• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERGERAKAN NA SIONAL PEMUD A ISLAM (Studi te ntang J ong Islamie te n Bo nd 192 5-19 42 )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERGERAKAN NA SIONAL PEMUD A ISLAM (Studi te ntang J ong Islamie te n Bo nd 192 5-19 42 )"

Copied!
197
0
0

Teks penuh

(1)

PERGERAKAN NA SIONAL PEMUDA ISLAM

(Studi tentang J ong Islamie te n Bo nd 192 5-19 42 )

SKRIPSI

Ole h:

Agustina Dwi Pramuji Astuti K 440 60 02

FAKULTAS KEGURUAN DA N ILMU PEND IDIKA N UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

PERGERAKAN NASIONAL PEMUDA ISLAM (Studi tentang J ong Islamie te n Bo nd 192 5-19 42 )

Ole h:

Agustina Dwi Pramuji Astuti K 440 60 02

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat me ndapatkan ge lar Sarjana Pro gram Studi Pendidik an Sejarah Jurusan Pe ndidikan

Ilmu Pengetahuan Sos ial

FAKULTAS KEGURUAN DA N ILMU PEND IDIKA N UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURA KARTA 2 01 0

(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Agustina Dwi P ramuji Astuti. K4 40 60 02. PERGERAKAN NASION AL PEMUDA ISLAM (STUDI TENTANG J ONG ISLAMIETEN BOND 19 25 -1 94 2). Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Jong Islamieten Bond, (2) Untuk mengetahui perkembangan Jong Islamieten Bond dan (3) Untuk mengetahui peranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942.

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode historis dengan langkah-langkah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis dengan melakukan kritik ekstern dan intern.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Latar belakang berdirinya Jon g Isla mieten Bon d (JIB) adalah adanya politik Islam Hindia-Belanda, diskriminasi dan sekularisasi dalam bidang pendidikan terhadap golongan Islam. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah Hindia-Belanda menyangkut masalah pendidikan telah menyebabkan tokoh-tokoh pribumi Islam yang menikmati pendidikan Barat justru semakin sadar akan kebangsaannya sekaligus keislamannya dan semakin bersemangat pula untuk menentang penjajahan. Hal tersebut mendorong munculnya kaum intelektual Muslim yang kemudian membentuk organisasi yang berasaskan Islam untuk mewadahi pergerakannya, yaitu dengan mendirikan Jong Islamieten Bond. (2) Jong Islamieten Bond didirikan pada tanggal 1 Januari 1925 atas prakarsa Sjamsoeridjal dan didukung H. Agus Salim. P ergerakan Jong Islamieten Bond didasarkan pada Islam dan nasionalisme Indonesia. Jong Islamieten Bond berkembang menjadi suatu wadah untuk mendidik kaum muda Islam hingga menjadi kader-kader yang mempunyai dasar keislaman yang kokoh dan Jong Islamieten Bond menjadi suatu organisasi yang secara politik sangat penting dalam pergerakan pemuda Islam dalam usaha untuk menumbangkan kekuasaan bangsa Belanda di Indonesia. (3) P eranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942 antara lain (a) menggagas nasionalisme Indonesia, (b) mendirikan Nation ale Indo nesische Padvin derij (NATIP IJ) dan (c) meningkatkan derajat pendidikan.

(6)

ABSTRACT

Agustina Dwi Pramuji Astuti. K4 40 60 02 . THE NATIONAL MOVEMENT OF ISLAM YOUTH (A STUDY AB OUT J ONG ISLAMIETEN B OND 192 5-19 42 ). Skripsi. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education. Sebelas Maret University. July 2010.

The aims of this research are: (1) To identify the background of Jong Islamieten Bond establishment, (2) To identify the development of Jong Islamieten Bond and (3) To identify the role of Jong Islamieten Bond as the part of Islamic youth organization in the field of national movement in 1925 to 1942.

This research was conducted by using the historical method through heuristic, critical, interpretation and historiography steps. The source of data used in this research was the secondary data. The technique of collecting data was done by library study, while, the technique of analyzing data used in this research was the historical analysis technique by doing internal and external critics.

(7)

MOTTO

P elajaran dalam hidup itu adalah hikmah, belajar dari sejarah.

"S esuatu yang hilang dari kaum muslimin adalah hikmah,

ambillah di mana pun ia berada"

(S abda R asulullah)

A gama I slam mendidik akal dan hati supaya jangan bergantung kepada

keduniaan. A kan tetapi tidak dengan jalan menjauhkan diri daripada ikhtiar

dan usaha.. A gama I slam adalah pedoman dan pandu (penunjuk jalan) yang

sempurna bagi manusia untuk kehidupannya di dunia, supaya siap ia

pada tiap-tiap waktu untuk menjalani jalan akhiratnya

(H aji A gus S alim)

K alau pemimpin-pemimpin kita jatuh, kita tidak boleh berdiam diri

berpangku tangan . K ita harus meneruskan pekerjaan mereka.

H anya satu obat saja yang dapat menyenangkan hati pemimpin-pemimpin

yang menjadi korban pergerakan, yaitu melihat kawan-kawannya terus bergerak

(A ktivis P ergerakan N asional)

S etiap apa yang kita lakukan (baik/ buruk) pasti ada balasannya..

A llah yang paling berhak memberi balasannya. D an terkadang balasannya

lebih dari apa yang kita lakukan sekarang. S erahkan semuanya kepada A llah

karena D ia-lah yang M aha A dil dan M aha B ijaksana.

B alasan-N ya itu pasti datang; cepat/ lambat, di dunia/ akherat.

D an kesabaran, keikhlasan, ketawakkalan serta keistiqomahanlah yang menjadi

kunci terbaik untuk menghadapi suatu ujian hidup dari-N ya

(T een’S )

(8)

PERSEMBAH AN

Dengan ra sa syuk ur atas ra hmat ALLAH SWT, karya ini penulis p ersembahka n kepada: Bapak dan Ib u tercin ta atas semua do ’a, p erhatian, k asih -sa yang, b imbingan

da n dukungannya sela ma ini

Mbak Novita d an Mas Wir: Dedek Azza m

Sa habat-sahabatku

S eseora ng ya ng k elak menjadi ”Imam”-ku (b aik d unia-akherat menurut-Nya

u ntuk ku. Amin)

Almamater

(9)

KATA PEN GANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi.

2. Drs. Saiful Bachri, M. P d., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu P engetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu P endidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah menyetujui permohonan ijin penyusunan skripsi.

3. Drs. Djono, M.P d., Ketua P rogram P endidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu P endidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin demi kelancaran penyusunan skripsi.

4. Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan saran yang membangun kepada penulis. 5. Drs. Djono, M.P d., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan

motivasi, bimbingan dan saran yang membangun kepada penulis.

6. Bapak dan Ibu Dosen P rogram P endidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini.

7. Teman-teman di P rodi Sejarah Angkatan 2006, keluarga besar; P erpus Sejarah, P PL Diponegoro’09, P erbuner’S serta semua sahabat-sahabatku di Solo, terima kasih atas semua bantuan, doa dan dukungannya.

(10)

8. Keluarga besar di Ngawi dan teman-teman; Mayapada khususnya angkatan V, Armadha, Leorsa, Winny, Mbak Lina serta semua sahabat-sahabatku di Ngawi, terima kasih atas semua doa dan dukungannya selama ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas amal baik semua pihak yang telah membantu di dalam penyelesaian skrispsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan, tetapi diharapkan penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan mahasiswa Program Pendidikan Sejarah, khususnya.

Surakarta, Juli 2010

Agustin a Dwi Pra muji Astu ti

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ...………... i

PENGAJUAN SKRIPSI ..………... ii

PERSETUJUAN ...……….... iii

PENGESAHAN …...………... iv

ABSTRAK ……...………. v

MOTTO ...……….. vii

PERSEMBAHA N ...………... viii

KATA PENGANTAR ……….... ix

DAFTAR ISI ……….. xi

DAFTAR LAMPIRA N ……….. xiii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Perumusan Masalah ……….. 16

C. Tujuan Penelitian ……….. 16

D. Manfaat Penelitian ……… 17

BAB II KAJIAN TEORI ………. 18

A. Tinjauan P ustaka ………... 18

1. Kolonialisme ………... 18

2. Politik Islam Hindia-Belanda ……….. 21

3. Elite Modern ... 25

4. Pergerakan Nasional ... 30

B. Kerangka Berpikir ………. 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….. 40

A. Tempat dan Waktu P enelitian ………... 40

B. Metode Penelitian ……….. 40

C. Sumber Data ……….. 42

D. Teknik Pengumpulan Data ……… 43

E. Teknik Analisis Data ………. 45

(12)

