• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Pankreas

Pankreas memiliki struktur seperti kelejar ludah. Pada manusia dewasa yang normal dan sehat, pankreas memiliki berat sekitar 100 g, dengan panjang 14 sampai 25 cm, volume sekitar 72,4 ± 25,8 cm3 dan berbentuk lobular dan bentuknya memanjang (Longnecker, dkk, 2018). Pankreas terdiri dari tiga bagian yaitu, kepala, badan, dan ekor pankreas. Kepala pankreas terletak di sebelah kanan rongga abdomen, di dalam lekukan duodenum yang melingkarinya. Badan pankreas terletak di belakang lambung dan di depan vertebra lumbalis. Ekor pankreas berbentuk runcing disebelah kiri menyentuh limpa. Pada pankreas juga terdapat kepulauan langerhans yang membentuk organ endokrin untuk mengekresikan insulin, yaitu sebuah hormon antidiabetik yang diberikan dalam pengobatan diabetes. Pankreas endokrin terdiri dari gugus sel kecil yang disebut pulau Langerhans, mengandung beberapa sel endokrin, yaitu sel α penghasil glukagon, sel β penghasil insulin, sel δ penghasil somatostatin, dan sel PP penghasil polipeptida pankreas (Pearce, 2019).

Gambar 2. 1 Anatomi Fisiologi Pankreas (Atkinson, 2020)

(2)

Sel β terletak di pulau kecil langerhans, yang tersebar di dalam eksokrin pankreas. Setiap pulau mengandung 1000 sel β bersama dengan sel endokrin lain seperti sel alfa, sel delta, sel polipeptida pankreas (PP) dan sel epsilon, dan total 1 juta pulau ada di pankreas. Massa sel β mengacu pada massa total sel β sekitar 1 g pada manusia. Sel β pankreas berperan memproduksi hormon insulin (70% dari pulau Pankreas). Apabila sel β rusak maka sel β tidak dapat memproduksi insulin.

Akibatnya, sel tubuh tidak dapat mengambil glukosa, dan kadar glukosa darah naik terlalu tinggi. DM tipe 2 disebabkan oleh disfungsi sel β semakin memburuk dengan durasi penyakit. Disfungsi sel β dikaitkan dengan memburuknya glikemik kegagalan kontrol dan pengobatan, sehingga penting untuk mempertahankan atau memulihkan massa fungsional sel β di pengelolaan DM tipe 2 (Saisho, 2015).

Insulin adalah sebuah protein yang dapat dicernakan oleh enzim pencerna protein, maka tidak diberikan melalui mulut tetapi dengan suntikan subkutan.

Insulin dapat mengendalikan kadar glukosa didalam tubuh seperti pada diabetes melitus akan memperbaiki kemampuan sel tubuh mengabsorpsi dan menggunakan glukosa dan lemak (Pearce, 2019). Gula dalam darah atau glukosa merupakan energi utama bagi sel tubuh bagian otot dan jaringan. Glukosa berasal dari makanan dan diproduksi oleh hati. Gula dari makanan yang masuk dari mulut akan dicerna dilambung dan diserap oleh usus, kemudian masuk ke dalam aliran darah. Gula membutuhkan insulin dalam menjalankan fungsinya. Hormon insulin diproduksi oleh sel β di pulau langerhans dalam pankreas. Setiap makanan yang masuk ke dalam tubuh kita, pankreas memberi respon dengan mengeluarkan insulin ke dalam aliran darah. Insulin bekerja membuka jalan agar gula dapat masuk ke dalam sel, sehingga kadar glukosa menjadi turun (Tandra, 2017).

Selain tempat pusat memproduksi gula, hati merupakan tempat penyimpanan gula. Ketika kadar insulin meningkat, maka hati akan menimbun glukosa dari makanan yang masuk kedalam tubuh, dan akan dialirkan ke sel-sel tubuh jika telah dibutuhkan. Timbunan gula di dalam hati atau disebut glikogen akan diubah kembali menjadi glukosa dan dikeluarkan ke aliran darah menuju sel- sel tubuh, jika insulin dalam darah rendah karena tidak makan atau kondisi lapar.

Sel alfa yang berada di dalam pankreas, berfungsi memproduksi hormon glukagon.

Apabila kadar gula darah rendah, maka glukagon akan merangsang hati untuk

(3)

memecah glikogen menjadi glukosa. Tubuh kita juga mempunyai hormon yang fungsinya berlawanan dengan insulin, seperti glukagon, epinefrin atau adrenalin, dan kortisol atau hormon steroid. Hormon tersebut berkerja memacu hati agar mengeluarkan glukosa, sehingga gula darah naik (Tandra, 2017).

Pasien diabetes mengalami gangguan keseimbangan gula yang disimpan di hati dan transportasi gula. Oleh karena itu, kadar gula darah meningkat kemudian diekskresikan melalui urine, sehingga urine lebih banyak dan mengandung gula.

Hal ini terjadi, karena pankreas tidak mampu memproduksi insulin dan sel tidak memeri respon pada kerja insulin sebagai pembuka jalan agar gula dapat masuk ke dalam sel, sehingga kadar gula dalam darah menjadi turun (Tandra, 2017).

2.2 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus menjadi salah satu ancaman kesehatan global. Jumlah kasus dan prevalensi diabetes melitus terus meningkat beberapa waktu terakhir.

Diabetes merupakan salah satu penyakit kronis serius karena pankreas tidak dapat menghasilkan insulin yang mengatur gula darah atau glukosa, sehingga terjadi peningkatan glukosa dalam darah. Semua jenis diabetes dapat menyebabkan komplikasi di bagian tubuh manapun dan dapat meningkatkan risiko kematian dini (WHO, 2016). Satu diantara 2 orang terkena diabetes belum terdiagnosis, hal ini membuat mereka rentan mengalami komplikasi akibat diabetes, menyebabkan kecacatan substansial, kematian dini atau premature (Kemenkes RI, 2016).

Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit gangguan metabolik dalam tubuh dengan gejala hiperglikemia akut maupun kronik yang ditandai dengan tidak normalnya metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Diabetes melitus disebabkan adanya kelainan sekresi insulin, kelainan kerja insulin ataupun keduanya, dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular dan neuropati (Dipiro et al, 2016). Terdapat beberapa faktor lainnya seperti faktor genetik, faktor usia, faktor gaya hidup dan pola makan (Perkeni, 2015).

2.3 Epidemiologi Diabetes Melitus

Word Health Organitation menyebutkan, bahwa pada tahun 2016 sebanyak 1,6 juta kematian disebabkan oleh diabetes. Diabetes merupakan penyebab 70%

(4)

dari total kematian didunia (WHO, 2016). Menurut International Diabetes Federation (IDF) sekitar 463 juta orang dewasa berumur 20-79 tahun menderita diabetes, jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 700 juta pada tahun 2045. Pada tahun 2015 di tingkat global diperkirakan setengah dari pasien diabetes dewasa sekitar 193 juta orang tidak mengetahui bahwa mereka pasien diabetes, dimana hampir seluruhnya merupakan kasus diabetes tipe 2. Jumlah kematian penyebab diabetes mencapai 4,2 juta. Tiogkok, India, Amerika Serikat, Pakistan, Brazil, Meksiko, Indonesia, Jerman, Mesir, dan Bangladesh merupakan 10 negara dengan jumlah pasien diabetes orang dewasa berumur 20-79 tahun tertinggi di dunia. Prevalensi diabetes di Indonesia cenderung meningkat. Indonesia berada di peringkat ketujuh dengan jumlah 10,7 juta orang (IDF, 2019).

Jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 di Indonesia diperkirakan mengalami kenaikan pada tahun 2000 berjumlah 8,4 juta menjadi 21,3 juta pada tahun 2030.

IDF memprediksikan terjadi kenaikan jumlah pasien diabetes melitus pada tahun 2013-2017 sebanyak 10,3 juta menjadi 16,7 juta pada tahun 2045 (IDF, 2019).

Kasus diabetes yang terkonfirmasi di Indonesia pada tahun 2019 mencapai 3.941.698 pasien. Provinsi Jawa Timur berada peringkat pertama sebanyak 844.018 pasien, diikuti dengan Provinsi Jawa Barat sebanyak 552.151 pasien, dan Provinsi Riau sebanyak 501.921 pasien (Kemenkes RI, 2019).

Hasil riset kesehatan dasar menunjukkan peningkatan prevalensi dari 6,9%

pada tahun 2013 menjadi 8,5% pada tahun 2018. Prevalensi diabetes paling tinggi berada di Kota Madiun dengan 4,22%, sedangkan Kota Malang dengan 2,4%

berada di urutan ke 13 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur (Riskesdas, 2018).

Dilihat dari data dinas kesehatan Malang tahun 2015 tercatat pasien diabetes melitus sebanyak 27.930 pasien di wilayah Malang, pasien baru sebanyak 5.905 pasien dan pasien lama sebanyak 22.025 pasien (Dinkes Malang, 2015).

