• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS. Oleh BONI IRAWAN HATOGUAN NIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS. Oleh BONI IRAWAN HATOGUAN NIM"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

GUY’S STONE SCORE SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN KOMPLIKASI MINOR MENURUT CLAVIEN GRADING SCORE DAN LAMA OPERASI

PERCUTANEOUS NEPHROLITHOTOMY DI RSUP H. ADAM MALIK SELAMA TAHUN 2017

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Spesialis Bedah

Oleh

BONI IRAWAN HATOGUAN NIM. 117102017

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2018

(2)

GUY’S STONE SCORE SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN KOMPLIKASI MINOR MENURUT CLAVIEN GRADING SCORE DAN LAMA OPERASI PERCUTANEOUS NEPHROLITHOTOMY DI RSUP H.

ADAM MALIK SELAMA TAHUN 2017

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Spesialis Bedah

Oleh

BONI IRAWAN HATOGUAN NIM. 117102017

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2018

(3)
(4)
(5)

MINOR MENURUT CLAVIEN GRADING SCORE DAN LAMA OPERASI PADA PROSEDUR PERCUTANEOUS NEPHROLYTHOTOMY DI RSUP H.

ADAM MALIK MEDAN SELAMA TAHUN 2017

TESIS PROFESI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan referensi dan telah disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, April 2018

Boni Irawan Hatoguan

(6)

Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) merupakan salah satu tindakan minimal invasif di bidang urologi yang bertujuan mengangkat batu ginjal dengan menggunakan akses perkutan untuk mencapai sistem pelviokalises.Salah satu sistem skoring yang sederhana dan aplikatif sebagai prediktor pada prosedur PCNL adalah Guy’s Stone Score. Munculnya komplikasi akibat prosudur PCNL dikelompokkan dalam beberapa kategori sebagai Clavien Grading Score dan secara signifikan lebih sering muncul pada pasien dengan skor GSS yang lebih tinggi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara Guy’s Stone Score (GSS) dengan komplikasi minor menurut Clavien Grading Score dan lama operasi pada prosedur operasi PCNL di RSUP H. Adam Malik Medan.

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik dengan desain retrospektif. Selama kurun waktu April sampai Mei 2018 didapatkan 50 pasien yang dilakukan prosedur PCNL, berusia >18 tahun, dan dengan data pemeriksaan yang lengkap diikutkan dalam penelitian ini.

Pasien yang sudah dilakukan tindakan ESWL dan endourologi sebelum prosedur PCNL tidak ikut dalam penelitian ini. Variabel pada penelitian ini merupakan variabel numerik yang terdiri dari Guy’s Stone Score (GSS), komplikasi minor berdasarkan Clavien Grading Score dan lama operasi. Kemudian dilakuakn analisis

(7)

Hasil Penelitian

Dari 50 pasien yang menjalani prosedur PCNL ini didapatkan 27 (54%) orang laki- laki, rerata umur 52,06 ± 9,69 tahun, kelompok ASA 1 paling banyak ditemukan pada 44 (88%) pasien, kelompok GSS 4 sebanyak 23 (46%) pasien, 37 (74%) pasien mengalami komplikasi minor berdasarkan Clevien Grading Score, sebanyak 46 (92%) pasien tidak mengalami demam post operasi dengan rerata lama rawatan 7,16

± 4,15 hari. Rerata Guy’s Stone Score pada pasien ini adalah 3,18 ± 0,91, rerata lama operasi pada keseluruhan pasien adalah 167 ± 23,56 menita, rerata Hb pre operasi dan post operasi masing-masing adalah 11,84 ± 1,92 dan 10,80 ± 1,87 gram/dl. Uji korelasi Spearman Rho antara GSS dengan lama operasi menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan (r=0,8; p<0,001). Uji korelasi Spearman Rho untuk menilai hubungan antara GSS dengan komplikasi minor menurut Clavien Grading Score menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (r=0,6; p=0,40).

Kesimpulan

Dari 50 subjek penelitian yang menjalani operasi PCNL, 23 (46%) pasien memiliki skor GSS IV dengan rerata skor GSS 3,18 ± 0,9 dan mengalami komplikasi minor menurut Clavien Grading Score sebanyak 37 (74%) pasien dengan rerata lama operasi 167 ± 23,56 menit. Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan uji korelasi Spearman Rho untuk melihat hubungan antara GSS dengan lama operasi

(8)

Kata Kunci : PCNL, Guy’s Stone Score, GSS, Clavien Grading Score

(9)

Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) is one of the minimally invasive in urology aimed at removing kidney stones using percutaneous access to reach the pelviocalises system. One of the simplest and applicative scoring systems as a predictor of PCNL procedures is Guy's Stone Score. The emergence of complications due to PCNL procedure is grouped into several categories as Clavien Grading Score and is significantly more frequent in patients with higher GSS scores.

The purpose of this study was to investigate the relationship between Guy's Stone Score (GSS) with minor complications according to Clavien Grading Score and duration of operation on PCNL surgery procedure at RSUP H. Adam Malik Medan.

Methods

This research is an analytical study with retrospective design. During the period of April to May 2018, 50 patients underwent the PCNL procedures, aged> 18 years, and with complete examination data were included in the study. Patients who have performed ESWL and endorology before PCNL procedures did not participate in the study. The variables in this study are numerical variables consisting of Guy's Stone Score (GSS), minor complications based on Clavien Grading Score and duration of operation. Data analysis was then conducted to assess the correlation between GSS with minor complications based on Clavien Grading Score and to assess GSS with duration of operation using Spearman Rho correlation test.

(10)

mean age 52.06 ± 9.69 years, ASA 1 group was mostly found in 44 (88%) patients, group GSS 4 was 23 (46%) patients, 37 (74%) patients had minor complications based on Clevien Grading Score, 46 (92%) of patients did not have postoperative fever with mean treatment duration of 7.16 ± 4.15 days. The average of Guy's Stone Score in this patient was 3.18 ± 0.91, the mean duration of surgery in all patients was 167 ± 23.56 min, the mean preoperative and postoperative Hb rates were 11.84

± 1.92 and 10 , 80 ± 1.87 gram / dl. Spearman Rho correlation test between GSS and duration of operation showed significant relationship (r = 0,8; p <0,001). Spearman Rho correlation test to assess the relationship between GSS with minor complications according to Clavien Grading Score showed there was no significant relationship (r = 0.6, p = 0.40).

Conclusion

From the 50 subjects who underwent PCNL surgery, 23 (46%) patients had GSS IV scores with a mean GSS score of 3.18 ± 0.9 and minor complications according to Clavien Grading Score of 37 (74%) patients with an average duration of surgery 167 ± 23.56 minutes. Hypothesis test in this study using Spearman Rho correlation test to see the relationship between GSS with long operation showed significant relationship (p <0.001) with moderate correlation strength (r = 0.6).

(11)

yang merupakan salah satu persyaratan tugas akhir untuk memperoleh gelar Spesialis Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Shalawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW.

Dengan selesainya penulisan tesis ini, perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Kedua orang tua, ayahanda (Alm) drg. Edmond dan ibunda Hj. Ida Hafni Hasibuan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan setulus-tulusnya, yang telah membesarkan dan mendidik penulis sejak kecil dengan penuh kesabaran, kasih sayang dan perhatian, dengan diiringi doa dan dorongan yang tiada hentinya sepanjang waktu, memberikan contoh yang sangat berharga dalam menghargai dan menjalani kehidupan.

2. Terima kasih yang tak terkira kepada istriku tercinta Sri Adi Astuti Tanjung, S.STP atas segala pengorbanan, pengertian, dukungan semangat, kesabaran dan kesetiaan dalam segala suka duka mendampingi saya selama menjalani masa pendidikan yang panjang ini.

3. Kepada Kedua anakku tersayang Arini Akifah Naylah dan Rakha Khalaf Faith, yang memberikan kebahagian dan semangat di saat penulis menjalani masa pendidikan dan juga menjadi seorang Ayah.

4. Kepada abang, Iskandar, seluruh keluarga besar, penulis mengucapkan terima kasih atas pengertian dan dukungan baik moril maupun materil yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan.

5. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(12)

Saleh Siregar, SpB-KBD dan Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah, dr. Dedy Hermansyah, SpB(K)Onk, yang telah bersedia menerima, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran selama penulis menjalani pendidikan.

7. Pembimbing penelitian saya Dr. dr. Syah Mirsya Warli, Sp.U(K) dan dr.

Dhirajaya Dharma Kadar, Sp.U pembimbing , terima kasih yang sedalam- dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya yang dapat penulis sampaikan, yang telah membimbing, mendidik, membuka wawasan penulis, senantiasa memberikan dorongan dan motivasi yang tiada hentinya dengan penuh bijaksana dan tulus ikhlas disepanjang waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

8. Rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada guru-guru saya : Prof. Bachtiar Surya, SpB-KBD, Prof. Dr. Abd. Gofar Sastrodiningrat, SpBS(K), Prof. Adril A. Hakim, SpS, SpBS(K), Prof. Nazar Moesbar, SpB,SpOT, Prof. Hafas Hanafiah, SpB,SpOT, Alm.Prof Usul Sinaga, SpB, Alm.Prof Buchari Kasim, SpBP, dr. Asmui Yosodihardjo, SpB,SpBA, dr. Syahbuddin Harahap, SpB, dr. Harry Soejatmiko, SpB,SpBTKV, dr.Emir Taris Pasaribu, SpB(K)Onk, dr. Marsal SpBTKV, dr.

Liberty Sirait SpB-KBD, dr. Budi Irwan, SpB-KBD, dr. Adi Muradi, SpB- KBD, dr. Erjan Fikri, SpB, SpBA(K), dr. Djeni Bijantoro, SpB-SpBA, dr.

Mahyono, SpB-SpBA, dr. Iqbal P. Nst, SpBA, dr. Suyatno SpB(K)Onk, dr.

Kamal Basri Siregar, SpB(K) Onk, dr. Albiner Simarmata, SpB(K) Onk, dr.

Denny Rifsal Siregar, SpB(K)Onk, dr. Pimpin Utama Pohan, SpB(K)Onk, dr. Edy Sutrisno, SpBP-RE(K), dr. Frank B. Buchari, SpBP-RE(K), dr.

Utama Abdi Trg, SpBP-RE, dr. Syah Mirsya Warli, SpU, dr. Bungaran, SpU, dr. Ramlan Nst, SpU, dr. Chairandi S, SpOT, dr. Suhelmi, SpB dan seluruh

(13)

9. Prof. Aznan Lelo, PhD, SpFK, yang telah membimbing, membantu dan meluangkan waktu dalam membimbing statistik dari tulisan tugas akhir ini.

10. Terima kasih kepada teman seperjuangan dr. Uncok Ramses Simanjuntak, Unni Bayani Buchari, yang telah berjuang bersama sejak awal mulai pendidikan hingga sekarang

11. Para Senior, dan sejawat peserta program studi Bedah yang bersama-sama menjalani suka duka selama pendidikan.

12. Para pegawai dilingkungan Departemen Ilmu Bedah FK USU, dan para tenaga kesehatan yang berbaur berbagi pekerjaan memberikan pelayanan Bedah di RSUP H Adam Malik, RSU Pirngadi, dan di semua tempat bersama penulis selama penulis menimba ilmu.

Akhirnya hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan. Semoga ilmu yang penulis peroleh selama pendidikan Profesi Spesialis Bedah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Terima kasih.