F. Prosedur P enelitian ……… 46

BAB IV HASIL P ENELITIAN ………. 52

A. Latar Belakang Berdirinya Jong Islamieten Bond ……. 52

1. Politik Islam Hindia Belanda ... 52

2. Munculnya Kaum Intelektual Islam ... 65

3. Peranan Raden Sjamsoeridjal Dalam Kelahiran Jong Islamieten Bond ... 76

B. Pekembangan Jong Islamieten Bond ... 81

1. Masa Awal Pergerakan Jong Islamieten Bond ... 81

2. Masa P erkembangan Pergerakan Jong Islamieten Bond ... 95

3. Masa Akhir Pergerakan Jong Islamieten Bond ... 99

C. Peranan Jong Islamieten Bond sebagai Bagian dari Organisasi Pemuda Islam Di K ancah Pergerakan Nasional Indonesia Tahun 1925-1942 .……….. 104

1. Menggagas Nasionalisme Indonesia ... 104

2. Nationale Indones ische Padvinderij (NATIP IJ) ... 107

3. Meningkatkan Derajat P endidikan ... 110

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN ……….. 112

A. Kesimpulan ……… 112

B. Implikasi ………. 114

C. Saran ……….. 117

DAFTAR P USTAKA ……….. 119

LAMPIRAN ………. 125

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Anggaran Dasar Jong Islamieten Bond ……… 127

2. Anggaran Rumah Tangga Jong Islamieten Bond ... 130

3. Pidato P ropaganda P ertama Sjamsoeridjal tentang ”S ik ap , Keyak inan d an cita -cita JIB” Di Weltevreden (Jakarta) ....………….. 135

4. Pidato Sjamsoeridjal Pada Kongres Pertama Jong Islamieten Bond Tanggal 25 Desember 1925 Di Yogyakarta ……… 142

5. Susunan P engurus Besar JIB Tahun 1931 ... 147

6. Daftar Ketua Umum Jong Islamieten Bond ... 148

7. Gambar/Foto Tokoh-tokoh Jong Islamieten Bond ... 159

8. Gambar/Foto Pergerakan Jong Islamieten Bond ... 150

9. Contoh Majalah Het Lich t/Al-Nu r ... 151

10.Jurnal... 152

11.Surat Keputusan Dekan FKIP ... 183

12.Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ... 184

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Be lak ang Masalah

Kelemahan kerajaan-kerajaan di Indonesia menyebabkan tertanamnya kekuasaan asing VOC. Keruntuhan VOC dan kekalutan di bidang keuangan mendorong dilaksanakannya cultu ur stelsel. Sistem ini di satu pihak mendatangkan kesengsaraan bagi bangsa Indonesia tetapi di lain pihak membawa keuntungan besar bagi Belanda, sehingga kelas menengah Belanda bisa bangkit kembali. Hal ini menyebabkan liberalisme unggul di Nederland. Cultuur stelsel dihapuskan dan diganti dengan usaha bebas (co rp orate system). Modal swasta mengalir, banyak perusahaan perkebunan, pertambangan dan transport serta bank-bank berdiri. Untuk menjamin kelangsungan perusahaan-perusahaan, daerah-daerah perlu disatukan dan diamankan (G. Moedjanto. 1988: 27).

Keputusan pemerintah Belanda kembali menerapkan sistem perkebunan dengan tanam paksa (cultuu r stelsel) bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak guna menutupi biaya perang yang luar biasa di Jawa dan perang dengan Belgia. Sistem ini mengenakan pajak pada tanaman tertentu dan sebagian dari hasilnya diolah oleh orang Indonesia di bawah pengawasan-pengawasan administratur-administratur Belanda sendiri dan di bawah penilikan yang sangat ketat dari pegawai-pegawai Eropa. Hasil bumi dari sistem yang diawasi ini harus diserahkan kepada pemerintah sebagai ganti pajak dalam bentuk uang (Robert Van Niel. 1994: 17). Cultuur stelsel yang diperkenalkan oleh Van den Bosch pada dasarnya memaksa rakyat untuk membayar pajak dengan hasil tanaman kepada pemerintah Belanda (Nico Thamiend R dan M. P . B. Manus. 2004: 30). Sistem perkebunan yang dilaksanakan di pulau Jawa, Menado dan Sumatra Barat dalam prakteknya telah menyengsarakan rakyat pribumi. Selain itu, adanya sistem rodi (kerja paksa tanpa dibayar) ditambah korupsi pegawai kumpeni pada waktu itu yang turut menghisap rakyat, pajak tanah dan pemerasan-pemerasan lain terhadap rakyat Indonesia maka mulai muncul kelaparan di berbagai daerah dan rakyat yang sudah miskin menjadi lebih miskin lagi.

(15)

Pelaksanaan sistem ini hanya menguntungkan pihak kolonial Belanda dan rakyat Indonesia hanya mendapatkan kesengsaraannya (Tim Museum Sumpah Pemuda. 2006: 6-8).

Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan cultuur stelsel tidak terlalu memberatkan rakyat bahkan Van den Bosch sendiri mengatakan apabila seseorang mau menggantikan kewajiban pembayaran pajaknya dengan bekerja selama 66 hari dalam setahun, maka kewajiban membayar pajak dianggap lunas. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sistem tersebut mengandung banyak penyimpangan yang sangat memberatkan rakyat. Di antara penyimpangan-penyimpangan itu misalnya luas tanah yang telah ditentukan dalam peraturan yaitu seperlima dapat dilebihkan hingga sepertiga, seperdua, bahkan tidak jarang seluruh desa tanahnya digunakan untuk menanam tanaman ekspor. Kegagalan panen juga sering dibebankan kepada rakyat. Kelebihan hasil panen yang seharusnya dibayarkan kembali kepada rakyat, ternyata bohong belaka. P ekerjaan di pabrik-pabrik gula ternyata jauh lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan di sawah. Banyak penduduk desa yang dikerahkan untuk kerja paksa di pabrik-pabrik, jalan-jalan raya, pembangunan jembatan, tanpa bayaran sedikit pun. Akibat langsung dari pelaksanaan cultuur stelsel ini antara lain kemiskinan dan kelaparan yang melanda beberapa daerah di pulau Jawa, seperti Cirebon, Demak, dan Grobogan. Di daerah-daerah ini ribuan orang mati karena kelaparan (Nico Thamiend R dan M. P . B. Manus. 2004: 31).

Pada masa pemerintahan Letnan Gubernur Jendral Raffles, Indonesia mengalami sistem politik liberal untuk pertama kalinya. Raffles memperkenalkan sistem pemerintahan liberal yang mengusahakan adanya kepastian hukum dan kebebasan di bidang ekonomi serta berusaha menghilangkan rodi dan mengganti penyerahan wajib hasil bumi dengan sistem sewa tanah (lan d-rent). Di samping itu Raffles juga berusaha untuk mengganti sistem pemerintahan tidak langsung dengan sistem pemerintahan langsung agar pemerintah Eropa dapat langsung memerintah rakyat pribumi (Suhartoyo Hardjosatoto. 1980: 87-88).

Kaum liberal menentang dengan keras eksploitasi yang dijalankan oleh pemerintah Belanda dan ingin menggantinya dengan inisiatif swasta. Untuk itu

(16)

kondisi ekonomi perlu diciptakan, yaitu dengan memberikan kebebasan bekerja dan menggunakan tanah. Dengan dibukanya daerah jajahan sesudah tahun 1870 untuk perusahaan swasta, maka semakin banyak modal yang ditanam dan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada kaum modal, baik untuk berusaha maupun berdagang. Kaum borjuis liberal menjadi tulang punggung kapitalisme kolonial dan berpegang teguh pada sistem kebebasan berusaha tanpa campur tangan pihak pemerintah (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. 1975: 17). Sehingga sejak tahun 1870-an sampai tahun 1900-an pengusaha swasta mulai mengadu keuntungan di pulau Jawa untuk mendapatkan kemakmuran yang besar dari usahanya tersebut. Kebanyakan perusahaan di pulau Jawa tersebut dimiliki atau diurus oleh kesatuan korporasi dan bank-bank di Eropa (Robert Van Niel. 1994: 18). Tetapi kondisi tersebut semakin memperburuk tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Karena kemakmuran dari keuntungan tersebut telah dikuasai para pengusaha kolonial dan rakyat Indonesia hanya dieksploitas i tanpa diperhatikan kesejahteraannya.

(17)

1994: 19-21). Dengan demikian liberalisme menghendaki dihapuskannya cultuure stelsel. Bagi kaum liberal ini adalah suatu prinsip. Selain golongan liberal terdapat juga golongan humanis yang juga menghendaki dihapuskannya cultuur stelsel. Para golongan liberal dan humanis tersebut melihat betapa menyedihkannya kehidupan rakyat Indonesia akibat diterapkannya cultur stelsel, di antaranya Baron van Hoevel, yang membela rakyat Indonesia dengan pidato-pidatonya di depan DPR Nederland. Berkat perjuangan golongan liberal dan golongan humanis, sedikit demi sedikit cultuur stelsel dihapuskan (G. Moedjanto: 19).

