• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

B. Perke mbangan Jo ng Islamieten B ond

1. Masa Awal Pergerakan Jong Islamieten Bond

JIB didirikan pada tanggal 1 Januari 1925 atas prakarsa Sjamsoeridjal. Pendirian JIB berawal dari keprihatinan kaum intelektual Muslim dan kemudian didukung H. Agus Salim tentang kurangnya perhatian kaum muda Muslim, terutama yang menikmati pendidikan gaya Barat terhadap agama mereka dan juga kurangnya perhatian Jong Java terhadap pembinaan kerohanian bagi anggota-anggota yang beragama Islam. JIB merupakan salah satu organisasi Islam yang sangat percaya diri dan sangat gigih mengecam kalangan Kristen serta memperlihatkan sikap anti-Kristen, melalui Volkstraad dan juga melalui berbagai publikasi, misalnya majalah Het Licht. Di kemudian hari JIB menjelma menjadi suatu wadah untuk mendidik kaum muda Islam hingga menjadi kader-kader yang mempunyai dasar keislaman yang kokoh. JIB tidak bergerak dalam urusan politik, namun memperbolehkan anggota-anggotanya untuk ikut terlibat dalam berbagai gerakan politik yang marak pada saat itu (Jan S. Aritonang. 2005: 181). Jo ng Islamieten Bond (JIB/Liga Pemuda Islam) menjadi suatu organisasi yang secara politik sangat penting dalam serangan balasan kaum reformis terhadap aliansi di kalangan mahasiswa yang terdidik secara Belanda (Al-Chaidar. 1999: 9).

Terbentuknya JIB dianggap sebagian kalangan sebagai perpecahan persatuan pemuda. Padahal saat itu orang sedang mengusahakan persatuan. Anggota JIB menolak tuduhan itu dan membela diri menghadapi argumen keindonesiaan. P ara anggota JIB merasa memperjuangkan persatuan nasional walaupun dengan dasar Islam, karena itu orientasinya Indonesia. Selain itu, para aktivis JIB tidak menganggap sebagai pesaing perhimpunan-perhimpunan pemuda

lain dan berusaha memperjuangkan hubungan persahabatan bahkan persaudaraan dan juga kerjasama sebanyak mungkin di kalangan umat Islam (Darmansyah, dkk. 2006: 15).

Perhimpunan ini terbuka untuk semua orang Islam Indonesia yang berumur tidak lebih dari tiga puluh tahun baik pelajar maupun orang yang sudah tamat belajar (A. K P ringgodigdo. t. t: 506). JIB kemudian mengadakan suatu propaganda perluasan anggota dengan cara menghubungi murid-murid MULO dan AMS yang bersimpati. Di Jakarta, sejumlah formulir keanggotaan diedarkan, di luar dugaan 200 pemuda Islam, baik pelajar MULO maupun AMS ataupun tamatan sekolah-sekolah tersebut yang sudah bekerja, menyatakan bersedia menjadi anggota JIB (Ridwan Saidi. 1990: 13). Dalam waktu yang relatif singkat, jumlah anggota sudah meluas sehingga pada tanggal 8 Februari 1925 diadakan pertemuan pertama di Jakarta (semacam rapat terbuka). Efek dari pertemuan tersebut sedemikian besar dan luasnya, sehingga menimbulkan kekhawatiran dari sementara organisasi-organisasi kedaerahan, dan pers Belanda yang tergabung dalam In heemse p ers. Tuduhan yang dilontarkan pers Belanda pada JIB adalah JIB sebagai organisasi politik yang mau memperjuangkan kemerdekaan nasional. Dari tuduhan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kata kemerdekaan nasional masih dihindari, karena pemerintah kolonial Belanda sangat ketat dalam mengawasi organisasi pemuda yang mempunyai arah dan tujuan kemerdekaan nasional (Ridwan Saidi. 1990: 24).