2.4 Klasifikasi Diabetes Melitus

Penyakit diabetes melitus diklasifikasikan menjadi 4 yaitu diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes gestasional, dan diabetes tipe lainnya. Diabetes melitus merupakan penyakit yang tidak ada tanda-tanda atau gejala yang terlihat, hal ini

(5)

mengakibatkan banyak pasien masuk RS dengan diagnosa penyakit kronis disertai komplikasi (ADA, 2018).

2.4.1 Diabetes Melitus tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 terjadi akibat tidak terkontrolnya gula darah di dalam tubuh karena adanya kerusakan sel beta pankreas sehingga berkurangnya produksi insulin. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin, sehingga gula menjadi menumpuk dalam peredaran darah karena tidak dapat diangkut ke dalam sel. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis (ADA, 2018). DM tipe 1 ini banyak terjadi pada pasien anak dengan rentang usia 5-6 tahun dan sampai 12 tahun. Perlu diketahui lebih dari setengah persen penderita baru tipe 1 berusia >19 tahun (World Diabetes Foundation, 2015) Diabetes melitus tipe 1 biasanya merupakan penyakit autoimun, dimana terdapat gangguan sistem imun yang mengakibatkan kerusakan sel β pankreas.

Rusaknya sel pankreas ini juga terjadi karena adanya pengaruh genetik atau keturunan, infeksi virus, dan malnutrisi. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia muda seperti anak-anak atau remaja baik pria maupun wanita, namun saat ini juga ditemukan pada usia tua. Diabetes melitus tipe 1 disebut juga insulin-dependent diabetes. Diabetes melitus tipe ini sangat bergantung dengan insulin, dimana pasien memerlukan suntikan insulin setiap hari untuk memenuhi kebutuhan insulin di dalam tubuhnya (Tandra, 2017).

2.4.2 Diabetes Melitus tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan sekresi hormon insulin dan produksi glukosa darah secara berlebihan. Hal ini disebabkan ketidakmampuan sel target insulin dalam merespon hormon insulin secara normal sehingga gula darah tidak dapat masuk ke dalam sel. Gejala DM tipe ini secara perlahan-lahan bahkan tidak terlihat. Dengan pola hidup sehat, yaitu mengonsumsi makanan bergizi seimbang dan olah raga secara teratur biasanya pasien brangsur pulih. Pasien juga harus mampu mepertahannkan berat badan yang normal. Namun pada penerita stadium akhir kemungkinan akan diberikan suntik insulin (ADA, 2018).

Pada diabetes melitus tipe 2, pankreas masih bisa membuat insulin, namun insulinnya tidak dapat berfungsi dengan baik. Pasien tidak perlu tambahan suntikan insulin dalam pengobatannya, tetapi memerlukan obat yang dapat memperbaiki

(6)

fungsi kerja insulin dalam menurunkan gula dan memperbaiki pengolahan gula di dalam hati. Pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang obesitas, terjadi ketidakpekaan atau resisten terhadap insulin pada sel-sel jaringan tubuh dan otot, sehingga gula tidak dapat masuk ke dalam sel dan tertimbun di peredaran darah (Tandra, 2017).

Diabetes melitus tipe 2 sering terjadi pada usia 40 tahun, namun prevalensinya tiap tahun mengalami peningkatan. Saat ini ditemukan pasien diabetes melitus berusia remaja dan dewasa yang dipicu oleh gaya hidup tidak sehat, kurang olahraga atau aktivitas fisik, sering makan yang manis-manis, dan meningkatnya jumlah obesitas (Nair & Peate, 2015).

2.4.3 Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes melitus gestasional terjadi selama masa kehamilan, seorang ibu hamil memutuhkan insulin lebih banyak untuk mempertahankan metabolisme karohidrat secara normal. Hal ini terjadi, karena adanya pembentukan hormon pada ibu hamil yang menyebabkan resistensi insulin. Diabetes melitus tipe ini ditandai dengan intoleransi glukosa, pertama kali pada masa kehamilan yang terjadi trimester kedua atau ketiga kehamilan, hal ini disebabkan ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi insulin lebih banyak. Diabetes melitus gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Pasien diabetes melitus gestasional memiliki risiko lebih besar menderita diabetes melitus tipe 2 setelah melahirkan. Wanita yang didiagnosis diabetes melitus gestational harus menerima skrining seumur hidup untuk pradiabetes dan diabetes tipe 2 (ADA, 2018).

2.4.4 Diabetes Melitus Tipe Lain

Diabetes melitus tipe lain terjadi akibat penyakit lain yang dapat mengganggu produksi insuin atau mempengaruhi kerja insulin yaitu berupa munculnya gangguan genetik fungsi sel beta, kerja insulin yang terganggu, gangguan eksokrin pankreas, infeksi, endokrinopati, sebab imunologi yang jarang dan sindroma genetik lainnya yang kadang dihubungkan dengan diabetes melitus.

Diabetes tipe ini dapat dipicu oleh obat atau bahan kimia seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ (ADA, 2018). Penyebab diabetes ini yaitu, radang pankreas, gangguan kelenjar adrenal atau hipofisis, penggunaan hormon kortikosteroid, pemakaian beberapa obat antihipertensi atau antikolesterol, malnutrisi, dan infeksi (Tandra, 2017).

(7)

2.5 Etiologi dan Faktor Risiko Diabetes Melitus

Diabetes melitus ditandai hiperglikemia kronis yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Hiperglikemia pada diabetes melitus dapat tidak terdeteksi karena bersifat asimptomatik atau tidak ada gejala yang pasti dan menyebabkan kerusakan vaskular sebelum penyakit terdeteksi (Gabriellyn, 2016). Naiknya kadar gula darah pada diabetes melitus karena pankreas tidak berfungsi dengan baik menyebabkan kurangnya sekresi insulin. Kurangnya hormon insulin menyebabkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.

Diabetes melitus berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi beberapa organ tubuh, seperti mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (ADA, 2018). Beberapa hormon yang bekerja sebagai antagonis insulin dapat menyebabkan terkena diabetes (Putra & Berawi, 2015).

Diabetes melitus tipe 1 biasanya terjadi pada masa anak-anak sebagai bentuk hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh kerusakan imunologis atau autoimun sel beta pankreas karena faktor genetik. Sedangkan diabetes melitus tipe 2 merupakan bentuk hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh meningkatnya resistensi insulin dan berkurangnya kapasitas sekresi insulin. Diabetes melitus tipe 2 biasanya muncul pada usia dewasa, namun saat ini sering dikaitkan dengan obesitas, gaya hidup, dan pola makan sehingga juga dapat terjadi pada anak-anak dan remaja dan kejadian meningkat secara drastis (Katzung, 2018).

Diabetes melitus gestasional ini terjadi ketika nilai glukosa darah di atas normal pada masa kehamilan. Wanita dengan diabetes melitus gestasional berisiko terkena diabetes tipe 2 dan beberapa mengalami komplikasi selama kehamilan dan persalinan (WHO, 2016). Diabetes tipe lain disebabkan karena penyebab dari penyakit lain, misalnya cacat genetik pada fungsi sel β, cacat genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas seperti fibrosis kistik serta dampak penyakit dan obat-obatan kimia (ADA, 2018). Menurut Tandra 2017 terdapat faktor risiko diabetes melitus yaitu:

2.5.1 Genetik

Pada faktor genetik / keturunan dapat dilihat bahwa pasien diabetes tipe 2 lebih banyak dibandingkan diabetes tipe 1. Sekitar 50% pasien diabetes tipe 2 merupakan turunan dari orang tuanya, dan lebih dari sepertiga dari saudaranya,

(8)

namun jika mempunyai saudara kembar maka kemungkinan terkena diabetes sebesar 90%. Pada diabetes tipe 1 kemungkinan terkena diabetes sebesar 3-5%

apabila orang tua dan saudaranya terkena diabetes, namun jika mempunyai saudara kembar kemungkinan terkena diabetes sebesar 35-40%. Menurut para ahli riabetes merupakan penyakit yang berhubungan dengan kromosom seks, kemungkinan besar penderitanya laki-laki. Sedangkan perempuan sebagai pembawa gen yang dapat diturunkan kepada anaknya

2.5.2 Ras atau Etnis

Suku Indian di Amerika, Hispanik, dan orang Amerika di Afrika, merupakan beberapa ras yang mempunyai resiko lebih besar terkena diabetes tipe 2. Orang-orang yang berkulit hitam terutama wanita lebih mudah terkena diabetes daripada yang berkulit putih.