Dalam perkembangan selanjutnya muncul reaksi terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa, baik dilakukan di dalam parlemen maupun di luar parlemen dalam bentuk berbagai tulisan. Di antara para pengecam tersebut adalah de Wall, van Dedem, van Kol, van den Berg, Schaepman, Bool, van Nunen, van Deventer dan Douwes Dekker. Penentang sistem tanam paksa sebenarnya tidak hanya terdiri dari golongan pemilik modal saja, tetapi juga dilakukan oleh siapa saja yang mengetahui dan mendengar penderitaan petani Indonesia sehingga merasa iba. Golongan yang terakhir ini antara lain ialah Vitales, Bosch, dan van Hoevell (Suhartoyo Hardjosatoto. 1980: 90-91).

Politik Etis atau balas budi merupakan sebuah haluan politik yang di jalankan oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1900-1942. Politik itu didasarkan pada pertimbangan bahwa negara Belanda telah banyak berhutang budi kepada rakyat Indonesia (pribumi) selama berabad-abad. Hal itu disebabkan sejak zaman VOC hingga masa kolonial liberal sebagian besar kekayaan bangsa Indonesia dikeruk dan dibawa ke negara Belanda. Dengan demikian, yang banyak menikmati keuntungan hasil bumi dan jerih payah bangsa Indonesia adalah bangsa Belanda. Untuk itu bangsa Belanda mempunyai kewajiban untuk membalas budi pada bangsa Indonesia dengan cara memikirkan nasib dan kesejahteraan rakyat Indonesia (pribumi) (Cahyo Budi Utomo. 1995: 41). Tetapi dalam prakteknya politik tersebut lebih cenderung untuk menguntungkan pihak Belanda. Bidang pendidikan (edu k a si) yang bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat penduduk pribumi dari kebodohan ternyata dalam prakteknya banyak ditujukan untuk mencetak tenaga administrasi dan tenaga birokrasi bagi

(18)

pihak Belanda. Selain itu penduduk pribumi juga dipekerjakan sebagai buruh di perusahaan-perusahaan swasta asing. Segi positif dari adanya pilitik etis bagi rakyat Indonesia adalah dapat mendorong perubahan dan pertumbuhan sosial di kalangan penduduk pribumi. Hal tersebut terjadi karena banyak penduduk pribumi yang kemudian mengenyam pendidikan Barat yang pada akhirnya dapat mengubah pola pemikiran yang masih tradisional menuju pola pemikiran yang lebih modern agar dapat memasuki dunia birokrasi baru dalam tatanan masyarakat Hindia-Belanda (Robert Van Niel. 1994: 22). P ada sekitar tahun 1900-1925, pemerintah kolonial Belanda banyak membangun kantor-kantor dinas, seperti dinas pertanian, perikanan, kerajinan, kesehatan dan peternakan. Selain itu, dibangun pula bank, pasar, dan sejenisnya. Sehingga banyak lulusan bumi putera yang di tempatkan Belanda pada instansi-instansi tersebut sebagai pegawai rendahan.

Politik Etis secara resmi diproklamirkan sebagai politik kolonial baru, dalam pidato kenegaraan Ratu Willhemnina pada bulan September 1901. Dikatakannya bahwa politik etis perlu diterapkan di Hindia-Belanda, karena Nederland mempunyai kewajiban moral yang harus dipenuhi. Dalam usaha memenuhi tuntutan politik etis, pemerintah mulai membangun sejumlah sekolah disertai dengan pengadaan tenaga-tenaga guru. Sistem yang diterapkan disesuaikan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di negara-negara Barat. Hal ini dimaksudkan memberi kesempatan bagi siswa-siswa yang mampu untuk dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, bahkan dapat melanjutkan ke negeri Belanda. Tingkat pendidikan saat itu terbagi atas dua kategori, yaitu Lag er Ond erwijs (pendidikan rendah) dan Midd elba r On derwijs (pendidikan menengah) (Nico Thamiend R dan M. P. B. Manus. 2004: 98-99).

(19)

pekerjaan-pekerjaan di bidang pemerintahan (Selo Sumardjan. 1986: 43). Namun di pihak lain, sebagian penduduk bumi putera telah sadar bahwa pendidikan merupakan alat yang utama untuk mencapai kemajuan bangsa. Hal ini tampak pada hasrat penduduk bumi putera untuk menuntut pendidikan yang lebih tinggi, tidak hanya di sekolah menengah yang sudah diadakan pemerintah, namun ada juga di antaranya yang meneruskan pelajarannya di negeri Belanda. Kecerdasan mereka untuk mengidentifikasikan situasi kolonial memainkan peranan yang terarah pada masa depan. Diperkenalkannya berbagai macam ilmu di sekolah dan paham-paham baru memungkinkan mereka untuk mengkaji semua aspek dalam masyarakat dan membandingkan pengaruhnya antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kesimpulannya menunjukkan bahwa adanya persamaan nasib yang buruk dari daerah-daerah itu akibat penjajahan dan adanya tekad bersama untuk memperbaikinya (Ricklefs. 1991: 24).

Keturunan bangsawan atau kerabat raja yang memerintah suatu daerah pada umumnya terbagi lagi dalam beberapa tingkatan dengan gelar yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat hubungannya dengan raja. Boleh dikatakan, sifatnya yang turun-menurun itu tidak pernah berubah sampai akhir abad ke-19. Karena itu para keturan atau kerabat raja tersebut sebagai elite, biasa disebut elite tradisional atau elite daerah. Yang disebut elite adalah suatu kelompok yang berpengaruh dalam sesuatu lingkungan atau masyarakat (Nugroho Notosusanto dan Yusmar Basri. 1987: 23). Kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial dalam masyarakat.

Semakin luasnya daerah kekuasaan Belanda maka tidak memungkinkan bagi pihak Belanda untuk mengelola sendiri daerah-daerah kekuasaannya tersebut terutama dalam bidang pengelolaan administrasi pemerintahan. Rakyat daerah jajahan yang telah mendapatkan pendidikan Barat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan Belanda akan tenaga administrasi sehingga pegawai pemerintah mulai dipenuhi oleh penduduk pribumi yang berpendidikan. Kondisi itulah yang dapat mendorong terjadinya perubahan dan pertumbuhan sosial di kalangan penduduk pribumi. Rakyat pribumi tersebut ditempatkan dalam birokrasi pemerintahan Belanda di daerah jajahan karena dianggap lebih memahami seluk-beluk daerah

(20)

jajahan Belanda dibandingkan dengan pemerintah Belanda sendiri sehingga memudahkan pihak Belanda untuk mengatur daerah jajahannya selain pemerintah kolonial tersebut dapat menggaji para pegawai pribumi dengan gaji yang murah. Ternyata penerapan politik etis Belanda menjadi bumerang bagi bangsa Belanda sendiri. Politik etis mampu menumbuhkan kesadaran baru bagi rakyat yang sebelumnya terisolasi dari ilmu pengetahuan dan akhirnya mampu memahami kondisi yang tertindas.

Fakta akan adanya dominasi dan kesenjangan kelas semakin kentara dan tidak bisa ditutup-tutupi. Hal inilah yang menjadi latar belakang utama kemunculan gerakan-gerakan pembebasan yang pada akhirnya menjadi tonggak munculnya pergerakan nasional di Indonesia. Gerakan-gerakan ini banyak didominasi oleh kelompok muda intelektual atau elit modern yaitu mahasiswa sebagai akibat dari adanya politik etis yang diterapkan oleh bangsa kolonial di tanah jajahannya. Kelompok muda intelektual tersebut kemudian membentuk organisasi-organisasi pemuda sebagai wadah pergerakan nasional untuk mencapai cita-cita yang diinginkan (http://p miity08 .wordp ress.com diakses tanggal 4 Agustus 2009).

(21)

perjuangannya. Organisasi yang teratur dan modern diperlukan untuk mewujudkan ide nasionalisme itu (Cahyo Budi Utomo. 1995: 14).

Bentuk kerjasama dalam perkumpulan organisasi modern itulah yang mengantarkan bangsa Indonesia dalam suatu ikatan persatuan dan kesatuan. Hal ini telah menimbulkan rasa khawatir, takut dan curiga dari pemerintah kolonial. Belanda menyadari akibat tidak langsung dari pelaksanaan politik etis yakni semakin mengkristalnya rasa dendam bangsa Indonesia terhadap penguasa. Sebagai langkah lebih jauh, Belanda menerapkan pengawasan ketat terhadap semua organisasi yang ada pada masa itu.