Anggota JIB yang berasal dari Jong Java ternyata banyak yang tidak melepaskan keanggotaan Jong Java-nya. Hal tersebut menampik adanya anggapan dari sebagian kalangan bahwa dengan kemunculan JIB tersebut sebagai perpecahan persatuan pemuda. Sementara itu, orang Belanda tidak hanya menyesalkan bahkan menilai sangat negatif atas kehadiran JIB. Hal ini segaris dengan prasangka yang biasa menandai sikap Barat terhadap Timur. Bagi orang Barat, Islam dianggap sebagai masalah yang berbahaya sehingga dipandang dengan penuh curiga dan prasangka. Bahkan Snouck Hurgronje yang di kalangan non-Islam Barat merupakan pakar Islam dan bisa bercerita banyak tentang kebaikan Islam, mendukung politik yang secara sadar ditujukan untuk

menyelewengkan perhatian kaum muda dari agamanya sendiri, terutama kaum muda yang mengenyam pendidikan Barat (Darmansyah, dkk. 2006: 14).

JIB mulai melakukan perekrutan anggota dan kampanye-kampanye setelah resmi terbentuk. Kampanye pertama dilaksanakan pada 8 Februari 1925 di Batavia. Kampanye itu berhasil menarik anggota sebanyak 250 orang. Kampanye dan perluasan tersebut berlangsung sampai dengan bulan Juni 1925. Kampanye dilanjutkan di Yogyakarta, Surakarta dan Madiun. Dengan usaha keras itu, akhir tahun 1925 JIB memiliki sekitar 1000 orang anggota ditujuh cabang, yaitu di Batavia, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Bandung, Magelang dan Surabaya. Cabang Batavia dan Bandung sudah mempunyai bagian untuk kaum wanita. Cabang Bandung diketuai oleh Wiwoho Purbohadidjojo, ketua Bond Inlan dsche Stud eerend en (BIS) (Darmansyah, dkk. 2006: 15-16). Sedangkan cabang Surabaya dan Magelang berdiri pada bulan November pada tahun itu juga atas inisiatif pelajar-pelajar setempat yang selama ini melakukan kegiatan yang sejalan dengan tujuan JIB (Ridwan Saidi. 1990: 26).

Hanya seminggu setelah pertemuan di Jakarta, maka pada tanggal 15 Februari 1925 di Yogyakarta diadakan rapat terbuka dan pada saat bersamaan juga berdiri cabang Solo dan Madiun. Sampai dengan saat tersebut JIB telah mempunyai empat cabang dan dipandang perlu untuk mendirikan pengurus pusat dengan maksud untuk lebih mengefektifkan perkembangan organisasi yang berkedudukan sementara di Jakarta. Melalui perundingan keempat cabang tersebut maka dibentuk pengurus pusat dengan susunan sebagai berikut:

Ketua : R. Sjamsoeridjal

Wakil Ketua : Wiwoho P urbohadidjojo Sekretaris I : Syahbuddin Latief Sekretaris II : Hoesin Bendahara I : Soetijono Bendahara II : So’eb Komisaris : 1. Moegni 2. Thoib 3. Soewardi

4. Sjamsoeddin 5. Soetan Pelindih 6. Kasman Singodimedjo 7. Mohammad Kusban 8. Soegeng

9. H. Hasim (Ridwan Saidi. 1990: 25).

Kampanye-kampanye perluasan organisasi kembali diadakan setelah kepengurusan pusat terbentuk dengan jalan menugaskan beberapa pengurus untuk memperluas pengaruh dan memberikan ceramah pada cabang-cabang yang baru berdiri. Untusan-utusan tersebut terdiri dari Sjahboeddin Latief ke Yogyakarta dan Madiun, Mohammad Koesban ke Solo, Kasman Singodimedjo ke P oerworedjo dan Kutoredjo. Sementara itu Sjam bersama penasehat JIB, H. Agus Salim ke Bandung untuk membentuk JIB di kota tersebut. Kampanye dan perluasan tersebut berlangsung sampai dengan bulan Juni 1925. Sedangkan cabang Surabaya dan Magelang berdiri pada bulan November 1925 atas inisiatif pelajar-pelajar setempat yang selama ini melakukan kegiatan yang sejalan dengan tujuan JIB (Ridwan Saidi. 1990: 25-26).

