• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pe ranan Jo ng Islamieten Bond se bagai B ag ian dari Organisasi Pemuda Islam D i Kancah Perge rakan Nasional Indonesia Tahun 192 5-19 42

HASIL PENELITIAN

C. Pe ranan Jo ng Islamieten Bond se bagai B ag ian dari Organisasi Pemuda Islam D i Kancah Perge rakan Nasional Indonesia Tahun 192 5-19 42

1. Menggagas Nasionalisme Indonesia

Sikap JIB terhadap nasionalisme atau kebangsaan adalah bahwa pemuda intelek Islam berpandangan lebih luas terhadap kebangsaan dan mengemban tugas bukan hanya berjuang untuk tanah air saja (dimana Islam menjadi agama mayoritas pendduduk) tetapi juga untuk semua umat Islam di seluruh dunia. Hal itulah yang menjadi jiwa dari organisasi JIB, antara Islam dan kebangsaan atau cinta tanah air harus berjalan bersama dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Yang menjadi harapan JIB adalah JIB dapat menjadi organisasi yang mampu menjadi wadah persatuan pemuda Nusantara, karena dasarnya memberikan kemungkinan yang lebih luas dibandingkan dengan dasar organisasi kedaerahan lainnya (Ridwan Saidi. 1990: 23).

Konsep nasionalisme pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kohn, nasionalisme merupakan kesetiaan tertinggi yang diberikan kepada tanah air dan bangsa. Hal tersebut sangat bertentangan dengan agama Islam. Dalam agama Islam, kesetiaan tertinggi hanya diberikan kepada Tuhan. Salah satu yang menjadi pembicaraan hangat pada tahun 1920-an adalah nasionalisme atau cinta tanah air.

JIB yang berdasarkan Islam dianggap tidak mempunyai nasionalisme (Darmansyah, dkk. 2006: 49).

JIB mencoba mencari hubungan di antara keduanya dengan merumuskan nasionalisme sebagai mencintai tanah air dan bangsa, tetapi di sampingnya juga mencintai orang-orang seagama Islam di luar negeri dan mencintai semua manusia (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 36). Seorang Muslim mengakui bahwa membela tanah tumpah darahnya, menolong bangsanya adalah suatu amal yang harus dijalankan. Seorang Muslim mempunyai tugas berat harus mencari daya upaya dengan kekuatan budi, badan dan harta serta jiwanya untuk melepaskan bangsanya dari segala macam belenggu dengan tidak mengharapkan upah dan mencari nama besar (Darmansyah, dkk. 2006: 49). JIB menolak konsep nasionalisme yang hanya mengagungkan cinta tanah air dan menawarkan alternatif pengganti nasionalisme sekuler dengan nasionalisme Islam. Hanya melalui Islam kontak yang hilang antara kaum cendekiawan dan rakyat dapat dipulihkan. Jawanisme Jong Java dalam hal ini dianggap tidak cocok. Nasionalisme tanpa dasar agama mempunyai kemungkinan membahayakan, seperti nasionalisme yang dikembangkan oleh Hittler telah mengobarkan P erang Dunia (Darmansyah, dkk. 2006: 50-51).

Pada kongres ke-4 JIB di Bandung, 22-25 Desember 1928, dibahas secara khusus tentang nasionalisme. JIB selalu diserang, yang biasanya bernuansa organisasi Indonesia dengan watak keagamaan. Bukan hanya oleh orang asing, serangan juga dilontarkan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Dalam hal ini, Wiwoho (ketua JIB), membedakan tiga arah yang tumbuh di antara orang-orang Muslim yang sudah tumbuh dewasa, yaitu mereka yang hanya mengabdi kepada Tuhan, mereka yang mencurahkan diri pada karya sosial dan mereka yang menggunakan Islam dalam arti politik (Darmansyah, dkk. 2006: 52). Wiwoho juga berkata dengan tegas, “Nyala n asio na lisme merup ak an a ncaman b agi k ita”. Dengan mengutip sebuah ayat A l-Qur’an, pembicara berkata,

Islam memuji nasionalisme namun dengan internasionalisme sebagai latar belakangnya. Nasionalisme ini tidak akan bangkit menjadi kebencian atau perjuangan, melainkan mengarah pada kasih dan pengertian. Bukan nasionalisme yang akan mengarah pada perpecahan

atau permusuhan atau hubungan kolonial, yang selalu bertentangan dengan kata-kata dalam Al-Qur’an: ”Kami menyatukan kalian dalam suku dan bangsa agar kalian bisa saling mengakui dan mengenali” (Darmansyah, dkk. 2006: 52-53).