Di Indonesia gerakan mahasiswa mendapat suatu legitimasi sejarah atas keturutsertaannya terlibat dalam gerakan kemerdekaan dan semenjak berdirinya negara menjadi bagian yang diakui dari sistem politik. Jika ditelusuri, misalnya perjuangan kemerdekaan nasional yang didorong oleh Soekarno lewat kelompok-kelompok studinya, Hatta lewat Perhimpunan Indonesia-nya, ternyata efektif dan mampu secara luas membangkitkan perasaan untuk sesegera mungkin lepas dari belenggu kolonialisme. Kelompok yang dulunya disebut ”pemuda pelajar” ini menjadi semacam ”martil kelompok terdidik” yang membawa angin perubahan untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat akan kemerdekaan (h ttp://pmiity0 8.wo rd press.com diakses tanggal 4 Agustus 2009).

Peran pemuda dalam kehidupan bangsa sudah sangat jelas kiranya, apabila kita lihat dari perspektif historis. Bahwa pemuda merupakan elemen strategis dalam perjuangan mencapai maupun mengisi kemerdekaan. Pemuda, dalam konteks ini biasanya terwadahi dalam organisasi-organisasi sosial-kemasyakatan pemuda, maupun partai-partai politik. P ada masa pergerakan nasional yang dimulai sejak tahun 1908, para pemuda terpelajar mengawalinya dengan pendekatan organisatoris tersebut, ditandai dengan hadirnya Boedi Oetomo. Sejak itu, pada masa-masa selanjutnya, organisasi kepemudaan hadir dan mewarnai dinamika pergerakan nasional antara lain SD I/SI, PNI, IP, Ind ische Vereenig ing , Jong Ja va , Jong Borneo, Jo ng Sumatra, Jo ng Celebes, Jong Amb on ,

Jo ng Islamieten Bon d, Jon g Celebes, Perhimp una n Indo nesia dan sebagainya

(h ttp://sman sa ga ra nten.sch.id diakses tanggal 4 Agustus 2009).

(22)

Kelahiran organisasi pergerakan kebangsaan tersebut merupakan reaksi terhadap kondisi yang telah diciptakan penjajah. Akibat penerapan-penerapan sistem politik sejak VOC sampai diterapkannya cultuure stelsel, dilanjutkan sistem liberal dengan masuknya modal-modal swasta asing secara bebas, telah berakibat negatif terhadap perekonomian rakyat Indonesia pada masa itu. Rakyat hidup miskin, tidak dapat menikmati kesempatan pendidikan dan tidak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki nasibnya, baik dalam bidang material maupun spiritual. Tumbuh dan berkembangnya pergerakan kebangsaan Indonesia sangat dipengaruhi oleh suasana kesengsaraan dan kemelaratan rakyat serta kebodohan rakyat. Tetapi justru kemiskinan lahir batin yang luar biasa itulah yang menjadi jiwa dan pendorong para pelajar pada waktu itu untuk segera mendirikan suatu organisasi pergerakan kebangsaan (Cahyo Budi Utomo. 1995: 44-45).

Organisasi-organisasi yang muncul dalam pergerakan kebangsaan Indonesia dengan demikian mempunyai fungsi lebih jelas yang dapat dijadikan sebagai suatu alat untuk menciptakan kekuatan sosial dengan tujuan akhirnya untuk menumbangkan atau menghapus strata sosial yang tidak menguntungkan yang diciptakan oleh pemerintah penjajah. Organisasi pergerakan telah berfungsi sebagai media penyalur rasa ketidakpuasan sosial masyarakat (Cahyo Budi Utomo. 1995: 34). Selain organisasi-organisasi yang mendasarkan diri pada ikatan teritorial, kultural dan etnisitas, pada awal abad ke-20 di Hindia-Belanda juga muncul organisasi pemuda yang bernafaskan keagamaan. Yang paling besar adalah Jo ng Isla mieten Bo nd (JIB) (Cahyo Budi Utomo. 1995: 123).

(23)

partai-partai Islam serta sarana lain yang bertujuan menyebarkan Islam. Di samping elite tradisional yang berdasarkan keturunan itu muncul juga ulama kharismatik. Di sini kedudukan para ulama kharismatik yang berada di lapisan atas sukar untuk diturunkan pada anak cucunya. Hal ini dapat jumpai pada pemuka-pemuka agama, sebagai pemimpin rohani, seperti ulama-ulama dan kyai yang sangat berpengaruh tidak hanya di daerahnya tetapi jauh melampaui batas-batas daerahnya. Keadaan ini menyebabkan kadang-kadang pengaruh dan peranannya melebihi pengaruh raja atau golongan bangsawan. P erlawanan-perlawanan daerah, terutama yang terjadi pada abad yang lalu, baik yang ditujukan kepada kolonialis dan kapitalis asing maupun kepada elite tradisional, dipimpin oleh elite agama. Pengaruhnya tidak diikat melalui lembaga pemerintahan (kerajaan), melainkan melalui perguruan yang didirikannya baik berupa pesantren maupun surau (Nugroho Notosusanto dan Yusmar Basri. 1987: 23-24).

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa kehidupan pesantren berpusat pada kyainya. Tidak jarang terjadi bahwa sebuah pesantren yang tersohor mengalami kemunduran dalam pergerakannya karena meninggalnya kyai yang bersangkutan. Hal ini terutama terjadi apabila pengganti kyai itu tidak sama keahlian dan kepopulerannya dengan kyai yang digantikan. Pengaruh kyai atau guru mengaji pada masa itu tidaklah terbatas hanya dalam pesantren atau suraunya saja, tetapi juga terasa ke seluruh desa. Kyai yang bersangkutan dimuliakan oleh segenap penduduk desa sehingga biasanya para kyai tersebut tidak ditinggalkan orang sekampung dalam hal-hal penting yang terjadi atau yang dibicarakan di kampung itu. Dalam soal sehari-hari pun pendapat dan nasihatnya sering diminta dan dijadikan sebagai panutan oleh orang-orang di kampungnya (Deliar Noer. 1990: 18).

Pemikiran kolonial Belanda tehadap Islam Indonesia, pada awalnya dilandasi oleh pandangan yang keliru. Islam dibayangkan sebagai sebuah agama yang diorganisasikan secara ketat. P andangan tersebut berdasarkan pada hubungan antara umat Islam Indonesia dengan para Sultan Islam di luar negeri, hubungan tersebut dipandang seperti hubungan antara umat Katholik dengan P aus

(24)

di Roma. Menurut Belanda, Islam dalam kehidupannya sudah diatur dengan hukum Islam secara menyeluruh termasuk dalam hubungan internasionalnya, Islam dengan demikian dianggap sebagai musuh yang ditakuti. Ketakutan ini telah mendorong Belanda untuk merumuskan sebuah politik aliansi dengan elemen di dalam tubuh masyarakat Indonesa terutama para pangeran dan priyayi Jawa. Raja-raja dan kepala adat di luar pulau Jawa yang karena alasan politiknya sendiri terkenal sebagai penganut Islam yang tidak telalu fanatik atau bahkan musuh terang-terangan Islam (H. J. Benda. 1980: 38-39).

Pemerintah Hindia-Belanda yang berkuasa di Indonesia pada masa itu dihadapkan dengan kenyataan bahwa sebagian besar penduduk yang dijajah adalah beragama Islam. Kurangnya pengetahuan tentang Islam membuat pemerintah Hindia-Belanda tidak berani mencampuri agama Islam secara langsung (Darmansyah, dkk. 2006: 1). Sebelum Snouck Hurgonje, politik pemerintah Belanda terhadap Islam memang didasarkan pada perasaan takut dan sikap tidak mau mencampuri. Hasrat untuk menjauhkan diri dari campur tangan terhadap Islam, misalnya menyangkut masalah pembangunan masjid-masjid. Untuk pembangunan masjid-masjid tidak atau jarang sekali diberikan bantuan keuangan oleh pihak pemerintah. P emerintah menyatakan, ”Negara, dengan sendirinya, tidak semestinya campur tangan dengan pembangunan atau dengan perbaikan bangunan-bangunan suci agama Islam” (G. F. P ijper. 1987: 239). Tetapi, kebijakan untuk tidak mencampuri Islam dianggap tidak konsisten karena tidak adanya garis yang tegas. Hal tersebut terbukti dalam penanganan masalah haji, pemerintah Hindia-Belanda ternyata tidak bisa menahan diri untuk tidak campur tangan, justru para haji sering dicurigai, dianggap fanatik dan pemberontak. Bahkan pada tahun 1859, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan bila perlu demi kepentingan negara setiap gerak-gerik para ulama harus diawasi (Aqib Suminto. 1985: 11).

(25)

dan pengukuhan agama Islam. Rasa puas yang semakin besar dapat dicapai, jika pemerintah dapat memutuskan untuk meniadakan sama sekali peraturan-peraturan yang oleh kaum Muslim dirasakan sebagai penghambat mengenai kebebasan pelaksanaan beribadah (G. F. Pijper. 1987: 252-253).