Pada tanggal 15 November 1925 di Gedung Lux Orientis dilangsungkan pertemuan tokoh-tokoh organisasi pemuda untuk membentuk pengurus Kongres Pemuda Pertama, pada saat itu JIB sedang melakukan konsolidasi dan belum mempunyai pengurus yang difinitif. Yang menjadi penggagas pertemuan tersebut adalah Mohammmad Tabrani, anggota Jong Java cabang Jakarta yang bekerja sebagai wartawan Hin dia Baro e pimpinan H. Agus Salim, penasehat JIB. Pertemuan itu dihadiri oleh Mohammad Tabrani, Soemarto dan Soewarso (Jong Java). Jong Sumatranen Bond diwakili oleh Bahder Djohan, Djamaluddin dan Sanoesi Pane. JIB sangat antusias untuk mengikuti kegiatan tersebut, sayangnya saat itu JIB belum mempunyai pengurus yang definitif pilihan kongres sehingga tidak dapat mengirimkan wakilnya. Pertemuan di Gedung Lux Orientis tersebut menghasilkan keputusan tentang waktu, tempat dan ketua kongres. Sebagai ketua kongres pemuda pertama adalah Mohammad Tabrani. Untuk mensukseskan kegiatan kongres, Tabrani mendatangi semua organisasi pemuda termasuk JI.

Tabrani menemui Wiwoho P urbohadidjojo, wakil ketua JIB dan mengundang JIB untuk turut serta dalam pertemuan antar organisasi pemuda tersebut. Dimana dalam pertemuan tersebut diharapkan dapat dibentuk wadah baru sebagai tempat perkumpulan seluruh pemuda Indonesia. Bagi JIB ajakan tersebut tidak memberatkan sama sekali (Darmansyah, dkk. 2006: 16).

Perkembangan JIB pada periode ini juga semakin pesat. Hal tersebut dapat dilihat dari penyelenggaraan kongres dari tahun ke tahun secara teratur yang diselenggarakan oleh JIB. Salah satu usaha konsolidasi organisasi adalah penyempurnaan Anggaran Dasar/Anggaran dan Rumah Tangga (AD/ART) melalui kongres yang diadakan berturut-turut di Yogyakarta (1925), Solo (1926), Yogyakarta (1927), dan Bandung (1928). Keputusan kongres di Bandung mengenai AD/ART dipertahankan sampai bubarnya JIB ketika tentara Jepang masuk. Aktivitas JIB sendiri dari tahun ke tahun dapat diikuti melalui laporan kongres yang telah dilaksanakan (Ridwan Saidi. 1990: 22).

Sebulan setelah pertemuan di Gedung Lux Orientis, JIB menyelenggarakan kongres pertama. Berdasarkan keputusan rapat, kongres dilaksanakan pada tanggal 25-27 Desember 1925 bertempat di Jayengprakosan, Yogyakarta. Kongres dihadiri undangan yang mencapai 47 macam organisasi pergerakan di Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 17). Pada kongres pertama tersebut JIB telah mempunyai anggota 1000 orang yang dibagi atas 7 cabang. Cabang Jakarta dan Bandung mempunyai bagian gadis (A. K. Pringgodigdo. 1994: 121). Kongres juga dihadiri oleh H. O. S. Tjokroaminoto, Agus Salim dan Surjopranoto dari Sarekat Islam turut menghadirinya. Selain itu juga hadir Dwidjosewojo dari Budi Utomo dan Suwardi Suryaningrat, pendiri Taman Siswa. Sementara itu, organisasi Muhammadiyah diwakili oleh H. Fachrudin (Cahyo Budi Utomo. 1995: 125).

Pengurus pusat kemudian dipindahkan ke Yogyakarta setelah cabang Bandung dibentuk pada bulan Juni 1925. Akibatnya banyak anggota pengurus pusat yang tidak bisa ikut pindah, sehingga pengurus pusat mengalami perubahan sebagai berikut:

Ketua : R. Sjamsoeridjal

Wakil Ketua : Wiwoho P urbohadidjojo Sekretaris : dirangkap oleh tim ketua Bendahara : P. Hadisuwignjo

Seksi Usaha : Muhammad Koesban Anggota : 1. Sjahboeddin Latief 2. R. Kasman Singodimedjo 3. Soegeng

4. H. Hasjim 5. Puspo Soekardjo

6. Mohammad Sapari

Dengan berdirinya pengurus pusat di Yogyakarta, maka cabang Jakarta berdiri dengan ketua Soetiono, mantan bendahara pengurus pusat sebelum pindah ke Yogyakarta. Sampai saat itu cabang Jakarta adalah cabang terbesar dari segi jumlah anggota, cabang ini senantiasa mendapat bimbingan dari H. Agus Salim (Ridwan Saidi. 1990: 26).