Usaha nasional ini betujuan untuk menciptakan persamaan dan juga kemandirian dari semua bangsa dengan tujuan keharmonisan internasional. Kewajiban setiap Muslim adalah mencoba untuk mengarahkan nasionalisme ke jalan yang benar. Sebagai pemimpin dari bangsa yang mayoritas memeluk Islam, dengan tugas berat bagi kewajibannya untuk menyediakan tempat dalam keharmonisan bangsa-bangsa, kita harus mengenal jiwa dan semangat rakyat. Kewajibannya adalah percaya sepenuhnya pada kekuatan sendiri untuk melancarkan perjuangan nasional. Tidak ada nasehat dari luar, tidak ada campur tangan asing. Setelah menyebutkan kesulitan besar, terutama masalah keuangan sepanjang tahun ini, Wiwoho, ketua JIB menutup dengan keterangan bahwa ada empat cabang yang berkumpul dan kini menampung 2.500 orang anggota (Darmansyah, dkk. 2006: 53).

Menyangkut masalah yang berkaitan dengan kelompok nasionalis Indonesia, JIB tidak akan tertarik sedikitpun. Menanggapi masalah nasionalisme tersebut di kalangan anggota JIB muncul pernyataan,

Orang Indonesia yang mengaku nasionalisme itu sebetulnya kurang mengetahui kepentingannya bersatu di bawah Islam. P rof. Snouck Hurgronje sendiri menyatakan bahwa bahaya yang mengancam Pemerintahan Belanda adalah jika rakyat Indonesia bersatu dalam Islam. Nasionalisme tanpa Islam di Indonesia tidak akan membahayakan kerajaan Belanda, sebab hal itu hanya akan menyentuh kaum buruh di kota-kota besar, itu pun tidak semua. P etani, nelayan dan penduduk luar kota tentu tidak akan tertarik dengan nasionalisme sekuler. Pergerakan nasional yang netral terhadap agama adalah suatu hal yang mustahil bagi Indonesia. Hal ini ibarat kapal perang yang punya perwira tapi tanpa tentara, kalau tidak ibarat kapal tanpa kompas (Het Licht. No. 2-3. April-Mei 1931 dalam Darmansyah, dkk. 2006: 53-54).

Sebuah pergerakan harus mempunyai dasar ketahanan hati, ikhlas untuk mengorbankan kesenangan dan keduniaan. Orang yang mempunyai ketetapan hati didasari oleh satu faktor, yaitu kepercayaan terhadap agama. Untuk Indonesia dasarnya adalah Islam. Kemenangan hanya bisa terwujud dari persatuan nasional

bangsa Indonesia untuk menghadapi kaum penjajah. Pada masa sekarang jangan berharap akan mendapatkan bantuan dari negara-negara besar, Barat dan Timur, karena mereka juga sama haus akan jajahan sendiri. Untuk Indonesia dasarnya adalah Islam yang bisa dikumpulkan menjadi satu kekuatan besar. Setiap negeri yang mempunyai koloni, seperti Inggris, Prancis, Spanyol, sangat takut terhadap persatuan di bawah Al-Qur’an (Darmansyah, dkk. 2006: 54).

Pemikiran Salim tentang perjuangan untuk mencapai pemerintahan sendiri atau memperoleh kemerdekaan. Menurutnya, kemerdekaan itu tergantung kepada usaha rakyat Bumi P utra. Salim menolak pendapat yang statis yaitu menunggu saja kemerdekaan yang akan diberikan oleh bangsa kolonial Belanda.

