• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAPAN: Jurnal Manajemen, Akuntansi, Ekonomi dan Perbankan Vol. 1, No. 2, April 2021 KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MAPAN: Jurnal Manajemen, Akuntansi, Ekonomi dan Perbankan Vol. 1, No. 2, April 2021 KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

156

KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM

MARABONA MUNTHE 1) NILAM ERMAN 2) RIKA OKTAVIANTI 3)

1)Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Iqra Annisa Pekanbaru Jl. Riau Ujung No. 73, Pekanbaru 28292, Provinsi Riau, Indonesia

e-mail : marabona.munthe@stei-iqra-annisa.ac.id

2) 3)Instut Agama Islam Edi Haryono Madani Riau (IAI EHMRI)

Jl. Duri – Pekanbaru Km. 77 KANDIS, KAB. SIAK

2)e-mail : nilanerman43@yahoo.co.id

3)e-mail : rikaokta89@gmail.com

ABSTRACT

One of the important elements that must get attention in Islamic economics at a macro level is fiscal policy, when the main fiscal instrument of conventional economics is tax, it is different with Islamic economics, but tax is a complementary instrument in Islamic economics and that too with sufficient rules and regulations tight so that it is not easy for the authorities to collect taxes and it is not burdensome for the citizen. This paper examines the fiscal policies prevailing in the Islamic economic system at the time of the Prophet Muhammad, during the Islamic caliphate and in the modern Islamic economic system. This study uses qualitative methods, to obtain the required data, researcher uses library research. The main conclusion of this paper states that fiscal policy in an Islamic economy is different from conventional economic fiscal policy, among the important fiscal instruments in Islamic economics are Zakat, Infaq, Shadaqah, waqf and taxes as additional instruments for large productive assets and not burdensome for the citizen.

Keywords: Policy, Fiscal, Islamic Economy

ABSTRAK

Salah satu unsur penting yang harus mendapatkan perhatian dalam ekonomi Islam secara makro adalah kebijkan fiskal, ketika instrumen fiskal utama ekonomi konvensional adalah pajak, maka berbeda dengan ekonomi Islam , justeru pajak adalah merupakan instrumen pelengkap dalam ekonomi Islam dan itu pun dengan ketentuan dan aturan yang cukup ketat sehingga tidak mudah bagi penguasa untuk memungut pajak dan tidak memberatkan bagi rakyat. Paper ini mengkaji kebijakan fiskal yang berlaku di dalam sistem ekonomi Islam di zaman Nabi Muhammad s.a.w, masa kekhilafahan Islam dan dalam sistem ekonomi Islam modern.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif (qualitative methode), untuk memperoleh data yang dibutuhkan, peneliti menggunakan studi kepustakaan (library research). Kesimpulan utama paper ini menyatakan bahwa kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam berbeda dengan kebijakan fiskal ekonomi konvensional, diantara instrumen fiskal penting dalam ekonomi Islam adalah Zakat, Infak, Shadaqah, wakaf dan pajak sebagai instrumen tambahan bagi harta- harta produktif yang besar dan tidak memberatkan bagi rakayat.

(2)

157 Kata Kunci: Kebijakan, Fiskal,Ekonomi Islam.

A. PENDAHULUAN

Kebijakan fiskal Dalam ekonomi konvesional dapat diartikan sebagai langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam system pajak atau dalam pembelanjaan (dalam konsep makro disebut dengan government expenditure). Tujuan kebijakan fiskal dalam perekonomian sekuler adalah tercapainya kesejahteraan, yang didefenikan sebagai adanya benefit maksimal bagi individu dalam kehidupan tanpa memandang kebutuhan spiritual manusia.

Fiskal terutama ditujukan untuk mencapai alokasi sumber daya secara efesian, stabilitas ekonomi, pertumbuha, dan distribusi pendapatan serta kepemilikan.

Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang memengaruhi anggaran pendapatan dan belanja suatu Negara (APBN). Kebijakan moneter dan perdangangan, diperlukan untuk mengoreksi gangguan-gangguan yang menghambat jalannya roda perekonomian.

Kebijakan fiskal dalam Ekonomi Islam ternyata telah ada sejak dimulainya sejarah Islam membentuk suatu wilayah kekuasaan. Sebagai bahagian dari upaya yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan wilayah kekuasaan, Islam melalui Pemimpinnya yakni Nabi Muhammad saw mulai membuat kebijakan-kebijakan untuk memenuhi semua kebutuhan wilayah kekuasaan dan termasuk masyarakat dan rakyat di wilayah tersebut.

B. KONSEP TEORITIS 1. Posisi Kebijakan Fiskal

Biasa dikatakan, kebijakan fiskal memengang peranan penting dalam system ekonomi islam bila dibandingkan dengan kebijakan moneter, adanya larangan tentang riba serta kewajiban tentang pengeluaran zakat menyiratkan tentang pentingnya kedudukan kebijakan fiskal dibandingkan dengan kebijakan moneter. Larangan bunga yang diberlakukan pada tahun hijriah ke empat telah mengakibatkan system ekonomi islam yang dilakukan oleh nabi terutama bersandar pada kebijakan fiskalnya saja. Sementara itu, negera islam yang dibangun oleh nabi tidak mewarisi harta sebagai mana layaknya dalam pendirian suatu negera.

Pada masa kenabian dan kekhalifahan setelah, kaum muslimin cukup berpengalaman dalam menerapkan beberapa instrument sebagai kebijakan fiskal, yang diselenggarakan pada lembaga baitulmal(nasional treasuri).