Di kalangan umat Islam Indonesia timbul pula kesadaran untuk berorganisasi. Rasa persatuan di kalangan umat Islam mulai terpupuk hingga melahirkan suatu pergerakan yang sangat penting artinya bagi nasionalisme Indonesia. Di jaman VOC ulama sangat keras melawan Belanda dan pemerintah Belanda juga bertindak keras karena pengaruh Islam pada waktu itu dirasa sangat mengkhawatirkan pemerintah jajahan. Tetapi sebaliknya bagi bangsa Indonesia, pengaruh agama Islam yang besar itu telah menciptakan nasonalisme di kalangan rakyat Indonesia (C. S. T. Kansil dan Julianto. 1983: 24-25).

Suatu faktor penting yang menimbulkan nasionalisme yang kental adalah persamaan agama, yakni 90 % penduduk Indonesia beragama Islam. Apabila gerakan nasionalisme yang berawal di Jawa itu meluas ke daerah-daerah di luar Jawa, maka akan memudarkan semangat-semangat kedaerahan yang sempit yang dimiliki oleh penduduk di tiap-tiap daerah itu karena kemudian muncul suatu perpaduan yang ditimbulkan oleh semangat agama yang sama yaitu Islam. Dalam hal ini agama Islam tidak hanya sebagai rantai pengikat dari semangat patriotisme kedaerahan ke dalam nasionalisme Indonesia, tetapi sesungguhnya juga menjadi semacam lambang persaudaraan terhadap suatu pengacau asing dan penindas sebuah agama asing. Menurut Wertheim yang dikutip oleh Cahyo Budi Utomo (1995: 46),

Hal itu sangat aneh karena perkembangan agama Islam di Indonesia justru disebabkan oleh bangsa-bangsa Barat. Kedatangan bangsa Portugis di kawasan Indonesia telah mendorong semakin banyaknya para penguasa pribumi memeluk agama Islam sebagai satu gerakan politik untuk melawan masuknya agama Nasrani. Kehadiran kekuasaan Belanda di Indonesia semakin mempercepat proses islamisasi itu.

Lahirnya JIB sangat berkaitan dengan pergerakan organisasi Jong Java. Hal itu disebabkan karena pada kongres Jong Java yang dilaksanakan pada tahun 1922 diputuskan bahwa Jong Java tidak bergerak dalam bidang politik dan

(26)

anggotanya dilarang masuk partai politik. Dengan masuknya H. Agus Salim (tokoh SI) maka Jong Java mulai bergerak dalam bidang politik sehingga menimbulkan pro-kontra di tubuh Jong Java. Golongan yang setuju bergerak dalam bidang politik, mereka mendirikan JIB dengan agama Islam sebagai dasar pergerakan dan menerbitkan majalah Al-No er atau disebut juga Het Licht. JIB dipelopori oleh Sjamsuridjal. Dalam organisasi intern, JIB mempelajari politik praktis dan berusaha agar anggota-anggotanya memahami politik, terutama dari sudut Islam (Tim Museum Sumpah Pemuda. 2006: 36). Berdasarkan atas pernyataan Sjam, JIB sendiri tidak akan ikut aksi politik, anggota-anggota JIB tidak akan terjun dalam politik atas nama organisasi tetapi JIB tidak melarang para anggotanya yang secara sah dapat ikut dalam gelanggang politik (Ridwan Saidi. 1990: 17).

Ajaran agama Islam oleh JIB dijadikan sebagai sumber pengikat persatuan di kalangan pemuda-pemuda di Indonesia. Sebenarnya JIB sudah melangkah ke arah perjuangan politik, karena anggota-anggotanya sudah lebih dewasa dan bertujuan untuk persatuan berdasarkan Islam seperti yang diperjuangkan oleh P artai Sarekat Islam. Kemunculannya di tengah kancah pergerakan nasional sebagai wujud keprihatinannya terhadap kondisi para pemuda yang masih bersifat kedaerahan serta kurangnya pemahaman pemuda pelajar Islam terhadap agamanya sendiri akibat dari adanya Politik Islam Hindia-Belanda. Politik Islam pemerintah Hindia-Belanda berubah setelah kedatangan Snouck Hurgronje. Hurgonje menilai bahwa musuh pemerintah Hindia-Belanda bukanlah Islam sebagai agama tetapi Islam sebagai doktrin politik yang berbahaya bagi kelangsungan kekuasaan Belanda di Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 27).

(27)

tiga masalah ini dikenal dengan nama Politik Islam Hindia-Belanda (Darmansyah, dkk. 2006: 2).

Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia-Belanda dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi tidak memberikan pelajaran agama Islam kepada pelajar-pelajar yang beragama Islam. Akibat dari adanya sistem pendidikan ini maka pelajar Islam yang tidak mempunyai kesempatan belajar sendiri di luar sekolah menjadi kurang pemahamannya terhadap agama Islam. Padahal agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Hindia-Belanda pada masa itu, suatu masyarakat yang kelak akan menjadikan kaum intelektualnya sebegai pemimpin. Dalam organiasi ini, semua suku diperlakukan sama (Darmansyah, dkk. 2006: 31). Keanggotaan JIB terbuka untuk pemuda Islam yang berumur 14-30 tahun dan yang berumur lebih dari 18 tahun boleh berpolitik. JIB pada tanggal 29 Desember 1925 mengadakan kongres I dan menetapkan anggaran dasarnya (Drs. Sutarto. 2005: 53).

Generasi intelektual Muslim Indonesia pada umumnya pernah mengenyam pendidikan Barat dan sekaligus mendalami Islam secara khusus seperti halnya para pendiri JIB (Darmansyah, dkk. 2006: 3). Kelahirannya juga merupakan reaksi sekelompok pelajar terhadap kalangan pelajar Muslim lainnya yang bersikap acuh tak acuh terhadap agama Islam. Atas dasar keinginan untuk mengembalikan Islam sebagai ajarannya, sebagian pelajar Muslim yang tidak ingin terhanyut dalam pola kehidupan Barat akhirnya mendirikan JIB (h ttp://ah mad fathu lb ari.multip ly.com diakses tanggal 7 Agustus 2009).

JIB didirikan oleh Sjam bekas ketua Jong Java yang keluar pada tahun 1924. Sjam menjadi ketua JIB dan H. Agus Salim diangkat sebagai penasehat. Pendirian JIB ternyata mendapat dukungan yang sangat luas dari masyarakat pemuda Islam dan sangat penting artinya dalam pergerakan pemuda Indonesia pada waktu itu (Tim Museum Sumpah Pemuda. 2006: 35). Sebagai sebuah organisasi pemuda pelajar Islam, JIB berusaha menghimpun seluruh pemuda pelajar Islam dalam organisasinya. Dalam usahanya tersebut JIB mengalami proses dari organisasi pelajar yang kecil menjadi organisasi pelajar yang besar (Darmansyah, dkk. 2006: 67). Organisasi ini semakin berkembang pesat sehingga

(28)

diakhir tahun 1925 JIB memiliki sekitar 1000 orang anggota ditujuh cabang, yaitu di Batavia, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Bandung, Magelang dan Surabaya.

Sejalan dengan perkembangannya tersebut JIB juga telah ikut berperanserta dalam Kongres P emuda P ertama yang diselenggarakan tanggal 30 April-2 Mei 1926. Selain itu, JIB juga turut mengikuti kongres lanjutannya (Kongres P emuda Kedua) yang menghasilkan Sumpah Pemuda sebagai wujud munculnya nasionalisme di kalangan para pemuda Indonesia. JIB juga berperan dalam meningkatkan derajat pendidikan, menggagas nasionalisme Indonesia dan sebagainya yang sangat berpengaruh positif terhadap pergerakan nasional pemuda Indonesia dalam menghadapi kolonialisme bangsa Belanda (Darmansyah, dkk. 2006: 38).

Di Indonesia memang peran pemuda Islam selalu menonjol, misalnya JIB dalam pergerakan nasional mempunyai cabang-cabang yang tersebar di seluruh Indonesia (http://ta rb iya hislam.wordp ress.com diakses tanggal 4 Agustus 2009). JIB didirikan dengan keyakinan bahwa hanya Islam yang mampu menjadi dasar untuk bersatu dalam mengusir Belanda. Selama masa penjajahan Belanda, umat Islam terus melakukan perlawanan baik dalam skala besar seperti Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol dan lainnya maupun skala kecil-kecilan seperti Perlawanan P etani Banten 1988, perlawanan di Cimareme dan lainnya (Darmansyah, dkk. 2006: x).

(29)

nasional Indonesia praktis didominasi (kalau tidak mau disebut dimonopoli) aktivis-aktivis Islam. P erjuangan tahun 1930-an sampai 1940-an terdiri dari pergerakan Islam dan golongan nasionalis sekuler atau ”kalangan kebangsaan yang netral agama”, istilahnya Deliar Noer (h ttp://ta rbiya hisla m.wo rd press.com diakses tanggal 4 Agustus 2009).