Bangsa yang hendak mencapai kemerdekaannya yang hendak menurut kekuatan dan kecakapan akan berdiri sendiri, tak harus senantiasa menadahkan tangan menantikan pemberian orang saja, melainkan harus menggerakkan segala tenaganya dan berusaha dengan sekuat-kuatnya. Sebelum kita membuktikan bahwa kita kuat dan pandai mengichtiarkan segala keperluan kita sendiri, tidaklah layak kita beroleh kemerdekaan akan berdiri sebagai bangsa sendiri (http://ahmadfath ulba ri.multiply.com diakses tanggal 7 Agustus 2009).

2. Nationale Indonesisc he P advinderij (NATIPIJ)

Pada masa kepemimpinan Wiwoho di JIB dibentuk kepanduan JIB yang bernama Nation ale In do nesisch e Pad vind erij (NATIPIJ). Selain organisasi pemuda, pilar penting dalam pergerakan pemuda adalah kepanduan. Mereka aktif dalam setiap aktivitas yang berkaitan dengan pergerakan pemuda. Organisasi kepanduan tertua adalah Ja va ansche Padvin ders Org anisatie (JPO) yang didirikan di Surakarta pada tahun 1916 oleh S. P . Mangkunegoro VII yang digunakan sebagai temapat bibit dan latihan tentara dan pegawai Mangkunegaran.

Dalam rangka menumbuhkan kesadaran keislaman pada usia anak-anak, perlu dibentuk wadah tersendiri. Adanya dorongan untuk mewujudkan gagasan seperti itu, Kasman seorang pengurus JIB cabang Batavia mendirikan organisasi pandu dalam JIB dengan nama Batavia Na tio na le In don esische Pad vind erij (NATIPIJ). Menurut Kasman pendidikan bagi anak-anak pada usia kurang dari 14 tahun tidak boleh dilupakan. Pendidikan bagi anak-anak itu sudah tentu tidak termasuk dalam Anggaran Dasar (AD) JIB sebab keanggotaan JIB lebih

diutamakan bagi pelajar-pelajar Islam yang lebih dewasa. Bagi Kasman organisasi kepanduan itu diharapkan dapat menimbulkan perasaan persatuan di dalam diri bangsa yang bersama-sama memeluk agama Islam dan sekaligus membangun cinta kepada Allah dan agama-Nya (Darmansyah, dkk. 2006: 55).

Pada saat JIB membentuk kepanduan (NATIPIJ) yang menjadi ketua umum pertamanya adalah Mohammad Roem. Rapat umum perdana NATIPIJ diadakan pada tanggal 24 Desember 1929. Tuan Sjuaib, guru agama pada HIS di Batavia memulai dengan membacakan Al-Qur’an dan membahas NATIPIJ. Harapannya terhadap keberadaan NATIPIJ adalah:

a. Mendidik anggota sebagai Muslim yang taat sehingga bisa membawa warganya menuju kesejahteraan yang lebih tinggi;

b. Memperbaiki kondisi sosial dan kesatuan antar-klas. Perkembangan bisa berlangsung semakin jauh dari rakyat dan kita tidak bisa melangkah lebih jauh tanpa kerjasama antara kelompok cendekiawan dengan rakyat. Ketakutan dari kaum cendekiawan bahwa Islam akan berarti penolakan terhadap pendidikan, dianggap tidak berdasar oleh pembicara. Sebaliknya, Islam mengajarkan kemandirian;

c. Cintailah Islam dengan penuh penghormatan kepada agama lain seperti yang dituntut oleh Islam. Pembaca berkata tidak bisa dibantahkan bahwa kita apabila diserang harus menolak serangan itu juga harus membalasnya;

d. Lakukan sembahyang, puasa, dan lainnya juga oleh kalangan intelektual kita; e. Perbaiki hubungan dengan kelompok lain di Indonesia atas dasar Islam

(Darmansyah, dkk. 2006: 56).