Dalam kongres pertama tersebut juga disepakati tujuan dari organisasi JIB sebagai berikut:

a. Mempelajari dan mendorong hidupnya kembali agama Islam;

b. Memupuk dan menumbuhkan simpati terhadap pemeluk agama Islam dan pengikutnya di samping toleransi terhadap golongan lain;

c. Menyelenggarakan kursus-kursus agama Islam, darmawisata, olah raga dan seni dengan menggunakan agama Islam sebagai alatnya;

d. Meningkatkan kemajuan jasmani dan rohani anggotanya dengan jalan menahan diri dan sabar (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 35). Sebagai organisasi yang memiliki tujuan-tujuan seperti di atas maka melalui kongresnya yang pertama tersebut JIB lebih menekankan kegiatan-kegiatannya pada studi Islam sebagai langkah utama untuk menaati peraturan-peraturan dan ajaran-ajaran Islam (Iin Nur Insaniwati. 2002: 18).

JIB dalam pergerakannya merupakan organisasi yang tidak melakukan kegiatan politik. Hal tersebut tampak pada tujuan organisasi JIB dalam kongres pertamanya dan pidato Sjamsoeridjal mengenai sikap JIB terhadap politik:

...Pada kursus-kursus, cerama-ceramah dan debat-debat yang kami selenggarakan, akan diusahakan sejauh mungkin meningkatkan pengertian tentang politik, terutama dari sudut Islam. Tetapi JIB tidak akan ikut aksi politik. Anggota-anggota kami pun tidak akan terjun dalam dalam bidang politik atas nama organisasi. Tetapi JIB tidak melarang para anggotanya yang secara sah dapat ikut dalam gelanggang politik... (Ridwan Saidi. 1990: 17).

Setelah diadakan kongres pertama tersebut JIB mengaharuskan para anggotanya untuk mempelajari dan mengkaji ajaran-ajaran Islam. Islam sekarang dianggap lebih dari sekedar bahasa solidaritas sosial, dianggap menjadi landasan kerja bagi aksi sosial-politik. Dengan pengalamannya menyaksikan perbenturan wacana antara para intelektual Muslim dan sekuler dari generasi yang lebih tua, para pelajar ini menemukan suatu model bagi perumusan ideologi mereka (Yudi Latif. 2005: 308). Namun perlu diingat bahwa gagasan tentang solidaritas Islam bagi para anggota JIB tidak bertentangan dengan ide mengenai solidaritas nasional dan tidak mengurangi keterikatan mereka pada tujuan pembentukan kelompok nasional. Jadi, solidaritas Islam dalam konteks ini disuarakan sebagai sebuah cara untuk mendukung ide mengenai identitas kolektif di tengah-tengah persaingan ideologi politik di antara beragam aliran intelektual. Menurut Mohammad Roem, dalam menjadi seorang Muslim, seseorang harus mencintai tanah airnya karena hal ini merupakan bagian hakiki dari keyakinan Islam (Mohamad Roem dan Kustiniyati Mochtar. 1989: 131).

JIB membangun dua prasarana yang kelak mempunyai nilai strategis dalam pembinaan generasi, yaitu dengan menerbitkan majalah Al-Nur atau Het Lich t sebagai majalah cendekiawan Islam pertama di Indonesia pada bulan Maret 1925 dan mendirikan Nation al Ind onesische Padvin derij (NATIPIJ) sebagai organisasi pandu nasional Indonesia (Ridwan Saidi. 1990: 19). Selain itu, JIB juga mempunyai bagian wanita yaitu Jon g Islamieten Bond Dames Afdeelin g (JIBDA) (A. K P ringgodigdo. t. t: 506). Kursus-kursus agama Islam segera menjadi salah

satu ciri aktivitas cabang-cabang JIB. Cabang Jakarta mendirikan gerakan kepanduan dan pengurus JIB bagian putri (Ridwan Saidi. 1990: 27).