Dalam berbagai macam instrument pajak diterapkan atas individu (jizyah dan pajak khusus muslim), tanah kharaj, dan ushur(cukai) atas barang impor dari Negara yang mengenakan cukai terhadap pedangang kaum muslimin, sehingga tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat.

Aspek politik dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh khalifah adalah dalam rangka mengurusi dan melayani umat. Kemudian dilihat dari bagaimana islam memecahkan problematika ekonomi. Maka berdasarkan kajian fakta permasalahan ekonomi secara mendalam terungkap bahwa hakikat permasalahan ekonomi terletak pada bagaimana distribusi harta dan jasa ditengah-tengah masyarakat sehingga titik berat pemecahan

(3)

158

permasalahan ekonomi adalah bagaimana menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi yang adil. Allah SWT. Mengingatkana kita tentang betapa sangat urgennya masalah distribusi harta ini dalam firman-Nya :















 

“… supaya harta itu jangan hanya beredar antara orang-orang kaya saja diantara kamu…”(QS. Al-Hasyr:7)

Juga dalam hadist nabi Muhammad saw:

“Jika pada suatu pagi suatu kampung terdapat seseorang yang kelaparan, maka Allah berlepas diri dari mereka”, dalam kesempatan lain ” tidak beriman lagi pada-ku, orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara ia tahu tetangganya kelaparan.”(Hadis Qudsi).

2. Ziswaf Sebagai Komponen Kebijakan Fiskal Islami

Konsep zakat infaq, sedekah, wakaf, dan lain-lain (ZISWAF) dikenal dalam islam. Zakat merupakan kewajiban untuk mengeluarkan sebagian pendapatan atau harta seseorang yang telah memenuhi syarat syariah islam guna diberikan kepada berbagai unsure masyarakat yang telah ditetapka dalam syariah islam. Sementara infaq, sedakah, wakaf merupakan pengeluaran sukarela yang juga sangat dianjurkan dalam islam. Dengan demikian ZISWAF merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam kebijakan fiskal. Unsur-unsur tersebut ada yang bersifat wajib seperti zakat dan ada pula yang bersifat sukarela.

Sebagai salah satu kebijakan fiskal dalam islam, ZISWAF merupakan salah satu sendi utama dari system ekonomi islam yang kalau mampu dilaksanakan dengan baik akan memberikan dampak ekonomi yang luar biasa. Diharapkan system ekonomi islam ini mampu menjadi alternatif bagi system pasar yang ternyata menunjukan berbagai masalah didalam pelaksanaannya. Jelas ini memerlukan kerja keras dari berbagi unsur keahlian untuk mewujudkannya apa yang dimakan dengan system ekonomi islam.

a. Zakat

Dunia islam Dalam hal pengelolaan keuangan public dewasa ini kehilangan minimal dua hal yaitu menghilangnya spirit religiositas dan kehilangan meknisme teknik yang bermanfaat. Pertama , menghilangnya spirit regiliositas dalam penemuhan dan penggunaan keuangan Negara disebabkan oleh pandangan sekularisme yang melanda dunia islam, hal ini menyebabkan dunia islam kehilangan daya dorong internal yang sangat vital. Kedua, tidak digunakannya berbagai mekanisme yang berbau Islam, justru dunia islam kehilangan metode menyejahterakan rakyatnya.

Sebagai contoh, tidak diadopsikannya zakat dalam system ketatanegaraan, ini menyebabkan dunia islam kehilangan kekuatan untuk menjalankan program welfare. Program kesejahteraan untuk memecahkan masalah kemiskinan dan bencana yang meliputi kesehatan, pangan, balita, dan manula tidak dikenal dengan standar yang memuaskan diseluruh dunia islam. Menghilangnya regiliositas dari panggung ketatanegaraan dengan serta-merta mengadopsi sekularisme dan materialism yang tidak dipahami mendorong moralitas yang bobrok.

(4)

159 Tujuan utama dari kegiatan zakat berdasarkan suduk pandang system ekonomi pasar adalah menciptakan distribusi pendapatan menjadi lebih merata dan tidak ada unsur zakat didalam anggaran pendapatan dan belanja pemerintah (APBN), karena memang kegiatan zakat belum termasuk dalam catatan statistic resmi pemerintah. Pelaksanaan zakat selama ini lebih merupakan kegiatan masyarakat yang ingin menyucikan hartanya.

Konsep fikih zakat menyebutkan bahwa system zakat berusaha untuk mempertemukan pihak surplus muslim dengan pihak defisit muslim.

Hal ini dengan harapan terjadi proyeksi pemerataan pendapatan antara surplus dan defisit muslim atau bahkan menjadikan kelompok yang defisit(mustahik) menjadi surplus(muzaki). Zakat merupakan komponen utama dalam system keuangan publik sekaligus kebijakan fiskal yang utama dalam system ekonomi islam. Zakat merupakan kegiatan yang bersifat wajib bagi seluruh umat islam walaupun demikian masih komponen lainnya yang dapat dijadikan sebagai unsur lain dalam sumber penerimaan Negara sebagai mana yang terlah diuraikan diatas.

Zakat sesungguhnya merupaka instrument fiskal islami yang sangat luar biasa potensinya, namun sayang, perhitung-perhitungan potensi zakat yang ada saat ini masih bersifat perkiraan yang kasar. Sebagaian besar perhitunganyang telah dilakukan hanya sebatas pada perhitungan potensi yang minimal. Angka yang terkecil yang diperoleh dari beberapa perhitungan yang telah lakukan adalah sebesar Rp.5,1 triliun (informasi dari dewan syariah dompet duafa, panduan zakat praktis, tahun 24).