Berdasarkan pergerakan NATIPIJ di atas dapat disimpulkan bahwa pergerakan NATIP IJ bukan hanya menggunakan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD/ART) namun juga menggunakan Al-Qur’an sebagai pedomannya. Dalam kesempatan kongres ini pula Mohammad Roem, ketua NATIPIJ mengisahkan tentang tujuannya menuju kebaikan, mengajukan laporan tentang NATIP IJ dan juga mengisahkan tentang banyaknya kebaikan dan kesulitan keuangan yang besar dialami oleh NATPIJ. Sedangkan Tjaja berbicara tentang Komisi Informasi Belajar. Bagi orangtua yang tidak terdidik secara Barat, sangat

sulit untuk menilai tentang pendidikan Barat bagi anak-anaknya yang telah banyak menjauh. Namun ada kemungkinan untuk mendidik rakyat tanpa membedakan orangtua. Komisi ini memberikan informasi tentang:

a. Pendidikan Barat di Hindia b. Pendidikan Barat di Belanda c. Pendidikan Timur di Hindia

d. Pendidikan agama, yakni berupa sekolah calon guru Muhammadiyah e. Pendidikan Timur di luar Hindia

f. Biaya dan tempat tinggal (Darmansyah, dkk. 2006: 56).

Dalam perjalanannya, terbukti bahwa komisi ini belum banyak melakukan tugasnya. Surowijono mengatakan bahwa hanya iman yang mampu memberikan kekuatan batin. Kepanduan harus memberikan kesibukkan kepada anak-anak yang sering nampak berkeliaran di jalanan kota”. Sedangkan Kasman menyatakan, ”P enggunaan bahasa Belanda dalam JIB bertujuan untuk menjangkau dan menarik kaum intelektual agar dekat dengan Islam, cara terbaik menuju kesatuan Indonesia”. Organisasi kepanduan ini menjadi sarana penting untuk mendidik para pemuda agar menjadi manusia yang mandiri dan bersifat nasionalis dengan perasaan bagi persaudaraan internasional serta tidak bisa bersifat nasionalis dengan kebencian namun harus dengan menghargai bangsa lain. (Darmansyah, dkk. 2006: 58).

Dalam rapat tanggal 25 Desember 1928, pengurus pusat menyampaikan bahwa NATIPIJ harus dirombak: harus ada kantor pedagogi, kantor tehnik, redaksi dan tempat latihan. Komisi bagi urusan wanita akan membuka cabangnya (Darmansyah, dkk. 2006: 59).

Hasrat bersatu bagi seluruh organisasi kepanduan Indonesia waktu itu tampak mulai dengan terbentuknya Persau da ra an Anta ra Pan du In do nesia (P API) yang merupakan federasi dari P andu Kebangsaan, INP O, SIAP, NATIPIJ, dan PPS pada tanggal 23 Mei 1928. Namun federasi ini tidak bertahan lama, karena pada tahun 1930 berdiri Kep an dua n Bang sa Ind on esia (KBI) yang dirintis oleh para tokoh dari Jo ng Java Padvinders/Pand u Keba ngsa an (JJP/P K), INPO dan PP S (Jon g Ja va Pavinderij/JJP); Pan du Keb ang saan (P K). Sementara itu

PAP I kemudian berkembang menjadi Bad an Pusa t Persa ud araa n Kep an du an In do nesia (BPP KI) pada bulan April 1938. Antara tahun 1928-1935 bermuncullah gerakan kepanduan Indonesia baik yang bernafas utama kebangsaan maupun bernafas agama. Kepanduan yang bernafas kebangsaan dapat dicatat Pan du In do nesia (PI), Padvin ders Orga nisa tie Pasun da n (P OP), Pan du Kesultan an (P K), Sina r Pand u Kita (SPK) dan Kepa nd ua n Rak ya t Indo nesia (KRI). Sedangkan yang bernafas agama Pandu Ansor, Al Wathoni, Hizbul Wathon, Kep an duan Islam Ind onesia (KII), Islamitische Pad vinders Org an isa tie (IPO), Tri Darma (Kristen), Kepa nd ua n Aza s Ka th olik In do nesia (KAKI), Kepanduan Masehi Indonesia (KMI). Sebagai upaya untuk menggalang kesatuan dan persatuan, Bad an Pusat Persau da ra an Kep and ua n Indo nesia (BP PKI) tersebut merencanakan All Ind on esian Ja mbo ree. Rencana ini mengalami beberapa perubahan baik dalam waktu pelaksanaan maupun nama kegiatan yang kemudian disepakati diganti dengan Perk emaha n Kepa ndu an In do nesia Umum (P ERKINDO) dan dilaksanakan pada tanggal 19-23 Juli 1941 di Yogyakarta (h ttp://id.wik ipedia.o rg diakses tanggal 2 Januari 2010).