Het Licht mulai diterbitkan sejak bulan Maret 1925, dua bulan setelah JIB didirikan. Majalah ini menjadi media komunikasi yang sangat efektif, bukan hanya untuk kalangan anggota JIB saja tetapi juga di luar JIB. Het Licht terbit secara teratur sampai tahun 1931 dan masih bertahan terus sampai dibubarkannya JIB oleh tentara penduduk Jepang pada tahun 1942. Ide kelahiran Het Lich t sebenarnya dimulai pada tangal 21-22 Februari 1925, pada suatu malam di bawah sinar lampu minyak yang remang-remang di sebuah gedung sekolah Adhi Darmo Yogyakarta oleh Soeryopranoto, Tjokro Aminoto, Mohammad Koesban, H. Hasim dan Soegeng. Tujuan diterbitkannya majalah JIB tersebut adalah untuk menyebar luaskan ide dan gagasan JIB, tidak saja dikalangan angota tetapi juga untuk kaum intelek Indonesia lain yang masih menuntut ilmu di sekolah. Fokus utama dari majalah ini adalah kaum pelajar. Majalah JIB ini dicetak pada percetakan Muhammadiyah Yogyakarta dan dibagikan secara cuma-cuma untuk para anggota dan penasehat JIB. Sebagian lagi dijual kepada umum (Ridwan Saidi. 1990: 27).

Haji Agus Salim dalam kongres pertama JIB tersebut menyatakan bahwa Sebenarnya JIB merupakan terlaksananya idaman hati Haji Agus Salim. Bantuan dan dukungannya kepada JIB semata-mata sebagai kewajiban orang Islam yang sanggup membantu kaumnya. Di samping itu Haji Agus Salim juga sangat bersyukur dengan lahirnya JIB karena sudah menjadi bukti kemajuan kebebasan dari para anggotanya. Dipujinya JIB karena berorientasi kepada kepribadian dan jiwa bangsa sendiri yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang dianggap oleh Haji Agus Salim sebagai keluar biasaan dari JIB (Mukayat. 1985: 49).

Dua kongres berikutnya (Desember 1926 dan 1927) membicarakan hal-hal yang bertalian dengan agama Islam antara lain Islam dan pandangan dunia, perkembangan Islam di luar negeri, Islam dan pikiran merdeka, ethik perang dalam Islam, Islam dan cita-cita persatuan, kebangsaan dan sosialisme, perempuan dalam Islam dan lainnya. Mengenai poligami yang ditentang oleh

kaum nasionalis diterangkan bahwa bukan peraturannya yang jelek, tetapi pelaksanaannya yang kurang baik (A. K. Pringgodigdo. t. t: 506).

Kongres ke-2 diadakan di Surakarta pada tanggal 24-26 Desember 1926. Dalam kongres itu terlihat sekali sekali arah JIB yang ingin mendorong anggota-anggotanya agar mempelajari agama Islam sesuai dengan asas dan tujuan organisasi. Sementara itu pada kongresnya yang ke-3, yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 23-27 Desember 1927, tema yang menonjol dalam ceramah-ceramahnya adalah mengenai permasalahan umum yang dihadapi umat Islam. Termasuk di dalam hal ini cita-cita persatuan dan nasionalisme. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa JIB, sekalipun merupakan organisasi yang berdasarkan pada suatu agama, tetapi dapat berasimilasi secara ideologis dengan organisasi pergerakan yang ada pada saat itu (Cahyo Budi Utomo. 1995: 125). Dalam penutupan kongres ketiga tersebut ketua Wiwoho menerangkan bahwa JIB tidak dapat ikut dalam fusi yang diusulkan P PP I, yaitu Indonesia Muda, karena JIB hendak tetap berdasarkan agama Islam. Ini tidak berarti bahwa JIB tidak mendukung cita-cita Indonesia Raya. Pidato-pidato dalam kongres ke-4 (Desember 1936) juga menyatakan hal itu (cinta tanah air dan bangsa dalam Islam, Islam dan kemajuan, agama dan politik) (A. K Pringgodigdo. t. t: 506).