Selanjutanya, disusun satu formula untuk menghitung potensi zakat penghasilan atau profesi sebagai berikat :

Z = k rm Yk Dimana :

Z = jumlah zakat penghasilan/profesi

k = konstanta kadar zakat penghasilan/profesi = 0,025 rm = persentase penduduk muslim Indonesia

Yk = total penghasilan pekerja Indonesia yang penghasilannya di atas nisab.

Nisab adalah angka minimal aset yang terkena kewajiban zakat.

Dalam konteks zakat penghasilan, maka nisabnya adalah penghasilan minimal per bulan yang membuat seseorang menjadi wajib zakat(muzaki).

Dari sudut kadar zakat, dianologikan dengan zakat emas, dan uang, karena memang gaji, honorarium, upah dan yang lainnya, pada umumnya diterima dalam bentuk uang, karena itu kadar zakatnya adalah sebesar rub’ul usyri atau 2,5%, dan dikeluarkan setiap bulan bagi karyawan yang menerima gaji bulanan (sama seperti zakat pertanian yang dikeluarkan pada setip panen).

Setelah dilakukan analisis data untuk tahun 2018, maka diperoleh hasil bahwa dari jumlah total tenaga kerja di Indonesia yang berjumlah 130.722.040 orang, terdapat 16,91% atau 19.847.072 orang yang memiliki penghasilan lebih besar dari Rp.1.960.000,- per bulannya. Sementara dari

(5)

160

jumlah total penghasilan tenaga kerja di Indonesia yang sebesar Rp.1.302.913.160,926,190,-, terdapat 43% atau Rp.557.954.119.104.025,- merupakan jumlah total penghasilan tenaga kerja yang berpenghasilan lebih besar dari Rp.1.960.000,- per bulannya. Dengan asumsi rasio penduduk Indonesia jumlah muslin (88%) sama dengan rasio tenaga kerja muslim di Indonesia, maka diketahui zakat penghasilan/profesi yang dapat digali dari tenaga kerja muslim di Indonesia dalam satu tahun adalah sebesar Rp.12.274.990.620.289,- berdasarkan penelitian pada tahun 2018.

Realisasi zakat yang dikeluarkan oleh masyarakat muslim di Indonesia belum dapat diketahui secaara pasti, mengingat tradisi masyarakat kita dalam membayarkan zakatnya banyak secara langsung dibayar kepada mustahik. Dari hasil survey PIRAC 2018 hanya sebesar 12,5% masyarakat muslim yang menyalurkan zakatnya melalui lembaga resmi badan amil zakat (BAZ), lembaga amil zakat atau yayasan amal lainnya, ada pun data yang tercatat pada departemen agama, realisasi zakat pada tahun 2018 sebesar Rp.199,3 milyar. Jadi jika dibandingkan antara realisasi zakat yang terhimpun pada berbagai lembaga pengelola zakat dengan potensi zakat profesi, ternyata realisasinya hanya sekitar 1.6 persen dari potensi. Ini bisa dipahami Karena apabila dibandingkan dengan zaman Rasulullah maka ada beberapa system manajemen yang tidak dilakukan oleh pengelola zakat pada saat ini.

b. Wakaf

Wakaf merupakan satu instrument ekonomi islam yang belum diberdayakan secara optimal di Indonesia. Padahal sejumlah Negara lain, seperti mesir dan banglades, wakaf telah dikembangkan sedemikian rupa, sehingga menjadi sumber pendanaan yang tiada habis-habisnya bagi pembangunan ekonomi umat, dalam kondisi keterpurukan ekonomi seperti yang tengah dialami Indonesia saat ini, alangkah baiknya bila kita mempertimbangkan pengembangan instrument wakaf ini(masyita, 2003).

Wakaf memang tidak jelas dan tegas disebutkan dalam Al-Qur’an tetapi ada beberapa ayat yang dapat dijadikan dasar hokum wakaf. Salah satunya adalah firman Allah berikut ini, “ kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan(yang sempurna), sebelum kamu nafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sungguhnya Allah mengetahuinya”(QS.ali imran[3];92). Begitu pula dalam sebuah hadist, Rasulullah bersabda,”apabila seorang manusia meninggal, terputuslah amal perbuatannya, kecuali dari 3 yaitu shadaqah jariyah(sedekah yang pahalanya tetap mengalir), ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan do’a anak yang saleh”. Beberapa ahli berpendapat, yang termasuk sedekah jariyah dalam hadist itu, salah satunya, harta yang diwakafkan, dalam hokum islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama(zatnya) kepada seseorang atau nadzir(penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya digunakan sesuai syariat islam.

Diantara instrument ZISWAF, untuk kasus wakaflah yang paling terbelakang kemajuannya, padahal sesungguhnya, wakaf telah dikenal dan

(6)

161 dilaksanakan oleh umat islam sejak agama islam masuk keindonesia.

Wakaf juga telah memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi perkembangan islam di Indonesia, maklum karena lahan yang digunakan untuk sekolah islam atau mesjid umumnya berasal dari wakaf.