3. Meningkatkan Derajat Pendidikan

Dalam usahanya meningkatkan derajat pendidikan, JIB menyelenggarakan kursus-kursus pada tiap cabangnya. JIB menyelenggarakan pemberantasan buta huruf. Ada cabang yang menyelenggarakan kursus setiap hari bagi anggota. Anggota memilih bidang kursus yang sesuai dengan minatnya. Dalam hal bahasa, misalnya, diselenggarakan kursus bahasa Inggris, Belanda dan Arab (Darmansyah, dkk. 2006: 63). Selain itu, JIB juga melakukan penggalangan dana untuk beasiswa para pelajar. Dana yang digalang oleh JIB dikelola untuk dibagikan menjadi beasiswa oleh organisasi di bawah JIB yang bernama Algemeene Steun fond s (Darmansyah, dkk. 2006: 65).

Tanpa menyerah diri pada tantangan-tantangan yang ada, mereka berusaha mendirikan sekolah-sekolah dengan sistem dan cara yang ditiru dari sekolah-sekolah yang didirikan oleh pihak pemerintah Belanda, tetapi dengan berusaha mempertahankan semangat serta isi ajaran Islam. Tujuannya adalah

untuk menggalang umat dan mendidik mereka sejalan dengan tuntutan masa dengan memasukkan berbagai mata pelajaran bukan agama ke dalam kurikulum. Mereka berusaha menghapuskan segala macam tambahan yang melekat pada ajaran Islam yang menurut mereka tidak sesuai dengan ajaran itu yang mereka dasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Mereka mengimbau agar kembali kepada ajaran-ajaran pokok dari Islam (Deliar Noer. 1987: 10).

Melihat kinerja Kasman yang berhasil meluaskan keanggotaan JIB, maka pada kongres ke-7 di Madiun bulan Desember 1931, Kasman terpilih kembali sebagai ketua JIB. Selama satu tahun kepengurusannya berbagai kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan keputusan kongres, salah satunya adalah pendirian sekolah-sekolah HIS di cabang-cabang JIB (Darmansyah, dkk. 2006: 69). Pada bulan Oktober 1931 JIB membangun sekolah HIS yang bertempat di Tegal dan di bulan November tahun itu juga dibuka lagi sekolah HIS di Tanah Tinggi, Batavia. JIB bahkan merencanakan membangun percetakan (Ridwan Saidi. 1990: 31).

JIB juga mempunyai bagian penerangan pendidikan yang bernama Cen tra al Co mmissie Stud ie Informa tie Co mmissie (CCSIC) pada setiap cabangnya. CCSIC ini bertugas memberikan penerangan tentang bidang pendidikan dan pemondokan; memberikan bimbingan kepada orangtua dalam hal memilih sekolah, menaksir biaya pendidikan, dan memberikan semacam bimbingan karir. Selain terdapat ditiap-tiap cabang, CCSIC mempunyai sekretariat pusat di Jalan Sabangan I No. 33, Weltevreden. Ketua CCSIC dijabat oleh Johan Mohammad Tjaya (Darmansyah, dkk. 2006: 64).

