosenberg, Moore, Haas, Koestner, Hendin &

Nemeroff (2008) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara depresi dengan pemikiran bunuh diri.

Faktor yang kedua adalah hopelessness. Individu yang mengalami hopelessness cenderung pesimis pada masa depannya. Ia menganggap bahwa hal-hal yang buruk akan terjadi padanya, dan menganggap hal-hal positif tidak akan pernah terjadi

(52)

padanya. Hilangnya harapan akan masa depan membuat individu tidak siap untuk menyambut masa yang akan datang, sehingga timbul pemikiran bahwa bunuh diri lebih baik dilakukan dibandingkan melanjutkan hidup yang tidak memiliki masa depan yang baik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Huen, Ip, Ho & Yip (2015). Huen, et.al (2015) menemukan bahwa individu yang mengalami hopelessness memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap ide bunuh diri. Huen, et.al (2015) juga menjelaskan bahwa individu yang memiliki harapan lebih tinggi, memiliki lebih rendah pemikiran tentang bunuh diri dibandingkan dengan individu yang mengalami hopelessness.

Faktor yang lain adalah loneliness. Loneliness merupakan peristiwa yang kerap terjadi pada usia remaja. Loneliness juga merupakan salah satu faktor yang sangat kuat yang dapat menimbulkan adanya ide bunuh diri. Stravynski & Boyer (2001) menemukan bahwa loneliness sangat berpengaruh terhadap tingkat pemikiran untuk melalukan bunuh diri dan parasuicide. Yang mana pada penelitian tersebut ditemukan juga, bahwa semakin tinggi tingkat individu mengalami loneliness, semakin tinggi pula pemikiran individu untuk melakukan bunuh diri. Loneliness terbagi menjadi dua, yaitu social loneliness dan emotional loneliness. Social loneliness adalah keadaan dimana individu mengalami perasaan terisolasi dari sosialnya, tidak ada orang lain yang mendukungnya, serta tidak memiliki hubungan yang intim dengan orang lain.

Hal tersebut dapat menimbulkan perasaan kesepian bagi individu sehingga dapat mencetuskan pemikiran bahwa ia tidak memiliki orang lain dan tidak diperlukan bagi orang lain, sehingga bunuh diri dianggap lebih baik untuknya.

Yang berikutnya adalah emotional loneliness. Individu yang tidak memiliki

(53)

juga akan merasakan bahwa ia tidak diterima oleh orang lain. Sehingga menurutnya, bunuh diri adalah jalan terbaik baginya.

Faktor selanjutnya adalah sabar. Vandestra (2018) menjelaskan bahwa individu yang memiliki ide bunuh diri bahkan sampai melakukan bunuh diri disebabkan karena kurangnya rasa sabar. Individu yang tidak memiliki kesabaran dalam menghadapi masalahnya, menghadapi ujian yang diberikan oleh Allah, serta tidak dapat menahan diri untuk tidak melakukan perilaku yang dilarang oleh Allah akan cenderung memilih bunuh diri untuk mengakhiri semua beban masalah yang dideritanya. Maka individu yang memilih untuk melakukan bunuh diri cenderung orang yang kurang memiliki kesabaran.

Faktor lain yang mempengaruhi ide bunuh diri adalah jenis kelamin. Data yang dilansir oleh American Medical Association menunjukkan bahwa wanita lebih cenderung melakukan bunuh diri dibandingkan dengan pria. Hal ini terjadi disebabkan karena wanita lebih cenderung menggunakan emosinya dibandingkan dengan logikanya. Hormon-hormon wanita yang berkaitan dengan emosi cenderung berperan dalam timbulnya ide bunuh diri.

Dan faktor yang terakhir adalah usia. Usia remaja merupakan usia yang sangat rentan untuk melakukan perilaku bunuh diri. Suhartono (2019) memaparkan bahwa usia remaja awal lebih cenderung melakukan bunuh diri dibandingkan dengan remaja akhir. Hal ini terjadi karena remaja awal belum memiliki emosi yang stabil. Pada usia tersebut, individu cenderung mengikuti emosinya tanpa memikirkan akibat ke depannya.

Berdasarkan penjelasan yang telah dijelaskan diatas, peneliti membuat kerangka berpikir tentang pengaruh depresi, hopelessness, loneliness, sabar, jenis kelamin dan

(54)

usia terhadap ide bunuh diri pada remaja. Apabila tingkat depresi, hopelessness dan loneliness tinggi, maka tinggi pula kemungkinan remaja memiliki ide bunuh diri.

Namun apabila tingkat sabar tinggi, maka semakin rendah kemungkinan remaja memiliki ide bunuh diri. Peneliti juga memikirkan kemungkinan jenis kelamin wanita dan remaja berusia pada rentang usia 12 hingga 18 tahun lebih cenderung melakukan bunuh diri. Berikut bagan kerangka berpikir untuk menjelaskan hal tersebut :

Gambar 2.1

Bagan pengaruh depresi, hopelessness, loneliness, sabar, jenis kelamin dan usia terhadap ide bunuh diri pada remaja

Depresi

Hopelessness

Loneliness Emotional Loneliness

Social Loneliness

Sabar Jenis Kelamin

Usia

Ide Bunuh Diri

(55)

2.7. Hipotesis

2.7.1. Hipotesis Mayor

Ha : Ada pengaruh yang signifikan depresi, hopelessness, loneliness, sabar, jenis kelamin dan usia terhadap ide bunuh diri pada remaja.

2.7.2. Hipotesis Minor

Ha1: Ada pengaruh yang signifikan antara depresi terhadap ide bunuh diri.

Ha2: Ada pengaruh yang siginifikan antara hopelessness terhadap ide bunuh diri.