Memang itulah kenyataan di Indonesia, kalau kita bicara masalah wakaf, maka yang terbayang adalah lahan dan mesjid, pesantren, sekolahan dan tak kalah seringnya untuk tanah makan. Data dari departemen agama menunjukan, sampai tahun 2018 lalu luas tanah wakaf di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 18.000 hektar. Kalau tanah seluas itu dikelola secara produktif, tentu akan sangat bermakna bagi perekonomian umat. Seperti apa yang bisa dilihat di Negara muslim lainnya semacam Saudi Arabia, mesir, turki, yordania, lembaga wakaf berkembang sangat maju, dan memberikan manfaat yang besar pada umat dinegeri itu, bahkan termasuk pula umat di negeri lain.

Di samping wakdaf produktif, misalnya berupa lahan perkebunan seperti contoh di mesir, kini juga senang berkembang wacana baru yakni wakaf tunai, yaitu wakaf dengan uang tunai. Wakaf tunai lebih bersifat fleksibel dari pada wakaf tanah/banguanan dan pendistribusiannya tidak mengenal batsa wilayah , memang di Indonesia baru bersifat wanca, namun sesungguhnya wakaf tunai. telah lama dikenalkan dan ditemukan pada era ottoman dan di mesir (masyita.2003)

Di era modern ini wakaf tunai dipopulerkan oleh M. A.Mannann dengan medirikan suatu badan yang bernama SIBL (social investment bank limited) di bangladesh. SIBL memperkenalan produk sertifikasi wakaf tunai(cas waaf certifcatei) yang pertama kali dalam sejarah perbankan. SIBL menggalang dana dari orang kaya untuk dikelola dan keuntungan pengelolaan disalurkan kepada rakyat miksin. Jika melihat pengalaman Negara lain, maka sebenarnya lembaga wakaf dapat difungsikan untuk meningkatkan kesajahteraan umat. Untuk mencapai itu.

Tentu cara pandang masyarakat harus diluruskan dulu. Jangan lagi memandang wakaf hanyalah untuk peruntukan peribadatan atau social semata.

Sebelum melihat praktik pengelolaan wakaf di Negara lain. Tidak ada salahnya kita menengok ke masa lalu, yakni masa kejayaan islam.

Abad ke-8 dan ke-9 hijriah dipandang zaman keemasan perkembangan wakaf. Ketika itu wakaf meliputi berbagai aset semacam masjid, musholla, sekolah, tanah pertanian, tempat perniagaan, pasar, rumah, toko, kebun, pabrik roti, bangunan kantor, gedung beras, tempat pemandian, dan lain- lain (Uswatun hasanah 2001:13 dari hasan langgulung 1991:173). Tempat peribadatan dan pendidikan memang ada, namun hanya sebagian kecil dari jenis-jenis aset yang diwakafkan. Ketikan itu sultan memang selalu mendorong perkembangan zakatnya secara terus menerus sehingga menjadi sumber pendapatan yang tak habis-habis. Dengan demikian guru- guru dapat bekerja dengan baik karena nafkahnya tercukupi, siswa pun dapat belajar dengan tenang karena tidak lagi pusing dengan bisa

(7)

162

sekolahnya. Semua kebutuhan itu, baik gaji guru maupun jaminan hidup siswa di tanggung oleh dana yang dikembangkan dari wakaf tersebut.

Hasil dari pengembangan wakaf secara garis besar dimanfaatkan untuk membantu kehidupan masyarakat miskin, anak yatim, pedagang kecil, dan kaum dhuafa lainnya. Juga meningkatkan kesehatan masyarakat, mendirikan rumah sakit, dan menyediakan obat-obatan bagi masyarakat.

Selain itu digunakan pula mendirikan dan memelihara masjid, dan sekolah.

Dan tak kala pentingnya adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sesungguhnya cara semacam ini telah diterapkan oleh sejumlah pengelola yayasan yang bermaksud memobilisasi dana masyarakat.

Sebidang tanah seluas 500 meter persegi misalnya hendak dibeli oleh satu yayasan untuk lokasi pembangunan mesjid. Harga tanah itu Rp.300.000 per meter. Mereka menerbitkan seftifikat infak(umumnya memang tidak menyebut wakaf, karena mungkin belum tahu) dengan nilai nominal setiap lembarnya Rp.300.000,- sertifikat tersebut diterbitkan atas nama dermawan yang menyumbang uang sebesar kelipatan RP.300.000,- biasanya yayasan itu menyelenggarakan acara yang hadiri oleh para dermawan, terserah mau mengambil berapa lembar.

Ini sekedar menunjukkan bahwa di masyarakat telah berkembang inovasi-inovasi yang cerdas. Tinggal sekarang bagaimana mensosilisasikan kepada masyarakat yang lebih luas tentang sertifikat wakaf tunai ini, tentang manfaatnya dan bagaimana operasionalnya.

3. Kebijakan Pendapatan Ekonomi Islam

Islam telah menentukan sector-sektor penerimaan pemerintah, melalui zakat, ghanimah, fai, jizyah, kharaj, shadaqah, dan lain-lain. Jika diklarifikasi maka pendapatan tersebut ada yang bersifat rutin seperti : zakat, jizyah, kharaj, ushr, infak dan shadaqah. Seperti pajak jika diperlukan, dan ada yang bersifat temporer seperti : ghanimah, fa.i dan harta yang tidak ada pewarisnya.