Pada kongres ke-4 JIB di Bandung, 22-25 Desember 1928, dibahas secara khusus tentang nasionalisme (Darmansyah, dkk. 2006: 52). Salah seorang aktivis JIB Bandung Mohammad Natsir dikemudian hari menjadi perdana menteri RI (Darmansyah, dkk. 2006: 16). Mohammad Natsir merupakan salah satu tokoh JIB yang paling vokal. Di samping mengasah pemikiran tentang hal-hal politik dan ideologi, termasuk nasionalisme menurut Islam melalui kegiatan diskusi dan debat. Di lingkungan JIB, Natsir juga memberi ceramah dan pelajaran agama Islam dan itu disampaikan dalam bahasa Belanda agar mendapat perhatian dari para pemuda-pemudi yang merasa dirinya kaum intelektual dan kaum terpelajar (Jan S. Aritonang. 2005: 182). Mohammad Natsir mulai aktif dalam JIB sejak menjadi siswa MULO di Padang dan kemudian diteruskannya di AMS Bandung. Aktivitas dalam JIB menjadi sangat penting karena dua hal, yaitu pertama, JIB telah menjadi suatu perkumpulan yang mempunyai ikatan tersendiri bagi

pemuda-pemuda yang mempunyai latar belakang Islam yang menempuh pendidikan Barat. Kedua, JIB juga menjadi sebuah tempat yang mengajarkan nilai-nilai demokrasi (Lukman Hakiem. 2008: 124).

Tujuan JIB didirikan adalah untuk memajukan pengetahuan tentang Islam, hidup secara Islam dan persaudaraan secara Islam (Jan S. Aritonang. 2005: 181). Selain itu, pendirian JIB juga bertujuan untuk memperkuat persatuan di kalangan pemuda muslimin. Keanggotaannya terbuka bagi para pemuda Islam yang berumur antara 14-30 tahun. Walaupun ada pembatasan umur, organisasi yang dibentuk itu tidak hanya terbatas bagi para pelajar saja, tetapi juga bagi mereka yang sudah menyelesaikan sekolah. Secara formal organisasi ini tidak bergerak dalam bidang politik, tetapi anggotanya yang telah berumur 18 tahun ke atas diperbolehkan mengikuti kegiatan-kegiatan politik (Cahyo Budi Utomo. 1995: 124). Sedangkan tujuan JIB yang menyangkut masalah wanita yaitu JIB harus memperhatikan pembinaan remaja putri dan kaum wanita umumnya di lingkungan kaum intelek. JIB sangat menaruh perhatian pada persamaan hak dan kewajiban di antara kaum laki-laki dengan wanita, sesuai dengan ajaran Islam. Pandangan tentang wanita sangat ditekankan mengingat kondisi kaum wanita pada saat itu (tahun duapuluhan) sangat direndahkan. Dikemudian hari aktivitas JIB bagian putri dititik beratkan pada yang terakhir ini, melalui usaha-usaha penyadaran dengan jalan kursus dan tablig. Sasaran utama mereka adalah pencegahan pernikahan di bawah usia 14 tahun. Dikemukakan oleh Sjam bahwa JIB akan mengebangkan organisasi putri sejalan dengan aktivitas anggota pria (Ridwan Saidi. 1990: 22-23).

Disela-sela aktivitas JIB yang demikian pesatnya, di luar sedang bergelora semangat kebangsaan dan suasana pergerakan politik ketika itu mengarah pada persatuan bangsa. Sumbangan JIB dalam mendorong organisasi pemuda agar bersatu, tidaklah sedikit. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa lahirnya JIB telah menimbulkan kegelisahan di kalangan organisasi pemuda kedaerahan, karena JIB mampu mempersatukan berbagai pemuda dari semua lapisan dan asal kesukuan serta cabang-cabangnya telah dibuka di luar Jawa, seperti Sumatra, Sulawesi dan kepulauan lainnya (Ridwan Saidi. 1990: 28).