2.5.3 Obesitas

Obesitas sangat berkaitan dengan diabetes tipe 2, hal ini disebabkan karena semakin banyak jaringan lemak, jaringan tubuh, dan otot yang resisten terhadap insulin. Apabila kelebihan berat badan terkumpul di daerah perut, maka lemak akan menutup kerja insulin agar gula tida dapat masuk ke dalam sel dan menumpuk di peredaran darah. Menurunkan berat badan dengan merubah gaya hidup dan berolahraga rutin akan membuat kadar gula darah kembali seimbang.

2.5.4 Pola Hidup / Kurangnya Aktivitas Tubuh

Pada kalangan masyarakat dikenal dengan males gerak. Semakin berkurangnya aktivitas tubuh maka semakin mudah terkena diabetes. Apabila kurang bergerak, maka masa otot berkurang sehingga gula darah tidak dipakai dan menumpuk. Olahraga atau melakukan aktivitas fisik sangat diperlukan untuk mengontrol berat badan, sehingga gula darah dibakar menjadi energi dan sel tubuh lebih peka terhadap insulin.

2.5.5 Pola Makan

Pola makan yang berlebihan, jumlah kalori yang tidak terkontrol masuk ke dalam tubuh, komsumsi makanan cepat saji, tinggi lemak, garam, gula dapat membuat kadar glukosa dalam darah meningkat.

(9)

2.5.6 Metabolik Sindrom

Metabolik sindrom banyak ditemukan pada masyarakat saat ini. Gaya hidup yang kurang banyak gerak dan makan yang berlebihan membuat semakin tinggi risiko terkena diabetes. Hal ini disebabkan karena pada orang gemuk mempunyai kandungan gula dan lemak yang tinggi di dalam darahnya.

2.5.7 Penyakit Lain dan Infeksi

Penyakit lain mudah terkena diabetes seperti pembuluh darah perifer, hipertensi, radang sendi akibat asam urat dalam darah, jantung koroner, stroke, infeksi kulit berulang cenderung diikuti dengan kadar gula yang tinggi. Pada anak- anak diabetes tipe 1 disebabkan oleh infeksi virus, seperti campak, mumps, coxsackie yang membuat sel pankreas rusak.

2.5.8 Usia

Seiring bertambahnya usia terutama pada usia 40 tahun keatas lebih berisiko terkena diabetes melitus. Bertambahnya usia membuat penurunan fungsi kerja tubuh terutama pada pankreas sebagai penghasil insulin, dan kurangnya menggerakkan badan sehingga berat badan bertambah. Namun saat ini pada usia muda seperti anak-anak dan remaja banyak terkena diabetes melitus tipe 2.

2.5.9 Stress

Cedera, infeksi berat, trauma hebat, operasi besar, penyakit berat lainnya, dan adanya masalah dalam kehidupan dapat memicu terjadinya stress. Tubuh secara alami akan merespon dengan banyak mengeluarkan hormon stress.

2.5.10 Riwayat Diabetes Pada Kehamilan

Pada ibu hamil harus diperiksa gula darahnya, biasanya diabetes hilang setelah melahirkan. Namun juga terdapat ibu yang terkena diabetes tipe 2 dikemudian hari. Hal ini terjadi apabila ibu hamil melahirkan bayi berukuran besar dengan berat badan lebih 4 kg, riwayat lahir mati atau melahirkan bayi dengan kelainan bawaan, dan kelebihan glukosa dalam urin selama kehamilan.

2.5.11 Pemakaian Obat-obatan

Terdapat beberapa obaat yang dapat menyebabkan diabetes dengan menaikkan kadar gula darah. Obat-obatan seperti hormon steroid, beberapa obat antihipertensi, dan oat menurunkan kolesterol. Apabila berisiko terkena diabetes, berhati-hati dalam menggunakan obat tersebut.

(10)

2.6 Manifestasi Klinis Diabetes Melitus

Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut diabetes melitus yaitu : poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), dan mudah lelah. Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg (Fatimah, 2015).

Tidak semua orang dapat merasakan adanya perbedaan pada bagian tubuhnya. Banyak orang merasa cemas saat mengetahui mengidap penyakit diabetes melitus. Hal ini disebabkan karena gejala yang bervariasi tergantung organ mana yang terkena dan gejala berjalan secara lambat sampai tidak terasa. Tidak sedikit orang yang mengetahui dirinya mengidap diabetes melitus, dan saat periksa ke dokter telah mengalami komplikasi.Terdapat dua gejala utama yang harus diketahui, yaitu sering kencing dan banyak, juga merasa sangat haus. Menurut Tandra (2017) gejala diabetes yaitu :

2.6.1 Banyak Mengeluarkan Urin dan Rasa Haus

Banyak mengeluarkan urin dan rasa haus merupakan gejala umum bagi pasien diabetes melitus. Kadar gula darah yang tinggi akan membuat ginjal tidak dapat menyerap kembali kelebihan gula di dalam darah. Gula akan menarik air keluar melalui urin, sehingga ginjal sering kali banyak mengeluarkan urin. Akibat banyak mengeluarkan urin yang mengandung gula, sehingga terjadi dehidrasi yang membuat rasa haus berlebihan. Untuk mengatasi dehidirasi tersebut, diharapkan untuk minum yang banyak tetapi tidak minuman yang manis.

2.6.2 Berat Badan Turun

Penurunan berat badan terjadi karena adanya metabolisme yang terganggu.

Terganggunya metabolisme membuat gagalnya proses pembentukan energi. Otot tidak mempunyai cukup gula untuk tumbuh dan mendapatkan energi, sehingga jaringan otot dan lemak harus di pecah untuk memenuhi energi yang dibutuhkan.

(11)

2.6.3 Timbul Rasa Lapar dan Lemas

Kadar gula yang tinggi membuat penyimpanan gula di dalam tubuh sedikit, karena pada pasien diabetes melitus gula menumpuk dalam peredaran darah. Hal ini terjadi karena insulin tidak mampu menyalurkan gula ke dalam sel untuk menjadi energi, sehingga tubuh menjadi merasa mudah letih, flu, capek, dan lemas.

Akibat gula tidak masuk ke dalam sel, maka akan timbul rasa lapar karena tidak ada energi.

2.6.4 Mata Kabur

Mata akan mengalami kesulitan untuk fokus, sehingga pandangan kabur.

Hal ini disebabkan gula darah yang tinggi menarik cairan yang berada di dalam lensa mata sehingga lensa menjadi tipis. Diharapkan pasien diabetes melitus dapat mengontrol gula darah agar tetap normal, sehingga pengelihatan normal kembali.

2.6.5 Luka Sukar Sembuh

Luka yang sukar sembuh disebabkan oleh infeksi yang hebat akibat kuman, jamur yang tumbuh saat gula darah tinggi, terjadi kerusakan dinding pada pembuluh darah sehingga aliran darah tidak lancar, dan adanya kerusakan saraf atau luka yang tidak terasa hingga membusuk.

2.6.6 Rasa Kesemutan

Kerusakan saraf akibat kadar gula yang tinggi dapat merusak dinding pembuluh darah yang akan mengganggu nutrisi pada saraf, sehingga membuat rasa kesemutan, nyeri, rasa terbakar pada anggota tubuh seperti tangan dan kaki.

2.6.7 Mudah Terkena Infeksi

Ketika gula darah tinggi rongga mulut tidak mampu melawan infeksi, sehingga gusi menjadi bengkak dan merah, gigi terlihat tidak rata dan mudah goyang. Leukosit tidak berfungsi dengan baik dalam melawan infeksi, sehingga kulit mudah terkena infeksi terasa kering dan gatal. Infeksi jamur juga menyerang kemaluan, seperti pada vagina yang mengeluarkan cairan kental putih kekuningan disertai rasa gatal.

2.7 Patogenesis Diabetes Melitus

Menurut Schwatrz (2016) patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal yaitu :

(12)

Gambar 2. 2 Patogenesis DM (Schwatrz, 2016) 1. Kegagalan sel beta pankreas

Fungsi sel beta pada DM tipe 2 sangat berkurang. Obat anti diabetik yang diberikan dan dikonsumsi adalah sulfonilurea, meglitinid, agonis glucagon-like peptide (GLP-1) dan penghambat dipeptidil peptidase-4 (DPP- 4).

2. Disfungsi sel alfa pankreas

Sel alfa berfungsi untuk mempadukan glukagon, dalam kondisi puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan pembentukan glukosa hati dalam kondisi basal meningkat secara bermakna dibandingkan individu yang normal. Obat untuk membantu menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon yaitu agonis GLP-1, penghambat DPP-4 dan amilin.

3. Sel lemak

Sel lemak yang kebal terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan terjadinya peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas dalam plasma.

Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan kekebalan insulin di hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi insulin.

Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut dengan lipotoksisitas. Obat yang diberikan dan dikonsumsi adalah tiazolidinedion.

(13)

4. Otot

Pada DM tipe 2 terjadi gangguan kinerja insulin yang multipel di intramioselular dikarenakan adanya gangguan fosforilasi tirosin, sehingga terjadilah gangguan transport glukosa pada sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang diberikan dan dikonsumsi adalah metformin dan tiazolidinedion.