Mengingat perkembangan dan peran besar JIB dalam sejarah pergerakan nasional pemuda Islam Indonesia, maka penulis mengangkat judul ” Perg erak an Nasional Pemuda Isla m (Studi tentang Jong Islamieten Bond 1 92 5-19 42)”

sebagai obyek penelitian.

B . Pe rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah latar belakang berdirinya Jong Islamieten Bond? 2. Bagaimanakah perkembangan Jong Islamieten Bond?

3. Bagaimanakah peranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942?

C. Tujuan Pe ne litian

Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan yang ingin dicapai dari penulisa n ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Jong Islamieten Bond. 2. Untuk mengetahui perkembangan Jong Islamieten Bond.

3. Untuk mengetahui peranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942.

(30)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat:

a. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka pengembangan ilmu sejarah.

b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya mengenai sejarah pergerakan nasional Indonesia, khususnya mengenai Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari pergerakan nasional pemuda Islam tahun 1925-1942.

c. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan literatur dalam bidang sejarah pertumbuhan dan perkembangan organisasi Islam, terutama Jong Islamieten Bond yang berkembang pada masa pergerakan nasional Indones ia tahun 1925-1942.

2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini bermanfaat:

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Dapat memberikan dorongan dan acuan bagi penelitian selanjutnya mengenai pergerakan nasional Indonesia, khususnya tentang pergerakan Jong Islamieten Bond.

(31)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Kolonialisme

Menjelang akhir abad XIX masyarakat Indonesia merupakan masyarakat kolonial yang serba terbelakang. Tanah jajahan merupakan obyek eksploitasi untuk diambil keuntungan sebesar-besarnya bagi penjajah. Berbagai cara telah ditempuh untuk megusir kaum penjajah sejak awal, tetapi tidak juga membawa hasil yang menggembirakan. Salah satu sebabnya karena bangsa Indonesia belum memiliki rasa persatuan dan kesatuan.

Kolonialisme secara etimologis berasal dari kata koloni yang artinya daerah jajahan, berarti daerah menempatkan penduduk atau kelompok orang yang bermukim di daerah baru yang merupakan daerah asing dan sering jauh dari tanah air, yang tetap mempertahankan ikatan dengan tanah air atau daerah asal (W. J. S. Poerwadharminto. 1976: 516).

Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 77) mengemukakan bahwa kolonialisme merupakan nafsu untuk menguasai sistem penguasaan wilayah bangsa atau negara lain. Hal tersebut dapat diartikan sebagai nafsu untuk menguasai daerah atau bangsa lain beserta perangkat sistem yang digunakan untuk mengatur wilayah yang dikuasai. Sedangkan C. S. T. Kansil dan Julianto (1983: 7) mengemukakan bahwa kolonialisme merupakan rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menakhlukkan bangsa lain di bidang politik, sosial ekonomi, dan kebudayaan dengan jalan dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan. Kolonialisme berasal dari kata koloni yang artinya ialah menanam sebagian masyarakat di luar batas atau lingkungan daerahnya. Namun usaha lainnya yaitu para kolonis yang memiliki beberapa koloni di daerah lain berusaha menyatukan koloninya menjadi satu sistem penguasaan, maka usaha ke arah itu disebut sebagai imperialisme.

(32)

Berdasarkan pendapat di atas, disimpulkan bahwa kolonialisme merupakan rangkaian nafsu bangsa penjajah untuk menakhlukkan daerah koloninya (dalam hal ini Indonesia) baik dalam bidang politik, sosial-ekonomi, dan kebudayaan dengan jalan dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan. Hal tersebut semakin memperkuat konflik yang ada sehingga menimbulkan reaksi rakyat jajahan untuk berusaha mempertahan dan melepaskan diri dari belenggu kesengsaraan.

Dipandang dari segi politik, kolonialisme atau penjajahan merupakan penguasaan dalam jangka waktu yang lama yang mengutamakan kepentingan orang-orang asing. Menurut Balandier dalam David L. Sills (1972: 1), ciri-ciri penjajahan antara lain:

1) Adanya dominasi kekuasaan dari minoritas orang-orang asing, lebih mengungulkan rasial dan budaya orang-orang asing tersebut daripada budaya milik orang-orang pribumi/penduduk asli;

2) Adanya hubungan antara peradaban yang berorientasi pada mesin atau alat-alat industri dengan Nasrani, perekonomian yang kuat, dan kemajuan hidup yang pesat. Di sisi lain peradaban orang-orang non-Nasrani ditandai dengan miskinnya mesin atau alat-alat industri, tertingalnya ekonomi serta kemajuan yang lambat.

Sedangkan menurut C. S. T. Kansil dan Julianto (1983: 23) kolonialisme Belanda di Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1) Membeda-bedakan warna kulit,

2) Menjadikan tanah jajahan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi negara induk,

3) Perbaikan ekonomi sosialnya sedikit, dan

4) Jarak sosial yang jauh antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah.

(33)

ini diciptakan oleh Gubernur Jendral J. B. van Heutsz (1904-1909), penakhluk Aceh.

Kolonialisme kenyataannya telah mengakibatkan merosotnya keadaan sosial ekonomi penduduk hampir tak tertanggung lagi. Ini semua dirasakan sebagai akibat dari sistim penjajahan asing sehingga sedikit demi sedikit mendorong timbulnya kesadaran untuk mencarikan jalan keluar dan mengakhirinya (Suhartoyo Hardjosatoto. 1985: 26). Pelaksanaan kolonialisme bagaimanapun juga telah membawa penderitaan bagi masyarakat pribumi. Kemiskinan dan kemelaratan terjadi di mana-mana sehingga semakin memperbesar kesenjangan antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat diskriminasi yang cukup mencolok. Situasi yang demikian merupakan tantangan bagi rakyat tanah jajahan untuk berusaha mempertahankan diri dan mengubah situasi yang ada (C. S. T. Kansil dan Julianto. 1983: 11). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Raymond Kennedy yang dikutip oleh G. Moedjanto (1988: 20-21) yang mengemukakan bahwa ciri-ciri masyarakat kolonial adalah:

1) Diskriminasi terhadap bangsa berwarna yang dianggapnya inferior (lebih rendah),

2) Subordinasi (ketaatan) politik dari bangsa pribumi terhadap kekuasaan negara jajahan

3) Ekonomi yang tergantung kepada penjajah,

4) Kurangnya kontak sosial antara golongan penguasa dan rakyat, serta 5) Kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan sosial.

Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 37) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan kolonialisme tergantung pada kondisi negara penjajah, baik dilihat dari perbedaan mengenai kekayaan alam, kemajuan teknologi maupun sistem produksi barang yang merupakan faktor obyektif dari negara penjajah. Sehingga corak penjajah menentukan sifat dan perlakuan terhadap tanah air maupun bangsa yang dijajahnya. Oleh karena itu praktek kolonialisme sangat berlainan antara daerah satu dengan daerah lainnya.

(34)

Kolonialisme pada dasarnya bergerak pada bidang ekonomi, politik, kebudayaan dan sosial. Melalui bidang-bidang tersebut, kepribadian penduduk pribumi dihancurkan. Di bidang politik, penjajah melakukan dominasi politik, dalam arti kekuasaan pemerintah berada di tangan kaum penjajah yang dapat memerintah dengan sekehendak hatinya. Di bidang ekonomi, penjajah melakukan eksploitasi ekonomi yang mengambil dan mengangkut jauh lebih banyak kekayaan dari bumi Indonesia ke negeri penjajah untuk kemakmuran para kaum kolonial dibandingkan dengan apa yang telah diberikan kepada negeri jajahannya. Di bidang kebudayaan, penjajah melakukan penetrasi kebudayaan dengan berbagai cara, baik halus maupun paksaan, sehingga sangat merugikan kehidupan budaya bangsa setempat. Di bidang sosial, penjajah menciptakan diskriminasi sosial yang menempatkan bangsa penjajah pada kedudukan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa terjajah yang dianggap bangsa kelas rendah (Cahyo Budi Utomo. 1995: 21).

Dalam pergaulan sehari-hari tidak ada kontak sosial dan adanya kontak fisik yang mencolok antara orang-orang Belanda dan penduduk pribumi. Kalangan pribumi dilarang keras untuk mengikuti berbagai perkumpulan maupun memasuki daerah tempat tinggal khusus orang-orang Belanda. Dengan adanya diskriminasi tersebut maka menggugah rakyat untuk melakukan perlawanan untuk dapat lepas dan merdeka dari belenggu penjajahan bangsa Belanda.

2. Politik Islam Hindia-Belanda

(35)

desa bertambah kekuasaannya. Namun di mata rakyat telah berubah menjadi agen penguasa kolonial (Sartono Kartodirdjo, Mawarti Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. 1975: 310).