Ha3: Ada pengaruh yang siginifikan emotional loneliness pada variabel loneliness terhadap ideu bunuh diri.

Ha4: Ada pengaruh yang siginifikan social loneliness pada variabel loneliness terhadap ide bunuh diri.

Ha5: Ada pengaruh yang signifikan antara sabar terhadapidebunuh diri.

Ha6: Ada pengaruh yang signifikan .antara jenis kelamin terhadap ide bunuh diri.

Ha7: Ada pengaruh yang signifikan antara usia terhadapidebunuh diri.

(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini peneliti akan memaparkan mengenai populasi dan sampel, variabel penelitian, definisi operasional dari variabel, pengumpulan data, uji validitas konstruk alat ukur, metode analisis data, dan prosedur pengumpulan penelitian.

3.1. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel Penelitian

Pada penelitian ini, yang akan dijadikan populasi adalah remaja perempuan dan laki-laki dengan rentang usia 14 hingga 22 tahun yang pernah memiliki pemikiran untuk melakukan bunuh diri. Pemilihan usia tersebut sesuai dengan tahapan perkembangan remaja dari Santrock (2005) yang menyatakan bahwa usia remaja berada pada rentang usia 14 hingga 22 tahun. Sampel penelitian yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 323 orang.

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan non-probability sampling yang mana tidak semua individu dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dimana peneliti hanya mengambil data pada remaja berusia 14 hingga 22 tahun yang pernah memiliki ide bunuh diri. Untuk mengetahui individu tersebut pernah memiliki ide bunuh diri adalah dengan memberikan cutoff score pada alat ukur bunuh diri yang digunakan. Cutoff score yang digunakan sebesar empat, hal ini mengartikan bahwa individu dapat dikatakan pernah memiliki ide bunuh diri jika individu tersebut memiliki nilai skor minimal empat pada alat ukur bunuh diri yang digunakan.

(57)

3.2. Variabel Penelitian

Adapun variabel penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu:

1. Ide bunuh diri 2. Depresi

3. Hopelessness 4. Loneliness

a. Social Loneliness

b. Emotional Loneliness 5. Sabar

6. Demografis a. Jenis Kelamin b. Usia

Dependent variable (variabel terikat) dalam penelitian ini adalah ide bunuh diri, sedangkan variabel lainnya merupakan independent variable (variabel bebas).

3.3. Definisi Operasional Variabel

Setelah menentukan variabel mana yang menjadi variabel terikat dan variabel bebas, maka berikutnya adalah menentukan definisi operasional dari masing-masing variabel penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini. Adapun definisi operasional masing-masing variabel dalam penelitian ini adalah:

(58)

1. Ide bunuh diri yang dimaksud mencangkup pemikiran tentang bunuh diri, pemikiran untuk mencoba melakukan bunuh diri, pemikiran untuk melakukan bunuh diri, sampai ke percobaan bunuh diri.

2. Depresi yang dimaksud adalah kondisi abnormal yang termanifestasi sebagai tanda-tanda dan gejala pada individu seperti menurunnya tingkat emosional, kognitif, motivasi dan vegetatif juga fisik pada individu.

3. Hopelessness yang dimaksud adalah hilangnya harapan seseorang terhadap dirinya, hingga menimbulkan perasaan ragu tentang masa depan, hilangnya motivasi, dan ekspektasi tentang masa depan yang buruk.

4. Loneliness yang dimaksud adalah keadaan emosi yang muncul ketika seseorang mengalami kurangnya hal menyenangkan yang terjadi ketika kurangnya hubungan sosial, merasa terasingkan atau ditolak, hingga hubungan yang lebih sedikit dari yang diinginkan atau diterima.

5. Sabar yang dimaksud adalah mampu menahan dan mencegah. Menahan diri untuk tetap taat kepada Allah, mencegah untuk melakukan maksiat atau hal-hal yang dilarang oleh Allah, dan mampu tahan dalam menghadapi ketentuan Allah yang menyakitkan sekalipun.

3.4. Pengumpulan Data

3.4.1. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan alat ukur yang telah diterjemahkan dan dimodifikasi untuk variabel ide bunuh diri, depresi, hopelessness dan loneliness. Sedangkan pada variabel sabar,

Referensi

Dokumen terkait

27 Berdasarkan hasil tersebut, dapat di- tarik kesimpulan bahwa resiliensi memoderasi risiko depresi dan gejala kecemasan terhadap ide bunuh diri pada pasien

Dari tabel uji validitas dapat diketahui bahwa variabel kualitas pelayanan, harga dan lokasi serta kepuasan pelanggan mempunyai r hitung yang lebih besar daripada

Besar kecil profitabilitas yang didapatkan suatu perusahaan akan memengaruhi nilai perusahaan dengan melihat profitabilitas sebagai ukuran dan kinerja perusahaan

a) Bagaimana pemahaman pramusaji terhadap konsep pelayanan prima, b) Bagaimana Implementasi uji kompetensi. Pemahaman pramusaji terhadap konsep pelayanan prima berdasarkan hasil

Berbagai penelitian mengenai ide bunuh diri pada remaja telah dilakukan, Penelitian di kota Dangila Ethiopia bertujuan untuk mengetahui prevalensi ide bunuh diri dan di

Proses pengolahan air limbah dengan biofilter anaerob-aerob mempunyai beberapa keunggulan yang lain antara lain yakni biaya operasinya rendah, dibandingkan dengan

Penelitian Ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmi (2017) yang menyatakan CSR berpengaruh signifikan positif secara tidak langsung melalui

Sebagai hasil dari tingkat pertumbuhan yang tinggi, ekonomi India akan menjadi yang kelima terbesar di dunia pada tahun 2018 yang menyalip.. kekuatan ekonomi global seperti