5. Hepar

Pada DM tipe 2 terjadi kekebalan insulin yang berat dan merangsang pembentukan proses glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam kondisi basal oleh hepar mengalami peningkatan. Obat yang menekan proses glukoneogenesis adalah metformin.

6. Otak

Insulin merupakan pemicu nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obesitas baik yang DM maupun tidak, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari kekebalan insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya kekebalan insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang diberikan yaitu agonis GLP-1, amilin dan bromokriptin.

7. Kolon/Mikrobiota

Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian dari individu yang mempunyai berat badan berlebih yang akan berkembang DM. Probiotik dan prebiotik diperkirakan sebagai mediator untuk menangani keadaan hiperglikemia.

8. Usus halus

Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar dibandingkan dengan apabila diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek inkretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP). Pada penyandang DM tipe 2 didapati bahwa ada defisiensi GLP- 1 dan kebal terhadap hormon GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga otomatis hanya bekerja dalam beberapa menit.

(14)

Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa glukosidase yang akan memecah polisakarida menjadi monosakarida, kemudian diserap oleh usus sehingga berakibat pada peningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa glukosidase adalah acarbosa.

9. Ginjal

Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran enzim sodium glucose co-transporter (SGLT-2) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10%

sisanya akan diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada kasus DM disini terjadilah peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat reabsorbsi kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di kondisi ini adalah penghambat SGLT-2 seperti dapaglifozin, empaglifozin dan canaglifozin.

10. Lambung

Pada lambung pasien diabetes terjadi penurunan produksi amilin yang diakibatkan oleh dampak kerusakan sel beta pankreas. Kadar amilin yang menurun menyebabkan percepatan pengosongan lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa postprandial.

11. Sistem Imun

Sitokin menginduksi respons fase akut (inflamasi derajat rendah, bagian dari aktivasi sistem imun bawaan/innate) yang berhubungan kuat dengan patogenesis DM tipe 2 dan berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah berperan dalam induksi stres pada endoplasma akibat peningkatan kebutuhan metabolisme untuk insulin. DM tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin perifer dan penurunan produksi insulin, serta disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah pada jaringan perifer seperti adiposa, hepar dan otot.

(15)

2.8 Patofisiologi Diabetes Melitus

2.8.1 Diabetes tipe 1

DM Tipe 1 diyakini dimulai dengan paparan pemicu lingkungan secara genetik individu rentan. Ada hubungan antara genetik yang saat ini diketahui untuk autoimunitas dan pengembangan DM tipe 1. Faktor risiko genetik dan lingkungan berdampak pada peradangan, autoimunitas, dan stres metabolik. Keadaan ini mempengaruhi jumlah dan fungsi sel β sehingga kadar insulin pada akhirnya tidak dapat merespons secara baik terhadap permintaan insulin. Kerusakan dan disfungsi sel β yang menyebabkan hiperglikemia dan masuk dalam kategori diabetes. Dalam beberapa kasus, faktor risiko genetik dan lingkungan serta interaksi gen dan lingkungan dapat secara langsung memengaruhi massa dan fungsi sel β. Kadar glukosa darah yang tinggi kronis berhubungan dengan komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskular yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada penderita diabetes (Skyler, et al, 2017).

Gambar 2. 3 Patofisiologi DM Tipe 1 (Skyler et al, 2017) Individu yang rentan secara genetik harus terkena pemicu yang memulai proses autoimun dan penghancuran pankreas sel β. Proses autoimun dimediasi oleh makrofag dan limfosit T dengan beredarnya autoantibodi ke berbagai antigen sel β tunggal. Antibodi yang terdeteksi terkait dengan DM tipe 1 adalah autoantibodi sel islet (ICAs). Antibodi lain dapat dibentuk untuk insulin, asam glutamat decarboxylase 65 (GAD65), antigen-2 terkait insulinoma (IA-2), dan pengangkut

(16)

seng 8 (ZnT8). Antibodi ini umumnya dianggap sebagai penanda penyakit mediator sel β. Penanda ini digunakan untuk mengidentifikasi risiko DM tipe 1 dan merupakan tes penyaringan untuk memulai strategi pencegahan penyakit.

Gangguan autoimun lainnya seperti hashimoto tiroiditis, penyakit graves, penyakit addison, vitiligo, dan celiac sprue lebih umum pada pasien dengan tipe 1 DM (Dipiro et al, 2020).

2.8.2 Diabetes Tipe 2

Gambar 2. 4 Patofisiologi DM tipe 2 (Baynest, 2015)

Pada diabetes tipe 2 terdapat dua penyebab yaitu gangguan sekresi insulin melalui disfungsi sel β pankreas dan gangguan kerja insulin melalui resistensi insulin. Resistensi terhadap insulin mendominasi, sehingga massa sel β mengalami transformasi yang mampu meningkatkan jumlah insulin dan mengkompensasi permintaan yang berlebihan dan anomali. Secara absolut, konsentrasi insulin plasma (baik puasa dan stimulasi makan) biasanya meningkat, meskipun “relatif”

terhadap beratnya resistensi insulin, konsentrasi insulin plasma tidak cukup untuk mempertahankan homeostasis glukosa normal. Resistensi insulin dan hiperinsulinemia menyebabkan gangguan toleransi glukosa terhadap kerja insulin akan mengakibatkan gangguan pengambilan glukosa yang dimediasi insulin di perifer (oleh otot dan lemak), pertahanan yang tidak lengkap dari output glukosa hati, dan gangguan serapan trigliserida oleh lemak. Untuk mengatasi resistensi

(17)

insulin, sel pulau kecil akan meningkatkan jumlah insulin yang disekresikan.

Produksi glukosa endogen dipercepat pada pasien diabetes tipe 2 atau glukosa puasa yang terganggu. Karena peningkatan ini terjadi dengan adanya hiperinsulinemia, setidaknya pada tahap penyakit awal dan menengah, resistensi insulin hati adalah pendorong hiperglikemia diabetes tipe 2 (Baynest, 2015).

Diabetes melitus tipe 2 terjadi akibat hasil dari disfungsi sel β ditambah dengan beberapa tingkat insulin resistensi. Pankreas pada orang dengan fungsi normal sel β mampu menyesuaikan sekresi insulin untuk mempertahankan kadar glukosa plasma normal. Innondiabetik, individu obesitas, insulin meningkat secara proporsional dengan tingkat keparahan resistensi insulin dan glukosa plasma tetap normal. Sel β tidak dapat mempertahankan cukup sekresi insulin dan secara paradoks, melepaskan lebih sedikit insulin sebagai kadar glukosa meningkatkan.

Pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penurunan sekresi insulin postprandial adalah hasil dari kedua gangguan pankreas sel β dan berkurangnya stimulus dari hormon usus (Dipiro et al, 2020).

2.9 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis diabetes melitus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Hasil pengobatan dapat dilihat menggunakan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan karena adanya glukosuria. Kriteria diagnosis gula darah diabetes menurut ADA (2018) :

1. Glukosa darah puasa dengan kadar >126 mg/dl (7,0 mmol/l) puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori masuk kedalam tubuh dengan maksimal selama durasi 8 jam.

2. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia gula darah acak > 200 mg/dl (11,1 mmol/l).

3. Glukosa darah 2 jam > 200mg/dl (11.1 mmol/l) selama TTOG (tes toleransi oral glukosa), asupan glukosa yang direkomendasikan WHO pada tes ini 75 gram yang dilarutkan di air.

4. Pemeriksaan HbA1c (≥6,5%) dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi (ADA, 2018).

(18)

Tabel II. 1 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan Pre- Diabetes (Perkeni, 2019)

HbA1c (%) Glukosa Darah Puasa (mg/dL)

Glukosa Plasma 2 Jam Setelah TTGO (mg/dL)

Diabetes ≥6,5 ≥126 ≥200

Pre-diabetes 5,7-6,4 100-125 140-199

Normal <5,7 70-99 70-139

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal diabetes melitus, maka digolongkan ke dalam pre-diabetes kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140–199 mg/dL dengan glukosa plasma puasa < 100 mg/dl. Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100–

125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL. Diagnosis pre- diabetes berdasarkan HbA1c 5,7-6,4% (ADA, 2018).

2.10 Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetes melitus apabila tidak tertangani secara benar, maka dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi. Ada dua komplikasi pada DM yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi akut terjadi saat kadar glukosa darah meningkat atau menurun secara tajam dalam waktu yang singkat. Sedangkan komplikasi kronik ditandai dengan semakin tinggi kadar glukosa darah akan menyebabkan gangguan organ di kemudian hari, terdiri dari komplikasi makrovaskuler dan komplikasi mikrovaskuler (Subiyato, 2019).