Medan, April 2018 Penulis

dr. Boni Irawan Hatoguan

(14)

LEMBAR PENGESAHAN ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... vii

UCAPAN TERIMA KASIH... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.4.1 Tujuan Umum ... 3

1.4.2Tujuan Khusus ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Defenisi dan Sejarah PCNL ... 5

2.2 Indikasi ... 6

2.3 Kontraindikasi ... 7

2.4 Persiapan Pasien ... 7

2.5 Posisi Pasien ... 7

2.6 Pungsi ... 9

2.7 Lithotripsi ... 12

2.7.1 Ultrasound ... 12

2.7.2 Ballistic ... 13

2.7.3 Electrohydraulic Lithotripsy ... 13

2.7.4 Laser ... 15

2.8 Nefrostomi... 16

2.9 Komplikasi berdasarkan Clavien Grading Score ... 17

2.10 Hubungan Guy’s Stone Score dengan Lama Operasi PCNL ... 22

(15)

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 25

3.4.1 Kriteria inklusi ... 25

3.4.2 Kriteria eksklusi ... 25

3.5 Alur Penelitian ... 26

3.6 Identifikasi Variabel ... 26

3.7 Kerangka Konsep ... 27

3.8 Definisi Operasional... 27

3.9 Analisis Data ... 29

3.10 Masalah Etika ... 30

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 31

4.1 Hasil Penelitian ... 31

4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 31

4.1.2 Hasil Uji Normalitas Data ... 33

4.1.3 Hasil Analisis Data ... 35

BAB 5 PEMBAHASAN ... 37

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

6.1 Kesimpulan ... 42

6.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 44 LAMPIRAN

(16)

2.1 Clavien Grading Score 17

4.1 Karakteristik sampel keseluruhan 29

4.2 Distribusi Frekuensi Guy’s Stone Score 31 4.3 Karakteristik Pasien berdasarkan Guy’s Stone Score 32 4.4 Hubungan Antara Guy’s Stone Score dan Angka

Bebas Batu

33

(17)

Gambar 2.1 Posisi pasien pada prosedur PCNL 7 Gambar 2.2 Pungsi pada kaliks inferior dipandu dengan

USG

10

Gambar 2.3 Penciptaan working tract menggunakan metal dilator secara serial

10

Gambar 2.4 Meletakkan sheath nefroskop pada pelvis ginjal 11

Gambar 2.5 Melakukan Lithotripsi 14

Gambar 2.6 Mengeluarkan fragmen batu dengan menggunakan grasper

14

Gambar 2.7 Evaluasi sistem pelviokalises untuk mencari sisa fragmen batu

15

Gambar 2.8 Gambar 2.9

Pemasangan nefrostomi

Diagramhubungan antara Guy’s Stone Score dengan angka keberhasilan dan komplikasi pada pasien PCNL

16 22

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) merupakan salah satu tindakan minimal invasif di bidang urologi yang bertujuan mengangkat batu ginjal dengan menggunakan akses perkutan untuk mencapai sistem pelviokalises. Prosedur ini sudah diterima secara luas sebagai suatu prosedur untuk mengangkat batu ginjal karena relatif aman, efektif, murah, nyaman, dan memiliki morbiditas yang rendah, terutama bila dibandingkan dengan operasi terbuka (Nugroho D, dkk, 2011, Wein A.

J et al, Campbell-Walsh Urology, 2016). Salah satu sistem skoring yang sederhana dan aplikatif sebagai prediktor pada prosedur PCNL adalah Guy’s Stone Score (Mandal et al, 2015 ; Noureldin Y.A, et al 2015, Thomas K, et al, 2011).

Menurut penelitian Thomas dkk, distribusi jumlah pasien yang menjalani prosedur PCNL adalah 28 % (skor I), 34 % (skor II), 21 % (skor III), 17 % (skor IV) (Thomas K et al, 2011). Menurut penelitian Mandal dkk munculnya komplikasi secara signifikan lebih sering muncul pada pasien dengan skor GSS yang lebih tinggi (Mandal S et al, 2012).Walaupun angka kejadian komplikasi PCNL jarang, namun hal ini tidak dapat diabaikan. Pada saat ini komplikasi-komplikasi tersebut sudah dikelompokkan dalam beberapa kategori yang secara luas diterima sebagai Clavien Grading Score(Mandal S et al,2012).

(19)

Sepanjang pengetahuan peneliti di RSUP H. Adam Malik Medan belum pernah meneliti hubunganGuy’s Stone Score ini pada pre operatif PCNL dengan komplikasi minor menurut Clavien Score, lama operasi dan jumlah punksi akses pada prosedur PCNL. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengetahui hubungan Guy’s Stone Scoredengankomplikasi minor menurut Clavien Scoredan lama operasi pada prosedur PCNL di RSUP H. Adam Malik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka diperlukan penelitian untuk mengetahui hubungan Guy’s Stone Score dengan komplikasi minor menurut Clavien Score dan lama operasi pada prosedur PCNL di RSUP H. Adam Malik.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran Guy’s Stone Score komplikasi minor menurut Clavien Scoredan lama operasi pada prosedur PCNL di RSUP H. Adam Malik Medan selama tahun 2017.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui angka komplikasi minor menurut Clavien Score pada terapi PCNL di RSUP. H. Adam Malik Medan.

(20)

2. Untuk mengetahui lama operasi pada terapi PCNL di RSUP. H. Adam Malik Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1. Para klinisi, untuk memberikan data sehingga para klinisi dapat melakukan prediksi lama operasi, komplikasi minor menurut Clavien Scoresebagai tolak ukur dalam prosedur PCNL.

2. Bagi peneliti, untuk memberikan data bagi para peniliti selanjutnya untuk pengembangan penelitian

3. Departemen Bedah Divisi Urologi RSUP H. Adam Malik Medan, untuk mengetahui hubungan Guy’s stone scoredan angka terjadinya komplikasi minor menururt Clavien Score sesudah prosedur PCNL serta lama operasi pada prosedur PCNL.

4. Bagi rumah sakit, untuk memprediksi lama operasi sehinga lebih optimal dalam pengaturan jadwal dan beban rumah sakit.

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah

Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) merupakansalah satu tindakan minimal invasif di bidang urologi yangbertujuan mengangkat batu ginjal dengan menggunakanakses perkutan untuk mencapai sistem pelviokalises.Percutaneous nephrolithotomy (PCNL) dijelaskan pertama kali oleh Fernstom dan Ohannson pada tahun 1976. European Association of Urology (EAU) mempertimbangkan PCNL sebagai pilihan utama pembedahan untuk batu yang besar, multipel atau batu ginjal kaliks inferior.Prosedur ini sudah diterima secara luas sebagai suatuprosedur untuk mengangkat batu ginjal karena relatif aman,efektif, murah, nyaman, dan memiliki morbiditas yang rendah,terutama bila dibandingkan dengan operasi terbuka(Nugroho D, dkk, 2011, Purnomo B, Dasar-Dasar Urologi 2011 ; Wein A. J et al, Campbell- Walsh Urology, 2016).

Pada awal dekade 1980-an prosedur PCNL sangat populer sebagai terapi batu ginjal, namun sejak ditemukannya Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) pada pertengahan dekade 1980-an penggunaannya menurun. Dalam perkembangan selanjutnya ditemukan kelemahan tindakan ESWL, sehingga PCNL kembali populer digunakan sebagai penanganan batu ginjal dengankemajuan pesat teknik dan peralatannya. (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Wein A. J et al, Campbell-Walsh Urology, 2016, McAninch et al, Smith and Tanagho’s General Urology, 2013).

(22)

2.2 Modalitas Penatalaksanaan Batu Ginjal

Hampir 30 % dari kasus urologi berkaitan dengan batu saluran kemih. Tujuan utama dari penatalaksanaan batu adalah mencapai angka bebas batu yang maksimal dengan morbiditas yang minimal (Nerli et al 2014; William et al, Bailey & Love, Short Practice of Surgery, 2008).

Keuntungan prosedur PCNL adalah angka bebas batu yang lebih besar daripada ESWL, dapat digunakan untuk terapi batu ginjalberukuran besar (>20 mm), dapat digunakan pada batu kaliks Inferior yang sulit diterapi dengan ESWL, dan morbiditasnya yang lebih rendah dibandingkan dengan operasi terbuka baik dalam respon sistemik tubuh maupun preservasi terhadap fungsi ginjal pasca-operasi.

Kelemahan PCNL adalah dibutuhkankeahlian khusus dan pengalaman untuk melakukanprosedurnya. Saat ini operasi terbuka batu ginjal sudahbanyak digantikan oleh prosedur PCNL dan ESWL baik dalambentuk monoterapi maupun kombinasi, hal ini disebabkanmorbiditas operasi terbuka lebih besar dibandingkan PCNL dan ESWL.(Nugroho D, dkk, 2011).

Adapun indikasi ESWL adalah apabila terdapat batu ginjal non kaliks inferior dengan ukuran < 20 mm, dan batu ureter proksimal dengan ukuran < 10 mm. (Nugroho D, dkk, 2011).

Secara umum teknik PCNL mencakup empat tahap prosedur, yaitu: akses ginjal perkutan, dilatasi, fragmentasi dan ekstraksi batu, serta drainase. Walaupun jarang, namun proses pungsi dan dilatasi cukup beresiko untuk terjadinya komplikasi. (Kyriazis et al 2015, Nugroho D, dkk, 2011).

(23)

2.2 Indikasi

Indikasi dilakukan PCNL adalah 1. batu pada sistem pelvikalises yang secara ukuran tidak sesuai untuk ESWL 2. gagal dengan penatalaksanaan ESWL 3. batu yang disertai obstruksi uretero pelvic junction 4. Batu pada divertikel kaliks 5.

Kelainan anatomi (contoh : ginjal ladam kuda) (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005; Nugroho D, dkk, 2011).

2.3 Kontra Indikasi

Kontra indikasi absolut adalah adanya infeksi saluran kemih yang masih aktif dan koagulopati. Kontra indikasi relatifnya adalah operasi ginjal transabdomen yang dilakukan sebelumnya yang dapat mengakibatkan proyeksi usus retrorenal.

(Hohenfellner et al, 2005 dan Nugroho D, dkk, 2011).

2.4 Persiapan Pasien

Persiapan meliputi anamnesis lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Kontraindikasi absolut terhadap tindakan PCNL perlu diidentifikasisebelum tindakan, yaitu: koagulopati dan infeksi saluran kemih yang aktif serta belum diterapi. Penggunaan obat-obatan antikoagulan harus dihentikan minimal tujuh hari sebelumtindakan. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah darah tepi, fungsi ginjal, elektrolit, dan kultur urin(Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011).

(24)

2.5 Posisi Pasien

Sebelum dimulai tindakan PCNL dilakukan pemasangan kateter ureter.

PCNL dikerjakan dalam posisi pasien tengkurap dengan sisi ginjal yang akan dikerjakan diposisikan lebih tinggi 30 derajat. Posisi tersebut menjamin ventilasi pasien tetap baik dan membuat kaliks posterior berada pada posisi vertikal sehingga membantu pada saat melakukan pungsi(Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011).

Pada mulanya PCNL dilakukan dengan posisi prone. Sesudah tahun 1998 Valdivia Uria menjelaskan serangkaianpasien yang menjalani prosedur PCNL dengan posisi supine. Angka bebas batu pasien batu cetak dengan PCNL posisi prone lebih tinggi dibanding posisi supine (59,2% vs 48,4% , p < 0,001) (Astroza et al, 2013 ; Kamphuis et al, 2015).

(25)

2.6 Pungsi

Pungsi perkutan untuk mendapatkan akses ke ginjal dapat dilakukan dengan bantuan kontrol ultrasonografi, fluoroskopi, atau CT-scan. Setelah pasien diposisikan tengkurap, kontras dimasukkan melalui ureter kateter sampai mengisi sistem pelviokalises. Fluoroskopidiposisikan dalamsudut 25-300 dari vertikal pada posisi aksial. Dilakukan insisi kecil pada tempat pungsi. Pungsi dapat dilakukan melalui kaliks superior, media, maupun inferior menggunakan jarum 18G yang diposisikan sehingga target pungsi, ujung jarum dan pangkal jarum berada dalam posisi segaris. Kedalamanpungsi dikontrol menggunakan fluoroskopi dalam posisi AP (anteroposterior), ketika jarum mencapai kaliks target dan obturator dilepas maka urin akan keluar dari jarum. Bila urin tidak keluar maka dapat dimasukkan kontras untuk menilai posisi pungsi apakah tepat masuk ke dalam sistem pelviokalises. (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011).