BAB V

PENUTUP

A. Ke simpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Mayoritas penduduk Hindia-Belanda beragama Islam. Karena kurangnya pengetahuan yang tepat mengenai Islam, pemerintah Hindia-Belanda pada mulanya tidak berani mencampuri agama Islam secara langsung. Tetapi kebijakan untuk tidak mencampuri Islam tidak konsisten karena tidak adanya garis yang tegas. Tahun 1859, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan bila perlu demi kepentingan negara, para ulama harus diawasi. Politik Islam pemerintah Hindia-Belanda berubah setelah kedatangan Snouck Hurgronje tahun 1889. Pemerintah memberi kebebasan dalam ibadah dan sosial kemasyarakatan selama tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Tetapi dalam politik, pemerintah mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan Pan Islam. Pendidikan Barat digunakan untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia, mengupayakan sekularisasi pendidikan dengan menyingkirkan pelajaran agama di sekolah. Namun dipenghujung abad ke-19 generasi intelektual Muslim Indonesia lahir. Generasi intelektual Muslim Indonesia tersebut umumnya pernah mengenyam pendidikan Barat sekaligus mendalami agama Islam secara khusus dan kemudian mendirikan sekolah-sekolah dengan meniru sistem dan cara dari sekolah-sekolah-sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Belanda, tetapi semangat dan isi ajaran Islam tetap dipertahankan. Dengan demikian kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia-Belanda menyangkut pendidikan menyebabkan tokoh-tokoh pribumi Islam berpendidikan Barat semakin sadar akan kebangsaan dan keislamannya serta bersemangat menentang penjajahan. Hal tersebutlah yang mendorong didirikannya Jo ng Isla mieten Bo nd (JIB).

2. Perkembangan Jo ng Islamieten Bond (JIB) sangat pesat. Pergerakan JIB didasarkan atas nasionalis Indonesia namun atas dasar Islam. Dasar pandangan agama telah memberi kepastian prinsip seperti halnya dengan organisasi-organisasi nasionalis lainnya dengan ideologi nasionalisnya yang kuat. Tujuan JIB didirikan adalah untuk memajukan pengetahuan tentang Islam, hidup secara Islam dan persaudaraan secara Islam serta untuk memperkuat persatuan di kalangan pemuda muslimin. Sedangkan tujuan JIB yang menyangkut masalah wanita yaitu JIB harus memperhatikan pembinaan remaja putri dan kaum wanita umumnya di lingkungan kaum intelek. JIB menjadi suatu wadah untuk mendidik kaum muda Islam hingga menjadi kader-kader yang mempunyai dasar keislaman yang kokoh dan JIB pun kemudian membangun prasarana-prasarana yang kelak mempunyai nilai strategis dalam pembinaan generasi, yaitu dengan menerbitkan majalah Al-Nur atau Het Licht sebagai majalah cendekiawan Islam pertama di Indonesia pada bulan Maret 1925 dan mendirikan Nation al In don esische Pad vinderij (NATIP IJ) sebagai organisasi pandu nasional Indonesia serta bagian wanita yaitu Jong Islam ieten Bond D ames Afdeeling (JIBDA).

3. Peranan Jon g Islamieten Bond (JIB) sebagai bagian dari organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942 antara lain: a. Menggagas nasionalisme Indonesia. Islam dan kebangsaan atau cinta tanah

air harus berjalan bersama dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Yang menjadi harapan JIB adalah JIB dapat menjadi organisasi yang mampu menjadi wadah persatuan pemuda Nusantara karena dasarnya memberikan kemungkinan yang lebih luas dibandingkan dengan dasar organisasi kedaerahan lainnya.

b. Nation ale Ind on esische Pad vind erij (NATIP IJ). Selain organisasi pemuda, pilar penting dalam pergerakan pemuda adalah kepanduan. Para anggota NATIP IJ aktif dalam setiap aktivitas yang berkaitan dengan pergerakan pemuda. Dengan pendirian organisasi kepanduan tersebut diharapkan dapat menimbulkan perasaan persatuan di dalam diri bangsa yang bersama-sama memeluk agama Islam dan sekaligus membangun cinta

kepada Allah dan Agama-Nya. Pergerakan NATIPIJ bukan hanya menggunakan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD/ART) namun juga menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman pergerakannya.

c. Meningkatkan derajat pendidikan. Dalam usahanya meningkatkan derajat pendidikan, JIB menyelenggarakan kursus-kursus pada tiap cabangnya dan menyelenggarakan pemberantasan buta huruf. JIB juga mempunyai bagian penerangan pendidikan yang bernama Cen traa l Commissie S tu die In formatie Commissie (CCSIC) pada setiap cabangnya. CCSIC ini bertugas memberikan penerangan tentang bidang pendidikan dan pemondokan; memberikan bimbingan kepada orangtua dalam hal memilih sekolah, menaksir biaya pendidikan dan memberikan semacam bimbingan karir.