2.10.1 Komplikasi Akut Diabetes Melitus

1. Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal (<

60 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu, kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan (Fatimah, 2015). Gejala yang timbul yaitu rasa lapar, gemetar, mengeluarkan keringat, berdebar-debar, pusing, gelisah, tidak sadar dan disertai kejang (Subiyato, 2019).

(19)

2. Hiperglikemia, adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba, menyebabkan keadaan metabolisme yang berbahaya. Gejala yang timbul rasa sangat haus, pandangan kabur, muntah, berat badan menurun, sakit kepala, kulit kering dan gatal, kesadaran menurun, rasa mengantuk, kekurangan cairan akibat sering kencing (Subiyato, 2019).

3. Ketoasidosis diabetik (KAD) atau koma diabetik merupakan keadaan tubuh yang sangat kekurangan insulin dan bersifat mendadak akibat infeksi, lupa suntik insulin, pola makan yang terlalu berlebihan atau bebas dan stres.

Penderita dapat mengalami koma (tidak sadar) akibat otak tidak menerima darah dalam jumlah yang cukup (Subiyato, 2019).

4. Koma hiperosmolar non ketotik (HONK) yang diakibatkan adanya dehidrasi berat, tekanan darah yang menurun dan syok tanpa adanya badan keton (hasil pemecahan asam lemak) dalam urin (Subiyato, 2019).

5. Koma lakto asidosis yang diartikan sebagai keadaan tubuh dengan asam laktat yang tidak dapat diubah menjadi bikarbonat. Akibatnya, kadar asam laktat dalam darah meningkat dan seseorang bisa mengalami koma (Subiyato, 2019).

2.10.2 Komplikasi Kronis Diabetes Melitus

1. Komplikasi makrovaskuler merupakan kerusakan pembuluh darah yang mengirimkan darah ke jantung, otak, dan kaki. Pada umumnya yang berkembang pada penderita diabetes yaitu trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, penurunan aliran darah ke kaki (PAD), dan stroke (Fatimah, 2015).

2. Komplikasi mikrovaskuler, terutama terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 1 seperti nefropati (gangguan pada ginjal), diabetik retinopati (pengelihatan kabur sampai kebutaan), neuropati (mati rasa) pada kaki, dan amputasi (Fatimah, 2015).

2.11 Penatalaksanaan Terapi Diabetes Melitus

Penatalaksanaan terapi diabetes melitus bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan mengatur kadar gula darah tetap stabil, mengurangi gejala yang timbul, mempertahankan rasa nyaman, dan mencegah munculnya komplikasi. Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus adalah menurunkan

(20)

morbiditas dan mortalitas diabetes melitus (Decroli, 2019). Tindakan yang dilakukan seperti mengajarkan mengenai diet diabetes mellitus yang tepat, menganjurkan kegiatan fisik harian dan rutin, mengontrol berat badan agar tidak obesitas, berhenti merokok, menganjurkan pasien dan keluarga untuk memantau kadar glukosa darah secara rutin (Nair & Peate, 2015).

Disamping terapi farmakologis, perlu pelatihan khusus terkait pengetahuan pasien dalam pemantauan perawatan mandiri terhadap perubahan pola hidup. Kunci utama dalam penatalaksanaan terapi diabetes melitus adalah menerapkan hidup sehat dan bersamaan dengan obat antidiabetes secara oral maupun suntikan. Obat antidiabetes dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Perkeni, 2019)

2.11.1 Terapi Non FarmakologiDiabetes Melitus 1. Edukasi

Pengetahuan merupakan domain yang penting dalam pembentukan tindakan seseorang. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra pendengaran yaitu telinga dan indra penglihatan yaitu mata. Edukasi akan diingat oleh responden karena melibatkan beberapa panca indera (Lestari, 2015). Edukasi ini berperan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai diabetes melitus serta meningkatkan keterampilan individu dan keluarga dalam pengelolaan diabetes melitus secara mandiri (Nuari, 2017). Edukasi pada pasien diabetes sangat penting sebagai upaya promosi hidup sehat untuk mencapai keberhasilan perubahan pola hidup sehat. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah dan tanda gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya penyakit diabetes harus diberikan kepada pasien. Dalam upaya meningkatkan motivasi pasien diabetes sangat dibutuhkan peran keluarga dan masyarakat. Materi edukasi terdiri dari dua tingkat, yaitu materi edukasi tingkat awal diberikan oleh pelayanan kesehatan primer, sedangkan materi edukasi tingkat lanjutan dierikan oleh pelayanan esehatan sekunder atau tersier (Perkeni, 2019).

Prinsip proses edukasi yang perlu diperhatikan, yaitu : Memberikan dukungan dan nasehat yang positif hindari terjadinya kecemasan; Memberikan informasi secara bertahap dari hal yang sederhana dan dengan cara yang mudah dimengerti; Melakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan simulasi; Dalam program pengobatan dan hasil laboratorium lakukan diskusi secara

(21)

terbuka dengan perhatikan keinginan pasien; Melakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima; Memberikan motivasi dengan memberikan penghargaan; Melibatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi; Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan keluarganya;

Gunakan alat bantu audio visual (Perkeni, 2019).

2. Terapi Nutrisi Medis

Terapi nutrisi medis dilaksanakan dalam beberapa tahap. Pengenalan sumber dan jenis karbohidrat, pencegahan dan penatalaksanaan hipoglikemia harus dilakukan terhadap pasien. Secara umum, terapi nutrisi medis meliputi upaya-upaya untuk mendorong pola hidup sehat, membantu kontrol gula darah, dan membantu pengaturan berat badan (Decroli, 2019). Pada pasian diabetes mellitus tipe 1, fokus untuk mengatur pemberian insulin dengan diet seimbang agar dapat mencapai atau mempertahankan berat badan yang sehat. Sedangkan pada pasien diabetes mellitus tipe 2 sering membutuhkan keseimbangan kalori untuk meningkatkan berat badan (Dipiro et al, 2016).

Tidak dapat mengendalikan pola makan merupakan problem pasien diabetes, bukan sebagai penyebab saja tetapi juga sebagai dampak penyakit diabetes (Hendro, 2018). Menurut perkeni 2019 komposisi makanan yang dianjurkan untuk pasien diabetes melitus yaitu : karbohidrat sebesar 45-65% total asupan energi, lemak sebesar 20-25% kebutuhan kalori tidak boleh melebihi 30% total asupan energi, protein sebesar 10-20% kebutuhan energi, natrium sebesar < 1500 mg/hari, serat 14 gram/1000 kalori atau 20-35 gram/hari, dan pemanis alternatif yang tidak melebihi batas aman (Perkeni, 2019).

3. Latihan Jasmani

Latihan jasmani dapat dilakukan secara teratur 3-4 kali seminggu selama 30-45 menit, pasien sebisa nya dapat mencapai taget latihan dengan prosentase 70%

dari total BMI, namun tidak lupa disesuaikan dengan umur dan kesegaran jasmani (Yanti, 2016). Selain untuk menjaga kebugaran latihan jasmani juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, joging, dan berenang sangat dianjurkan (Perkeni.2019).

(22)

Prinsipnya tidak perlu latihan jasmani yang bersifat berat, cukup lakukan yang ringan saja secara teratur (Dipiro et al, 2016).

2.11.2 Terapi Farmakologi Diabetes Melitus

Terapi farmakologi diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral (po) dan bentuk suntikan (Perkeni, 2019).

Gambar 2. 5 Algoritma Tatalaksana DM (Perkeni, 2015) A. Terapi OAD

Tabel II. 2 Profil Obat Antidiabetes Oral (Perkeni, 2019)

Golongan Obat Contoh Obat Cara Kerja

Biguanid Metformin Menurunkan produksi

glukosa hati dan

meningkatkan sensitifitas insulin

Thiazolidinedione Pioglitazone dan Rosiglitazone

Meningkatkan sensitifitas insulin

(23)

Sulfonilurea Generasi pertama :

Klorpropamid, Tolazamid, dan Tolbutamid

Generasi kedua :

Glibenklamide, Glipizide, dan Glimepiride

Meningkatkan sekresi insulin

Meglitinide Repaglinid dan Nateglinid Meningkatkan sekresi insulin

Penghambat Alfa Glukosidase

Acarbose dan Miglitol Menghambat absorpsi glukosa

Penghambat DPP-4

Sitagliptin, Saxagliptin, Alogliptin, dan Linagliptin

Meningkatkan sekresi insulin dan menghambat sekresi glukagon

Penghambat SGLT-2

Canagliflozin, Dapagliflozin, Empagliflozin, dan Ertugliflozin

Menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus distal

1. Pemacu Sekresi Insulin a. Golongan Sulfonilurea

Sulfonilurea biasanya diberi dosis sekali atau dua kali sehari. Bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin dengan mengikat reseptor sulfonilurea spesifik pada sel β pankreas. Sulfonilurea dibagi menjadi dua generasi yaitu pertama dan kedua. Generasi pertama dengan resiko rendah yaitu klorpropamid, tolazamid, dan tolbutamid sedangkan generasi kedua dengan resiko tinggi yaitu glibenklamide, glipizide, dan glimepiride (Dipiro et al, 2020). Efek sampingnya yang sering tejadi yaitu hipoglikemia serta peningkatan berat badan. Hati-hati dalam pemakaian sulfonilurea terhadap pasien yang mempunyai risiko tinggi hipoglikemia seperti orang tua, gangguan fungsi hati dan ginjal (Perkeni, 2019).