Pemerintah Belanda memerlukan inlan dsch p olitiek sebagai kolonialis, yakni kebijaksanaan mengenai pribumi, untuk memahami dan menguasai pribumi. Karena mayoritas penduduk Hindia-Belanda adalah beragama Islam maka bangsa kolonial mulai menerapkan politik Islamnya, Snouck Hurgronje sebagai arsitek politik Islam telah berhasil menemukan seni memahami dan menguasai penduduk yang sebagian besar Muslim itu (Aqib Suminto. 1985: 11). Pemahaman Snouck tentang hakekat Islam Indonesia sangat besar nilainya untuk mengarahkan politik Belanda terhadap Islam menuju suatu arah yang berhasil. Prestasi utamanya adalah peranan yang dimainkan dalam reorientasi politik, yang bersama dengan taktik-taktik militer yang telah disempurnakan berhasil mengakhiri Perang Aceh (H. J. Benda. 1980: 40).

Di Indonesia, Belanda dihadapkan pada kenyataan bahwa sebagian penduduk yang dijajahnya adalah beragama Islam. Timbulnya aneka perlawanan seperti perang P aderi (1821-1827), perang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1873-1903) dan lainnya, perlawanan tersebut tidak terlepas dari kekuatan umat Islam dalam menghadapi kekuasaan bangsa kolonial. Karena kurangnya pengetahuan yang tepat mengenai Islam, pada mulanya Belanda tidak berani mencampuri agama Islam secara langsung. Sikap Belanda ini dibentuk oleh kombinasi kontradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan. Di satu pihak Belanda sangat khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam fanatik sedangkan di pihak lain Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan. Dalam hal ini Islam sangat ditakuti, karena dianggap mirip dengan Katholik. Namun kebijakan untuk mencampuri agama Islam nampak tidak konsisten, karena tidak adanya garis yang jelas. Dalam masalah hají misalnya ternyata pemerintah kolonial tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut campur tangan, justru para haji sering dicurigai dan dianggap fanatik, tukang memberontak (Aqib Suminto. 1985: 9-10).

(36)

Pada tahun 1889 setelah kedatangan Snouck Hurgronje, pemerintah Hindia-Belanda baru mempunyai kebijaksanaan yang jelas mengenai masalah Islam, Snouck Hurgronje berusaha melawan ketakutan Belanda selama ini terhadap Islam. Snouck menegaskan bahwa pada hakekatnya orang Islam di Indonesia itu penuh damai, tetapi Snouck pun tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme Islam. Bagi Snouck Hurgronje, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik (H. J. Benda. 1980: 45). Snouck Hurgronje tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa Islam seringkali menimbulkan bahaya terhadap kekuasaan Belanda. Walaupun Islam di Indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu, namun Snouck pun tahu bahwa orang Islam di negeri ini pada waktu itu memandang agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dari orang lain (Deliar Noer. 1990: 59). Dalam kenyataannya memang Islam di Indonesia berfungsi sebagai titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap pemerintah Kristen dan asing.

(37)

kenyataan pandangannya adalah cermin dari suatu era baru di dalam kebijakan kolonial Belanda, yang disebut Politik Etis, yang secara resmi bermula pada tahun 1901 (H. J. Benda. 1980: 47-49).

Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi tidak memberikan pelajaran agama Islam kepada pelajar-pelajar yang beragama Islam. Pelaksanaan pendidikan tersebut mengupayakan sekularisasi di dunia pendidikan dengan menyingkirkan pelajaran keagamaan dari dunia sekolah. Akibat sistem pendidikan ini maka pelajar Islam yang tidak mempunyai kesempatan belajar sendiri di luar sekolah menjadi kurang pemahamannya dari agama Islam. Bahkan seorang Agus Salim pernah berkata bahwa dirinya hampir kehilangan iman selepas dari Hoo gere Burgere schoo l (HBS/Sekolah Tinggi Warga Masyarakat) (Darmansyah, dkk. 2006: 2).

Snouck Hurgronje membagi Islam menjadi tiga bagian yaitu ibadah, sosial-kemasyarakatan dan politik. Masing-masing bidang menuntut alternatif pemecahan yang berbeda-beda. Konsep pembagian itulah yang kemudian dikenal sebagai kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dalam menangani masalah Islam. Pemerintah memberikan kebebasan dalam masalah ibadah dan sosial kemasyarakatan, tetapi tidak dalam hal politik. Pemerintah mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan Pan Islam. Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dalam menghadapi tiga masalah inilah yang kemudian dikenal dengan nama Politik Islam Hindia-Belan da (Darmansyah, dkk. 2006: 2).

Keadaan pada masa itu memang memungkinkan Snouck Hurgronje untuk melaksanakan gagasan politik Islamnya, karena pada tahun 1899 Snouck ditugaskan sebagai penasehat urusan pribumi dan Arab. P engalamannya dalam penelitian lapangan di negeri Arab (1885), Jawa (1889-1890) dan Aceh (sejak tahun 1891) serta pengalamannya selama menjabat penasehat urusan bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam sejak tahun 1891 itu juga, cukup membekali dalam usaha menemukan seni memahami dan mengusai penduduk Muslim tersebut. Meskipun tidak seluruhnya, namun garis politik Snouck Hurgronje itu mampu bertahan hingga akhir masa penjajahan Belanda di Indonesia (E. Gobee dan dan C. Adriaanse. 1990: 12).

(38)

3. Elit Modern

Politik Etis dicetuskan oleh Van Deventer. Politik tersebut mencakup bidang irigasi, emigrasi dan pendidikan (ed uk asi) (Slamet Mulyono. 1968: 38). Munculnya politik Etis dalam bidang pendidikan di Indonesia berakibat pada semakin banyaknya pendirian sekolah-sekolah formal oleh pemerintah Belanda. Hal tersebut dipengaruhi karena adanya kebutuhan pihak Belanda akan tenaga terampil dalam bidang administrasi maupun berbagai bidang teknik dan kejuruan. Dengan adanya pembukaan sekolah-sekolah tersebut maka pendidikan bagi rakyat Indonesia mulai sedikit berkembang sehingga pada akhirnya mulai muncul golongan terpelajar atau elit modern sebagai golongan baru dalam stratifikasi masyarakat Indonesia pada penjajahan bangsa masa kolonial. Dan golongan inilah yang menjadi motor penggerak golongan terdidik untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat Indonesia akan kemerdekaan.

Dalam pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak Belanda juga terdapat diskriminasi, anak-anak bumiputera memiliki kesempatan yang sangat terbatas untuk mengenyam pendidikan. Pemerintah kolonial Belanda tidak ingin melihat bangsa Indonesia menjadi pintar dan maju. Selain itu juga munculnya anggapan di kalangan kaum kolonial bahwa bangsa yang bodoh lebih mudah untuk diatur dan dikendalikan (Nico Thamiend R dan M. P . B. Manus. 2004: 100). Sekolah yang lebih baik, yang seluruhnya menggunakan sistem dan tingkat pelajaran yang tak kalah dari negeri Belanda lebih kecil jumlahnya. Dari jumlah yang kecil ini hanya secuil saja tempat yang tersedia bagi anak-anak pribumi (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened P oesponegoro, Nugroho Notosusanto. 1975: 129). Selain itu sekolah-sekolah yang didirikan bukan untuk mencerdaskan bangsa Indonesia, tetapi untuk mendapatkan tenaga terdidik dengan upah yang murah. Pendidikan rakyat tidak boleh melebihi kebutuhan akan tenaga. Pendidikan yang baik hanya akan membahayakan kedudukan penjajah.

(39)

modernisasi (h ttp://www.lombo k timur.go .id diakses tanggal 7 Agustus 2009). Selain itu pelaksanaan politik etis juga bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Dengan diterapkannya politik etis tersebut maka rakyat Indoesia menjadi semakin kenal akan berbagai ide Barat, seperti liberalisme, demokrasi, hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan sipil pada umumnya. Dengan demikian golongan intelektual atau kaum terpelajar Indonesia semakin berkembang pesat (G. Moedjanto. 1988: 24). Karena pendidikan Barat mulai meluas sesuai dengan kepentingan kolonial yang semakin meningkat pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, maka mulai muncul golongan priyayi yang dapat dibedakan menjadi golongan priyayi birokrasi, yaitu golongan priyayi yang menduduki jabatan-jabatan pangreh-praja dan meneruskan tradisi priyayi lama. Jabatan-jabatan ini pada umumnya juga diduduki oleh anak keturunan golongan priyayi lama yang sudah berpendidikan modern. Sedangkan golongan priyayi profesional adalah golongan priyayi yang menduduki jabatan-jabatan pemerintahan yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan tertentu, karena jabatan-jabatan itu mengurusi kepentingan-kepentingan yang ada hubungan erat dengan eksploitasi kolonial seperti kesehatan, peternakan, pertanian, irigasi, perindustrian dan sebagainya (Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, Suhardjo Hatmosuprobo. 1993: 8).