Dalam perkembangan pergerakan JIB selanjutnya, komitmen JIB untuk menjalin persatuan dengan organisasi pemuda lain ditunjukkan dengan keikutsertaan JIB dalam Kongres P emuda P ertama yang dilaksanakan pada tanggal 30 April-2 Mei 1926. Pada Kongres P emuda Pertama tersebut JIB diwakili oleh Emma Poeradiredja, ketua JIB Dames Afdelling cabang Bandung (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 321). Pada kesempatan tersebut JIB berupaya untuk menunjukkan gagasan persatuan pergerakan pemuda. Hal ini sesuai dengan tujuan Kongres Pemuda Pertama untuk menggugah semangat kerjasama di antara berbagai macam organisasi pemuda pelajar di Indonesia supaya dapat diwujudkan pokok-pokok untuk lahirnya persatuan Indonesia di tengah bangsa-bangsa di dunia (Darmansyah, dkk. 2006: 20). Kongres ini tidak diakui oleh organisasi pemuda yang ada dengan berbagai alasan. Salah satu alasan penolakan tersebut adalah kepanitiaannya dilakukan individu-individu yang latar belakang organisasinya tidak begitu kuat dan jelas. Sementara itu bahasa yang digunakan sebagai pengantar selama rapat-rapat adalah bahasa Belanda (Koentjara Purbopranoto. 1987: 314).

Perdebatan tentang fusi dan federasi terus berlangsung setelah Kongres Pemuda P ertama. Masing-masing pihak mempertahankan pendapat dan keinginannya. Atas inisiatif Jong Java maka pada tanggal 15 Agustus 1926 diadakan Na tional Co nferentie di Jakarta yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Jo ng Ja va , Jon g Sumatranen Bond, S ek ar Roekoen, Jo ng Bataks Bond, Jo ng Minahasa, Vereenig ing voor Ambo nsche S tudeerenden, Jon g Islamieten Bon d cabang Jakarta dan Komite Kongres P emuda Pertama. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan untuk membentuk sebuah organisasi tetap, Jong Ind on esia (P emuda Indonesia), yang akan mendampingi organisasi pemuda yang ada dengan tujuan ”Memajukan dan membuktikan Ind on esische eenheid ag ed achte, menguatkan ikatan persatuan antara perkumpulan-perkumpulan pemuda” (Sek a r Roek oen. No. 4. April 1929 dalam Darmansyah, dkk. 2006: 21).

Adanya ketidaksepakatan di kalangan pemuda menghalangi lahirnya Jong Indonesia. Dalam rapat tanggal 20 Februari 1927 yang dihadiri oleh Jo ng Ja va , Jon g Sumatranen Bond, S ek ar Roekoen, Jo ng Bataks Bond, Jo ng Minahasa,

Jo ng Ambo n, Jo ng Islamieten Bond dan P PP I mengemukakan beberapa pendapat. Fusi ternyata lebih dikehendaki daripada badan kotak seperti yang diputuskan dalam rapat 15 Agustus 1926. Badan kontak hanya akan mendekatkan para pemimpin perkumpulan pemuda dan tidak organisasi secara keseluruhan (Darmansyah, dkk. 2006: 21). Dengan diputuskannya cita-cita persatuan Indonesia sebagai cita-cita bersama dan kemerdekaan Indonesia maka banyak perkumpulan yang menentang JIB ikut serta dalam badan kontak karena JIB dalam pergerakannya hanya dianggap berdasarkan agama.

Untuk memasyarakatkan gagasan persatuan di kalangan JIB maka pada Kongres ke-3 JIB yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 23-27 Desember 1927, gagasan persatuan dibahas secara khusus. Dalam kongres JIB menyatakan sikap akan tetap konsisten dalam perjuangan bangsa, tetapi JIB tetap tidak akan fusi dengan organisasi pemuda lain yang tidak seasas (Islam) (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 231).

JIB merupakan pendukung cita-cita persatuan Indonesia sehingga tidak mengherankan jika JIB ikut mengirim utusan ke dalam panitia Kongres Pemuda II di Jakarta pada Agustus 1928 (Ridwan Saidi. 1990: 5). Karena disadari betapa pentingnya pelaksanaan Kongres Pemuda II, peserta pertemuan sepakat bahwa pelaksanaan kongres akan diadakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928 (Darmansyah, dkk. 2006: 24). Johan Mohammad Tjaja sebagai wakil dari JIB ikut menandatangani naskah Sumpah Pemuda yang dirumuskan pada tanggal 28