Secara umum ada kaidah-kaidah syar’iyah yang membatasi kebijakan pendapatan tersebut. Khaf (1999) berpendapat sedikitnya ada tiga prosedur yang harus dilakukan pemerintah islam modern dalam kebijakan pendapatan fiskalnya dengan asumsi bahwa pemerintah tersebut sepakat adanya kebijakan pungutan pajak (ter-lepas dari ikhtilaf ulama mengenai pajak).

a. Kaidah syar’iyah yang Berkaitan dengan Kebijakan Pungutan Zakat

Ajaran islam dengn rinci telah menentukan, syarat, kategori harta yang harus dikelurkan zakatnya, lengkap dengan besaran (tarifnya). Maka dengan ketentuan yang jelas tersebut tidak ada hal bagi pemerintah untuk mengubah tarif yang telah ditentukan. Adapun mengenai kebijakan pemungutannya Nabi dan Para Sahabat telah memberi contoh mengenai fleksibilitas, Nabi pernah menagguhkan zakat pamannya Abbas karenakrisis yang dihadapinya. Selain fleksibilitas diatas kaidah lainnya fleksibilitas dalam bentuk pembayaran zakat yaitu dapat berupa benda atau nilai.

(8)

163 b. Kaidah-kaidah Syar’iyah yang Berkaitan dengan Hasil Pendapatan

yang Berasal dari Aset Pemerintah

Menurut kaidah syar’iyah pendapatan dari aset pemerintah dapat dibagi dalam 2 katagori: (a) pendapatan dari aset pemerintah yang umum, yaitu berupa investasi aset pemerintah yang dikelola baik oleh pemerintah sendiri atau masyarakat. (b) pendapatan dari aset yang masyarakat ikut memanfaatkannya adalah berdasarkan kaidah syar’iyah yang menyatakan bahwa manusia berserikat dalam memiliki air, api, garam dan yang semisalnya. Kaidah ini dalam konteks pemerintah modern adalah sarana-sarana umum yang sangat dibutuhkan masyarakat.

c. Kaidah Syar’iyah yang Berkaitan dengan Kebijakan Pajak

Prinsip ajaran islam tidak memberikan arahan dibolehkannya pemerintah mengambil sebagian harta milik orang kaya secara paksa (undang-undang dalam konteks ekonomi modern). Sesulit apapun kehidupan Rasulullah SAW. Di madinah beliau tidak pernah menentukan kebijakan pungutan pajak. Seandainya pungutan pajak tersebut di perbolehkan dalam islam maka kaidahnya harus berdasarkan pada kaidah a’dalah dan kaidah dharurah yaitu pungutan tersebut hanya bagi orang mampu atau kaya dan untuk pembiayaan yang betul-betul sangat diperlukan dan pemerintah tidak memiliki sektor pemasukan lainnya.

4. Kebijakan Belanja Ekonomi Islam

Para ulama terdahulu telah memberikan kaidah-kaidah umum ang didasarkan dari Al-Qur’an dan Hadist dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Diantara kaidah (Chapra: 1995, 288-289) tersebut adalah:

a. Kebijakan atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.

b. Menghindari masyaqqah kesulitan dan mudarat harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan.

c. Mudarat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudarat dalam skalaumum.

d. Pengorbanan individu dapat dilakukan dan kepentingan individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum.

e. Kaidah Al-giurmu bil gunni yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapaatkan manfaat harus siap menanggung beban (yang ingin untung harus siap menanggung kerugian).

f. Kaidah Ma la yatimmu al waajibu illa bihi fahua wajib yaitu kaidah yang menyatakan bahwa suatu hal yang wajib di tegakkan dan tanpa ditunjang oleh factor penunjang lainnya tidak dapat di bangun, maka menegakkan factor penunjang tersebut wajib hukumnya.

Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam mewujudkan efektivitas dan efisiensi pembelanjaan pemerintah dalam islam, sehingga tujuan-tujuan dari pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Di antara tujuan pembelanjaan dalam pemerintahan islam:

a. Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.

(9)

164

b. Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan.

c. Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.

d. Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.

e. Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar

Kebijakan belanja umum pemerintah dalam system ekonomi Islam dapat dibagi menjadi tiga bagian:

a. Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.

b. Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.

c. Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut system pendanaannya.

Adapun kaidah syariyah yang berkaitan dengan belanja kebutuhan operasiaonal pemerintah yang rutin adalah mengacu pada kaidah-kaidah yang telah disebutkan diatas, secara rinci pembelanjaan Negara harus didasarkan pada:

a. Kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan azas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pejabat pemerintah.

b. Kaidah atau prinsip efisiensi dalam rutin yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya. Kaidah ini membawa suatu pemerintahan yang jauh dari sifat mubazir dan kikir di samping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.

c. Tidak berpihak pada kelompok miskin. Kaidah tersebut cukup berlandaskan pada nash-nash yang sahih seperti kasus “al-Hima” yaitu tanah yang diblokir oleh pemerintah yang khusus diperuntukan bagi kepentingan umum.

d. Prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja Negara hanya boleh pada hal-hal yang mubah, dan menjauhi yang haram.

e. Prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, dimulai dari yang wajib,sunah, mubah atau dharruroh, hajjiyat dan kamaliayah

5. Kebijakan Fiskal Masa Rasulullah

Segala kegiatan yang dilakukan oleh rasulullah dalam awal masa pemerintahan dilakukan berdasarkan keikhlasan sebagai bagian dari kegiatan dakwah yang ada. Umumnya para sahabat tidak meminta balasan material dari segala kegiatan dalam dakwah tersebut.