Lokasi batu dan stone burden menjadi pertimbangan dalam menentukan letak pungsi ginjal. Adapun beberapa pertimbangan anatomis secara umum menjadi pedoman dalam melakukan pungsi ginjal, yaitu: kaliks posterior lebih dipilih karena biasanya berada pada Brödel’s line, pungsi harus searah dengan infundibulum untuk mencegah perlukaan terhadap pembuluh darah serta memudahkan akses dan manuver nefroskop saat memecahkan batu. Pungsi sebaiknya dilakukan dengan pendekatan di bawah iga 12 untuk mengurangi risiko komplikasi terhadap pleura, bila pungsi supra kosta diperlukan maka hendaknya dilakukan pungsi saat paru ekspirasi penuh. Tujuan dari keseluruhan akses adalah dapat mengangkat batu terbesar dengan nefroskop yang rigid. Untuk batu kaliks biasanya pungsi diarahkan

(26)

langsung pada kaliks yang bersangkutan kecuali pada anterior kaliks, mengingat sudut yang tajam antara kaliks anterior terhadap pelvis sehingga batu kaliks anterior biasanya diraih melalui kaliks posterior dengan fleksibel nefroskop(Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011).

Pungsi suprakostal biasanya diperlukan pada beberapa kasus tertentu, seperti bila terdapat batu lebih banyak di kalikssuperior, striktur ureteropelvic junction yang membutuhkan endopielotomi, batu multipel di kaliks dan infundibulum pole bawah/ureter, batu cetakyang mayoritas pada kutub pole atas, dan batu pada ginjal tapal kuda (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011).

Sedangkan akses multipel dipertimbangkan pada kasus dimana tiap kaliks terdapat batu ukuran >2 cm yang tidak dapat dijangkau dengan akses primer menggunakan nefroskop rigid, atau batu dengan ukuran <2 cm namun tidak dapat dijangkau dengan akses primer menggunakan nefroskopfleksibel. Akses multipel memiliki potensi lebih besar terjadinya perdarahan, nyeri pasca operasi, lama rawat, biaya dan morbiditas yang lebih besar dibandingkan dengan akses tunggal (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005), Nugroho dkk. 2011).

(27)

Gambar 2.2 Pungsi pada kaliks inferior dipandu dengan USG (dikutip dari Hohenfellner et al, Manual Endourology, 2005)

Gambar 2.3Penciptaan working tract menggunakan metal dilator secara serial (dikutip dari Hohenfellner et al, Manual Endourology, 2005)

(28)

Gambar 2.4 Meletakkan sheath nefroskop pada pelvis ginjal (dikutip dari Hohenfellner Manual Endourology, 2005)

2.7 Lithotripsi

Untuk batu berukuran lebih dari satu cm membutuhkan fragmentasi dengan menggunakan litotriptor berupa laser, ultrasound, ballistic maupun EHL (Electro Hydrolic Lithotripsy) (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005; Nugroho dkk.

2011; Wein A. J et al, Campbell-Walsh Urology, 2016).

2.7.1 Ultrasound

Ultrasound adalah energi suara berfrekuensi tinggi 23000 – 25000 Hz.

Getaran dari probe yang berongga ditransmisikan ke batu menghasilkan fragmentasi.

Kekurangan dari ultrasound adalah membutuhkan scope yang semirigid dan probe- nya berukuran cukup besar. Litotriptor ultrasound memiliki angka keberhasilan

(29)

fragmentasi batu antara 69-100% (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011; Wein A. J et al, Campbell-Walsh Urology, 2016).

2.7.2 Ballistic

Lithotriptor ballistic memiliki energi yang berasal dari pergerakan metal proyektil. Energi tersebut diteruskan probe yang menempel pada batu sehingga menimbulkan efek seperti martil. Alat ini memiliki angka keberhasilan fragmentasi batu antara 73-100% dengan tingkatkeamanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan EHL, di mana insiden terjadinya perforasi mencapai 17,6% pada EHL dibandingkan dengan ballistic yang hanya 2.6% (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011; Wein A. J et al, Campbell-Walsh Urology, 2016).

2.7.3 Electrohydraulic lithotripsy (EHL)

EHL menggunakan tenaga listrik yang menyebabkan timbulnya percikan api dan menyebabkan kavitasi gelembung udara yang menghasilkan gelombang kejut sekunder atau mikrojet berkecepatan tinggi sehingga dapat menfragmentasi batu.

Keuntungan penggunaan EHL antara lain biaya yang lebih murah dibandingkan dengan laser. Probe EHL adalah komponen sekali pakai yang bergantung pada kekerasan batu sehingga mungkin diperlukan lebih dari satu probe untuk memecahkan batu. Probe EHL lebih fleksibel daripada fiber laser. Kerugian dari penggunaan EHL antara lain beberapa jenis batu sulit dipecahkan, tekanan tinggi dari ujung probe dengan jarak yang cukup jauh membuat batas keamanan alat ini

(30)

sempit, dan dapat menyebabkan perforasi saluran kemih (17,6%). Namun demikian angka keberhasilan fragmentasi batu EHL lebih tinggi dibandingkan dengan ballisticlithotripsy yaitu mencapai 90%(Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011; Wein A. J et al, Campbell-Walsh Urology, 2016).

2.7.4 Laser

Holmium YAG Laser saat ini dijadikan baku emas pada lithotripsi intrakorporeal. Medium aktif dari alat ini yaitu holmium dikombinasi dengan Kristal YAG. Pertama kali digunakan di bidang urologi pada tahun 1993 oleh Webb.

Panjang gelombang 2100 nm ditransmisikan lewat fibersilica yang fleksibel dan dapat digunakan pada endoskopi rigid maupun fleksibel. Energi dari Holmium YAGlaser menghasilkan efek fotothermal yang kemudian menyebabkan vaporisasi dari batu. Energi laser holmium YAG diabsorbsi kuat oleh air dan jangkauannya tidak lebih dari 0,5-1 mm pada medium cair, oleh karenanya alat ini memiliki batas keamanan yang cukup baik dalam mencegah kerusakan saluran kemih dan memiliki angkabebas batu yang cukup tinggi mencapai 90% (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011; Wein A. J et al, Campbell-Walsh Urology, 2016).

(31)

Gambar 2.5 Melakukan litotripsi (dikutip dari Hohenfellner Manual Endourology, 2005)

Gambar 2.6 Mengeluarkan fragmen batu dengan menggunakan grasper(dikutip dari Hohenfellner Manual Endourology, 2005)

(32)

Gambar 2.7 Evaluasi sistem pelviokalises untuk mencari sisa fragmen batu (dikutip dari Hohenfellner Manual Endourology, 2005)

2.8 Nefrostomi

Setelah selesai dilakukan PCNL maka penggunaan drainase nefrostomi biasanya dianjurkan. Pemasangan selang nefrostomi pasca PCNL memiliki beberapa tujuan antara lain sebagai tamponade perdarahan yang timbul dari jalur luka nefrostomi, memberikan kesempatan bekas pungsi ginjal sembuh, drainase urin, serta memberikan akses ke sistem pelviokalises bila dibutuhkan tindakan lanjutan PCNL (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011; Wein A.

J et al, Campbell-Walsh Urology, 2016).

Tubeless PCNL diindikasikan pada kasus dengan stone burden rendah dan pada prosedur yang sederhana, cepatserta tanpa komplikasi. Tindakan yang terakhir

(33)

pelviokalises (Hohenfellner et al, Manual Endourology 2005, Nugroho dkk. 2011;

Wein A. J et al, Campbell-Walsh Urology, 2016).

Gambar 2.8 Pemasangan nefrostomi (dikutip dari Hohenfellner Manual Endourology, 2005)

2.9 Guy’s Stone Score

Guy’s Stone Score adalah metode yang mudah dipahami, valid dan terpercaya untuk menjelaskan keadaan batu dan memprediksi angka bebas batu. . (Mandal et al, 2012

; Noureldin A, et al 2014, Thomas K, 2011)

Ahli bedah dapat menggunakan Guy’s stone score untuk membandingkan antara hasil kerjanya dan prediksi angka bebas batu menurut Guy’s stone score.

Selain itu juga dapat berguna untuk persiapan preoperatif dan durante operatif. . (Mandal et al, 2012 ; Noureldin A, et al 2014, Thomas K, 2011)

(34)

Tabel 2.1 Guy’s Stone Score (Thomas K et al, 2015)

skor Keterangan Ilustrasi

I  Batu solid di pole tengah/bawah dengan anatomi normal, atau

 Batu solid di pelvik dengan anatomi normal

II  Batu solid di pole atas dengan anatomi normal, atau

 Batu multipel dengan anatomi normal, atau

 Semua batu solid dengan anatomi tidak normal

III  Batu multipel dengan anatomi abnormal, atau

 Batu pada divertikel kaliks, atau

 Batu staghorn parsial

IV  Batu staghorn, atau

 Batu pada pasien spina bifida atau cedera spinal

(35)

Menurut penelitian Thomas dkk, distribusi jumlah pasien yang menjalani prosedur PCNL adalah 28 % (skor I), 34 % (skor II), 21 % (skor III), 17 % (skor IV). Dan angka bebas batu adalah 81 % (skor I), 72,4 % (skor II), 35 % (skor III), dan 29 % ( skor IV) (Thomas K et al, 2011)

Selain Guy’s Stone Score, ada dua sistem skoring juga yang diketahui penulis untuk memprediksi keberhasilan prosedur PCNL yaitu sistem skoring STONE nephrolithometry dan sistem skoring kompleksitas batu ginjal dari Universitas Nasional Seoul.(Jeong et al, 2013, Noureldin et al, 2015)

Selain Guy’s Stone Score, ada dua sistem skoring juga yang diketahui penulis untuk memprediksi keberhasilan prosedur PCNL yaitu sistem skoring STONE nephrolithometry dan sistem skoring kompleksitas batu ginjal dari Universitas Nasional Seoul.(Jeong et al, 2013, Noureldin et al, 2015)

Pada sistem skoring STONE membutuhkan CT Scan dan perhitungan HU dalam penentuan skornya, sementara sistem skoring kompeksitas batu ginjal dari Universitas Seoul membutuhkan pemeriksaan CT scan aksial dan koronal, walaupun tidak memperhitungkan jumlah dan ukuran batu. Selain itu sistem skoring kompeksitas batu ginjal dari Universitas Seoul belum terlalu banyak digunakan sentra pada penelitian-penelitian lain. .(Jeong et al, 2013, Noureldin et al, 2015) Sementara pada penelitian kami menggunakan pemeriksaan x-ray dan USG. Selain itu Guy’s stone score mulai diterima secara luas di dunia dan banyak penelitian yang berkaitan sudah dipublikasi.

(36)

2.9 Komplikasi berdasarkan ClavienGrading Score

Keberhasilan PCNL dalam penatalaksanaan batu ginjal yang besar mulai menggeser prosedur pembedahan terbuka. Walaupun minimal invasif, namun PCNL merupakan operasi besar yang memiliki resiko terjadinya komplikasi (Thomas et al, 2002).

Berdasarkan penelitian Unsal dkk, pada operasi PCNL terjadi komplikasi pasca operasi 29,3% dimana 23,9% berkaitan lansung dengan pembedahan dan 5,4%

berkaitan dengan komplikasi non pembedahan (Unsal et al, 2013).