Sebenarnya pihak pemerintah Hindia-Belanda sejak awal telah memperhitungkan dampak dari penerapan pendidikan sistem Barat di negeri jajahan. Dengan cara hati-hati, diskriminasi dan sangat selektif pendidikan itu diberikan kepada rakyat Indonesia. Hanya anak golongan bangsawan dan Belanda keturunan serta anak-anak keturunan Timur Asing (Cina dan Arab) yang mendapatkan pendidikan sistem Barat.

Berbeda dengan harapan pemerintah Belanda sehubungan dengan pelaksanaan politik etis, tidak semua dari kaum intelektual tersebut yang pernah mengenyam pendidikan dan kebudayaan Barat berhasil dijinakkan untuk diperalat mempertahankan kekuasaan kolonial. Sebagian dari mereka baik yang berada di Hindia-Belanda maupun di negeri Belanda muncul sebagai perintis dan pembangkit kesadaran nasional yang memihak pada kepentingan masyarakat.

(40)

Kaum intelektual Indonesia bukannya berterima kasih kepada pihak Belanda, tetapi berbalik menjadi bumerang bagi pemerintah Belanda sendiri (C. S. T. Kansil dan Yulianto. 1983: 62). Yang dianggap sebagai kaum etis adalah sebagai pendorong; suatu golongan masyarakat yang ingin berpacu dengan perkembangan, berusaha untuk merangsang, diilhami sifat dinamis, digerakkan oleh sifat optimis dan kepercayaan pada diri sendiri (Robert Van N iel. 1984: 60).

Kelompok elit dapat diartikan sebagai suatu kelompok yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat pada puncak struktur sosial, misalnya kedudukan yang tinggi dalam pemrintahan, politik, ekonomi maupun agama. Orang Indonesia pada tahun 1900 dan sampai sekarang mengakui adanya dua tingkatan di dalam masyarakat. Kelompok yang besar dari petani dan orang desa dinamakan rakyat jelata. Administrator, pegawai pemerintahan, dan orang-orang Indonesia yang berpendidikan berada di posisi yang lebih dikenal sebagai elit atau priyayi. Jadi yang disebut elit adalah siapa saja yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari rakyat jelata yang dalam beberapa hal orang-orang tersebut memimpin, memberi pengaruh, menuntun, mengatur masyarakat Indonesia menjadi lebih baik dan yang termasuk di dalamnya adalah priyayi dan bangsawan (Robert Van Niel. 1984: 67). Dalam kenyataannya selalu terdapat kontak antara priyayi dan orang Belanda di Hindia-Belanda pada abad ke-19. Senantiasa terdapat orang-orang Eropa yang bertindak sebagai penghubung dan beberapa di antaranya memungkinkan sekelompok orang pribumi memperoleh pendidikan formal dan dengan demikian masuk ke dalam batas-batas lingkungan Eropa. Sehingga peranan priyayi tersebut sangat menentukan dalam membentuk karir pribadi pribumi dan di samping itu memperkuat momentum yang menghendaki diberlakukannya pendidikan Barat (Heather Sutherland. 1983: 98-99). Hal itulah yang kemudian mendorong munculnya priyayi profesional, yang lewat jenjang pendidikan dapat menduduki tingkat sosial yang lebih tinggi daripada tingkat asalnya (Sartono Kartodirdjo. 1999: 89).

(41)

(asal-usul status) dengan berbagai atribut kebesaran orang tuanya. Yang termasuk kelompok elite tradisional adalah raja-raja bersama keluarganya, yaitu para bangsawan yang mempunyai kekuasaan politik, sosial, kultural dan sebagainya. Kau elite tradisional benar-benar menguasai hidup dan matinya rakyat yang ada dalam lingkungan wilayah kekuasaannya. Sedangkan kelompok elite baru adalah kelompok tersendiri yang mendapatkan status bukan karena keturunan, akan tetapi status tersebut diperoleh sendiri atas usaha yang dilakukan dan biasanya dari jenjang pendidikan (Sartono Kartodirdjo. 1999: 72). Para elite baru tersebut biasa disebut sebagai kelompok terpelajar dan memegang jabatan-jabatan dalam pemerintahan (William H. Frederick. 1989: 45).

Kekuasaan Belanda semakin bertambah luasnya sehingga kebutuhan akan birokrasi Indonesia yang berpendidikan Barat juga semakin bertambah besar. Bila sebelumnya kedudukan-kedudukan tinggi dalam hirarki kepegawaian Indonesia diberikan atas dasar asal keturunan, politik kolonial yang baru membuat pendidikan sebagai syarat pendukung pada asal keturunan. Dalam ukuran waktu dan keadaan tertentu pendidikan dijadikan sebagai ukuran utama. Hal ini pada gilirannya membuahkan beragamnya elite Indonesia yaitu munculnya golongan priyayi lama yang terdiri dari para bangsawan dan administrator serta priyayi baru yang bertambah dengan sejumlah pegawai pemerintahan, teknisi pemerintahan, cendekiawan yang sama-sama memerankan peran elite (Robert Van Niel. 1984: 75).

Munculnya elite baru atau elite modern merupakan sebagian dari perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan secara wajar dapat dipandang sebagai unsur integral dari masyarakat yang bersangkutan dalam proses perubahan yang berlangsung cepat (J. D. Legge. 1993: 44). Kelompok elite baru sebagian besar berasal dari bangsawan rendah dan rakyat biasa. Dalam masyarakat, kelompok elite baru tersebut berusaha menunjukkan kelasnya yang lebih maju yang nantinya membawa atau dapat mempengaruhi haluan politik pemerintah. Elite baru muncul sebagai akibat dari adanya ambivalansi dalam kebijaksanaan kolonial pada abad XIX mengenai perlunya kekuasaan tradisional. Para elite baru tersebut memperoleh gelar serta bentuk kemegahan yang ada kaitannya dengan

(42)

statusnya, seperti menjadi guru sekolah pemerintah dengan diberi pangkat mantri guru dan hak untuk tampil di depan umum. Menjelang abad XX, pendidikan dan pengajaran secara Barat mempunyai andil yang penting dalam kehidupan. Pendidikan dengan bahasa Belanda diadakan, waktu pendidikan yang sebelumnya hanya sampai dua tahun diperpanjang hingga lima sampai enam tahun. Sebagai hasilnya kelompok elite baru menjadi profesional hingga meluas dalam dinas-dinas pengairan, kehutanan, kereta api dan dinas-dinas lainnya (M. C. Ricklefs. 1990: 52).

Adanya modernisasi pendidikan menyebabkan cakrawala berpikir pelajar Jawa semakin luas. P ara pelajar di Jawa tidak hanya berpikir pada pelajaran yang sedang tekuni, tetapi mulai memikirkan keadaan masyarakat bumiputera yang terbelakang akibat kebijaksanaan pemerintah kolonial. Dan itulah yang kemudian disebut sebagai elite terpelajar (Sartono Kartodirdjo. 1992: 14).

Golongan elite modern merupakan pemimpin pergerakan yang menyadari bahwa bidang pendidikan adalah sarana efektif bagi penanaman jiwa dan semangat kebangsaan atau nasionalisme. Sehingga perkembangan pengajaran dengan sistim sekolahnya mau tidak mau harus disesuaikan dengan sifat dualistis masyarakat Indonesia, baik mengenai bahasa pengantarnya maupun sistim pelajarannya. Maka dari itu terdapat empat kategori sekolah, yaitu 1) sekolah Eropa yang sepenuhnya memakai model sekolah negeri Belanda, 2) sekolah bagi pribumi yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, 3) sekolah bagi pribumi yang memakai bahasa daerah sebagai bahasa daerah/pribumi dan 4) sekolah yang memakai sistem pribumi (Sartono Kartodirdjo. 1999: 23).

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Pengaruh Kepercayaan pada Merek dan Sikap pada Iklan terhadap Sikap pada Merek dan Purchase Intention. Studi Kasus : Iklan Activia 30’ with price tag. Judul

Jenis Jenis Tumbuhan Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Oleh Nelayan Puger Kabupaten Jember; Rani Tri Sulistyowati, 051810401078; 2011: 91

Potensi Bakteri Simbion Usus Teripang Hitam ( Holothuria atra ) sebagai Minuman Probiotik Susu Kedelai ( Ali Djunaedi dan Delianis Pringgenies ).. Minuman probiotik merupakan

Bismillahirrohmanirrohim, puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya kepada penulis, hingga akhirnya Penulis dapat menyelesaikan

Penghargaan bagi bidan adalah bentuk apresiasi yang diberikan kepada bidan tidak hanya berupa imbalan jasa tetapi juga dalam bentuk pengakuan profesi dan pemberian kewenangan atau

Program pendeteksian bagian tubuh manusia menggunakan metode viola-jones mampu menampilkan hasil pendeteksian yang baik, dan dapat digunakan untuk mendeteksi bagian tubuh lain

Auksokrom adalah suatu substituen (biasanya gugus jenuh) yang bila terikat pada kromofor akan mengubah panjang gelombang dan intensitas dari serapan maksimum. Contohnya : -OH,