Dengan adanya perang badar pada abad ke-2 Hijrah, Negara mulai mempunyai pendapatan dari seperlima perampasan perang (ghanimah) yang disebut dengan khums, sesuai dengan firman Allah dalam QS.al-Anfaal (8) ayat 41:

Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperelima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibu-ibu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada

(10)

165 hamba kami (Muhammad) di hari furqaan, yaitu dihari bertemunya dua pasukan, dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu.

Dalam ayat tersebut Allah SWT, menjelaskan bahwa bagian 1/5 adalah hak Allah, rasul, dan kerabatnya, golongan yatim golongan miskin, dan ibnu sabil. Sedangkan 4/5 sisanya adalah milik para pejuang yang berhak atas rampasan perang tersebut. Dengan demikian, bagian yang 1/5 dibagi menjadi 5 bagian yaitu: bagian untuk Allah, untuk rasulnya, untuk para kerabat beliau, para anak yatim, para fakir miskin, dan bagian bagi ibnu sabil (Qadhy,). Hal ini berlangsung selama masa rasulullah, sedangkan setelah beliau wafat maka khulafa’ Ar Rasyidin membagi bagian yang 1/5 itu kepada 3 bagian dengan menghapuskan saham rasul dan kerabatnya.

Pada masa rasulullah juga sudah terdapat jizyah yaitu pajak yang dibayar oleh orang nonmuslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, property, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer. Besarnya jizyah satu Dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Tujuan utamanya adalah kebersamaan dalam membangun beban Negara yang bertugas memberikan perlindungan, keamanan, dan tempat tinggal bagi mereka dan juga sebagai dorongan kepada kaum kafir untuk masuk Islam. Jizyah merupakan hak Allah yang diberikan kepada kaum muslimin dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam. Pihak yang wajib membayar jizyah adalah para ahli kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani dan yang bukan ahli kitab seperti orang-orang Majusi, Hindu, Budha dan komunis yang telah menjadi warga Negara Islam.

Jizyah tidak wajib bagi wanita, anak-anak, dan orang gila. Jizyah juga tidak wajib jika orang kafir yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan membayarnya karena kekafiran atau kemiskinannya.

“Pergilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberkan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (QS.at-Taubah: 29).

Pengertian kharaj (pajak tanah) adalah kebijakan fiscal yang diwajibkan atas tanah pertanian di Negara-negara islam yang baru berdiri. Para fuqaha menetapkan bahwa Al-Kharaj adalah rezeki yang diberikan oleh Allah kepada kaum Mualimin karena kemenangan atas musuh-musuh mereka, kewajiban kharaj dilaksanakn setiap satu tahun sekali. Sedangkan ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya kebih dari 200 dirham.

Para fuqaha menetapkan bahwa Al- kharraj rezeki yang diberikan oleh Allah kepada kaum muslimin kerena dalam kemenangan atas musuh-musuh mereka, kewajiban kharraj dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Firman Allah dalam Al-Qur’an :

(11)

166

“apa saja harta rampasan(fai-i)yang diberikan Allah kepada RasulNya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya berada diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah;

bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman- Nya”. (QS. Al-Hasyr:7)

Zakat dan ushr adalah pendapatan yang paling utama bagi Negara pada masa Rasulullah hidup. Kedua pendapatan ini berbeda dengan pajak dan tidak di perlakukan seperti pajak. Zakat dan ushr merupakan kewajiban agam dan termasuk salah satu pilar islam. Dalam Al-Quran disebutka kewajiban zakat sebagai berikut: “ Dirikan lah shalat dan tunaikan lah zakat “ (QS.Al-Baqarah ayat 43, 83, 110, dan lain-lain).

Sedangkan ketentuan pengeluaran dan zakat tercantum dalam surat at- Taubah (QS. 9 ayat 60): “ Sesungguhnya zakat-zakat itu hanya lah untuk orang-orang kafir, orang-orang kafir, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk ( memerdekakan ) budak. Orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.

Dasar-dasar kebijakan fiskal menyangkut penentuan subjek dan objek kewajiban membayar kharaz, zakat, ushr, jizyah, dan kafarat, termasuk penentuan batas minimal terkena kewajiban (nisab). Umur objek ter kena kewajiban (haul), dan tarifnya. Karena membayar zakat merupakan ibadah wajib untuk umat islam , maka menghitung berapa besar zakat yang harus dibayar dapat dilakukan sendiri dengan penuh kesadaran iman dan taqwa.

Begitulah Rasulullah meletakkan dasar-dasar kebijakan fiskal yang berlandaskan keadilan, sejak masa awal pemerintah islam. Setelah Rasulullah wafat, kebijakan fiskal itu dilanjutkan bahkan dikembangkan oleh para penerusnya.

6. Kebijaksanaan Fiskal Masa Sahabat

a. Abu Bakar Ash-Shidiq (51SH-13 H/573-634 M)

Langkah yang dilakukan Abu Bakar dalam menyempurnakan ekonomi Islam:

1) Perhatian terhadap keakuratan perhitungan zakat yang dikatakan anas (seorang amil) bahwa: Jika seseorang yang harus membayar unta betina ber umur satu tahun sedangkan dia tidak memilikinya dan ia menawarkan untuk memberikan seekor unta betina berumur dua tahu, hal tersebut dapat diterima.

2) Pengembangan pembangunan baitulmal dan penanggung jawab baitulmal (Abu Ubaida).

3) Menerapkan konsep balance bubget policy pada baitulmal.

4) Melakukan penegakkan hokum terhadap pihak yang tidak mau membayar zakat dan pajak.