b. Golongan Meglitinide

Meglitinides mirip dengan sulfonilurea, kecuali yang memiliki onset lebih cepat dan durasi tindakan yang lebih singkat. Terdapat dua obat yaitu repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanil). Dengan mengikat situs

(24)

yang berdekatan dengan. sulfonilurea reseptor, nateglinide dan repaglinide merangsang sekresi insulin dari sel β pankreas. Nateglinide atau repaglinide harus diberikan secara oral dengan makanan, dimulai pada dosis rendah, dan bertahap dari waktu ke waktu sampai kontrol glikemik tercapai (Dipiro et al, 2020). Obat ini diserap dengan cepat setelah diberikan dengan cara oral dan diekskresi dengan cepat melalui hati. Obat ini mampu mengatasi hiperglikemia post prandial (Perkeni, 2019).

2. Peningkatan Sensitivitas terhadap Insulin a. Golongan Biguanid

Biguanida yang tersedia di Amerika Serikat yaitu Metformin, untuk dosis formulasi pelepasan segera diberi dosis dua kali sehari atau anformulasi extended- release (XR) diberi dosis sekali atau dua kali sehari. Metformin telah menurunkan produksi glukosa hati dan dapat meningkatkan sensitivitas insulin di jaringan perifer (otot), sehingga meningkatkan pengambilan glukosa ke dalam sel otot.

Metformin tidak memiliki efek langsung pada sel β, tetapi konsentrasi insulin berkurang karena peningkatan insulin sensitivitas (Dipiro et al, 2020). Efek samping yang dirasakan yaitu gangguan saluran pencernaan seperti dispepsia, diare, dan lain-lain (Perkeni, 2019).

b. Golongan Thiazolidinedione

Oral antidiabetes golongan thiazolidinedione (TZD) yang disetujui FDA untuk pengobatan DM tipe 2 yaitu pioglitazone dan rosiglitazone. Pioglitazone dapat diberikan, dosis awal yang biasa (1x15–30 mg/d) po dan dosis maksimum (1x45 mg/d) po. Sedangkan Rosiglitazone cepat diserap dan sangat terikat protein diberikan dosis sekali atau dua kali sehari sebanyak 2–8 mg (Katzung, 2018).

Tiazolidinedione merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR- gamma), suatu reseptor inti beberapa organ diantaranya sel otot, lemak, dan hati. Aktivasi PPAR-γ mengubah transkripsi beberapa gen yang terlibat dalam metabolisme glukosa dan lipid dan keseimbangan energi (Dipiro et al, 2020).

Golongan ini dapat menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidinedione meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga

(25)

dikontraindikasikan terhadap pasien dengan gagal jantung (NYHA fungsional class III-IV) dikarenakan mampu memperberat edema / retensi cairan. Hati-hati terhadap gangguan faal hati, dan jika diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala.

efek termasuk edema perifer, gagal jantung, hemodilusi hemoglobin dan hematokrit, dan penambahan berat badan (Perkeni, 2019).

3. Penghambat Alfa Glukosidase

Terdapat dua α-glukosidase yang disetujui oleh FDA yaitu acarbose dan miglitol, antidiabetes oral ini diberikan sebelum makan. Pengobatan Acarbose dimulai dengan dosis (2x50 mg) po dengan peningkatan bertahap menjadi (3x100 mg) po. Sedangkan terapi miglitol dimulai dengan dosis (3x25 mg) po.

Pemeliharaan yang biasa dosis adalah (3x50 mg) po, tetapi beberapa pasien perlu (3x100 mg) po (Katzung, 2018). Obat ini tidak dimetabolisme dan dibersihkan oleh ginjal. Antidiabetes oral tidak boleh digunakan dalam gagal ginjal. α-inhibitor glukosidase secara kompetitif menghambat maltase, isomaltase, sucrase, dan glukosamylase di usus kecil, menunda pemecahan sukrosa dan karbohidrat kompleks (Dipiro et al, 2020).

Obat ini bekerja dengan menghambat kinerja enzim alfa glukosidase pada saluran pencernaan sehingga dapat menghambat absorpsi glukosa di dalam usus halus. Penghambat alfa glukosidase tidak dipakai pada keadaan LFG ≤ 30 ml/min/1,73 m2, kepada penderita gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang timbul adalah bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering memunculkan flatus (Perkeni, 2019).

4. Golongan Penghambat Enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4 inhibitor) Empat inhibitor DPP-4 disetujui oleh FDA yaitu sitagliptin, saxagliptin, linagliptin, dan alogliptin diberikan dengan dosis satu kali sehari. Antidiabetes oral ini menghambat enzim DPP-4 yang bertanggung jawab untuk degradasi cepat GLP- 1 dan GIP, dengan demikian memperpanjang waktu paruh GLP-1 yang diproduksi secara endogen (Dipiro et al, 2020). Enzim DPP-4 terekspresikan di berbagai organ tubuh, termasuk di usus dan membran brush border ginjal, di hepatosit, endotelium vaskuler dari kapiler vili, dan dalam bentuk larut dalam plasma. Penghambat DPP- 4 akan menghambat letak pengikatan pada DPP-4 sehingga mencegah inaktivasi dari glucagon-like peptide (GLP)-1. Proses inhibisi ini akan mempertahankan kadar

(26)

GLP-1 dan glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP) pada bentuk aktif di sirkulasi darah, sehingga mampu memperbaiki toleransi glukosa, meningkatkan respons insulin, dan mereduksi sekresi glukagon (Perkeni, 2019).

5. Golongan Penghambat Enzim Sodium Glucose co-Transporter 2 (SGLT-2 inhibitor)

Empat inhibitor SGLT-2 telah disetujui oleh FDA yaitu canagliflozin, dapagliflozin, empagliflozin, dan ertugliflozin. Dosis diberikan satu kali sehari.

Inhibitor SGLT-2 mengurangi glukosa plasma dengan mencegah ginjal dari reabsorbsi glukosa di tubulus proksimal kembali ke aliran darah, yang menyebabkan peningkatan ekskresi glukosa dalam urin (Dipiro et al, 2020). Obat golongan ini dapat menurunkan berat badan dan tekanan darah. Efek samping yang dirasakan yaitu infeksi saluran kencing dan genital. Pada penyandang DM yang mempunyai gangguan fungsi ginjal perlu dilakukan penyesuaian dosis, dan tidak diperkenankan bila LFG kurang dari 45 ml/menit. Hati-hati karena dapat mencetuskan ketoasidosis (Perkeni, 2019).

B. Antidiabetes Suntik/Insulin 1. Insulin

Insulin yang diproduksi secara endogen dibelah dari peptida proinsulin yang lebih besar di sel β ke peptida aktif insulin dan C-peptida yang tidak aktif. Sebagian besar insulin diberikan secara subkutan untuk pengelolaan diabetes kronis, kecuali insulin manusia yang terhirup yang merupakan bubuk kering DNA rekombatan insulin reguler yang terhirup dan diserap melalui jaringan paru-paru. Keuntungan utama insulin daripada agen antihyperglycemic lainnya adalah dapat mencapai berbagai target glukosa dan dosisnya dapat individual berdasarkan tingkat glikemik (Dipiro et al, 2020).

Tujuan pemberian insulin yaitu untuk mengontrol kadar basal dan post prandial, karena pada pasien DM tipe 2 terjadi gangguan sekresi insulin basal (puasa) dan prandial (setelah makan). Formulasi insulin dengan tingkat awal kerja (onset) dan lama kerjanya (duration) yang berbeda sering dikombinasi untuk tercapainya tujuan ini. Berikut adalah klasifikasi insulin menurut Perkeni 2019 : 1. Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

2. Insulin kerja pendek (short acting insulin)

(27)

3. Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) 4. Insulin kerja panjang (long acting insulin)

5. Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin) 2. Golongan GLP1-RA

Terdapat tujuh golongan GLP1-RA tersedia di Amerika Serikat. Enam di antaranya adalah diberikan secara subkutan dengan dosis mulai dari dua kali sehari hingga sekali seminggu dan satu diberikan secara oral sekali sehari. Golongan ini merangsang sekresi insulin dari sel beta pankreas dengan cara yang bergantung pada glukosa. Selain itu, selama hiperglikemia, GLP1-RA mengurangi peningkatan kadar glukagon secara tidak tepat, yang menyebabkan penurunan output glukosa hati. Tindakan ini menghasilkan penurunan glukosa dan bobot. GLP1-RA juga berpotensi mempertahankan fungsi sel beta pankreas dan melindungi dari apoptosis yang diinduksi oleh sitokin. Semua GLP1-RA menghasilkan tingkat farmakologis aktivitas GLP-1 dan tahan terhadap degradasi yang cepat oleh enzim dipeptidyl peptidase 4 (DPP-4). GLP1-RAs meningkatkan sekresi insulin dengan cara bergantung pada glukosa di respon terhadap asupan makanan; dengan demikian, risiko hipoglikemia rendah bila digabungkan dengan metformin, inhibitor DPP-4, inhibitor SGLT-2, atau TZD (Dipiro et al, 2020).