Tabel 2.1 Clavien Grading Score (Degimenci et al)

Grade Defenisi keterangan

I  Beberapa keluhan pasca operasi yang tidak membutuhkan pembedahan, endoskopi dan intervensi radiologi

 Infeksi luka operasi yang terjadi saat rawatan

 Regimen terapi yang boleh diberikan: antiemetic,

antipiretik, diuretic, elektrolit dan fisioterapi Komplikasi minor II  Dibutuhkan penetalaksaaan farmakologi selain

regimen grade I

 Dibutuhkan tansfusi

 Dibutuhkan total parenteral nutrisi

III  Dibutuhkan operasi, endoskopi atau intervensi

(37)

IIIa  Intervensi tidak dibawah anestesi umum

Komplikasi mayor IIIb  Intervensi dibawah anestesi umum

IV  Komplikasi yang mengancam jiwa, yang membutuhkan penatalaksanaan ICU

IVa  Disfungsi satu organ (termasuk dialisa) IVb  Disfungsi lebih dari satu organ

V  Kematian

Gambar 2.9 Diagramhubungan antara Guy’s Stone Score dengan angka keberhasilan dan komplikasi pada pasien PCNL (Vicentini et al)

(38)

Tabel 2.2 Angka kejadian Komplikasi berdasarkan Clavien Grading Score (Ingimason et al)

Komplikasi

(berdasarkan Clavien Grade Score)

Ingimason dkk Thomas dkk

I 18 % 30 %

II 10 % 12 %

III 5 % 10 %

IV 4 % 0 %

V 0% 0 %

Tabel 2.3 Angka kejadian Komplikasi berdasarkan Clavien Grading Score (Ingimason et al)

Clavien score Unilateral (%)

Bilateral (%)

I 17,8 19,4

II 3,5 7,8

IIIa 0,9 3,1`

IIIb 2,5 0,8

IVa 1,2 0,8

IVb 0.7 1,6

V 0,2 0

(39)

Vicentini dkk, menyimpulkan dari penelitiannya bahwa semakin besar Guy Stone Score maka kemungkinan komplikasi yang timbul akan semakin besar pula.

Tabel 2.4 Angka kejadian kompilikasi berkaitan dengan Guy’s stone score (Vicentini et al)

Guy Stone Score 1 2 3 4

Angka komplikasi (%) 4,8 9,1 26,2 44,4

Lojanapiwat dkk, melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara Guy stone score dengan komplikasi minor berdasarkan Clavien Grading score. Degimenci et al dalam penelitiannya menyatakan bahwa usia pasien, tingkat hidronefrosis, kreatinin serum dan Hb pasien merupakan parameter yang signifikan dalam munculnya komplikasi.

Selain Clavien grading score, ada sistem skoring lain yang dapat memprediksikan angka kejadian komplikasi pasca operasi PCNL. System skoring ini disebut Charlson Comorbidity Index (disingkat CCI). Pasien dengan penyakit infark miokard, Congestive Heart Failure, peripheral vascular disease, dementia, penyakit cerebrovaskular, penyakit paru kronis, connective tissue disease, ulcer disease, mild liver disease, mild diabetes tanpa komplikasi diberi skor 1. Sementara hemiplegia, penyakit ginjal ringan sampai sedang, diabetes dengan gagal organ, tumor, leukemia dan limfoma diberi skor 2. Pasien dengan penyakit hati sedang sampai berat diberi skor 3 (Unsal et al, 2013).

(40)

Adapun kelebihan Clavien Grading Score adalah sistem skoring ini sangat sederhana, dan sering digunakan bukan hanya untuk penentuan skor komplikasi operasi pada batu ginjal saja, namun dapat juga digunakan untuk operasi-operasi lainnya. Selain itu juga penelitian yang berkaitan dengan Clavien Grading Score sudah banyak dipublikasikan pada jurnal-jurnal internasional.

2.10 Hubungan Guy’s Stone Score dengan Lama OperasiPCNL

Rivera et al, dalam penelitiannya terhadap 100 pasien yang menjalani PCNL mendapatkan rata-rata lama operasi 94,1 menit, dengan kisaran antara 41 sampai 210 menit. Hosseini et all, dalam penelitiannya mendapatkan rata-rata lama operasiPCNL65 menit dengan rata-rata acces time 6,4 menit (Hosseini, 2016).

Rivera et al. juga dalam penelitian lainnya membandingkan lama operasi PCNL dari batu unilateral dan bilateral, dimana didapatkan pada batu unilateral rata-rata lama operasinya 115,6 menit dan pada pasien dengan batu bilateral, rata-rata lama operasinya 176,9 menit.

Ingimarsson et al, menyatakan dalam penelitiannya rata-rata lama operasi pada pasien yang menjalani prosedur PCNL adalah 86 menit dengan kisaran 58 sampai 180 menit.Thomas et al, dalam penilitiannya menyatakan rata-rata lama operasi pada pasien yang menjalani prosedur PCNL 94 menit dengan kisaran 41 sampai 210 menit.. Namun dalam penelitian tersebut belum ada pengelompokan lama operasi berdasarkan GSS.

Beberapa penulis yang meneliti lama operasi pada prosedur PCNL sebagai

(41)

Tabel 2.5 Lama operasi PCNL dari berbagai penelitian (Rui et al., 2016)

Peneliti Tahun Lama Operasi

Basiri 2014 107 + 26

Lee 2014 110 + 54,6

Li 2014 116,8 + 44,4

Singh 2014 82,27 + 23,84

Haggag 2013 51,19 + 24,39

Telekli 2012 57,9 + 21,1

Al-Hanayan 2011 108,5 + 18,7

Vicentini dkk dan Lojanapiwat dkk dalam penelitiannya menyatakan ada hubungan bermakna ntara Guys Stone Score dengan rata-rata lama operasi PCNL.

Table 2.6 Rata-rata Lama operasi dihubungkan dengan Guy’s Stone Score

Guy Stone score 1 2 3 4

Rata-rata Lama operasi (menit)

Vi Lo Vi Lo Vi Lo Vi Lo

63 48,21 101,4 65,5 127,6 68,91 153,3 76,3

(Vicentini et al, Lojanapiwat et al) Keterangan

Vi : Vicentini dkk Lo : Lojanapiwat dkk

(42)

Menurut Jaipuria dkk, berdasarkan penelitiannya dinayatakan bahwa ada perbedaan lama operasi pada GSS1 sampai GSS4.

Tabel 2.7 Hubungan Guy’s Stone Score dengan Lama Operasi (Jaipuria et al) Guy’s Stone Score Lama Operasi

1 70

2 90

3 100

4 155

Berdasarkan CCI, didapati lama operasi pada CCI skor 1 63,8 menit, CCI skor 2 65,1 menit, dan CCI skor 3 70,6 menit (Unsal dkk, 2013).Menurut Sharma dkk, durasi operasi merupakan factor yang berhubungan dengan komplikasi infeksi.

Diamana pasien dengan durasi operasi 94,28 + 18,23 menit berhubungan dengan terjadinya febrile UTI dan urosepsis(Sharma et al, 2016).

Bansal dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa durasi operasi lebih dari 120 menit meningkatkan resiko terjadi infeksi dan SIRS (Bansal et al, 2017).

Ramaraju dkk juga menyatakan dalam penelitiannya bahwa durasi operasi berpengaruh secara signifikan dalam terjadinya SIRS pada pasien pasca PCNL (Ramaraju, 2016).

(43)

2.11 Kerangka Teori

(44)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat analitik dengan desain retrospektif.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Bedah Divisi Urologi RSUP H Adam Malik Medan selama 1 bulan.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian adalah semua pasien yang menjalani prosedur PCNL di RSUP H.

Adam Malik Medan. Sampelpenelitian adalah pasien yang menjalani prosedur PCNL di RSUP H Adam Malik Medan selama tahun 2017. Dikarenakan pada penelitian-penelitian sebelumnya tidak ada mencantumkan nilai r , maka nilai r pada perhitungan jumlah sampel dianggap 0,5 dan dihitung dengan rumus:

Zα + Zβ2

n = 0,5 ln 1+ r + 3 1 – r

1,96 + 0,8422

= 0,5 ln 1 + 0,5 + 3

(45)

= (5)2 + 3 = 28 ; maka jumlah sampel 28 orang

Keterangan:

n = jumlah sampel

Zα = deviat baku α (tingkat kesalahan baku tipe I) = 5%, maka Zα = 1.96 Zβ = deviat baku β (tngkat kesalahan baku tipe II) = 20 %, maka Zβ = 0,842 r = nilai koefsisen korelasi = 0,5

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Yang termasuk kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:

1. Pasien yang menjalani prosedur PCNL di Departemen Bedah Divisi Urologi RSUP H. Adam Malik Medan selama tahun 2017.

2. Pasien dengan data dasar pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, danterapi yang jelas dan lengkap.

3. Usia penderita > 18 tahun

Yang termasuk kriteria eksklusi pada pasien ini adalah:

1. Pasien yang sudah dilakukan tindakan ESWL atau endourologi sebelum dilakukan PCNL.

(46)

3.5 Kerangka Penelitian

pasien

PCNL

tindakan minimal invasif di bidang urologi yang bertujuan mengangkat batu ginjal dengan menggunakan akses perkutan untuk mencapai sistem pelviokalises

KRITERIA EKSKLUSI

Endourologi dan ESWlL sebelumnya (+)

Komplikasi mayor (+)  Clavien grading Score 3,4,5

KRITERIA INKLUSI

Menjalani PCNL di tahun 2017

Data, pemeriksaan fisik, penunjang dan terapi lengkap

> 18 tahun

Lama operasi Dimulai dari insisi lokasi punksi

sampaidipasang DJ stent atau nefrostomibila diperlukan

Komplikasi Minor menurut Clavien Grading Score Clavien Grading Score 1 dan 2

Grade 1

Beberapa keluhan pasca operasi yang tidak membutuhkan pembedahan, endoskopi dan intervensi radiologi,

Infeksi luka operasi yang terjadi saat rawatan

Regimen terapi yang boleh diberikan: antiemetic, antipiretik, diuretic, elektrolit dan fisioterapi

Grade 2

Dibutuhkan penetalaksaaan farmakologi selain regimen grade I

Dibutuhkan tansfusi

Dibutuhkan total parenteral nutrisi

Guy’s Stone Score

(47)

3.6 Identifikasi Variabel

Variabel yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari variabel dependen dan independen.Yang termasuk variabel independen dan dependen adalah:

Independen Dependen

Guy’s Stone Score  Lama Operasi

 Komplikasi minor Menurut Clavien Grading Score

3.7 Kerangka Konsep

3.8 Defenisi Operasional

1. Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) : tindakan minimal invasif di bidang urologi yang bertujuan mengangkat batu ginjal dengan menggunakan akses perkutan untuk mencapai sistem pelviokalises.

2. Lama Operasi : waktu yang dibutuhkan dimulai dari insisi pada lokasi punksi sampai pemasangan DJ stent atau nefrostomi jika diperlukan dalam satu prosedur PCNL.

3. Guy’s Stone Score adalah metode yang mudah dipahami, valid dan terpercaya untuk menjelaskan keadaan batu dan memprediksi angka bebas batu, yang diuraikan sesuai berikut:

Skor Guy

Lama Operasi

Komplikasi Minor

Menururt Clavien Grading Score

(48)

4. Clavien Grading Score adalah sistem skoring yang mengelompokkan komplikasi dari yang terendah 1 sampai tertinggi 5 (kematian)

5. Komplikasi minor : komplikasi grade 1 dan 2 menurut Clavien Grading Score 3.9 Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistik SPSS versi 20. Data karakteristik sampel dan rerata tersebut akan disajikan dengan tabel distribusi frekuensi. Distribusi data akan dilakukan uji normalitas terlebih dahulu. Pengujian hipotesis untuk melihat hubungan antara Guy’s Stone Score dengan komplikasi minor berdasarkan Clavien Grading Scoredan lama operasi harus dilakukan uji normalitas data terlebih dahulu, apa bila data terdistribusi normal maka dilakukan uji korelasi Pearson dan apabila terdistribusi tidak normal maka dilakukan uji korelasi Spearman.