(12)

167 5) Secara individu Abu bakar adalah seorang praktisi akad-akad

perdagangan.

b. Khalifah Umar Bin Khatab (40 SH-23 H/ 584-644 M)

Kontribusi yang diberikan Umar untuk mengembangkan ekonomi Islam:

1) Reorganisasi baitulmal, dengan mendirikan Diwan Islam yang pertama yang disebut dengan al-Divan (sebuah kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pension dan tunjangan-tunjangan lain.

2) Pemerintah bertanggung jawab pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian kepada warga Negaranya.

3) Diversifikasi terhadap objek zakat (zakat tehadap karet di Semenanjungkan Yaman), tariff zakat (misalnya mengenakan dasar advalorem, satu dirham untuk 40 dirham).

4) Pengembangan ushr (pajak) pertanian (misalnya perbebanan sepersepuluh hasil pertanian).

5) Undang-undang perubahan pemilikan tanah (land reform).

6) Pengelompokan pendapatan Negara dalam 4 bagian:

SUMBER PENDAPATAN

PENGELUARAN

Zakat dan ushr Pendistribusian untuk local jika berlebihan disimpan

Khums dan Shadaqah Fakir miskin dan kesejahteraan Kharaj, fay, jizyah, ushr

sewa tetap

Dana pension, Dana pinjaman (allowance) Pendapatan dari semua

sumber

Pekerja, pemeliharan anak terlantar dan dana sosial

c. Khalifah Usman Bin Affan (47SH-35H/577-656 M)

Pada awal pemerintahan Usman mencoba melanjutkan dan mengembangkan kebijaksanaan yang dijalankan khalifah Umar. Pada enam tahun kepemimpinannya hal-hal yang dilakukan:

1) Pembangunan pengairan.

2) Pembentukan organisasi kepolisian untuk menjaga keamanan perdagangan.

3) Pembangunan gedung pengadilan guna penegakkan hukum.

4) Kebijakan pembagian lahan luas milik raja Persia kepada individu dan hasilnya mengalami peningkatan bila dibandingkan pada masa Umar dari 9 juta menjadi 50 juta dirham.

5) Selama enam tahun terakhir dari pemerintahan Usman situasi politik Negara sangat kacau. Kepercayaan terhadap pemerintahan Usman mulai berkurang dan puncaknya rumah Usman dikepung dan mulai di bunuh dalam usia 82 tahun.

d. Khalifah Ali Bin Abi Talib (23SH-40H/600-661 M)

Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan dan administrasi umum. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harith, dimana surat tersebut mendeskripsikan tugas kewajiban dan tanggung jawab penguasa

(13)

168

menyusun prioritas dalam melakukan dispensasi terhadap keadilan, control terhadap pejabat tinggi dan staf, menguraikan pendapat pegawai administrasi dan pengadaan bendahara.

Beberapa perubahan kebijaksanaan yang dilakukan pada masa khalifah Ali antara lain:

1) Pendistribusian seluruh pendapatan yang ada pada baitulmal berbeda dengan Usmar yang menyisihkan untuk cadangan.

2) Pengeluaran angkatan laut dihilangkan.

3) Adanya kebijakan pengetatan anggaran.

C. METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, penelitian kualitatif yaitu, penelitian yang tidak menggunakan perhitungan, atau diistilahkan dengan penelitian ilmiah yang menekankan pada karakter alamiah sumber data. Sedangkan penelitian kualitatif menurut Sukmadinata yaitu suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individu maupun kelompok.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebijaksanaan fiscal tidak hanya menaruh perhatian pada pendapatan dan pembelanjaan Negara, tetapi juga pada pilihan berbagai instrument kebijakan perpajakan dan pola pembelanjaan Negara. Cara yang berbeda dalam menaikan dan pembelanjaan anggaran memiliki dampak ekonomi yang berbeda.

Pandangan bahwa fungsi dan tanggung jawab sebuah Negara islam memiliki fleksibelitas yang luas didasarkan pada premis bahwa islam bertujuan untuk kesejahteraan umum masyarakat, sehingga sebuah Negara islami dapat mendefinisikan apa pun fungsinya dalam mencapai sasaran tersebut. Menurut Siddiqi (1983), mengklasifikasikan fungsi Negara islam dalam 3 kategori:

1. Fungsi yang diamanahkan syariah secara permanen, meliputi:

a. Pertahanan.

b. Hukum dan ketertiban.

c. Keadilan.

d. Pemenuhan kebutuhan.

e. Dakwah.

f. Amar maruf nahi munkar.

g. Administrasi sipil.

h. Pemenuhan kewajiban-kewajiban social (furud kifayah) jika sector swasta gagal memenuhinya.

2. Fungsi turunan syariah yang berbasis ijtihad sesuai kondisi social dan ekonomi pada waktu tertentu, meliputi 6 fungsi:

a. Perlindungan lingkungan,

b. Penyediaan sarana kepentingan umum.

c. Penelitian umum.

d. Pengumpulan modal dan pembangunan ekonomi, e. Penyediaan subsidi pada kegiatan swasta tertentu, dan

(14)

169 f. Pembelanjaan yang diperlukan untuk stabilisasi kebijakan.

3. Fungsi yang diamanahkan secara kontekstual berdasarkan proses musyawarah (syuraa), meliputi semuakegiatan yang dipercayakan masyarakat kepada sebuah proses syuraa. Inilah yang menurut siddiqi terbuka dan berbeda pada setiap Negara tergantung pada keadaan masing-masing.