2.12 Tinjauan Obat Pioglitazone

2.12.1 Pengertian Pioglitazone

Pioglitazone merupakan antidiabetik golongan thiazolidinedione digunakan untuk mengobati diabetes mellitus tipe 2. Pioglitazone dapat digunakan sendiri atau kombinasi dengan obat lain seperti insulin, metformin, atau sulfonilurea.

Penggunaan pioglitazone didampingi dengan diet dan olahraga yang tepat untuk membantu mengontrol kadar gula darah (Al-Majed, 2016).

Gambar 2. 6 Struktur Kimia Pioglitazone (Al-Majed, 2016)

2.12.2 Farmakologi Pioglitazone

(28)

Resistensi insulin dapat terjadi pada diabetes melitus tipe II kadar insulin tidak mengaktifkan sinyal untuk menyerap glukosa. Thiazolidinedione seperti pioglitazone adalah peroksisom sintetis yang kuat ligan proliferator-activated receptor (PPARγ) yang telah terbukti efektif dalam pengobatan diabetes. Efek penurunan glukosanya sedang dilakukan terutama melalui peningkatan sensitivitas insulin dan oleh karena itu, memfasilitasi pengambilan dan pemanfaatan glukosa.

Thiazolidinedione dapat memasuki nukleus dimana mereka terikat ke PPARγ.

PPARγ diekspresikan paling banyak dalam adiposa jaringan tetapi juga ditemukan dalam sel β pankreas, endotel vaskular, dan makrofag (Al-Majed, 2016).

Pioglitazone adalah agonis yang kuat dan sangat selektif untuk PPARγ.

Reseptor ini mengatur ekspresi lebih dari 100 gen, yang berkumpul bersama tetapi tidak identik. Selain itu, respons sekresi insulin telah terjadi dilaporkan meningkat pada subjek dengan gangguan toleransi dan tipe glukosa II diabetes, bahkan setelah peningkatan sensitivitas insulin. Kemungkinan lain mekanisme tiazolidinedion melibatkan penurunan adiposit sitokin dan hormon yang terlibat dalam patogenesis insulin perlawanan. Pioglitazone bekerja menurunkan resistensi insulin, mengaktifkan reseptor nukleus spesifik (peroxisome proliferator activated receptor gamma), yang akan meningkatkan sensitivitas insulin di hati, jaringan lemak dan sel-sel otot skeletal. Pada kasus resistensi insulin, pioglitazone menurunkan produksi glukosa hati dan meningkatkan penggunaan glukosa perifer (Al-Majed, 2016).

2.12.3 Dosis dan Cara Penggunaan Pioglitazone

Pioglitazone dapat diminum sekali sehari secara per-oral. Dosis awal yang biasa adalah (1x15mg/30 mg) po dan maksimum 45 mg/hari (po). Pioglitazone disetujui sebagai terapi tunggal dan dalam kombinasi dengan metformin, sulfonylureas, dan insulin untuk pengobatan diabetes tipe 2 (Katzung, 2018). Dosis awal pioglitazone yang direkomendasikan adalah (1x15 mg) po. Dosis dapat ditingkatkan setelah 3 sampai 4 bulan berdasarkan respon terhadap pengobatan dan efek samping. Dosis maksimum dan dosis efektif maksimum dari pioglitazone adalah (1x45 mg) po. Untuk meminimalkan penambahan berat badan dan edema, dosis efektif terendah harus digunakan. Jika efek samping terjadi dengan dosis yang lebih tinggi, dosis harus dikurangi. Dosis yang lebih rendah direkomendasikan bila

(29)

digunakan dalam kombinasi dengan insulin, dan edema serta penambahan berat badan harus dipantau dengan hati-hati (Dipiro et al, 2020).

2.12.4 Farmakokinetik Pioglitazone

Pioglitazone diserap baik dengan atau tanpa makanan, dan keduanya diikat oleh protein plasma sekitar lebih dari 99%. Pioglitazone akan melalui metabolisme di hati oleh CYP2C8 enzim dan CY3A4 dan tereliminasi bersama dengan keluarnya feses. Pioglitazone memiliki t ½ yakni 3 sampai 7 jam dengan durasi kerja antihiperglikemik kurang dari 24 jam (Dipiro et al, 2016).

Proses ADME pada pioglitazone yaitu absorpsi pioglitazone pemberian secara oral, konsentrasi puncak diperoleh setelah 2 jam pemberian. Jika obat diberikan bersama makanan, tercapainya konsentrasi puncak lebih lambat, hingga 3-4 jam setelah pemberian, tetapi hal tersebut tidak menimbulkan perubahan konsentrasi obat. Distribusi pioglitazone, rata–rata volume distribusi pioglitazone pada pemberian tunggal adalah 0,63 ± 0,41 L/kgBB. Pioglitazone dapat berikatan pada serum protein manusia terutama pada serum albumin (>99%). Metabolisme pioglitazone melalui mekanisme hidroksilasi dan oksidasi. Hasil metabolitnya sebagian diubah menjadi glukuronida atau konjugat sulfat. Metabolisme di hepar diperantarai enzim sitokrom P45p, termasuk CYP2C8 dan CYP3A4, serta enzim ekstrahepatik CYP1A1. Eliminasi pioglitazone, hasil metabolit pioglitazone diekskresikan melalui saluran empedu dan dibuang bersama feses, sekitar 15-30%

hasil metabolit ditemukan pada urine. Obat ini diekskresikan sebagai metabolit dan konjugasinya. Waktu paruh pioglitazone sekitar 3-7 jam (PUBCEM, 2020).

Konsentrasi serum total pioglitazone (pioglitazone plus aktifnya metabolit) tetap meningkat 24 jam setelah pemberian dosis sekali sehari. Stabil konsentrasi serum dari kedua pioglitazone dan total pioglitazone adalah dicapai dalam 7 hari.

Pada kondisi mapan, dua di antaranya aktif secara farmakologis metabolit pioglitazone, metabolit III (M-III) dan IV (M-IV), mencapai konsentrasi serum sama dengan atau lebih besar dari pioglitazone. Keduanya sehat relawan dan pasien dengan diabetes tipe II, terdiri dari pioglitazone sekitar 30-50% dari total konsentrasi puncak serum pioglitazone dan 20-25% dari total area di bawah kurva konsentrasi waktu serum (AUC). Konsentrasi serum maksimum (C maks), AUC, dan palung konsentrasi serum untuk pioglitazone dan total pioglitazone meningkat

(30)

secara proporsional dengan dosis (1x15 mg dan 30 mg) po. Ada yang sedikit kurang dari peningkatan proporsional untuk pioglitazone dan total pioglitazone dengan dosis (1x60 mg) po (Al-Majed, 2016).

2.12.5 Farmakodinamik Pioglitazone

Pioglitazone merupakan obat oral golongan thiazolinedione penambah sensitivitas terhadap insulin untuk terapi diabetes melitus tipe 2. Prinsip kerja pioglitazone yaitu meningkatkan sensitivitas insulin terhadap jaringan target, seperti menurunkan glukogenesis pada hati. Pioglitazone merupakan suatu agonis peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR-γ) yang terdapat pada jaringan penting insulin seperti adiposa, otot skelet, dan hati. Aktivasi reseptor inti PPAR-γ mengatur transkripsi sejumlah gen responsif insulin yang terlibat dalam kontrol metabolisme glukosa dan lemak (PUBCEM, 2020).

Gambar 2. 7 Mekanisme Aksi Thiazolidinedione (Singh, 2020)

TZD mengerahkan efek antidiabetesnya meningkatkan sensitivitas insulin.

TZD membantu mengurangi resistensi insulin di otot, hati, dan jaringan adiposa.