3.10 Masalah Etika

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan data rekam medik. Selama penelitian data rekam medik dijaga kerahasiannya dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kode etik penelitian biomedik. Izin didapat dari Komisi Etika Penelitian Fakultas KedokteranUSU Medan.

(49)

BAB 4

HASIL PENELITIAN 4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang diambil langsung dari rekam medis pada pasien yang menjalani prosedur PCNL di RSUP H.

Adam Malik Medan selama tahun 2017 yang berjumlah 50 pasien dengan karakteristik sebagai berikut:

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%) Rerata Usia (Mean ± SD)

(Min, Maks)

52,06 ± 9,69 (25, 70) Jenis Kelamin

- Perempuan - Laki-laki

23 27

46 54 ASA

ASA I 44 88

ASA II 5 10

GSS Score

1 3 6

2 8 16

3 16 32

4 23 46

(50)

Clavien Grading Score

Komplikasi Minor (+) 37 74

Komplikasi Minor (-) 13 26

Demam Post Operasi

Demam (+) 4 8

Demam (-) 46 92

Rerata Lama Rawatan (Hari) (Mean ± SD)

7,16 ± 4,15

Rerata Lama Operasi (Menit) (Mean ± SD)

167 ± 23,56

Rerata Hb Pre Operasi (gr/dl) (Mean ± SD)

11,84 ± 1,92

Rerata Hb Post Operasi (gr/dl) (Mean ± SD)

10,80 ± 1,87

Berdasarkan tabel diatas didapati bahwa rerata usia subjek penelitian adalah 52,06 ± 9,69 tahun, dengan usia minimum 25 tahun dan usia maksimum 70 tahun.

Pada tabel terlihat bahwa jumlah penderita yang menjalani operasi PCNL adalah 27 (54%) laki-laki dan perempuan sebanyak 23 (46%) subjek. Pada pasien ditemukan

(51)

didapati 37 (74%) pasien mengalami komplikasi minor berdasarkan Clavien Grading Score. Sebanyak 46 (92%) pasien tidak mengalami demam post operasi dengan rerata lama rawatan 7,16 ± 4,15 hari. Rerata Guy’s Stone Score pada pasien ini adalah 3,18 ± 0,91. Rerata lama operasi pada keseluruhan pasien adalah 167 ± 23,56 menit. Rerata Hb pre operasi dan post operasi masing-masing adalah 11,84 ± 1,92 dan 10,80 ± 1,87 gram/dl.

4.1.2 Uji Normalitas Data

Uji normalitas dilakukan pada penelitian ini untuk melihat sebaran data dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji tersebut terdapat pada tabel 4.2. Didapatkan bahwa variabel usia, ASA, GSS, Clavien Grading Score, lama operasi, demam post operasi, lama rawatan seluruhnya memiliki nilai p<0,05 dan variabel Hb pre operasi dan post operasi memiliki nilai p>0,05 sehingga semua sebaran data pada penelitian ini berdistribusi tidak normal (data non parametrik).

Tabel 4.2 Hasil Uji Normalitas Data Menggunakan Kolmogorov-Smirnov

Variabel p value

Usia <0,001

ASA <0,001

GSS <0,001

Clevien Grading Score <0,001

Lama Operasi 0,033

(52)

Demam Post Operasi <0,001

Lama Rawatan <0,001

Hb Pre Operasi 0,200

Hb Post Operasi 0,200

4.1.3 Hasil Analisis Data

Karakteristik subjek penelitian yang dinilai pada penelitian ini mencakup variabel Guy’s Stone Score (GSS), lama operasi, dan komplikasi minor berdasarkan Clavien Grading Score. Pengujian hipotesis untuk melihat hubungan antara GSS dan komplikasi minor menurut Clavien Grading Scoredengan lama operasi PCNL dianalisis dengan uji korelasi Spearmandan kemudian melihat nilai p dari setiap pengujian hipotesis tersebut.

Tabel 4.3 Hasil Analisis Korelasi Spearman antaraGuy’s Stone Score dengan Lama Operasi PCNL

Guy’s Stone Score Lama Operasi PCNL (menit)

1 126,67 + 20,81

2 149,10 + 14,63 p < 0,001

3 4

171,80 + 12,17 189,63 + 13,22

r = 0.8

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman pada tabel di atas untuk melihat korelasi antara Spearman dengan Guy’s Stone Score

(53)

disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara GSS dengan lama operasi PCNL dilihat dari nilai p<0,001 dengan kekuatan korelasi baik (r = 0,8).

Tabel 4.4 Hubungan antara Guy’s Stone Score dengan Angka Komplikasi Minor Berdasarkan Clavien Grading Score Menggunakan Uji Korelasi

Spearman

Guy’s Stone Score

Komplikasi Minor (+)

Komplikasi Minor (-)

% Angka Komplikasi

Minor

r = 0,60 p = 0,40

1 2 1 66,7%

2 3 5 37,5%

3 14 2 87,5%

4 18 5 78,3%

Berdasarkan tabel diatas didapati bahwa dari 50 pasien yang menjalani operasi PCNL, didapati 37 (74%) pasien mengalami komplikasi minor. Dari 37 pasien tersebut, sebanyak 18 (78,3%) pasien berada pada kelompok GSS 4 dengan angka komplikasi minor 78,3%. Sedangkan jumlah pasien yang tidak mengalami komplikasi minor ada sebanyak 13 (26%) pasien. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara GSS dengan angka komplikasi minor berdasarkan Clavien Grading Score pada pasien yang menjalani operasi PCNL. Hal ini dapat dilihat dari nilai p>0,05 (p=0,40) yang terdapat pada tabel diatas.

(54)

BAB 5 PEMBAHASAN

Pada penelitian ini didapatkan bahwa rerata usia penderita yang menjalani operasi PCNL adalah 52,06 ± 9,69 tahun dengan umur terkecil 25 tahun dan terbesar 70 tahun. Pada penelitian Kumar et al. (2017) yang dilakukan di India, ditemukan bahwa rerata usia penderita tersebut adalah 40,8 ± 8,72. Begitu juga penelitian oleh Yang et al. (2016) didapatkan rerata usia adalah 51,07 ± 12,08 tahun.

Pasien yang menjalani operasi PCNL berdasarkan jenis kelamin paling banyak adalah laki-laki 27 (54%) pasien dan perempuan sebanyak 23 (46%) pasien.

Data penelitian oleh Yang et al. (2016) menunjukkan hasil yang sebanding dimana laki-laki (67,1%) lebih sering menjalani operasi PCNL dari pada perempuan dengan rasio laki-laki : perempuan adalah 2,027 (Kumar et al., 2017). Begitu juga pada penelitian oleh Bansal et al. (2017) didapatkan penderita yang menjalani operasi PCNL terbanyak pada laki-laki 59,1%.

Pada penderita ini berdasarkan ASA, paling banyak adalah ASA I sebanyak 44 (88%) pasien. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Palacios (2018) di Mexico yang menyatakan bahwa ASA 2 merupakan kelompok terbanyak (63,5%). Berdasarkan Guy’s Stone Score didapati bahwa pasien terbanyak pada kelompok GSS 4 sebanyak 23 (46%) pasien.. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Palacios (2018) di Mexico yang menyatakan bahwa terbanyak adalah GSS 1 33,3% pasien. GSS dapat digunakan sebagai parameter yang efektif dalam

(55)

2015). Hal ini terjadi karena RSUP H. Adam Malik adalah rumah sakit tipe A dimana di sitem rujukan di Indonesia berlaku sistem berjenjang dimulai dari fasilitas kesehatan tipe C sampai paling akhir tipe A. Sehingga pasien-pasien yang dirujuk ke RSUP H. Adam Malik pada umumnya sudah pada tahap lanjut, dalam penelitian ini adalah pasien-pasien dengan Guy’s Stone Score 3 dan 4,.

Pada penelitian ini didapati bahwa dari 50 pasien yang menjalani operasi PCNL, didapati 37 (74%) pasien mengalami komplikasi minor. Dari 37 pasien tersebut, sebanyak 18 (78,3%) pasien berada pada kelompok GSS 4. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Lojanapiwat et al.

(2016) menyatakan bahwa kelompok GSS 4 merupakan kelompok terbanyak yang mengalami komplikasi minor berdasarkan Clavien Grading Score. Pada penelitian kami pasien yang paling banyak mengalami komplikasi minor adalah pasien dengan Guy’s Stone Score 4 karena pada pasien-pasien tersebut pada umumnya sudah lama menderita penyakit batu ginjal, selain itu juga jumlah sampel dengan Guy’s Stone Score 4 adalah yang terbanyak, sehingga kemungkinan angka kejadian komplikasi minornya juga meningkat.

Pada penelitian ini,pasien yang tidak mengalami demam post operasi sebanyak 46 (92%) pasien dan 4 (8%) mengalami demam. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bansal (2017) di India yang menyatakan bahwa pasien dengan post operasi PCNL yang mengalami demam sebesar 16,5%.

Demikian juga penelitian oleh Yang et al. (2015) menyatakan hal yang sama bahwa 12,2% pasien yang mengalami demam post operasi PCNL. Yang et al. (2017) menyatakan demam post operasi PCNL terjadi jika suhu tubuh lebih dari 38oC dan

(56)

dirawat inap. Hal ini menunjukan bahwa untuk perawatan tahap pra, durante dan pasca operasi di RSUP h. Adam mMalik sudah cukup baik.

Mandal (2012) juga melaporkan insidensi untuk demam setelah operasi PCNL bervariasi mulai dari yang paling rendah 2,8% sampai paling tinggi 27,6%.

Hal in disebabkan perbedaan populasi pasien seperti adanya infeksi traktus urinarius, luka infeksi, urinoma, abses perinefritik, urosepsis, insufisiensi renal, batu infeksi, durasi operasi (<90menit), jumlah cairan irigasi, efek samping pemberian transfuse darah dan kebijakan dalam penggunaan antibiotik (Mandal, 2012). Singh et al.

(2015) juga menambahkan bahwa demam post operasi sering muncul paska operasi PCNL, namun progresifitas menjadi sepsis jarang dan sulit ditentukan siapa yang beresiko mengalaminya. Untuk meminimalisir keadaan tersebut maka dianjurkan untuk melakukan kultur urin dan mengobati infeksi saluran kemih selama preoperatif berdasarkan hasil kultur (Singh et al., 2015).

Rerata lama rawatan penderita yang menjalani operasi PCNL adalah 7,16 ± 4,15 hari. Yang et al. (2017) menyatakan pasien akan pulih dan pulang dari rumah sakit pada hari keenam setelah operasi.

Rerata lama operasi pada penelitian ini adalah 167 ± 23,56 menit. Hal ini mendekati penelitian yang dilakukan oleh Yang et al. (2017) menyatakan bahwa rerata lama operasi 133,66 ± 53,35 menit. Namun rerata lama operasi ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Kumar (2018) yaitu 75,51 ± 27,42 menit.

Demikian juga pada penelitian oleh Mandal (2012) menyatakan rerata lama operasi adalah 80 menit dengan rentang 45-180 menit. Sharma (2015) menyebutkan bahwa

(57)

semakin banyak dan beresiko tinggi terjadinya sepsis. Resiko infeksi berhubungan dengan jumlah irigasi cairan dan durasi operasi. Song (2015) juga berpendapat bahwa lama operasi juga mencerminkan kemampuan ahli bedah dalam melakukan tindakan PCNL, dan juga termasuk didalamnya waktu yang dibutuhkan dalam mereposisi pasien setelah dilakukan pemasangan kateter urin dan proses penghancuran batu, dan memastikan pasien bahwa telah dilakukan tindakan bebas batu pada tindakan tersebut. Perbedaan lama operasi ini disebabkan oleh karena seluruh operasi PCNL di RSUP H. Adam Malik Medan menggunakan pemasangan DJ stent, bahkan bila perlu sampai pemasangan nefrostomi.