B. Implikasi

1. Teoritis

Adanya penerapan politik kolonial Belanda di Indonesia telah menyebabkan rakyat Indonesia mengalami berbagai kemunduran dan kesengsaraan di segala aspek kehidupan sehingga menggugah rakyat untuk melakukan perlawanan agar dapat melepaskan diri dan merdeka dari belenggu penjajahan bangsa Belanda. Karena mayoritas penduduk Hindia-Belanda pada masa itu adalah beragama Islam maka bangsa kolonial mulai menerapkan politiknya terhadap daerah jajahannya tersebut dengan berbagai kebijakan yang dikenal dengan Politik Isla m Hin dia-Belan da yang dicetuskan oleh Snouck Hurgronje pada tahun 1889. Hurgonje menilai bahwa musuh pemerintah Hindia-Belanda bukanlah Islam sebagai agama tetapi Islam sebagai doktrin politik yang berbahaya bagi kelangsungan kekuasaan Belanda di Indonesia. Sehubungan dengan politik tersebut, Snouck Hurgronje membagi Islam menjadi tiga bagian, yaitu ibadah, sosial dan kemasyarakatan dan politik. Dengan demikian pendidikan Barat haruslah diberikan kepada orang-orang Indonesia yang jumlahnya semakin besar. Pendidikan Barat adalah alat yang paling pasti untuk mengurangi dan

akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Dalam kenyataannya pandangan Snouck Hurgronje adalah cermin dari suatu era baru di dalam kebijakan kolonial Belanda yang disebut sebagai Politik Etis, yang secara resmi bermula pada tahun 1901 meliputi irigas i, emigrasi dan edukasi.

Munculnya politik etis dalam bidang pendidikan di Indonesia berakibat pada semakin banyaknya pendirian sekolah-sekolah formal oleh pemerintah Belanda. Dengan adanya pembukaan sekolah-sekolah tersebut maka pendidikan bagi rakyat Indonesia mulai sedikit berkembang sehingga pada akhirnya memunculkan golongan terpelajar atau elit modern sebagai golongan baru dalam stratifikasi masyarakat Indonesia pada masa penjajahan bangsa kolonial. Golongan terpelajar menyadari keadaan yang terbelakang dari masyarakatnya akibat praktek kolonialisme yang kemudian bercita-cita melenyapkan segala bentuk diskriminasi ras, perbedaan sosial, ekonomi dan politik. Inilah benih-benih penggerak perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka. Dari tahun ke tahun kaum elit modern tersebut semakin bertambah banyak, sehingga menimbulkan pergerakan nasional yang lebih mantap.

Di kalangan umat Islam Indonesia kemudian timbul pula kesadaran untuk berorganisasi. Rasa persatuan di kalangan umat Islam mulai terpupuk hingga melahirkan suatu pergerakan yang sangat penting artinya bagi nasionalisme Indonesia. Generasi intelektual Muslim Indonesia pada umumnya pernah mengenyam pendidikan Barat dan sekaligus mendalami Islam secara khusus seperti halnya para pendiri Jo ng Islamieten Bond (JIB/Liga Pemuda Islam). Ajaran agama Islam oleh JIB dijadikan sebagai sumber pengikat persatuan di kalangan pemuda-pemuda di Indonesia. Wujud dari usaha para elit modern dalam usaha penanaman pengaruhnya kepada para pemuda untuk mempunyai jiwa nasionalis tersebut tampak dalam pergerakan-pergerakan kaum intelektual dengan jalan pembentukan organisasi modern sebagai alat perjuanganya, antara