Karena PPAR-gamma sangat terkonsentrasi di jaringan adiposa, efek pada otot dan hati tampaknya melalui pensinyalan endokrin dari adiposit. Agonis selektif reseptor inti yaitu peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR-γ) yang banyak diekspresikan di sel adiposa. Obat ini berikatan dengan PPAR-γ kemudian mengaktivasi gen responsif insulin yang mengatur metabolisme lipid dan

(31)

karbohidrat. TZD membutuhkan insulin dalam kegiatan mereka, meningkatkan sensitivitas insulin, terutama di jaringan perifer. Dimediasi melalui efek pada sel adiposa, karena sedikit reseptor PPAR-γ dalam jaringan otot. Pada adiposit, diferensiasi ditingkatkan, lipolisis berkurang, dan tingkat sirkulasi adipositokin atau adipokin yang berubah, yaitu penurunan tumor necrosis factor alpha dan leptin dan peningkatan adiponektin (Singh, 2020).

2.12.6 Efektivitas Pioglitazone

Obat ini juga memiliki beberapa efek tambahan selain menurunkan glukosa.

Pioglitazone menurunkan trigliserida dan meningkatkan kolesterol high-density lipoprotein (HDL) tanpa mempengaruhi kolesterol total dan kolesterol low-density lipoprotein (LDL) (Katzung, 2018). TZD memiliki khasiat penurun glikemik yang tinggi dan mengurangi nilai HA1C sekitar 1,0% hingga 1,5% (0,010 hingga 0,015;

11 hingga 22 mmol / mol), tingkat FPG hingga 60 hingga 70 mg / dL (3,3 hingga 3,9 mmol / L) secara maksimal dosis, dan mereka memiliki daya tahan tinggi dari waktu ke waktu. Pioglitazone secara konsisten menurunkan kadar trigliserida plasma sebesar 10% hingga 20% (Dipiro et al, 2020).

Studi klinis menunjukkan bahwa pioglitazone meningkatkan sensitivitas insulin dalam resisten insulin. Pioglitazone meningkatkan respon seluler terhadap insulin, meningkatkan pembuangan glukosa yang bergantung pada insulin, dan memperbaiki disfungsional homeostasis glukosa. Pada penderita diabetes tipe 2, insulin mengalami penurunan resistensi yang dihasilkan oleh pioglitazone telah mengakibatkan penurunan glukosa plasma konsentrasi, kadar insulin plasma, dan nilai HbA1c. Berdasarkan hasil dari klinis ekstensi label terbuka, efek penurunan glukosa pioglitazone tampaknya bertahan setidaknya selama 1 tahun. Dalam uji klinis terkontrol, pioglitazone dalam kombinasi dengan sulfonilurea, metformin, atau insulin memiliki efek aditif pada kontrol glikemik (Al-Majed, 2016)

2.12.7 Interaksi Pioglitazone

Pioglitazone merupakan penginduksi lemah terhadap sitokrom P450 substrat 3A4 atau disingkat CYP3A4. Penghambat enzim P4502C8 atau disingkat CYP2C8 (seperti gemfibrozil) dapat secara signifikan meningkatkan AUC pioglitazone dan enzim penginduksi CYP2C8 (seperti rifampisin) dapat secara signifikan menurunkan AUC pioglitazone. Oleh karena itu, jika inhibitor atau

(32)

penginduksi CYP2C8 mulai diberikan atau dihentikan selama pengobatan dengan pioglitazone, akan terjadi perubahan dalam pengobatan diabetes dan dilihat berdasarkan respon klinis (Desouza, 2010).

2.12.8 Kontraindikasi Pioglitazone

TZD merupakan kontraindikasi pada pasien dengan penyakit hati dan gagal jantung kelas III dan IV dan harus sangat hati-hati digunakan pada pasien dengan gagal jantung kelas I dan II. TZD tidak boleh digunakan pada pasien dengan kanker kandung kemih aktif, sebelum penggunaan TZD harus benar-benar dipertimbangkan manfaat dan risikonya (Dipiro et al, 2020). Pasien dengan hipersensitivitas yang diketahui terhadap pioglitazone atau salah satu komponennya. Ketoasidosis diabetik atau diabetes tipe 1, karena pioglitazone aktif hanya dengan adanya insulin. Oleh karena itu hipoglikemia, perlu pemantauan gula darah secara teratur (Singh, 2020).

2.12.9 Efek Samping Pioglitazone

Retensi cairan, edema, anemia, penambahan berat badan, edema makula, patah tulang pada wanita (Katzung, 2018). TZD menyebabkan retensi cairan karena vasodilatasi perifer dan peningkatan sensitisasi insulin di ginjal yang mengakibatkan peningkatan natrium ginjal dan retensi air. Efek yang dihasilkan termasuk edema perifer, gagal jantung, hemodilusi hemoglobin dan hematokrit, dan penambahan berat badan. Penambahan berat badan juga terkait dengan dosis dan merupakan hasil dari retensi cairan dan penumpukan lemak. TZD juga dikaitkan dengan peningkatan angka patah tulang pada tungkai atas dan bawah wanita pasca menopause (Dipiro et al, 2020).

2.12.10 Sediaan Pioglitazone a. Pioglitazone (ISO, 2017)

Kandungan : Pioglitazone 15 mg, 30 mg.

Indikasi : Monoterapi atau kombinasi DM tipe 2.

Dosis : Dewasa monoterapi dosis tunggal (1x15 mg atau 30 mg) po, dosis dapat ditingkatkan (1x45 mg) po. Kombinasi dosis awal (1x15- 30mg) po.

b. Pionix/Pionix-M (ISO, 2017)

(33)

Kandungan : Pioglitazone 15 mg, 30 mg, Pioglitazone 15 mg √ metformin 500 mg atau 850 mg.

Indikasi : Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) Monoterapi atau kombinasi DM tipe 2.

Kontraindikasi : Riwayat gagal jantung I-IV, gangguan hati ketoasidosis, pasien terapi insulin.

Perhatian : Retensi cairan dan gagal jantung.

Efek samping : Peningkatan BB, gangguan pengelihatan, anemia, hipoestesia, hipoglikemia, peningkatan nafsu makan, sakit kepala, flatulence.

Dosis : Monoterapi (1x15 mg atau 30 mg) po, kombinasi dengan metformin atau sulfonilurea (1x15 mg atau 30 mg) po dan dosis metformin atau sulfonilurea boleh diteruskan dengan

atau tanpa makanan.

c. Actos (ISO, 2017)

Kandungan : Pioglitazone 15 mg, 30 mg.

Indikasi : DM tipe 2 monoterapi atau kombinasi sulfonilurea atau metformin saat makan, olahraga.

Kontraindikasi : Kerusakan jantung, kerusakan hati, pasien dialisa, dan kombinasi terapi dengan insulin.

Efek samping : Edema ringan hingga sedang.

Dosis : Monoterapi (1x15 mg atau 30 mg) po, dapat ditingkatkan hingga (1x45 mg) po. Kombinasi (1x15 mg atau 30 mg) po, sulfonilurea atau metformin dilanjutkan hingga terapi inisiasi, sebelum atau setelah makan.

d. Gliabetes (ISO, 2017)

Kandungan : Pioglitazone 30 mg.

Indikasi : Kombinasi sulfonilurea atau metformin pada DM tipe 2 (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus) ketika terapi tunggal tidak menunjukkan hasil.

Kontraindikasi : Hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, gagal jantung kelas III/IV, diabetes melitus tipe 1 dan ketoasidosis, kombinasi dengan insulin.

(34)

Efek samping : Anemia, sakit kepala, peningkatan BB, gangguan pengelihatan, dan impotensi.

Dosis : Monoterapi (1x30 mg) po. Kombinasi dengan metformin.

Referensi

Dokumen terkait

These codes were: Leadership in Energy and Environmental Design (LEED) – US Green Building Council USA; Green Mark – Singapore; Green Neighbourhoods Planning and

merek Polytron pada kelompok responden remaja dan yang tidak mempunyai radio/tape; (d) Pemberitahuan tentang fasilitas (pelayanan) yang ada pada radio/tape Polytron hanya

laju terhadap air, harus membunyikan dengan selang-selang waktu tidak lebih dari 2 menit, dua tiup panjang berturut-turut ( _ _ ), dipisahkan oleh selang waktu kira-kira

adalah persaan tidak tenang, k persaan tidak tenang, kecemasan, dan ketakuta ecemasan, dan ketakutan apabila sawah mereka tidak n apabila sawah mereka tidak memberikan hasil. Mereka

Untuk mengatasi hal demikian, John Locke mempostulatkan bahwa untuk menghindari konflik kepentingan yang demikian atau ketidakpastian hidup atas hak-hak tersebut di

Hasil dari penelitian tentang interpretasi bawah permukaan yang berdasarkan karakteristik kelistrikan bumi di daerah Rampa Manunggul Kotabaru adalah berupa grafik

Saya mampu menyelesaikan tugas sesuai dengan jumlah yang ditetapkan.. Hasil pekerjaan yang telah saya kerjakan sesuai dengan standar yang ditentukan

Dapat disimpulkan bahwa bisnis fashion muslimah “Butik Amalia” adalah bisnis yang menarik untuk dijalankan (Tabel 4. 3 Five. Forces Model). Dari tiga lingkungan yang