Rerata Hb pre operasi dan post operasi secara berturut-turut pada penelitian ini adalah 11,84 ± 1,92 dan 10,80 ± 1,87. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Said et al. (2016) yang menyatakan bahwa terdapat penurunan kadar Hb sebesar 1,5 ± 1 gr/dl antara sebelum dan sesudah operasi PCNL. Mandal (2012) menyebutkan hal ini dikarenakan terjadinya kehilangan darah intraoperatif dan rendahnya kadar Hb preoperatif.

Hasil uji korelasi Spearman dalam penelitian ini untuk melihat hubungan antara GSS dengan lama operasi PCNL disimpulkan terdapat hubungan yang bermakna dilihat dari nilai p< 0,001dengan kekuatan korelasi baik (r = 0,8).

Hubungan yang bermakna ini juga serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Kumar (2017) dengan nilai p<0,001. Penelitian oleh Rui, et al. (2016) juga menyatakan terdapat hubungan yang signifikan dengan nilai p<0,001.

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji korelasi Spearman untuk melihat hubungan antara GSS dengan angka komplikasi minor berdasarkan Clavien Grading

(58)

Score didapatkan nilai p = 0,40berada pada kelompok GSS 4 dengan angka komplikasi minor 78,3% sehingga disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara GSS dengan komplikasi minor berdasarkan Clavien Grading Score pada pasien yang menjalani operasi PCNL. Hal ini serupa dengan penelitian oleh Kumar (2018) yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara GSS dengan komplikasi minor dengan nilai p = 0,054 . Hasil yang serupa juga didapatkan pada penelitian oleh Palacios (2018) yang menyatakan tidak terdapat hubungan antara GSS dengan komplikasi minor dilihat dari nilai p = 0,76 .

(59)

BAB 6

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh, maka simpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan yang signifikan antara GSS dengan lama operasi PCNL dilihat dari nilai p<0,001 (p=0,000) dengan kekuatan korelasi baik (r = 0,8).

2. Tidak terdapat hubungan antara GSS dengan komplikasi minor berdasarkan Clavien Grading Score pada pasien yang menjalani operasi PCNL (p=0,40)

3. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa semakain tinggi GSS maka operasi akan semakin lama, sehingga diharapkan penderita-penderita batu ginjal dating dalam keadaan awal sehingga penanganannya relatif lebih mudah, selain itu bagi klinisi juga dapat memperhitungkan lama operasi dan segala kemungkinan yang bisa terjadi, sehingga dapat disiapkan antisipasinya

6.2 Saran

1. Memberikan masukan dan sumbangan pemikiran kepada para klinisi untuk dapat menerapkan Guy’s Stone Score dan Clavien Grading Score

(60)

sebagai tolok ukur dalam prosedur PCNL dan menurunkan insidensi komplikasi yang dapat mengancam nyawa.

2. Memberikan masukan dan sumbangan pemikiran kepada rumah sakit untuk dapat memprediksi optimalisasi lama operasi berdasarkan Guy’s Stone Score sehingga dapat mengurangi beban rumah sakit.

3. Penelitian ini masih sangat sederhana. Untuk itu diperlukan penelitian yang lebih lanjut dengan sampel dan cakupan lokasi penelitian yang lebih besar agar didapatkan hasil yang lebih tepat dalam menggambarkan hubungan GSS dengan lama operasi dan komplikasi minor berdasarkan Clavien Grading Score, serta mengembangkan penelitian selanjutnya berdasarkan data yang ada.

(61)

DAFTAR PUSTAKA

Abdelhafez M.F, B. Amend, J. Bedke, S. Cruck, U. Nagele, A. Stenzi, D. Schilling, 2012. Minimally Invasive Percutaneous Nephrolithotomy : A Comparative Study of Management of Small and Large Renal Stones, Journal Urology, 81 (2), 241 – 245.

Aminsharifi A, A. Eslahi, A.R. Safarpour, S. Mehrabi, 2014, Stone Scattering During Percutaneous Nephrolithotomy : Role of Renal Anatomical Characteristics, Urolithiasis, 42, 435 – 439.

Bansal et al., 2017. Predictive Factors for Fever and Sepsis Following Percutaneous Nephrolithotomy: A Review of 580 Patients. Urology Anals 9(3), 230-233.

Binbay M, T.Akman, F. Ozgor, O. Yazici, E. Sari, A. Erbin, C. Kezer, O. Sarilar, Y.

Berberoglu, A.Y. Muslumanoglu, 2011, Does Pelvicaliceal System Anatomy Affect Success of Percutaneous Nephrolithotomy?, Journal Urology, 78(4), 733 – 737.

Hohenfellner R, Stolzenburg J.U, 2005, Manual Endourology, 1st ed, Springer, Heidelberg.

Kamphuis G.M, J. Baard, M Westendarp, J.J. de la Rosette, 2015, Lesson Learned from the CROES Percutaneous Nephrolithotomy Global Study, World Journal Urology, 33, 223 – 233.

Karami H, M.M. Mazloomfard, A. Golshan, T. Rahjoo, B. Javanmard, 2010, Does Age Affect Outcomes of Percutaneous Nephrolithotomy ?,Journal Urology, 7(1), 17 – 21.

(62)

Khorrami M, M. Hadi, M.M. Sichani, K. Nourimahdavi, M. Yazdani, F. Alizadeh, M.H Izadpanahi, F. Tadayyon, 2014, Peecutaneous Nephrolithotomy Succes Rate and Complications in Patients with Previous Open Stone Surgery, Urology Journal, 11(03), 1557 – 1562.

Kumar et al., 2017. STONE Score Versus Guy’s Stone Score – Prospective Comparative Evaluation for Success Rate and Complication in Percutaneous Nephrolithotomy. Urology Annals 10(1), 76-81.

Kyriazis I, V. Panagopoulos, P. Kallidonis, M.Ozsoy, M. Vasilas, E. Liatsikos, 2014, Complications in Percutaneous Nephrolithotomy, World Journal Urology, 33, 1069 – 1077.

Lojanapiwat B., 2013. The Ideal Puncture Approach for PCNL: Fluoroscopy, Ultrasound or Endoscopy?. Indian Journal of Urology 29(3), 208-213.

Mandal S, A. Goel, R. Kathpalia, S. Sankhwar, V. Singh, R.J. Sinha, B.P Singh, D.

Dalela, 2012, Prospective Evaluation of Complications Using the Modified Clavien Grading System and of Succes Rate of Percutaneous Nephrolithotomy Using Guy’s Stone Score : a Single-Center Experience, Indian Journal of Urology, 28(4): 392-398.

McAninch J.W, Lue T.F, 2013, Smith & Tanangho’s General Urology , 18th ed, McGraw Hill, New York.

Nerli R.B, S. Devaraju, M.B Hiremath, 2014, Training in Percutaneous Nephrolithotomy: A Structured Apprenticeship Program, Journal of the Scientific Society, 41(1), 26 – 31.

(63)

Noureldin Y.A, M.A Elkoushy, S. Andonian, 2015, Which is Better? Guys Versus S.T.O.N.E Nephrolithometry Scoring System in Predicting Stone Free Status Post Percutaneous Nephrolithotomy, World Journal Urology, 33(5), 1821 – 1825.

Nugroho D, P. Birowo, N. Rasyid, 2011, Percutaneous Nephrolithotomy sebagai Terapi Batu Ginjal, Majalah Kedokteran Indonesia, 61(3), 130 – 138.

Ortiz C.T, A.I. Martinez, A.J Morton, H.V Reyes, S.C. Feixas, J.F. Novo, E.F.

Miranda, 2014, Obesity in Percutaneous Nephrolithotomy. Is Body Mass Index Really Important?, Journal Urology, 84(3), 538 – 543.

Palacios et al., 2018. Rearrangement of the Guy’s Stone Score in Improves Prediction of Stone-Free Rate After Percutaneous Nephrolithotomy. Turkey Journal Urology, 44(1), 36-41

Prakash G, R.J. Sinha, A. Jhanwar, A. Bansal, V. Singh, 2017, Outcome of Percutaneous Nephrolithotomy in Anomalous Kidney : Is It Different ?, Urology Annals, 9(1), 23 – 26.

Purnomo B.B, 2011, Dasar-Dasar Urology, Edisi Ketiga, Sagung Seto, Jakarta.

Rui X et al., 2016. Comparison of Safety and Efficacy of Laparoscopic Pyelolithotomy Versus Percutaneous Nephrolithotomy in Patients with Large Renal Pelvic Stones: A Meta-Analysis. Journal of Investigating Medicine, 64, 1134-1142.

Said et al., 2016. Percutaneous Nephrolithotomy; Alarming Variables for Postoperative Bleeding. Arab Journal of Urology 15, 24-29.

Gambar

Gambar 2.2 Pungsi pada kaliks inferior dipandu dengan USG (dikutip dari  Hohenfellner et al, Manual Endourology, 2005)
Gambar 2.4 Meletakkan sheath nefroskop pada pelvis ginjal (dikutip dari  Hohenfellner Manual Endourology, 2005)
Gambar 2.5 Melakukan litotripsi (dikutip dari Hohenfellner Manual  Endourology, 2005)
Gambar 2.7 Evaluasi sistem pelviokalises untuk mencari sisa fragmen batu  (dikutip dari Hohenfellner Manual Endourology, 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembuatan tugas akhir ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Ahli Madya (A.Md) dalam bidang ilmu perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan

PENERAPAN SISTEM REKRUTMEN PESERTA DIDIK DALAM MENINGKATKAN MUTU LEMBAGA PENDIDIKAN DI SMPIT AL FITYAN SCHOOL GOWA Tesis Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

Tesis yang berjudul ”Penurunan Titik Awan Biodiesel melalui Penambahan aditif ester asam lemak bercabang&#34; merupakan salah satu syarat dalam menempuh ujian Magister di