Pandangan berbeda tentang fungsi dan tanggung jawab Negara banyak disampingkan pemikiran lain. Kahf (1983) menyatakan Negara tidak bebas menentukan prioritas politik dan ekonomi, ataupun memaksakan pola pembelanjaan Negara, politik dan ekonomi yang membatasi kebebasan dan hak inividu yang diberikan Tuhan. Lebih lanjut khaf , menyatakan sasaran utama Negara Islami melindungi agama dan supremasi kalimattullah. Negara harus membantu kaum muslimin melaksanakan kewajiban agamanya. Selanjutnya Negara Islam harus bertanggung jawab menyampaikan kalimatullah ke kalangan nonmuslim melalui dakwah.

E. KESIMPULAN

Sebagai penutup dari pembahasan paper ini, penulis menguraikan beberapa hal sebagai kesimpulan, yaitu sebagai berikut:

1. Kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam telah ada sejak ajaran Islam ini dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w, dan tidak tekan dari pada kebijakan fiskal Islam adalah pada instrumen zakat, infak, shadaqah dan wakaf lalu kemudian pajak ditetapkan sebagai pelengkap instrumen.

2. Kebijakan Istrumen Fiskal yang ditetapkan Nabi Muhammad s.a.w di masanya diteruskan dan dikembangkan oleh para penerusnya di masa sahabat yang dikenal dengan masa dimulainya kekhilafahan Islam sampai masa Turkey Usmani yang sudah mulai merubah sistem pemerintahan Islam menjadi sekuler sehingga menjadi sebab runtuhnya kekhilafahan Islam.

3. Selama masa kekhilafan Islam yang masih mengacu kepada pelaksanaan sistem fiskal merujuk kepada sistem Islam sebelum-sebelumnya, Islam justeru mencapai puncak kejayaan termasuk dalam aspek ekonomi, sehingga sistem ini seharusnya masih sangat relevan untuk diterapkan di masa modern sekarang ini.

REFERENSI

[1] Abu Zahrah, Muhammad, 1971, Mukhadirat fi al-Waqf, cetakan ke-2, Beirut:

Dar al-Fikr.

[2] Athoillah, 2014, Hukum Wakaf: Hukum Wakaf Benda Bergerak dan Tidak Bergerak dalam Fikih dan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Bandung: Yrama Widya. Azizy, A. Qadri, 2004, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[3] Chapra, M. Umar, Islam dan Tantangan EKonomi, 1992.

[4] ______________,Sistem Moneter Islam, 2000.

[5] Departemen Agama RI., 2003, Fiqih Wakaf, Jakarta: Departemen Agama.

[6] Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan.

[7] _________________, 2005, Nazhir Profesional dan Amanah, Jakarta,

(15)

170

[8] Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf.

[9] _________________, 2005, PEDOMAN PENGELOLAAN WAKAF TUNAI, Jakarta: Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat & Wakaf.

[10] ________________, 2007, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf.

[11] _________________, 2008, PEDOMAN PENGELOLAAN WAKAF TUNAI, Jakarta: Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf.

[12] _________________, 2008, Model Pengembangan Wakaf Produktif, Jakarta:

Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf.

[13] _________________, 2008, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta:

Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf.

[14] Mannan, M.A., tt., Sertifikat Wakaf Tunai; Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam, Alih Bahasa: Tjasminjanto, Rozidyanti, Depok: CIBER bekerjasama dengan PKTTI-UI.

[15] Masyita, Dian, 2005, Sistem Pengentasan.Kemiskinan yang Berkelanjutan Melalui Wakaf Tunai, Laporan Penelitian, Jakarta: Kementrian Riset dan Teknologi RI.

[16] Masyita, Dian, dkk., 2005, A Dynamic Model for Cash Waqf Management as One of The Alternative Instruments for The Poverty Alleviation in Indonesia, Submitted to The 23 rd International Conference of The System Dynamics Society Massachussets Institute of Technology (MIT), Boston, July 17-21, 2005.

[17] Mubarok, Jaih, 2008, Wakaf berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, (Penelitian diterbitkan buku), Wakaf Produktif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

[18] Muhammad, 2005, Metode Penelitian Ekonomi Islam: Pendekatan Kuantitatif, Yogyakarta: Unit Penerbitan Fakultas Ekonomi UMY.

[19] Qahaf, Mundzir, 2006, Al-Waqfu al-Islami: TatHawuruhu, Idaratuhu, Tanmiyatuhu, Beirut: Dar al-Fikr

[20] Qardhawi, Yusuf, 2007, Hukum Zakat, diterjemahkan oleh Salman Harun dkk., Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Walaupun memiliki persentase pertumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan Tuk-tuk ditutup tanah (Tabel 1), namun mampu memberikan hasil panen yang

Serta profitabilitas menurut Bambang Riyanto (2002:33), adalah kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan laba dibandingkan dengan aktiva atau modal perusahaan

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan SPF (Sun Protection Factor) dari ekstrak n-Heksan etanol bekatul (Oryza sativa) dengan menggunakan metode

Selanjutnya setelah dilakukan pelatihan maka masyarakat setempat mampu memiliki pengetahuan serta keterampilan tersebut secara profesional, dan mampu menularkannya pada anggota

Namun pendapat ini tidak dapat dipertahankan lagi setelah studi yang dilakukan oleh National Research Council of the United States National Academies yang dirilis

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Religiusitas dan Kepercayaan terhadap Preferensi masyarakat menabung dibank syariah dengan Pelayanan sebagai