Perawatan ortodonti adalah salah satu jenis perawatan yang dilakukan di bidang kedokteran gigi yang bertujuan mendapatkan penampilan dentofasial yang menyenangkan secara

perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user86.Sawi Monumen Sawi monumen tubuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi jenis ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya sendiri berwarna hijau segar. Jenis sawi ini tegolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya. D.Syarat Tumbuh Tanaman Sawi Syarat tumbuh tanaman sawi dalam budidaya tanaman sawi adalah sebagai berikut : 1.Iklim Tanaman sawi tidak cocok dengan hawa panas, yang dikehendaki ialah hawa yang dingin dengan suhu antara 150 C - 200 C. Pada suhu di bawah 150 C cepat berbunga, sedangkan pada suhu di atas 200 C tidak akan berbunga. 2.Ketinggian Tempat Di daerah pegunungan yang tingginya lebih dari 1000 m dpl tanaman sawi bisa bertelur, tetapi di daerah rendah tak bisa bertelur. 3.Tanah Tanaman sawi tumbuh dengan baik pada tanah lempung yang subur dan cukup menahan air. (AAK, 1992). Syarat-syarat penting untuk bertanam sawi ialah tanahnya gembur, banyak mengandung humus (subur), dan keadaan pembuangan airnya (drainase) baik. Derajat keasaman tanah (pH) antara 6–7 (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user9E.Teknik Budidaya Tanaman Sawi 1.Pengadaan benih Benih merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani. Kebutuhan benih sawi untuk setiap hektar lahan tanam sebesar 750 gram. Benih sawi berbentuk bulat, kecil-kecil. Permukaannya licin mengkilap dan agak keras. Warna kulit benih coklat kehitaman. Benih yang akan kita gunakan harus mempunyai kualitas yang baik, seandainya beli harus kita perhatikan lama penyimpanan, varietas, kadar air, suhu dan tempat menyimpannya. Selain itu juga harus memperhatikan kemasan benih harus utuh. kemasan yang baik adalah dengan alumunium foil. Apabila benih yang kita gunakan dari hasil pananaman kita harus memperhatikan kualitas benih itu, misalnya tanaman yang akan diambil sebagai benih harus berumur lebih dari 70 hari. Penanaman sawi memperhatikan proses yang akan dilakukan misalnya dengan dianginkan, disimpan di tempat penyimpanan dan diharapkan lama penyimpanan benih tidak lebih dari 3 tahun.( Eko Margiyanto, 2007) Pengadaan benih dapat dilakukan dengan cara membuat sendiri atau membeli benih yang telah siap tanam. Pengadaan benih dengan cara membeli akan lebih praktis, petani tinggal menggunakan tanpa jerih payah. Sedangkan pengadaan benih dengan cara membuat sendiri cukup rumit. Di samping itu, mutunya belum tentu terjamin baik (Cahyono, 2003). Sawi diperbanyak dengan benih. Benih yang akan diusahakan harus dipilih yang berdaya tumbuh baik. Benih sawi sudah banyak dijual di toko-toko pertanian. Sebelum ditanam di lapang, sebaiknya benih sawi disemaikan terlebih dahulu. Persemaian dapat dilakukan di bedengan atau di kotak persemaian (Anonim, 2007). 2.Pengolahan tanah Sebelum menanam sawi hendaknya tanah digarap lebih dahulu, supaya tanah-tanah yang padat bisa menjadi longgar, sehingga pertukaran perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user10udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap zat-zat makanan di dalamnya (AAK, 1992). Untuk tanaman sayuran dibutuhkan tanah yang mempunyai syarat-syarat di bawah ini : a.Tanah harus gembur sampai cukup dalam. b.Di dalam tanah tidak boleh banyak batu. c.Air dalam tanah mudah meresap ke bawah. Ini berarti tanah tersebut tidak boleh mudah menjadi padat. d.Dalam musim hujan, air harus mudah meresap ke dalam tanah. Ini berarti pembuangan air harus cukup baik. Tujuan pembuatan bedengan dalam budidaya tanaman sayuran adalah : a.Memudahkan pembuangan air hujan, melalui selokan. b.Memudahkan meresapnya air hujan maupun air penyiraman ke dalam tanah. c.Memudahkan pemeliharaan, karena kita dapat berjalan antar bedengan dengan bedengan. d.Menghindarkan terinjak-injaknya tanah antara tanaman hingga menjadi padat. ( Rismunandar, 1983 ). 3.Penanaman Pada penanaman yang benihnya langsung disebarkan di tempat penanaman, yang perlu dijalankan adalah : a.Supaya keadaan tanah tetap lembab dan untuk mempercepat berkecambahnya benih, sehari sebelum tanam, tanah harus diairi terlebih dahulu. perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user11b.Tanah diaduk (dihaluskan), rumput-rumput dihilangkan, kemudian benih disebarkan menurut deretan secara merata. c.Setelah disebarkan, benih tersebut ditutup dengan tanah, pasir, atau pupuk kandang yang halus. d.Kemudian disiram sampai merata, dan waktu yang baik dalam meyebarkan benih adalah pagi atau sore hari. (AAK, 1992). Penanaman dapat dilakukan setelah tanaman sawi berumur 3 - 4 Minggu sejak benih disemaikan. Jarak tanam yang digunakan umumnya 20 x 20 cm. Kegiatan penanaman ini sebaiknya dilakukan pada sore hari agar air siraman tidak menguap dan tanah menjadi lembab (Anonim, 2007). Waktu bertanam yang baik adalah pada akhir musim hujan (Maret). Walaupun demikian dapat pula ditanam pada musim kemarau, asalkan diberi air secukupnya (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). 4.Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan dalam budidaya tanaman sawi meliputi tahapan penjarangan tanaman, penyiangan dan pembumbunan, serta pemupukan susulan. a.Penjarangan tanaman Penanaman sawi tanpa melalui tahap pembibitan biasanya tumbuh kurang teratur. Di sana-sini sering terlihat tanaman-tanaman yang terlalu pendek/dekat. Jika hal ini dibiarkan akan menyebabkan pertumbuhan tanaman tersebut kurang begitu baik. Jarak yang terlalu rapat menyebabkan adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara di dalam tanah. Dalam hal ini penjarangan dilakukan untuk mendapatkan kualitas hasil yang baik. Penjarangan umumnya dilakukan 2 minggu setelah penanaman. Caranya dengan mencabut tanaman yang tumbuh terlalu rapat. Sisakan tanaman yang tumbuh baik dengan jarak antar tanaman yang teratur (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user12b.Penyiangan dan pembumbunan Biasanya setelah turun hujan, tanah di sekitar tanaman menjadi padat sehingga perlu digemburkan. Sambil menggemburkan tanah, kita juga dapat melakukan pencabutan rumput-rumput liar yang tumbuh. Penggemburan tanah ini jangan sampai merusak perakaran tanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan 2 minggu sekali (Anonim, 2007). Untuk membersihkan tanaman liar berupa rerumputan seperti alang-alang hampir sama dengan tanaman perdu, mula-mula rumput dicabut kemudian tanah dikorek dengan gancu. Akar-akar yang terangkat diambil, dikumpulkan, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah kering, rumput kemudian dibakar (Duljapar dan Khoirudin, 2000). Ketika tanaman berumur satu bulan perlu dilakukan penyiangan dan pembumbunan. Tujuannya agar tanaman tidak terganggu oleh gulma dan menjaga agar akar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung (Tim Penulis PS, 1995 ). c.Pemupukan Setelah tanaman tumbuh baik, kira-kira 10 hari setelah tanam, pemupukan perlu dilakukan. Oleh karena yang akan dikonsumsi adalah daunnya yang tentunya diinginkan penampilan daun yang baik, maka pupuk yang diberikan sebaiknya mengandung Nitrogen (Anonim, 2007). Pemberian Urea sebagai pupuk tambahan bisa dilakukan dengan cara penaburan dalam larikan yang lantas ditutupi tanah kembali. Dapat juga dengan melarutkan dalam air, lalu disiramkan pada bedeng penanaman. Satu sendok urea, sekitar 25 g, dilarutkan dalam 25 l air dapat disiramkan untuk 5 m bedengan. Pada saat penyiraman, tanah dalam bedengan sebaiknya tidak dalam keadaan kering. Waktu penyiraman pupuk tambahan dapat dilakukan pagi atau sore hari (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user13Jenis-jenis unsur yag diperlukan tanaman sudah kita ketahui bersama. Kini kita beralih membicarakan pupuk atau rabuk, yang merupakan kunci dari kesuburan tanah kita. Karena pupuk tak lain dari zat yang berisisi satu unsur atau lebih yang dimaksudkan untuk menggantikan unsur yang habis diserap tanaman dari tanah. Jadi kalau kita memupuk berarti menambah unsur hara bagi tanah (pupuk akar) dan tanaman (pupuk daun). Sama dengan unsur hara tanah yang mengenal unsur hara makro dan mikro, pupuk juga demikian. Jadi meskipun jumlah pupuk belakangan cenderung makin beragam dengan merek yang bermacam-macam, kita tidak akan terkecoh. Sebab pupuk apapun namanya, entah itu buatan manca negara, dari segi unsur yang dikandungnya ia tak lain dari pupuk makro atau pupuk mikro. Jadi patokan kita dalam membeli pupuk adalah unsur yang dikandungnya (Lingga, 1997). Pemupukan membantu tanaman memperoleh hara yang dibutuhkanya. Unsur hara yang pokok dibutuhkan tanaman adalah unsur Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K). Itulah sebabnya ketiga unsur ini (NPK) merupakan pupuk utama yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk organik juga dibutuhkan oleh tanaman, memang kandungan haranya jauh dibawah pupuk kimia, tetapi pupuk organik memiliki kelebihan membantu menggemburkan tanah dan menyatu secara alami menambah unsur hara dan memperbaiki struktur tanah (Nazarudin, 1998). 5.Pengendalian hama dan penyakit Hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah ulat daun. Apabila tanaman telah diserangnya, maka tanaman perlu disemprot dengan insektisida. Yang perlu diperhatikan adalah waktu penyemprotannya. Untuk tanaman sayur-sayuran, penyemprotan dilakukan minimal 20 hari sebelum dipanen agar keracunan pada konsumen dapat terhindar (Anonim, 2007). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user14OPT yang menyerang pada tanaman sawi yaitu kumbang daun (Phyllotreta vitata), ulat daun (Plutella xylostella), ulat titik tumbuh (Crocidolomia binotalis), dan lalat pengerek daun (Lyriomiza sp.). Berdasarkan tingkat populasi dan kerusakan tanaman yang ditimbulkan, maka peringkat OPT yang menyerang tanaman sawi berturut-turut adalah P. vitata, Lyriomiza sp., P. xylostella, dan C. binotalis. Hama P. vitatamerupakan hama utama, dan hama P. xylostella serta Lyriomiza sp. merupakan hama potensial pada tanaman sawi, sedangkan hamaC. binotalis perlu diwaspadai keberadaanya (Mukasan et al., 2005). Beberapa jenis penyakit yang diketahui menyerang tanaman sawi antara lain: penyakit akar pekuk/akar gada, bercak daun altermaria, busuk basah, embun tepung, rebah semai, busuk daun, busuk Rhizoctonia, bercak daun, dan virus mosaik (Haryanto et al., 1995). 6.Pemanenan Tanaman sawi dapat dipetik hasilnya setelah berumur 2 bulan. Banyak cara yang dilakukan untuk memanen sawi, yaitu: ada yang mencabut seluruh tanaman, ada yang memotong bagian batangnya tepat di atas permukaan tanah, dan ada juga yang memetik daunnya satu per satu. Cara yang terakhir ini dimaksudkan agar tanaman bisa tahan lama (Edy margiyanto,

perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user86.Sawi Monumen Sawi monumen tubuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi jenis ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya sendiri berwarna hijau segar. Jenis sawi ini tegolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya. D.Syarat Tumbuh Tanaman Sawi Syarat tumbuh tanaman sawi dalam budidaya tanaman sawi adalah sebagai berikut : 1.Iklim Tanaman sawi tidak cocok dengan hawa panas, yang dikehendaki ialah hawa yang dingin dengan suhu antara 150 C - 200 C. Pada suhu di bawah 150 C cepat berbunga, sedangkan pada suhu di atas 200 C tidak akan berbunga. 2.Ketinggian Tempat Di daerah pegunungan yang tingginya lebih dari 1000 m dpl tanaman sawi bisa bertelur, tetapi di daerah rendah tak bisa bertelur. 3.Tanah Tanaman sawi tumbuh dengan baik pada tanah lempung yang subur dan cukup menahan air. (AAK, 1992). Syarat-syarat penting untuk bertanam sawi ialah tanahnya gembur, banyak mengandung humus (subur), dan keadaan pembuangan airnya (drainase) baik. Derajat keasaman tanah (pH) antara 6–7 (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user9E.Teknik Budidaya Tanaman Sawi 1.Pengadaan benih Benih merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani. Kebutuhan benih sawi untuk setiap hektar lahan tanam sebesar 750 gram. Benih sawi berbentuk bulat, kecil-kecil. Permukaannya licin mengkilap dan agak keras. Warna kulit benih coklat kehitaman. Benih yang akan kita gunakan harus mempunyai kualitas yang baik, seandainya beli harus kita perhatikan lama penyimpanan, varietas, kadar air, suhu dan tempat menyimpannya. Selain itu juga harus memperhatikan kemasan benih harus utuh. kemasan yang baik adalah dengan alumunium foil. Apabila benih yang kita gunakan dari hasil pananaman kita harus memperhatikan kualitas benih itu, misalnya tanaman yang akan diambil sebagai benih harus berumur lebih dari 70 hari. Penanaman sawi memperhatikan proses yang akan dilakukan misalnya dengan dianginkan, disimpan di tempat penyimpanan dan diharapkan lama penyimpanan benih tidak lebih dari 3 tahun.( Eko Margiyanto, 2007) Pengadaan benih dapat dilakukan dengan cara membuat sendiri atau membeli benih yang telah siap tanam. Pengadaan benih dengan cara membeli akan lebih praktis, petani tinggal menggunakan tanpa jerih payah. Sedangkan pengadaan benih dengan cara membuat sendiri cukup rumit. Di samping itu, mutunya belum tentu terjamin baik (Cahyono, 2003). Sawi diperbanyak dengan benih. Benih yang akan diusahakan harus dipilih yang berdaya tumbuh baik. Benih sawi sudah banyak dijual di toko-toko pertanian. Sebelum ditanam di lapang, sebaiknya benih sawi disemaikan terlebih dahulu. Persemaian dapat dilakukan di bedengan atau di kotak persemaian (Anonim, 2007). 2.Pengolahan tanah Sebelum menanam sawi hendaknya tanah digarap lebih dahulu, supaya tanah-tanah yang padat bisa menjadi longgar, sehingga pertukaran perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user10udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap zat-zat makanan di dalamnya (AAK, 1992). Untuk tanaman sayuran dibutuhkan tanah yang mempunyai syarat-syarat di bawah ini : a.Tanah harus gembur sampai cukup dalam. b.Di dalam tanah tidak boleh banyak batu. c.Air dalam tanah mudah meresap ke bawah. Ini berarti tanah tersebut tidak boleh mudah menjadi padat. d.Dalam musim hujan, air harus mudah meresap ke dalam tanah. Ini berarti pembuangan air harus cukup baik. Tujuan pembuatan bedengan dalam budidaya tanaman sayuran adalah : a.Memudahkan pembuangan air hujan, melalui selokan. b.Memudahkan meresapnya air hujan maupun air penyiraman ke dalam tanah. c.Memudahkan pemeliharaan, karena kita dapat berjalan antar bedengan dengan bedengan. d.Menghindarkan terinjak-injaknya tanah antara tanaman hingga menjadi padat. ( Rismunandar, 1983 ). 3.Penanaman Pada penanaman yang benihnya langsung disebarkan di tempat penanaman, yang perlu dijalankan adalah : a.Supaya keadaan tanah tetap lembab dan untuk mempercepat berkecambahnya benih, sehari sebelum tanam, tanah harus diairi terlebih dahulu. perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user11b.Tanah diaduk (dihaluskan), rumput-rumput dihilangkan, kemudian benih disebarkan menurut deretan secara merata. c.Setelah disebarkan, benih tersebut ditutup dengan tanah, pasir, atau pupuk kandang yang halus. d.Kemudian disiram sampai merata, dan waktu yang baik dalam meyebarkan benih adalah pagi atau sore hari. (AAK, 1992). Penanaman dapat dilakukan setelah tanaman sawi berumur 3 - 4 Minggu sejak benih disemaikan. Jarak tanam yang digunakan umumnya 20 x 20 cm. Kegiatan penanaman ini sebaiknya dilakukan pada sore hari agar air siraman tidak menguap dan tanah menjadi lembab (Anonim, 2007). Waktu bertanam yang baik adalah pada akhir musim hujan (Maret). Walaupun demikian dapat pula ditanam pada musim kemarau, asalkan diberi air secukupnya (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). 4.Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan dalam budidaya tanaman sawi meliputi tahapan penjarangan tanaman, penyiangan dan pembumbunan, serta pemupukan susulan. a.Penjarangan tanaman Penanaman sawi tanpa melalui tahap pembibitan biasanya tumbuh kurang teratur. Di sana-sini sering terlihat tanaman-tanaman yang terlalu pendek/dekat. Jika hal ini dibiarkan akan menyebabkan pertumbuhan tanaman tersebut kurang begitu baik. Jarak yang terlalu rapat menyebabkan adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara di dalam tanah. Dalam hal ini penjarangan dilakukan untuk mendapatkan kualitas hasil yang baik. Penjarangan umumnya dilakukan 2 minggu setelah penanaman. Caranya dengan mencabut tanaman yang tumbuh terlalu rapat. Sisakan tanaman yang tumbuh baik dengan jarak antar tanaman yang teratur (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user12b.Penyiangan dan pembumbunan Biasanya setelah turun hujan, tanah di sekitar tanaman menjadi padat sehingga perlu digemburkan. Sambil menggemburkan tanah, kita juga dapat melakukan pencabutan rumput-rumput liar yang tumbuh. Penggemburan tanah ini jangan sampai merusak perakaran tanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan 2 minggu sekali (Anonim, 2007). Untuk membersihkan tanaman liar berupa rerumputan seperti alang-alang hampir sama dengan tanaman perdu, mula-mula rumput dicabut kemudian tanah dikorek dengan gancu. Akar-akar yang terangkat diambil, dikumpulkan, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah kering, rumput kemudian dibakar (Duljapar dan Khoirudin, 2000). Ketika tanaman berumur satu bulan perlu dilakukan penyiangan dan pembumbunan. Tujuannya agar tanaman tidak terganggu oleh gulma dan menjaga agar akar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung (Tim Penulis PS, 1995 ). c.Pemupukan Setelah tanaman tumbuh baik, kira-kira 10 hari setelah tanam, pemupukan perlu dilakukan. Oleh karena yang akan dikonsumsi adalah daunnya yang tentunya diinginkan penampilan daun yang baik, maka pupuk yang diberikan sebaiknya mengandung Nitrogen (Anonim, 2007). Pemberian Urea sebagai pupuk tambahan bisa dilakukan dengan cara penaburan dalam larikan yang lantas ditutupi tanah kembali. Dapat juga dengan melarutkan dalam air, lalu disiramkan pada bedeng penanaman. Satu sendok urea, sekitar 25 g, dilarutkan dalam 25 l air dapat disiramkan untuk 5 m bedengan. Pada saat penyiraman, tanah dalam bedengan sebaiknya tidak dalam keadaan kering. Waktu penyiraman pupuk tambahan dapat dilakukan pagi atau sore hari (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user13Jenis-jenis unsur yag diperlukan tanaman sudah kita ketahui bersama. Kini kita beralih membicarakan pupuk atau rabuk, yang merupakan kunci dari kesuburan tanah kita. Karena pupuk tak lain dari zat yang berisisi satu unsur atau lebih yang dimaksudkan untuk menggantikan unsur yang habis diserap tanaman dari tanah. Jadi kalau kita memupuk berarti menambah unsur hara bagi tanah (pupuk akar) dan tanaman (pupuk daun). Sama dengan unsur hara tanah yang mengenal unsur hara makro dan mikro, pupuk juga demikian. Jadi meskipun jumlah pupuk belakangan cenderung makin beragam dengan merek yang bermacam-macam, kita tidak akan terkecoh. Sebab pupuk apapun namanya, entah itu buatan manca negara, dari segi unsur yang dikandungnya ia tak lain dari pupuk makro atau pupuk mikro. Jadi patokan kita dalam membeli pupuk adalah unsur yang dikandungnya (Lingga, 1997). Pemupukan membantu tanaman memperoleh hara yang dibutuhkanya. Unsur hara yang pokok dibutuhkan tanaman adalah unsur Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K). Itulah sebabnya ketiga unsur ini (NPK) merupakan pupuk utama yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk organik juga dibutuhkan oleh tanaman, memang kandungan haranya jauh dibawah pupuk kimia, tetapi pupuk organik memiliki kelebihan membantu menggemburkan tanah dan menyatu secara alami menambah unsur hara dan memperbaiki struktur tanah (Nazarudin, 1998). 5.Pengendalian hama dan penyakit Hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah ulat daun. Apabila tanaman telah diserangnya, maka tanaman perlu disemprot dengan insektisida. Yang perlu diperhatikan adalah waktu penyemprotannya. Untuk tanaman sayur-sayuran, penyemprotan dilakukan minimal 20 hari sebelum dipanen agar keracunan pada konsumen dapat terhindar (Anonim, 2007). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user14OPT yang menyerang pada tanaman sawi yaitu kumbang daun (Phyllotreta vitata), ulat daun (Plutella xylostella), ulat titik tumbuh (Crocidolomia binotalis), dan lalat pengerek daun (Lyriomiza sp.). Berdasarkan tingkat populasi dan kerusakan tanaman yang ditimbulkan, maka peringkat OPT yang menyerang tanaman sawi berturut-turut adalah P. vitata, Lyriomiza sp., P. xylostella, dan C. binotalis. Hama P. vitatamerupakan hama utama, dan hama P. xylostella serta Lyriomiza sp. merupakan hama potensial pada tanaman sawi, sedangkan hamaC. binotalis perlu diwaspadai keberadaanya (Mukasan et al., 2005). Beberapa jenis penyakit yang diketahui menyerang tanaman sawi antara lain: penyakit akar pekuk/akar gada, bercak daun altermaria, busuk basah, embun tepung, rebah semai, busuk daun, busuk Rhizoctonia, bercak daun, dan virus mosaik (Haryanto et al., 1995). 6.Pemanenan Tanaman sawi dapat dipetik hasilnya setelah berumur 2 bulan. Banyak cara yang dilakukan untuk memanen sawi, yaitu: ada yang mencabut seluruh tanaman, ada yang memotong bagian batangnya tepat di atas permukaan tanah, dan ada juga yang memetik daunnya satu per satu. Cara yang terakhir ini dimaksudkan agar tanaman bisa tahan lama (Edy margiyanto,

Keamanan, Kesehatan, Keselamatan Kerja, dan Lingkungan (K3L) adalah bidang yang penting dalam manajemen perusahaan yang bertujuan untuk melindungi dan memastikan kesejahteraan karyawan serta menjaga kelestarian lingkungan tempat kerja. Konsep K3L mencakup serangkaian praktik dan kebijakan yang dirancang untuk mencegah kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, serta kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas perusahaan. Keamanan: Fokus pada upaya perlindungan terhadap karyawan dari potensi bahaya fisik dan kejahatan di tempat kerja. Ini meliputi penerapan sistem keamanan, pelatihan untuk tindakan darurat, penggunaan peralatan pelindung diri, dan penegakan aturan keselamatan di tempat kerja. Kesehatan: Berkaitan dengan upaya menjaga kesehatan fisik dan mental karyawan. Ini meliputi pencegahan penyakit akibat kerja, akses terhadap layanan kesehatan, program kesehatan dan kesejahteraan, serta promosi gaya hidup sehat. Keselamatan Kerja: Berfokus pada identifikasi, penilaian, dan pengendalian risiko di tempat kerja untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan cedera. Ini termasuk pembangunan budaya keselamatan, pelatihan keselamatan, audit keselamatan, dan penerapan prosedur kerja yang aman. Lingkungan: Melibatkan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan tempat kerja dan mencegah polusi serta kerusakan lingkungan. Ini termasuk pengelolaan limbah, konservasi sumber daya alam, penggunaan energi yang efisien, dan kepatuhan terhadap peraturan lingkungan. Dengan menerapkan praktik K3L yang baik, perusahaan dapat meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya akibat cedera dan penyakit, serta membangun citra perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. Selain itu, pemenuhan kriteria K3L juga seringkali menjadi persyaratan hukum dan regulasi yang harus dipatuhi oleh perusahaan untuk menjaga keberlanjutan operasional